Você está na página 1de 60

1

Penggunaan Ventilasi Mekanik pada penderita Penyakit paru obstruktif kronik

I.

Pendahuluan
Penggunaan Ventilasi Mekanik (VM) pada pasien-pasien dengan Penyakit Paru

Obstruksi Kronik (PPOK) masih merupakan perdebatan hangat diantara para ahli dan indikasi penggunaannya pun bervariasi dari berbagai penelitian. Variasi ini akibat dari

populasi yang berbeda dan definisi dari eksaserbasi PPOK yang berbeda-beda. Tindakan invasif ventilator sering dihubungkan dengan meningkatnya angka kematian dan kesakitan, meskipun kematian sendiri lebih berkorelasi dengan penyakit dasar yang diderita pasien tersebut. (1,8) Pilihan penggunaan VM harus melalui pertimbangan klinis yang akurat berdasar, penyebab eksaserbasi, progresivitas penyakit, simptom pasien, cadangan kardiopulmonal maupun penyakit penyerta. Beberapa ahli pernah membuat perhitungan indikasi medis

penderita PPOK menjalani ventilasi mekanik namun sampai saat ini belum ada yang memuaskan. Tipe dari ventilator yang digunakan juga merupakan pilihan yang harus ditentukan dengan pertimbangan klinis yang tepat, kebanyakan para ahli merujuk penggunaan VM non invasif. Kesulitan yang timbul saat seorang klinisi harus mengambil keputusan apakah

penderita PPOK dengan gagal nafas akut, akan dilakukan intubasi yang dilanjutkan VM ataukah menjalani terapi konvensional. Hal ini disebabkan hasil akhir dari penderita dengan VM sangat bervariasi, ada yang tidak dapat dilakukan weaning atau sebagian yang berhasil di weaning mengalami komplikasi berulang sehingga harus masuk kedalam ventilator ulang. (1,8)

Pada referat ini akan membahas mengenai indikasi, mekanisme, follow up penggunaan ventilator dan weaning penderita PPOK dari ventilator.

II.

Mekanisme pernafasan normal


Tujuan dari bernafas adalah terhantarkannya oksigen ke jaringan dan membuang

karbondioksida. Proses bernafas terdiri dari 4 aspek diantaranya ventilasi-difusi-perfusi dan transportasi. (2,3,4,5)

Ventilasi : Proses keluar masuknya udara dari atmosfer ke dalam alveoli dan sebaliknya dari alveoli menuju atmosfer.

Difusi : Proses pertukaran gas yang berada di alveoli dengan pembuluh kapiler Perfusi : Besarnya aliran darah kapiler pulmonal yang melewati membran alveoli

Transportasi : Pengangkutan oksigen yang sudah diperfusi oleh darah menuju sel dan dikeluarkannya CO2 dari sel menuju atmosfer ( melalui alveoli )

II.1 Ventilasi Ventilasi merupakan proses pertukaran udara antara atmosfer dengan alveoli. Proses ini terdiri dari inspirasi (masuknya udara ke paru-paru) dan ekspirasi (keluarnya udara dari paru-paru). Ventilasi dapat terjadi karena adanya perubahan tekanan intra pulmonal, pada saat inspirasi tekanan intra pulmonal lebih rendah dari tekanan atmosfer sehingga udara dari atmosfer akan terhisap ke dalam paru-paru. Sebaliknya pada saat ekspirasi tekanan intrapulmonal menjadi lebih tinggi dari atmosfer sehingga udara akan tertiup keluar dari paru-paru. (2,3,4,5)

Perubahan tekanan intra pulmonal ini terjadi melalui pengembangan dan pengempisan rongga dada yang terjadi melalui 2 mekanisme :

1. Penurunan dan peningkatan dari diafragma yang menimbulkan rongga dada menjadi
mengembang atau mengempis. 2. Elevasi dan depresi dari iga yang menyebabkan peningkatan dan penurunan dari diameter anteroposterior dari rongga dada. Pada pernafasan normal hampir seluruhnya dicapai melalui mekanisme yang pertama. Saat inspirasi kontraksi dari diafragma akan mendorong permukaan bawah dari paru-paru ke bawah. Sedangkan saat ekspirasi, diafragma berelaksasi. (2,3,4)

Gb.1 perubahan diafragma saat inspirasi dan ekspirasi. Tortora, Gerard J and Grabowski Sandra Reynolds ; Principles of Anatomy and Physiology. John Willey and Sons Inc.Toronto 2000).

Sekali lagi perubahan tekanan intrapulmonal tersebut disebabkan karena perubahan volume rongga dada akibat kerja dari otot-otot pernafasan dan diafragma. Pada saat inspirasi terjadi kontraksi dari otot-otot insiprasi (muskulus interkostalis

eksternus dan diafragma) sehingga terjadi elevasi dari tulang-tulang kostae dan menyebabkan peningkatan volume rongga dada, secara bersamaan paru-paru juga akan ikut mengembang sehingga tekanan intra pulmonal menurun dan udara terhirup ke dalam paru-paru.

Gambar 2 : Meknisme pernafasan (Principles of Anatomy and Physiology. John Willey and Sons Inc.Toronto 2000)

Ekspirasi merupakan proses yang pasif dimana setelah terjadi pengembangan cavum toraks akibat kerja otot-otot inspirasi maka setelah otot-otot tersebut relaksasi maka terjadilah ekspirasi. Tetapi setelah ekspirasi normal, kitapun masih bisa menghembuskan nafas dalam-dalam karena adanya kerja dari otot-otot ekspirasi yaitu muskulus interkostalis internus dan muskulus abdominis. (2,3,4,5) Ventilasi dipengaruhi oleh : 1. Kadar oksigen pada atmosfer 2. Kebersihan jalan nafas

3. Daya recoil & complience (kembang kempis) dari paru-paru 4. Pusat pernafasan

Fleksibilitas paru sangat penting dalam proses ventilasi. Fleksibilitas paru dijaga oleh surfaktan. Surfaktan merupakan campuran lipoprotein yang dikeluarkan sel sekretori alveoli pada bagian epitel alveolus dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan alveolus yang disebabkan karena daya tarik menarik molekul air & mencegah kolaps alveoli dengan cara membentuk lapisan monomolekuler antara lapisan
cairan dan udara.

Gambar 3 : Struktur paru-paru dan rongga thoraks (Thiemes, Atlas of Pathophysiology)

Hubungan antara perubahan tekanan dengan perubahan volume dan aliran dikenal sebagai compliance. Ada dua bentuk compliance:

Static compliance, perubahan volum paru persatuan perubahan tekanan saluran nafas ( airway pressure) sewaktu paru tidak bergerak. Pada orang dewasa muda normal : 100 ml/cm H2O

Effective Compliance : (tidal volume/peak pressure) selama fase pernafasan. Normal: 50 ml/cm H2O

Saat terjadi ventilasi maka volume udara yang keluar masuk antara atmosfer dan paru-paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
(2,3,4,5)

Gambar 4.

Kapasitas rongga thoraks (Principles of Anatomy and Physiology. John Willey and Sons

Inc.Toronto 2000)

Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi dan diekspirasi dalam pernafasan normal. IRV (volume cadangan inspirasi)/ UK adalah volume udara yang masih bisa dihirup paru-paru setelah inspirasi normal. ERV (volume cadangan ekspirasi) adalah volume udara yang masih bisa diekshalasi setelah ekspirasi normal/ UC. Sedangkan RV (volume sisa) adalah volume udara yang masih tersisa dalam paruparu setelah ekspirasi kuat / UR. Kebutuhan oksigen tubuh bersifat dinamis, berubah-ubah dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah aktivitas. Saat aktivitas meningkat maka kebutuhan oksigen akan meningkat sehingga kerja sistem respirasi juga meningkat. Mekanisme adaptasi sistem respirasi terhadap perubahan kebutuhan oksigen tubuh sangat penting untuk menjaga homeostastis dengan mekanisme sebagai berikut : (2,3,4,5)

Gambar 5 Mekanisme Regulasi pernafasan (Thiemes, Atlas of Pathophysiology)

Sistem respirasi diatur oleh pusat pernafasan pada otak yaitu medula oblongata. Pusat nafas terdiri dari daerah berirama medulla (medulla rithmicity) dan pons. Daerah berirama medula terdiri dari area inspirasi dan ekspirasi. Sedangkan pons terdiri dari pneumotaxic area dan apneustic area. Pneumotaxic area menginhibisi sirkuit inspirasi dan meningkatkan irama respirasi. Sedangkan apneustic area mengeksitasi sirkuit inspirasi. Rangsang ventilasi terjadi atas : PaCo2, pH darah, PaO2, pada keadaan biasa maka
kadar PaCO2 merupakan rangsangan utama seseorang untuk bernafas, namun pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dimana seseorang menjadi terbiasa dengan PaCO2 yang tinggi, kadar PaO2 menjadi rangsang utama pernafasan.

Daerah berirama medula mempertahankan irama nafas I : E = 2 : 3. Stimulasi neuron inspirasi menyebabkan osilasi pada sirkuit inspirasi selama 2 dan inhibisi pada neuron ekspirasi kemudian terjadi kelelahan sehingga berhenti. Setelah inhibisi hilang kemudian sirkuit ekspirasi berosilasi selama 3 dan terjadi inhibisi pada sirkuit

10

inspirasi. Setelah itu terjadi kelelahan dan berhenti dan terus menerus terjadi sehingga tercipta pernafasan yang ritmis. (2,3,4,5) Pengaturan respirasi dipengaruhi oleh : 1. Korteks serebri yang dapat mempengaruhi pola respirasi. 2. Zat-zat kimiawi : dalam tubuh terdapat kemoresptor yang sensitif terhadap perubahan konsentrasi O2, CO2 dan H+ di aorta, arkus aorta dan arteri karotis. 3. Gerakan : perubahan gerakan diterima oleh proprioseptor. 4. Refleks Heuring Breur : menjaga pengembangan dan pengempisan paru agar optimal. 5. Faktor lain : tekanan darah, emosi, suhu, nyeri, aktivitas spinkter ani dan iritasi saluran nafas

Difusi Difusi dalam respirasi merupakan proses pertukaran gas antara alveoli dengan darah pada kapiler paru. Proses difusi terjadi karena perbedaan tekanan, gas berdifusi dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Salah satu ukuran difusi adalah tekanan parsial. Difusi terjadi melalui membran respirasi yang merupakan dinding alveolus yang sangat tipis dengan ketebalan rata-rata 0,5 mikron. Di dalamnya terdapat jalinan kapiler yang sangat banyak dengan diameter 8 angstrom. Dalam paru2 terdapat sekitar 300 juta alveoli dan bila dibentangkan dindingnya maka luasnya mencapai 70 m2 pada orang dewasa normal.

11

Gambar 6. Kapasitas rongga thoraks (Principles of Anatomy and Physiology. John Willey and Sons
Inc.Toronto 2000)

Saat difusi terjadi pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida secara simultan. Saat inspirasi maka oksigen akan masuk ke dalam kapiler paru dan saat ekspirasi karbondioksida akan dilepaskan kapiler paru ke alveoli untuk dibuang ke atmosfer. Proses pertukaran gas tersebut terjadi karena perbedaan tekanan parsial oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler paru. Volume gas yang berdifusi melalui membran respirasi per menit untuk setiap perbedaan tekanan sebesar 1 mmHg disebut dengan kapasitas difusi. Kapasitas difusi oksigen dalam keadaan istirahat sekitar 230 ml/menit. Saat aktivitas meningkat maka kapasitas difusi ini juga meningkat karena jumlah kapiler aktif meningkat disertai

12

dilatasi kapiler yang menyebabkan luas permukaan membran difusi meningkat. Kapasitas difusi karbondioksida saat istirahat adalah 400-450 ml/menit. Saat bekerja meningkat menjadi 1200-1500 ml/menit. (2,3,4,5)

Gambar 7. Mekanisme difusi di alveoli ((Thiemes, Atlas of Pathophysiology)

Difusi dipengaruhi oleh : 1. Ketebalan membran respirasi 2. Koefisien difusi 3. Luas permukaan membran respirasi* 4. Perbedaan tekanan parsial

Transportasi

13

Setelah difusi maka selanjutnya terjadi proses transportasi oksigen ke sel-sel yang membutuhkan melalui darah dan pengangkutan karbondioksida sebagai sisa metabolisme ke kapiler paru. Sekitar 97 - 98,5% Oksigen ditransportasikan dengan cara berikatan dengan Hb (HbO2/oksihaemoglobin,) sisanya larut dalam plasma. Sekitar 57 % karbondioksida larut dalam plasma, 23 30% berikatan dengan

Hb(HbCO2/karbaminahaemoglobin) dan 65 70% dalam bentuk HCO3 (ion bikarbonat).

Gambar 8. Struktur hemoglobin (Principles of Anatomy and Physiology. John Willey and Sons Inc.Toronto 2000)

Saat istirahat, 5 ml oksigen ditransportasikan oleh 100 ml darah setiap menit. Jika curah jantung 5000 ml/menit maka jumlah oksigen yang diberikan ke jaringan sekitar 250 ml/menit. Saat olah raga berat dapat meningkat 15 20 kali lipat. (2,3,4,5) Transportasi gas dipengaruhi oleh :

14

1. Cardiac Output 2. Jumlah eritrosit 3. Aktivitas 4. Hematokrit darah Setelah transportasi maka terjadilah difusi gas pada sel/jaringan. Difusi gas pada sel/jaringan terjadi karena tekanan parsial oksigen (PO2) intrasel selalu lebih rendah dari PO2 kapiler karena O2 dalam sel selalu digunakan oleh sel. Sebaliknya tekanan parsial karbondioksida (PCO2) intrasel selalu lebih tinggi karena CO2 selalu diproduksi oleh sel sebagai sisa metabolisme.

III.

Penyakit paru obstruktif kronik

III.1 Definisi Terdapat beberapa definisi yang diajukan oleh beberapa institusi paru dunia. (6,7) American Thoracic Society ( ATS ,1995) : PPOK adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya obstruksi aliran napas yang disebabkan oleh bronkitis kronik atau emfisema. Obstruksi ini umumnya progresif , disertai dengan hipereaktifitas saluran napas dan sebagian reversibel. Global initiative for Chronic Obstructive Lung Disease ( GOLD 2001) : PPOK adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya pembatasan aliran napas yang tidak sepenuhnya progresif dan diserta dengan respons

reversibel . Pembatasan aliran napas ini biasnya

inflamasi paru yang abnormal terhadap beberapa zat dan gas.

15

Berdasarkan kedua definisi tersebut dapat disimpulkan PPOK harus terdapat adanya hambatan/pembatasan pada aliran napas, hambatan tersebut bersifat progresif, hambatan tersebut sebagian bersifat reversibel, sebagian ireversibel serta adanya hiperreaktifitas pada saluran napasnya. Definisi yang diajukan oleh ATS 1995 secara khusus mencantumkan kausa dari PPOK yaitu bronkitis kronik dan emfisema paru. (6,7) Pemahaman beberapa terminologi yang terdapat pada definisi PPOK sangat penting karena berkaitan dengan upaya penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit PPOK. Bronkitis kronik didefinisikan sebagai adanya batuk kronik produktif untuk paling tidak selama 3 bulan tiap tahunnya dan terjadi selama 2 tahun berturut turut tanpa diserta adanya penyebab lain dari batuk tersebut. Emfisema paru adalah pelebaran abnormal yang permanen dari saluran napas distal dari bronkiolus terminal, disertai dengan destruksi dinding tanpa disertai dengan fibrosis. (6,7)

III.2 Patofisiologi Obstruksi saluran napas difus terdiri dari empat unsur, yaitu : (6,7) 1. Hipertrofi otot polos bronkus 2. Peningkatan sekresi muk ke dalam lumen bronkus 3. Edema mukosa bronkus 4. Infiltrasi sel inflamasi oleh eosinofil dan netrofil pada dinding saluran napas dan lumen. Mekanisme obstruksi saluran napas yang terjadi sangat kompleks, tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus merupakan faktor utama. Pada bronkitis kronik obstruksi saluran napas terjadi melalui mekanisme lain. Faktor pencetus penyakit ini adalah suatu

16

iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi. Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap hembusan asap rokok terdapat l014 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul kerusakan jaringan intersititial alveolus. Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivita silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditandai dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan gejala batuk kronik dan ekpektorasi. obstruksi saluran napas yang terjadi sangat kompleks, tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus merupakan faktor utama. Pada bronkitis kronik obstruksi saluran napas terjadi melalui mekanisme lain. Faktor pencetus penyakit ini adalah suatu iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi

17

Gambar 9 Patofisiologi PPOK (Thiemes, Atlas of Pathophysiology)

Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap hembusan asap rokok terdapat l014 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul

18

kerusakan jaringan intersititial alveolus. Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivita silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditandai dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan gejala batuk kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel. (4,5,6,7)

Gambar 10. Patofisiology PPOK (Thiemes, Atlas of Pathophysiology)

19

Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang permanen dan destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema sentri-acinar. Pada jenis pan-acinar kerusakan acinar relatif difus dan dihubungkan dengan proses menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya elasticrecoil paru sehingga timbul obstruksi saluran napas. Pada jenis sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit saluran napas perifer. (4,5,6,7) Pada sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT) mekanisme obstruksi terjadi oleh karena rusaknya parenkim paru akibat penyakit tuberkulosis. Timbulnya fibrosis mengakibatkan saluran napas yang tidak teratur, serta emfisema kompensasi karena proses fibrosis dan atelektasis mungkin mempunyai peran dalam terjadinya obstruksi saluran napas pada penyakit ini.

III.3 Diagnosis Dignosis PPOK harus selalu dipertimbangkan pada seorang penderita dengan keluhan batuk , bersputum banyak atau sesak napas dengan/tidak disertai riwayat paparan terhadap faktor risiko PPOK. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan yang objekktif untuk adanya hambatan pada aliran napas (spirometri). (4,5,6,7)

20

Keluhan Batuk kronik : Dapat terjadi intermiten atau tiap hari, seringnya sepanjang hari, jarang hanya pada malam hari Produksi sputum kronik : semua pola dari produksi sputum kronik dapat mengindikasikan adanya PPOK Sesak napas : Progresif ( makin memburuk ) Persisten ( terjadi setiap hari) Digambarkan oleh penderita sebagai : penambahan tenaga untuk bernapas, rasa berat, lapar udara, tersengal Memburuk dengan latihan/aktifitas Memburuk saat terjadi infeksi sal napas

Riwayat paparan terhadap faktor risiko : rokok debu/zat kimia tempat kerja asap pemasakan di rumah

III.3.1 Riwayat Penyakit Paparan terhadap faktor risiko Asma, alergi, polip nasal, ISPA saat anak, dan penyakit paru lainnya Riwayat keluarga dengan COPD Pola timbulnya keluhan Riwayat eksaserbasi atau perawatan untuk penyakit paru

21

Adanya faktor komorbid yang berpengaruh pada pembatasan aktifitas seperti : gagal jantung dan penyakit rematik

Adekuat/tidaknya pengobatan yang diterima sekarang Dampak penyakit terhadap kehidupan penderita : pembatasan aktifitas, dampak pada pekerjaan dan ekonomi, depresi dan anxietas

Support keluarga dan sosial terhadap penderita Kemungkinan penghentian paparan terhadap faktor risiko terutama penghentian rokok.

Gambar 11. Manifestasi klinis PPOK (Thiemes, Atlas of Pathophysiology)

22

III.3.2 Pemeriksaan Fisik Toraks

1. Tanda hambatan aliran napas Wheezing Perlambatan waktu ekspiratori paksa

2. Tanda emfisema

Distensi paru, diafragma rendah Penurunan suara napas dan bunyi jantung

3. Tanda penyakit yang sudah berat

Pursed lips breathing Penggunaan otot napas tambahan

Pemeriksaan fisik lain :

Posisi abnormal untuk mengurangi sesak pada saat istirahat Jari tabuh Edema ( mungkin terjadi bila telah ada gagal jantung kanan )

23

Gambar 12. Manifestasi klinis PPOK (Thiemes, Atlas of Pathophysiology)

III.3.3 Pengukuran Hambatan Aliran Udara Pemeriksaan spirometri harus dilakukan pada penderita dengan keluhan seperti pada anamnesa diatas, meskipun tidak jelas terdapat adanya keluhan sesak napas. Pemeriksaan yang dilihat adalah FEV1 dan ratio antara FEV1/ FVC. Pada penderita dengan PPOK kedua parameter tersebut menurun. Terdapatnya penurunan FEV1 <80% saat pemeriksaan pasca

24

bronkodilator disertai dengan rasio FEV1/FVC < 70% mengkonfirmasi adanya hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.

III.3..4 Pemeriksaan Tambahan Tes reversibilitas bronkodilator Dikerjakan hanya satu kali saat diagnosis. Tes ini berguna untuk menyingkirkan asma, menentukan faal paru terbaik yang dapat dicapai oleh penderita asma, menentukan prognosis dan tuntunan untuk terapi. (4,5,6,7) Tes reversibilitas glukokortikoid Untuk menentukan apakah penderita berespons baik terhadap pemberian jangka panjang glukokortikoid. Tes dilakukan dengan cara memberikan inhalasi glukokortikoid selama 6 minggu 3 bulan. Peningkatan FEV1 sebesar 200 ml dan lebih besar dari 15% mengindikasikan manfaat terapi jangka panjang glukokortikoid. Dalam melakukan tes ini harus selalu diperhitungkan adanya efek bronkodilator. (4,5,7)

Pemeriksaan radiologis dada Jarang diagnostik untuk PPOK, namun sangat bermanfaat dalam menyingkitkan penyakit lain. CT scan hanya dilakukan jika terdapat keraguan diagnosis atau direncananakn bulektomi atau operasi lung volume reduction surgery (LVRS).

Pemeriksaan analisa gas darah (AGD).

25

Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada penderita dengan FEV1 <40% atau terdapat tanda gagal napas atau gagal jantung kanan. Pemeriksaan alfa1 antitripsin Dilakukan pada penderita PPOK yang timbul dini ( usia <45 tahun) atau adanya riwayat keluarga yang jelas.

III.4

Auto PEEP Auto/intrinsik PEEP adalah meningkatnya tekanan alveoli atau meingkatnya udara

yang terperangkap (dinamik hiperinflasi) pada akhir ekspirasi akibat adanya akumuasi udara yang disebabkan ekspirasi yang tidak komplit sebelum inspirasi selanjutnya. Pembahasan kali ini lebih dititikberatkan pada Auto PEEP yang timbul akibat dari ventilasi mekanik. Auto PEEP dapat juga timbul saat pernafasan spontan biasa pada pasien PPOK. Auto PEEP akan meningkatkan tekanan intratorakal sehingga menurunkan venous return dan menurunkan kardiak output sehingga menimbulkan hipotensi. Hal ini paling sering terjadi pada penderita yang hipovolemi. Auto PEEP juga dapat menimbulkan overdistensi dari alveolar, peningkatan ini akan meningkatkan kejadian barotrauma dan ventilator associated lung injury. Overdistensi dari alveolar dapat menimbulkan hipoksemia bila V/Q mismatch meningkat dan juga berhubungan dengan tingginya kompresi pada pembuluh darah paru. (8,9,10)

IV.

Tinjauan Umum Ventilator


Deskripsi tentang ventilasi tekanan positif pertama kali dikemukakan oleh Vesalius

sejak 400 tahun yang lalu, namun penerapan konsep tersebut dalam penatalaksanaan pasien

26

dimulai pada tahun 1955, saat epidemi polio terjadi hampir di seluruh dunia. Pada saat itu dibutuhkan suatu bentuk bantuan ventilasi yang dapat bertindak sebagai tangki ventilator bertekanan negatif yang dikenal dengan istilah iron lung. Di Swedia, seluruh pusat pendidikan kedokteran tutup, dan seluruh mahasiswanya bekerja selama 8 jam sehari sebagai human ventilator, yang memompa paru pada pasien-pasien dengan gangguan ventilasi. Di Boston, Amerika Serikat, Emerson Company berhasil membuat suatu prototipe alat inflasi paru bertekanan positif yang kemudian digunakan di Massachusetts General Hospital dan memberikan hasil yang memuaskan dalam waktu singkat. Sejak saat itu, dimulailah era baru penggunaan ventilasi mekanik bertekanan positif serta ilmu kedokteran dan perawatan intensif. (8,9,11) Ventilator tekanan positif yang pertama kali ditemukan, bertujuan untuk mengembangkan paru-paru hingga mencapai tekanan yang diinginkan (preset pressure). Ventilasi dengan jenis pressure-cycle ini kurang disukai karena volume inflasi bervariasi sesuai dengan perubahan pada properti mekanik di paru-paru. Sebaliknya, ventilasi volumecycled yang dapat mengembangkan paru-paru sampai volume yang ditentukan awal serta menyalurkan volume alveolar yang konstan meskipun terjadi perubahan properti mekanik paru-paru, sehingga ventilasi volume-cycled dijadikan sebagai metode standar pada ventilasi mekanik tekanan positif. (11,13)

IV.1. Indikasi Ventilasi Mekanik Ventilasi mekanik dapat diaplikasikan secara klinis dalam keadaan : Resusitasi jantung paru Gagal nafas

27

Paska operasi besar yang memerlukan bantuan ventilasi untuk memperbaiki


homeostasis, gangguan keseimbangan asam basa serta keadaan anemia

Sepsis berat dimana pasien tidak dapat memenuhi peningkatan work of breathing
akibat tingginya produksi CO2

Pengendalian kadar CO2 sebagai salah satu bagian dari pengelolaan TTIK
(misalnya akibat cedera kepala). Sebagai bantuan ventilasi pada penderita yang diintubasi atas indikasi

mempertahankan jalan nafas.

Mengurangi beban jantung pada syok kardiogenik


Kriteria objektif untuk penggunaan ventilasi mekanik adalah: Laju nafas > 35 x/mnt Volume tidal < 5ml/kg Kapasitas < 15ml/kg Oksigenasi: PaO2 < 50mmHg dengan fraksi oksigen 60% Ventilasi: PCO2 > 50mmHg

IV.2 Sasaran/Tujuan Ventilasi Mekanik Tujuan fisiologis:

28

Memperbaiki oksigenasi arteri (PO 2, saturasi dan CaO 2) Meningkatkan inflasi paru akhir inspirasi Meningkatkan FRC (Kapasitas residu fungsional) Menurunkan kerja otot-otot pernafasan (Work of Breathing)

Memperbaiki ventilasi alveolar (PCO 2 dan Ph)

Tujuan klinis:

Koreksi asidosis respiratorik akut (Life threatening acidemia), Koreksi hipoksemia (meningkatkan PaO2;Saturasi > 90% atau PaO2 > 60 mmHg, untuk mencegah hipoksia jaringan)

Menghilangkan "respiratory distress" Mencegah dan mengembalikan atelektasis Menghilangkan kelelahan otot bantu nafas Untuk fasilitasi akibat pemberian sedasi yang dalam atau pelumpuh otot Menurunkan konsumsi oksigen miokard atau sistemik (ARDS, syok kardiogenik) Menurunkan tekanan intrakranial (hiperventilasi) pd trauma kepala tertutup.

Klasifikasi Ventilator Klasifikasi dari ventilator selalu bervariasi dar textbook satu ke text book yang lain, berikut adalah suatu klasifikasi yang paling mudah dipahami (14)

1.

Kontrol

a. Kontrol Volume (pembatasan volume atau terget volume), sehingga tekanan

29

menjadi bervariasi

b. Kontrol tekanan (Pembatasan tekanan atau target tekanan), sehingga volume


menjadi bervaiasi

c. Dual kontrol (target volume dengan pembatasan tekanan) 2. Siklus, adalah metode ventilator berpindah dari inspirasi ke ekspirasi, Sirkulasi mesin
mengalirkan udara berdasarkan target olume atau tekanan

a. Siklus berdasarkan waktu, seperti pada ventilasi kontrol b. Siklus berdasarkan aliran udara, seperti pada pressure support c. Siklus berdasarkan volume, Ventilator akan mengawali fase ekspirasi sesaat
setelah volume tidal tersampaikan, seperti pada ventilasi volume kontrol.

3. Pencetus (trigger), penyebab ventilator memulai inspirasi, daat berupa triger waktu,
triger tekanan maupun triger alliran.

a. Triger waktu : Ventilator telah mengatur jumlah pernafasan seperti pada


mode kontrol

b. Pressure : Upaya bernafas dari penderita akan dirasakan oleh ventilator dan
akan mencetuskan inspirasi

Gambar 13. Skema gambaran triger di layar ventilator (Shapiro, resp care)

30

c. Aliran : Pada ventilator yang lebih baru, ventilator akan memberikan aliran
yang konstan ke sirkuit sepanjang siklus respirasi. Bila terdapat perubahan akibat upaya inspirasi pasien maka akan terdeteksi oleh ventilator dan memberikan suatu inspirasi. Melalui mekanisme ini pasien akan memberikan upaya bernafas yang lebih sedikit dibanding pressure trigering.

4. Pernafasan, penyebab siklus dari inspirasi ventilator a. Mandatory (kontrol), ditentukan oleh jumlah pernafasan b. Assisted (assist kontrol, SIMV, pressure suport) c. Spontan (tidak ada bantuan inspirasi seperti pada CPAP) 5. Aliran nafas, konstan, meningkat, penurunan atau sinusoidal a. Sinusoidal, seperti pada pernafasan normal atau CPAP b. Decelerating, inspirasi menurun saat tekanan alveoli meningkat (aliran insial
tinggi). Kebanyakan intensivist menggunakan mode ini pada volume target ventilasi karena akan menghasilkan tekanan puncak yang tidak terlalu tinggi dam konstan dan distribusi udara yang lebih baik.

c. Accelerating : Aliran udar meningkat secara progresif, Hal tersebut


sebaiknya tidak digunakan dalam prakti sehari-hari

d. Konstan : Aliran udara berlangsung spontan sesuai pengaturan tidal volume

31

Gambar 14. Skema aliran nafas dalam ventilator (shapiro, respiratory care)

6. Mode/pola pernafasan a. CMV atau mode ventilasi kontrol konvensional, dimana tidak ada pernafasan
spontan

b. Assist kontrol c. Intermitten mandatory ventilation (IMV) d. Syncronized Intermitten mandatory ventilation (SIMV) e. Pressure Support (PS) f. High Frekwensi ventilation, takanan aliran nafas berlangsung spontandan
ratusan pernafasan kecil-kecil berlangsung Selanjutnya mode pernafasan ini akan dibahas lebih dalam di pembahasan berikutnya.

IV.3 Setting Ventilator Parameter yang harus ditetapkan sangat bervariasi tergantung pada mode ventilasi yang digunakan. Beberapa parameter tersebut antara lain: (12,13,14) Inspiratory flow

32

I:E ratio Positive End Ekspiratory Pressure (PEEP) Fraksi Oksigen (FiO2) Respiratory rate (RR) Tidal volume (TV) Pressure settings Inspiratory trigger Laju aliran (Flow) Ventilator mode

4.3.1 Inspiratory Flow Bervariasi tergantung dari TV, rasio I : E dan frekuensi nafas. Normal sekitar 60 l/mnt. 4.3.2 Inspirasi:Ekspirasi (I:E) Ratio Merupakan perbandingan antara waktu inspirasidan ekspirasi, umumnya I:E rasio diset 1:2 yang merupakan nilai normal fisiologis inspirasi dan ekspirasi. Tergantung keadaan dapat diubah menjadi 1:3 atau 1:4. 4.3.3 PEEP ( Positive End Expiratory Pressure ) Sesuai dengan namanya, PEEP berfungsi untuk mempertahankan tekanan positif jalan napas pada tingkatan tertentu selama fase ekspirasi. PEEP dibedakan dari tekanan positif jalan napas kontinyu / CPAP, berdasarkan waktu digunakannya. PEEP hanya digunakan pada fase ekspirasi, sementara CPAP berlangsung selama siklus respirasi. Penggunaan PEEP selama ventilasi mekanik memiliki manfaaat

33

yang potensial. Pada gagal napas hipoksemia akut, PEEP meningkatkan tekanan alveolar rata-rata, meningkatkan area reekspansi atelektasis dan dapat mendorong cairan dari ruang alveolar menuju interstisial sehingga memungkinkan alveoli yang sebelumnya tertutup atau terendam cairan, untuk berperan serta dalam pertukaran gas. Pada edema kardiopulmonal, PEEP dapat mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri sehingga memperbaiki kinerja jantung. Pada gagal napas hiperkapnea yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas, pasien sering mengalami kekurangan waktu untuk ekspirasi sehingga menimbulkan hiperinflasi dinamik. Hal ini menyebabkan timbulnya auto- PEEP yaitu tekanan akhir ekspirasi alveolar yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Bila didapatkan auto-PEEP, maka dibutuhkan pemicu ventilator (trigger) berupa tekanan negatif jalan napas yang lebih tinggi dari sensitivitas pemicu maupun auto-PEEP. Jika pasien tidak mampu mencapainya, maka usaha inspirasi menjadi sia-sia dan dapat meningkatkan kerja pernapasan (work of breathing). Pemberian PEEP dapat mengatasi hal ini karena dapat mengurangi auto-PEEP dari tekanan negatif total yang dibutuhkan untuk memicu ventilator. Secara umum, PEEP ditingkatkan secara bertahap sampai usaha napas pasien dapat memicu ventilator secara konstan hingga mencapai 85% dari auto-PEEP yang diperkirakan. 4.3.4 Fraksi Oksigen, (FiO 2 ) FiO 2 adalah jumlah oksigen yg dihantarkan/diberikan oleh ventilator ke pasien. Konsentrasi berkisar 21-100%. Rekomendasi untuk setting FiO2 pada awal pemasangan ventilator adalah 100%. Namun pemberian 100% tidak boluh terlalu lama sebab resiko keracunan oksigen. Keracunan O2

34

menyebabkan perubahan struktur membrane alveolar-capillary, edema part, atelektasis, dan penurunan PaO2 yg refrakter (ARDS). Setelah pasien stabil, FiO2 dapat di weaning bertahap berdasarkan pulse oksimetri dan Astrup. 4.3.5 Respiratory Rate (RR) Frekuensi nafas (RR) adalah jumlah nafas yang diberikan ke pasien setiap menitnya. Setting RR tergantung dari TV, jenis kelainan pasien, dan target PaCO2 pasien. Parameter alarm RR di set diatas dan di bawah nilai RR yang diset. Misalnya jika set RR 10 kali/menit, maka set alarm sebaiknya diatas 12x/menit dan di bawah 8 x/menit. Sehingga cepat mendeteksi terjadinya hiperventilasi atau hipoventilasi. Pada pasien2 dengan PPOK (resktriktif) biasanya tolerate dengan RR 12-20 x/menit. Sedangkan untuk pasien normal RR biasanya 8-12 x/menit. Waktu (time) merupakan variabel yg mengatur siklus respirasi. Contoh: Setting RR 10 x/menit, maka siklus respirasi (Ttotal) adalah 60/10 = 6 detik. Berarti siklus respirasi (inspirasi + ekspirasi) harus berlangsung dibawah 6 detik. 4.3.6 Tidal Volum e (VT) Tidal Volume adalah volume gas yang dihantarkan oleh ventilator ke pasien setiap sekali nafas. Umumnya setting antara 5-10 cc/kgBB, tergantung dari compliance, resistance, dan jenis kelainan paru. Pada pasien PPOK cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Untuk pasien ARDS memakai konsep permissive hipercapnea (membiarkan PaCO2 tinggi > 45 mmHg, asal PaO2 normal, dgn cara menurunkan tidal volume yaitu 4-6 cc/kgBB) Tidal volume rendah ini dimaksudkan agar terhindar dari barotrauma. Parameter alarm tidal volume

35

diset diatas dan dia bawah nilai yg kita set. Monitoring tidal volume sangat perlu jika kita memakai Pressure Cycled. 4.3.7 Pressure Limit/ Pressure Inspirasi Pressure limit mengatur/membatasi jumlah pressure/tekanan dari volume cycled ventilator, sebab pressure yg tinggi dapat menyebabkan barotrauma. Pressure yg direkomendasi adalah plateau pressure tidak boleh melebihi 35 cm H2O. Jika limit ini dicapai maka secara otomatis ventilator menghentikan hantarannya, dan alarm berbunyi. Pressure limit yang tercap ai ini biasanya disebabkan oleh adany a

sumbatan/obstruksi jalan nafas, retensi sputum di ETT atau penguapan air di sirkuit ventilator. Biasanya akan normal lagi setelah suctioning. Peningkatan pressure ini juga dapat terjadi karena pasien batuk, ETT digigit, fighting terhadap ventilator, atau kinking pada tubing ventilator. 4.3.8 Sensitifity/Trigger Sensitivity menentukan jumlah upaya nafas pasien yang diperlukan untuk memulai inspirasi dari ventilator. Setting dapat berupa flow atau pressure. Flow biasanya lebih baik untuk pasien yang sudah bernafas spontan dan memakai PS/Spontan/ASB karena dapat megurangi kerja nafas. Nilai sensitivity berkisar 2-20 cmH20. Jika PaCO2 pasien perlu dipertahankan konstan, misalnya pada resusitasi otak, maka setting dapat dibuat diatas 5 cmH2O. Dengan demikian setiap usaha nafas pasien tidak akan dibantu oleh ventilator. Pada keadaan ini perlu diberikan sedasi dan pelumpuh otot (musclerelaksan) karena pasien akan merasa tidak nyaman sewaktu bangun. Namun jika memakai mode assisted atau SIM atau spontan/PS/ASB, trigger harus dibuat dibawah 5 cm H2O

36

4.3.9

Laju aliran (flow rate) Hal ini sering dilupakan pada mode yang bersifat volume-target. Laju aliran ini penting terutama untuk kenyamanan pasien karena mempengaruhi kerja pernapasan, hiperinflasi dinamik dan auto-PEEP. Pada sebagian besar ventilator, laju aliran diatur secara langsung. Pada ventilator lainnya, misalnya Siemen 900 cc, laju aliran ditentukan secara tidak langsung dari laju pernapasan dan I:E ratio. Contohnya adalah sebagai berikut: Laju pernapasan = 10 Waktu siklus respirasi = 6 detik I:E ratio = 1:2 Waktu inspirasi = 2 detik Waktu ekspirasi = 4 detik Volume tidal = 500 ml Laju aliran = volume/ waktu inspirasi = 500 ml tiap 2 detik

IV.4 Mode Ventilator Secara keseluruhan pengaturan ventilator meliputi 2 hal yaitu pemilihan mode dan setting. Mode ventilator terbagi menjadi 3 target utama : (12,13,14) Target Volume : Besarnya volume udara yang masuk ke dalam paru-paru tergantung dari jumlah TV dan atau MV yang kita tentukan dalam ventilator. Mode dengan target volume diantaranya : Volume Controlled ( VC ), Controlled Minute

37

Ventilation ( CMV), SIMV

Target Pressure : Besarnya volume udara yang masuk ke dalam paru-paru tergantung besarnya tekanan udara inspirasi ( P insp atau IPL ). Pada mode ini jumlah TV atau MV tdk perlu kita tentukan karena besarnya volume udara yang dihasilkan tergantung dari kecukupan IPL yang kita set pada ventilator. Mode dengan target pressure diantaranya : PC, PS,PCV,CPAP

Gabungan volume dan tekanan : Besarnya volume udara dalam paru-paru tergantung pada TV atau MV dan P insp yang kita setting, misalnya SIMV

IV.4.1 Controlled Minute Ventilation (CMV) Pada mode ventilasi ini laju nafas ( RR ) dan TV ditentukan oleh klinisi. CMV digunakan bila nafas spontan tidak ada atau minimal, misalnya pada penderita dengan hipoksia yang berat

IV.4.2 Pressure Controlled Ventilation (PCV) Klinisi mengatur RR dan rasio I:E. PCV digunakan untuk melimitasi tekanan pada jalan nafas pada paru-paru dengan komplians yang rendah atau resistensi yang tinggi untuk mencegah risiko barotrauma. Dengan demikian akan diperoleh volume tidal dan minute volume yang bervariasi sesuai dengan perubahan komplians dan resistensi.

IV.4.3 Assist-control ventilation (ACV)

38

Bila penderita sudah mempunyai nafas spontan maka CMV atau PCV akan menjadl ACV. Pada saat ini berisiko untuk terjadinya hiperventilasi.

IV.4.4 Synchronised intermittent mandatory ventilation (SIMV) Bila ada upaya nafas, maka mesin ventilator akan memberikan volume tidal, atau jika tak ada upaya nafas maka mesin ventilator akan memberikan laju nafas. Dengan demikian minute volume akan selalu terjamin keberadaannya. Selanjutnya setiap nafas spontan tidak dibantu lagi, akan tetapi sirkuit akan mengalirkan oksigen. Pada SIMV, pengaturan volume tidal disesuaikan dengan usaha nafas spontan penderita atau jika tidak ada nafas spontan volume tidal yg dikeluarkan oleh ventilator akan disesuaikan dengan pengaturan frekwensi nafas (preset rate).sehingga volume minimal terpenuhi. Bila pasien bernafas spontan maka bantuan ventilator untuk memberikan volume tidal tidak ada, akan tetapi mesin akan tetap mengalirkan oksigen. Dengan demikian dapat dihasilkan volume semenit yang lebih tinggi. SIMV digunakan untuk menyapih pasien dari CMV dengan mengurangi secara bertahap frekwensi nafas sehingga merangsang ventilasi spontan. Pressure support dapat ditambahkan pada penderita yang sudah bernafas spontan IV.4.4 Pressure Support Pada keadaan ini terdapat nafas spontan pasien dan tidak ada pengaturan frekuensi nafas. Ventilator akan memberikan tekanan positif pada jalan nafas sebagai respon terhadap upaya pernafasan. Volume tidal bervariasi sesuai dengan komplain rongga dada dan resistensi jalan nafas . Biasanya dimulai dengan tekanan 20-30 cm H2O dan diturunkan bila gerakan respirasi pasen membaik. Kadang dapat dikombinasikan dengan SIMV untuk membantu frekuensi pernafasan spontan. Sesuai dengan usaha inspirasi pasen, maka

39

ventilator akan memberikan bantuan tekanan inspirasi. Volume assured pressure support adalah suatu modifikasi tekanan alternatif dimana ventilator secara otomatis dapat mpngatur

inspirasi yang harus diberikan untuk mencapai tidal volume minimal yang

diinginkan. Indikasi: Untuk pasien yang sudah dapat bernafas spontan (sudah ada trigger). Semakin kecil ETT semakin tinggi resitensi, oleh sebab itu pada pasien dewasa setting level pressure inspirasi biasanya antara 5-10 cmH2O, sedangkan anak kecil lebih besar yaitu 10 cmH2O Kontraindikasi:

1. Pasien yang belum ada trigger (belum bernafas spontan), atau pasien yang menggunakan
obat pelumpuh otot (esmeron, norcuron atau pavulon)

1. Namun PS/Spontan dapat diback up oleh SIMV, jika weaning pada pasien cedera
kepala dimana trigger masih jarang.

IV.4.5 Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dan Continous Positive Airway Pressure ( CPAP) Pada mode ini tekanan jalan nafas dibuat selalu lebih tinggi dari based line baik pada saat ventilasi mekanik (PEEP) maupun saat ventilasi spontan (CPAP). Dengan cara ini oksigenasi dan pergerakan nafas dinding dada akan tetap baik karena volume alveolus pada akhir ekspirasi tetap dipertahankan. Hal ini akan memperbaiki volume paru yang tadinya berkurang pada saat akhir ekspirasi menjadi normal kembali.

Ventilasi dengan rasio terbalik (Inverse ratio ventilation)

40

Siklus respirasi adalah satuan waktu yang diperlukan untuk memasukkan dan mengeluarkan udara pada setiap tarikan nafas yang dihasilkan oleh ventilator. Siklus ini dibagi menjadi waktu inspirasi dan ekspirasi .Rasio inspirasi dan ekspirasi yang normal adalah 1:2-3.Pemanjangan relatif waktu inspirasi [invers rasio ventilasi ] sering digunakan untuk memperbaiki pertukaran gas pada pasen dengan oksigenasi kurang. Umumnya

dipakai ratio 1:1. Cara ini digunakan baik pada mode pressure control maupun volume control ventilation

IV.5

Bantuan Ventilasi Non Invasif Saat ini telah tersedia berbagai modifikasi ventilator yang dapat memberikan

tekanan positif pada jalan nafas dengan cara menggunakan masker yang melekat erat dengan wajah atau nasal. Masker ini dapat berupa masker nasal atau full face masker. Dengan cara ini dapat digunakan CPAP atau tanpa tambahan tekanan positif pada saat inspirasi. Penderita dapat juga memakai semacam helm kemudian bantuan insprasi diberikan melalui mouthpiece. Ventilator jenis ini ada yang dapat dipakai untuk penderita yang diintubasi tapi dapat bernafas spontan. Tujuannya adalah untuk menghindari atau mencegah penderita dari tindakan intubasi endotracheal. Indikasi Hipoksia sehingga kebutuhan laju nafas, upaya nafas dan FiO2 meningkat Hiperkapni dan tampak kelelahan Mencegah supaya jangan sampai diintubasi bila misalnya pada pasien dengan yang mengalami keterbatasan aliran udara secara kronis, pemakaian imunosupresi

Mengurangi beban otot pernafasan pada penderita dengan PEEP internal yang tinggi

41

(asma, chronic airflow limitasi). Dipergunakan dengan hati-hati dan pengawasan ketat. Tehnik fisioterapi untuk untuk meningkatkan Functional Residual Capasity (FRC) Sleep apnoea Suatu tahapan dalam proses penyapihan.

IV.5.1 CPAP Tekanan inspirasi yang di berikan oleh ventilator dicetuskan oleh nafas pasien. Besarnya tekanan ini disesuaikan dengan upaya nafas yang dimiliki pasien . Beberapa mesin akan memberikan frekuensi nafas dengan rasio I:E secara otomatis sesuai dengan kebutuhan. Volume tidal yang dihasilkan tergantung dari komplian paru-paru.

IV.5.2 BiPAP (Bi-level Positif Airways Pressure) Mesin ventilator ini dapat mengatur PS dan PEEP. Laju nafas bisa berasal dari pasien dan/atau mesin. Beberapa mesin BiPAP menggunakan udara luar untuk meningkatkan FiO2, sedangkan pemberian O2 dapat dilakukan melalui lubang masuk yang berada pada masker. Penatalaksanaan Pilih tipe dan mode bantuan ventilasi yang sesuai Gunakan masker yang paling sesuai ukurannya sehingga kedap udara dan penderita merasa nyaman. Pada awal pemasangan dapat diberikan tekanan 10 -15 cmH2O yang kemudian disesuaikan dengan respon pasien (laju nafas, derajat kelelahan, kenyamanan pasien serta hasil AGD

Expiratory pressure support biasanya berkisar sekitar 5-12cmH2O Pada awalnya penderita dengan Resplratory Distress biasanya tidak toleran dengan cara

42

ini. Diperlukan pengamatan yang ketat dan terus menerus untuk membiasakan pasien memakai masker. Sementara itu kita terus mencari mode support dan rasio I : E yang paling optimal.

Dosis rendah opiat (diamorfin 2.5mg) untuk menenangkan pasien tanpa menyebabkan depresi nafas harus diberikan secara hati-hati.

Pada beberapa pasien setelah memakai masker yang melekat erat selama beberapa hari dapat timbul gejala clautrophobia . Hal ini dapat diatasi dengan jalan mengistirahatkan beberapa saat secara berkala.

Daerah yang mendapat tekanan seperti batang hidung harus dilindungi untuk mencegah perlukaan.

IV.6

Weaning (menyapih) ventilasi mekanik Pasen yang mendapatkan ventilasi mekanik dalam waktu singkat misalnya setelah

operasi besar sering kali dapat disapih

dengan cepat seperti yang dilakukan diruangan

operasi yaitu mengakhiri sedasi, kemudian dengan cepat memakai T-piece lalu diekstubasi. Kondisi ini berbeda sekali dengan pasen sakit kritis yang kadang dalam proses penyapihan ventilator mengalami hambatan. Perubahan kondisi pasen dari hari kehari pada masa pemulihan fungsi organ pernafasan sering kali secara temporer membutuhkan bantuan ventilasi mekanik kembali. Pengukuran fungsi sistem pernafasan sehubungan dengan keberhasilan proses penyapihan dari ventilasi mekanik adalah: 1. Volume tidal > 5 ml/kg 2. Kapasitas vital > 10-15 ml/ kg 3. Fungsional Residual Capacity >50 % nilai prediksi

43

4. Kekuatan inspirasi maksimal > -25 cmH2O 5. Laju nafas < 30x/ menit 6. Minute Volume < 10 L/ menit 7. PH > 7,3 8. Peningkatan PaCO2 pada respirasi spontan < 1,5 kPa 9. PaO2 > 8 kPa pada kadar oksigen < 40 %. Yang paling penting pada penilaian ini adalah keberhasilan pertukaran gas. Oleh karena itu penilaian klinis menjadi sangat penting dan dapat memberikan petunjuk adanya kegagalan pernafasan yang memerlukan bantuan ventilasi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesulitan saat menyapih dari ventilator mekanik adalah : 1. Kelainan patologi primer yang menetap. 2. Gagal ginjal atau kardiovaskular yang tidak dapat diobati 3. Malnutrisi 4. Sepsis atau pireksia (peningkatan kebutuhan metabolik). 5. Kelebihan cairan 6. Residual dari zat sedatif 7. Ketidakseimbangan elektrolit (terutama Ca, Mg, K, PO4) 8. Anemia 9. Nyeri 10. Distensi abdommen Pada weaning, bantuan ventilator diturunkan secara perlahan menggunakan beberapa strategi ventilasi yang dapat berbeda dengan yang telah disebutkan diatas. Contoh nya seperti

44

di bawah ini : 1. Controlled ventilator dengan atau tanpa PEEP, dilanjutkan dengan 2.SIMV + Pressure Support dengan atau tanpa PEEP, dilanjutkan dengan 3. Pressure support dengan atau tanpa PEEP, dilanjutkan dengan 4. CPAP Trakheostomi merupakan salah cara proses penyapihan , terutama pada pasien yang telah lama sakit. Keuntungan trakheostomi adalah:

Mengurangi

kebutuhan

zat

sedatif.

Kebanyakan

pasien

yang

ditrakheostomi

membutuhkan hanya sedikit atau tidak sama sekali sedatif dibandingkan dengan pemasangan ETT (karena lebih mengakibatkan stimulasi). Karena penderita menjadi lebih tenang maka metabolisme menjadi lebih efisien dan nutrisi lebih mudah diperbaiki Memperbaiki oropharingeal toilet sehingga nosokomial. Mengurangi resistensi jalan nafas. Mempermudah pengeluaran sekret dari saluran nafas bagian bawah. Memberikan kemudahan dalam mengganti sistem bantuan pernafasan (misalnya penderita perlu ventilator lagi). dapat mengurangi kejadian infeksi

IV.7

Komplikasi bantuan ventilasi Kolaps dari sistem kardiovaskular: Biasanya terjadi pada awal pemakaian ventilasi mekanik dengan tekanan positif. Penyebabnya adalah efek depresi dari obat sedasi, hambatan pada daya dorong thorak yang akan mengakibatkan peningkatan venous

45

return, tamponade ventrikel kiri akibat tekanan intra torak yang positif. Tinggi nya tekanan inflasi dan PEEP akan memperberat keadaan. Perburukan akan terjadi pada penderita yang hipovolumia, sepsis atau syok kardiogenik.

Ketidak seimbangan asam basa: Asidosis respiratoris atau alkalosis sangat mungkin terjadi bila minute volume tidak tercapai. Hiperventilasi yang berkepanjangan akan menyebabkan penurunan kapasitas sistem bufer di CSF ; sehingga pada saat proses penyapihan setiap kenaikan PaCO2 akan menyebabkan penurunan pH di CSF yang besar dan tak terprediksi. Penderita tampak semakin sesak.

Atropi otot pernafasan: Cara kerja ventilator yang memang dibuat untuk mengurangi beban kerja otot pernafasan akan menyebabkan disuse athropy. Dan akan menyebabkan proses penyapihan menjadi lebih sulit.

Barotrauma pada paru: Pemaparan pada paru dengan tekanan puncak (peak airway pressure ) > 35 - 40cm H2O akan meningkatkan resiko pneumotorak. Kerusakan ini disebabkan oleh karena shears forces yang terjadi bila alveolus yang kolaps berulang kali mengembang kembali (reinflated) saat inspirasi. Disini PEEP dapat membantu mengurangi kerusakan tersebut dengan menjaga supaya alveolus tetap terbuka selama siklus pernafasan .

Ventilator lung : Regangan lama dan berkepanjangan pada paru dengan volume tidal yang tinggi akan menyebabkan kerusakan paru

Komplikasi dari intubasi endotrakea:

Kerusakan laring dan faring terjadi bila ETT terpasang selama > 3 minggu. Pemasangan ETT akan menyebabkan kebersihan rongga mulut tidak dapat terjaga dengan memadai sehingga terjadi mikro aspirasi dari cairan faring yang

46

infeksius; ini akan mengakibatkan infeksi nosokomial. Sering kali dl perlukan pemberian obat sedasi untuk mempermudah proses intubasi (terutama melalui oral). Intubasi melalui nasotrakea membawa risiko sinusitis

V.

Penggunaan Ventilator pada penderita PPOK


Tujuan dari penggunaan ventilasi mekanik untuk mengurangi upaya nafas yang

berlebihan sehingga mencegah kelelahan dari otot-otot pernafasan, dilain pihak penggunakan yang terlalu lama atau tidak tepat dapat menimbulkan atropi dari otot pernafasan.

V.1

Indikasi Penggunaan Ventilator pada PPOK Keputusan untuk menggunakan ventilasi mekanik harus berdasarkan berbagai

pertimbangan klinis diantaranya adalah faktor pencetus, tingkat keparahan berdasarkan gejala klinis, penyakit komorbid lain dan cadangan kardiovaskular. Beberapa ahli pernah membuat perhitungan/skoring namun sampai saat ini belum ada yang memuaskan. Keadaan respiratory distress yang tidak membaik dengan terapi konservatif merupakan alasan yang paling sering penggunaan VM pada penderita PPOK. Seperti keadaan hipoksemia yang tidak membaik walaupun telah menggunakan oksigen nasal kanul/face mask. Keadaan respiratory asidosis juga merupakan alasan digunakan VM. Manifestasi klinis dari hipoksemia dapat berupa sesak nafas berat, penggunaan otot pernafasan tambahan, retraksi suprasternal intercosta, pulsus paradoksus, diphoresis dan gerakan paradoksical dari dinding dada dan abdomen. Sebagai catatan disini penggunaan non invasive positive pressure ventilation (NIPPV)

47

merupakan lini pertama terapi VM pada PPOK, bila terdapat kontraindikasi penggunaan VM pada penderita ini barulah penggunaan invasif ventilator dipertimbangkan.

V.2

Mode Ventilator

V.2.1 Non Invasive Positive Pressure Ventilation Non Invasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), melalui nasal maupun full face mask saat ini makin sering digunakan sebagai terapi pada penderita PPOK dengan gagal nafas hiperkapnia. Beberapa percobaan menunjukkan NIPPV adalah lini pertama dari manajemen eksaserbasi akut dari PPOK. NIPPV dapat menurunkan kebutuhan akan intubasi, menurunkan angka kesakitan dan kematian dan lama tinggal di rumah sakit. (16,19,20,21) Keadaan hiperkapnia merupakan prognosis yang buruk pada penderita PPOK, sehingga upaya menurunkan kadar PCO2 akan memperbaiki angka harapan hidup penderita. Sehingga penggunaan NIPPV juga diberikan pada penderita PPOK stabil dengan harapan dapat menurunkan kadar PCO2. Dari berbagai penelitian penggunaan mode NIPPV dengan tekanan maksimal 30 cm H2O pada penderita PPOK stabil selama 2 jam setiap harinya akan menurunkan hiperkarbia menjadi normokarbi dalam 6 bulan pertama penggunaannya. (16,20,21) Pemberian NIPPV pada penderita PPOK eksaserbasi akut atas indikasi klinis pasien tampak sesak berat dengan respiratory rate > 24 kali, penggunaan otot-otot nafas bantuan, pernafasan paradoksal dan dari AGD menunjukkan PaCO2>45 atau 7.10<pH<7.3. Sedangkan kontraindikasi penggunaan NIPPV pada penderita dengan henti nafas, kondisi pasien tidak stabil seperti hipotensi, iskemia jantung atau aritmia, tidak mampu proteksi jalan nafas, sekresi nafas yang berlebihan, agitasi atau tidak kooperatif dan tidak bisa memakai sungkup seperti pada luka bakar di wajah atau ada kelainan anatomi

48

Protokol pemasangan NIPPV dimulai dari pengaturan kepala pasien 30-45, lalu ventilator disiapkan dengan mode awal, tekanan inspirasi awal 5-10 cm H2O dan dapat dinaikkan bertahap sampai maksimal 20 cm H2O, tekanan awal ekspirasi 0-2 cm H2O dan bisa dinaikkan bertahap sampai 5 cm H2O. Pengaturan titrasi naik atau turun ini dengan melihat klinis pasien apakah pasien merasa nyaman, dan upaya pernafasan pasien berkurang. Pengaturan Fraksi Oksigen mulai dari 100% kemudian dititrasi turun, pada PPOK stabil biasanya fraksi oksigen hanya rendah berkisar dari 35%-45% saja. Setelah ventilator disiapkan maka pilih ukuran sungkup yang paling cocok dan persilahkan pasien mencobanya, kemudian ikat karet sungkup pada kepala pasien dan sambungkan pasien pada tubing ventilator setelah itu ulang AGD 1-2 jam kemudian. Bila penderita agitasi dapat diberikan sedasi ringan, bila penderita tidak membaik dengan ventilasi non invasif (20-30%), maka pertimbangan ventilasi invasif. Sebagai catatan disini adalah tindakan NIPPV tidak boleh menunda intubasi bisa diperlukan, karena ventilasi non invasif bukanlah pengganti intubasi endotrakheal

V.2.2 Invasive Positive Pressure Ventilation Sebelum penderita PPOK menjalani intubasi dan dihubungkan dengan ventilator, klinisi harus meyakinkan bahwa penderita memang tidak memungkinkan atau ada kontra indikasi dengan NIPPV atau sudah dengan NIPPV namun tidak berhasil. Hal ini mengingat tingginya angka kematian dan dan angka kesakitan dan reintubasi, kesulitan weaning pada penderita PPOK, walaupun angka ini bervariasi berdasarkan keparahan dari PPOK, penyakit komorbid dan faktor pencetus.\ Indikasi dari IPPV adalah sesak berat dengan menggunakan otot-otot pernafasan

49

tambahan dan pernafasan paradoksikan abdomen, frekwensi pernafasan > 35 x/menit, hipoksemia berat dan hiperkapnia, asidosis berat pH<7.25 dan hiperkarbia PaCO2 . 60 mmHg. Penderita dengan henti nafas, somnolen atau gangguan status mental, komplikasi kardiovascular seperti syok hipotensi dan gagal jantung, komplikasi lainnya seperti kelainan metabolik, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma, efusi pleura masif, dan gagal dengan ventilasi non invasif. (18,19)

Patofisiologi
Steroids Abx ?

PPOK eksaserbasi
Airway narrowing & obstruction

Airway Inflam ation m

IPAP MV
Auto PE P E

PE P E

Frictional WOB

Shortened m uscles, curvature m uscle strength

BDs
Gas trapping

E lastic WOB

VT

MV?

IPAP MV?

VE PaCO 2 pH PaO 2

VCO 2

VA

Gambar 15. PPOK eksaserbasi akut (Hill NS, Ventilator in COPD)

Tujuan dari VM adalah mencegah Work of braething yang berlebihan, namun dilain pihak haurs dapat mencegah atropi otot-otot pernafasan. Hal ini dapat tercapai dengan mode ventilator assisted (upaya bernafas dicetuskan oleh pasien), contoh mode assist control ventilation (ACV), Intermitten mandatory ventilation (IMV), dan pressure support ventilation (PSV). (18,19) Sebaiknya pasien PPOK eksaserbasi akut dengan dibantu dengan ventilasi ACV atau SIMV/PSV sampai proses yang mencetuskan eksaserbasi tersebut dapat diatasi dan penderita dapat diweaning. Dengan mode ini target oksigenasi lebih mudah dicapai. Yang perlu mendapat perhatian atau perbedaan target ventilasi mekanik pada penderita PPOK

50

adalah :

1. Meningkatkan PaO2 sampai 60 mmHg dan SaO2 sampai 90-95% 2. Volume Tidal (5-8 ml/kg). 3. Minute volume lebih rendah
4. Waktu Ekspirasi diperpanjang 5. Aliran inspirasi tinggi dengan waktu inspirasi diperpendek sehingga tercapai waktu ekspirasi yang makin panjang

6. Frekwensi nafas ditingkatkan.


7. Mode pressure lebih dipilih dibandingkan mode volume

Lebih lanjut penderita dengan PPOK akan memerlukan pengawasan untuk suatu tindakan ventilasi mekanik disebabkan oleh : 1. Stiff Lung, sehingga kapasitas inspirasi menurun, memudahkan terjadinya barotruma 2. Refleks bernafas hanya mengandalkan dari hipoksemia karena penderita sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia, sehinggi pemberian oksigen yang terlalu tinggi akan menyebabkan kelumpuhan dari refleks bernafasan penderita 3. Auto PEEP yaitu akibat udara yang terperangkap di dalam alveoli pada saat akhir ekspirasi, hal ini akan menyebabkan udara semakin bertupuk dan memerlukan tekanan inspirasi yag lebih besar pada saat inisisasi pernafasan

V.3 Auto PEEP

51

Auto PEEP akan meningkatkan tekanan intratorakal sehingga menurunkan venous return dan menurunkan kardiak output sehingga menimbulkan hipotensi. Hal ini paling sering terjadi pada penderita yang hipovolemi. Auto PEEP juga dapat menimbulkan overdistensi dari alveolar, peningkatan ini akan meningkatkan kejadian baroteuma dan ventilator associated lung injury. Overdistensi dari alveolar dapat menimbulkan hipoksemia bila V/Q mismatch meningkat dan juga berhubungan dengan tingginya kompresi pada pembuluh darah paru. Auto PEEP juga akan menigkatkan upaya pasien untuk mentrigger mesin ventilator pada mode ventilator dengan pressure-triggering, hal ini terjadi karena pasien harus mengupayakan tekanan negatif yang lebih untuk mengatasi sensitivitas dari trigger dan auto PEEP. Sebagai contoh penderita dengan auto PEEP 8 cm H2O dan trigger sensitivitas -2 maka harus menghasilkan tekanan -10 cm H2O untuk dapat memulai inspirasi. Keadaan ini dapat menimbulkan pasien-ventilator asyncroni, dyspnea dan ventilator yang tidak efektif.
(18,20)

Etiologi Ada tiga hal yang merupakan penyebab paling sering dari Auto PEEP yaitu minute volume yang tinggi pembatasan dari waktu ekspirasi dan hambatan saat ekspirasi 1. Minute Volume yang tinggi Minute volume yang tinggi disebabkan oleh volume tidal yang tinggi, frekwensi nafas yang tinggi atau keduanya. Volume tidal yang tinggi menyebabkan meningkatnya volume udara yang harus dikeluarkan oleh paru-paru sebelum periode pernafasan berikutnya. Semakin tinggi volume tidal maka semakin kecil kemungkinan tercapainya volume ekspirasi yang sama dengan volume tidal tadi.

52

Frekwensi nafas yang cepat akan menurunkan waktu ekspirasi. Semakin cepat frekwensi pernafasan maka semakin singkat waktu ekspirasi dan akan menurunkan kemampuan tercapainya volume tidal pada pernafasan berikutnya 2. Pembatasan aliran ekspirasi Timbul saat aliran ekspirasi dilambatkan oleh penyempitan jalan nafas akibat kolaps, bronkospasme, inflamasi atau remodelling. Hal ini akan menimbulkan volume tidal tidak akan tercapai pada pernafasan berikut dan akan menimbulkan auto-PEEP. Kebanyakan pasien dengan PPOK memiliki pembatasan aliran udara, dan sebagai hasilnya akan terjadi auto PEEP pada saat digunakan ventilasi mekanik. Penyempitan aliran ekspirasi tidak menjadi pemeriksaan rutin pada ICU, karena penilaian meliputi paralisis neuromuscular dan spesial teknik. Bagaimanapun penyempitan aliran ekspirasi ketika penderita dalam posisi supine dibandingkan dengan posisi setengah duduk. 3. Pembatasan ekspirasi Konsep dari pembatasan ekspirasi sebenarnya sama dengan penyempiran aliran ekspirasi dimana terjadi perlambatan ekspirasi sehingga menimbulkan vulume tidak berikutnya tidak tercapai sebagai akibat tidak tercapai volume ekspirasi sebelum inspirasi berikutnya. Bagaimanapun hambatan ekspirasi ini tidak berhubungan langsung dengan saluran nafas. Contoh dari pembatasan ekspirasi ini adalah diameter ETT yang kecil atau ada kinking pada ETT, sputum yang menyumbat, asinkron dari ventilator antara ekshalasi dan waktu PEEP.

Tatalaksana

53

Auto PEEP dapat diidentifiksai melalui grafik ventilator generated flow terhadap waktu yang menunjukkan grafik meningkat yang menunjukkan suatu inspirasi terjadi sebelum ekspirasi mencapai nilai 0, atau dengan palpasi plus auskultasi dari dinding dada yang diperhatikan adalah aliran inspirasi udara sudah terdengar sebelum aliran ekspirasi berakhir. Palpasi dan auskultasi dapat menunjukan timbulnya auto PEEP namun tidak dapat menunjukkan bahwa auto PEEP tidak terjadi. (16,18,20)

Gambar 16 Mekanisme AutoPEEP (Hill NS, Ventilators in COPD)

Setting Ventilasi mekanik


Secara umum kombinasi dari frekwensi tinggi, pemanjangan waktu ekspirasi dan pembatasan volume tidal dapat mencegah resiko barotrauma, hiperinflasi dinamik dan sinkronisasi yang lebih baik antara nafas dari mesin dan dari pasien. Mode ventilasi apa saja yang terbukti efektif dapat diberikan pada penderita PPOK, asal bisa memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien dan tidak meningkatkan work of breathing, namun yang lebih banyak digunakan adalah modus tekanan dibandingkan modus volume, karena dengan modus tekanan didapatkan peak inspiritory flow bervariasi sesuai kebutuhan ventilasi pasien. Bila digunakan modus volume maka harus diatur peak inspiratory flow yang

54

cukup tinggi unutk memenuhi kebutuhan inspirasi pasien dan meminialkan beban pasien. Peak flow di set >60L/menit dengan waktu inspirasi antara 0.6-1.2 detik. Pattern flow yang dianjurkan adalah descending ramp, kaena kebutuhan ventilasi pasien tertinggi pada awal inspirasi diikuti oleh end inspiratory flow yang lebih rendah sehingga distribusi gas akan lebih baik. Biasanya frekwensi nafas diatur 8-12x/menit, tergantung kebutuhan pasien dan adanya auto PEEP. Disarankan volume tidal moderat yaitu 6-10 cc/kg agar frekwensi nafas dapat diatur lebih rendah untuk mencegah air trapping atau auto PEEP. Karena telah ada gangguan parenkim paru yang kronik maka peak alveolar pressure dipertahankan serendah mungkin (<30 cmH2O) untuk mencegah volutrauma. Auto PEEP merupakan hal yang harus dipertimbangkan saat memberikan ventilasi mekanik pada penderita PPOK. Usaha untuk meminimalkan auto PEEP seperti terapi steroid untuk obstruksi jalan nafas dan mobilisasi sekresi dengan bronkhoskopi atau suctioning . Usaha tambahan lainnya yaitu meminimalkan ventilasi semenit dan frekwensi nafas. Auto PEEP akan meningkatkan gradien tekanan inspirasi saat bernafas spontan, demikian juga saat mentrigger ventilator. Diklinis pasien akan menggunakan otot-otot nafas bantuan, adanya retraksi dan meningkatnya usaha nafas. Beberapa pasien PPOK tidak mampu melawan Auto PEEP dan mentrigger pernafasan. Dengan bantuan PEEP dari luar melawan auto PEEP akan mempermudah triggering. PEEP biasanya di set 5 cm H2O dan PEEP diatas 10 cm H2O jarang diperlukan untuk mengatasi auto PEEP. (18,19) Kebutuhan FiO2 pasien PPOK jarang diatas 50% kecuali ada komplikasi ekserbasi akut. Biasanya dengan mengurangi beban kerja nafas dan meningkatkan efisiensi ventilasi dengan memperbaiki vetilasi perfusi, PaO2 dapat dipertahankan hanya dengan sedikit peningkatan FiO2. Biasanya PaO2 yang adekuat dinatara 55-75 mmHg. Penting mencegah

55

hiperventilasi, pertahankan PaCO2 antara 50-60 mmHg atau mempertahankan pH mendekati normal 7.35. Dengan seting awal yang sesuai kebutuhan ventilasi dan dengan sedasi minimal, biasanya pasien akan istirahat dengan bantuan ventilasi karena pasien sudah merasa lelah setelah beberapa hari dengan kebutuhan ventilasi yang meningkat. Istirahat yang cukup direkomendasikan pada 24-48 jam pertama bantuan ventilasi, setelah itu dievaluasi untuk kemungkinan weaning. Monitoring selama ventilasi mekanik : Sinkronisasi pasein ventilator Peak alveolar pressure, auto PEEP Hemodinamik Pulse oksimetri dan analisis gas darah Gejala klinis distress kardiopulmonal Kalau ada auto PEEP harus dipantau secara reguler, bisa dengan evaluasi expiratory flow wave form atau observasi adanya ventilatory pattern apsien, tetapi hal ini tidak bisa menentukan besarnya autoPEEP. Dengan ventilasi pasif besarnya autoPEEP dapat diukur saat akhir ekspirasi, klinis penting memonitor frekwensi nafas, penggunaan otot-otot bantuan nafas, suara nafas, denyut jantung dan tekanan darah. Pasien yang merasa nyaman tanpa takipnea, hipertensi atau takikardi dan saturasi diatas 90%, biasanya tiak perlu dimonitoring lebih anjut. Tetapi perlu diingat bahwa saturasi memberikan sedikit informasi ventilasi atau keseimbangan asam basa. (18,19)

VI.

Kesimpulan

56

Ventilator mekanik dengan tekanan positif, bertujuan untuk mengembangkan paruparu hingga mencapai tekanan yang diinginkan maupun volume paru yang diharapkan. Penggunaan Ventilasi Mekanik (VM) pada pasien-pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) masih merupakan perdebatan hangat diantara para ahli dan indikasi penggunaannya pun bervariasi dari berbagai penelitian. Variasi ini akibat dari populasi yang berbeda dan definisi dari eksaserbasi PPOK yang berbeda-beda. Tindakan invasif ventilator sering dihubungkan dengan meningkatnya angka kematian dan kesakitan, meskipun kematian sendiri lebih berkorelasi dengan penyakit dasar yang diderita pasien tersebut. (1,8) Pilihan penggunaan VM harus melalui pertimbangan klinis yang akurat berdasar, penyebab eksaserbasi, progresivitas penyakit, simptom pasien, cadangan kardiopulmonal maupun penyakit penyerta. Beberapa ahli pernah membuat perhitungan indikasi medis

penderita PPOK menjalani ventilasi mekanik namun sampai saat ini belum ada yang memuaskan. Mode ventilasi apa saja yang terbukti efektif dapat diberikan pada penderita PPOK, asal bisa memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien dan tidak meningkatkan work of breathing, namun yang lebih banyak digunakan adalah modus tekanan dibandingkan modus volume, karena dengan modus tekanan didapatkan peak inspiritory flow bervariasi sesuai kebutuhan ventilasi pasien. Peak flow di set >60L/menit dengan waktu inspirasi antara 0.6-1.2 detik. Pattern flow yang dianjurkan adalah descending ramp, kaena kebutuhan ventilasi pasien tertinggi pada awal inspirasi diikuti oleh end inspiratory flow yang lebih rendah sehingga distribusi gas akan lebih baik. Biasanya frekwensi nafas diatur 8-12x/menit, tergantung kebutuhan pasien dan adanya auto PEEP. Disarankan volume tidal moderat yaitu 6-10 cc/kg agar frekwensi

57

nafas dapat diatur lebih rendah untuk mencegah air trapping atau auto PEEP. Karena telah ada gangguan parenkim paru yang kronik maka peak alveolar pressure dipertahankan serendah mungkin (<30 cmH2O) untuk mencegah volutrauma. Auto PEEP merupakan hal yang harus dipertimbangkan saat memberikan ventilasi mekanik pada penderita PPOK. Usaha untuk meminimalkan auto PEEP seperti terapi steroid untuk obstruksi jalan nafas dan mobilisasi sekresi dengan bronkhoskopi atau suctioning . Usaha tambahan lainnya yaitu meminimalkan ventilasi semenit dan frekwensi nafas

DAFTAR PUSTAKA

1. Pesola G, Eissa N, Kvetem. Pulmonary complications and respiratory therapy. In : Frost


EAM, Goldiner PL (eds) Postanesthetic care. Connecticut : Appleton & Lange, 1990 : 63 79

2. Ganong WF, Review of medical physiology, 15-th ed., 1995, Prentice Hall Int.,
London.

3. Guyton AC, Physiology of the human body, 6-th ed., 1984, Suanders College
Publ., Philadelphia.

58

4. Jubran A. Pulse oximetry. In: Tobin MJ, ed. Principles and practice of intensive care
monitoring. New York, NY:McGraw-Hill, 1998; 261287McArdle W.D., Katch F.I., Katch V.L., Essentials of exercise physiology (2-nd edition); Lippincott, Williams

and Wilkins, London 2000.

5. Straub NC, Section V, The Respiratory System, in Physiology, eds. RM Berne


& MN Levy, 4-th edition, Mosby, St. Louis, 1998.

6. American Thoracic Society. Standards for the diagnosis and care of patients with
chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med

1995;152:Suppl:S77-S121. (Also available at http://www.thoracic.org.)

7. Pauwels RA, Buist AS, Calverley PMA, Jenkins CR, Hurd SS. Global strategy for
the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease: NHLBI/WHO Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) Workshop summary. Am J Respir Crit Care Med 2001;163:1256-76. (Also available at http://www.goldcopd.com.)

8. Marino PL. ICU book. 2nd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1998 : 468 79 2. 9. Shapiro BA, Peruzzi WT. Respiratory care. In : Miller RD (ed) Anesthesia. 5th ed.
Philadelphia : Churchill Livingstone, 2000 : 2403 42

10. Tan IKS, Oh TE. Mechanical ventilatory support. In : Oh TE (ed) Intensive care
manual. 4th ed. Oxford : Butterworth-Heinemann, 1997 : 246 55

11. Garrity ER, Tobin MJ. Weaning from mechanical ventilation. In: Ayres SM, Grenvik A 12. Holbrook PR, Shoemaker WC (eds) textbook of critical care. 3rd ed. Philadelphia : WB
Saunders Co., 1995 : 923 31

59

13. Geer RT. Critical care of the surgical patients. In : Longnecker DE, Murphy FL (eds)
Introduction to anesthesia. 9th ed. Philadelphia : WB Saunders Co., 1997 : 440 455

14. Rivera L, Weismann C. Dynamic ventilatory characteristics during weaning in


postoperative critically ill patients. Anaesthesia Analgesia 1997, 84 : 1250 5

15. Turner MO, Patel A, Ginsburg S, Fitzgerald JM. Bronchodilator delivery in


acute airway obstruction. A meta analysis. Arch intern med 1997; 157(15): 1736-44

16. Rossi A, Hill NS. Pro-con debate: noninvasive ventilation has been shown to be
effective/ineffective in stable COPD. Am J Respir Crit Care Med 2000; 161:688691

17. Pauwels RA, Buist AS, Calverley PMA, et al. Global strategy for the diagnosis,
management and prevention of chronic obstructive lung disease: NHLBI/WHO global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD) workshop summary. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163:12561276

18. Nava S, Ambrosino N, Rubini F, et al. Effect of nasal pressure support ventilation
and external PEEP on diaphragmatic activity in patients with severe stable COPD. Chest 1993; 103:143150

19. Clinical indications for noninvasive positive pressure ventilation in chronic


respiratory failure due to restrictive lung disease, COPD, and nocturnal hypoventilation: a consensus conference report. Chest 1999; 116:521534

20. Mehta S, Hill NS. Noninvasive ventilation. Am J Respir Crit Care Med 2001;
163:540577

21. Hill NS. Noninvasive ventilation for chronic obstructive pulmonary disease. Respir
Care 2004; 49:7289

60

Você também pode gostar