Você está na página 1de 31

LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/DPD RI/III/2011-2012 TENTANG PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DESA

JAKARTA 2012

I.

PENDAHULUAN

Kehadiran RUU Desa telah lama dinanti oleh desa, daerah, para pegiat desa, DPR RI dan juga DPD RI. Kami - DPD RI - jelas sangat berkepentingan terhadap RUU Desa mengingat kebijakan ini menyentuh sendi-sendi kehidupan dan penghidupan masyarakat di level paling bawah, yang selama ini kami perjuangkan. Bagi DPD RI, kehadiran RUU Desa merupakan sebuah momentum strategis untuk mengambil keputusan politik yang tepat untuk mengawal reformasi desa, menuju desa yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Di samping itu kepentingan DPD RI terhadap RUU Desa juga dilandasi oleh kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi terutama Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni ikut membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Kewenangan sebagaimana kami sebutkan sejatinya merupakan salah satu instrumen perjuangan DPD RI dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah pada tingkat pusat. Hal ini sejalan dengan tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu sebagai panyalur aspirasi masyarakat dan daerah untuk memperkuat fungsi DPR RI sebagai penyalur aspirasi faham politik rakyat. Cita-cita mulia untuk menjadikan desa yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya sebenarnya telah menjadi pemikiran para founding fathers dan semakin menguat menjadi debat akademik sejak tahun 1950-an. Debat tentang desa selalu menghadirkan sejumlah pertanyaan kritis: apa hakekat desa, apa makna dan manfaat desa untuk rakyat, mau dibawa ke mana desa, mengapa desa selalu identik dengan keterbelakangan dan kemiskinan, dan sebagainya. Di sepanjang tahun, pertanyaan-pertanyaan itu selalu hadir, tetapi Pemerintah Republik Indonesia tidak pernah mempunyai jawaban secara keilmuan dan kebijakan yang memadai. Karena itu wajar ketika majalah ilmiah-populer Prisma pada tahun 1976 mempertanyakan desa mau dibawa kemana, atau ketika Institute for Research and Empowerment (IRE) pada tahun 2006 mempublikasikan sebuah buku berjudul Kaya Proyek Miskin Kebijakan: Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa. Berbagai pertanyaan kritis lama dan kerisauan para pihak mengemuka kembali saat ini ketika hadir RUU Desa usulan Pemerintah. DPD RI yang membawa mandat dari daerah dan desa, berkomitmen kuat untuk memperjuangkan Undang-undang tentang Desa yang jauh lebih baik, sekaligus mampu menjawab berbagai pertanyaan kritis di atas. DPD RI akan memulai dengan memberikan pandangan kritis terhadap RUU Desa versi Pemerintah, kemudian dilanjutkan dengan memberikan pendapat dan posisi alternatif atas RUU Desa versi Pemerintah.

II.

PANDANGAN DPD RI TERHADAP RUU DESA USULAN PEMERINTAH

Mengapa Desa perlu diatur dalam suatu Undang-Undang Desa tersendiri? Mengapa Desa tidak diatur bersamaan dan hanya menjadi bagian norma dalam UndangUndang Pemerintahan Daerah seperti halnya pengaturan desa yang terintegrasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004..? Apa relevansi Undang-Undang Desa..? Serangkaian pertanyaan inilah yang menjadi dasar untuk dirumuskan dalam konsideran, khususnya pada bagian Menimbang. Pertama-tama kami perlu menyampaikan bahwa, DPD RI sependapat dengan Pemerintah dalam hal judul, yakni RUU Desa, bukan RUU Kesatuan Masyarakat Adat. Penjelasan RUU Desa versi pemerintah menegaskan: Kesatuan masyarakat hukum yang dimaksudkan adalah desa, tentu desa atau dengan nama lain. Desa, atau nama lain, untuk menyebut kesatuan masyarakat hukum adat, tentu mengabaikan persekutuan adat secara genealogis dan tidak punya wilayah yang jelas, sehingga bersifat atomistik, melainkan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi, wilayah, kekayaan, hukum adat, institusi lokal, dan sebagainya. Sementara konsep kesatuan masyarakat hukum adat memunculkan tafsir yang sangat luas, termasuk persekutuan-persekutuan adat kecil (atomistik) yang berbasis pada ikatan genealogis, tetapi tidak mempunyai wilayah kekuasaan yang jelas. Untuk menjustifikasi RUU Desa, pemerintah memulai dengan dasar menimbang secara yuridis: bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Perlu kami tegaskan bahwa dari sisi legal drafting, DPD RI berpendangan bahwa dasar menimbang itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Lampiran II Nomor 19 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 ditentukan bahwa : Pokok pikiran pada konsiderans UndangUndang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Jika Pasal 18D UUD 1945 Perubahan ditafsirkan secara semantik, maka undangundang yang diperintahkan oleh ketentuan pasal ini tidak lain adalah Undang-Undang tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak-hak Tradisionalnya. Sehingga tidak tepat jika mempergunakan judul Undang-Undang tentang Desa. Nomenklatur Desa tidak dikenal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan yang dikenal adalah masyarakat hukum adat. Nomenklatur Desa muncul karena adanya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Namun demikian, karena nomenklatur Desa memang secara sosiologis sudah dapat diterima, maka judul RUU ini tetap dapat kami terima, namun substansi yang ada di dalam RUU ini harus tetap memberikan pengaturan yang cukup mengenai Desa sebagai masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Kami mencatat, dalam RUU usulan Pemerintah, konsideran ini tidak menerangkan mengenai alasan sosiologis bahwa yang dimaksud masyarakat hukum adat

dalam dataran empiris tidak lain adalah desa atau dengan sebutan lain. Secara sosiologis keberadaan desa yang seperti itu masih hidup dan berkembang yang nampak dari pengakuan masyarakat setempat pada sistem pengaturan kehidupan dan penghidupan bersama, baik itu dalam bentuk sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, susunan pemerintahan asli dan sistem ekonomi. Selanjutnya, RUU Desa versi pemerintah menyampaikan pendapat sebagai berikut: bahwa dalam upaya melaksanakan ketentuan huruf a, Pemerintah Pusat berkewajiban menata kembali pengaturan mengenai desa sehingga keberadaannya mampu mewadahi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kemasyarakatan dan pemerintahan sesuai dengan perkembangan dan dapat menguatkan identitas lokal yang berbasis pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dengan semangat modernisasi, globalisasi dan demokratisasi yang terus berkembang. (lihat RUU Desa versi Pemerintah, Konsiderans Menimbang, huruf b). Hemat kami, argumen yang panjang itu mengandung beberapa makna. Pertama, pemerintah berkehendak atau berkewajiban menata kembali pengaturan desa untuk menjabarkan konsep pengakuan dan penghormatan yang diamanatkan konstitusi. Apa yang dimaksud dengan menata..? Apa yang ditata...? DPD RI mempertanyakan hal ini, karena dalam batang tubuh kemudian terdapat bab yang bertemakan penataan desa, yang isinya tidak mencerminkan konsep pengakuan dan penghormatan. Lebih dari sekadar menata, DPD RI berpendapat bahwa sebaiknya ketentuan ini diupayakan untuk melakukan reformasi mengenai pengaturan desa sesuai dengan azas rekognisi (pengakuan dan penghormatan), sebab pengaturan selama ini tidak mencerminkan rekognisi yang sesungguhnya. Kedua, Pemerintah berharap bahwa dengan penataan, keberadaan desa mampu mewadahi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kemasyarakatan dan pemerintahan sesuai dengan perkembangan desa. Kalimat ini sebenarnya mengandung dimensi tujuan. Tetapi kalau dikatakan sebagai tujuan, masih tampak begitu dangkal dan tidak cukup jelas (clear). Kenapa hanya menyelesaikan berbagai pemasalahan...? Kenapa tidak yang lain, misalnya mengembangkan kemandirian lokal...? Kenapa hanya kemasyarakatan dan pemerintahan...? Kenapa tidak menyantumkan pembangunan dan penghidupan Desa...? Semua itu diletakkan dalam konteks perkembangan. Apa maksudnya...? Ketiga, di luar dua poin di atas, kami memberi apresiasi bahwa RUU Desa juga bertujuan memperkuat identitas lokal yang berbasis pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat, serta berupaya mewujudkan desa yang bisa bersahabat dengan semangat modernisasi, globalisasi, dan demokratisasi yang terus berkembang. Argumen ini menjadi sebuah solusi jalan tengah moderat yang bisa diterima. Arus modernisasi, globalisasi, dan demokratisasi tentu tidak bisa dihindari oleh masyarakat lokal, tetapi konservasi atas keragaman, indentitas lokal dan kearifan lokal memungkinkan desa berdiri kokoh yang tidak mudah tergerus oleh arus global itu. Tujuan-tujuan di atas secara umum bisa dipahami, tetapi DPD RI berpandangan bahwa RUU Desa versi pemerintah mempergunakan konsideran menimbang yang sangat minimalis, padahal kompleksitas yang melatar belakangi perlunya pengaturan tentang desa dalam perspektif masyarakat hukum adat dan desa dalam perspektif pemerintahan tidaklah sederhana. Penyederhanaan latar belakang sebagaimana tercantum dalam konsideran menimbang ini berdampak pada seluruh konstruksi pengaturan dalam RUU Desa usulan Pemerintah. Oleh sebab itulah, kami memandang RUU ini butuh penambahan konsideran Menimbang, antara lain menyangkut alasan-alasan sosiologis
3

dan yuridis tentang pengkategorian desa sebagai masyarakat hukum adat dan desa sebagai bentuk pemerintahan. Kemudian dilanjutkan dengan alasan-alasan mengenai hubungan sinergis antara kedua kategori desa tersebut. Bertolak dari pandangan di atas, sebagai pendapat alternatif, DPD RI menyampaikan tiga argumen untuk melandasi RUU Desa (lihat RUU Desa versi DPD RI, Konsiderans Menimbang, huruf a, b, dan c) : 1. Secara filosofis, bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap desa atau dengan nama lain dimaksudkan untuk menjawab tantangan masa depan terutama untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang adil dan merata guna mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Secara yuridis, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang; 3. Secara sosiologis, bahwa keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat masih hidup dan berkembang, ditunjukkan dari pengakuan masyarakat setempat pada sistem pengaturan kehidupan dan penghidupan bersama, baik berbetuk sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, susunan pemerintahan asli dan sistem ekonomi. Kesatuan masyarakat hukum adat itu adalah desa atau yang disebut nama lain. Selain argumen dasar (basis) yang rapuh, Pemerintah gagal dalam menemukan raison detre dari perubahan kerangkan normatif tentang desa: Mengapa reformasi kebijakan itu harus dilakukan..? Apa arah dan prinsip-prinsip pembaharuannya..? Pilihan paradigma apa yang dibangun...? Bagaimana strategi yang tepat untuk policy reform tentang desa itu...? siapa yang harus melakukannya...? Hal ini penting agar perubahan atau pembentukan undang-undang baru tidak hanya menjadi proyek lima tahunan yang akan menghabiskan tenaga dan biaya. Sedangkan perubahan yang diinginkan tidak pernah terjadi. Pemerintah sungguh terjebak dalam formalisme, yang hanya sekadar melahirkan RUU yang mengatur tentang Desa tanpa evaluasi lebih jauh apakah subtansi yang diatur dalam undang-undang itu menjawab persoalan dasar di desa atau tidak. Bagaimanapun pembentukan Undang-Undang tentang Desa bukan semata-mata penyempurnaan atas pasal-pasal dari kerangka regulasi sebelumnya, atau meningkatkan status sebuah Peraturan Pemerintah tentang Desa menjadi undang-undang, melainkan harus ada upaya pembaharuan terhadap paradigma, desain, dan praktek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Hal ini tampak bahwa RUU Desa versi Pemerintah tidak menyampaikan argumen tentang visi, kecuali hanya tujuan dangkal sebagaimana termuat dalam konsideran menimbang butir b. RUU tentang Desa tidak didahului statement tentang visi: bagaimana ideal Desa masa depan...? Tanpa visi, sulit untuk menimbang ketepatan pengaturan elemen-elemen pokok ihwal kedudukan, kewenangan, dan sebagainya. Padahal Naskah Akademik menegaskan tentang reformasi desa yang membawa visi: menuju desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera guna mewujudkan desa yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.

Format, Alur, dan Sistematika Kami mencatat, kelemahan dasar dan fatal RUU Desa usulan Pemerintah juga terlihat pada ketidakcocokan (ketidaksesuaian) antara naskah RUU dengan Naskah Akademik (NA). Ada sejumlah titik dan bukti yang menunjukkan ketidaksesuaian itu. Pertama, NA secara jelas mengemukakan berbagai argumen filosofis, historis, sosiologis, konseptual, yuridis dan psikopolitik, tetapi konsideran RUU sama sekali tidak menyantumkan berbagai argumen itu. Kedua, NA menyampaikan relevansi dan visi reformasi desa (yakni menuju desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera), tetapi RUU Desa tidak menyantumkan visi ini. Ketiga, NA secara jelas menyampaikan asas rekognisi, subsidiaritas, dan delegasi, tetapi naskah RUU tidak menyampaikan ketiga asas ini sebagai payung pengaturan mengenai desa. Keempat, NA memberikan pandangan tentang keragaman tetapi RUU tidak menegaskan hal itu. Kelima, NA menyampaikan gagasan tentang penguatan demokrasi desa, termasuk akuntabilitas serta check and balances melalui BPD, tetapi naskah RUU malah menghilangkan dimensi itu dan melemahkan BPD. Keenam, NA mengatur keberadaan BPD bersama Pemerintah Desa sebagai unsurunsur konstitutif dalam struktur Pemerintahan Desa, namun naskah RUU justru hanya mengatur keberadaan Pemerintah Desa (model pemerintahan tunggal, seperti halnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 masa Orde Baru), sementara BPD diatur sebagai institusi yang berada di luar struktur Pemerintahan Desa. Mengapa perbedaan antara NA dan RUU bisa terjadi...? Bagaimana proses penyusunan kedua naskah yang semestinya koheren menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan adakah kedua naskah tersebut disusun secara terpisah (melibatkan dua pihak berbeda) dan tidak saling memperhitungkan kaitan satu sama dengan yang lainnya? (lihat Bab V RUU Desa versi Pemerintah). Sisi metode dan alur RUU Desa juga sangat lemah. Secara teoritis perancangan undang-undang mempergunakan pendekatan metode kodifikasi (mengumpulkan gejala sosial yang sudah ada untuk dituangkan dalam satu kitab) dan modifikasi (mengumpulkan gejala sosial yang diharapkan ada di masa yang akan datang atau rekayasa sosial, kemudian dituangkan dalam satu kitab ketentuan hukum). Dalam perspektif RUU Desa maka yang dimaksud kodifikasi tidak lain adalah mengumpulkan realitas keberadaan Desa sebagai masyarakat hukum adat, sedang modifikasi adalah melakukan rekayasa Desa menuju desa yang lebih modern. Dengan kombinasi dua pendekatan itu, sebenarnya RUU ini bisa disusun dalam sistematika 2 (dua) Buku, yaitu Buku I mengatur tentang Desa dalam perspektif masyarakat hukum (adat) yang berciri bestuurende lanschappen dan Buku II mengatur tentang Pemerintahan Desa. Dengan memisahkan ke dalam 2 (dua) Buku tersebut, maka akan semakin jelas norma-norma hukum yang akan menjadi dasar bagi keberadaan kedua corak Desa itu. Terkait dengan hal ini, RUU Desa versi DPD RI mempergunakan sistematika yang terdiri dari Bab, Bagian, dan Paragraf. Sistematika seperti ini lebih memperjelas pengaturan mengenai Desa adat dan Pemerintahan Desa dalam perspektif birokrasi. Menurut Lampiran 2 Nomor 109 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:

a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya. Seharusnya sesuai dengan panduan dalam Lampiran 2 di atas, pemberian definisi mesti dilakukan terlebih dahulu terhadap pengertian Desa itu sendiri. Cara penempatan yang tidak sesuai dengan Lampiran 2 tersebut dapat ditafsirkan bukan semata-mata karena kesalahan drafting, melainkan bisa juga ditafsirkan bahwa pemerintah tetap berkehendak meletakkan desa yang tersubordinasi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan kecamatan. Argumentasi seperti ini disampaikan karena persoalan pengaturan desa dalam dataran politis sungguh sangat sensitif, karena manyangkut persoalan kultur (budaya) di lingkungan masyarakat hukum adat, yang oleh RUU ini belum diatur secara signifikan. Karena itu, penyusunan pengertian-pengertian dalam ketentuan umum ini, seharusnya diawali dengan berbagai pengertian inti, yakni desa dan berbagai unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, sepanjang unsur-unsur itu juga disebut berluang-ulang didalam keseluruhan substansi RUU ini. Kelemahan lain terkait format RUU Desa versi Pemerintah ini adalah terlalu banyak pendelegasian pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Kami mencatat, setidaknya terdapat 16 klausul penting yang oleh RUU ini diperintahkan jabaran pengaturannya dengan PP. Beberapa catatan di sini adalah (1) penggunaan diksi hukum dengan berimplikasi perlunya suatu bentuk dasar hukum tersendiri untuk mengatur klausul yang diperintahkan, tidak bisa ditumpangkan dalam PP lain sebagaimana dimaksudkan oleh diksi hukum dalam; (2) secara substansi, terlalu banyak delegasi ke PP yang potensial membuka ruang bagi subversi kebijakan dimana esensi pengaturan dalam PP bisa saja ditumpangi esensi dan kepentingan lain yang tidak sejalan dengan jiwa UU, tanpa pengawasan lembaga perwakilan maupun publik secara umum; (3) secara teknis jelas menjadi beban berat bagi Pemerintah untuk membuat berbagai PP tersebut, apalagi dengan batasan waktu yang maksimal 2 tahun (lihat Pasal 94, Ketentuan Penutup) tanpa sanksi jelas jika Pemerintah abai memenuhi tenggat waktu tersebut. Dalam berbagai ketentuan pasal maupun ayat dari RUU ini sering disebutkan hak asal-usul secara berulang-ulang. Dengan demikian, sesuai standar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, ketentuan umum ini masih perlu memperjelas pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan hak asal-usul, agar normanya jelas. Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyebut hak-hak tradisionil, sedangkan RUU ini selalu menyebut hak asal-usul. Dengan demikian secara konstitusional RUU ini telah mengubah nomenklatur yang sudah ditegaskan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. RUU Desa ini mengikuti logika standar Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang dimulai dengan penataan daerah (lihat Pasal 4-14, RUU Desa versi Pemerintah), lalu diikuti dengan kewenangan. Seharusnya Pasal 2 dalam RUU Desa mengatur tentang ASAS dan TUJUAN terlebih dahulu, sebelum berbicara tentang klausul penataan desa.

RUU ini tidak memuat ketentuan mengenai asas dan tujuan, padahal seluruh norma hukum yang ada di dalam RUU ini haruslah bersumber pada asas dan tujuan tersebut. Di dalam konsideran Menimbang jelas-jelas dikatakan bahwa keberadaan desa bersumber dari asas pengakuan (rekognisi). Dengan mempergunakan asas inilah, maka seluruh norma hukum yang diejahwantahkan dalam klausul-klausul pengaturan bersumber dari asas tersebut, dimana asas rekognisi itu perlu dielaborasi secara memadai. Oleh sebab itu dengan tidak dicantumkannya asas pengakuan (rekognisi), maka dapat ditafsirkan bahwa RUU ini secara perlahan telah mengingkari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, dengan tidak adanya pasal yang menegaskan tentang tujuan dibentuknya RUU ini, akan mengakibatkan munculnya anggapan bahwa pemerintah sedang menerapkan politik setengah hati dalam mengatur desa. Oleh sebab itu agar anggapan tersebut tidak semakin mengkristal sebaiknya azas dan tujuan dicantumkan dalam ketentuan RUU ini. Setelah asas sebaiknya diikuti pengaturan tentang Kedudukan dan Keragaman bentuk Desa. Mencermati sistematika seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa alur berpikir dari penyusunan RUU ini tidak runtut. Bagaimana mau melakukan Penataan Desa berbasis masyarakat adat dan berbasis birokrasi pemerintahan desa, jikalau kedudukan dan keragaman kedua bentuk desa tersebut belum ditegaskan dalam RUU...? Pola seperti ini terjadi karena RUU ini adalah RUU tanpa asas dan tujuan. Padahal sebagai sebuah RUU yang terkait dengan pengaturan keorganisasian masyarakat asli haruslah diatur menganai asas-asas. Kata dapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memang bersifat optional alias pilihan. Namun perlu diingat bahwa desa yang terkait dengan masyarakat hukum adat yang memiliki hak tradisionil haruslah diatur menganai asasasasnya. Hal ini mengingat sejak Orde Baru dan diberlalukannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, keberadaan masyarakat hukum adat semakin langka, dan jika sekarang ini kembali muncul, harusnya keberadaannya bersumber pada asas-asas yang telah ditentukan terlebih dahulu. Ketentuan ini menunjukkan sekali lagi bahwa pemerintah hanya mempergunakan pendekatan pragmatis, yakni efektifitas penyelenggaraan pemerintah desa. Belum ada political will untuk melihat konteks desa dalam bentuk yang lain seperti desa adat (masyarakat hukum adat). Jika pandangan hanya semata-mata pragmatis birokratis, maka RUU ini akan secara perlahan akan menafikan keberadaan desa adat (masyarakat hukum adat) yang oleh Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diakui dan dihormati. Azas dan Tujuan RUU Desa usulan Pemerintah tidak secara eksplisit menegaskan tentang asas pengaturan desa dalam satu bab tersendiri yang menjadi dasar untuk penentuan kedudukan, kewenangan, susunan pemerintahan dan selanjutnya. Meskipun dalam konsideran Menimbang (lihat butir a) maupun Batang Tubuh (lihat Pasal 3) ditegaskan mengakui dan menghormati tetapi ada beberapa titik kelemahan. Pertama, tidak menyampaikan landasan filosofis dan landasan konseptual mengenai konsep mengakui dan menghormati, sekaligus tidak menyampaikan tentang subyek/obyek apa yang diakui dan dihormati berkenaan dengan kesatuan masyarakat adat.

Kedua, konsep mengakui dan menghormati tidak dijadikan sebagai azas yang dijabarkan dalam bab tersendiri. Hal ini menunjukkan kemunduran, sebab UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebenarnya telah menegaskan tentang asas otonomi asli dan keanekaragaman. Sementara RUU Desa usulan pemerintah tidak menyantumkan asas otonomi asli itu dan keanekaragaman di dalam norma batang tubuh. Asas keanekaragaman hanya dijabarkan dalam penjelasan. Ketiga, RUU Desa ini tidak menegaskan pengakuan dan penghormatan yang dilakukan oleh negara terhadap desa atau nama lain. Pengakuan dan penghormatan itu malah didelegasikan kepada pemerintahan daerah. Tidak ada penegasan bahwa seluruh institusi negara harus memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap desa, baik dari institusi maupun produk politik-hukum desa. Atas dasar pandangan itu, DPD RI berpendapat bahwa pengakuan dan penghormatan tersebut secara konseptual merupakan asas rekognisi. Konsep rekognisi ini berlaku secara universal dimanapun terutama negara-negara yang memiliki keragaman budaya dan masih memiliki masyarakat adat (indigenous people). Rekognisi adalah penghormatan dan pengakuan terhadap berbagai entitas marginal seperti kaum minoritas baik suku maupun agama, kelompok subaltern, masyarakat adat dan sebagainya. Tetapi rekognisi tidak hanya bermakna pengakuan keragaman budaya untuk membangun keadilan budaya (cultural justice), tetapi seharusnya juga diikuti dengan redistribusi negara untuk mencapai keadilan ekonomi (economic justice). Dalam konteks RUU Desa, muncul beberapa pertanyaan dasar, apa yang direkognisi, siapa yang melakukan rekognisi dan bagaimana melakukan rekognisi. RUU Desa versi pemerintah berupaya mengakui dan menghormati hak asal-usul desa dan adat istiadat masyarakat setempat. Ini adalah konsep standar sejak dulu tetapi tidak pernah ada perumusan yang konkret dan memadai. DPD RI berpendapat bahwa undang-undang desa tidak bisa melimpahkan begitu saja kepada kabupaten/kota untuk melakukan rekognisi, tetapi melalui undang-undang ini harus tegas bahwa negara (pemerintah, kementerian, kepolisian, TNI, lembaga-lembaga negara, lembaga peradilan, lembaga perbankan, pemerintah daerah dan lain-lain) melakukan rekognisi terhap desa. Baik institusi desa maupun produk politik-hukum desa seperti Peraturan Desa seharusnya diakui dan dihormati oleh sederet institusi-institusi negara tersebut. Sedangkan rekognisi terhadap hak asal-usul meliputi: (a) ulayat adat atau ulayat desa; (b) organisasi dan susunan asli desa; (c) institusi dan pranata lokal; (d) peradilan atau penyelesaian sengketa secara adat dan (e) adat istiadat setempat. Konsideran menimbang kedua secara implisit mengandung tujuan, tetapi DPD RI menilai bahwa tujuan itu masih sangat dangkal. DPD RI berpendapat bahwa serangkaian tujuan pengaturan desa meliputi (lihat RUU Desa versi DPD Pasal 3): a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang telah ada sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia b. memberikan pengakuan dan penghormatan atas keberagaman jenis desa atau yang disebut dengan nama lain di Negara Kesatuan Republik Indonesia c. memberikan kejelasan kedudukan desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia d. memberikan jaminan terhadap desa dalam pelaksanaan pembangunan nasional demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

e. memberdayakan prakarsa, gerakan dan pengembangan potensi dan aset-aset lokal

partisipasi

masyarakat

desa

untuk

f. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efektif dan efisien, transparan, serta akuntabel g. meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat guna mempercepat perwujudkan kesejahteraan masyarakat; dan h. meningkatkan ketahanan sosial-budaya masyarakat guna mewujudkan masyarakat yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional Hakekat dan Kedudukan Desa Setiap regulasi, kebijakan bahkan program yang terkait dengan desa pasti dibimbing oleh perspektif (cara pandang). Cara pandang ini tentu berkaitan dengan pemahaman tentang azas, hakekat desa dan disain mengenai kedudukan desa, termasuk bagaimana menempatkan pemerintahan dan masyarakat dalam desa. Sejauh ini ada banyak cara pandang untuk memahami hakekat desa itu. Bagan 1 merupakan tipologi cara pandang terhadap desa khususnya dari sisi pemerintah desa dan masyarakat. Bagan 1 Tipologi cara pandang terhadap desa Pemerintah desa Lemah Kuat

Lemah Masyarakat

(1) Desa birokratis (desa (2) Desa korporatis (desa hanya sebagai wilayah sebagai kepanjangan administratif) tangan negara) (3) Desa sebagai (4) Desa sipil atau desa persekutuan sebagai negara kecil masyarakat (self governing community).

Kuat

Cara pandang 1: memandang desa hanya sebagai wilayah administratif, yang kemudian melahirkan desa birokratis, dengan ciri khas: pemerintah desa lemah dan masyarakat juga lemah. Cara pandang ini terjadi juga dalam praktik, terbukti banyak desa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang tidak memiliki pemerintahan desa yang kuat dan masyarakat yang kuat. Desa semacam ini tidak menghadirkan kepala desa sebagai pemimpin lokal yang kuat, kecuali hanya sebagai pesuruh atau mandor yang menjalankan tugas-tugas dari atas. Demikian juga dengan kondisi masyarakat yang tidak memiliki inisiatif dan swadaya yang kuat, kecuali hanya tergantung pada bantuan dari pemerintah. Cara pandang 2: memandang desa sebagai kepanjangan tangan negara, atau disebut sebagai desa korporatis. Desa semacam ini menampilkan pemerintah desa, khususnya kepala desa, yang kuat dalam melayani warga dan mengontrol masyarakat, sebagaimana diterapkan oleh Orde Baru dengan UU No. 5/1979. Masyarakat sipil tidak
9

tumbuh di desa, sehingga melahirkan kepala desa yang dominatif dan otokratis tanpa kontrol dari masyarakat. Cara pandang 3: memandang desa sebagai persekutuan masyarakat (self governing community). Ada dua aliran dalam cara pandang ini. Pertama, aliran komunitarian klasik yang memuja komunitas (masyarakat adat), sebuah komunitas yang sangat kuat memiliki ikatan komunal dan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya lokal sebagai property rights mereka. Termasuk memiliki demokrasi komunitarian, yakni demokrasi yang menolak kebebasan individu dan lebih mengutamakan kebaikan bersama. Kedua, aliran neoliberal (libertarian) yang diusung oleh Bank Dunia melalui Community Driven Development (CDD) sejak Program Pengembangan Kecamatan tahun 1998 hingga PNPM Mandiri. Menurut cara pandang ini, desa tidak perlu memiliki pemerintah desa yang kuat, juga tidak perlu didukung dengan demokrasi perwakilan melalui Badan Perwakilan Desa (BPD). Masyarakat, termasuk individu anggota masyarakat, menjadi titik central perhatian cara pandang ini. Artinya setiap individu harus kuat, sadar akan hak-haknya, dan kemudian membangun modal sosial (social capital) serta melakukan aksi kolektif dalam wadah masyarakat untuk mencapai kehendak dan tujuan kolektif itu. Tetapi rupanya PNPM sekarang telah melakukan refleksi terhadap cara pandangnya, meskipun tidak melakukan koreksi total. Para pelaku PNPM memandang betapa pentingnya pemerintah desa, termasuk kebijakannya dalam bentuk perencanaan desa (RPJMDes) dan penganggaran desa (APBDes), sehingga sekarang melahirkan gagasan dan praktik perencanaan integratif, yakni perencanaan PNPM yang diintegrasikan dengan perencanaan reguler desa (RPJMDes). Cara pandang 4: memandang desa sebagai negara kecil bukanlah negara dalam Negara dalam ikatan NKRI, melainkan sebagai organisasi lokal yang memiliki wilayah, kekuasaan, rakyat, sumberdaya (agraria, hutan, sungai, dan sebagainya), livelihood, maupun budaya dan institusi (identitas, norma, nilai, aturan, lembaga, aktor, dll). Dengan kata lain negara kecil juga sama dengan dengan desa mandiri. Bagaimana cara pandang RUU Desa versi pemerintah..? RUU Desa tampaknya dipengaruhi oleh cara pandang ketiga yang memahami desa sebagai self governing community. Gagasan ini sangat kuat dipengaruhi oleh M Ryas Rasyid dan Mendagri Gamawan Fauzi. Dalam berbagai kesempatan Mendagri berpandangan bahwa desa sebaiknya dikembalikan sebagai self governing community seperti kondisi masa lalu. Menurut Mendagri, desa bukanlah unit pemerintahan sehingga tidak perlu menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum dan administrasi negara, karena itu desa tidak perlu memperoleh ADD dari negara. Desa semacam ini tidak perlu pemerintahan desa yang kuat, melainkan cukup dengan penguatan masyarakat. Gagasan self governing community (SGC) tertuang dalam Pasal 2: Di daerah kabupaten/kotadibentuk desa yang pengelolaannya berbasis masyarakat. Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan ciri khas SGC itu. Penguatan masyarakat dalam kerangka SGC juga ditegaskan dalam bentuk hak-hak masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 18, berikut ini: Masyarakat desa mempunyai hak :

10

a. mencari, meminta, mengawasi dan memberikan informasi kepada pemerintah desa tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desanya; b. memperoleh pelayanan yang sama dan adil; c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di desanya; d. memilih, dipilih dan/atau ditetapkan menjadi kepala desa, perangkat desa lainnya, anggota BPD dan lembaga kemasyarakatan desa; dan e. mendapatkan perlindungan dari ancaman ketentraman dan ketertiban. Bagaimana mungkin hak-hak masyarakat -- apalagi hak memperoleh pelayanan secara adil dan mendapatkan perlindungan -- bisa diwujudkan jika pemerintahan desa tidak diperkuat dari sisi kedudukan, kewenangan, fungsi dan keuangan. Pengaturan mengenai hak-hak masyarakat itu mencerminkan cara pandang libertarian, yang berupaya memperkuat sisi demand masyarakat kepada pemerintah desa. Meskipun RUU Desa ini dinilai bias pemerintahan, tetapi secara substansial sebenarnya tidak memperkuat pemerintahan, kecuali hanya administrasi dan birokrasi pemerintahan desa. Oleh karena itu, RUU Desa ini memproyeksikan hakekat dan kedudukan desa dalam bentuk yang campuran (hybrid), yakni desa administratif dan desa sebagai self governing community, bukan sebagai civil village. Desa administratif itu tidak mungkin membuahkan keperintahan dan kepemimpinan lokal yang kuat (yang mampu melayani dan melindungi warga serta mengembangkan aset lokal), kecuali hanya menjalakankan perintah dari atas dan memanfaatkan bantuan keuangan dari atas. Berbeda dengan posisi pemerintah, DPD RI mengambil posisi cara pandang yang ke-4, yakni desa sebagai negara kecil, yang memiliki pemerintahan yang kuat sekaligus masyarakat yang kuat. Sebagai negara kecil, desa mempunyai beberapa makna penting: 1. Desa sebagai negara kecil bukan hanya sekadar obyek penerima bantuan pemerintah, tetapi sebagai subyek yang mampu melakukan emansipasi lokal (atau otonomi dari dalam dan otonomi dari bawah) untuk mengembangkan aset-aset lokal sebagai sumber penghidupan bersama. 2. Desa memiliki property right atau mempunyai aset dan akses terhadap sumberdaya lokal yang dimanfaatkan secara kolektif untuk kemakmuran bersama. 3. Desa mempunyai pemerintah desa yang kuat dan mampu menjadi penggerak potensi lokal dan memberikan perlindungan secara langsung terhadap warga, termasuk kaum marginal dan perempuan yang lemah. 4. Pemerintahan desa yang kuat bukan dimengerti dalam bentuk pemerintah dan kapala desa yang otokratis (misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama), tetapi lebih dalam bentuk pemerintahan desa yang mempunyai kewenangan dan anggaran memadai, sekaligus mempunyai tata pemerintahan demokratis yang dikontrol (check and balances) oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa dan masyarakat setempat. 5. Desa tidak hanya memiliki lembaga kemasyarakatan korporatis (bentukan negara), tetapi juga memiliki organisasi masyarakat sipil.

11

6. Desa bermartabat secara budaya, yang memiliki identitas atau sistem sosial-budaya yang kuat, atau memiliki kearifan lokal yang kuat untuk mengelola masyarakat dan sumber daya lokal. Keragaman Desa RUU Desa yang diajukan pemerintah menegaskan bahwa salah satu prinsip dasar pengaturan desa adalah keanakaragaman. Pengakuan atas keragaman itu kemudian dijabarkan dalam pasal 3 RUU Desa versi Pemerintah: (1) Pemerintahan daerah dalam menetapkan peraturan daerah dan atau kebijakan lainnya mengenai desa wajib memperhatikan hak asal-usul, adat istiadat dan nilainilai sosial budaya masyarakat setempat; Pemerintahan daerah mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup,sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dengan peraturan daerah; Pemerintahan daerah dalam menetapkan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan berdasarkan kriteria yang diatur dengan peraturan pemerintah; Bagi daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dalam pengaturan desa wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menetapkan sebagai daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.

(2)

(3) (4)

Keragaman desa tentu bukan hanya sekadar keragaman istilah (nomenklatur), melainkan keragaman dalam hal bentuk desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa. DPD berpandangan bahwa cara pandang itu sebagai pendekatan pengecualian (eksepsional) untuk memaknai dan mengatur keragaman. RUU Desa ini sebenarnya mengatur desa secara generik atau default village, sementara yang berbeda sebagai wujud keragaman tidak diatur secara optional melainkan dengan cara eksepsional. Ini pun masih diamanatkan dengan pola blank check ke dalam peraturan pemerintah. Tidak jelas bagaimana prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak trasdisionalnya akan dipenuhi dalam muatan RUU ini. Rumusan pasal 3 RUU Desa yang diajukan Pemerintah, hanya mengatur kewajiban pemerintah daerah dalam beberapa hal: Pertama, pemerintah daerah wajib memperhatikan hak asal-usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dalam menetapkan peraturan daerah dan atau kebijakan lainnya mengenai desa Kedua, kewajiban bagi pemerintah daerah untuk mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya berdasarkan kriteria yang diatur dengan peraturan pemerintah. Hampir seluruh materi muatan yang diatur dalam RUU ini bersifat generik dan seragam. Namun di rumusan pasal 3 ayat (4) dan di ketentuan peralihan RUU Desa versi Pemerintah dicantumkan mengenai digunakan model pengecualian. Pengecualian yang pertama berlaku bagi daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Di daerah khusus dan istimewa, dalam pengaturan desa wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menetapkan sebagai daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Pengecualian yang kedua dicantumkan di pasal 91 ayat (1) sampai (3) RUU Desa versi Pemerintah. Dalam pasal 91 ayat (2) RUU Desa versi

12

Pemerintah disebutkan: Mekanisme penetapan kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD, bentuk organisasi pemerintah desa, masa jabatan kepala desa dan keanggotaan BPD, penghasilan kepala desa dan perangkat desa, tunjangan anggota BPD yang selama ini pelaksanaanya berdasarkan asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat, ketentuan tersebut tetap berlaku dan dikecualikan dari pengaturan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Dan di ayat (3), ditegaskan Pelaksanaan ketentuan pengecualian itu dilakukan dengan beberapa syarat: sepanjang asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat tersebut masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia serta ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten/kota. Semangat untuk menjalankan prinsip rekognisi dalam konstitusi justru semakin artificial karena pengakuan dan pengakuan dan penghormatan keragaman dimaknai hanya sebatas keragaman penggunaan istilah desa. Dalam penjelasan RUU DEsa yang diajukan pemerintahan disebutkan bahwa Keanekaragaman, memiliki makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti pola kegiatan pemerintah serta pelaksanaan pembangunan di desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini nampak jelas dalam pasal 91 RUU Desa yang diajukan Pemerintah yang menyatakan sebagai berikut: Penggunaan istilah desa, dusun, kepala desa, BPD dan lembaga kemasyarakatan yang selama ini menggunakan istilah berdasarkan asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat, ketentuan tersebut tetap berlaku dan dikecualikan dari penyebutan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adat merupakan isu sentral dalam keragaman. Dalam kaitan dengan keragaman, RUU Desa yang diajukan Pemerintah ini mereduksi adat sebagai entitas hanya menjadi lembaga adat semata. Dalam penjelasan ditegaskan: Satuan-satuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan mengikuti perkembangan masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam satuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya lembaga adat yang sengaja dibentuk, telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang dalam eksistensi masyarakat hukum adat memiliki wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan didalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan berkaitan dengan adat isitidat dan hukum adat yang berlaku. Lembaga adat mitra pemerintah desa dan lembaga desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat desa. Kalimat pertama dan kalimat kedua sebenarnya merupakan bentuk rekognisi (pengakuan) negara terhadap entitas masyarakat hukum adat. Tetapi kalimat terakhir (lembaga adat.... dan seterusnya) sangat menyolok mereduksi makna fundamental dalam kalimat pertama dan kalimat kedua. DPD RI berpendapat bahwa adat sebenarnya bukan hanya semacam lembaga adat yang berposisi sebagai mitra pemerintah desa, melainkan sebuah entitas yang setara dengan desa itu sendiri, seperti halnya desa dinas dan desa adat di Bali. Desa adat itu mempunyai kedudukan, kewenangan, ulayat dan susunan pemerintahan asli, sehingga tidak bisa direduksi menjadi semacam lembaga adat semata.

13

Keberadaan adat itulah yang harus menjadi perhatian penting dalam pengaturan tentang keragaman. Ada dua opsi yang bisa dilakukan untuk pengaturan keragaman desa. Pertama, cara pengaturan menggunakan pendekatan pengecualian dari desa generik yang menjadi pokok pengaturan paling utama dalam undang-undang. Artinya, undangundang memberikan pengaturan desa secara generik yang berlaku umum di Indonesia, kecuali bagi daerah-daerah atau desa-desa dimana pengaruh adat masih sangat kuat. UU No. 32/2004 sebenarnya telah menggunakan pendekatan ini. Penerapan pendekatan pengecualian itu diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat, yang tentu saja mengandung kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, pendekatan itu membuka kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengatur keragaman sesuai dengan kondisi lokal, tetapi kelemahannya adalah munculnya keengganan dan ketidakmampuan daerah sehingga tetap saja tidak ada pengaturan beragam secara lokal. Kedua, pendekatan tipologis yang eksplisit. Pendekatan ini membuat dan menegaskan beberapa tipe desa, yang kemudian dijabarkan secara eksplisit sejumlah karakteristik dan perbedaan yang terkait dengan bentuk desa, kewenangan, susunan pemerintahan dan lain-lain. Di masa lalu pemerintah kolonial pernah melakukan pengaturan desa secara beragam dengan IGO untuk Jawa dan Madura dan IGOB untuk Luar Jawa. DPD RI mengambil posisi pada opsi yang kedua daripada opsi pertama (lihat pasal 5 RUU Desa yang diajukan DPD RI). Secara teoretis, sesuai dengan proses tranformasinya, desa dibagi ke dalam tipe Desa adat (self governing community), desa praja (local state government) dan desa swapraja(local self government). Tetapi tipologi ini sangat kompleks dan rumit karena memasukkan berbagai komponen mulai dari pengaruh adat sampai dengan kemajuan pembangunan. Karena itu naskah akademik ini mengusulkan dua tipe desa yang didasarkan pada kuat-lemahnya pengaruh adat, yakni Desa dan Desa Adat. DPD RI berpendapat bahwa RUU Desa seharusnya konsisten dengan prinsip pengakuan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya seperti yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945. Konsitensi itu harus nampak jelas dalam materi muatan dalam pengaturan tentang desa.
a. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat harus

diartikan sebagai mengakui dan menghormati keragaman desa. Keragaman itu bukan dalam istilah melainkan pada jenis desa. DPD RI mengelompokan desa dalam dua jenis : Desa Adat dan Desa pada umumya. Desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adat, adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah dan susunan pemerintahan asli yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan/atau adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan, Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan/atau kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat dan asal usul yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika hanya mengatur mengenai Desa pada umumnya, maka eksistensi pemerintah desa adat semakin memudar, padahal Pasal 18B UUD NRI 1945 secara

14

tegas telah mengamanatkan untuk memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionilnya.
b. Prinsip pengakuan dan penghormatan itu diwujudukan dengan pengaturan yang

berbeda antara desa adat dengan desa pada umumnya. Dalam kewenangan, Kewenangan Desa Adat mencakup kewenangan yang bersumber dari hak asal-usul dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang masih hidup dan berkembang berdasar hukum adat setempat. Desa Adat juga diberikan kewenangan menyelenggarakan pemerintahan umum sebagaimana dijalankan oleh Desa. Dalam aspek pemerintahan, desa adat memiliki kewenangan dalam bidang pemerintahan yang masih hidup berdasar hukum adat setempat yang meliputi: mengatur dan melaksanakan sistem pemerintahan berdasarkan susunan asli dan hukum adat setempat; mengatur dan mengelola sumber daya alam yang dikuasai berdasarkan hukum adat, yang antara lain meliputi tanah kas desa, tanah ulayat, hutan adat, dan sumber daya alam lainnya; melaksanakan hukum adat setempat; melestarikan sumber daya alam yang dikuasai berdasarkan hukum adat; dan menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum adat setempat dalam wilayahnya. Karena memiliki kewenangan dalam mengatur dan melaksanakan sistem pemerintahan berdasarkan susunan asli dan hukum adat setempat maka bentuk dan susunan pemerintahan Desa Adat dibentuk berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Demikian pula dengan Pengisian jabatan kepala atau pimpinan dalam susunan pemerintahan Desa Adat disesuaikan dengan sistem dan ketentuan hukum adat setempat (lihat pasal 102-105 RUU Desa yang diajukan DPD RI) Desa (atau disebut dengan nama lain) mempunyai karakteristik generik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sebagaimana kita kenal selama ini dalam UU No. 32/2004. Sedangkan desa adat mempunyai karakter yang berbeda dengan desa generik pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal maupun kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat. Perbedaan mendasar antara Desa dan Desa Adat terletak pada azas pengaturan, kewenangan serta bentuk dan susunan pemerintahan. Kedua tipe sama-sama memiliki otonomi, tetapi ada kesamaan dan perbedaannya: 1. Desa Adat adalah desa yang masih memperoleh pangaruh adat secara kuat, sementara pengaruh adat dalam Desa relatif lemah. 2. Desa Adat dan Desa sama-sama memiliki hak kewenangan asal-usul, tetapi asal-usul dalam Desa Adat lebih dominan dibandingkan di Desa. 3. Desa Adat mengutamakan azas rekognisi (pengakuan dan penghormatan), sementara Desa mengutamakan azas subsidiarity (penetapan kewenangan berskala lokal desa). 4. Pemerintahan (beserta lembaga dan perangkat) Desa Adat menggunakan susunan asli (asal-usul), sementara Desa menggunakan susunan modern seperti yang selama ini kita kenal. 5. Keduanya sama-sama menjalankan pemerintahan umum yang ditugaskan oleh negara, dan juga sama-sama memperoleh alokasi dana desa (ADD). Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun temurun dan tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakatsetempat agar bisa berfungsi untuk

15

mengembangkan kesejateraan serta identitas sosial budaya lokal. Desa Adat yang memiliki hak asal usul sejak desa itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengahtengah masyarakat. Pada prinsipnya Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas-batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat berdasar hak asal-usul. Dalam pengertian ini desa memiliki otonomi asli (indigenous autonomy). Kewenangan Desa Kewenangan merupakan instrumen politik dan hukum bagi desa untuk mencapai kemandirian (otonomi), bahkan kedaulatan, dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. RUU versi pemerintah (lihat Pasal 15 dan Pasal 16) memberikan pengaturan mengenai kewenangan desa sebagai berikut: (1) Kewenangan desa mencakup : a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan nilainilai sosial budaya masyarakat; b. kewenangan lokal berskala desa yang diakui kabupaten/kota; c. kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada desa; dan d. kewenangan lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. (2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah pelimpahan kewenangan kepada desa sebagai lembaga dan kepada kepala desa sebagai penyelenggara pemerintah desa. Pasal 17 Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c dan huruf d disertai dengan pembiayaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan. Mengenai hak asal-usul dijelaskan sebagai berikut: Yang dimaksud kewenangan yang berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, nilai-nilai sosial budaya masyarakat adalah hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (seperti Subak, Jogoboyo, Jogotirto, Sasi, Mapalus, Kaolotan, Kajaroan), memfasilitasi penyelesaian perselisihan masyarakat dan tindak pidana ringan, pengelolaan kekayaan desa (tanah kas desa/titi sara, tambatan perahu, dan lain-lain). Hak asal-usul itu pasti akan memperoleh reaksi keras dari masyarakat adat karena tidak menyantumkan hak ulayat desa/adat yang merupakan hak asal-usul palingvital.Sedangkan seperti subak, jogoboyo dan sebagainya sebenarnya hanya merupakan institusi dan pranata lokal. DPD berpendapat bahwa hak asal-usul desa mencakup (lihat Dalam pasal 22 RUU Desa yang diajukan DPD RI). : a. Menguasai dan/atau memiliki ulayat desa atau ulayat adat.

16

b. Menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan susunan asli c. Menyelenggarakan institusi (organisasi, nilai, pranata) lokal d. Menyelesaikan sengketa warga secara adat e. Melestarikan adat istiadat setempat Dalam realitas saat ini, banyak kewenangan hak asal-usul, terutama terkait dengan ulayat desa yang sudah dikuasai oleh pemerintah. Oleh karena DPD RI berpendapat bahwa melalui RUU Desa ini, kewenangan desa untuk menguasai ulayat desa dipulihkan. Berkaitan dengan kewenangan berskala lokal, Penjelasan RUU versi pemerintah menegaskan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan kewenangan lokal berskala desa yang diakui kabupaten/kota seperti: pembentukan kelembagaan masyarakat, pengelolaan infrastruktur desa, pengambilan sumber daya alam yang tidak bertujuan komersial atau digunakan untuk pembangunan fasilitas umum desa, pengelolaan pasar desa, pembersihan saluran air jalan-jalan desa, pembersihan alur sungai, pembagian air untuk sawah. Yang dimaksud dengan pengambilan sumber daya alam yang tidak bertujuan komersial yaitu pengambilan sumber daya alam seperti antara lain : pasir, batu, kapur, dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum masyarakat desa yaitu untuk pembangunan prasarana pemerintah desa, jalan-jalan desa, saluran air desa dan sebagainya, dapat dilaksanakan oleh pemerintah desa setelah mendapatkan ijin dari bupati/walikota dan selanjutnya pemerintah desa wajib melaporkan kepada bupati/walikota tentang pengambilan sumber daya alam tersebut. Kewenangan nyata berskala lokal sebenarnya mengikuti perkembangan dan prakarsa masyarakat setempat dan juga mengacu pada azas subsidiarity: pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah berskala lokal lebih baik dilokalisir di level desa, tidak perlu dibawa naik ketas. Kewenangan ini sebenarnya tidak semata-mata hadir dalam bentuk mengambil atau memperoleh hasil dari sumberdaya, tetapi juga mengurus kepentingan masyarakat setempat, baik dalam bentuk pelayanan publik dasar, maupun dalam fungsi memelihara keamanan lokal guna menjamin ketentraman masyarakat (polmas, polindes, posyandu, sanitasi lingkungan, sanggar belajar, air bersih, sistem informasi desa, dll) maupun pengembangan aset-aset lokal (hutan rakyat, kebun desa, desa wisata, dll). Jika desa mempunyai kapasitas mengurus ini dengan baik, maka itulah yang disebut dengan emansipasi lokal, atau prakarsa desa secara mandiri yang benar-benar bermanfaat untuk rakyat. Undang-Undang Desa sebaiknya mengakui dan memberi ruang bagi kewenangan yang telah diprakarsai secara mandiri oleh desa. Dalam menjalankan fungsi memelihara keamanan di level desa, masyarakat telah mengambil prakrasa untuk memelihara keamanan dan ketertiban yang disesuikan dengan konteks lokal. Fungsi itu diajalankan oleh berbagai institusi keamanan yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat desa, baik yang sudah ada maupun dibentuk baru. Oleh karena itu dalam pasal 150 RUU Desa yang diajukan oleh DPD RI diatur bahwa di dalam wilayah desa/desa adat dibentuk perpolisian masyarakat atau yang disebut dengan nama lain, yang selanjutnya polmas, sebagai lembaga kemasyarakatan dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban setempat serta partisipasi desa dalam menjaga keamanan nasional. Perpolisian masyarakat

17

terdiri dari unsur-unsur yang diselenggarakan oleh desa dan memperoleh pembinaan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu, sekarang semakin banyak desa mengembangkan sistem informasi desa (SID). Selama ini tidak ada payung hukum yang mengamanatkan atau membolehkan desa menembangkan SID, sementara pemerintah mengamanatkan desa membikin profil desa. Meskipun belum ada payung hukum yang menegaskan bahwa SID merupakan kewenangan desa, maka prakarsa SID secara mandiri itu perlu memperoleh pengakuan, dan karena itu RUU Desa perlu menegaskan bahwa SID merupakan salah satu kewenangan lokal berskala desa. Contoh serupa sering terjadi dalam kasus pengembangan hutan rakyat, kebun rakyat, pertambangan rakyat, desa wisata, bagan ikan, tambatan perahu dan sebagainya. Namun kewenangan yang berdimensi mengambil atau memperoleh itu perlu diperhatikan, sebab selalu ada kewenangan berskala lokal yang selalu menjadi ajang tarik menarik antara desa dan kabupaten/kota. Ada kenyataan dan pendapat yang menegaskan bahwa kalau kewenangan mata air diberikan kepada desa, sementara kewenangan mata air diambil oleh kabupaten. Di banyak daerah, galian tambang C (pasir, batu, kerikil, dan lain-lain) yang berada dalam wilayah desa, sering menjadi tarik menarik antara kabupaten dan desa. Pada umumnya galian tambang C itu menjadi sumber PAD bagi daerah, sementara orang-orang desa selalu berkomentar bahwa desa hanya menonton, yang tidak memperoleh bagi hasil, apalagi mengelolanya secara mandiri. Tampaknya RUU Desa versi pemerintah belum memberikan jawaban secara baik terhadap masalah itu. Dalam penjelasan ditegaskan bahwa salah satu kewenangan berskala lokal adalah pengambilan sumber daya alam yang tidak bertujuan komersial atau digunakan untuk pembangunan fasilitas umum desa. Demikian penjabarannya: Yang dimaksud dengan pengambilan sumber daya alam yang tidak bertujuan komersial yaitu pengambilan sumber daya alam seperti antara lain: pasir, batu, kapur, dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum masyarakat desa yaitu untuk pembangunan prasarana pemerintah desa, jalan-jalan desa, saluran air desa dan sebagainya, dapat dilaksanakan oleh pemerintah desa setelah mendapatkan ijin dari bupati/walikota dan selanjutnya pemerintah desa wajib melaporkan kepada bupati/walikota tentang pengambilan sumber daya alam tersebut. Pola itu serupa dengan konsep hutan desa yang diatur dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Desa bisa mengelola sebagian hutan produksi milik negara untuk menjadi hutan desa setelah memperoleh rekomendasi dari pemda dan memperoleh izin dari menteri kehutanan. Selama ini hutan desa itu belum terealisir secara konkret, kecuali hanya hutan kemasyarakatan. Ada desa yang mempertahankan harga diri, ada lebih banyak desa yang tidak sanggup menjalani proses untuk memperoleh izin dari pemda dan menteri. Frasa izin pengelolaan sumberdaya alam berskala lokal atau kecil, sebenarnya tidak terlalu relevan jika dikaitkan dengan azas rekognisi dan subsiadiarity. Kedua azas ini pada dasarnya menganjurkan redistribusi atau penetapan SDA berskala kecil menjadi milik desa. Sebagai contoh, galian tambang C yang terdapat dalam bukit yang berada dalam wilayah desa, maka hal itu menjadi domain desa. Sementara galian tambang C dalam sungai yang membentang panjang melintasi banyak desa, merupakan domain kabupaten/kota.

18

Klausul kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada desa sebenarnya tidak dibenarkan oleh teori desentralisasi dan hukum tatanegara. Tampaknya klausul itu menggunakan azas delegasi, atau pelimpahan kewenangan yang disertai dengan pembiyaan (RUU Desa versi Pemerintah Pasal 17), yang karena itu desa berposisi membantu tugas-tugas pemerintah dan pemerintah daerah. Tetapi karena azas itu tidak disampaikan secara eksplisit dalam RUU, maka pihak lain mudah menyampaikan pendapat bahwa pelimpahan itu merupakan azas pragmatis, jika tidak bisa disebut tanpa azas. DPD RI berpendapat bahwa kewenangan delegatif itu merupakan manifestasi dari azas delegasi, yang tentu bisa dipahami dalam dua makna. Pertama, pelimpahan kewenangan dari atas itu mengarahkan dan mempersiapkan desa berkontribusi terhadap berbagai agenda pembangunan daerah dan nasional. Kedua, pelimpahan kewenangan sebenarnya bisa memotong inefisiensi dan mata rantai intervensi langsung pemerintah terhadap desa. Sebagai contoh adalah kewenangan dan program pengelolaan desa siaga yang selama ini menjadi domain Kementerian Kesehatan. Kemenkes tidak perlu menjalankan program desa siaga itu sendiri, melainkan bisa didelegasikan langsung kepada desa, yang tentu disertai dengan biaya. Contoh lain adalah Program Pengembangan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) yang dikelola Kementerian Pekerjaan Umum dengan anggaran Rp 250 juta per desa. Sebenarnya program dan anggaran ini termasuk uang receh, yang terlalu sepele jika diurus oleh PU sendiri. Karena itu pengelolaan infrastruktur itu bisa didelegasikan kepada desa. Demikian juga dengan pengelolaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang tidak perlu ditangani sendiri oleh pemerintah daerah, tetapi bisa didelegasikan kepada desa yang disertai biaya untuk operasional PAUD dan insentif kepada para kader pengelola PAUD. Tetapi ada beberapa catatan penting yang berkaitan dengan kewenangan delegatif. Pertama, kewenangan delegatif tentu tidak boleh lebih besar dan lebih banyak daripada kewenangan berskala lokal dan kewenangan asal-usul. Jika kewenangan delegatif lebih besar maka otonomi dari atas akan lebih besar daripada otonomi dari bawah dan otonomi dari dalam. Desa hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah, yang justru akan menumpulkan prakarsa lokal. Kedua, kewenangan delegatif bukanlah tugas pembantuan yang datang setiap saat, bukan juga permintaan tolong. Kementerian maupun pemda tidak bisa setiap saat mendelegasikan kewenangan kepada desa. Konsep dan daftar kewenangan delegatif harus dilembagakan secara pasti dalam Undang-undang dan dijabarkan dalam peraturan pemerintah. Pemerintahan Desa Sudah sekian lama bahwa berbagai pihak, termasuk masyarakat desa, mengadaptasi dan menghormati bahwa pemerintahan merupakan pilar penting bagi desa. Pemerintahan itu berbicara tentang struktur organisasi, sistem, perangkat dan tatakelola yang digunakan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan urusan-urusan pelayanan publik. Frasa pemerintahan ini tidak tampak dalam RUU Desa versi pemerintah. RUU Desa yang diajukan pemerintah lebih menekankan Pemerintah Desa dibandingkan Pemerintahan Desa. Istilah pemerintah desa dengan pemerintahan desa memiliki perbedaan yang esensial. Pemerintah desa hanya salah satu unsur dari sistem

19

pemerintahan desa. Dalam sistem pemerintahan desa terdapat: struktur, fungsi dan pola hubungan antar unsur penylenggara pemerintahan desa. Struktur menyangkut keberadaan lembaga-lembaga penyelenggara pemerintahan dengan berbagai fungsi yang diamanahkan. Hal itu mengandung kosekuensi bahwa yang lebih banyak diatur dalam Undang-Undang Desa yang diajukan Pemerintah adalah kepala desa dengan perangkat desa. Ada banyak pasal yang mengaturnya sehingga bisa juga disebut sebagai administrasi pemerintah desa. Padahal desa seharusnya diletakan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang memiliki struktur penyelenggara pemerintahan, pola relasi dan juga mekanisme dalam tata kelola pemerintahan. Struktur menyangkut keberadaan lembaga-lembaga penyelenggara pemerintahan dengan berbagai fungsi yang diamanahkan. Karena itu RUU Desa yang diajukan Pemerintah tidak bisa menjelaskan dimana kedudukan lembaga perwakilan rakyat desa dalam sistem pemerintahan desa dan bagaimana pula menempatkan lembaga-lembaga desa yang lain. Penekanan pada pemerintah desa juga mengabaikan keragaman susunan pemerintahan desa seperti yang hidup dalam masyarakat adat di berbagai daerah. Kelembagaan peemrintahan asli dalam masyarakat adat sangat beragam; ada yang bersusun tunggal, majemuk ataupun campuran. Selain itu, visi membangun desa yang demokratis tereduksi karena RUU Desa yang diajukan Pemerintah mengurangi fungsi dan kewenanang BPD sebatas menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan desa; dan memberikan pertimbangan dalam perumusan regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan kewenangan hak asal usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat serta kewenangan lokal desa yang diakui kabupaten/kota. RUU Desa yang diajukan oleh Pemerintah mereduksi kedudukan Musyawarah Desa dalam sistem pemerintahan desa. Dalam RUU Desa yang diajukan pemerintah, musyawarah desa hanya berfungsi untuk membahas, mendiskusikan dan mengkoordinasikan program-program strategis yang akan dilaksanakan pemerintah desa. Hasil musyawarah digunakan sebagai bahan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa dan merupakan masukan bagi kepala desa dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan desa serta bagi BPD dalam penyelenggaraan musyawarah BPD. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat bahwa pengaturan tentang pemerintahan desa harus bisa mengakomodasi: Pertama, penghormatan dan pengakuan atas keragaman (ke-bhineka-an) bentuk dan susunan pemerintahan desa-desa di Indonesia. Karena sejarah menunjukkan bahwa format pengaturan yang sentralistik dan seragam justru berakibat pada marginalisasi desa dan hilangnya nilai-nilai kearifan lokal dalam tata pemerintahan desa. Sehingga, sebagai aktualisasi semangat untuk menghormati spirit (ruh) kebhinekaan maka dalam Undang-undang tentang Desa perlu adanya pengakuan dan penghormatan susunan pemerintahan asli yang tentusaja beragam di setiap daerah di Indonesia. Kedua, walaupun keragaman susunan pemerintahan desa dihormati dan diakui, namun dalam Undnag-undang perlu diatur asas-asas tata kelola pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan desa yang demokratis bisa diwujudkan dengan melembagakan partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Esensi dari tata pemerintahan yang demokratis adalah mendekatkan

20

pemerintahan pada warganya. Sehingga, Otonomi desa bukanlah semata-mata otonomi bagi elite desa, melainkan otonomi yang berbasiskan warga masyarakat desa. Sehingga dalam otonomi yang berbasisikan warga masyarakat desa ini, masyarakat desa seharusnya diberikan ruang politik seluas-luasnya untuk terlibat (engage) dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa. Sehingga makna kedaulatan rakyat; pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, bisa secara nyata terwujud di desa. Ketiga, RUU Desa bukan semata-mata mengatur pemerintah desa melainkan sistem pemerintahan desa. UU Desa perlu memperjelas sistem Pemerintahan desa, yang meliputi: susunan/struktur pemerintahan desa, tugas pokok dan fungsi dari kelembagaan pemerintahan desa serta pola relasinya. Keempat, pemerintahan desa yang demokratis hanya terbangun apabila ada saluran dari warga untuk ikut terlibat dalam proses politik-pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Keterlibatan warga dalam proses politik pemerintahan desa bukan hanya dalam konteks artikulasi dan agregasi aspirasi warga, melainkan bagian dari keikutsertaan dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan desa. Melalui keterlibatan itu juga sebagai upaya membangun check and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan demikian salah satu indikator dari pemerintahan yang demokratis adalah keberadaan dan berfungsinya lembaga perwakilan politik warga. Bentuk dan susunan lembaga perwakilan warga memiliki karakteriustik yang berbeda-beda di setiap desa adat. Untuk desa-desa pada umumnya, lembaga perwakilan masyarakat desa perlu diperluat untuk mewujudkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Masyarakat melaui lembaga perwakilannya harus diberikan ruang untuk mengawasai pemerintah desa, sehingga terbangun prinsip check and balances Mengingat kedudukan, kewenangan dan keuangan yang semakin jelas dan besar, maka penyelenggaraan pemerintahan desa harus lebih akuntabel yang didukung dengan kontrol dan keseimbangan (check and balances) antara pemerintah desa dan lembagalembaga desa. Badan Permusyawaratan Desa lebih baik digantikan dengan Badan Perwakilan Desa. BPD merupakan lembaga representasi rakyat desa yang menjalankan fungsi check and balances terhadap pemerintah desa. BPD mempunyai fungsi legislasi, budget dan kontrol. Tetapi BPD tidak berhak menjatuhkan kepala desa seperti UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999, kecuali hanya mengusulkan pemberhentian kepala desa kepada bupati. Selain BPD, DPD RI mengusulkan Desa membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa, atau nama lain, sebagai wadah tertinggi untuk pengambilan keputusan desa yang bersifat strategis. Keputusan desa yang bersifat strategis mencakup: rencana pembangunan jangka menengah desa; investasi yang masuk desa; pengembangan kawasan perdesaan; pembentukan, penggabungan, pemekaran atau perubahan status desa. Mengapa musyawarah desa....? Apa urgensinya....? Desa-desa di Indonesia di masa lalu mempunyai tradisi musyawarah desa sebagai arena demokrasi deliberatif untuk mengambil keputusan bersama secara komunal. Musyawarah Desa merupakan perwujudan demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy), yakni model pengambilan keputusan dengan menggunakan musyawarah untuk mencapai mufakat secara kolektif, seperti halnya bentuk rembug Desa atau musyawarah adat;Musyawarah Desa merupakan forum tertinggi dalam mengambil keputusan atas masalah-masalah strategis di Desa. Masalah-masalah strategis antara lain: Penetapan rencana strategis Desa, Musyawarah perencanaan pembangunan dan masalah yang berkaitan dengan
21

kerjasama dengan pihak ketiga. Musyawarah Desa diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Keputusan Musyawarah Desa bersifat mengikat untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan perwakilan Desa. Musyawarah Desa dapat diikuti secara langsung oleh seluruh warga atau dilakukan dengan model delegasi yang dipilih secara berjenjang. DPD mengusulkan musyawarah desa dalam hal ini bukan pemegang kedaulatan rakyat desa, bukan juga sebagai institusi yang permanen, tetapi sebagai forum pengambilan keputusan strategis yang mengikat bagi pemerintah dan warga desa. Penyelenggaraan musyawarah desa untuk pengambilan keputusan strategis dimaksudkan untuk menghindari bias elite yang dilakukan oleh kepala desa, sekaligus pelibatan warga masyarakat guna memberikan perlindungan terhadap aset-aset strategis desa. Jika desa akan mengambil keputusan strategis, maka BPD berwenang membentuk dan menyelenggarakan musyawarah desa. Kelima, pemerintahan desa yang demokratis juga mensyaratkan para penyelenggara pemerintahan desa bisa menjalankan fungsinya secara transparan dan akuntabel. UU Desa seharusnya bisa menjamin berjalannya prinsip transparansi dan akuntabilitas dari para penyelenggara pemerintahan desa. Oleh karena itu, asas-asas penylenggaraan pemerintahan seperti kepastian hukum; tertib penyelenggara negara; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi; dan efektivitas bukan semata-mata pajangan melainkan mewarnai materi muatan dalam penyelanggaraan pemerintahan desa. proses penyelenggaraan pemerintahan Desa harus membuka ruang bagi demokrasi substantif. Sedangkan dimensi substantif demokrasi bekerja pada ranah sosial-budaya maupun ranah politik dan kelembagaan. Di ranah sosial-budaya, demokrasi menganjurkan kebersamaan, toleransi, antikekerasan, pluralisme, inklusivisme, keseteraan gender, dan lain-lain. Dalam ranah politik dan kelembagaan, demokrasi substantif yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan adalah akuntabilitas, transparansi, responsivitas dan partisipasi masyarakat. Akuntabilitas menunjuk pada institusi dan proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah Desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah Desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas Desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya. Transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan Desa, termasuk alokasi anggaran Desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi di kalangan pamong Desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas. Responsivitas atau daya tanggap pemerintah Desa. Pemerintah Desa harus mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di Desa. Responsif bukan hanya berarti
22

pamong Desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan Desa. Pemerintah Desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala Desa sendiri, berarti pemerintah Desa itu tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik Desa merupakan kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah Desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga. Keenam, untuk mencapai kesejahteraan bersama maka dibutuhkan institusi pemerintahan desa yang tidak hanya memiliki legitimasi politik yang kuat, namun juga bisa bekerja menjalankan fungsinya secara efektif. Legitimasi politik berkaitan dengan tingkat kepercayaan dan dukungan dari warga atas pemerintahan desa. Sedangkan efektivitas menyangkut kemampuan atau kapasitas penyelenggara institusi pemerintahan desa dalam menjalankan fungsinya. Pemerintahan desa bisa berjalan secara efektif apabila ada pembaharuan dan penguatan kapasitas pemerintah desa. Penguatan kapasitas pemerintah desa meliputi: 1. Penguatan dan penataan sistem rekruitmen kepala desa dan perangkat. Dengan penataan sistem rekruitmen diharapkan bisa menghasilkan pemerintah desa yang kompeten. Kepala desa atau sebutan lain merupakan kepala pemerintahan desa, yang mempunyai peran penting baik sebagai kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat, dan sekaligus sebagai pemimpin masyarakat desa. Prinsip-prinsip pengaturan tentang kepala desa sebagai berikut: Sebutan kepala desa disesuaikan dengan sebutan lokal: Kepala desa atau sebutan lain berkedudukan sebagai kepala pemerintahan desa dan sekaligus sebagai pemimpin masyarakat desa.; Kepala desa dipilih secara demokratis dan langsung oleh warga desa setempat, kecuali bagi bagi desa adat yang bisa menggunakan mekanisme lokal. Sesuai dengan prinsip demokrasi, kaderisasi dan siklus pemerintaan dan perencanaan pembangunan, masa jabatan kepala desa selama lima tahun dan dapat dipilih kembali satu periode: Kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD. ; Pencalonan kepala desa dalam pilkades langsung tidak menggunakan basis partai politik, sehingga kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik. Dalam hal perangkat desa, pengisian sekdes dengan PNS menjadi isu yang sangat kontroversial. Kebijakan birokratisasi desa yang dimulai sejak UU No. 32/2004 ini menimbulkan gelombang protes dari Persatuan Perangkat Desa seluruh Indonesia (PPDI) sehingga mereka sekarang juga menuntut untuk diangkat menjadi PNS. DPD berpandangan bahwa birokratisasi desa semacam itu kontraproduktif dengan otonomi lokal, tetapi kebijakan pemerintah tentang pengangkatan sekdes menjadi PNS atau pengisian sekdes dengan PNS merupakan kebijakan diskriminatif yang menimbulkan gejolak di desa, khususnya kesenjangan antara sekdes dan perangkat desa lainnya, sehingga mengurangi efektivitas penyelenggaraaan pemerintahan dan pembangunan desa. Karena itu DPD berpendapat, jika pemerintah mengangkat sekdes menjadi PNS atau mengisi sekdes dengan PNS, maka bertitik tolak dan konsisten dengan pilihan

23

tersebut, maka semua perangkat desa seharusnya menjadi PNS, sesuai dengan aspirasi PPDI. 2. Penataan dan penguatan kelembagaan pemerintah desa yang meliputi kejelasan struktur pemerintah desa, tugas pokok dan fungsi dari kepala desa dan perangkatnya. Struktur organisasi pemerintahan Desa mengutamakan efisiensi dan efektivitas tanpa menghilangkan keragaman kondisi sosial budaya setempat. Kepala Desa dibantu oleh unsur pemerintah Desa yang meliputi sekretaris Desa dan perangkat Desa. Struktur organisasi pemerintah Desa ditetapkan melalui Peraturan Desa dengan memperhatikan model dan kewenangan Desa. UU ini mengatur mengenai perangkat Desa (Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya), baik dalam sistem rekrutmen, pemberian tunjangan, penghargaan. Rekruitmen Sekretaris Desa dan perangkat Desa didasarkan prinsipprinsip profesionalitas, transparan dan akuntabel. ika demokrasi dibutuhkan sebagai kerangka politik penyelenggaraan pemerintahan Desa, teknokrasi dibutuhkan sebagai kerangka administratif bagi Desa, terutama berkaitan dengan keperangkatan Desa. Namun kerangka teknokrasi itu juga memperhatikan konteks lokal seperti susunan asli. Organisasi dan struktur perangkat Desa didasarkan pada tiga fungsi utama Desa: fungsi-fungsi Desa semestinya dijabarkan ke dalam: (a) Fungsi pemerintahan Desa yang mencakup menjalankan kebijakan publik; menyelenggarakan pelayanan publik; mengelola sumberdaya alam; dan mengelola keuangan Desa; (b) Fungsi pembangunan adalah fungsi mobilisasi dan distribusi sumberdaya lokal guna mencapai kesejahteraan rakyat: menyiapkan dan menjalankan perencanaan berbagai sektor; mengembangkan ekonomi lokal; pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan dasar; mengelola tata ruang dan kawasan; serta (c) Fungsi kemasyarakatan adalah kegiatan sosial yang berbasis pada modal sosial untuk memperkuat ketahanan sosial. Lebih spesifik lagi, fungsi pemerintahan Desa tersebut mencakup: regulasi/kebijakan, pelayanan dan pemberdayaan. Fungsi regulasi/kebijakan dijalankan oleh institusi kepala Desa, BPD dan musyawarah Desa dengan pendekatan teknokratis. Fungsi pelayanan dijalankan oleh institusi perangkat Desa dengan pendekatan teknokratis. Fungsi pemberdayaan dijalankan oleh lembaga-lembaga atau organisasi masyarakat Desa dengan pendekatan partisipatif dan keswadayaan. 3. Penataan dan penguatan tata laksana pemerintah desa, yang menyangkut tentang integrasi sistem pemerintaha desa, perencanaan pembangunan dan penganggaran desa. Hubungan antar unsur dalam pemerintah desa yang didasarkan pada prinsip transparansi, dan akuntabilitas. sistem pemerintahan desa seharusnya terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan desa, sehingga kehadiran unsur penyelenggara pemerintahan termasuk masa jabatannya, pertanggungjawabannya, mengikuti sistem perencanaan yang dibangun. Oleh karena itu, masa jabatan kepala desa adalah lima tahun sesuai dnegan periodesasi perencanaan pembangunan desa. 4. Penataan dan penguataan faktor pendukung, terutama kesejahteraan kepala desa dan perangkar desa. Adanya kejelasan pengaturan mengenai kedudukan keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa Kepala desa dan Perangkat desa memperoleh penggajian dengan standar PNS dan memperoleh asuransi kesehatan 5. Penataan dan penguatan sistem ganjaran (reward) dan hukum (punishment). Pemberian ganjaran perlu diberikan pada perangkat desa yang berprestasi. Sedangkan, RUU Desa juga harus jelas mengatur mengenai hukuman yang diberikan apabila terjadi pelanggaran dari perangkat desa.

24

Keuangan Desa Keuangan desa berkaitan dengan sumber pendapatan desa dan sistem penganggaran desa (budgetary system). Berkaitan dengan sumber pendapatan desa ada tiga catatan penting yang mengemuka. Pertama, ada dilema tentang sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat. Bantuan pihak ketiga ini bisa berasal dari dana CSR perusahaan, hibah dari perorangan, hibah dari partai politik, sumbangan dari para perantau dan sebagainya. Secara empirik semua ini telah bekerja dan desa biasa menerimanya. Di satu sisi ayat itu memberikan payung hukum yang memberikan dasar legalitas terhadap sumbangan pihak ketiga terhadap desa. Tetapi di sisi lain, justru dengan ayat itulah yang menjadikan justifikasi bagi desa untuk memaksa sumbangan pihak ketiga dari yang bersifat sukarela (voluntary) menjadi kewajiban (obligatory). Karena itu DPD berpendapat bahwa ayat ini perlu ditambahkan istilah sukarela, sehingga menjadi: sumbangan dan hibah sukarela pihak ketiga yang tidak mengikat. Kemudian di dalam penjelasan perlu ditegaskan makna sukarela itu, dengan penegasan bahwa desa dilarang memaksa dana sukarela itu menjadi kewajiban (obligatory). Kedua, Alokasi Dana Desa (ADD). Ayat bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota sudah dikenal dalam UU No. 32/2004, yang kemudian oleh PP No. 72/2005 ayat itu dijadikan sebagai kebijakan alokasi dana desa (ADD). ADD sekurang-kurangnya sebesar 10% dari dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota setelah dikurangi belanja pegawai. Frasa ini menciptakan kerentanan alokasi ADD untuk desa. Sejak 2009, angka ADD cenderung menurun di sebagian besar kabupaten/kota karena peningkatan secara drastis jumlah dan belanja pegawai. Tetapi yang paling memprihatinkan, ADD sangat rentan terhadap politisasi yang dilakukan oleh kepala daerah. Meskipun ADD rentan dan kecil, atau sisa-sisanya, kebijakan ini merupakan terobosan yang mengubah konsep bantuan pemerintah menjadi alokasi sehingga memberikan jaminan hak dan kepastian bagi desa. Di level desa, ADD menyajikan kinerja dan fakta yang beragam. Ada sejumlah kasus korupsi ADD yang dilakukan oleh kepala desa. Tetapi pada tahun 2007, Parade Nusantara dan APDESI menunjukkan data bahwa angka korupsi kepala desa hanya sebesar 7,8%, dan sebagian besar kasus korupsi itu karena maladministrasi. Menurut dua institusi ini, maladministrasi keuangan desa terjadi karena kurangnya kemampuan administratif pemerintah desa, dan tentu hal ini bersumber dari kurangnya fasilitasi dan supervisi yang dilakukan pemerintah kabupaten. Di balik kisah buruk itu, pengetahuan dan kesadaran publik warga desa terhadap ADD semakin meningkat. Sebagian besar warga desa mengetahui ADD. Kebiasaan musrenbang desa yang partisipatif selama beberapa tahun terakhir membuat warga desa semakin mengetahui secara transparan berapa jumlah ADD yang diterima desa dan penggunaan dana itu. Sebagian besar ADD digunakan untuk membangun prasana fisik desa, dan bagian lainnya digunakan untuk membiayai banyak hal: kegiatan posyandu untuk melayani ibu hamil dan balita, pelatihan bagi perangkat desa, pengembangan sistem informasi desa, pengadaan saprodi untuk mendukung petani, membiayai penyelenggaraan PAUD. Selain itu di banyak desa, ADD digunakan juga untuk investasi penting seperti pengadaan infrastruktur pelayanan air bersih, pengembangan potensi unggulan desa menjadi skema satu desa satu produk, pengembangan hutan rakyat, pengadaan energi lokal mandiri, dan juga modal pemgembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pelajaran penting ADD, selain untuk investasi pembangunan desa
25

jangka panjang, juga memberi makna subsidiaritu, yakni kebutuhan dan masalah-masalah lokal bisa diselesaikan secara mandiri dengan dukungan dana ADD. Berbagai pengalaman lokal yang buruk dan baik itu telah melahirkan aspirasi dan pemikiran mengenai ADD yang lebih besar dan kokoh serta bersumber dari APBN. Parade Nusantara dan APDESI sangat lantang menuntut ADD sebesar 10% dari APBN. Pemerintah seharusnya semakin memperbesar dan memperkokoh ADD itu untuk membuat desa menjadi lebih kokoh dan bermanfaat untuk rakyat desa. Tetapi sayangnya RUU Desa versi pemerintah malah mengambil posisi sebaliknya, yakni menghilangkan konsep dan kebijakan ADD. Pemerintah selalu phobia dengan sebutan angka fixed 5% atau 10% karena dianggap mengurangi diskresi belanja pemerintah. Tetapi di balik argumen itu sebenarnya pemerintah tidak serius dalam membangun kemandirian dan kesejahteraan desa, atau malah sebaliknya, memandang desa dengan sebelah mata. DPD RI berpendapat bahwa rekognisi terhadap desa harus diikuti dengan redistribusi. Rekognisi merupakan manifestasi dari keadilan budaya (cultural justice), sementara redistribusi merupakan manifestasi dari keadilan ekonomi (economic justice). DPD berpendapat bahwa ADD dari APBN merupakan penjabaran dari prinsip rekognisi dan redistribusi itu, sebagai bentuk komitmen keadilan negara terhadap desa, sekaligus sebagai bentuk visi membangun desa yang lebih mandiri dan sejahtera. Karena itu DPD berkomitmen pada angka 5% dari total APBN untuk ADD. Ketiga, konsep dan kebijakan bantuan. Sekarang semakin banyak pihak berbicara alokasi tetapi RUU Desa versi pemerintah belum beranjak dari tradisi lama, yakni bantuan. Bantuan ini bermakna baik budi (benevolensi) pemerintah, tetapi yang lebih krusial, bantuan itu tidak mencerminkan kepastian secara politik dan hukum, sekaligus tidak mencerminkan makna rekognisi dan redistribusi yang berkeadilan. Selama ini pemerintah menggunakan instrumen Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat seperti PNPM Mandiri maupun kepada desa. BLM itu tidak mempunyai dasar azas yang jelas, apakah desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan atau rekognisi. Dalam praktik, BLM tidak lain merupakan dana gentong babi (pork barrel) yang berguna untuk meningkatkan popularitas politik, tetapi sebenarnya tidak memberdayakan desa dan masyarakat. Di level masyarakat, beragamnya BLM yang diterima masyarakat, bukan memperkuat aksi kolektif, tetapi menciptakan kartel elite lokal yang menguasai kelompok-kelompok penerima bantuan. Kartel elite itu memang tidak secara telanjang melakukan korupsi yang mudah dijerat dengan hukum, tetapi mereka melakukan capture dalam bentuk lain, yakni membuat aliran bantuan di lingkaran mereka sendiri, sembari membatasi akses orangorang miskin yang tidak masuk dalam jaringan kartel elite. Sejalan dengan prinsip rekognisi dan redistribusi itu, DPD RI berpendapat bahwa bantuan sebaiknya dihentikan dan ditransformasikan menjadi alokasi satu pintu kepada desa. Dalam kerangka negara kecil, DPD merekomendasikan sistem satu desa, satu rencana dan satu anggaran. Untuk memperkuat sistem ini, dibutuhkan ADD yang sebesar 5% dari total APBN, yang menurut pendapat DPD, ADD ini yang sebenarnya tidak menciptkan pos alokasi baru, melainkan mengonsolidasikan seluruh BLM yang masuk ke ranah desa. Keempat, Undang-Undang Desa menjamin alokasi dana yang diberikan kepada Desa digunkana untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu wujud dari kehendak untuk membangun kesejahteraan rakyat tersebut adalah melalui pengaturan kebijakan alokasi

26

ADD yang sebesar-besarnya dialokasikan untuk belanja pembangunan Desa. Dalam hal pengelolaannya, pemerintah Desa mesti menjamin prinsip-prinisp pengelolaan keuangan Desa yang baik (good budgetary governance) seperti transpransi, akuntabilitas dan partisipasi. Perencanaan Desa Perencanaan desa dalam RUU Desa versi pemerintah menyajikan setidaknya tiga pasal krusial. Pertama, pemerintah desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai kewenangannya mengacu pada sistem perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Kedua, perencanaan pembangunan desa sebagai salah satu masukan utama dalam perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Ketiga, program-program sektor yang masuk ke desa wajib disinkronisasikan dan diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan desa. Ketiga isu itu sangat penting tetapi ketiganya belum menjawab hakekat perencanaan pembangunan desa. Rangkaian kalimat itu sebenarnya memperlihatkan bahwa posisi perencanaan desa sungguh dilematis. Di satu sisi perencanaan desa yang sesuai kewenangan berarti menghendaki ada konsep dan posisi perencanaan sendiri (village self planning) yang mandiri, dan disi sisi lain konsep mengacu berarti perencanaan desa merupakan bagian dari sistem perencanaan daerah, atau bisa disebut sebagai perencanaan dari atas (perencanaan korporatis). Pola korporatis bisa dimengerti karena bermaksud membawa desa memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Sementara butir kedua menegaskan pola perencanaan dari bawah, dimana perencanaan desa merupakan input bagi perencanaan daerah. Selama sekian tahun pola kombinasi (dari atas dan dari bawah) seperti itu telah dijalankan oleh pemerintah, tetapi dalam praktik tidak ada formula yang memadai bagaimana perencanaan desa mengacu pada perencanaan daerah. Sementara sisi dari bawah ditempuh melalui proses pengusulan desa kepada daerah. Di tengah keterbatasan, daerah menentukan prioritas di antara banyak usulan dari desa, karena itu wajar jika sebagian besar usulan desa tidak dipenuhi oleh kabupaten/kota, sehingga selalu menimbulkan frustasi orang desa. Di tengah ketidakjelasan hubungan antara perencanaan daerah dan perencanaan desa itu, DPD berpendapat bahwa sebaiknya RUU Desa memperkuat sisi perencanaan desa, yakni dengan konsep perencanaan mandiri (village self planning). Ada beberapa makna penting dalam konsep dan posisi ini. Pertama,yang paling dasar, perencanaan mandiri sama dengan perencanaan emansipatoris, yakni perencanaan yang digunakan sebagai instrumen untuk mewadahi prakarsa dan gerakan bersama desa dalam mengembangkan potensi dan aset-aset lokal. Kedua, perencanaan mandiri bukan dimengerti desa mengusulkan perencanaan melainkan mengambil keputusan atas perencanaan secara lokal. Ketiga, perencanan mandiri ini berbasis pada kewenangan yang dimiliki desa. Pembangunan (Kawasan) Perdesaan Jika pembangunan desa merupakan domain desa, pembangunan perdesaan merupakan domain pemerintah kabupaten/kota, yang tentu bersentuhan dan berdampak langsung terhadap desa dan masyarakat setempat. Selama ini berbagai bentuk pembangunan perdesaan yang berkenaan dengan eksploitasi sumberdaya alam

27

(pertambangan, industri, pariwisata, perkebunan, perumahan dan sebagainya) selalu menimbulkan kasus-kasus konflik agraria dan dampak sosial, ekononomi politik dan lingkungan yang merugikan desa dan masyarakat setempat. Secara politik dan hukum, investor yang masuk ke ranah desa cukup membawa izin dari pemerintah atau pemerintah daerah, tetapi tidak diketahui oleh desa dan masyarakat. Ini merupakan titik awal yang harus diperhatikan. Tetapi isu yang terkait dengan tata ruang, investasi dan ekonomi politik ini tidak dibicarakan dalam RUU Desa versi pemerintah. Cakupan dan orientasi pembangunan perdesaan juga kecil dan sempit, yakni mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan tingkat perkembangan desa melalui metode dan pendekatan pembangunan partisipatif. Di sisi lain RUU hanya berbicara tentang tatakelola dan relasi antara pemerintah, desa dan masyarakat, tetapi tidak berbicara tentang investasi masuk desa. Pasal 72 ayat 2 menegaskan: Pelaksanaan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga wajib mengikutsertakan masyarakat desa yang bersangkutan yang diwakili oleh pemerintah desa dan BPD. Mekanisme ini tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan representasi desa dan proteksi desa dari investasi. RUU Desa versi pemerintah sebenarnya mempunyai klausul tentang musyawarah desa tetapi institusi deliberatif ini tidak diposisikan sebagai wadah pengambilan keputusan tentang pembangunan perdesaan khususnya yang terkait dengan investasi. Karena itu DPD menyampaikan beberapa pendapat penting. Pertama, pembangunan perdesaan merupakan domain kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Pengaturan pembangunan perdesaan oleh kabupaten/kota itu harus memperhatikan beberapa aspek: kepentingan masyarakat setempat; kewenangan desa; dana bagi hasil kepada desa; kelancaran pelaksanaan investasi; kelestarian lingkungan. Meskipun pemda mempunyai kewenangan penuh atas investasi pembangunan perdesaan, tetapi tentu tidka boleh menabrak kepentingan masyarakat dan kewenangan desa. DPD juga merekomendasikan bahwa pembangunan perdesaan yang mengandung investasi SDA sebaiknya menggunakan model shareholding, dimana desa dan masyarakat setempat berposisi juga sebagai shareholder, dan karena itu harus ada bagi hasil kepada desa. Kedua, meskipun pembangunan perdesaan merupakan domain kewenangan kabupaten/kota, tetapi posisi desa dan masyarakat setempat amat penting. Keputusan tentang izin investasi, misalnya, tidak bisa diputuskan langsung oleh kabupaten/kota. Tahap awal yang harus dilalui oleh musyawarah desa untuk mengambil keputusan, apakah investasi itu diterima atau ditolak. Dari sisi bisnis dan administrasi publik, proses ini tentu memperpanjang proses dan biasanya investor enggan untuk melakukan hal ini. Tetapi pengambilan keputusan melalui musyawarah desa selain sebagai bentuk rekognisi (pengakuan dan penghormatan) terhadap desa, sebenarnya juga memberikan keuntungan, keamanan dan kenyamanan bagi investor dalam jangka panjang, sekaligus menghindari konflik antara investor dan masyarakat setempat, yang ternyata meruginakan semua pihak. Keputusan musyawarah desa itu harus dihormati semua pihak, baik pemda maupun investor. Jika musyawarah desa menyetujui investasi maka proses selanjutnya adalah pertemuan antara desa, pemda dan investor untuk membicarakan kemitaraan dan shareholding. Jika semua ini telah disetuji secara baik, pemda baru mengambil keputusan tentang izin. Tetapi kalau musyawarah desa menolak investasi maka proses selanjutnya tidak boleh dijalankan.

28

Pembangunan perdesaan yang terkait dengan pemanfaatan aset Desa dan perubahan tata ruang Desa oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,dan/atau pihak ketiga wajib diputuskan melalui Musyawarah Desa masing-masing.

29

III.

PENUTUP

Dari pandangan yang telah disampaikan di atas, kami DPD RI berkesimpulan bahwa masih cukup banyak esensi pengaturan Desa yang mesti dirunding bersama dan dirumuskan ulang. Semangat besarnya adalah agar Pemerintah, DPR, DPD maupun para pihak terkait lainnya di masyarakat dapat bergerak bersama di bawah payung besar visi pembaruan dan penguatan desa. Kita sadar sepenuhnya, kita tidak saja sedang melakukan tugas rutin penyelenggaraan fungsi legislasi berupa pembuatan suatu UU baru, namun jauh lebih penting adalah bahwa hari-hari ini kita semua sedang berada pada suatu moment of truth untuk membuktikan komitmen politik kita memuliakan Desa. Kita sedang berada dalam fase pertaruhan akan masa depan Desa: akankah hanya kembali berulang pada langgam biasa selama ini atau sebaliknya sungguh berkehendak meletakan fondasi-fondasi dasar nan kokoh dalam rancang-bangun Desa masa depan. Lewat instrumen kebijakan yang akan kita susun dalam semangat kebersamaan (inklusif dan kolektif) ini, kita hendaknya sepakat untuk menorehkan setiap klausul dengan tinta emas sekaligus memastikan bahwa semua yang ideal itu sekaligus realistis dalam penerapannya kelak. Setiap tetes tinta kita dalam lembaran RUU tersebut jelas sangat mempengaruhi eksistensi Desa, sebagai tiang penyangga kelangsungan Republik Indponesia di masa mendatang. Demikianlah Pandangan DPD RI terhadap RUU tentang Desa sebagai bagian dari pelaksanaan tugas konstitusional sebagaimana amanat Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta, 16 Februari 2012 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN, Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA. Wakil Ketua, Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Dr. LAODE IDA

30

Você também pode gostar