Você está na página 1de 54

BAB I

PENDAHULUAN
Infeksi malaria sampai saat ini masih merupakan masalah klinik di Negara-negara
berkembang terutama Negara yang beriklim tropis, termasuk Indonesia. Di Indonesia
penyakit malaria masih merupakan penyakit infeksi utama dikawasan Indonesia bagian timur.
Infeksi ini dapat menyerang semua masyarakat, temasuk golongan yang paling rentan seperti
wanita hamil.1
Penyakit malaria disebabkan oleh parasit protozoa dari Genus plasmodium. Empat
spesies yang ditemukan pada manusia adalah Plasmodium Vivax, Plasmodium Ovale,
Plasmodium Malariae dan Plasmodium Falciparum. Malaria pada kehamilan dapat
disebabkan oleh keempat spesies plasmodium, tetapi Plasmodium Falciparum merupakan
parasit yang dominan dan mempunyai dampak paling berat terhadap morbiditas dam
mortalitas ibu dan janinnya.1
Infeksi malaria pada kehamilan sangat merugikan baik bagi ibu dan janin yang dikandungnya, karena infeksi ini dapat meningkatkan kejadian morbiditas dan mortalitas ibu
maupun janin. Pada ibu menyebabkan anemia, malaria serebral, edema paru, gagal ginjal
bahkan dapat menyebabkan kematian. Komplikasi pada janin dapat mengakibatkan berat
badan lahir rendah, abortus/keguguran, kelahiran prematur, kematian janin dalam kandungan
(intra-uterine fetal death, IUFD), gangguan/hambatan pertumbuhan janin (intra-uterine
growth retardation, IUGR), dan malaria bawaan. Infeksi pada wanita hamil oleh parasit
malaria ini sangat mudah terjadi, hal ini disebabkan oleh adanya perubahan sistim imunitas
ibu selama kehamilan, baik imunitas seluler maupun imunitas humoral, serta diduga juga
sebagai akibat peningkatan horman kortisol pada wanita selama kehamilan. 2
Laporan dari berbagai negara menunjukan insidens malaria pada wanita hamil
umumnya cukup tinggi. Pada daerah endemik bayi yang terlahir dari ibu yang terinfeksi
parasit malaria (apakah disertai gejala atau tidak) mengalami berat badan lahir rendah yang
juga meningkatkan risiko kematian bayi. Data Steketee dkk (1985-2000) tentang pengaruh
buruk malaria pada kehamilan di daerah endemis malaria (sub-sahara Afrika) disebutkan
risiko anemia 3-15%, berat badan lahir rendah 13-70% dan kematian neonatal 3-8%.3
Hasil penelitian WHO pada tahun 2005 di Lampung menunjukkan angka kejadian
malaria pada ibu hamil sebanyak 14%. Sementara itu data dari rumah sakit di Kabupaten
Timika ( Ap 2004 s/d sep 2009 ) 18% ibu hamil menderita malaria (808/4419) dimana 60%
1

P. Falciparum, 32% P.vivax, 4.5% Mixed, 3.5% jenis lain. Hanya 30% yang bergejala, 3.9%
(32/808) memberikan gejala hebat.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

MALARIA
Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari genus

Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan tusukan (gigitan)


nyamuk Anopheles spp. Empat spesies plasmodium yang dapat menyebabkan malaria
manusia adalah vivax, ovale, malariae dan falciparum. Plasmodium falciparum yang
paling mematikan. Karena penularannya melalui nyamuk Anopheles betina, oleh sebab
itu ada beberapa faktor yang berperan terhadap perkembangan nyamuk, seperti suhu
udara, kelembaban, serta musim hujan yang berpengaruh terhadap insiden malaria.5
Penyakit malaria hingga kini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat dunia yang utama. Malaria menyebar di berbagai negara, terutama di
kawasan Asia, Afrika,dan Amerika Latin. Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki endemisitas tinggi.1
Malaria dan kehamilan memang merupakan kondisi yang saling memperburuk.
Perubahan fisiologis dan perubahan patologis pada malaria saling mempunyai efek
sinergis, sehingga menyulitkan untuk ibu dan bayi.1
Di daerah endemis, banyak wanita hamil dengan parasit malaria dalam darahnya
tidak memiliki gejala-gejala malaria. Meskipun seorang wanita hamil tidak merasa sakit,
infeksi malaria tetap dapat mempengaruhi kesehatannya dan bayinya. Malaria
meningkatkan kejadian anemia pada ibu, yang bila berat akan meningkatkan resiko
kematian maternal. Malaria menyebabkan 2-15% anemia pada wanita hamil.2
Anemia pada malaria disebabkan oleh penghancuran sel darah merah oleh
Plasmodium maupun oleh limpa sebagai mekanisme alamiah terhadap sel darah merah
abnormal. Infeksi malaria akan menyebabkan lisis sel darah merah yang mengandung
parasit sehingga menyebabkan anemia pada ibu.1
Pada infeksi malaria pada ibu hamil, biasanya diperberat dengan adanya
defisiensi mikronutrient seperti besi dan asam folat. Plasmodium hidup di sel darah
merah, mengkonsumsi dan menggunakan hemoglobin untuk pertumbuhan dan replikasi
dan pada akhirnya skizon pecah dan menghancurkan sel-sel eritrosit inang. Eritrosit
terinfeksi dengan perubahan di permukaan dan deformabilitas akan mudah dikenali dan
dihancurkan di limpa.2
3

Selain itu malaria dapat menyebabkan peradangan sistim pencernaan yang sering
dialami oleh penderita malaria tanpa gejala klinis, dan berhubungan dengan gangguan
penyerapan besi pada saluran pencernaan, mengganggu pelepasan zat besi dari hepatosit.
Infeksi yang tanpa disertai gejala biasanya akan berlangsung lama sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya anemia karena rusaknya eritrosit oleh plasmodium dan
juga karena adanya gangguan dalam proses penyerapan zat besi.2
2.1.1 Siklus Hidup Plasmodium Malaria6
Dalam siklus hidupnya plasmodium mempunyai dua hospes yaitu pada manusia dan
nyamuk. Siklus aseksual yang berlangsung pada manusia disebut skizogoni dan siklus
seksual yang membentuk sporozoit didalam nyamuk disebut sporogoni.
1. Siklus Aseksual
Sporozoit yang infeksius dari kelenjar ludah nyamuk anopheles betina dimasukkan
kedalam darah manusia melalui tusukan nyamuk tersebut. Dalam waktu tiga puluh menit
sporozoit tersebut memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai stadium eksoeritrositik
daripada siklus hidupnya. Didalam hati parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang
menjadi merozoit. Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan
bebas, sebagian difagosit. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka
disebut stadium preeritrositik atau eksoeritrositik.
Siklus Eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel-sel darah merah. Parasit sebagai
kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang besar, bentuk tidak teratur dan mulai
membentuk tropozoit, tropozoit berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang
menjadi skizon matang dan membelah banyak menjadi merozoit. Dengan selesainya
pembelahan tersebut sel darah merah pecah dan merozoit, pigmen dan sisa sel keluar
kemudian memasuki plasma darah. Parasit memasuki sel darah merah lainnya untuk
mengulangi siklus skizogoni. Beberapa merozoit memasuki eritrosit dan membentuk skizon
dan lainnya membentuk gametosit yaitu bentuk seksual.
2. Siklus seksual
Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Gametosit yang bersama darah tidak
dicerna oleh sel-sel lain. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi menjadi 6-8 inti yang
bergerak kepinggir parasit. Dipinggir ini beberapa filament dibentuk seperti cambuk dan
bergerak aktif disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi karena masuknya mikrogamet kedalam
4

makrogamet untuk membentuk zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut
ookinet yang dapat menembus lapisan epitel dan membrane basal dinding lambung. Di
tempat ini ookinet membesar yang disebut ookista. Didalam ookista dibentuk ribuan
sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar nyamuk dan bila nyamuk menggigit/
menusuk manusia maka sporokista masuk kedalam darah dan mulailah siklus preeritrositik.

Gambar.1. Skema siklus hidup Plasmodium malaria.


2.1.2 Patofisiologi
Malaria ditularkan ketika nyamuk yang mengandung plasmodium menghisap darah
manusia sehingga terjadi perpindahan sporozoit plasmodium dari air ludah nyamuk ke
jaringan kapiler darah manusia. Dalam beberapa jam parasit akan berpindah ke hati dimana
selanjutnya mengalami siklus dan replikasi sebelum dilepaskan kembali kedalam darah
manusia. Periode inkubasi dimulai dari terjadinya gigitan nyamuk sampai munculnya gejala,
biasanya 7 sampai 30 hari. Gejala yang terjadi demam, sakit kepala, mual, muntah dan
mialgia. Bersamaan dengan terjadinya siklus parasitemia didalam darah penderita akan sering
mengalami gejala setiap 2 atau 3 hari sekali, tergantung pada jenis plasmodium yang
menginfeksi.6
Pada manusia, reproduksi infeksi plasmodium merupakan siklus hidup yang rumit
yang melibatkan infeksi dihati dan eritrosit. Pada saat sporozoit masuk kedalam hati dia akan
memperbanyak diri kemudian masuk kedalam aliran darah dalam bentuk merozoit. Merozoit
akan masuk kedalam eritrosit dimana sel darah yang terinfeksi di fagosit oleh limpa. Gejala
5

malaria terutama disebabkan oleh terserangnya eritrosit serta respon inflamasi oleh tubuh. 6
Pada infeksi malaria, anti-antigen parasit akan memicu lepasnya zat-zat tertentu dari
sel pertahanan tubuh yang disebut sitokin. Sitokin dihasilkan oleh makrofag/monosit dan
limfosit T. Sitokin yang diduga banyak berperan dalam mekanisme patologis malaria adalah
TNF (tumor necrosis factor). TNF- menginduksi pelepasan enzim lisosomal, ekspresi
reseptor permukaan, yang mengakibatkan peningkatan daya adheren sel neutrofil terhadap
berbagai substrat dan sel sehingga daya bunuh netrofil terhadap parasit akan meningkat.
Selain itu TNF- juga memacu pembentukan sitokin lain dan meningkatkan sintesis
prostaglandin.5,6
Pada malaria vivax, jumlah sitokin yang dihasilkan lebih besar dibandingkan infeksi
oleh plasmodium falciparum. Kadar TNF- yang tinggi dihubungkan dengan persalinan
prematur. Kadar TNF- yang tinggi dapat meningkatkan sitoadheren eritrosit berparasit
terhadap sel- sel endothel kapiler. Selain itu peningkatan prostaglandin seiring dengan
peningkatan konsentrasi TNF- plasenta, diduga dapat menyebabkan abortus dan persalinan
prematur.5
Keadaan patologi pada janin 5
Ibu hamil yang menderita malaria dapat berakibat buruk pada janin yang
dikandungnya. Pengaruh pada janin yang paling sering terjadi adalah Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR). Bayi yang lahir dengan berat badan rendah dapat disebabkan oleh kelahiran
prematur dan gangguan pertumbuhan janin. Kondisi ini dapat terjadi akibat malaria di masa
kehamilan karena adanya gangguan suplai nutrisi dan oksigen dari ibu ke janin yang
dikandungnya. Gangguan sirkulasi uteroplasenta terjadi akibat adanya sekuestrasi eritrosit
terinfeksi yang terus mengkonsumsi glukosa dan oksigen eritrosit, terjadinya penebalan
membran sitotropoblas dan kondisi anemia pada ibu. Selain itu, proses inflamasi yang
diperantarai oleh sitokin Th1 akibat infeksi parasit malaria ini juga mempengaruhi secara
langsung proses tumbuh kembang janin. Apabila infeksi yang terjadi cukup berat, malaria di
masa kehamilan dapat mengakibatkan abortus atau stillbirth.

Gambar 2. Mekanisme terjadinya kelahiran prematur dan gangguan


pertumbuhan janin akibat malaria pada kehamilan (Rogerson, 2007)
Perubahan Patologis Plasenta 5
Pada infeksi P.Falciparum terjadi akumulasi eritrosit terinfeksi yang lebih banyak di
daerah intervillus plasenta dibandingkan dengan sirkulasi perifer. Eritrosit yang mengandung
parasit ini lebih banyak dijumpai pada sisi maternal plasenta dibandingkan dengan sirkulasi
fetal. Pada infeksi aktif, plasenta terlihat hitam atau abu-abu dan sinusoid padat dengan
eritrosit terinfeksi. Secara histologis ditandai oleh sel eritrosit berparasit dan pigmen malaria
dalam ruang intervilli plasenta, monosit mengandung pigmen, infiltrasi mono-nuklear, simpul
sinsitial (syncitial knotting), nekrosis fibrinoid, deposit hemozoin hasil penghancuran
eritrosit, kerusakan trofoblas, penebalan membrana basalis trofoblas. Keadaan nekrosis
sinsitiotrofoblas, kehilangan mikrovilli dan penebalan membrana basalis trofoblas akan
menyebabkan aliran darah ke janin berkurang dan akan terjadi gangguan nutrisi pada janin.
Lesi bermakna yang ditemukan adalah penebalan membrana basalis trofoblas,
pengecilan mikrovilli fokal menahun. Bila villi plasenta dan sinus venosum mengalami
kongesti dan terisi eritrosit terinfeksi dan makrofag, maka aliran darah plasenta akan
berkurang dan ini dapat menyebabkan abortus, lahir prematur, lahir mati ataupun berat badan
lahir rendah. Berbeda dengan P.falciparum, P.vivax tidak mengalami sekuestrasi di plasenta.
Keadaan ini mengindikasikan bahwa kejadian berat badan lahir rendah yang diakibatkannya
disebabkan oleh perubahan sistemik dan bukan oleh perubahan lokal pada plasenta.
7

Proses sekuestrasi eritrosit terinfeksi pada plasenta sangat berbeda dengan proses
sekuestrasi yang terjadi pada otak atau organ lain yang diperantarai oleh reseptor CD36 and
ICAM-1. Proses sekuetrasi pada plasenta terjadi karena adanya molekul adhesi chondroitin
sulphate A (CSA) dan hyaluronic acid (HA). Chondroitin sulphate A dan hyaluronic acid ini
diekspresikan oleh sinstiotropoblas yang membatasi ruang intervilli plasenta.
Sekuestrasi terjadi karena adanya ikatan antigen spesifik yang diekspresikan oleh
eritrosit terinfeksi dengan molekul adhesi CSA dan HA. Sekuestrasi dapat dicegah oleh
antibodi yang dapat menghambat terjadinya ikatan antara eritrosit terinfeksi dengan molekul
adhesi tersebut (CSA- binding parasite). Ibu primigravida yang terpapar dengan CSAbinding parasite untuk pertama kalinya akan mengalami parasitemia yang tinggi pada
plasenta dikarenakan belum terbentuknya sistem imun yang efektif. Pada ibu hamil yang
mengalami malaria plasenta dengan derajat parasitemia yang tinggi bisa saja tidak
mengandung parasit di sirkulasi perifernya.
2.1.3 Immunopatologi 1,2,3,6
1. Respon Imun Terhadap Infeksi Malaria Selama Kehamilan
Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler oleh limfosit T dan imunitas
humoral oleh limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD4+) dan
sitotoksik (CD8+) sedangkan berdasarkan sitokin yang dihasilkannya dibedakan menjadi
subset Th-1 (menghasilkan IFN- )dan subset Th-2 (menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10)
sitokin tersebut berperan menghasilkan imunitas humoral. CD-4 berfungsi sebagai regulator
dengan membantu produksi antibodi dan aktifasi fagosit lain, sedangkan CD8+ berperan
sebagai efektor langsung untuk fagositosis parasit dan menghambat perkembangan parasit
dengan menghasilkan IFN
Epitop-epitop antigen parasit akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang berperan
sebagai sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini CD4+. Selanjutnya sel T akan
berdiferensiasi menjadi sel Th-1 dan Th-2, sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang
memacu pembentukan Immunoglobulin oleh limfosit B. Ig tersebut juga meningkatkan
kemampuan fagositosis makrofag. Sel Th-1 menghasilkan IFN- dan TNF- yang
mengaktifkan komponen immunitas seluler seperti makrofag dan monosit serta sel NK.
Wanita hamil memiliki resiko terserang malaria falciparum lebih sering dan lebih
berat dibandingkan wanita tidak hamil. Konsentrasi eritrosit yang terinfeksi parasit banyak
ditemukan di plasenta sehingga diduga respon imun terhadap parasit dibagian tersebut
mengalami supresi. Hal tersebut berhubungan dengan supresi sistim imun baik humoral
8

maupun seluler selama kehamilan sehubungan dengan keberadaan fetus sebagai benda asing
di dalam tubuh ibu.
Supresi sistim imun selama kehamilan berhubungan dengan keadaan hormonal.
Konsentrasi hormon progresteron yang meningkat selama kehamilan berefek menghambat
aktifasi limfosit T terhadap stimulasi antigen. Selain itu efek imunosupresi kortisol juga
berperan dalam menghambat respon imun.
2. Peranan Sitokin Pada Infeksi Malaria1,2,3,6
Antigen-antigen parasit merupakan pemicu pelepasan zat-zat dari sel-sel pertahanan
tubuh yang disebut sitokin. Sitokin dihasilkan oleh makrofag/monosit dan limfosit T, sitokin
yang dihasilkan oleh makrofag adalah TNF, IL-1 dan IL-6 sedangkan limfosit T
menghasilkan TNF-, IFN-gamma, IL-4, IL-8, IL-10 dan IL-12.
Sitokin yang diduga banyak berperan pada mekanisme patologi dari malaria adalah
TNF. TNF- menginduksi terjadinya perubahan pada netrofil yaitu pelepasan enzim
lisosomal, ekspresi reseptor permukaan seperti reseptor Fc dan integrin, agresi dan adhesi
kemotaktik. Selanjutnya terjadi penigkatan daya adheren sel netrofil terhadap berbagai
subtract dan sel sehingga daya bunuh netrofil terhadap parasit meningkat. Selain itu TNF-
juga memacu pembentukan sitokin lain seperti IL-1, IL-6, IL-12, IFN- dan meningkatkan
sintesis prostatglandin. TNF- juga meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM 1
dan CD 36 pada sel-sel endotel kapiler sehingga meningkatkan sitoadheren eritrosit yang
terinfeksi parasit. Peningkatan sitoadheren tersebut meningkatkan risiko malaria serebral.
IFN- memacu pembentukan TNF- dan juga meningkatkan daya bunuh netrofil. IL-1
bekerja sinergis dengan TNF-, sedangkan IL-6 memacu produksi Immunoglobulin oleh sel
limfosit B dan memacu proliferasi dan deferensiasi sel limfosit T. Selain berperan pada
mekanisme patologi malaria, sitokin juga diduga berperan menyebabkan gangguan pada
kehamilan. Pada wanita hamil yang menderita malaria terdapat kenaikan TNF-, IL-1 dan IL8 yang sangat nyata pada jaringan plasenta dibanding wanita hamil yang tidak menderita
malaria. Sitokin-sitokin tersebut dihasilkan oleh makrofag hemozoin yang terdapat di
plasenta.
Kadar TNF- yang tinggi dapat meningkatkan sitoadheren eritrosit yang terinfeksi
parasit terhadap sel-sel endotel kapiler. Kadar TNF- plasenta yang tinggi akan memacu
proses penempelan eritrosit berparasit pada kapiler plasenta dan selanjutnya akan
menimbulkan gangguan aliran darah plasenta dan akhirnya gangguan nutrisi janin. Bila
proses berlanjut dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan janin sehingga bayi yang
9

dilahirkan memiliki berat badan rendah. Selain itu peningkatan sintesis prostaglandin seiring
dengan peningkatan TNF- plasenta diduga dapat menyebabkan kelahiran prematur.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa selain kenaikan TNF-, IL-1 dan IL-8 selama
kehamilan juga didapatkan peningkatan IL-2, IL-4 dan IL-6.

Gambar 3. Peran sitokin dan makrofag pada Malaria.(kutip.1)


2.1.4 Gejala Klinis
Gejala utama infeksi malaria adalah demam sampai menggigil yang diduga
berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit/ skizon) dan terbentuknya sitokin
dan atau toksin lainnya. Pada daerah hiperendemik sering ditemukan penderita dengan
parasitemia tanpa gejala demam. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik,
anemia dan splenomegali. Sering terdapat gejala prodromal seperti malaise, sakit kepala,
nyeri pada tulang/otot, anoreksia dan diare ringan.1 Namun sebenarnya efek klinik malaria
pada ibu hamil lebih tergantung pada tingkat kekebalan ibu hamil terhadap penyakit itu,
sedangkan kekebalan terhadap malaria lebih banyak ditentukan dari tingkat transmisi malaria
tempat wanita hamil tinggal/berasal, yang dibagi menjadi 2 golongan besar :
A. Stable transmission / transmisi stabil, atau endemik (contoh : Sub-Sahara Afrika)
Orang-orang di daerah ini terus-menerus terpapar malaria karena sering menerima
gigitan nyamuk infektif setiap bulannya. Kekebalan terhadap malaria terbentuk secara
signifikan.

10

B. Unstable transmission / trans-misi tidak stabil, epidemik atau non-endemik (contoh : Asia
tenggara dan Amerika selatan)
Orang-orang di daerah ini jarang terpapar malaria dan hanya menerima rata-rata < 1
gigitan nyamuk infektif/tahun. Wanita hamil (semi-imun) didaerah transmisi stabil/endemik
tinggi akan mengalami:
-

Peningkatan parasite rate (pada primigravida di Afrika parasite rate pada wanita hamil
meningkat 30-40% dibandingkan wanita tidak hamil)

Peningkatan kepadatan (densitas) parasitemia perifer

Menyebabkan efek klinik lebih sedikit, kecuali efek anemia maternal sebagai komplikasi
utama yang sering terjadi pada primigravida. Anemia tersebut dapat memburuk sehingga
menyebabkan akibat serius bagi ibu dan janin 5
Sebaliknya di daerah tidak stabil/non-endemik/endemik rendah dimana sebagian besar

populasinya merupakan orang-orang yang non-imun terhadap malaria, kemungkinan


mengalami komplikasi lebih besar. Kehamilan akan meningkatkan risiko penyakit maternal
berat, kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal. Sementara untuk ibu yang
semi-immun komplikasi yang terjadi adalah terjadinya anemia dan parasitemia pada plasenta,
tetapi tidak sampai mengenai janin (angka kejadian neonatorum adalah 0,03%), tetapi dapat
menyebabkan BBLR. 1,3,5
2.1.5

Diagnosis
Malaria pada kehamilan dipastikan dengan ditemukannya parasit malaria di dalam

darah maternal atau darah plasenta / melalui biopsi. Gambaran klinik malaria pada wanita
non-imun (di daerah non-endemik) bervariasi dari malaria ringan tanpa kom-plikasi
(uncomplicated malaria) dengan demam tinggi, sampai malaria berat (complicated ma-laria)
dengan risiko tinggi pada ibu dan janin (maternal mortality rate 20-50 % dan sering fatal bagi
janin).
Sedangkan gambaran klinik malaria pada wanita di daerah endemik sering tidak jelas,
mereka biasanya memiliki kekebalan yang semi-imun, sehingga :
gejala-gejala (misal : demam) dan tidak dapat didiagnosis klinik.

11

Tidak menimbulkan

Pembagian Diagnosis Malaria pada Umumnya


1.Diagnosis Klinis :
a. Malaria klinis ringan/tanpa komplikasi.
-

Demam, menggigil . dapat terjadi gejala klasik malaria yang khas terdiri dari 3
stadium yang berurutan, yaitu menggigil (15 60 menit), demam (2-6 jam),
berkeringat (2-4 jam). Disertai mual, muntah, diare, nyeri otot, dan pegal.

Riwayat sakit malaria, riwayat tinggal di daerah malaria, riwayat pernah

mendapat pengobatan malaria, transfusi darah.

Pada pemeriksaan fisik : Temperatur > 37,5oC, pucat, dapat ditemukan splenomegali,
hepatomegali.

Dapat ditemukan anemia.

Di daerah endemis malaria, di mana penderita telah mempunyai imunitas terhadap malaria,
gejala klasik di atas tidak timbul berurutan, bahkan tidak semua gejala tersebut dapat
ditemukan.1,3
b. Malaria klinis berat/dengan komplikasi.
WHO mendefinisikan ma-laria berat sebagai ditemukan-nya Plasmodium falciparum
ben-tuk aseksual dengan satu atau beberapa komplikasi/manifesta-si klinik berat, yaitu :
1. Gangguan kesadaran sampai koma (malaria serebral).
2. Anemia berat (Hb < 5 g%, Ht < 15 %).
3. Hipoglikemia (kadar gula darah < 40 mg%).
4. Udem paru / ARDS.
5. Gagal sirkulasi atau syok, hipotensi (tek. Sistolik < 70 mm Hg pada dewasa dan <
50 mmHg pada anak-anak), disertai dingin;
6. Gagal ginjal akut (ARF).
7. Ikterus (bilirubin > 3 mg%), disertai disfungsi organ vital
8. Kejang umum berulang ( > 3 x/24 jam).
9. Asidosis metabolik.
10. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit & asam-basa.
11. Perdarahan abnormal dan gangguan pembekuan darah.
12. Hemoglobinuria
13. Kelemahan otot (tidak bisa duduk/berjalan) tanpa kelainan neurologik;
14. Hiperparasitemia > 2%

12

15. Hiperpireksia (Suhu > 40 C)


16. Gagal ginjal akut (urin < 400 ml/jam )
Seorang penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi (un-complicated) dapat menjadi berat
(complicated) kalau tidak di-obati secara dini dan semestinya.5
2. Diagnosis Laboratorium (dengan pemeriksaan Sediaan Darah)
Diagnosis pasti infeksi malaria dapat dilakukan baik dengan pemeriksaan
mikroskopik (saat ini merupakan standar baku emas) maupun dengan rapid diagnostic test
yang dapat mendeteksi antigen spesifik parasit. Pengalaman dan alat yang mencukupi akan
dapat mendeteksi 15 parasit/uL. Namun selama kehamilan densitas parasit rendah dan parasit
berkumpul di plasenta, yang berbahaya baik terhadap ibu dan janin, oleh sebab itu sensitifitas
mikroskopik berkurang pada kasus seperti ini.
Kurangnya sensitifitas mikroskopik merupakan kendala dalam mendeteksi dan
menilai efektifitas terapi malaria pada wanita hamil. Rapid diagnostik test Akhir-akhir ini
banyak digunakan. Uji ini praktis namun pada kehamilan kurang sensitif. PCR digunakan
hanya pada kasus yang selektif, digunakan jika diagnosis film darah tidak cukup kuat. PCR
juga digunakan untuk kepentingan penelitian. Pemeriksaan ini lebih akurat dari mikroskopi
namun sangat mahal dan memerlukan seorang ahli. Metoda diagnostik yang lain adalah
deteksi antigen HRP II dari parasit dengan metode Dipstick test, selain itu dapat pula
dilakukan uji imunoserologis yang lain seperti Tera Radio Immunologic (RIA) dan Tera
Immuno enzimatik (ELISA)
Di daerah yang intensitas penularannya stabil tidak ditemukannya plasmodium pada
darah perifer dalam sekali pemeriksaan tidak langsung mengkesampingkan adanya infeksi.
Parasitemia dapat berfluktuasi dan tetap berada dibawah kadar deteksi (total biomass kirakira 108 parasit) oleh imunitas tubuh dimana P,falciparum berkumpul di plasenta.
Pemeriksaan skrining darah yang lebih dini dan sering pada wanita hamil akan bermanfaat
untuk

mendeteksi malaria dan terapi malaria secara dini. Deteksi dini dan terapi

menunjukkan adanya penurunan kasus malaria plasenta, sehingga merupakan langkah kunci
dalam menurunkan pengaruh yang berbahaya terhadap ibu dan janin.

13

Gambar 4. bentuk-bentuk Plasmodium dalam darah

2.1.6 Pengaruh Malaria Pada Ibu Hamil


a. Komplikasi Pada Ibu
Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan, tergantung pada
tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit malaria dan paritas (jumlah kehamilan).
Ibu hamil dari daerah endemi yang tidak mempunyai kekebalan dapat menderita malaria
klinis berat sampai menyebabkan kematian. Di daerah endemisitas tinggi, malaria berat dan
kematian ibu hamil jarang dilaporkan. Gejala klinis malaria dan densitas parasitemia
dipengaruhi paritas, sehingga akan lebih berat pada primigravida (kehamilan pertama)
daripada multigravida (kehamilan selanjutnya). Pada ibu hamil dengan malaria, gejala klinis
yang penting diperhatikan ialah demam, anemia, hipoglikemia, edema paru, akut dan, malaria
berat lainnya.
(1). Demam
Demam merupakan gejala akut malaria yang lebih sering dilaporkan pada ibu hamil
dengan kekebalan rendah atau tanpa kekebalan, terutama pada Primigravida. Pada ibu hamil
yang multigravida dari daerah endemisitas tinggi jarang timbul gejala malaria termasuk
demam, meskipun terdapat parasitemia yang tinggi.
(2) Anemia
Anemia telah sering dikaitkan dengan malaria, prevalensinya tergantung pada
kelompok usia dan daerah endemik penularan malaria. Infeksi malaria akan menyebabkan
lisis sel darah merah yang mengandung parasit sehingga menyebabkan anemia pada ibu.
Jenis anemia yang ditemukan adalah hemolitik normokrom, dari anemia ringan (Hb 10 - 12
14

g/dl), sedang ( Hb 7- 10 g/dl ), berat (Hb < 7 g/dl) dan sangat berat (Hb < 4 g/dl ). Anemia
dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada
trimester I dan III atau kadar < 10,5 gr% pada trimester II.
Plasmodium hidup di sel darah merah, mengkonsumsi dan menggunakan hemoglobin
untuk pertumbuhan dan replikasi dan pada akhirnya skizon pecah dan menghancurkan sel-sel
eritrosit inang. Sehingga anemia pada malaria terjadi karena lisis sel darah merah yang
mengandung parasit. Hubungan antara anemia dan splenomegali dilaporkan oleh Brabin
(1990) yang melakukan penelitian pada wanita hamil di Papua Neu Geuinea, dan menyatakan
bahwa makin besar ukuran limpa makin rendah nilai Hb-nya. Pada penelitian yang sama
Brabin melaporkan hubungan BBLR (berat badan lahir rendah) dan anemia berat pada
primigravida. Ternyata anemia yang terjadi pada trimester I kehamilan, sangat menentukan
apakah wanita tersebut akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau tidak karena
kecepatan pertumbuhan maksimal janin terjadi sebelum minggu ke 20 usia kehamilan
Gejala anemia pada kehamilan yaitu ibu mengeluh cepat lelah, sering pusing, mata
berkunang-kunang, malaise, lidah luka, nafsu makan turun (anoreksia), konsentrasi hilang,
nafas pendek (pada anemia parah) dan keluhan mual muntah lebih hebat pada hamil muda
Pada infeksi Plasmodium falciparum dapat terjadi anemia berat karena semua umur
eritrosit dapat diserang. Eritrosit berparasit maupun tidak berparasit mengalami hemolisis
karena fragilitas osmotik meningkat. Selain itu juga terjadi peningkatan autohemolisis baik
pada eritrosit berparasit maupun tidak berparasit sehingga waktu hidup eritrosit menjadi lebih
singkat dan anemia lebih cepat terjadi.
Pada infeksi Plasmodium vivax tidak terjadi destruksi darah yang berat karena hanya
retikulosit yang diserang. Anemia hemolitik dan megaloblastik pada kehamilan mungkin
karena sebab nutrisional atau parasit terutama sekali pada wanita primipara. Akibat anemia
adalah syok hipovolemia akibat kehilangan darah sewaktu melahirkan dan meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi puerperalis/pneumonia Staphylococcus.
Laporan WHO menyatakan bahwa anemia berpengaruh terhadap morbiditas ibu
hamil, dan secara tidak langsung dapat menyebabkan kematian ibu dengan meningkatnya
angka kematian kasus yang disebabkan oleh pendarahan setelah persalinan (Post-partum
hemorrhage)
(3) Malaria serebral
Malaria serebral karena infeksi Plasmodium vivax juga dilaporkan terjadi pada
beberapa penelitian, meskipun jumlahnya lebih jarang dibandingkan pada infeksi
Plasmodium falciparum. Keadaan malaria serebral antaralain disebabkan oleh obstruksi
15

mekanis pembuluh darah serebral akibat kemampuan deformabilitas eritrosit berparasit


berkurang atau akibat adhesi eritrosit berparasit pada endotel vaskuler yang akan melepaskan
faktor faktor toksik dan akhirnya menyebabkan permeabilitas vaskuler meningkat, sawar
darah otak rusak, edema serebral dan menginduksi respon radang pada dan di sekitar
pembuluh darah serebral. Malaria serebral sering dijumpai pada daerah endemik.
(4). Hipoglikemi
Komplikasi malaria berupa hipoglikemia lebih sering terjadi pada wanita hamil
dibandingkan dengan individu yang tidak hamil. Keadaan hipoglikemia ini sering tidak
terdeteksi karena gejala hipoglikemia itu sendiri mirip dengan gejala malaria. Gangguan
susunan saraf pusat akibat hipoglikemi sering diragukan dengan malaria serebral.
Hipoglikemia yang tidak diatasi segera dapat jatuh ke keadaan asidosis laktat yang dapat
mengakibatkan fetal distress.
Hipoglikemia akibat malaria pada wanita hamil terjadi karena beberapa hal antara
lain; adanya perubahan metabolisme karbohidrat terutama pada trimester akhir kehamilan,
kebutuhan glukosa dari eritrosit yang terinfeksi lebih tinggi dibandingkan dengan eritrosit
yang tidak terinfeksi, peningkatan fungsi sel beta pankreas, peningkatan sekresi adrenalin dan
disfungsi susunan saraf pusat.
(5) Edema paru akut
Edema paru akut sering terjadi pada trimester kedua dan ketiga. Kondisi ini terjadi
karena beberapa sebab yaitu peningkatan permeabilitas vaskuler sekunder terhadap emboli
dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), disfungsi berat mikrosirkulasi, proses
alergi, terapi cairan yang berlebihan bersamaan dengan gangguan fungsi kapiler alveoli,
malaria serebral, tingkat parasitemi yang tinggi, hipotensi, asidosis dan uremia.
(6) Infeksi Plasenta
Infeksi plasenta dengan parasit malaria lebih sering pada daerah endemik tinggi
daripada daerah non-endemik, dan lebih sering pada primigravida semi-imun dari pada
multigravida semi-imun. Wanita semi-imun (yang tinggal di daerah endemik) sering
mempunyai pola parasitemia perifer rendah dan infeksi berat plasenta, sedangkan wanita nonimun (di daerah nonendemik) sering mempunyai pola kebalikannya. Infeksi plasenta
menurunkan persediaan oksigen dan glukosa untuk perkembangan janin melalui mekanisme
pemblokiran penebalan membran basal trofoblast, konsumsi nutrien dan O2 oleh parasit di
plasenta dan pemindahan O2 yang rendah oleh eritrosit yang terinfeksi parasit di plasenta
kepada janin.

16

Pada infeksi P.falciparum terjadi akumulasi eritrosit terinfeksi yang lebih banyak di
daerah intervillus plasenta dibandingkan dengan sirkulasi perifer. Eritrosit yang mengandung
parasit ini lebih banyak dijumpai pada sisi maternal plasenta dibandingkan dengan sirkulasi
fetal. Pada infeksi aktif, plasenta terlihat hitam atau abu-abu dan sinusoid padat dengan
eritrosit terin-feksi. Keadaan nekrosis sinsitiotrofoblas, kehilangan mikrovilli dan penebalan
membrana basalis trofoblas akan menyebabkan aliran darah ke janin berkurang dan akan
terjadi gangguan nutrisi pada janin. Lesi bermakna yang ditemukan adalah penebalan
membrana basalis trofoblas, pengecilan mikrovilli fokal menahun. Bila villi plasenta dan
sinus venosum mengalami kongesti dan terisi eritrosit terinfeksi dan makrofag, maka aliran
darah plasenta akan berkurang dan ini dapat menyebabkan abortus, lahir prematur, lahir mati
ataupun berat badan lahir rendah. Berbeda dengan P.falciparum, P.vivax tidak mengalami
sekuestrasi di plasenta. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kejadian berat badan lahir
rendah yang diakibatkannya disebabkan oleh perubahan sistemik dan bukan oleh perubahan
lokal pada plasenta.
(7) Sepsis puerperal & perdarahan post partum
Sepsis puerperal adalah infeksi bakteri dalam darah pada waktu melahirkan dan lebih
sering fatal pada wanita hamil dengan anemia berat dan malaria. Komplikasi ini sering
merupakan penyebab mortalitas di negara berkembang.
2). Pengaruh Pada Janin
Komplikasi malaria pada kehamilan bagi janin adalah :
(1) Berat badan lahir rendah
Prevalensi berat badan lahir rendah pada bayi di daerah endemik malaria berkisar
antara 15 %-30%. Komplikasi maternal infeksi plasmodium seperti anemia juga berkaitan
dengan berat badan lahir rendah. Masalah alamiah yang multifaktor dan kesulitan penilaian
usia gestasi yang akurat mempersulit untuk menentukan pengaruh langsung malaria terhadap
berat badan lahir.
Secara teoritis penjelasan mengenai kaitan infeksi dan abnormalitas pertumbuhan
janin adalah akibat kerusakan plasenta. Infeksi malaria menyebabkan penipisan membran
dasar trofoblas. Sinusoid plasenta tertutup oleh pengumpalan eritrosit yang mengandung
parasit, ini bersamaan dengan penumpukan makrofag intervillus dan deposit fibrin perivillus
yang diduga sebagai penyebab obstruksi mikrosirkulasi dan penurunan aliran nutrisi terhadap
janin.3

17

Penderita malaria biasanya menderita anemia sehingga akan menyebabkan gangguan


sirkulasi nutrisi pada janin dan berakibat terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan janin
dalam kandungan. Sebuah review yang diterbitkan Lancet Infection Disease tahun 2007,
menyatakan bahwa BBLR merupakan komplikasi yang sering terjadi, hampir 20% BBLR
disebabkan karena malaria dalam kehamilan. Plasmodium vivax dapat juga meningkatkan
risiko BBLR.1
(2) Kematian janin dalam kandungan
Kematian janin intrauterin dapat terjadi sebagai akibat hiperpireksia, anemia berat,
penimbunan parasit di dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun akibat
terjadinya infeksi transplasental. Infeksi malaria vivax juga meningkatkan risiko kematian
janin dalam kandungan dan abortus. Penelitian di Papua dengan infeksi plasmodium vivax
dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan.1
(3) Abortus
Abortus pada usia kehamilan trimester I lebih sering terjadi karena demam tinggi
sedangkan abortus pada usia trimester II disebabkan oleh anemia berat. Penelitian di Pakistan
menyatakan bahwa 14% ibu hamil yang mengalami infeksi malaria dalam kehamilan
mengalami abortus.1
(4) Kelahiran Prematur
Persalinan prematur umumnya terjadi sewaktu atau tidak lama setelah serangan
malaria. Beberapa hal yang menyebabkan persalinan prematur adalah febris, dehidrasi,
asidosis atau infeksi plasenta. Penelitian di Pakistan menyatakan bahwa 6% ibu hamil yang
mengalami infeksi malaria dalam kehamilan mengalami partus prematurus. Infeksi
Plasmodium vivax juga berkontribusi terhadap prevalensi kelahiran prematur.1,5
(5) Malaria kongenital
Plasenta mempunyai fungsi sebagai barier protektif dari berbagai kelainan yang
terdapat dalam darah ibu sehingga bila terinfeksi maka parasit malaria akan ditemukan di
plasenta bagian maternal dan hanya dapat masuk ke sirkulasi janin bila terdapat kerusakan
plasenta misalnya pada persalinan sehingga terjadi malaria kongenital. Gejala klinik malaria
kongenital antara lain iritabilitas, tidak mau menyusu, demam, pembesaran hati dan limpa
(hepatosplenomegali) dan anemia tanpa retikulositosis dan tanpa ikterus.
Malaria kongenital dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
a. True Congenital Malaria (Acquired during pregnancy)

18

Pada malaria kongenital ini sudah terjadi kerusakan plasenta sebelum bayi dilahirkan.
Parasit malaria ditemukan pada darah perifer bayi dalam 48 jam setelah lahir dan gejalagejalanya ditemukan pada saat lahir atau 1 - 2 hari setelah lahir.
b. False Congenital Malaria (Acquired during labor)
Malaria kongenital ini paling banyak dilaporkan dan terjadi karena pelepasan plasenta
diikuti transmisi parasit malaria ke janin. Gejala gejalanya muncul 3 - 5 minggu setelah bayi
lahir. 4
2.1.7

Penatalaksanaan1,3

1. Terapi pada spesies non-falciparum


Sedikit sekali diketahui pengaruh spesies malaria non-falciparum terhadap ibu dan
janin kecuali P,vivax, akan tetapi diduga dua spesies yang lain juga mempunyai pengaruh
yang sama. Cloroquin (25 mg/kg BB) aman diberikan pada semua trisemester dan efektif
pada episode malaria non-falciparum kecuali P,vivax di Asia Tenggara (kawasan Indonesia)
dimana telah terjadi resistensi. Primakuin dikontraindikasikan terhadap wanita hamil dan
menyusui oleh karena dapat mengakibatkan hemolisis sel darah merah.
Wanita hamil yang terinfeksi oleh P,falciparum harus segera diberikan terapi
walaupun tidak menunjukkan gejala. Terapi berguna menghambat progresifitas menjadi
simtomatik atau infeksi berat sehingga dapat mengurangi anemia maternal dengan
membunuh parasit di plasenta. Terapi yang dini juga dapat mengurangi ancaman terhadap
janin. Klorokuin tidak lagi efektif namun masih luas digunakan oleh karena harga yang
murah dan mudah didapat.
Kuinin dengan Clindamycin terbukti mempunyai efektifitas yang tinggi terhadap
strain multidrug-resisten P,falciparum. Kombinasi obat ini direkomendasikan untuk
trisemester pertama, sedangkan artemisin based combination therapy (ACT) efektif pada
trisemester kedua dan tiga dan digunakan sebagai terapi lini pertama sesuai dengan guideline
dari WHO. Penggunaan ACT didukung oleh bukti klinis terhadap keamanan dan efektifitas
derivat artemisin terhadap lebih dari 1000 wanita hamil. Dosis artesunat diberikan mulai dari
4 mg/kg single dose dan meningkat sampai 12-16 mg/kg BB total dosis, diberikan 3-7 hari,
dan tidak dijumpai efek samping terhadap ibu dan janin.

19

Kuinin masih merupakan terapi pilihan parenteral terhadap malaria berat dengan
kehamilan, akan tetapi memerlukan waktu terapi yang lama (7 hari), toleransinya rendah
(gastrointestinal dan pendengaran) dan rasa yang tidak menyenangkan (sangat pahit).
Artesunat dan artemeter saat ini direkomendasikan sebagai terapi malaria berat pada wanita
hamil, oleh karena kerjanya cepat dan tidak menimbulkan hipoglikemia. Pada uji random
yang menggunakan artesunat intravena (2-4 mg/kg dosis inisial selama 12 jam, kemudian
dilanjutkan 2-4 mg/kg perhari) didapat penurunan mortalitas pada orang dewasa asia sebesar
34% ( termasuk 49 wanita hamil) yang dibandingkan dengan kuinin.
Data yang ada yang didapat dari terapi artesunat pada lebih dari 600 orang wanita
hamil trisemester dua dan trisemester tiga tidak menunjukkan adanya maternal dan fetal
toxicity dan juga aman digunakan pada ibu yang menyusui.
Penatalaksanaan Komplikasi 1,3
1. Malaria serebral
Malaria serebral didefinisikan sebagai unarousable coma pada malaria falciparum, dengan
manifestasi perubahan sensorium yaitu perilaku abnormal dari yang paling ringan sampai
coma yang dalam. Gangguan kesadaran pada malaria serebral diduga karena adanya
gangguan metabolisme di otak. Prinsip penanganan malaria serebral sama dengan malaria
berat.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia sering terjadi pada ibu hamil baik sebelum maupun sesudah terapi kina
akibat meningkatnya kebutuhan metabolic selama demam, penyebab lain diduga karena
terjadi peningkatan uptake glukosa oleh parasit malaria. Tindakan diberikan glukosa 40 %
secara bolus, kemudian infuse glukosa 10 % perlahan-lahan untuk maintenance/ mencegah
hipoglikemia berulang. Monitor teratur kadar gula darah setiap 4-6 jam.
3. Edema Paru
Edema paru merupakan komplikasi fatal yang sering menyebabkan kematian oleh
karenanya pada malaria berat sebaiknya dilakukan penanganan untuk mencegah terjadi
edema paru. Bila ada tanda edema paru akut berikan oksigen untuk memperbaiki hipoksia,
batasi pemberian cairan, bila disertai anemia berikan PRC dan berikan diuretik bila perlu
diulang satu jam kemudian atau dosis ditingkatkan sampai 200 mg (maksimun).

20

Tabel 1. Pilihan terapi malaria dengan kehamilan.1

2.1.8

Pencegahan
Setiap wanita yang tinggal di daerah endemis atau akan bepergian ke daerah endemis

sebaiknya diberikan kemoprofilaksis walaupun hal ini tidak memberikan perlindungan


absolut terhadap infeksi malaria, namun dapat menurunkan parasitemia dan mencegah
komplikasi malaria berat dan meningkatkan berat badan bayi.
Klorokuin merupakan obat yang paling aman bagi wanita hamil dengan dosis 300 mg basa (2
tablet) diberikan setiap minggu. Bagi wanita hamil yang akan bepergian ke daerah endemis

21

malaria pemberian dimulai 1 minggu sebelum berangkat, selama berada di daerah endemis,
sampai 4 minggu setelah keluar dari daerah tersebut. 1
Upaya lain untuk pencegahan infeksi malaria adalah dengan memutuskan rantai
penularan pada host, agen ataupun lingkungan dengan cara : Mengurangi kontak/gigitan
nyamuk Anopheles dengan menggunakan kelambu, obat nyamuk, membunuh nyamuk
dewasa membunuh jentik nyamuk
Untuk mencegah dan menanggulangi malaria pada ibu hamil, diperlukan integrasi program
ANC dalam upaya-upaya:
1. Pencegahan dan pengobatan malaria yang memadai pada ibu hamil diawali dengan
kegiatan pendataan ibu hamil dalam Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K).
2. Penggunaan kelambu berinsektisida bagi ibu hamil/pasca melahirkan dan bayinya.
Kelambu diberikan pada saat ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilannya pada
triwulan pertama (K1 murni).
3. Kemudahan akses pelayanan kesehatan yang cepat untuk diagnosis dan pengobatan
malaria.
4. Tanggap darurat terhadap kejadian luar biasa dan kegawatdaruratan akibat malaria.
5. Peran serta aktif keluarga dan masyarakat dalam pencegahan malaria pada ibu hamil
dan bayi 3,6
2.2

IUGR 7
Intra uterine growth restriction (IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat (PJT)

adalah suatu keadaan dimana terdapat gangguan pertumbuhan janin selama dalam kandungan
sehingga berat badan lahir dibawah 10 persentil menurut usia kehamilannya. Selain itu ada
yang mengatakan bahwa defenisi pertumbuhan janin terhambat merupakan defenis postnatal,
oleh karena diagnosis pasti pertumbuhan janin terhambat baru diketahui setelah bayi
dilahirkan. PJT atau Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) merupakan suatu keadaan
dimana janin tidak mampu berkembang sesuai dengan ukuran normal akibat adanya
gangguan nutrisi dan oksigenasi, atau dengan kata lain suatu keadaan yang dialami bayi
dengan berat badan lahir dibawah batasan tertentu dari umur kehamilannya. Defenisi PJT
yang sering digunakan adalah bayi yang mempunyai berat badan lahir dibawah persentil ke10 dari kurva berat badan normal yang disesuaikan dengan usia kehamilan (Lugo, 1971).

22

Gambar 5. Kurva hubungan antara Berat badan Lahir dengan usia kehamilan
Definisi dari Hambatan Pertumbuhan Janin Intrauterin (Intrauterine Growth
Restriction/ IUGR) yang dipakai di seluruh dunia adalah berat badan janin yang kurang
dari persentil 10 untuk usia kehamilan, atau dapat disebut juga Kecil untuk Masa
Kehamilan (KMK) dan merupakan kondisi yang patologis. Berdasarkan ketentuan ini
selalu didapatkan 10% populasi yang menderita hambatan pertumbuhan intrauterin
(IUGR). Tetapi sebenarnya hal ini tidak sesuai dengan kenyataan karena tidak semua bayi
dengan berat badan lahir dibawah 10 persentil mengalami hambatan pertumbuhan
intrauterin. Kira-kira 25 60% dari bayi-bayi tersebut memang kecil badannya karena
dipengaruhi faktor konstitusi, seperti ras, paritas, tinggi badan ibu, dan berat badan ibu.
Bahkan bayi-bayi ini sebenarnya termasuk sesuai untuk masa kehamilan (SMK) bila
faktor konstitusi tersebut diperhitungkan. Oleh sebab itu terdapat ketentuan lain tentang
bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan intrauterin seperti berat badan lahir di
bawah persentil lima (menurut Seeds) atau berat badan lahir dibawah 2 SD dari berat
rata-rata bayi normal (menurut Usher dan McLean). Sehingga menurut ketentuan ini
hanya 3% populasi yang benar-benar mengalami hambatan pertumbuhan intrauterin.
Secara klinis definisi ini sangat bermakna, karena prognosis buruk yang ditandai dengan
peningkatan mortalitas dan morbiditas terutama didapatkan pada bayi dengan berat badan
lahir di bawah persentil 3.2,3

23

Beberapa faktor resiko terjadinya kehamilan dengan IUGR karena pengaruh penyakit
ibu (hipertensi, DM, Infeksi, hipoksemia), malnutrisi ibu, kelainan bawaan atau kelainan
kromosom pada janin, gestasi multiple dan kelainan plasenta (Department of Midwifery,
2009).
Penyebab Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia menurut estimasi World Health
Organization (WHO) pada tahun 2003 yaitu IUGR 19,8%, BBLR 10,5%, kelahiran prematur
18,5% dan kematian bayi 33 per 1.000 kelahiran hidup (Kramer MS, 2003).
Di Indonesia, pada penelitian pendahuluan tahun 2004-2005, prevalensi pertumbuhan
janin terhambat adalah 4,4%. Morbiditas dan mortalitas perinatal kehamilan dengan
pertumbuhan janin terhambat lebih tinggi dari pada kehamilan normal. Mortalitas perinatal
bayi dengan pertumbuhan janin terhambat 7-8 kali lebih tinggi dari pada bayi normal. Kirakira 26% kejadian lahir mati berhubungan dengan pertumbuhan janin terhambat.
Pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan sangat tergantung pada
kondisi kesehatan ibu. Kesehatan ibu yang terganggu akan berdampak bayi dengan kelahiran
aterm tetapi terdapat gangguan dalam pertumbuhan (Intra Uterine Growth Restriction/IUGR)
atau merupakan kombinasi keduanya (UNICEF & WHO, 2004).
2.2.1 Klasifikasi 8
Klasifikasi

Renfield (1975) membagi Intrauterine Growth Retardation (IUGR) menjadi dua tipe,
yaitu tipe I (Proportionate IUGR) atau tipe simetris, dan tipe II (Disproportionate IUGR)
atau tipe asimetris. Kedua gambaran klinis ini tergantung dari lama, intensitas, dan waktu
timbulnya gangguan yang mempengaruhi pertumbuhan janin tersebut.1
Terdapat tiga fase pertumbuhan fetal (Pollack dan Divon). Pada fase pertama yang
dimulai dari saat konsepsi sampai awal trimester kedua, terjadi peningkatan jumlah sel
dari semua organ (hiperplasia seluler). Pada fase kedua terjadi peningkatan jumlah serta
ukuran sel (hiperplasia dan hipertrofi). Sedangkan pada Fase ketiga yang dimulai dari usia
kehamilan 32 minggu ke atas terjadi hipertrofi sel yang dominan sehingga ukuran sel
meningkat dengan cepat dan berat badan janin akan bertambah sekitar 200 gram
perminggu.8
Pada IUGR tipe simetris akan didapatkan perbandingan ukuran lingkar kepala dan
lingkar perut yang hampir sama. Kondisi ini terjadi pada bayi yang mengalami distress
yang lama di mana gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan24

bulan sebelum bayi lahir yaitu pada fase pertama atau kedua kehamilan sehingga terjadi
penurunan jumlah dan ukuran sel. Akibatnya berat, panjang, dan lingkar kepala bayi dalam
proporsi yang seimbang tetapi secara keseluruhan bayi termasuk KMK. Bayi tipe ini tidak
akan menunjukkan adanya wasted karena gangguan terjadi sebelum terbentuk jaringan
lemak subkutan terbentuk. Tipe ini sering disebabkan oleh kelainan struktur dan
kromosom, infeksi virus, dan terpapar bahan kimia.
Pada IUGR tipe asimetris akan didapatkan perbandingan ukuran lingkar kepala yang
lebih besar daripada lingkar perut. Kondisi ini terjadi akibat distress subakut yang terjadi
pada beberapa minggu sampai beberapa hari sebelum janin lahir yaitu pada fase akhir
kehamilan. Pada kondisi ini energi yang diperoleh janin akan digunakan terutama untuk
pembentukan organ-organ vital seperti otak. Lingkar perut akan didapatkan mengecil
karena berkurangnya ukuran hati, ekstrimitas yang tampak kurus karena berkurangnya
massa otot, dan kulit yang tipis karena berkurangnya lemak subkutan. Fenomena
perlindungan terhadap sistem susunan syaraf pusat ini dikenal dengan sebutan brain
sparing effect. Akibat dari fenomena ini akan didapatkan bayi yang kurus dan seolaholah lebih panjang karena panjang dan lingkar kepala yang normal tetapi berat badan lahir
tidak sesuai dengan masa gestasi. Tipe ini sering disebabkan penyakit maternal seperti
hipertensi, anemia, dan insufisiensi plasenta.1,2,3,7
Klasifikasi lain adalah berdasarkan asal gangguan yang menyebabkan terjadinya
IUGR. Berdasarkan hal ini, IUGR dibagi menjadi tipe intrisik dan tipe ekstrinsik.9
Tipe intrinsik sering diakibatkan kondisi dari faktor janin itu sendiri seperti kelainan
kromosom, infeksi intrauterine dini (seperti infeksi Cytomegalovirus), paparan zat
teratogenik, dan faktor genetik; dan faktor plasenta seperti perdarahan pada trimester awal
dan infark plasenta. Faktor intrinsik ini biasanya menyebabkan terjadinya pertumbuhan
janin yang simetris. Bayi dengan gangguan faktor intrinsik biasanya juga tumbuh lambat
karena potensi tumbuh janin telah terganggu pada awal kehamilan. Intervensi medis yang
dilakukan untuk memperbaiki pertumbuhan bayi pada tipe ini biasanya tidak terlalu
bermakna karena faktor penyebabnya sering tidak dapat dikoreksi.9
Tipe ekstrinsik sering diakibatkan gangguan nutrisi dan akibat insufisiensi plasenta.
Beberapa penyebab terjadinya IUGR tipe ekstrinsik di antaranya: patologi plasenta
(infeksi, vaskulopati), hipertensi maternal (terkontrol maupun tidak terkontrol), penyakitpenyakit vaskular lain, animia, hipoksia, dan kekurangan gizi. Janin tipe ekstrinsik dalam
25

pertumbuhannya serupa dengan pertumbuhan janin yang kekurangan kalori: melambatnya


pertumbuhan abdomen, kurva penambahan berat badan yang rata, tetapi pertumbuhan
kepala dan ekstrimitas tidak terganggu. Ketidaksimetrisan antara ukuran kepala dan tubuh
menyebabkan didapatkan angka yang abnormal dari perbandingan antara ukuran kepalaabdomen, atau panjang femur-abdomen pada pengukuran USG serial. Apabila IUGR tipe
ekstrinsik ini dibiarkan tumbuh tanpa intervensi, dapat terjadi dehidrasi intrauterin yang
progresif, berkurangnya jumlah cairan amnion, hipoksia kronik, dan bahkan kematian
janin intrauterin atau asfiksia perinatal.9
Pada bayi IUGR perubahan yang terjadi ternyata tidak hanya pada ukuran panjang,
berat, dan lingkar kepala, tetapi juga terjadi pada organ-organ di dalam badan. Drillen
menemukan berat otak, jantung, paru, dan ginjal bertambah, sedangkan berat hati, limpa,
kelenjar adrenal, dan thimus berkurang dibandingkan bayi prematur dengan berat yang
sama. Sedangkan perkembangan fungsi otak, ginjal, dan paru sesuai dengan masa
gestasinya
2.2.2 Etiologi

Kendali pertumbuhan janin tergantung kepada:


1) kecukupan substrat yang terdapat dalam darah ibu
2) kecukupan pengaliran darah uterus yang sampai kedalam ruang intervillus
3) adanya plasenta yang normal perkembangannya disertai struktur villus tertier yang
mempunyai luas permukaan pertukaran yang mencukupi
4) janin yang normal perkembangannya dan yang dapat berfungsi normal sehingga
mampu mempergunakan semua substrat untuk perkembangannya.3
Karena itu etiologi IUGR dibagi menjadi tiga kategori: faktor janin, fakor
plasenta, dan faktor ibu.3,6,10
Faktor Janin

Faktor Plasenta

Kelainan Kromosom
Kelainan kongenital
Infeksi
intrauterin
Kehamilan ganda

Faktor Ibu

Invasi
tropoblas
yang
abnormal
Insersi tali pusat yang
abnormal
Kelainan insersi plasenta
(contoh: plasenta previa)
Tumor

Infark plasenta
Solutio plasenta, plasenta
26

Nutrisi ibu, kenaikan BB


yang tidak baik
Penyakit
ibu
seperti
diabetes,
hipertensi,
preeklamsi,
anemia,
penyakit jantung sianotik,
penyakit ginjal
Infeksi
toksoplasmosis,
cytomegalovirus, rubella,

previa

herpes, sifilis
Penyakit autoimun
Lingkungan
seperti
merokok,
alkohol,
pemakaian
obat-obatan
terlarang, tempat tinggal
di daerah pegunungan,
sosioekonomi rendah.

1. Faktor Ibu
Faktor ibu merupakan penyebab tersering terjadinya IUGR, tetapi seringkali juga tidak
mematikan.10 Berbagai macam penyakit ibu berhubungan dengan terjadinya IUGR melalui
bermacam-macam mekanisme, termasuk segala hal yang menghambat penghantaran dan
ambilan nutrisi atau oksigen janin.11
Tiga jenis substrat utama diperlukan bagi pertumbuhan janin yaitu oksigen, glukosa,
dan asam amino. Oksigen yang cukup bergantung kepada fungsi sistem kardiorespirasi
dan massa eritrosit yang berfungsi dalam transportasi oksigen. Oksigen akan melewati
membran pemisah di plasenta dengan cara difusi biasa maka transfer oksigen dari ibu ke
janin tergantung pada kecepatan aliran darah pada uterus, plasenta, dan kadar oksigen
dalam darah ibu. Karenanya hipoksia ibu yang berlangsung lama bisa menggangu
pertumbuhan janin. Biasanya hipoksi terjadi pada ibu dengan penyakit paru-paru kronis
seperti asthma bronchiale, penyakit jantung sianotik, anemia kronik yang berat yang
menurunkan kapasitas pengangkutan oksigen.3,10
Glukosa melewati membran plasenta dengan cara difusi terfasilitasi, sehingga dalam
keadaan biasa, kadar glukosa darah janin dan darah ibu hampir sama, dengan kadar
glukosa darah janin 80% dari pada kadar glukosa darah ibu. Asam amino diangkut secara
aktif dari ibu kepada janin sehingga kadarnya di dalam janin lebih tinggi. Didalam uterus
glukosa dibakar oleh oksigen untuk menghasilkan energi berupa adenosin trifosfat yang
digunakan untuk mengubah asam amino menjadi protein untuk pertumbuhan janin.
Penentu kadar substrat di dalam darah ibu antara lain adalah status gizi wanita pada waktu
terjadi konsepsi, makanan harian selama masa hamil, dan penyakit saluran pencernaan
yang mempengaruhi absorbsi makanan. Tetapi kecepatan pertumbuhan janin dikendalikan
bukan saja oleh transportasi substrat-substrat tersebut dari ibu melalui plasenta tetapi juga
oleh hormon-hormon janin seperti insulin, insulin-like growth factors dan protein-protein
pengikat insulin-like growth factors.3,10
27

Beberapa penelitian mengatakan bila jumlah asupan nutrisi ibu kurang dari 1500
kcal/hari maka akan tampak hambatan pertumbuhan janin yang nyata. 2,11 Karena itu,
nutrisi ibu sebelum dan saat kehamilan sangat penting untuk pertumbuhan janin.
Meskipun rata-rata peningkatan berat badan ibu hamil 11,4 15,9 kg, ibu yang kurus akan
memerlukan peningkatan berat badan yang lebih banyak daripada ibu yang gemuk, agar
pertumbuhan janin baik. Dalam pemberian nutrisi, faktor terpenting jumlah kalori yang
dikonsumsi setiap hari, yaitu 300 kalori lebih banyak dari pada sebelum hamil setiap hari.
Penambahan berat badan yang kurang di dalam masa hamil menyebabkan kelahiran bayi
dengan berat badan yang rendah.3,10
Ibu yang mengalami gangguan absorbsi makanan cenderung melahirkan bayi kecil
sekalipun pemasukan kalorinya meningkat. Hal ini terjadi akibat kalori yang didapat dari
makanan tidak dapat masuk ke dalam peredaran darah ibu. Pasien-pasien yang demikian
dapat ditegakkan diagnosanya bila memperlihatkan kurva glukosa yang rata. Penyakitpenyakit gastrointestinal dan pembedahan bypass pada saluran gastrointestinal

atau

pembedahan reseksi pada ibu juga mengganggu resobsi dan menyebabkan bayi kecil.3,10
Ibu yang merokok terutama dalam masa kehamilan akan berisiko melahirkan bayi
dengan IUGR tiga sampai empat kali lebih banyak daripada ibu yang tidak merokok. Berat
badan lahir akan berkurang sebesar 200 sampai 300 gram tergantung dari batang rokok
yang dihisap ibu per harinya. Kekurangan berat badan lahir ini disebabkan oleh dua faktor
yaitu wanita perokok cenderung makan sedikit sehingga ibu akan kekurangan substrat di
dalam darahnya, dan merokok menyebabkan pelepasan epinefrin dan nor-epinefrin yang
menyebabkan vasokonstriksi yang berkepanjangan sehingga terjadi pengurangan jumlah
pengaliran darah kedalam uterus dan yang sampai kedalam ruang intervillus. Bila
merokok dihentikan berat badan janin akan naik kembali karena fenomena tadi bersifat
reversibel. Ibu yang berhenti merokok pada usia kehamilan 7 bulan akan melahirkan bayi
dengan berat badan lahir lebih besar daripada ibu yang terus merokok selama kehamilan,
dan ibu yang berhenti merokok sebelum usia kehamilan 16 minggu tidak memiliki faktor
risiko melahirkan bayi IUGR.3,10,11
Wanita pemakai obat-obat terlarang seperti kokain dan heroin juga berisiko melahirkan
bayi IUGR. Tetapi peningkatan insidensi terjadinya IUGR tidak murni akibat penggunaan
obat-obatan tetapi juga disebabkan faktor-faktor lain seperti kenyataan bahwa wanita
pemakai narkoba seringkali menghabiskan uangnya untuk membeli obat-obat itu dan
bukan untuk membeli makanan.3,10,11
28

Konsumsi alkohol yang berlebihan dalam masa kehamilan dapat menyebabkan


fetal alcohol syndrome. Wanita peminum berat akan menyebabkan hambatan pertumbuhan
intrauterin serta mikrosefali dan macam-macam malformasi pada janin akibat pengaruh
teratogenik serta kelahiran preterm.3,10
Penggunaan obat-obatan selama kehamilan juga dapat meningkatkan risiko
dilahirkannya bayi dengan IUGR, sebagai akibat dari efek teratogenik. Contoh:
penggunaan warfarin akibat sequelae dari adanya perdarahan intrauterin, antagonis asam
folat yang selain berhubungan dengan peningkatan IUGR juga berhubungan dengan
peningkatan aborsi spontan dan still birth, fenitoin, trimetadion.11
Hipertensi merupakan salah satu penyakit maternal penyebab terjadinya IUGR yang
paling sering ditemukan. Dengan adanya hipertensi sistemik, didapatkan adanya
penurunan aliran darah pada arteri spiralis yang akan mengganggu perfusi plasenta.
Akibatnya terjadi penurunan transfer oksigen dan nutrisi janin. Hipertensi juga sering
berhubungan dengan terjadinya infark plasenta. Hal yang serupa juga terjadi pada berbagai
macam penyakit lain yang mengganggu perfusi mikrovaskular seperti diabetes mellitus
yang insulin-dependent, penyakit kolagen, preeklamsi, penyakit ginjal kronis.2,11
Adanya hipoksia kronik seperti ibu yang tinggal di daerah dataran tinggi atau ibu
dengan penyakit jantung sianotik, asma bronkiale, penyakit paru kronis, juga
meningkatkan risiko terjadinya IUGR. Demikian juga dengan ibu yang menderita anemia,
terutama anemia sel sabit.1,2
Dua kelas antibodi antifosfolipid yaitu antibodi antikardiolipin dan antikoagulan
lupus berhubungan dengan terjadinya IUGR. Prognosis pada ibu hamil dengan kedua
antibodi ini biasanya buruk dan berhubungan dengan terjadinya preeklamsi dan kematian
janin intrauterin. Patofisiologi efek antibodi tersebut terhadap perkembangan janin adalah
akibat terjadinya agregasi trombosit ibu dan adanya trombosis plasenta. Antibodi ini dapat
ditemukan pada ibu dengan kematian janin pada trimester kedua yang berulang dan IUGR
yang terjadi pada awal kehamilan, terutama bila disertai dengan hipertensi yang berat.2
Ibu yang berbadan kecil cenderung melahirkan bayi kecil, tetapi bayi tersebut
tergolong normal karena adanya faktor konstitusi. Hal ini harus dapat dibedakan dengan
bayi dengan IUGR tipe asimetris menggunakan rumus indeks ponderal (ponderal

29

index/PI). Bayi dengan IUGR tipe simetris akan memiliki indeks ponderal yang rendah,
sedangkan bayi kecil akibat faktor konstitusi akan memiliki indeks yang normal.11
PI = Berat badan lahir x 100/(panjang kepala-tumit)3
(indeks normal pada usia kehamilan 28 minggu adalah 1,8.
Ditambahkan 0,2 tiap penambahan usia kehamilan 4 minggu
sampai dicapai angka 2,4 pada usia kehamilan 40 minggu)11

Paritas sedikit memiliki efek terhadap berat badan bayi. Seringkali bayi pertama memiliki
berat badan yang lebih rendah dari bayi kedua dan seterusnya. Akibatnya bayi pertama
sering dikategorikan sebagai IUGR.11
Faktor sosioekonomi juga berpengaruh terhadap kejadian IUGR. Sosioekonomi yang
rendah memang tidak mempengaruhi secara langsung pertumbuhan janin di dalam uterus,
tetapi faktor ini besar pengaruhnya terhadap psikologi, tingkah laku, dan lingkungan yang
dapat mengganggu pertumbuhan janin. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian IUGR
untuk negara maju dan negara berkembang sedikit berbeda. Pada negara maju hal-hal yang
terutama berhubungan dengan terjadinya IUGR adalah merokok, indeks massa tubuh yang
rendah, peningkatan berat badan yang buruk, dan preeklamsia. Sementara pada negara
berkembang hal yang berhubungan dengan terjadinya IUGR adalah nutrisi yang kurang,
indeks massa tubuh yang rendah, peningkatan berat badan yang buruk, dan infeksi. Faktor
lain yang sedang diteliti adalah stress, ansietas dan depresi.12
2. Faktor Plasenta

Plasenta memegang peranan penting dalam pertumbuhan janin yang normal.


Segala hal yang menyebabkan terjadinya insufisiensi aliran plasenta dapat menyebabkan
terjadinya IUGR. Termasuk diantaranya ibu dengan aliran darah uterus yang buruk dan
luas permukaan plasenta yang kecil. Keadaan yang paling umum menyebabkan
berkurangnya luas permukaan plasenta adalah hipertensi kronik pada ibu. Hipertensi
kronis menyebabkan terjadinya varsokonstriksi dari arteri sehingga terbentuk arteri spiralis
yang abnormal. Akibatnya pertumbuhan plasenta akan terhenti lebih awal sehingga
didapatkan plasenta dengan luas permukaan kecil dan lebih ringan. Penyakit-penyakit lain
pada ibu yang juga dapat merusak pembuluh darah arteria spiralis adalah diabetes mellitus,
lupus eritematosus, pielonefritis kronik, glumerulonefritis, dan arteriosklerosis.3,10

30

Pelepasan plasenta pada pinggir-pinggirnya dalam kehamilan muda disertai


perdarahan (plasenta previa) dan pembentukan parut (placenta circumvallata) bisa
membatasi pertumbuhan janin dan menyebabkan hambatan pertumbuhan interuterin.
Implantasi plasenta pada daerah serviks bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta terbatas.
Plasenta yang mempunyai banyak infark kecil-kecil kehilangan luas permukaan untuk
pertukaran dan sehingga pengangkutan substrat akan terganggu. Solusio plasenta yang
kronik mengurangi luas permukaaan fungsionalnya dan dengan demikian juga dapat
menyebabkan hambatan pertumbuhan interuterin pada janin. Adanya malformasi lain
seperti invasi tropoblas yang tidak baik, insersi tali pusat yang abnormal (insersi
vilamentous), hemangioma plasenta, chorioangioma yang bertindak seperti malformasi
arteri-vena juga dapat menyebabkan terjadinya IUGR.3,6,10,11
3.

Faktor Janin
Faktor janin yang paling sering menyebabkan hambatan pertumbuhan simetri

adalah kelainan kongenital yang dapat mengakibatkan IUGR tipe simetri yang berat pada
janin sendiri disertai berbagai anomali kongenita yang multipel serta harapan hidup yang
pendek. Adanya IUGR tipe asimetri pada kelainan ini biasanya sebagai akibat buruk yang
terjadi dalam bagian terakhir dari masa kehamilan yang menghambat hipertrofi sel-sel.3,10
Kelainan kongenital yang tersering adalah trisomi 21 (sindroma Down) dengan
insidensi 1,6 per 1000 kelahiran hidup. Bayi dengan kelainan ini akan memiliki berat lahir
rata-rata 350 gram lebih rendah dari bayi normal dengan kemungkinan IUGR empat kali
lebih besar. Penurunan berat badan janin tampak terutama pada 6 minggu terakhir
kehamilan.11
Kelainan kongenital kedua tersering adalah trisomi 18 (sindroma Edwards)
dengan insidensi 1 per 6000-8000 kelahiran hidup dan 84% bayi menderita IUGR. Berat
badan lahir rata-rata bayi dengan trisomi 18 adalah 1000 gram lebih rendah dari bayi
normal, disertai berat plasenta yang kecil pula. Kelainan lain yang dapat ditemukan
adalah defek neural tube, anomali visera, dan polihidramnion.11
Kelainan kongenital ketiga adalah trisomi 13 dengan insidensi 1 per 5000-10.000
kelahiran hidup dan 50% bayi menderita IUGR. Berat badan lahir rata-rata 700-800 gram
lebih rendah dari bayi normal. Kelainan lain yang dapat ditemukan bibir sumbing, cleft
palate, kelainan sistem saraf pusat, kelainan sistem saluran kemih, dan polidaktili.11

31

Kelainan lain yang sering berhubungan dengan IUGR adalah achondroplasia, osteogenesis
imperfecta, renal agenesis (sindrom Potter), gastroschisis, atresia duodeni, Tetralogi Fallot,
transposisi arteri besar, dll.6,11
Infeksi intrauterin adalah penyebab lain dari hambatan pertumbuhan intrauterin.
infeksi oleh TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes simplex)
bisa menyebabkan hambatan pertumbuhan intrauterin sampai 30% dari kejadian. Infeksi
Cytomegalovirus berhubungan dengan sitolisis dan hilangnya fungsi dari sel. Infeksi
Rubella menyebabkan insufisiensi vaskular dengan merusak endotelium pembuluh darah
kecil selain menghambat proliferasi sel. Infeksi lain yang juga berhubungan dengan
kejadian IUGR diantaranya sifilis di mana terjadi udem plasenta dan inflamasi
perivaskuler, malaria, dan Lysteria monocytogenes.2,3,10,11
Infeksi HIV pada ibu hamil menurut laporan bisa mengurangi berat badan lahir bayi
sampai 500 gram dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir sebelum terkena infeksi itu.
Diperkirakan infeksi intrauterin meninggikan kecepatan metabolisme pada janin tanpa
kompensasi peningkatan transportasi substrat oleh plasenta sehingga pertumbuhan janin
menjadi subnormal atau dismatur.3,10
Kehamilan mulipel memang lebih sering mengakibatkan kelahiran prematur, tetapi
20-30% juga berhubungan dengan kejadian IUGR. Hal ini kemungkinan diakibatkan
adanya insufisiensi plasenta, twin to twin transfusion syndrome atau anomali. Adanya
IUGR pada kehamilan multipel dapat ditentukan pada usia kehamilan 32 minggu
(kehamilan ganda), usia kehamilan 30 minggu (kehamilan triplet), dan usia kehamilan 20
minggu (kehamilan quadruplet). Karena itu pemeriksaan serial USG sebaiknya dilakukan
pada kehamilan multipel.11
2.2.3 Diagnosis 7,8
Skrining dan indentifikasi dari IUGR harus sesegera

mungkin ditegakkan.

Penentuan umur kehamilan, perhatian terhadap penambahan berat badan janin dan
pengukuran secara teliti dari tinggi fundus uteri akan mengindentifikasi adanya kelainan
dalam perkembangan janin pada wanita tanpa faktor risiko. Dengan adanya faktor resiko
pada ibu, termasuk riwayat IUGR sebelumnya, akan meningkat kemunginan rekuren pada
kehamilan yang sedang berlangsung. Pada wanita dengan faktor resiko, dapat dilakukan
pemeriksaan ultrasnografi secara berkala untuk memantau berkembangan janin.

32

Dalam mendiagnosis IUGR harus selalu hati-hati dalam memperhatikan umur


kehamilan dengan mengetahui secara menstruasi, test seral, tes kehamilan biokimiawi,
ultrasound. IUGR juga bisa terjadi tanpa diindentifikasinya faktor-faktor resiko. Diagnosis
IUGR bisa ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
seperti USG, pemeriksaan cairan amnion, doppler. Banyak masalah yang timbul pada
janin dengan IUGR, yaitu asfiksia, hipoglikimia, polisitemia, penurunan konsumsi dari
oksigen, hipotermia, dan adannya kelainan morfologi. Oleh karena itu diperlukan
penegakkan diagnosis sedini mungkin.
a. Anamnesis
Dari anamnesia perlu diketahui antara lain usia kehamilan janin yang dapat
diperkirakan secara tradisional dengan menghitung hari pertama haid terakhir
(HPHT). Namun 20-40% ibu hamil HPHT-nya tidak dapat dipercaya, karena :1) lupa,
2 riwayat oligomenore atau metroragi, 3) perdarahan akibat AKDR, 4) perdarahan
nidasi 5) riwayat pengguna kontrasepsi oral. Perlu juga mencari faktor- faktor resiko
seperti hipertensi, penyakit jantung sianotik, penyakit paru kronis, pemakaian obatobat, merokok, adanya infeksi, dan riwayat janin pertumbuhan janin terhambat
sebelumnya.
b. Pemeriksaan fisik
Untuk mendeteksi adanya IUGR dalam melakukan pemeriksaan fisik perlu dilakukan
pengukuran tinggi fundus uteri dan lingkar secara serial dengan cermat selama kehamilan.
Dan ini merupakan metode skrining yang sederhana, aman, murah dan cukup akurat.
Secara ringkas metode ini menggunakan meteran yang sudah dikalibrasi dalam
satuan sentimeter pada lengkung abdomen dan dari simfisis pubis sampai puncak fundus
uteri yang dikenal lewat palpasi atau dengan notasi satuan jari tangan. Kandung kencing
dikosongkan sebelum mebuat pengukuran. di antara usia 20 dan 34 minggu, tinggi fundus
uteri secara kasar sesuai dengan jumlah minggu kehamilan. Jika selisih pengukuran
tersebut lebih dari 2-3 cm dari tinggi yang diharapkan, maka kemungkinan adanya
pertumbuhann janin yang tidak sesuai perlu dicurigai.
Kecurigaan adanya IUGR ditegakkan apabila tinggi fundus uteri ditemukan
menetap dalam 2 kali pemeriksaan dengan selang 1-2 minggu (tabel 4). Menurut
Spiegelbelg dengan jalan mengukur tinggi fundus uteri dari simfisis pubis, maka

33

diperoleh hubungan antara tinggi fundus uteri dengan mengukur jarak fundus-simfisis
dalam centimeter dibagi 3,5 yang merupakan tuanya kehamilan.
Tabel 2. Hubungan Tinggi Fundus Uteri Dengan Umur Kehamilan Menurut Spiegelberg
Umur Kehamilan Tinggi
(minggu)
22-28
28
30
32
34
36
38
c.

fundus

dari simfisis (cm)


24-28
26,7
29,5-30
29,5-30
31
32
33

Pemeriksaan penujang8

1) Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG serial untuk menentukan biometri dan keadaan fungsional
janin. Pemeriksaan USG hingga saat ini dipandang sebagai satu-satunya cara
pemeriksaan yang paling dapat dipercaya dalam mendeteksi adanya pertumbuhan janin
terhambat. Penentuan usia kehamilan secara USG didasarkan pada hubungan antara usia
kehamilan dengan ukuran (biometri) janin. Pengukuran yang sering digunakan yaitu
Biparietal diameter (BPT), Head Circumference (HC), Abdominal Circumfernce (AC)
dan Femur Length (FL). Persentil telah dibuat untuk masing-masing parameter dan berat
fetus dapat diperkirakan. Indikator yang paling sensitif untuk simetris dan asimetris
IUGR adalah dengan pemeriksaan abdominal circumference (AC), yang memiliki
sensivitas 95% jika pengukuran dibawah 2,5 tahun persentil.
Untuk pemeriksaan skrining yang rutin, pemeriksaan dengan USG dapat
dilakukan antara minggu ke-16 dan 20 untuk menentukan umur kehamilan dan
menyingkirkan adanya kelainan kongenital dan dilanjutkan dengan pemeriksaan lanjut
pada minggu ke-32 sampai 34 untuk mengevaluasi pertumbuhan janin.
1. Diameter Biparietal (BPD)
Perkembangan diameter biparietal dalam hubungannya dengan umur kehamilan
dapat terlihat dalam table 5. Diameter ini lebih spesifik pada keadaan normal (yaitu lebih
besar dari 25 persentil). Batasan-batasan lain yang harus diperhatikan pada evaluasi
pertumbuhan dengan menggunakan parameter diameter biparietal adalah ketidaktelitian
dalam mengukur berat lahir, penilaian angka yang rendah pada retardasi pertumbuhan
34

yang asimetris dengan ukuran kepala yang normal atau hampir normal dan adanya
perubahan bentuk kepala karena flattening atau dolichocephaly (kepala yang panjang).
Kondisi ini dapat terjadi pada kehamilan trimester III, yang secara timbal balik dapat
menyebabkan diameter biparietal kecil. Pada situasi ini jika ukuran lingkar kepala tidak
digunakan bersama-sama dengan diameter biparietal, maka diagnosis false positif dari
retardasi pertumbuhan dapat terjadi.

Gambar 6. Pengukuran Diameter Biparietal


2. Lingkar Abdomen
Lingkar abdomen sering digunakan untuk memperkirakan status nutrisi dalam
keadaan normal dan menentukan keadaan pertumbuhan janin. Alasannya, karena
pemeriksaan ini meliputi hati dan jaringan subkutan di daerah tersebut, dimana keduanya
dapat menunjukkan adanya pengurangan ukuran sebagai akibat sekunder dari hipoksia
kronis yang berhubungan dengan IUGR.

35

Gambar 6. Pengukuran Lingkar Abdomen


Diameter Biparietal (BPD)/Lingkar Kepala (HC) dan pola Pertumbuhan Lingkar
Perut (AC)
Normalnya perbandingan lingkar kepala-perut lebih besar dari 1:1 sampai usia
kehamilan 35-36 minggu, selanjutnya perbandingan kurang dari 1. Pada masa transisional
perlu hati-hati yaitu sekitar 35-37 minggu, tergantung dari lemak subkutan, jaringan lunak
pada perut janin. Metode pengukuran lingkar kepala dan lingkar perut terbaik diperoleh
secara langsung dengan USG. Bila hal ini tidak dapat dilakukan, pengukuran diameter
(diperoleh dengan pengukuran dari sisi luar ke sisi luar dari kepala dan badan) sebaiknya
didapatkan dan dibandingkan dengan table persentilnya. Hal ini penting karena perubahan
dari diameter rata-rata ke perimeter sirkuler atau eliptikal sering mengakibatkan kesalahan
pengukuran sebab kepala dan tubuh janin tidak dapat menyesuaikan dengan tepat pada
bentuk-bentuk ini.
Setelah BPD, HC dan AC digolongkan dengan persentilnya, maka didapatkan 9 pola
pertumbuhan. Janin diklasifikasikan dalam pola pertumbuhan 3 dan 6 (BPD normal tetapi
AC kecil) mempunyai resiko tinggi untuk menjadi IUGR asimetris. Janin yang
diklasifikasikan dalam pola pertumbuhan 9 mempunyai risiko tinggi untuk menjadi IUGR
simetris. Kebaikan penggambaran kedaan dari janin normal atau IUGR dengan persentil
sampai saat ini masih diragukan. Meskipun demikian, kecurigaan pada observasi
permulaan dengan menggunakan persentil 25 dan pola pertumbuhan 3,6 dan 9 IUGR dapat
terdiagnosa 80%.

3. Panjang femur (Femur Length)


Pada pemeriksaan ini dilakukan pengukuran pada tulang terpanjang dari tubuh
fetus. Selama kehamilan, panjang femur ini akan meningkat kurang lebih 1,5 cm pada
36

kehamilan 14 minggu sampai kira-kira 7.8 cm pada kehamilan cukup bulan atau aterm.
Pengukuran panjang femur ini, lebih efektif untuk mengetahui adanya skeletal displasia
dari pada pertumbuhan janin terhambat. Pengukuran panjang femur ini paling baik
dilakukan pada kehamilan lebih dari 14 minggu.

Gambar 7. Fetal Femur Length


Rasio Lingkar Kepala Terhadap Lingkar Perut
Secara normal lingkar kepala lebih besar daripada lingkar perut sampai kehamilan
mencapai usia kurang lebih 32 minggu. Pada usia antara 32 dan 36 minggu, kedua
lingkaran tersebut sama besarnya. Setelah kehamilan 36 minggu, lingkar perut biasanya
melampaui lingkar kepala. Tetapi dalam mendiagnosa IUGR yang simetris, rasio ini tidak
dapat digunakan karena dalam hal ini ukuran janin semuanya berkurang. Selanjutnya,
pemakaian rasio ini digunakan pada umur kehamilan yang sesuai, sebab hasil rasio ini
akan mempunyai nilai yang lebih tinggi pada prematus.
Diagnosis dan pemantauan pertumbuhan janin terhambat secara ultrasonik secara
garis besar bertujuan untuk menentukan adanya pertumbuhan dengan pemeriksaan
biometri janin. Menentukan etiologi, derajat penyakit dan prognosis dengan pemeriksaan
fungsi janin. Seperti halnya dengan pertumbuhan janin, yang ideal adalah bahwa setiap
populasi hendaknya mempunyai normogram sendiri yang dapat digunakan untuk
menentukan usia kehamilan secara USG.

37

Gambar 8. USG Pengukuran BPD, AC dan FL


Pemeriksaan Cairan Amnion
Hal lain yang harus diperhatikan pada kasus IUGR adalah adanya oligohidramnion.
Oligohidramnion dapat terjadi akibat adanya hipoksia dan terjadi pengurangan aliran darah
ke ginjal janin. Oligohidramnion bisa berakibat tali pusat terjepit dan kematian janin dapat
terjadi dengan tiba-tiba. Oleh sebab itu penilaian volume cairan ketuban perlu dipantau dari
minggu ke minggu. Jumlah cairan ketuban dapat diukur dengan mengukur diameter vertikal
kantung amnion yang terbesar atau dengan mengukur indeks cairan ketuban (amniotic fluid
index/AFI), dengan cara membagi uterus kedalam 4 kuadran melalui bidang sagital dan
vertikal melalui pusat kemudian kolom cairan ketuban yang terpanjang dari tiap kuadran
dijumlahkan.. Bila diameter vertikal kantung amnion yang terbesar kurang dari 1 cm (atau
ada penulis lain yang memakai batasan 2 cm) atau penjumlahan panjang kolom cairan
ketuban itu <5 cm, maka telah ada oligohidramnion. Adanya oligohidramnion pada janin
dengan IUGR dianggap sebagai keadaan emergensi, dan merupakan indikasi untuk
melakukan terminasi pada janin yang sudah mampu hidup di luar.2,3,4,6,7
2.2.4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan IUGR harus disesuaikan untuk masing-masing pasien.


Prinsip utama penatalaksanaan pada IUGR:

Deteksi dini (kelompok resiko tinggi, skrining, dll.)

Menghilangkan faktor penyebab (diet, rokok, obat-obatan terlarang)

Meningkatkan aliran uteroplasental (bed rest, hidrasi)

Pemantauan kesejahteraan janin antepartum serial (nonstress test, contraction stress test,
USG, Doppler, cordocentesis)

Terminasi kehamilan lebih awal3,10


38

1. Deteksi dini
Deteksi dini akan hambatan pertumbuhan intrauterin penting sekali, karena akan
memberi cukup waktu untuk merencanakan dan melakukan sesuatu intervensi yang
diperlukan sebelum terjadi kerusakan pada janin. Karena itu para klinisi harus waspada
terhadap adanya kemungkinan IUGR dan kalau perlu melakukan skrining terutama pada
pasien hamil risiko tinggi seperti hipertensi, diabetes, anemia, ibu perokok atau peminum
alkohol atau pemakai narkoba, keadaan gizi jelek, ibu dengan penambahan berat badan
yang minimal dalam kehamilan, pernah melahirkan bayi dengan hambatan pertumbuhan
intrauterin atau kelainan kongenital.3,10
2.

Menghilangkan faktor penyebab


Menghilangkan faktor penyebab termasuk diet yang buruk, merokok, dan penggunaan
narkoba. Diet pada wanita hamil perlu 300 kalori lebih banyak dari pada yang
dikonsumsinya, dan meskipun jumlah asupan kalori lebih penting dari komposisi diet,
sebaiknya diet wanita hamil mengandung protein 1,5 gram/kg per hari. Dengan demikian
penambahan berat badan waktu dalam kehamilan pada keadaan normal bila dicapai 12
sampai 16 kg. Pemberian tambahan zat besi dan vitamin direkomendasikan meskipun
tidak ada penelitian yang menunjukkan adanya manfaat nyata dalam pemberian vitamin
tambahan bila diet ibu hamil sudah adekuat. Setiap ibu hamil harus diminta untuk
menghentikan kebiasaan merokok, minum alkohol, dan mendapat rehabilitasi bila pasien
adalah pemakai narkoba. Kegiatan fisik yang berat sebaiknya dihindari oleh ibu hamil
dengan hipertensi. Ibu hamil dengan penyakit jantung atau paru-paru mungkin
memerlukan terapi oksigen secara kontinu, sementara nutrisi parenteral total dapat
diberikan pada ibu dengan gangguan saluran pencernaan berat seperti malabsorbsi. Pada
ibu dengan dugaan adanya insufisiensi plasenta dapat diberikan aspirin dosis rendah.2,3,10
3.

Meningkatkan aliran darah ke uterus


Jumlah darah yang mengalir kedalam uterus berbanding langsung dengan tekanan

darah maternal pada keadaan sistem vaskuler berdilatasi maksimal. Karena itu
meningkatan aliran uteroplasenter tidak dilakukan dengan menurunkan tekanan darah pada
ibu dengan hipertensi kecuali apabila tekanan darah mebahayakan keadaan ibu. Wanita
hamil dengan hambatan pertumbuhan intrauterin dianjurkan beristirahat baring saja untuk
sebagian terbesar waktunya dalam 24 jam, optimalnya berbaring miring ke kiri. Semua
39

pekerjaan fisik terutama pekerjaan fisik berat akan mengurangi jumlah darah yang
mengalir ke dalam uterus dan akan lebih memberatkan keadaan janin yang telah menderita
hambatan pertumbuhan intrauterin. Oleh karena itu semua pekerjaan fisik berat dilarang
pada kehamilan dengan hambatan pertumbuhan intrauterin. Pada wanita yang bekerja, cuti
hamil perlu diberikan lebih awal.3,10
4. Pemantauan kesejahteraan janin antepartum serial
Sebelum program pemantauan kesejahteraan janin yang intensif perlu diperhatikan
bahwa janin tidak dalam keadaan cacat kongenital misalnya trisomi pada ibu hamil dengan
hambatan pertumbuhan intrauterin simetri yang berat. Untuk menyingkirkan kemungkinan
tersebut dapat dilakukan pemeriksaan kariotipe degnan amniosentesis atau kordosentesis.
Program surveillance antepartum sudah boleh dimulai pada usia kehamilan 24 minggu bila
diagnosis hambatan pertumbuhan intrauterin telah ditegakkan. Tetapi seringkali diagnosis
IUGR biasanya baru diketahui pada usia kehamilan yang jauh lebih tua. Beberapa uji
penilaian yang perlu dikerjakan sampai kehamilan diterminasi adalah uji tanpa beban
untuk memonitor reaktivitas jantung janin (2x seminggu), pengukuran volume cairan
ketuban (AFI) dan ada tidaknya hambatan pertumbuhan kepala dengan memantau
pertumbuhan DBP dengan ultrasonografi setiap minggu.

Disamping itu bila perlu

dilakukan penilaian kesehatan janin melalui pemeriksaan-pemeriksaan profil biofisik,


Doppler velosimetri aliran darah arteri umbilikalis, dan pemeriksaan gas darah janin.3,10
Uji Tanpa Beban (Non Stress Test/NST)
Pada NST, akselerasi denyut jantung janin terjadi sebagai respon terhadap adanya
gerakan janin. Hasil NST disebut reaktif bila denyut jantung basal janin berada antara 120160 denyut per menit, variabilitas denyut jantung 10 atau lebih per menit, terdapat paling
sedikit akselerasi 15 denyut per menit atau lebih yang berlangsung paling tidak selama 15
detik sebanyak 2 kali atau lebih dalam waktu 20 menit, terdapat 5 gerakan janin dalam 20
menit, dan tidak ada deselerasi. Hasil NST disebut tidak reaktif bila denyut jantung basal
janin berada antara 120-160 denyut per menit tetapi variabilitas denyut jantung kurang
dari 10 sampai tidak ada, dan akselerasi denyut jantung janin kurang dari 2 kali atau
adanya akselerasi yang tidak adekuat (kurang dari 15 denyut per menit) dalam waktu 20
menit, gerak janin kurang dari 5 dalam 20 menit. NST yang reaktif menyatakan bahwa
kondisi janin baik (tidak ada asfiksia) untuk periode 1 minggu. NST yang non reaktif
dapat memprediksikan adanya kematian pada kira-kira 3%-29% kasus, dan karenanya
harus diikuti dengan tes lain seperti Contraction Stress Test (CST).3,10,16
40

Uji Beban Kontraksi (Contraction Stress Test/ CST)


Kontraksi uterus pada CST diinduksi dengan menggunakan oksitosin secara intravena
dan respon denyut jantung janin dicatat dengan menggunakan kardiotokografi (CTG).
Hasil CST negatif (normal) bila tidak ada deselerasi lambat pada kontraksi uterus minimal
3 kali dalam 10 menit dengan lama kontraksi 40-60 detik, variabilitas denyut jantung janin
baik, terjadi akselerasi pada gerakan janin, frekuensi denyut jantung janin normal. CST
negatif menunjukkan janin dalam keadaan sehat dan kehamilan dapat dilanjutkan selama
5-7 hari lagi untuk dilakukan CST ulangan. Hasil CST positif (abnormal) bila terjadi
deselerasi lambat pada >50% kontraksi uterus yang adekuat, biasanya disertai hilangnya
variabilitas denyut jantung janin dan tidak ada akselerasi pada gerakan janin. Hasil CST
positif menandakan adanya insufisiensi uteroplasenter dan kehamilan harus segera
diakhiri, kecuali bila belum terjadi maturasi paru janin. Hasil CST ragu-ragu:
Mencurigakan bila terdapat deselerasi lambat pada <50% kontraksi uterus yang adekuat
(CST diulangi 1-2 hari kemudian), Hiperstimulasi bila terdapat deselerasi lambat pada
kontraksi uterus yang berlebihan (tetesan oksitosin harus dikurangi atau dihentikan), Tidak
memuaskan bila kontraksi uterus tidak adekuat (CST diulangi keesokan harinya).3,10,16
Pengukuran Volume Cairan Ketuban
Pengukuran cairan ketuban seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dilakukan
setiap minggu untuk memantau keadaan janin. Bila didapatkan adanya oligohidamnion,
maka kehamilan harus segera diakhiri.2,3,10
Pengukuran DPB secara serial
Pengukuran pertumbuhan DBP setiap minggu dilakukan untuk memantau
kemungkinan ancaman disfungsi Susunan Syaraf Pusat yang terjadi bilamana
pertumbuhan DBP terhenti. Pertumbuhan DBP yang tidak bertambah lagi merupakan
indikasi terminasi kehamilan.3
Profil biofisik (Biophysical Profile)
Profil biofisik dapat diserupakan dengan upaya menghitung nilai APGAR pada janin
yang belum lahir, di mana digunakan lima variabel biofisik janin yang mempunyai arti
yang lebih akurat bila dibandingkan dengan penggunaan tunggal variabel tersebut. Untuk
pemeriksaan profil biofisik diperlukan USG real time dan Doppler untuk merekam denyut
jantung janin. Lima komponen tersebut adalah: Akselerasi denyut jantung janin, Gerakan
pernafasan janin, Gerakan janin, Tonus Janin, Volume cairan amnion. Untuk setiap
41

komponen ini, satu observasi normal diberi angka 2 dan observasi abnormal diberi angka
0. Skor tertinggi untuk janin normal adalah 10.3
5. Terminasi kehamilan lebih awal
Janin dengan IUGR sebaiknya dilahirkan lebih awal dipusat pelayanan perinatal
karena pemantauan janin dengan program pemantauan kesejahteraan janin belum
sempurna dan beberapa bayi yang lahir kondisinya tidak baik atau meninggal. Bila semua
hasil pemeriksaan kesejahteraan janin normal, maka terminasi kehamilan yang optimal
dilakukan pada usia kehamilan 38 minggu. Jika serviks matang dilakukan induksi partus.
Sebaliknya bila didapatkan hasil pemantauan kesejahteraan janin abnormal dalam masa
pemantauan sebelum mencapai usia kehamilan 38 minggu, perlu dilakukan uji
kematangan paru janin dengan pemeriksaan rasio lesitin/sfingomielin air ketuban. Bila
ternyata paru-paru janin telah matang (rasio L/S 2 atau lebih) maka indikasi terminasi
kehamilan sebelum usia kehamilan 38 minggu adalah bila didapatkan: uji beban kontraksi
positif, oligohidramnion, DBP tidak bertambah lagi yang berarti otak janin berisiko tinggi
mengalami disfungsi.3,10
Pada janin yang masih dalam usia preterm dengan IUGR tidak ada sesuatu tindakan
tertentu yang dapat memperbaiki keadaan. Dalam penanganannya pastikan dahulu bahwa
janin tidak mempunyai kelainan kongenital yang berat seperti trisomi dan kelainan
kongenital berat lain. Bila kelainan kongenital ini tidak ada, ibu hamil dengan hambatan
pertumbuhan intrauterin yang berat segera dirawat inap, bed rest, diberikan makanan yang
bernilai gizi tinggi, dan dilakukan pemantauan kesejahteraan janin. Apabila penyebab
hambatan pertumbuhan intrauterin adalah gizi ibu yang tidak baik, merokok minum
alkohol atau pengguna narkoba, maka penghentian kebiasaan buruk dan perbaikan gizi
disertai banyak istirahat baring akan bisa memperbaiki pertumbuhan janin sekaligus
sebagai upaya mengurangi risiko lahir preterm. Menurut teori dan hasil suatu penelitian
pemberian aspirin dosis rendah sejak awal sebagai terapi anti trombosit akan mencegah
pembentukan trombosis uteroplasenta, infark pada plasenta, maupun hambatan
pertumbuhan intrauterin idiopatik pada wanita dengan riwayat hambatan pertumbuhan
intrauterin berat.3,10
Pada umumnya terminasi kehamilan pada fetus dengan hambatan pertumbuhan
intrauterin berat dan preterm adalah lebih menguntungkan dari pada membiarkan
kehamilan yang demikian berlangsung lebih lanjut karena biasanya fetus yang demikian
42

sudah cukup matang untuk dapat hidup. Perlu diperhatikan pada terminasi fetus preterm
dengan IUGR: persalinan harus cepat, monitoring ketat dalam masa persalinan untuk
mencegah memburuknya keadaan janin atau persalinan diselesaikan dengan bedah sesar,
perawatan intensif harus segera dimulai sejak neonatus lahir.3,10
2.2.5 Monitoring Intrapartum
Bayi dengan IUGR sering disebabkan oleh adanya insufisiensi plasenta akibat perfusi
maternal yang tidak baik, fungsi plasenta yang tidak baik, atau keduanya, sehingga terjadi
hipoksia. Pada waktu persalinan keadaan hipoksia dapat menjadi lebih parah, karena itu
pemantauan secara kontinu dalam persalinan perlu dilakukan. Pemantauan denyut jantung
janin sebaiknya dilakukan dengan pemasangan elektroda pada kulit kepala janin setelah
ketuban pecah/dipecahkan. Oligohidramnion dapat menyebabkan terjepitnya tali pusat
sehingga rekaman jantung janin akan menunjukkan deselerasi variabel. Keadaan ini diatasi
dengan memberi infus kedalam rongga amnion. Bila didapatkan kelainan pada denyut
jantung janin yang menandakan terjadinya hipoksia dapat dilakukan pemeriksaan pH janin
dengan pengambilan sampel darah pada kulit kepala. Bila pH darah janin <7,2 segera
lakukan resusitasi intrauterin kemudian disusul terminasi kehamilan dengan bedah sesar.
Resusitasi intrauterin dilakukan dengan cara hidrasi maternal, ibu miring kiri, bokong
ditinggikan sehingga bagian terdepan lebih tinggi, pemberian oksigen dengan kecepatan 6
l/menit, dan hilangkan his dengan pemberian tokolitik misalnya terbutalin 0,25 mg
subkutan.2,3,10
2.2.6 Perawatan Intensif Bayi baru lahir
Segera setelah janin lahir tali pusat diklem dan dipotong untuk mencegah lebih
banyak darah masuk kedalam tubuh neonatus yang kemungkinan menderita sindroma
hiperviskositas polisitemik.2,3,10
Bila terjadi pengeluaran mekonium selagi dalam rahim, segera lakukan penyedotan cairan
ketuban dengan intubasi trakhea untuk mencegah lebih banyak mekonium masuk kedalam
jalan napas. Tindakan ini tidak dapat mencegah sindroma aspirasi mekonium yang telah
terjadi, tetapi dapat mengurangi tingkat keparahannya. Jika neonatus mengalami hipoksia
dan depresi pernafasan, segera lakukan resusitasi dengan memasang intubasi, pernapasan
buatan, oksigen, masase jantung, hidrasi, dan bila perlu diberikan epinefrin dan bikarbonas
natrikus untuk menetralisir asidosis.2,3,10

43

Kemudian segera dicari faktor penyebabnya seperti kelainan kongenital, atau


infeksi intrauterin, yang harus segera ditangani sesuai penyebabnya. Apabila didapatkan
sindroma hiperviskositas, lakukan phlebotomi atau tukar plasma. Kadar glukosa darah
janin dalam beberapa jam setelah lahir perlu dimonitor untuk mendeteksi adanya
hipoglikemia. Bila kadar glukosa dibawah 40 mg/dl perlu diberikan glukosa parentral.
Suhu badan perlu dimonitor dan dipertahankan pada suhu 370 C untuk meminimalkan
metabolisme dan mencegah konsumsi oksigen yang berlebihan. Bila ibu normal, bayi
tampak normal tetapi SGA, dan plasenta kecil perlu dicurigai adanya kelainan plasenta,
dan dilakukan pemeriksaan kariotipe plasenta.3,10
2.2.7 Prognosis
Prognosis bayi dengan IUGR tergantung dari berat ringannya masalah perinatal seperti:
masa gestasi (makin muda masa gestasi/ makin rendah berat badan lahir bayi, makin tinggi
angka kematian), asfiksia/ iskemia otak, sindroma gangguan pernafasan, perdarahan
intraventrikuler, displasia bronkopulmonal, infeksi, dan gangguan metabolik (asidosis,
hipoglikemia, hiperbilirubinemia). Prognosis juga tergantung dari keadaan sosial ekonomi,
pendidikan orang tua, perawatan saat kehamilan, persalinan, dan postnatal (pengaturan
suhu, resusitasi bayi, makanan, pencegahan infeksi, gangguan pernafasan, dll.)1
2.2.8 Pemantauan Jangka panjang (Follow Up)
Pemantauan jangka panjang terhadap bayi ini perlu dilakukan untuk mengevaluasi
keberhasilan pelayanan dan kemajuan kesejahteran anak. Pertumbuhan dikemudian hari
dari bayi-bayi yang lahir dengan hambatan pertumbuhan intrauterin tidak dapat
diramalkan dengan pasti berdasarkan ukuran-ukuran antropometri pada waktu lahir. Pada
umumnya bayi yang seluruh tubuhnya kecil dari pada semestinya yang dikenal dengan
hambatan pertumbuhan intrauterin simetri akan mengalami pertumbuhan yang lambat
sampai usia 5 tahunan, dan bayi dengan hambatan pertumbuhan intrauterin asimetri akan
dapat bertumbuh sesuai bayi normal. Perkembangan neurologi dan intelektual dari bayibayi yang lahir dengan hambatan pertumbuhan intrauterin pada umumnya tidak buruk
walaupun tidak dapat diramalkan dengan pasti.1,3
Pada bayi dengan IUGR sering didapatkan sequelae jangka panjang yang tampak
setelah bayi tersebut tumbuh dewasa. Seperti peningkatan insidensi terjadinya hipertensi dan
penyakit jantung, diabetes mellitus (DM) tipe 2, intoleransi glukosa, dan obesitas. Sampai

44

saat ini masih dilakukan penelitian untuk menjelaskan hubungan antara IUGR dengan
penyakit-penyakit tersebut.17,18
Penelitian Thamotharan dkk. Menunjukkan adanya hubungan antara gangguan
hormon metabolik semasa kehamilan dengan kejadian DM tipe 2 dan obesitas. Dikatakan
bahwa akibat gangguan hormon metabolik semasa kehamilan, tubuh janin melakukan
adaptasi dengan peningkatan konsentrasi GLUT-4

yang berhubungan dengan membran

plasma basal jaringan otot rangka. Keadaan ini berlanjut terus sampai dewasa sehingga
menghambat translokasi GLUT-4 yang berhubungan dengan insulin pada otot rangka.
Akibatnya glukosa darah tidak dapat diserap oleh otot rangka dengan optimal, dan terjadilah
DM tipe 2 yang resisten terhadap pemberian insulin. Gula darah yang berlebihan ini
kemudian disimpan pada jaringan lemak yang tidak mengalami gangguan pembentukan
GLUT-4, sehingga dapat terjadi obesitas. Penelitian ini masih memerlukan penelitian
lanjutan.17
Penelitian Battista dkk. mencari hubungan IUGR dengan remodelling ventrikel yang
mengarah pada kejadian hipertensi dan penyakit jantung. Penelitian ini menyatakan bahwa
remodelling ventrikel terjadi akibat reaktivasi RNA messenger dari atrial natriuretic peptide
(ANP) pada masa dewasa, yang seharusnya sudah menghilang saat neonatal dini. Adanya
ANP ini ditambah stress oksidatif diduga menyebabkan hipertrofi dari ventrikel. Tetapi
penelitian ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.18

BAB II
LAPORAN KASUS

45

2.1. IDENTITAS
Nama Penderita
Umur
Alamat
Agama
Pekerjaan
Suku /bangsa
Tanggal MRS
Jam
Dikirim oleh

: Ny.Isnawati
: 26 tahun
: Waropen
: Islam
: Guru kontrak
: Bugis
: 04 Desember 2014
: 11.05. WIT
: Datang atas kemauan sendiri

2.2. ANAMNESIS
Keluhan utama

: demam disertai menggigil sejak 1 minggu SMRS

Riwayat kehamilan sekarang :


G1P0A0 merasa hamil 9 bulan, HPHT 21/03/2014 TP 28/12/2015, ANC 3x di
PKM Serui oleh bidan dikatakan janin dalam keadaan baik, USG (-). Saat ini keluhan
demam disertai menggigil dirasakan sejak 1 minggu SMRS, pusing (+), mual (+),
muntah (-), mules (-), keluar air-air (-), keluar lendir darah (-), gerak janin aktif (+).
Pasien mengaku sudah berobat di dokter praktek namun merasa tidak ada perubahan.
BAB lancar, BAK lancar. Nafsu makan menurun selama sakit. Riwayat keputihan
selama hamil (-), kebiasaan merokok (-), minum alkohol (-).
Riwayat penyakit dahulu

Hipertensi ( - ), Diabetes Mellitus ( - ), Asma ( - ), Penyakit jantung (-), Riwayat


operasi sebelumnya ( - ) Riwayat malaria tropika +2 pada umur kehamilan 2 bulan dan
malaria tersiana +1 umur 5 bulan.
1. Riwayat obstetri
:
1. Riwayat Kehamilan
- Gravida : 1
Paritas : 0
- Kehamilan 1 : hamil ini

Abortus : 0

2. Riwayat Pernikahan
- Usia Pernikahan :
Umur : 30 tahun Pendidikan : S1 Pendidikan Pekerjaan: POLRI
Umur : 26 tahun Pendidikan : SMA
Pekerjaan: Guru kontrak
Pernikahan ke : 1 (satu)
Suami ke : 1 (satu)
Dengan suami sekarang : 1 tahun
3. Riwayat Menstruasi
- Menarche
: 13 tahun
- Siklus Haid
: teratur, 28 hari
Lamanya : 5 hari
46

- Gejala Penyerta : Dismenorrhoea (-)


- HPHT
: 21 / 03/ 2014
- TP
: 28 / 12 / 2015
4. Pemeriksaan Antenatal
- Berapa kali
: 3 kali
- PAN pertama kali pada umur kehamilan : 9 minggu
- Kapan
:- Dimana
: PKM Serui
- Imunisasi TT
:2x
5. Riwayat Penggunaan Kontrasepsi Sebelum Hamil
- Jenis kontrasepsi
:- Berapa lama
:- Sebab berhenti
:- Rencana KB
:2.3.

STATUS GENERALIS
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos mentis

Tinggi Badan

: 150 cm

Tanda-tanda vital

: TD : 100/70 N : 82 x/menit R : 24 x/menit SB : 37,8C

Kepala

: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)

Thoraks

: Simetris, retraksi (-), rhonki (-/-), wheezing (-/-),

Berat Badan : 48 Kg

Bj I-II regular murni


Abdomen

: tampak cembung, Supel, nyeri tekan (-),


Hepar / lien tidak teraba pembesaran, BU (+) normal.

Ekstremitas

: Akral hangat, tidak anemis, edem

2.4. Status Obstetrik


Pemeriksaan Luar
TFU
: 24 cm atas sympisis pubis
BJA
: 154 x/m
HIS
: TBBA
: 1705 gram
Inspekulo : Tidak dilakukan
Pemeriksaan Dalam :
v/v
: tenang, tidak ada kelainan
P
: kenyal, arah posterior

: lancip
Ket
: tidak dapat dinilai
47

Pr

: kepala, diatas PAP

Pemeriksaan Panggul :
CV
CD
Promontorium
L. Inominata
Dinding Samping
Spina Ischiadica
Sacrum
Arcus Pubis
Kesan panggul

:
:
:
:
tidak dilakukan
:
:
:
: > 900
: kesan yang dapat dinilai baik

2.5. Diagnosis Sementara


GIP0A0 hamil 37-38 minggu, Janin presentase kepala tunggal hidup, belum inpartu
dengan malaria tropika (+1) dengan susp. IUGR
2.6 Pemeriksaan Penunjang
-

Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit

: 12.490 ribu / uL

Hemoglobin

: 8,5 gr %

DDR

: PF (+)

MCV

: 80,5 fL

(84,0-96,0)

MCH

: 28,1 pg

(29,0-340)

MCHC

: 34,8 g/Dl

(32,0-36,0)

RBC

: 3,03 (106/mm3)

( 4,0-5,0 )

HCT

: 24,4 %

( 36-48 )

PLT

: 483 103/mm3

(150-400)

Pemeriksaan urine

: Protein (-), Eritrosit (-), urobilin (-), keton (-)

USG : Janin intruterin tunggal hidup


BPD

: 8,87 cm

FL

: 5,36 cm

HC

: 32,6 cm

AFI

: 8,4 cm

AC

: 2,85 cm

EFW : 1880 = 33-34 minggu

2.6. RESUME
48

G1P0A0 merasa hamil 9 bulan, HPHT 21/03/2014 TP 28/12/2015, ANC 3X di PKM


Serui oleh bidan dikatakan janin dalam keadaan baik, USG (-). Saat ini keluhan
demam disertai menggigil dirasakan sejak 1 minggu SMRS, pusing (+), mual (+),
muntah (-), mules (-), keluar air-air (-), keluar lendir darah (-), gerak janin aktif (+).
Pasien mengaku sudah berobat di dokter praktek namun merasa tidak ada perubahan.
BAB lancar, BAK lancar. Nafsu makan menurun selama sakit, riwayat keputihan (-),

riwayat merokok (-), riwayat minum alkohol (-)


Pemeriksaan fisik : Status Generalis : TD : 100/70, R: 82 x/m, R : 24 x/m S : 37,8 C,

conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik -/Status Obstetri : TFU : 24 cm atas sympisis pubis, BJA : 154 x/m, HIS : -, TBBA :

1705 gram
Pemeriksaan Dalam : v/v : tenang, tidak ada kelainan, Portio : kenyal, arah posterior,

: lancip, ketuban : tidak dapat dinilai, Presentasi: kepala diatas PAP


Kesan panggul
: kesan yang dapat dinilai baik
Pemeriksaan labolatorium : Leukosit : 12.490 ribu / uL, HB : 8,5 gr %, MCV: 80,5 Fl,
MCH : 28,1 pg, MCHC : 34,8 g/dL, RBC : 3,03 (106/mm3). DDR: PF (+),

Pemeriksaan urine
: Eritrosit (-), urobilinogen (-), keton (-)
USG : janin intrauterin tunggal hidup
BPD : 8,87 cm, HC: 32,6 cm AC : 28,5 cm, FL : 5,36 cm, , AFI : 8,4 cm, EFW : 1880
= 33-34 minggu.

2.7. DIAGNOSIS KERJA


GIP0A0 hamil 37-38 minggu, Janin presentase kepala tunggal hidup, belum inpartu
dengan malaria tropika (+) dengan IUGR + cairan ketuban berkurang + anemia
hipokromik mikrositik
2.8. PENATALAKSANAAN
Hemodinamik ibu dan janin stabil (Observasi vital sign, BJA, HIS )
Observasi tanda-tanda malaria berat
- IVFD RL 20 tpm
- Artesunat HI
2X2 vial /12 jam
HII
1X2 vial/24 jam
- Pro. SC
LAPORAN OPERASI

49

Diagnosia pre Operasi : GIP0A0 hamil 37-38 minggu, janin presentase kepala tunggal
hidup, belum inpartu dengan malaria tropika (+) dengan IUGR + cairan ketuban
berkurang + anemia hipokromik mikrositik
Diagnosis post Operasi

: P1A0 post SC atas indikasi

IUGR dengan cairan

ketuban berkurang + anemia hipokromik mikrositik


Laporan Operasi :
-

Pasien terlentang di atas meja operasi dalam anethesia spinal.


A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya
Insisi pfannenstiel 8 cm
Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus gravidus
Plika vesikouterina disayat semilunar, kandung kemih disisihkan kebawah
SBU disayat, tembus dan dilebarkan secara tajam/tumpul berbentuk semilunar
Dengan meluksir kepala, dilahirkan bayi laki-laki 1900 gr,PB: 42,5 cm, AS 6/8
Air ketuban berkurang
Plasenta berimplantasi di korpus depan
Dengan tarikan ringan pada tali pusat, plasenta dilahirkan lengkap
Kedua ujung SBU dijahit hemostasis, luka SBU dijahit dengan dua lapis dengan

Vlcryl no.1
Setelah diyakini tidak ada perdarahan, dilakukan reperitonisasi dengan plika

vesikouterina dengan vicryl 2.0


Pada eksplorasi, kedua ketuba dan avarium dalam batas normal

Instruksi Pasca Bedah:


1. Objek hemodinamik (ku, kesadaran, TTV, kontraksi, perdarahan)
2. Cek Hb. Bila HB < 8gr/dl, lakukan transfuse PRC hingga Hb > 8 gr/dl
3. Mobilisasi bertahap
4. Medikamentosa :
IVFD RL : D5 : 2 : 2 ( 28 TPM )
Inj. Ceftriaxon 1 x 2 gr
Inj. Metronidazol 3 x 500 ( drip )
Inj. Ketorolak 3 x 1 ampul
Inj Alinamin F 3 x 1 ampul
Inj Ranitidin 2 x 1 ampul
Inj Vit C 3 x 1 ampul
Inj Neurobion 2 x 1 ampul ( drip dalam cairan )
5. Aff cateter setelah 1x24 jam
6. Rencana GV pada hari ke-3 post operasi

50

BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesa yang dilakukan pada pasien disebutkan bahwa pasien datang
dengan keluhan demam disertai menggigil sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga mengeluhkan
rasa pusing, rasa mual dan muntah. Pasien mengaku sudah berobat di dokter praktek namun
merasa tidak ada perubahan. Pada riwayat penyakit sebelumnya juga diketahui jika pasien
sering mengalami keluhan ini selama hamil. Pada bulan ke 2 kehamilannya pasien juga
mengaku pernah sakit malaria tropika +2, dan pada bulan ke 5 pasien mengaku pernah sakit
malaria tersiana +1. Kemudian berobat dan sembuh.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD : 100/70, N : 82 x/m, R : 24, S : 37,8 C,
sklera ikterik -/-, conjungtiva anemis +/+. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan suhu >
37,5 C, adanya tanda anemis, dan splenomegali yang terjadi karena malaria.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan didapatkan hasil pemeriksaan malaria
Plasmodium Falciparum +1. Berdasarkan teori disebutkan bahwa jika didapatkan kuantitatif
+1 artinya ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB. Sehingga pasien ini didiagnosa dengan
malaria tropika +1. Berdasarkan teori disebutkan bahwa diagnosis pasti malaria ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan labolatorium darah. Selain itu pada pasien didapatkan adanya kadar
HB 8,5 %, MCV: 80,5 Fl, MCH : 28,1 pg, MCHC : 34,8 g/dL, RBC : 3,03 (106/mm3).
Sehingga anemia yang terjadi adalah anemia hipokrom kimrositik. Selain itu terdapat
penurunan kadar retikulosit. Hal ini kemungkinan terjadi karena proses hemolitik. Sehingga
sel retikulosit juga menurun.
Hal ini menunjukkan terjadinya anemia. Karena seperti yang telah disebutkan pada
beberapa teori bahwa anemia pada trisemester III adalah HB < 11 gr%. Pada kasus ini
komplikasi yang terjadi pada ibu adalah adanya demam dan anemia. Tidak ditemukan adanya
tanda

hipoglikemi, malaria serebral, edema paru berdasarkan pemeriksaan yang telah

dilakukan.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan pemberian artesunat dengan dosis 2,4
mg/kg bb/iv dengan pemberian Hari 1. 2 x 2 vial iv/ 12 jam, Hari 2 & set. 1 x 2 vial .iv / 24
jam.
Pasien mengaku saat ini sedang hamil 9 bulan, HPHT 21/03/2014 TP 28/12/2015,
ANC 3X di PKM Serui oleh bidan dikatakan janin dalam keadaan baik, mules (-), keluar airair (-), keluar lendir darah (-), gerak janin aktif (+). Berdasarkan pemeriksaan obstetri yang
telah dilakukan didapatkan : TFU : 24 cm atas sympisis pubis, BJA : 154 x/m, HIS : -, TBBA:
51

1705 gram. pemeriksaan dalam : v/v : tenang, tidak ada kelainan, portio : kenyal, arah
posterior, : lancip, ketuban : (+), Presentasi: kepala diatas PAP. Berdasarkan pemeriksaan
obstetri yang dilakukan didapatkan bahwa umur kehamilan pasien 37-38 minggu berdasarkan
HPHT yang diingatnya. Namun TFU pasien tidak sesuai dengan umur kehamilan yang
seharusnya yaitu 24 cm. berdasarkan pengukuran TFU didapatkan TBBJA 1705 gram.
Berdasarkan teori disebutkan bahwa usia kehamilan 37-38 minggu seharunya TFU sekitar 33
cm. dan berat badan janin dengan usia 1705 tergolong

selama kehamilannya, pasien

melakukan pemeriksaan ANC di PKM Serui dan belum pernah dilakukan USG. Sehingga
tidak didapatkan data yang akurat data USG pada usia trisemester I.
Pasien mengaku selama kehamilannya pasien pernah menderita sakit malaria tropika
pada bulan ke 2 kehamilan serta pada bulan ke 5 kehamilan. Riwayat merokok (-), riwayat
mual muntah pada awal kehamilan (+). Berdasarkan pemeriksaan USG yang dilakukan saat
pasien datang didapatkan hasil : janin intrauterin tunggal hidup BPD : 8,87 cm, HC : 32,6 cm,
AC : 28,5 cm, FL : 5,36 cm, AFI : 8,4 cm, EFW : 1880 = 33-34 minggu. Sehingga dari hasil
pemeriksaan dapat ditarik kesimpulan jika janin mengalami IUGR yang dicurigai terjadi
sebagai akibat dari adanya infeksi malaria yang berulang didaerah endemis. Selain itu, pada
pasien berdasarkan pemeriksaan AFI 8,4 cm, diketahui jika cairan ketuban pasien sudah
mulai berkurang.
Saat datang pasien tidak mengeluhkan adanya tanda-tanda inpartu. Berdasarkan
pemeriksaan obstetrik yang sudah dilakukan nilai pelvic score pasien adalah 0. Berdasarkan
teori disebutkan bahwa persalinan sesegera mungkin memberikan hasil terbaik bagi janin
yang dicurigai dengan IUGR pada kehamilan aterm atau mendekati aterm. Pada pasien ini
berdasarkan HPHT, usia kehamilan sudah aterm (cukup bulan), sehingga terminasi kehamilan
direncanakan dan berdasarkan adanya indikasi cairan ketuban yang mulai berkurang, yaitu
AFI 8,4 cm berdasarkan USG yang telah dilakukann.
Namun perlu diperhatikan pula cara persalinan yang akan dilakukan. Karena
berdasarkan teori, persalinan pada fetus preterm dengan IUGR harus cepat, monitoring ketat
dalam masa persalinan untuk mencegah memburuknya keadaan janin atau persalinan
diselesaikan dengan bedah sesar. Dan perawatan intensif harus segera dimulai sejak neonatus
lahir. Karena Janin dengan pertumbuhan yang terhambat berhubungan dengan berkurang atau
terganggunya fungsi placenta, penatalaksanaan yang sesuai dan tepat pada waktunya dapat
meningkatkan harapan hidup. Sehingga pada pasien ini dilakukan pilihan operasi sectio
cessarea. Bayi yang dilahirkan melalui operasi dengan BB 1900 gram, PB : 42,5 cm, A/S 6/8.
52

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pasien didiagnosis dengan GIP0A0 hamil 37-38 minggu, Janin presentase kepala
tunggal hidup, belum inpartu dengan malaria tropika (+) dengan IUGR + cairan
ketuban berkurang + anemia hipokromik mikrositik berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan;
2. Diagnosis malaria berdasarkan anamnesa adanya riwayat demam menggigil sejak 1
minggu SMRS, pemeriksaan fisik adanya conjungtiva anemis dan pemeriksaan
penunjang apusan darah tepi. Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemebrian
injeksi artesunat dengan dosis 2,4mg/kgBB.
3. Diagnosis IUGR didapatkan berdasarkan anamnesis HPHT 21/03/2014 dan TP
28/12/2015 dan didapatkan usia kehamilan 37-38 minggu. Namun pada
pemeriksaan fisik didapatkan TFU 24 cm, yang tidak sesuai dengan usia kehamilan
yang seharusnya. Berdasarkan pemeriksaan USG didapatkan HC >AC, sehingga
pasien ini digolongkan IUGR tipe asimetris. Faktor resiko yang diduga sebagai
penyebab terjadinya adalah infeksi malaria yang berulang disaerah endemis.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu terminasi kehamilan secara operasi sesar
untuk meningkatkan harapan hidup bagi ibu dan janin.
B. Saran
1. Pencegahan malaria pada ibu hamil dengan melakukan perlindungan diri langsung
terhadap vektor nyamuk dan ANC yang baik dan teratur serta pemerisaan rutin
malaria tiap adanya gejala, terutama karena papua merupakan daerah endemisitas
tinggi, dan banyaknya bahaya komplikasi yang bisa terjadi pada ibu dan janin
selama kehamilan.
2. Selama kehamilan ibu dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan antenatal yang
teratur agar pemantauan kondisi janin dapat dilakukan secara teratur, sehingga dan
resiko adanya IUGR dapat segera diketahui dari awal kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

53

1. Suparman.E : Malaria pada Kehamilan. Cermin Dunia Kedokteran.2005,no.146.


2. Harijanto PN : Malaria, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 2006, hal 1732-1744.
3. Nugroho A, Tumewu MG. 2000. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. Dalam: Harijanto PN,
eds. Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis & Penanganan. Edisi I. Jakarta:
EGC, 38-52.
4. Schantz-Dunn J, Nour NM, : Malaria and Pregnancy :A Global Health Pespective.in
Review in Obstetrics & Gynecology.2009.Vol,3.
5. Cunningham FG, Mac Donald PC et al. Williams Obstetrics. 22 st ed. Prentice Hall Inc,
USA, 2005: 1295-1296
6. Cunningham FG, Mac Donald PC et al. Williams Obstetrics. 22 st ed. Prentice Hall Inc,
USA, 2005: 895-904.
7. Harper T, Lam G. Fetal growth Restriction. University of North Carolina at Chapel Hill,
2005. Available at : In eMedicine. http://www.emedicien.com.2012.
8. Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF. Fetal Growth Restriction, Fetal Growth
Disorder : in Williams Obstetrics, 22nd , Appletion and Lange, Connecticut 2005, Chapter 38,
(895-904)
9. Harper, Terry., Fetal Growth Restriction. In eMedicine.2014
10. David Peleg, M.D., Colleen M. Kennedy,M.D., and Stephen K. Hunter, M.D., PhD.
Intrauterine Growth Restriction: Identification and Management. In American Family
Physician. http://www.aafp.org/afp/980800ap/peleg.html.

54

Você também pode gostar