Você está na página 1de 51

I PENGERTIAN ILMU TASAUF Kata Ilmu Tasawuf tersusun dari "ilmu" dan "tasawuf, yang secara harfiyah dapat

diartikan "pengetahuan tentang Tasawuf. Secara lugawi (etimologis, bahasa), kata Tasawuf telah banyak dibicarakan oleh para ahli, antara lain oleh Abu Bakar AlKalabadzi (At-Ta'arruf li Madzahibi Ahli-Tasawuf), Assahrawardi (At-'AwarifulMa'arif), dan Abdulkarim Al-Qusyaeri (Ar-Risalatul-Qusyaeriyah). Orientalis Barat mengidentikkan Tasawuf ini dengan sebutan Misticm, yakni dalam arti rahasia yang tersembunyi. Kata-kata Tasawuf dalam bahasa Arab tidak terdapat qiyas dan isytiqaq (ukuran uan pengambilan), yang jelas bahwa kata-kata ini hanya semacam laqab (julukan, sebutan, gelar). Gelar ini diperuntukkan bagi perorangan dengan istilah sufi, dan bagi jama'ah disebut sufiyah. Orang yang sudah mencapai derajat (usaha ke arah) tasawuf disebut mutasawwif, sedangkan bagi jama'ah disebut mutasawwifah. Sebagian orang mengatakan bahwa "Sufi" itu nisbat dari "suffah".

Ahlus shuffah) yakni orang-orang yang selalu mengelilingi dan menyertai majelis di mana Rasulullah saw. berada. Ada pula yang mengatakan bahwa "sufi" itu terambil dari kata "shafa"

=bersih), yakni mereka yang berusaha membersihkan diri dari segala kekotoran
yang tercela. Dan yang lain mengatakan bahwa "sufi" terambil dari kata-kata "shaff = barisan) yakni mereka yang bercda di barisan terdepan dalam urusan agama. Adapula yang mengatakan bahwa "sufi" terambil dari kata-kata "sophos" yang artinya bijaksana, karena tindakan mereka selalu berhati-hati, dan kata-kata ini dipinjam dari bahasa Yunani. Lagi pula ada yang mengatakan bahwa "Sufi" terambil dari kata- kata "Theosofia" (Theo = Tuhan, Sofos = Kebijaksanaan) yang dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan "Al-Hikmatul-Illahiyah" Kalau ini benar, maka ini berarti lawan dari hikmat yang bersifat akliyah, yakni filsafat, dimana Hikamulillahiyah bersumber dari agama. Kata-kata ini pun terambil dari bahasa Yunani. Dari banyaknya pendapat tersebut di atas, yang dibenarkan oleh para ahli tasawuf itu sendiri adalah bahwa kata-kata "Sufi" itu nisbat dari kata-kata "Shuf" .

=bulu domba, wool), baik itu oleh Al-Kalabadzi, As-Sahrawardi, Al-Qusyaeri


dan lain- lainnya, walaupun diakui pula bahwa dalam kenyataannya tidak setiap ahli tasawuf itu memakai pakaian wool. Tasawuf dalam pengertian istilah (terminologis) telah banyak pula para ahli memformulasikannya, yang satu sama lain berbeda sesuai dengan selera masingmasing. Al-Jurairi ketika ditanya tentang Tasawuf, beliau menjawab:

45


Artinya : "Memasuki ke dalam budi pekerti (akhlak) yang bersifat sunni, dan keluar dari budi pekerti (akhlak) yang rendah ". Al-Junaid memberikan pengertian sebagai berikut:

"
Artinya : "{Tasawuf) ialah: bahwa yang Hak adalah mematikan kamu, dan Hak-lah yang menghidupkan kamu". Dalam ungkapan lain Al-Junaid menyatakan :

""
Artinya : "Tasawuf adalah beserta Allah tanpa adanya penghubung ". Abu Hamzah memberikan ciri-ciri ahli tasawuf sebagai berikut :

" "
Artinya : Tanda Sufi yang benar adalah berfakir setelah dia kaya. merendah diri setelah dia bermegah-megahan, menyembunyikan diri setelah dia terkenal; dan tandanya sufi palsu adalah kaya setelah dia fakir, bermegah-megahan setelah dia hina, dan tersohor setelah dia bersembunyi". 'Amir bin 'Usman Al-Makki menyatakan :


Artinya : "(Tasawuf) adalah keadaan seorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama". Muhammad 'Ali Al-Qassab menyatakan:

" "
Artinya : "Tasawuf adalah akhlak yang mulia, yang timbul pada masa mulia, dari seorang yang mulia, di tengah-tengah kaum yang mulia ". Syamnun mengatakan :

""
Artinya :

46

"Tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu, dan tidak dimiliki sesuatu ". Banyak lagi para ahli memberikan pengertian yang bersifat terminologis ini seperti Ma'ruf Al-Karakhi, beliau mengatakan:

""
Artinya : "Tasawuf adalah mengambil hakekat, dan berputus asa apa yang ada di tangan mahluk". Imam Al-Faqih Al-Maliki As-Shufi Ahmad Ad-Dardiri mendefinisikan tasawuf sebagai berikut :

""
Artinya : "(Tasawufl ilmu yang mengetahui tentang kebaikan hati dan seluruh anggota badan". Dari sekian ungkapan yang telah dipaparkan di atas, bisa jadi akan lebih utama manakala kita tengok apa yang telah disimpulkan oleh Al-Junaid sebagai berikut:

" "
Artinya: "Tasawuf ialah membersihkan diri dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (Instink kita), memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, menempati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung kepada ilmu-ilmu hakekat, memakai barang-barang yang penting dan kekal, menaburkan semua nasehat kepada semua ummat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakekat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat" Dalam definisi lain yang kita dapati dari ungkapan Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampasi Al-Kadiri dalam bukunya "Sirajut-Thalibin"; la terlebih dahulu mengupas tentang Mabadiul-'Asyarahi (pokok materi yang sepuluh), lantas menyebutkan nama ilmu ini yakni:

"
Artinya : (Tasawufl adalah ilmu yang mengetahui tentang tingkah laku ( behaviour} jiwa dan sifat-sifatnya, baik itu yang tercela maupun yang terpuji".

47

Mengenai obyek pembicaraan ilmu tasawuf ini adalah jiwa yang ditampilkan melalui tingkah laku (ahwal) dan sifat-sifatnya. Berbicara tentang hasil yang didapati dari ilmu ini, beliau mengatakan: Adapun buah (hasil)nya adalah tercapainya keberhasilan hati dari segala perubahan alam dan kesenangan mendapatkan musyahadah (persaksian) kepada Tuhan Yang Maha Merajai lagi Maha Pengampun. Hukum menjalankan ilmu ini adalah wajib 'aini, bagi setiap mukallaf, demikian itu karena kita memaklumi, bahwa kewajiban mengetahui ilmu, yang berhubungan dengan kemaslahatan lahir sebagaimana diwajibkan mengetahui ilmu yang berhubungan dengan kemaslahatan batin. Keutamaan ilmu ini adalah mengungguli segala ilmu dari segi tercapainya tujuan tersebut di atas. Kedudukan ilmu ini adalah merupakan induk (pokok) segala ilmu, sedangkan yang lainnya adalah cabang dari padanya. Nisbat tasawuf terhadap batin adalah seperti fiqih terhadap ilmu lahir. Adapun pencipta ilmu ini adalah para tokoh terkenal dan orang-orang yang arif kepada Allah Tuhan Yang Maha Pemberi ni'mat. Adapun sumber ilmu ini adalah dari kalam ilahi dan kalam Rasulullah saw. dan orang-orang yang mempunyai keyakinan dan kearifan. Masalah yang dibahas adalah qadiyah (premis) tentang sifat-sifat dzati, seperti halnya, fana.baqa, muqarabah dan lain-lainnya. Dari kumpulan pengertian yang kita dapati, kiranya dapat kita ambil inti pokok pengertian ilmu tasawuf ini sebagai berikut: Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma'rifat menuju keabadian, saling ingat mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh kepada janji Allah dan mengikuti syariat Rasulullah dalam mendekatkan diri kehadirat Allah, demi mencapai keridhoan-Nya. Al-Ghazali menerangkan bahwa: Ilmu Mukkasyafah adalah ilmu bathin, yaitu tujuan segala ilmu, yakni ilmu orang-orang shiddiqin dan muqarrabin. Yaitu suatu ibarat cahaya yang memancar dalam hati ketika menyucikan dan membersihkannya dari sifat-sifat yang tercela. Mengenai nama-nama ilmu ini terkenal pula di kalangan mereka dengan sebutansebutan antara lain: 1. Ilmul-Qulub ( ) Yakni ilmu yang membicarakan tentang peranan hati dalam kehidupan manusia yang bersifat rohaniyah serta rahasia yang terkandung di dalamnya, baik itu sebagai sarang keimanan maupun perasaan yang dalam, sehingga mendapat hakekat hidup yang sebenarnya. 2. Ilmu-Asrar ( ) Yakni ilmu yang menganalisa tentang berbagai rahasia batiniyah manusia sebagai pendorong hal ihwal lahiriyah yang didapati dengan jalan rahasia dari guru-guru sebelum-nya serta dikembangkan menurut tata cara yang berlaku bagi mereka. Hal ini tak dapat orang sembarangan mendapat ilmu hakikat tanpa melalui latihan yang berat.

48

3. Ilmul-Bathin ( ) Yakni ilmu yang mengemukakan sendi-sendi batiniyah yang menjadi modal pokok dalam kepuasan manusia dalam mencapai yang sebenarnya. Hanya dengan modal batiniyah manusia dapat menyingkap alam gaib dan dapat mengetahui rahasia alam ini dengan kesungguhan serta mencapai apa yang dimaksud karena merasa dekat dengan yang Maha Kuasa,dan Maha Pencipta. 4. Ilmul-Ma'arif ( ) Yakni ilmu yang berkaitan dengan (ma'arifah) dimana pengetahuan yang tertinggi adalah ma'arifah kepada Allah dengan segala dimensinya. Tujuan dalam ilmu ini adalah betul-betul meresapi apa yang diketahui tentang Allah; sehingga dengan itu mendorong munculnya gairah ibadah yang sebenarnya sebagai modal dasar bagi kehidupan yang bersifat immateriil demi terciptanya kebahagiaan dunia akhirat. 5. Ilmul-Ahwal wal Maqamat ( ) Yakni ilmu yang membicarakan tentang tata cara mendapatkan pangkat dan derajat di sisi Allah dengan melalui musyahadah dan riyadhah, melalui tadbir dan tafakur serta menggunakan perasaan yang mendalam dalam mencapai tujuan, yaitu keridhoan Allah. 6. Ilmus-Suluk ( ) Yakni ilmu yang menerangkan tentang liku-liku jalan dan lorong yang ditempuh mencapai hakekat yang sebenarnya dengan mendekatkan diri ke hadiirat Allah swt. melalui sang guru yang terpilih, sehingga akan terjamin kehawatiran tersesat dari jalan yang bersimpang siur dari alam pikiran insani. 7. Ilmut-Thariqah ( ) Yakni ilmu yang menerangkan tentang cara mengarungi jalan pintas dengan melalui syari'at menuju hakekat, berpegang kepada guru mu'tabar, dan dengan cara itu dapat bertaqarrub kepada Allah, sehingga apa yang menjadi tujuan hidup akan berhasil, baik itu bersifat duniawi ataupun ukhrowi. 8. Ilmul-Mukasyafah ( ) Yakni ilmu yang dapat menyingkap tabir rahasia ketuhanan dengan jalan ma'rifat yang hakiki, sehingga manusia dapat mengungkapkan hal-hal yang orang lain belum bisa menyingkapkannya; dengan itu akan terlepas dari hijab yang selama ini menutupi akliyah melalui pendekatan dan ibadah ke hadirat Allah swt.

49

II RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ILMU TASAWUF Dari pembicaraan terdahulu, dapat disimpulkan bahwa obyek pembicaraan ilmu tasawuf ini meliputi: 1. Akal dan ma'rifat (

2. Hati dan latihan Adapun status ilmu tasawuf meliputi: 1. Menuntun sesuai dengan petunjuk, dan membuang apa yang tak sesuai dengan tuntunan yang berlaku. 2. Berusaha sekuat tenaga menuju ke jalan Ilahi. Dalam dunia tasawuf, diketahui ada dua corak pemikiran yang masing-masing diwakili oleh Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Al-Ghazali condong berfikir falsafi, sedangkan Ibnu Arabi lebih condong dengan Hikmatul-Ilahiyah. Al-Ghazali yang menitik-beratkan kepada akaliyah, mengambil keraguan sebagai dasar tingkat pertama dalam jenjang keyakinan, manakala manusia sudah sampai kepada batasnya, maka ia akan bertemu dengan keimanan, dan kesibukan akal akan berhenti dengan latihan jiwa dan raga. Ibnu Arabi yang menitikberatkan kepada hati ( ), dengan hikmatul Ilahiyah, manusia akan mendapatkan pengetahuan, dengan melatih jiwa dan menekan hawa nafsu, dimana hawa nafsu merupakan penghalang antara manusia dengan Nur Illahi. Manakala manusia sampai ke taraf 'arifin maka ia dapat mempelajari dan meneliti segala ilmu pengetahuan dengan segala ragamnya.

) ( )

50

III DASAR-DASAR ILMU TASAWUF Pada hakekatnya dasar-dasar Ilmu Tasawuf itu tercermin dalam ajaranajarannya, dengan segala bentuk dan manifestasinya, apakah itu merupakan jenjang tangga atau terminal yang harus dilalui oleh para ahli tasawuf, yang disebut maqamat atau mujahadat, di samping secara perasaan mereka telah mengubah tingkah sedikit demi sedikit dalam mencapai tujuan, atau semuanya ajaran itu dikembalikan kepada usul (pokok) syara'. Walaupun demikian titik berat dasar yang mereka pegang pada umumnya berlandaskan kepada kefakiran, sebagaimana diungkapkan oleh para ahli seperti halnya: Ma'ruf Al-Karakhi mengatakan:

" "
Artinya : "Tasawuf adalah mengambil hakekat sesuatu, dan berputus asa dari apa yang ada di tangan manusia (makhluk), barang siapa yang tidak berpegang kepada kefakiran, maka dia tidak berpegang kepada tasawuf". Ruwaim bin Ahmad Al-Baghdadi menyatakan:

" : " ,
Artinya : "Tasawuf" dibina atas tig a dasar: 1) berpegang kepada kefakiran dan iftiqar, 21 berkepayahan dan mementingkan orang lain, dan 3) meninggalkan kepentingan dan pilihan". Abil-Hasan An-Nawari mengatakan:

"" ,
Artinya : "Sifat orang fakir ialah berdiam diri di kala dia tidak punya, dan memberikan serta mendahulukan kepentingan orang lain di kala berada ". Assahrawardi dalam kitabnya 'Awariful-Ma'arif menyatakan bahwa kadangkala kata-kata fakir dipergunakan pada tasawuf, dan kadangkala kata-kata tasawuf dipergunakan pada fakir. As-Syibli ketika ditanya tentang hakekat fakir beliau mengatakan:

""
Artinya : "Tidak membutuhkan sesuatu selain dari pada Allah ".

51

Pengertian ini semua berlandaskan kepada sabda Rasul yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.:

" "
Artinya : "Setiap sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah cinta kepada orang miskin dan fakir yang shabar, mereka berada di majlis Allah pada hari kiamat". "Fakir" di sini adalah merupakan hakekat tasawuf asas dan tulang punggungnya yakni standar kehidupan para sufi adalah befakiran.

52

IV AJARAN-AJARAN AHLI TASAWUF Para ahli tasawuf berusaha mendekatkan diri ke hadirat Allah swt. dengan jalan melatih jiwa dan raga, membersihkan diri dari kekotoran rohani. Dalam usaha tersebut mereka tidak sampai sekaligus ke taraf yang tinggi, namun harus melalui beberapa terminal (maqam, pos) yang harus ditempuh dengan mujahadah (kesungguhan hati). Ada sementara mereka yang membuat pos-pos itu dengan sederhana, seperti halnya dari qana'ah, tanpa qana'ah tak akan tercapai tawakal, tanpa adanya tawakal tak akan ada taslim; sebagaimana tanpa taubat tak akan ada inabah; tanpa war a' tak akan ada zuhud. Al-Kalabadzi dalam bukunya At-Ta'arruf li Madzahibi Ahlit Tasawuf, mendahulukan taubat sebagai kunci ketaatan, kemudian zuhud, shabar, faqar, tawadhu, ikhlas, syukur, tawakkal, ridlo, yakin, dzikir, uns, qarb dan mahabbah. Lain lagi Al-Qusyaeri dalam bukunya Ar-Risalatul-Qusyaeriyah memberikan urutan: taubat, mujahadah, khalwat, uzlah, taqwa, wara', zuhud, khauf, raja', qana'ah, tawakkal, syukur, shabar, muraqabah, ridlo, ikhlas, muhasabah dan syauq. Lebih sedikit lagi Al-Ghazali memberikan urutan dengan: taubat, shabar, syukur, khauf, raja', tawakal, mahabbah, ridlo, ikhlas, muhasabah dan muraqabah. Menurut Assahrawardi dalam bukunya 'Awariful-Ma'arif memberikan maqam menurut para syekh sebagai berikut taubat, wara', zuhud, shabar, faqar, syukur, khauf, tawakkal dan ridlo. Disamping adanya istilah maqam, juga terkenal adanya istilah Hal yakni situasi dimana mereka akan mencapai maqam. Untuk lebih memperjelas dua kalimat tersebut yakni hal dan maqam dapat dikutip beberapa ungkapan antara lain pendapat As- Sarraj:

" , "
Artinya: "Maqam adalah kedudukan seseorang hamba di sisi Allah, sesuai dengan apa yang dilakukan seperti ibadat, mujahadat, riyadhat dan memutuskan (untuk medekatkan diri) kepada Allah, Maqam ini seperti halnya taubat, wara', zuhud, faqir, sabar, ridlo, tawakkal dan lain-lain". Adapun Hal, As-Sarraj mengatakan:

" ...

53

"
Artinya: "Hal adalah suatu kedaan (situasi) yang ada dalam hati, atau hati berada dalam situasi, seperti halnya kebersihan berzikir. Hal ini bukan menyangkut mujahadat, ibadat dan ridlo, sebagaimana kedudukan yang telah tersebut di atas. Hal ini seperti muraqabah, qurb, mahabah, khauf, raja', syauq, uns, tuma'ninah, musyahadah, yakin dan lain-lainnya". Pada hakekatnya usaha untuk mendapatkan maqam itu landasan utamanya adalah iman, iman berada dalam hati, dan apa yang mereka capai dalam mendekatkan hati ke hadirat Allah melalui maqam-maqam itu adalah cetusan batin yang timbul dari keimanan. Dalam hal ini akan kita urutkan menurut selera masing-masing, dimana jalan yang telah ditempuh oleh sufiyah itu merupakan manivestasi keimanan. Ali Thantawi memberikan penjelasan bahwa keimanan adalah merupakan pekerjaan hati sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah saw. dalam hadits shahih, dengan kalimat yang pendek, menyeluruh, mengandung pengertian yang dalam, sebagai bukti kenabiannya, yang tidak pernah diucapkan oleh manusia biasa yakni sabdanya dalam mena'rifi ihsan:

(" : " )
Artinya: "Hendaknya engkau menyembah kepada Allah, seolah-olah engkau melihatNya, namun apabila tidak bisa melihat-Nya maka sesungguh-nya Dia melihat kepadamu". Kita akan mencoba dengan urutan lain, namun tidak terlepas dari apa yang telah ada, sesuai dengan apa yang telah ditulis oleh Ali Thantawi dalam kitabnya Ta'rif 'Am bi Dinil-Islam sebagai berikut: 1. Dzikir Buah keimanan yang pertama adalah dzikir, saya pernah mendengar dari salah seorang yang shaleh (lupa namanya). Dia mempunyai seorang paman ahli ibadah, dia selalu menekuninya, kemudian dia menanyakan kepada pamannya: Hai paman, apa yang kau lakukan agar aku seperti engkau? Pamannya menjawab: Katakan setiap hari tiga kali:

""
"Sesungguhnya Allah melihat kepadaku, dan sesungguhnya Allah memperhatikan kepadaku" kemudian melakukannya selama seminggu, lantas pamannya menyuruh membaca apa yang telah dibaca itu tiga kali setiap selesai shalat, kemudian dilakukannya selama seminggu lagi, selanjutnya pamannya menyuruh membacanya dalam hati sebagai

54

pengganti ucapan lisannya. Akhirnya dilakukan sepanjang hayatnya berdzikir dengan tekun. Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an untuk berdzikir, dan Allah sangat memuji terhadap orang-orang yang berdzikir. Dzikir menurut bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Qur'an mengandung dua pengertian, yakni berdzikir dengan hati dan berdzikir dengan lisan. Ingat dalam hati, Al-Qur'an menyatakan:

:" " ) (23


Artinya: "Sesungguhnya aku lupa tentang ikan itu, dan tidak ada yang membikin aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan ".

(11 :" " )


Artinya: Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada dua orang tuamu ".

(9 : )
Artinya: "Hai orang-orang beriman! Ingatlah kepada nikmat Allah yang diberikan kepadamu". Berdzikir dengan lisan:

(41 :" )
Artinya: "Ceritakanlah (Hai Muhammad) tentang Ibrahim dalam kitab".

(12 :" " )


Artinya: "Ceritakanlah (Hai Muhammad) tentang Maryam dalam kitab".

(42 :" )
Artinya: "Sebutlah aku di sisi Tuhanmu".

(4 :" )
Artinya: "Sebutlah Asma Allah (yang telah memberikan nikmat) kepadamu". Jika kamu ingin membuktikan sebagai orang yang berdzikir, maka hendaklah kamu selalu ingat dalam hatimu di kala kamu sendirian, di keramaian, di pasar dan jalanan, ingat setiap waktu, setiap keadaan, bahwa Allah melihat kepadamu. Kamu tak akan berbuat kecuali apa yang Allah sukai; jika kamu menjalankan kewajiban itu karena menuruti perintah-Nya, jika kamu meninggalkan keharaman, itu adalah karena mengikuti larangan-Nya. Jika kamu mengerjakan hal yang mubah, maka niatilah

55

karena Allah dengan mengharapkan pahala; jika kamu disuruh memilih antara dua jalan, maka pilihlah jalan yang mendekati syurga dan menjauhi neraka; jika kamu lupa mengerjakan dosa, kemudian ingat, maka segeralah bertaubat dan mintalah ampunan pada Allah swt.

(201 :" )
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa waswas dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahankesalahannya". Berdzikirlah dengan lisanmu karena keutamaannya adalah dengan lisan yang dibarengi dengan hati. Jika pikiran melayang dan tidak memperhatikan apa yang diucapkan oleh lisan, sama dengan kata- kata yang tak bermakna, seperti salah seorang penjual barang- barang, dia mengatakan:

"Allah Maha Pemurah" tidak

dimaksud untuk berdzikir kepada Allah swt. atau orang yang mengatakan

" Allah Maha Langgeng".


Kadang-kadang berdzikir dengan lisan terdapat kema'siatan, seperti membaca basamalah ketika minum khamar. Barangsiapa menyebut nama Allah dalam nyayian yang dibawakan penyanyi yang fasik dengan maksud mengejek dengan terangterangan, maka dzikirnya adalah kekufuran. Berdzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur'an, kecuali pada tempat tertentu yang telah ditetapkan oleh Allah swt. seperti tasbih dalam ruku' dan sujud dan dzikir yang masyhur dari Rasulullah saw. Adapun apa yang ada pada masa kita seperti pesta dzikir yang disebut "Raqash", terdiri dari gerakan-gerakan seperti : berdiri, ruku', jongkok, rata, dibarengi dengan gerakan yang serasi serta lagu-lagu tertentu, dengan tidak tegas-tegas diucapkan kalimat tahlil atau tahmid, dibawakan dengan suara-suara yang samar seperti: Ah, Akh, (menurut khasyiyah Ibnul-'Abidin, sebagai pokok madzhab Hanafi) adalah haram. Apabila tindakan-tindakannya keterlaluan sehingga menghilangkan perasaan tanpa adanya pegangan kemudian dihalalkan, maka hukumnya adalah kufur. 2. Antara Cemas dan Harapan ( ) Seorang mukmin hendaknya berada di antara cemas dari siksa Allah dan harapan atas ampunan-Nya. Ingatlah bahwa Allah adalah dzat yang cepat memberikan perhitungan, disinilah timbulnya kecemasan, dan ingat bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun dan Pengasih, Dzat yang Maha Penyayang dari segala penyayang, disinilah timbul adanya harapan. Jika hati hanya terpenuhi oleh kecemasan maka bisa jadi akan timbul keputus-asaan dari rahmat Allah swt.:

(87 : )
56

Artinya: "Sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir". Sebaliknya jika hati terpenuhi oleh harapan semata, maka ia akan merasa aman dari kemurkaan Allah swt.

(22 : " " )


Artinya: "Tidaklah merasa aman terhadap murka Allah, kecuali orang-orang yang merugi". Telah kita terangkan bahwa Allah adalah Maha Pencipta, tidak menyerupai makhluk-Nya, dan takut kepada Allah bukan seperti takut kepada makhluk, engkau takut kepada harimau mengunjukan taringnya dengan geram yang menyeramkan, kau sendirian menghadapinya tanpa senjata, namun takut kepada Allah bukan seperti takut kepada harimau, karena harimau bisa dikhawatirkan akan menerkammu, maka Allah adalah Tuhan harimau dan penciptanya, tidak mungkin memberikan putusan jika Dia telah memastikan untukmu. Kamu takut kepada banjir yang hampir melandamu, sedangkan kamu berada di tempat alirannya, tak sanggup bagimu mengelaknya, namun bukanlah seperti takut kepada Allah, yang mengalirkan banjir yang dapat menghentikan dan mengeringkan apabila Dia menghendaki, bahkan Dia dapat membalikkannya, banjir bisa jadi lari dari tempatnya, jauh dari padamu. Dan siksa Allah apabila datang, tak ada tempat berlari, kamu takut sakit dan terserang penyakit, kehilangan kekasih, lenyapnya harta benda namun bukanlah demikian halnya takut kepada Allah yang di tangan-Nya segala peristiwa. Jika dia menghendaki, maka Dia menimpakan bahaya kepadamu, dan jika Dia berkehendak menyembuhkannya, tak ada sesuatu yang wujud ini dapat menghalangi-Nya. Seorang mu'min seyogyanya berada di antara takut (cemas) dan harap. Jika sedang melakukan shalat membaca (

harapan, dan jika sedang membaca ( ) merasa cemas. Kebanyakan muslim sekarang lebih banyak mengharap dari pada merasa cemas, dan berangan-angan ampunan serta dijauhkan dari siksaan. Dengan dasar ini seorang muslim bila menunaikan kewajiban dan menjauhi keharaman, maka dia adalah orang yang takut dan taqwa, namun dia tidak mendapatkan tingkatan yang tinggi di syurga, ibarat seorang murid yang berhasil mendapatkan nilai kenaikan yang minimal dia tidak tinggal di kelas namun dia tidak mendapatkan ranking istimewa, kelulusannya hanya berada di tengah-tengah, tidak baik dan tidak istimewa. 3. Tawakal ( ) Dalam hal tawakal ini Allah berfirman:

) merasa adanya

(84 :" " )


Artinya:

57

"Jika kamu telah beriman kepada Allah, maka tawakkallah kepada-Nya". Juga firman-Nya:

(156 :" " )


Artinya: "Sesungguhnya Allah menyukai kepada orang-orang yang bertawakal". Apa itu tawakal dan apa hakekatnya ? Sudah kita bicarakan bahwa Allah telah menjadikan sesuatu, baik itu yang bermanfaat ataupun yang madarat, dan menjadikan hukum alam (Sunnatullah) sebagai sebab pembawa manfa'at dan madarat. Apakah tawakkal itu meninggalkan sebab (usaha)? Ada sementara ahli tasawuf menganggap bahwa tawakkal itu adalah meninggalkan sebab, tidak usah bekerja mencari rizki, menantikan datangnya rizki tanpa usaha, membiarkan sakit tanpa berobat ke dokter, mengharapkan sembuh tanpa berobat, berjalan di padang pasir tanpa bekal, mengharapkan datangnya bekal tanpa kepayahan; tanpa mencari ilmu, menekadkan bahwa ilmu itu akan datang tanpa mencarinya. Pendapat ini menyalahi syara', karena syara' memerintahkan:

(10 :" )
Artinya: "Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah Juga sabda Rasulullah saw.:

" !
Artinya: "Hai hamba Allah, berobatlah kamu".

""
Artinya: "Berkemas-kemaslah (membawa bekal)".

""
Artinya: "Mencari ilmu adalah kewajiban". Barangsiapa yang meninggalkan mencari ilmu dan menyangka bahwa ilmu itu akan datang dengan sendirinya, maka ia bertentangan dengan syara' dan bertentangan dengan tabiat manusia. Di segi lain ada orang yang hidupnya tergantung semata-mata hanya dengan materi, menekadkan bahwa sebab adalah menciptakan akibat (musabab); obatlah yang menyembuhkan karena dzatnya, usaha adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kesuksesan; inipun tidak sesuai dengan bukti, karena kadang-kadang sebab tidak harus menimbulkan akibat (musabab); kadang-kadang obat tersedia, tetapi kesembuhan tak kunjung tiba; kadangkala terdapat di rumah sakit dua orang pasien dalam satu kamar, penyakitnya sejenis, dokternya seorang, obatnya tunggal, tetapi mengapa yang seorang mati dan seorang lagi sembuh? Seorang petani membajak tanahnya dengan alat

58

mutakhir ditaburkannya bibit unggul, dibelinya pupuk yang mahal, datanglah musim yang sangat dingin, satu musim yang sangat panas, kering yang membakar, atau banjir yang menghanyutkan, maka sebab-sebab itu musnah dan usahanya itu gagal total. Oleh karena itu bukanlah satu-satunya bahwa sebab itu pasti menimbulkan akibat, dan membiarkannya menurut akal, namun semuanya perlu pemikiran, dan ini diperintahkan oleh agama, yakni kita menciptakan sebab sekomplit mungkin, kemudian minta kepada Allah untuk menghasilkannya. "Ikatlah ontamu dan tawakallah kepada Allah untuk menjaganya", bacalah pelajaran semua dan tawakallah kepada Allah, minta lulus dalam ujian. Inilah tawakkal yang sebenarnya, bukanlah tawakal itu membiarkan sebab dan tidak memperhatikan hukum alam, dan bukan pula lupa terhadap Allah yang memberikan manfaat dan mudarat. Sebab harus ada, dan dalam mewujudkan sebab adalah ta'at terhadap perintah dan mengikuti semua sunnatullah (hukum alam) dalam kenyataan, namun tidak cukup hanya sebab, karena hasilnya di tangan Allah, oleh karena itu tawakal yang sebenarnya adalah orang yang berusaha untuk mencapai tujuan dengan kerja keras dan menggunakan segala wasilah yang telah diperintahkan, dan menekadkan bahwa yang menyampaikan kepada tujuan adalah Allah, dia menyerah kepada-Nya dan minta dihasilkan apa yang ia kehendaki.

4. Syukur ( ) Seorang yang bertawakkal akan rela kepada Allah manakala Dia mencegah dan memberi, dan di sinilah sifat syukur yang sebenarnya.

(40 :" " )


Artinya: "Barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia mensyukuri kepada dirinya sendiri'.

(144 :" " )


Artinya: "Dan Allah akan membalas terhadap orang yang bersyukur". Syukur adalah salah satu buah keimanan". Apabila seseorang berbuat baik kepadamu, kemudian tidak bersyukur kepadanya, maka kamu termasuk orang yang keterlaluan, dianggap buruk, padahal itu biasa-biasa saja. Dzat yang berbuat baik secara hakiki adalah Allah, mengapa kamu tidak bersyukur kepada-Nya? Allah yang memberikan nikmat kepadamu, dengan nikmat pendengaran dan penglihatan, kesehatan dan keamanan. Allah yang memudahkan apa yang ada di bumi ini untukmu, Allah memberikan nikmat yang kamu sendiri tak sanggup menghitungnya, manusia tidak mengetahui harga nikmat kecuali apabila nikmat tersebut telah hilang. Jika sakitnya akan pulih kembali, ia merasakan

59

betapa besar nikmat kesehatan, karena sedikit demi sedikit penyakit akan hilang, namun apabila penyakitnya telah hilang maka dia lupa terhadap nikmat tersebut. Jika seseorang membutuhkan uang serupiah (dinar) kemudian dia akan mendapatkannya, dia merasa betapa nikmatnya orang yang mempunyai uang, tetapi apabila uang tersebut telah didapati, maka lupalah dia. Jika putus aliran listrik dan semua penjuru gelap gulita, maka dia mengetahui betapa nikmatnya terang, tetapi setelah menyala tidak dirasa (lagi) nikmatnya. Jika kamu tidak bisa menghitung nikmat Allah yang diberikan kepadamu apakah kamu tidak bisa mensyukurinya? Kalau bersyukur dengan lisanmu, memuji dan menyanjung, kau katakan: . Kamu bersyukur dengan amalmu dengan memberikan alakadarnya kepada seseorang yang membutuhkannya, orang kaya bersyukur dengan memberikan sesuatu kepada yang fakir, seorang yang kuat bersyukur dengan menolong yang lemah, bersyukurnya orang yang mempunyai kekuasaan ialah menegakkan keadilan dan menjalankan kebenaran. Jika kamu sedang berada, dan dalam hidanganmu terdapat lima macam, sedangkan tetanggamu kelaparan, dan kamu tidak memberikan sesuatu apapun, maka kamu tidak termasuk orang yang bersyukur, sekalipun kamu katakan seribu kali:( ) Kamu bersyukur dalam hatimu, dengan rela kepada Allah, menghemat apa yang menjadi milikmu, tak membenci dan tak menganggap remeh segala nikmat, dan tidak dengki kepada orang lain yang diberi nikmat oleh Allah swt. Barangsiapa terkumpul antara syukur hati dan rela kepada Allah, bersyukur amal dengan memberikan kelebihan kepada orang lain yang membutuhkan dan bersyukur lisan dengan mengucapkan: dengan sebenar-benarnya.

maka dia termasuk bersyukur

5. Shabar Seorang muslim itu berada di antara dua nikmat, jika mendapatkan kebaikan dia bersyukur, dia mendapat pahala; jika mendapat kemadaratan lantas bershabar, maka dia juga mendapat pahala. Imbalan pahala orang kaya yang bersyukur atau orang yang berkelebihan, itu sama dengan pahala orang fakir yang shabar.

:" " ) (94


Artinya: "Niscaya akan kami balas orang-orang yang shabar dengan mendapatkan panaia yang lebih baik dari apa yang mereka amalkan".

60

Hidup di dunia ini bukanlah kampung kesenangan, ia tidak terlepas dari segala keruwetan, kurang sehat, kehilangan harta, ditinggalkan kekasih, tipuan kawan, atau kehilangan keamanan, semuanya ini meliputi tabeat manusia yang tak berubah-ubah.

" (155 :, . )
Artinya: "Niscaya akan Kami berikan percobaan kepadamu dengan sesuatu berupa ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan; dan berilah kabar gembira terhadap orang-orang yang shabar". Demikian itu karena mereka sehari-hari lupa terhadap cobaan dan mendapatkan kesenangan, sedangkan sebahagian mereka menanggung kesengsaraan dan tidak mendapatkan apa-apa. Kesulitan dan musibah tidak bisa dihindari, adakalanya bisa terobati dengan kesabaran kamu mendapatkan pahala dan adakalanya kamu menggerutu kemudian bertambah kesal dari siksaan dan kamu tidak bisa menolak apa yang menimpa pada dirimu; ini merupakan bentuk pertama dari kesabaran, yakni kesabaran atas segala musibah. Bentuk kedua, sabar atas segala kemaksiatan, bersabarnya seorang pemuda melihat seorang wanita tanpa busana, sedangkan nafsu menggelora ingin melihat, kemudian dia memejamkan matanya karena takut kepada Allah swt. Seorang mengetahui cara untuk mendapatkan kelezatan yang diharamkan, kemudian dirinya melarang, padahal ini merupakan kesenangannya. Seorang pegawai yang diberi suap yang jumlahnya sama dengan enam bulan gajinya, kemudian dia menolaknya, padahal dia membutuhkannya. Sabar seorang pelajar (mahasiswa) menghadapi ujian, meskipun memungkinkan mencuri jawaban dari buku dia tidak melakukannya, padahal kenaikan itu tergantung kepada hasil ujian tersebut. Kemaksiatan adalah kelezatan hawa nafsu, apabila seseorang dapat mencegahnya padahal terdapat kemungkinan melakukannya, dia adalah termasuk orang yang sabar. Bentuk ketiga, adalah sabar atas ketaatan; melakukan shalat subuh, meninggalkan kepulasan tidur, selimut yang tebal di musim dingin; meninggalkan lapar dan dahaga di bulan puasa di musim panas yang membakar, mamaksa hawa nafsu yang cinta harta benda untuk mengeluarkan zakat dan sadakah. Sabar berpegang kepada agama di masa sekarang yang penuh dengan percobaan, hampir kembali agama ini dalam keasingan. Orang yang tekun dalam agama ibarat orang yang menggenggam bara, orang yang berpegang agama menjadi cacian dan hinaan, kambing hitam para pejabat, kurang tertib, terisolir dari kampung halamannya. Barangsiapa yang berpegang teguh hanya kepada Allah semata karena mengharap pahala, mereka adalah sebagian dari apa yang digambarkan dalam firman Allah:

(42 :" " )


Artinya:

61

"Mereka adalah orang-orang yang sabar dan kepada Tuhan mereka berserah diri".

(54 :" " )


Artinya: "Mereka akan diberi pahala duakali lipat karena kesabaran mereka "

:" ) (30
Artinya: "Tidaklah dianugerahi kecuali bagi orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahi kecuali orang-orang yang mendapatkan pahala yang besar". 6. Menuruti Hukum Syara' ( ) Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa iman adalah pekerjaan hati, rahasia dari segala rahasia, tidak ada yang mengetahui kecuali Allah, manusia melihat hanya lahirnya, oleh karenanya kita hanya dapat membedakan antara orang kafir dan mukmin hanya dari perkataan dan perbuatannya. Islam adalah bukti dari keimanan, ia terambil dari kata: ( ) dan ( ) dalam arti yang sama, yakni (menyerahkan diri). Seorang anak yang menyerahkan dirinya kepada orang tua, karena kepercayaan; seorang yang menyintai menyerahkan diri kepada yang dicintainya, karena simpati; orang yang diculik menyerahkan diri kepada penculik, karena takut. Adapun orang mukmin yang menyerahkan diri kepada hukum Tuhannya dengan menyerahkan mutlak, taat atas segala perintah-Nya, meninggalkan apa yang dilarangnya meskipun belum mengetahui apa rahasia larangan tersebut. Penyerahan diri ini ada dua aspek: a. Yang bersifat amali, yaitu menuruti dengan perkataan dan pebuatan. b. Yang bersifat kejiwaan. Dalam sifat kejiwaan inilah yang dimaksud rela hati terhadap hukum syara', dan ketentraman jiwa kita melakukan kewajiban atau meninggalkan keharaman dari hal yang sederhana, tidak keharusan dalam hati dan tidak karena kebencian, firman Allah:

(...)
Artinya: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan". Ini adalah segi amali, yakni aspek perbuatan, sedangkan:

(...)""
Artinya:

62

"Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kau berikan dan kau menerima sepenuh hati". Ini adalah aspek kejiwaan. Tidak cukup hanya menyerahkan hukuman terhadap Rasulullah apabila di dalam hati kita tidak terdapat aqidah yang benar tentang ketentuan, dan rela dengannya serta rasa tenteram karenanya. Allah berfirman:

" ) ( , (51 :" )


Artinya: "Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min bila mereka dipanggil (menuju) kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah dengan ucapan (dengan lisan mereka mengaku, meresapi dengan hati mereka): "Kami mendengar dan kami patuh". Mereka itulah orang-orang yang beruntung". Ada sebagian orang yang selalu menanyakan tentang hikmat-hikmat yang terkandung dalam hukum syara' baik yang berhubungan dengan perintah ataupun yang berhubungan dengan larangan, seolah-olah mereka tidak akan taat kecuali mereka mengetahui hikmatnya. Bagi syara' pasti ada hikmatnya, namun kadang-kadang ada yang jelas dengan melalui nash atau istimbath (pengambilan hukum), dan kadangkadang samar bagi kita. Apakah kita akan maksiat kepada Tuhan manakala hikmat syari'at-nya belum jelas bagi kita? Coba gambarkan! Kamu memerintahkan kepada anakmu, kemudian anakmu tidak menjalankan perintahmu, sebelum jelas tujuan dan hikmat yang terkandung di dalamnya, andaikan tidak ada waktu untuk menerangkannya atau ada rahasia yang tidak boleh disebarluaskan, tidakkah kamu "mereken" bahwa anakmu maksiat kepadamu? Ataukah kamu membiarkan sampai ia taat atas segala perintahmu karena ia adalah anakmu dan kamu adalah orang tuanya? Andaikan ada peraturan yang mengikat agar tunduk, kemudian ia tidak menjalankan tugas sehingga kamu terangkan langkah-langkah yang akan dilakukan dan tujuannya, apakah ia tidak berhak untuk mendapatkan siksaan (sanksi)? Sebenarnya hak Allah terhadap hamba-Nya tidak selanyaknya diukur dengan hak orang tua terhadap anaknya, dan tidak pula hak komandan terhadap prajuritnya, namun hak Allah terhadap kita adalah keharusan taat kepada-Nya baik itu waktu senggang atau terpaksa, yang cocok atau tidak bagi kesenangan kita, tidak menempatkan dalil dan alasan berfikir agar kita dapat berpegang dalam fiqih yang sesuai dengan kemauan kita? Dan kita tidak menempatkan kebudayaan asing dan adatistiadatnya yang kita ambil sebagai hujah syara' kemudian kita membikin takwil yang bukan pada tempatnya, dan kita menjungkir-balikkan jalan yang lurus dalam pembahasan agar kita berpendapat bahwa agama tidak menghilangkan adat istiadat, kemudian apabila telah ditukar adat istiadat sosial atau memindahkan kebudayaan

63

asing, dari barat ke timur, kita alihkan pembahasan kita, dan kita menelurkan takwilan baru, tidak !!! Bahkan kita tetap berhukum kepada syara' dan mengamalkan ketentuannya, rela kepadanya, rasa tentram karena, ini adalah perbuatan mukmin yang benar, berpegang kepada kebenaran agamanya. 7. Tegas dan Lemah-lembut Salah satu manifestasi keimanan dan tanda-tandanya adalah cinta dan benci karena Allah. Kita cinta kepada orang yang taat dan taqwa meskipun kita tidak mendapat manfaat dari padanya; kita benci kepada orang kafir yang durhaka, meskipun kita tak pernah mendapat madarat dari padanya, bahkan kita membenci dan menghindarinya meskipun ada faedahnya bagi kita walaupun pertalian kita dengannya mempunyai ikatan pertalian yang kuat. Oleh karenanya persaudaraan dalam agama lebih kuat daripada persaudaraan sedarah, dan hubungan akidah lebih kuat dari pada keturunan. Allah telah menerangkan terhadap Nabi Nuh as. bagi anaknya yang kafir dia bukanlah anaknya, dia berbuat tidak baik. Kepercayaan meng-hilangkan kasih sayang antara orang mukmin dengan orang yang menentang dan menerangi agama manakala terdapat hubungan yang erat di antara dua golongan, Allah berfirman:

" (22 :" )


Artinya: "Kamu tidak akan mendapat suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasulnya". Tidak ada yang memaksa mereka dalam lslam, namun melarang mereka untuk menghalangi jalan dan menerangi dakwahnya. Apabila mereka merasa tenteram karena dakwah kita dan mereka masuk ke dalam agama kita, maka apa yang terjadi hak dan kewajiban kita adalah kewajiban mereka pula. Apabila mereka menyerah, maka selamatkan mereka dan kita jaga hak-hak mereka walaupun mereka tetap dalam agama mereka. Seorang mukmin cinta hanya karena agama dan benci hanya karena agama; apabila cinta maka lahirlah kemulian jiwa dan lemah lembut, timbul toleransi dan kesungguhan, merendah diri di hadapan saudaranya dan tidak minder, mendahulukan kepentingan orang lain dari kepentingan diri sendiri, walaupun dirinya sendiri membutuhkannya. Apabila benci, maka lahirlah kebencian itu semata-mata karena Allah, dan mempertahankan agama sekuat tenaga, tegas dalam peperangan karena musuh agama. Seorang mumin berada di antara lemah lembut dan sikap tegas, lunak dan keras, lunak dan lembut terhadap saudaranya yang se-iman, sedangkan tegas dan keras kepada musuh-musuh agama dimana mereka itu sebenarnya adalah pembela-pembela syaitan:

64

"" (29 :)
Artinya: "Muhammad adalah Rasulullah dan orang-orang yang menyertainya bersikap tegas kepada orang-orang kafir dan berkasih sayang di antara mereka".

"... (54 : ....)


Artinya: "... yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjuang di jalan Allah, tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela". Inilah keadaan orang mukmin selagi mereka menjadi mujahidin; namun ketika meninggalkan jihad, kita menyalahi syara', bertindak tegas kepada diri kita sendiri dan lemah di hadapan musuh, maka Allah menguasakan terhadap kita, karena dosa-dosa kita, kepada orang-orang yang tidak takut, orang yang tidak belas kasihan, akhirnya mereka menjajah kita, dan kita berada di bawah kekuasaan hukum mereka. 8. Taubat dan Istigfar Allah menciptakan manusia, dan menumbuhkan dalam dirinya tergesa-gesa, angan-angan yang panjang, suka mengumpulkan harta, selalu ingin didampingi dengan wanita-wanita cantik, marah, condong kepada kemurkaan dan celaan, dikuasai oleh syaitan yang menghiasinya dengan segala keburukan suka berbuat maksiat, menaruh nafsu yang membawa kejelekan, tertarik kepada yang haram, membantu syaitan sehingga menghasilkan kedurhakaan, menumpuk-numpuk dosa. Sekarang apa yang harus kita lakukan agar selamat dari siksaan, kemaksiatan dan dosa? Sesungguhnya Allah maha kasihan terhadap manusia, maka dengan itu dibukalah pintu taubat. Allah mengatakan kepada manusia, sesungguhnya kau sanggup menghapus dosa yang telah kau perbuat sehingga bersih seperti sediakala, namun dapat dituliskan kebaikan berdampingan di tempat keburukan yang telah kau lakukan, seperti catatan seorang pedagang yang mempunyai utang-piutang denganmu, tidaklah cukup begitu saja dengan penuh toleransi dan menghapuskan utang-piutang, namun catatan utang itu dipindahkan kepada catatan piutang:

"... (70 :, " )


Artinya: Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beramal shaleh, mereka akan Allah ganti keburukan mereka dengan kebaikannya, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

65

Pintu taubat selalu terbuka selagi orang itu masih mau minta, barangsiapa yang bertaut dengan kesungguhan hati pasti taubatnya diterima. Pintu taubat tidak pernah terkunci kecuali orang yang sedang sakaratil maut, saat ruhnya berada di tenggorokan saat dihadapkan pada hakekat hidup, dia melihat kenyataan berita yang dibawa oleh Rasul, pada saat itu taubat tidak diterima dan sia-sia, karena taubat adalah kembali kepada Allah dengan penuh kesadaran, sedangkan dia kembali karena terpaksa, sehingga manfaat pernyataannya tidak "direken" setelah hilangnya ikhtiar.

" , (18-17 : )
Artinya: "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". Dan tidak (pula diterima taubatnya) orang-orang yang mati sedangkan mereka dalam kekufuran". Dalam bertaubat syarat pertama ialah memutuskan perbuatan buruk dan ber'azam (berniat) tidak mengulangi lagi. Jika kamu sedang berjalan-jalan di suatu lorong, ada orang yang membuka jendela, kemudian melemparkan air kotoran, mengenai kepadamu, ketika kamu mencaci-maki dan memarahinya, orang itu minta ma'af. Dia bisa saja mengulangi perbuatannya mengguyurmu lagi atau tidak namun kalau ternyata dia mengguyurmu lagi seperti kemaren, apakah kamu akan mene-rima permohonan ma'afnya? Taubat itu mempunyai ruh dan jasad; ruhnya adalah me-rasa bahwa maksiat itu buruk, jasadnya adalah mencegah dari padanya, seperti orang yang berjalan di jalan raya, dari rambu-rambu penunjuk jalan ia mengetahui bahwa bukanlah jalan yang dituju, dia merasa bahwa jalan itu salah, perasaan inilah yang pokok, karena kalau dia tidak mengetahui kesalahannya, berarti dia tidak mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar. Namun apabila alasannya adalah pengetahuan, dan tidak mengamalkan dengan apa yang seharusnya, dan dia berjalan di jalan yang keliru, tidak dimanfaatkan ilmunya, bahkan dia akan mendapatkan dosa yang lebih besar dan menumpuk-numpuk dosa karena kalau kekeliruan itu disebabkan tidak mengetahui, alasannya dapat diterima, namun bagi orang yang mengetahui jalan, dan dia sengaja berbuat keliru, maka tiada maaf baginya.

66

Syarat kedua, berbuat baik sebagai pengganti perbuatan yang buruk, memperbaiki keadaan yang bobrok, yakni dia betul-betul menggantikan dan mengalihkan perbuatan:

" (54 : )
Artinya: "Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan kemudian bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

:" " ) (39


Artinya: "Barangsiapa yang bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dia memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya".

(89 :" ..." )


Artinya: "Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan ....

:" ...) (16


Artinya: "Kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenarannya), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya". Sebagian dari perbaikan adalah kamu meninggalkan dosa dengan sesungguhnya dan niat yang sebenar-benarnya untuk tidak mengulangi kembali. Jika kamu menyimpulkan niat yang benar, kemudian nafsu mengalahkannya atau terserempet oleh keburukan, lantas mengulangi kembali, terus bertaubat maka taubatmu akan diterima walaupun berulang kembali berbuat dan berulangkali bertaubat. Adapun sejak semula kamu ragu-ragu dan kamu katakan pada dirimu, bila ada kesempatan akan kulakukan kembali, kemudian kamu bertaubat, maka taubatmu bukanlah benar-benar taubat dan tidak akan diterima. Taubat yang dimaksud disini adalah yang berhubungan dengan hak Allah, cukup meninggalkan dosa dan menyesal atas perbuatannya, berniat dengan benar-benar untuk tidak kembali. Adapun yang berhubungan dengan hak sesama manusia seperti halnya kamu menganiyaya seseorang atau memakan hartanya, menyakiti badan atau melanggar kehormatannya, bersaksi palsu, mengumpat dan mencaci, menyiarkan perkataan jelek orang dan lain sebagainya maka kamu harus menyelesaikan dahulu

67

hak-hak mereka atau menunjukkan kepada mereka kebaikan-kebaikan, memberikan toleransi, atau meminta rahmat Allah agar orang itu merelakannya kepadamu, kalau tidak demikian maka taubatmu tidak akan diterima dan orang yang teraniaya akan mengambil kebaikan-kebaikanmu di hari kiamat, atau keburukannya dipikulkan kepadamu. Pintu taubat selalu terbuka meskipun banyak dosa, seorang tidak boleh putus asa dari ampunan Allah swt. karena putus asa dari ampunan Allah adalah dosa besar :

. , (52 : " )
Artinya : "Katakanlah: "Hai hamba-hambaku yang melampai batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kau berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa". Taubat ialah meninggalkan keburukan dan kembali kepada kebaikan, adapun Istigfar adalah meminta ampunan dari Allah swt. Syara' telah memerintahkan dan mendorongnya sebagai-mana firman Allah:

" , (21 :)
Artinya "Dia telah menciptakan kamu dan bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertaubattah kepada-Nya".

( 90: ")
Artinya : "Dan mohonlah ampunan kepada Tuhanmu dan bertaubatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanmu Maha Penyayang lagi Maha Pengasih".

(52 :" )
Artinya : "Dan (dia berkata) : "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu, lalu bertaubatlah kepada-Nya". Hal ini juga telah disampaikan melalui Rasul-rasul terdahulu, menasehati kaumnya, menunjukkan ke jalan permaafan dari Allah dan keselamatan dari azab-Nya. Orang yang berdosa itu ada beberapa tingkat, ada yang mati di atas kekufuran, maka dia tidak ada harapan untuk dimaafkan-Nya:

(115 :" " )


Artinya : "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik". Orang-orang yang menyirikkan Allah mula-mula dianggaplebih kufur dari pada ahli kitab, namun semuanya terkenal dalam hukum ayat tersebut, oleh karenanya tidak

68

boleh diketahui terhadap orang yang mati kafir rakhmat kepadanya). Juga

( semoga Allah memberikan

( semoga Allah mengampuninya), dan tidak boleh pula disebut " ), Al-Marhum" atau "Al- Magfurulah" (yang
diampuni). Adapun orang-orang yang maksiat di kalangan kaum muslimin yang mati tanpa taubat, maka urusannya diserahkan kepada Allah, jika dia menghendaki maka diampunilah dia:

(48 :" " )


Artinya : "Dan diampuni selain dari pada dosa syirik bagi yang Dia kehendaki". Dan jika Dia menghendaki maka disiksalah dia, namun tidak kekal dan tidak dianggap rendah orang yang disiksa dalam api neraka, dan juga tidak dianggap enteng. Kalau saja api di dunia ini mendatangkan nikmat, tetapi tak seorangpun yang sanggup membawanya walaupun hanya sedetik, maka bagaimana diri kita disiksa dalam jahanam selama-lamanya? Adapun orang-orang yang bertaubat, Allah akan memberikan taubat karena karunia dan kemurahan-Nya. Inilah pemberian taubat bagi yang telah taubat. Adapun orang-orang yang bertaubat dan meningkatkan dirinya serta takut kepada Tuhannya sebelum melakukan dosa dan meninggalkannya karena Allah dan dibarengi dengan rasa senang dan condong kepadanya, maka dia mendapatkan pahala yang besar. Seperti seorang yang digoda oleh rayuan syaitan, menolak ajakan berbuat zina, padahal sudah dipersiapkan segala-galanya, kemudian ingat kepada Allah, lantas berpaling dari padanya, dan mengurungkan kemauannya, sedangkan nafsunya tertarik kepadanya: Siapa yang sanggup demikian selain dari Allah yang memberikan kekuatannya? Tidak ada seorangpun yang mengadakan eksperimen ini karena hal ini ibarat orang yang terkena penyakit yang sangat berbahaya, bila dia selamat, maka dia mempunyai kekebalan yang luar biasa, namun orang yang lolos dari pada ini bisa jadi hanya 1% sedangkan 99% adalah binasa. Ini ibarat penyakit fisik, adapun mencegah dosa tidak bisa diusahakan begitu saja; namun barangsiapa yang menghendaki keselamatan dari keburukan, maka hendaknya dia menjauhinya, dan harus diputuskan segala sebab, dan ditutup jalanjalannya, menghindari diri dari orang-orang yang suka berbuat dan yang mengajak kepada hal tersebut, karena kawan adalah penuntun, sedangkan orang itu berada di pihak yang menyenangkan. Orang dahulu mengatakan: "Katakan kepadaku, siapa yang menemaninya, niscaya dia bersamanya". Ingatlah tentang hal ini wahai pemuda dan mintalah pertolongan kepada Allah swt.

69

V SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TASAWUF Pada hakekatnya kehidupan rohaniah itu telah ada pada diri Rasul sebagai panutan umat; kesederhanaan hidup, menghindari bentuk-bentuk kemewahan sudah tampak sejak Islam mulai tumbuh, dimana Rasulullah saw. beserta shahabatnya hidup dalam kesederhanaan. Banyak hadits dan atsar yang menerangkan tentang kehidupan Rasulullah sebagai sumber pertama bagi kehidupan rohaniah. Sementara penults banyak yang mengkaitkan bahwa Tasawuf dalam Islam (Misticisme, Sufisme) tumbuh karena terpengaruh oleh ajaran luar Islam, antara lain: 1. Pengaruh dari ajaran agama Hindu; Seperti halnya praktek ibadah yang menyerupai semedi dan yoga. Juga aliran Pantheisme (Al-hulul/Tuhan menyatu dengan alam). 2. Pengaruh dari agama Persia; Pengaruh dari madzhab Manu dan Mazdak (ahura mazda) yakni Tuhan terang dan Tuhan gelap, (dualisme). Juga anggapan bahwa Tuhan menjelma kepada dewa-dewa. 3. Pengaruh dari ajaran agama Nasrani; Pengaruh dari ajaran Nabi Isa as. (Nasrani), seperti halnya hidup fakir, memakai pakaian sederhana (wool/bulu domba) serta tafakkur. 4. Pengaruh dari ajaran filsafat Yunani Seperti terdapat dalam tulisan di bawah candi Aleppo di Delphi yang selalu diamati oleh Socrates "Gnothi Southon" (kenalilah dirimu) Hal ini akhirnya menjadi semboyan yang sangat populer:

""
Artinya : "Barang siapa yang mengenal dirinya maka ia pasti mengenal Tuhannya ". 5. Pengaruh dari ajaran Neo Platonisme Emanasi, Nur Ilahi, NurMuhammad). Pengaruh teori Emanasi (Al-Faidh). Teori tentang pelimpahan wewenang dalam mewujudkan alam. Juga adanya Nur Ilahi yang kemudian menjelma teori Nur Muhammad sebagai cikal bakal alam ini. Sebenarnya tanpa terpengaruh dari luar, Islam sendiri mengandung kemungkinan akan tumbuh dengan sendirinya, mengingat bahwa sementara manusia bergelimang dalam kemewahan, sedangkan kaum sufi berusaha mengembalikan hidup pada zaman Rasululah yang sedemikian rupa. Di abad pertama orang Islam belum mengenal istilah Tasawuf dengan arti yang sebenarnya, hanya benih-benih sebagai dasar timbulnya dari sementara ta'biin telah menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki para sufi di saat timbulnya. Para Tabi'in sebagai perintis berusaha secara sendiri-sendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan tidak melepaskan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul sebagai pokok syari'at Islam. Dari usaha mereka yang tekun dalam bidang peribadatan, mereka terkenal dengan sebutan Nussak, yakni orang-orang yang menyediakan dirinya untuk

70

mengerjakan ibadah kepada Allah. Disamping istilah tersebut, terdapat pula istilah Zuhhad, yakni orang-orang yang menghindari dunia, kemegahan dan harta benda serta pangkat dan kedudukan. Ada pula istilah lain yang populer, mereka disebut Ubbad, yakni orang-orang yang berusaha mengabdikan diri hanya semata-mata kepada Allah swt. Dalam perjalanan kehidupan tasawuf yang masih embrio ini, terkenal seorang ulama tabi'in yaitu Hasan Al-Bishri, lahir 21 H/632 M. (Abu Said) meninggal 110 H. Orang yang terkenal sebagai pemegang teguh sunnah Rasul dalam menilai setiap masalah rohaniah, beliau berdasarkan pikirannya kepada rasa takut kepada Allah dan optimis atas kasih-Nya, sehingga dengan ini timbul keseimbangan dalam dirinya. Dengan istilah lain bahwa Hasan Al- Bishri dalam pegangan hidup rohaniyahnya berkisar kepada "Rasa takut dan penuh harap". Beberapa butir hikmat dari ajaran Hasan Al-Bishri ini antara lain: 1. Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik dari pada perasaan tentrammu, yang kemudian menimbulkan takut. 2. Dunia ialah negeri tempat beramal. Barangsiapa yang bertemu dengan dunia dalam rasa benci kepadanya dan zuhud, akan berbahagialah dia dan beralih faedah dalam persahabatan itu tetapi barangsiapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan perasaan tersangkut kepadanya akhirnya dia akan sengsara. Dia akan terbawa kepada sua-tu masa yang tidak dapat diterimanya. 3. Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannya, menyesali akan perbuatan jahat, membawa kepada meninggalkannya. Barang yang fana walaupun bagaimana banyaknya, tidaklah dapat menyamai barang yang baqa, walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari pada negeri yang cepat datang dan cepat pergi ini dan jangan tertipu. 4. Dunia ini adalah ibarat seorang perempuan janda tua telah bungkuk dan telah banyak mempermainkan laki-laki 5. Orang yang beriman berduka cita di pagi hari dan berduka cita di waktu sore, karena dia hidup di antara dua ketakutan, takut mengenang dosa yang telah lampau, apakah se-rangan balasan yang akan ditimpakan Tuhan. Dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal, dan tahu bahaya apakah yang sedang mengancam. 6. Patutlah orang insyaf bahwa mati sedang mengancamnya, dan kiamat menagih janjinya, dan dia mesti berdiri di hadapan Allah akan dihitung. 7. Banyak duka cita di dunia mempertegas semangat amal sholeh. Para ahli sejarah bersepakat bahwa mulai terkenalnya istilah tasawuf itu baru mulai pada abad kedua hijriyah, ketika mereka berusaha meluruskan jalan menuju Ilahi dan takut kepada-Nya, dimana pada saat itu para pemegang kekuasaan berada dalam glamornya kemewahan hidup, bahkan ada sementara khalifah yang pemabuk dan melanggar aturan-aturan agama serta bentuk-bentuk maksiat lainnya. Sebagian mereka berusaha mendekatkan diri ke hadirat Allah swt. dengan melakukan dzikir, baik itu dilakukan secara jahr (bersuara) maupun secara sirri; ada pula diantara mereka yang berusaha membikin terminal-terminal dalam usaha mendekatkan diri tersebut, seperti

71

halnya mereka menjadikan pos pertamanya mulai dari zuhud, dan seterusnya. Di lain pihak mereka banyak membaca Al-Qur'an sebagai cara ibadah kepada Allah, di samping ada pula yang melakukan shalat sunnah sehingga seolah- olah waktunya habis untuk shalat, apalagi di malam hari, di saat orang-orang lain sedang tidur dengan nyeyaknya. Bahkan ada sementara mereka yang kaya. menginfakkan harta kekayaannya ke jalan Allah demi pendekatan dirinya keharibaan Allah swt. Orang-orang yang selalu mendekatkan diri dengan segala cara tersebut, pada saat timbulnya, dikenal dengan sebutan ahli tasawuf atau sufi, sedangkan mereka mendapatkan faedah ilmu tersebut, mereka langsung mendapatkan bimbingan dari guru mereka dengan cara-cara menghafal, meyimpulkan dan menuliskan pelajarannya. Buku-buku yang mengandung benih-benih ajaran tasawuf terdapat dalam tulisan-tulisan sastra yang disusun oleh para sastrawan, antara lain oleh Al-Jahidz dalam bukunya Al-Bayan wat Tabyin, Al- Mabarrad dalam bukunya Al-Kamil, Ibnu Qutaibah dalam bukunya Al- Ma'arif dan Ibnu Abdi Rabbih dalam bukunya Al-QaululFaried Sedangkan buku-buku yang sudah berisikan ajaran tasawuf adalah buku yang disusun oleh Abi Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi wafat tahun 242 H, dengan titel bukunya: Ar-Ri'ayah li Huquqillah. Beliau sebagai ulama, menjadi gurunya orang Baghdad. Beliau semasa dengan Imam Ibnu Hanbal, hanya dalam cara berfikir terdapat simpang jalan yang berbeda, yakni bahwa Al-Muhasibi mengibarkan bendera tasawuf, sedangkan Ibnu Hambal selalu berpegang kepada sunnah Rasul. Semula Ibnu Hambal tidak setuju atas pendapat Al-Muhasibi, namun setelah diadakan pendekatan, maka terdapatlah penyesuaian dan adanya saling pengertian, dimana berbedanya hanya terletak kepada metode dan materinya tidak ada prinsip yang berbeda. Salah satu sumber, yang disampaikan oleh Syekh Zuruq dalam bukunya Qawaid-Attashawuf, Imam Malik menyampaikan ungkapan:

" , ",
Artinya : "Barang siapa yang berilmu fiqih tanpa tasawuf, maka dia adalah fasik, dan barangsiapa bertasawuf dan tidak berilmu fiqih , dia adalah kafir zindiq, dan barangsiapa yang menggabungkan keduanya maka itulah yang benar". Dengan perkataan ini, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa pada waktu itu ada sementara orang hanya berpegang kepada lahiriyah agama saja, sedangkan yang lain berpegang hanya kepada isi belaka, sehingga terjadi ketegangan- ketegangan di antara mereka, padahal kedua-duanya dalam posisi yang kurang menguntungkan. Menurut kata-kata di atas, maka yang paling sesuai adalah, dia berpegang kepada nash serta amalan lahiriyah, dan tahu isi kandungan yang tersiratnya sebagai akhlak dan adabnya. Inilah yang diharapkan Imam Malik dalam ungkapannya. Di kalangan kaum wanita terkenal sebagai bintangnya adalah Rabi'atul-'Adawiyah meninggal 185 H. (796 M) yang mendasarkan tasawufnya kepada "Cinta." Kata-katanya yang terkenal adalah sebagai berikut: "Aku menyembah Allah

72

bukan kerana takut kepada neraka-Nya, dan bukan karena ingin surga-Nya, sehingga perangaiku tak ubah seperti seorang penerima upah yang jahat, tapi aku menyembah kepada-Nya hanya karena cin-ta dan rindu yang tak habis-habisnya". Syair cinta yang dikemukakan Rabi'atul-Adawiyah adalah sebagai berikut :

Artinya : "Aku cinta pada-Mu, dua macam cinta, cinta rindu. Dan cinta karena Engkau berhak menerima cintaku. Adapun cinta karena Engkau, Hanya Engkau yang kukenang tiada yang lain. Adapun cinta, karena berhak menerimanya, Agar Engkau buka bagiku hijab, supaya aku dapat melihat Engkau. Pujian aias dua perkara itu bukanlah bagiku. Pujian atas dua perkara itu adalah bagi-Mu sendiri. Menurut Abu Thalib Al-Makki bahwa dimaksud dengan "hubul-hawa" adalah bahwa aku melihat-Mu, sehingga aku jatuh cinta pada-Mu, karena menyaksikan secara yakin, bukan karena berita, pendengaran dan pentasdikan diri jalan ni'mat dan ihsan, sehingga berubahlah cintaku apabila ada perubahan tingkah laku karena simpangsiurnya hal tersebut bagi diriku. Namun cintaku atas dasar kenyataan. Oleh karenanya aku mendekati-Mu. Adapun "Hubban li annaka ahlu li dzaka" (cinta kedua) ialah bahwa Tuhan ahli cinta, yakni cinta kebesaran dan keagungan, karena wajah-Nya Maha besar dan Maha agung. Lebih jelas lagi Al-Ghazali menginterpretasikan sebagai berikut: "Barangkali apa yang dimaksud dengan "Hubul hawa" adalah cinta kepada Allah karena kebaikan dan ni'mat-Nya yang diberikan kepadanya di dunia ini. Cinta yang kedua adalah karena kecantikan/keindahan dan keagungan-Nya yang telah menyingkapkan tabir baginya. Inilah cinta yang tertinggi dan terkuat. Cinta inilah yang timbul karena merasakan keindahan-Nya (sebagai dzat Tuhan). Hal inilah yang pernah disabdakan Rasul yamg artinya: "Aku sediakan bagi hamba-Ku yang saleh sesuatu yang belum pernah dilihat oleh matanya, yang belum pernah didengar telinganya dan belum tergores dalam hatinya sedikitpun".

73

Masa tabi'in ini banyak pula tokoh-tokoh lain seperti Sufyan Ats-Tsauri yang mendapat gelar Amiril-Mu'minin dalam hal hadits. Begitu pula Rabi' bin Khaitsam, Jabir bin Hayyan, Kulaib As- Sidawi, Manshur bin Ammar, Malik bin Dinar, Al-Fadl Ar-Ragassi, Almurri, Abdul Wahid bin Zaid di Basrah, Ibrahim bin Adham wafat 162 H. dan Syaqiq Al-Balakhi wafat di Khurasan. Di abad ketiga pada umumnya melanjutkan apa yang ada pada abad ke dua, hanya di sana-sini ditambah seperti halnya "Cinta"-nya Rabi'ah ditambah oleh Ma'ruf Al-Karakhi (wafat 200 H.) dengan thuma'ninah (ketentraman jiwa). Di abad ini terkenal nama-nama seperti Dzinnun (wafat 245 H.) yang merupakan tokoh utama di abad ketiga ini. Beliau banyak menambah cara bagaimana manusia dapat lebih mendekatkan diri ke hadirat Allah swt. dan tujuan hidup bagi beliau adalah mencari kecintaan Allah, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut berpaling jalan. Tokoh berikutnya adalah Taifur Abu Yazid Al-Busthami, beliau berpegang kepada syara', namun kadang-kadang terdapat dalam ungkapannya kata-kata yang ganjil, sehingga apabila tidak difahami dengan sungguh-sungguh, maka akan dapat menyesatkan, beliau yang mula-mula menumbuhkan benih al-Hulul (pantheisme) yang kemudian dikembangkan oleh Al-Hallaj, juga membawa ajaran fana dan baqa' dalam tasawuf, begitu pula ajaran sathahat, sakar dan 'isyqnya. Yahya bin Mu'adz, salah seorang bintang terkenal pada masanya, beliau berpegang kepada cinta Rabiah, cinta hakiki, Zuhud menurut beliau ditegakkan atas tiga dasar, yakni: sedikit barang yang dipunyai, berkhalwat dan merenung serta tafakkur seorang diri, dan selanjutnya al-Ju' yakni melaparkan diri dengan tidak banyak- banyak makan. Al-Junaid terkenal sebagai pembela kawan-kawannya dan sufiyah, terkenal sebagai orang yang berpegang teguh kepada syara' serta banyak melakukan shalat; walaupun pekerjaan sehari-harinya berdagang, tetapi beliau tidak luput dari tasbih yang selalu melilit di tangannya. Usaha dalam mengembangkan tasawuf ini berlanjut, dan setelah Al-Junaid disambung oleh Abubakar As-Syibli, dan beliau semasa dengan Abu Muhammad Abdillah Al-Murta'asyi dan Al-Khuldi. Di ujung abad ketiga dan memasuki abad keempat, baru bermunculan apa yang kita kenal dengan tharekat, yaitu sistem pelajaran yang diterima dari seorang guru kepada murid-muridnya. Pelajaran tersebut diberikan oleh seorang syekh atau mursyid untuk meningkatkan diri sedikit demi sedikit dari taraf yang sederhana dalam latihanlatihan hingga mencapai jenjang yang tertinggi menurut mereka. Dalam sistem tarekat ini terkenallah apa yang disebut tarekat At-Taifuriyah yang dibangsakan kepada Abu Yazid Al-Busthami; As-Siqthiyah yang dibangsakan dari Sirri Siqthi; Al-Kharraziyah dinisbatkan kepada Sa'id Al-Kharraz; An-Nawariyah yang dinisbatkan kepada Abu Husain An-Nawari, Mulamatiyah yang dinisbatkan kepada Hamdun Al-Qasshar. Pada masa ini mulai berkembang ajaran ilmu lahir dan ilmu bathin, dan diajarkannya tentang istilah syari'at, thariqat, haqiqat dan ma'rifat.

74

Di tengah-tengah ketenaran ahli tasawuf, muncullah seorang ahli yang mempunyai corak baru yaitu Al-Hallaj yang mengembangkan ajaran Al-Hulul yang dirintis oleh Al-Bustami. Pokok ajarannya berkisar dalam: 1. Ketuhanan dengan Al-Halul, yakni bahwa Tuhan itu menempat (menempat, menjelma) dalam diri manusia. 2. Kenabian dengan Al-Haqiqatul-Muhammadiyah (nurun-Nubuwwah), yakni bahwa sesuatu yang wujud itu diciptakan melalui (dari) nur Muhammad saw. 3. Persatuan antar agama. Di abad empat ini ada beberapa ahli tasawuf yang meninggalkan karya tulusnya yaitu seperti Al-Kalabadzi dengan bukunya At-Ta'arruf li Madzahibi ahlit-Tasawuf, dan Abi Thalib Al-Makki dengan bukunya Qutul-Qulub. Di antara dua tokoh tersebut ada persamaan metode yakni kedua-duanya berpegang kepada syari'at dan hakikat; yang dimaksud dengan syari'at di sini adalah berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul sedangkan yang dimaksud dengan hakikat adalah mendapatkan ilmu yang bersifat lahiriyah dan bathiniyah. Pada masa itu terdapat pula seorang ahli Assaraj yang nama lengkapnya adalah Abu Nashr Abdullah bin Ali Assaraj, Al-Thusi di gelari dengan nama Thawas Al-Fuqara (w.378 h) bukunya yang terkanal Al-Rumi. Di akhir abad keempat ini terdapat seorang yang meninggalkan buah penanya yaitu Abil-Qasim Abdil Karim bin Hawazin Al-Qusyairi dengan bukunya Ar-RisalatulQusyairiyah. Beliau sebagai ulama yang menjadi panutan dalam segi agama dan sangat menonjol penguasaannya dalam segi bahasa. Beliau semasa dengan Abu Ali AdDaqqaq seorang sufi yang terkenal pada masa itu. Al-Qusyairi mempunyai cara tersendiri dalam mendekatkan diri ke hadirat Allah swt., namun tidak menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, beliau selalu mengajak ke jalan salaf dan menjaga agama dengan sebenar-benarnya, beliau meragukan terhadap sementara ahli tasawuf yang dibarengi dengan sathahat, yakni kata-kata yang dikeluarkan oleh sufi dalam keadaan fana yang tidak jelas dan ganjil Di abad kelima datanglah Al-Ghazali membawa iklim baru dalam dunia tasawuf, yakni meramu antara tasawuf, syari'at dan filsafat; beliau berusaha mengaburkan batas antara tiga materi tersebut, sehingga tidak bisa dipisahkan mana pikirannya yang bercorak tasawuf, syari'at dan filsafat. Menurut Al-Ghazali bahwa tasawuf yang benar adalah merupakan jalan yang benar untuk menuju ke arah iman yang benar dan amal yang baik, sehingga dia dapat memerangi dirinya sendiri untuk meninggalkan adat dan melawan kesenangan, lari dengan agamanya ke Padang belantara dengan menyembunyikan diri, mengeringkan air mata, berusaha menuntut kerelaan Allah swt. Al- Ghazali semasa hidupnya telah mengorbit ke seluruh penjuru dunia dengan karyanya yang terkenal ialah Ihya Ulu muddin. Di abad berikutnya datanglah As-Sahrawardi dengan bukunya Al-'Awariful Ma'arif, dimana alam pikirannya dianggap kurang sesuai dengan pendapat umum, karena dianggap kadang-kadang tidak menyentuh sama sekali dengan inti agama. Yang semasa dengan As-Sahrawardi antara lain adalah Abdurahman Al-Qana'i, Abul-Hajjaj Al-Aqshari dan Abil Hasan Ad-Syadzeli.

75

Di belahan dunia barat Islami terdapat pula seorang yang dibesarkan dalam dunia timur, seorang tenar dalam dunia tasawuf, yakni Ibnu 'Arabi kelahiran Andalusia (Spayol sekarang), beliau mempunyai corak tersendiri dalam pikirannya, beliau mencampuradukkan tasawufnya dengan filsafat, mengarahkan fikirannya ke Wihdatul Wujud (pantaisme) yakni bahwa Tuhan itu bersatu dengan alam ini. Dengan corak yang sama muncul pula orang yang terkenal dengan sebutan Ibnu Sab'in Muhammad Abdul-Haq, beliau kelahiran Mercia (Spayol). Di abad keenam tumbuh suburlah apa yang dinamakan tarekat-tarekat yang merupakan metode dalam pendekatan diri kepada Allah swt. dengan wiridan-wiridan tertentu yang dipimpin oleh seorang syekh atau mursyid, dengan "menghadirkan" guru dalam hati murid masing-masing. Terekat yang berkembang luas antara lain adalah tarekat Qadiriyah yang dibangsakan (dinisbatkan) kepada Syekh Abdul Kadir Jaelani, Rifaiyah dinisbatkan kepada Ahmad bin Abil-Hasan Ar Rifa'i, As-Sahrawardiyah dibangsakan kepada AbilHafidl Umar As- Sahrawardi; Syadzaeliyah dibangsakan kepada Abil-Hasan Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzaeli, Maulawiyah yang dinisbatkan kepada Maulana Jalaluddin Ar-Rumi di Persia dan Badawiyah yang dinisbatkan kepada Abil Abbas Muhammad Al-Badawi dari Mesir. Setelah abad ketujuh sampai sekarang di dunia tasawuf tidak ada lagi yang muncul sebagai pikiran baru, walaupun ada tokoh seperti Abdul Karim Al-Jaili dengan bukunya Insanul-Kamil, juga Abdul Wahhab As-Sya'rani, dan Abdul-Gani An-Nablusi di abad keduabelas. Mereka pada umumnya hanya mengulas dan memperindah serta mengikuti jejak Ibnu Arabi dan Jalaluddin Ar-Rumi.

76

VI TASAWUF MENURUT PANDANGAN ISLAM Sebagaimana telah dimaklumi bahwa barometer tingkah laku dan ahwal yang diperbuat oleh seorang muslim adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasul sebagai sumber syari'at, hukum, aqi-dah, petunjuk, dan sebagai ukuran dari segala tuntunan bathin untuk mencapai maghfirah Allah. Dari sejak perkembangan Islam mencapai ke Romawi dan Persia di abad pertama, telah banyak bersentuhan dengan kebudayaan kuno yang sudah mengendap lama di dua jagad itu, dan dalam tindak lanjutnya Islam pun memberi corak perkembangan dua kebudayaan tersebut. Umat Islam pada saat perkembangannya telah berkenalan dengan berbagai buah pikiran dari berbagai penjuru dunia yang telah mewarnai peralihannya. Tidak diingkari bahwa dalam masa keemasaan Islam telah menaklukkan daerah timur dan barat yang sekaligus para penguasa pemerintahan Islam telah mewarisi singasana dan adat istiadat daerah taklukan tersebut, sehingga setiap kepala pemerintahan atau penguasa yang disebut kalifah hidup dalam glamur keduniaan yang sama sekali berbeda dengan kehidupan pada masa Rasullah saw. Sementara di lain pihak ingin mempertahankan kehidupan yang sederhana sebagaimana tuntunan Rasul, dan orang-orang yang tekun memelihara norma-norma kehidupan Rasul itu tidak setuju dengan kehidupan yang berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh para kalifah pada saat itu; mereka tekun memelihara kemurnian agamanya, mereka inilah yang disebut sebagai Zuhhad, Ubbad dan Nussak. Di situasi lain terdapat pula bahwa antara fuqaha dengan zuhhad, yang selanjutnya dikenal sebagai sufiyah, kurang harmonis dalam hubungan kedua belah pihak, yang satu menuduh bahwa fuguha mengetahui agama hanya kulitnya saja, bahkan mereka dituduh sebagai orang-orang yang fasik, yang telah menjual fatwanya untuk dunia, sedangkan dari fihak lain mengecam pula bahwa sufiyah adalah zindiq, suatu tuduhan yang sangat berbahaya pada sa'at itu. Telah banyak pengalaman sejarah yang dilalui dalam perintisan tasawuf ini, ada yang berpegang kepada Khauf dan Raja', ada yang bergelimang dalam cinta, ada yang meramu dengan filsafat, Al- Hulul, Widhadatul Wujud dan lain-lainnya. Al-Ghazali sebagai salah seorang tokoh Ahlussunnah, sebagai orang Asy'ari,' sebagai orang Syafe'i, dalam dunia tasawuf karena dunianya, tak sedikitpun mencela ajaran ataupun kepada orangnya, walaupun banyak koreksi yang beliau lakukan. Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul-Qayim, sangat tajam mengoreksi dan menentang Sufiyah, sehingga seolah-olah dapat dipukul rata bahwa mereka adalah orang-orang tersesat, dan bahkan ada yang digolongkan kepada kafir, sebagaimana AlGhazali memukul rata kepada para filosof. Dalam menanggapi pendapat Ibnu Arabi para ahli fiqih dan ahli hadits ada yang pro dan ada yang kontra. Pendapat yang kontra adalah disampaikan Ibnu Taimiyah dan kawan-kawannya, sedangkan pihak yang pro adalah As-Suyuthi dan kawan-kawan.

77

Setelah meninjau sekilas lintas apa yang telah terurai di atas, dapat kita ambil konkolusi tentang pendapat Islam terhadap tasawuf dengan segala corak dan ragamnya, walaupun apa yang dirumuskan ini tidak mutlak sependapat dengan orang lain. Persoalan yang berkait dengan ini dapat kita kembalikan kepada: 1. Pokok pertama kita tinjau dari segi Al-Qur'an, dimana sebenarnya banyak ayat yang mungkin bagi mereka menjadi pegangan yang kuat. 2. Pokok kedua yakni Sunnah Rasul sebagai interpretasi langsung dari Al-Qur'an yang diterjemahkan dalam tingkah laku Rasul sebagai panutan ummat yang dengan itu dapat diukur sejauh mana ummat berpegang dan sejauh mana umat menyimpang. Dengan ukuran ini dapat kita ringkaskan bahwa selagi tasawuf itu berpegang dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah dalam aqidah bisa jadi masih dapat dipertanggungjawabkan, namun kalau sudah menyimpang dari sendi-sendi pokok tersebut, maka itu tidak bisa dibenarkan; kalau tidak dihukumi kafir, maka minimal adalah tersesat. Walaupun bagaimana corak pendapat mereka, namun mereka telah menyemarakkan khazanah Islam dalam berbagai seginya, sehingga harapan kita semoga Allah Yang Maha Kasih mengampuni kepada mereka dan kepada kita, toh hanya Allah Yang Maha Penilai dan Maha Bijaksana dalam penilaian-Nya.

78

VII TOKOH DAN ALIRAN TASAWUF Al-Kalabatzi dalam bukunya At-Ta'arruf telah memasukkan para tokoh setelah shahabat yang berorientasi kepada kesederhanaan hidup, antara lain: Ah bin Husain Zainal Abidin, lahir 38, yang dikenal sebagai Ali kecil, karena menggantikan Ali besar yang mati terbunuh, begitu pula termasuk dalam deretan tokoh tasawuf ini adalah anak Ali yakni Muhammad bin Ah Al-Baqir (75-115 H) , begitu pula anaknya Ja'far bin Muhammad As-Shadiq, (83-148 H), setelah memasukkan Ali Karramallahu Wajhah, Hasan dan Husain ra. Uwaisul-Qarni, salah seorang Zuhhad Tabi'in dia terkenal karena pengabdian terhadap ibunya, yang muncul sekali atau dua kali dalam setahun. Haram bin Hayyan, salah seorang pembesar tabi'in. Menurut As Sya'rani, bahwa dia pernah menyampaikan kata-kata mutiaranya: "Orang yang berbicara kalau dia melewatinya maka akan terjadi pertengkaran, kalau dia terjun ke dalamnya, maka berdosalah dia". Hasan bin Abil-Hasan Al-Bishri, tokoh ahli Bashrah, dia melemparkan mutiara katanya: "Seburuk-buruknya manusia adalah orang yang mempunyai mayit, dan dia menangisinya, namun dia tidak mudah (terpanggil) melakukan agamanya". Abu Hazim Salamah bin Dinar, salah seorang pembesar Tabi'in, dia telah mengkompergensikan antara syari'at dengan hakikat, dari kata-katanya yang terkenal adalah: "Aku dulu mendapatkan ulama, bahwa umara dan para sultan datang kepadanya, bersimpuh di hadapan pintu rumahnya, ibarat seorang hamba sahaya, namun aku melihat sekarang bahwa para fuquha dan ubbad mendatangi umara dan aghnia (orang-orang kaya) ketika itu mereka (umara dan aghnia) melihat fuqaha dengan kecut dan menghinakan". Abu Yahya Malik bin Dinar, seorang Tabi'in terkenal, salah satu perkataannya adalah: "Salah satu tanda bahwa orang itu mencintai dunia adalah hidup selalu santai, sedikit kepintarannya, cita- citanya hanya perut dan farjinya, dia mengatakan: Kapan datangnya pagi, aku akan bermain-main dan bermain, makan dan minum hingga datang waktu sore, kemudian aku akan tidur dengan nyeyak sampai menjelang siang". Abdul-Wahid bin Zaid, seorang yang berguru kepada Hasan Al-Bishri, dia terkenal sebagai seorang yang bershalat subuh dengan memakai whudhu Isya selama empat puluh tahun, kata-katanya yang terkenal adalah: "Seorang mu'min itu ibarat seorang bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya, dia tidak suka keluar, namun apabila telah keluar maka dia tidak suka untuk kembali". Utbah Al-Ghulam, dikatakan Ghulam bukan karena kecilnya, namun dia sejak kecil beribadat, ibarat seorang pendeta yang sungguh- sungguh. Abu Ishak, Ibrahim bin Adham bin Manshur bin Yazid bin Jabir At- Tamimi Al-ljli. Dia seorang yang terkenal kezuhudannya di kawasan Balkh, orang yang cerdas lagi berani sebagaimana yang diceritakan oleh Mahmud bin Kunasah Al-Kufi keponakannya (anak saudara perempuannya). Wafat tahun 160 M. Pokok ajaran

79

tasawufnya adalah: Berpaling dari barang-barang dunia dan melatih jiwa, dengan itu akan mendapatkan ketentraman hati dan kebahagiaan dengan tidak susah payah. Dia adalah seorang anak raja, pada suatu ketika dia keluar untuk berburu, kemudian menemui seekor rusa atau kelinci yang sedang di cari, kemudian ada suara entah dari mana datangnya memanggil: "Hai Ibrahim! Apakah karena ini kamu diciptakan? atau dengan ini kamu diperintahkan? Demi Allah, kamu diciptakan bukan untuk ini dan juga bukan untuk ini kamu diperintahkan". Kemudian dia turun dari kendaraannya lantas diberikannya kendaraan itu kepada tukang kebun ayahnya yang ada disana, kemudian minta tukar pakaian dengan si tukang kebun, diambilnya pakaian tukang kebun yang terbikin dari "bulu domba" (wool kasar), kemudian dia pergi mengembara, sampailah dia ke Makkah dan selanjutnya menemui Sufyan As-Tsauri dan Fudhail bin 'lyadh. Kemudian dia pergi ke negeri Syam dan dia meninggal di sana. Kata-katanya yang terkenal adalah: "Perbaikilah makanmu, niscaya tidak sukar bagimu untuk bangun malam, dan tidak sukar untuk berpuasa di siang hari". Kata-kata mutiaranya tentang faqar:

. : . / "
Artinya: Fakir adalah simpanan di langit yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh. Salah satu tanda orang yang arif kepada Allah adalah ia sangat besar kemauannya untuk berbuat kebajikan dan ibadah, dan kebanyakan kata-katanya adalah sanjungan dan pujian. Ketahuilah, sesungguhnya kamu tidak sampai ke derajat shalihin sehingga kamu meliwati enam tanjakan-Pertama, kau kunci pintu nikmat (kesenangan) dan kau buka pintu kesengsaraan. Kedua, kau kunci pintu kemegahan dan kau buka pintu kehinaan. Ketiga, kau kunci pintu istirahat dan kau buka pintu kesungguhan. Keempat, kau kunci pintu tidur dan kau buka pintu jaga. Kelima, kau tutup pintu kekayaan dan kau buka pintu kefakiran. Keenam, kau kunci pintu anganangan dan kau buka pintu persiapan untuk mati." Salah satu do'anya adalah:

"
80

"Ya Allah, pindahkanlah aku dari kehinaan (karena) ma'siat (kepada-Mu, kepada keagungan (karena) ta'at (kepada)-Mu". Al-Fudhail bin lyadh dan putranya 'Ali bin Fudhail, keduanya terkenal karena zuhudnya. Dawud At-Tha'i, terkenal sebagai Amiril-Mu'minin dalam ilmu hadits dan terkenal sebagai orang yang banyak beribadat dan zuhudnya. Kata-kata mutiaranya: "Manakala ulama itu bi nasa, maka sukarlah diperbaikinya, dan binasanya ulama itu adalah kecondongannya kepada dunia". Sufyan bin Sa'd dan Sufyan bin 'Uyainah, Abu Sulaiman dan anaknya Sulaiman, Ahmad bin Al-Hawari Ad-Damsyiqi, begitu pula Abdul Faidh Dzinnun bin Ibrahim Al-Mishri, mereka terkenal dengan zuhud, wara' dan tingkah laku serta adabnya, juga adiknya Dzulkifli terkenal sebagai orang yang terkemuka. Dzinnun wafat 245 H. As-Sirri bin Al-Mughiis As-Shiqthi, sebagai paman dan guru Al- Junaid, dia sekawan dengan Ma'ruf Al-Karakhi, dia terkenal wara'nya, mengikuti sunnah, mendalam ilmu tauhid-nya, dialah orang yang mula-mula membicarakan ini semua di Baghdad. Beliau wafat tahun 251 H. Bisyr Al-Harits Al-Hafi, seorang yang alim, wara', sangat besar pengaruhnya, kata-kata mutiaranya: "Nanti akan datang suatu masa, dimana kekuasaan dipegang oleh orang bodoh, dan menghinakan kepada orang yang pandai dan para pembesar". Wafat tahun 227 H. Ma'ruf Al-Karakhi, Abu Sa'id bin Fairuz, salah seorang yang terkenal kezuhudan, wara' dan fatwanya. Kata-kata hikmatnya adalah: "Manakala Allah menghendaki kebaikan terhadap seorang hamba, maka Allah pasti akan membuka pintu amal dan kuncinya pintu jadal (pertengkaran)". Wafat tahun 200 H. Disamping mereka yang telah disebutkan di atas, banyak lagi yang terkenal seperti Abu Hudzaifah Al-Mar'asyi, Muhammad (Abdullah) Al-Mubarak As-Shuri dan Yusuf bin Asbath, Ra-himahullah Di daerah Khurasan terdapat pula tokoh-tokoh: Abu Yazid, Thaifur bin Isa Surwasyam Al-Busthami (874 M./261 H), Abu Hafsah Al-Hadad An-Naisaburi, Ahmad bin Al-Hadhrawaih Al- Balakhi, Sahl bin Abdullah At Tustury (818 -899 M), Yusuf bin Husain Ar-Razi, Abu Bakar bin Thahir Al-Abhari, 'Ah' bin Sahl bin AlAzhar Al-Isfihani, Ah bin Muhammad Al-Baruzi, Abu Bakar bin Al-Kinani AdDainuri, Abu Muhammad bin Al-Hasan bin Muhammad Ar-Ruhani, Al-'Abbas bin AlFadhl bin Qutaibah bin Manshur Ad- Dainuri, Kahmas bin Ah Al-Hamdani, Al-Hasan bin 'Ah bin Bazdanbar, Radhiy-allahu'anhum. Tokoh-tokoh yang bergerak dalam penyebaran ajarannya baik dengan tulisan ataupun risalah yang berupa ilmu isyarat adalah antara lain: Al-Khazzar Al-Qawariwi. Abil-Qasim Al-Junaid bin Muhammad bin Al-Junaid Al-Baghdadi, dia seorang zahid yang terkenal di lingkungan keluarga Nahawana, kemenakan (anak dari adik perempuan) Assirry Siqhti, Dibesarkan di Irak, dia terkenal sebagai penganut madzhab Abu Tsaur murid Asy Syafe'i dalam fiqih, kemudian dia terjun ke dalam dunia tasawuf sehingga mendapatkan tempat yang terhormat dalam bidang ini, berhaji 30 kali lebih, ia

81

selalu membawa tasbih, ketika ditanya oleh salah seorang pengagumnya, ia menyatakan: "Dengan cara ini saya sampai kepada Tuhanku dan aku tidak akan melepaskannya". Pandangannya tentang ilmu kalam, bahwa ma'rifat kepada Allah itu dengan melalui teori akal. Pengikutnya menamakan diri mereka dengan Al-Junaedi. Dari salah satu kata mutiaranya adalah: "Sesungguhnya Allah akan membersihkan hati seseorang, sepanjang kebersihan hati dalam berdzikir kepada-Nya, oleh karena itu lihatlah apa yang mencampuri hatimu". Wafat tahun 297 H. (910 M.). di-makamkan di Sumisiyah di samping pamannya. Abu Husain Ahmad Ibnu Muhammad bin Abdis-Shamad An-Nuri yang dikenal dengan sebutan Ibnu Baghawai, ketika ditanya tentang tasawuf, dia menjawab: Bahwa tasawuf bukan-lah tulisan-tulisan resmi, bukan pula ilmu-ilmu (teoritis) namun ia adalah akhlaq. Wafat 295 H. Abu Sa'id Ahmad bin Isa Al-Kharraz, dia penduduk Baghdad, semasa dengan Dzinnun Al-Mishri dan Sirri As-Siqthi, dia sebagai guru Al- Harits dan lain-lain. Dikatakan, bahwa dia adalah seorang yang mula- mula membicarakan pengetahuan tentang "Fana" dan "Baqa". Dalam memberikan arti kebaikan dia menyampaikan: Hati tertarik kepada dzat yang lebih baik dari padanya, dan sangat mengherankan adanya orang yang tidak melihat kebaikan, selain Allah. Mengapa tidak condong ke-seluruhan kepada-Nya?". Wafat 279 H. Abu Muhammad Ruwaim bin Ahmad, penduduk Bagdad, salah seorang tokoh, dia sebagai ahli fiqih bagi madzhab Dawud Al-Asfihani. Ketika ditanya tentang fatwa dia mengatakan: Bahwa kamu berkeberatan terhadap saudaramu dalam keadaan tergelincir, dan kamu tidak bergaul dengan mereka karena butuh keberatannya. Wafat 303 H. Abu 'Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin 'Atho, dia sebagai salah seorang tokoh dan guru tasawuf, dia pernah bersama-sama Al-Junaid dan lain-lainnya. Komentar dari Abu Sa'id Al-Kharaz tentang perkataannya yakni bahwa tasawuf adalah akhlak; aku tidak melihat yang paling ahli dalam hal ini kecuali Al-Junaid dan Ibnu 'Atho. Salah satu untaian kata-kata mutiaranya adalah: "Bawalah hatimu ke majlis orang yang berdzikir, mudah-mudahan ingat dari kelalaianmu, dan takutlah kamu tentang kehadiranmu ketika orang-orang berdzikir, kamu tidak berdzikir beserta mereka, sehingga kamu merasa terkutuk". Wafat 309 H. Abu Abdullah Amr bin 'Utsman Al-Makki, dia sekawan dengan Al-Junaid dan bertemu dengan Al-Jazzaz dan guru-guru lainnya. Dia termasuk tokoh dalam Ilmu Ushul dan Tarekat, meriwayatkan hadits dari Bukhari dan lain-lainnya. Dia pernah melihat Al- Hallaj sedang menulis, dia bertanya: Apa yang anda tulis? Dia menjawab. Mau menentang Al-Qur'an, dan dia mengajaknya; kemudian dia terkena racun dari makanan. Kata-kata yang terkenal dari Al-Makki ini adalah: "Setiap apa yang menjadi keraguan dalam hatimu atau merintangi jalan pikiranmu, atau kehawatiran dalam pertentangan hatimu dari kebaikan, kehebatan, kelembutan, terang benderang, kebesaran, pribadi atau hayal, maka Allah lain dari pada itu, Dia lebih perkasa, lebih Agung dan lebih Besar". Wafat 291 H.

82

Terdapat pula tokoh yang hampir terdapat kekeliruan karena nama dan ketenarannya, yaitu Abu Ya'qub, Yusuf bin Hamdan As-Susi dan Abu Ya'qub Ishaq bin Muhammad bin Ayub As-Syarzuri, mereka kawan seangkatan dengan Al-Junaid dan 'Amr Al-Makki. Abu Muhammad Al-Hasan bin Muhammad Al-Jariri, salah seorang sahabat AlJunaid dan menemui (berguru kepada) Sahl bin Abdullah At-Tusturi, dia terkenal dengan kesempurnaan tingkah lakunya dan kesehatan ilmunya. Kata-kata mutiaranya adalah: "Sesuatu yang menjadi bukti adanya Allah ada tiga, pertama kerajaannya yang lahir, kedua memikirkan dalam kerajaannya, lantas yang ketiga, mengatakannya sesuai dengan segala sesuatu yang ada". Wafat 311 H. Abu Abdullah Muhammad Ibnu 'Ali Al-Kattani, wafat 291 H. Abu Ishak Ibrahim bin Ahmad Al-Kawas, wafat 291 H. Abu 'Ah' Al-Auraji. Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Wasithi. Abu Abdullah Al-Hasyimi Abu Abdullah Kaikal A-Quraisyi Abu 'Ali Ar-Rudzbari Abu Bakar Al-Qahthi Abu Bakar As-Syibli, Radhiyallahu 'Anhum. Tokoh-tokoh yang bergerak dalam bidang mu'amalat adalah: Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad, kelahiran Baghdad dan dibesarkan di sana. Dia bersama-sama Al-Junaid dan lain-lainnya, dia sebagai faqih dari madzhab Imam Malik, manakala datang bulan Ramadhan, maka dia menambah ke-sungguhan dan ketangkasannya, dan dia berkata: "Inilah bulan yang diagungkan oleh Tuhan-ku", dia wafat 234 H. Abu Abdullah Ahmad bin 'Ashim, Abu Muhammad dan Abu Abdullah keduanya dari Anthiokiyah. Abu Abdullah ini terkenal dengan sebutan Ar-Rasibi, dia penduduk Baghdad, dan kawan-nya adalah Abdul-Abbas bin Atho dan Al-Hariri, dia melawat ke negeri Syam dan kemudian kembali. Salah satu ungkapan kata-kata mutiaranya adalah: "Penghalang yang paling besar antara kamu dengan Tuhan adalah karena kesibukanmu untuk mengurusi dirimu sendiri, dan berpegang kepada orang yang lemah seperti dirimu sendiri". Wafat tahun 367 H. Abdullah bin Hanaf Al-Anthiokiyah, salah seorang kawan Bisyr Al- Hafi, Sirri As-Siqthi dan Al-Muhasibi, di antara kata-kata yang diutarakan adalah: "Jika kamu berada dalam majlis orang-orang yang benar maka hendaknya kamu duduk dengan benar, karena mereka adalah mata-mata hati". Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi, kelahiran Kufah, pengikut tarekat As-Tsauri, kata-katanya yang terkenal dalam, bidang tasawuf adalah: kamu tidak taat kepada orang yang menganggap baik kepadamu, namun mengapa kamu menganggap baik kepada orang memburukkan kepada kamu". Abu Abdullah Yahya bin Mu'adz Ar-Razi, dia terkenal dengan ilmu lahir, ilmu mu'amalat dan isyarat, dia mempunyai buku yang dikarangnya dengan judul "ArRi'ayah li Huquqillab". Dari kata- katanya yang indah, adalah: "Tidak sepantasnya se-

83

orang hamba mencari wara' dengan meninggalkan kewajiban, ilmu menimbulkan keringanan, zuhud menimbulkan kesenangan, dan ma'rifat menimbulkan kembali (ke jalan Allah)". Wafat 243 H. Abu Bakar Muhammad bin Umar bin Al-Fadhlil-Wariq At-Turmudzi, seorang ahli nasehat, ahli Kalam, melawat ke Balakh dan tinggal sementara, kemudian kembali ke Naisabur, wafat 258 H. Tokoh-tokoh lain adalah: Abu Usman Sa'id Ibnu Ismail Ar-Razi Abu Abdullah Muhammad bin 'Ali At-Turmudzi, Abu Abdullah Muhammad bin Al-Fadhl Al-Balakhi, Abu Ali Al-Juzjani, Abdul-Qasim Ibnu Ishak bin Muhammad Al-Hakim, As-Samarqandi. Mereka inilah yang terkenal, yang mempunyai kelebihan dan yang mewarisi ilmu kasab (hakekat), ahli dalam ilmu Hadits, menghimpun ilmu fiqih, ilmu kalam, Lughat dan Ulumul-Qur'an, yang dapat kita saksikan dari kitab-kitab yang mereka karang dan mereka susun. Penulis-penulis terdahulu baik yang tergabung dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Syafe'i seperti Al-Kalabadzi, Al-Qusyairi, As-Sahrawardi dan bahkan Al-Ghazali, tidak memasukkan Al-Hallaj ke dalam lingkungan tasawuf, karena dianggap telah ilhad (zindiq) atau karena pada saat itu situasinya belum mengizinkan. Sedangkan penulis barat menganggap bahwa Al-Hallaj adalah termasuk tokoh dalam tasawuf Islam yang cukup besar pengaruhnya. Al-Hallaj, Husain bin Manshur bin Mahma. Lahir di Baidha (Persia), mulai dewasa berada di Wasith, banyak belajar dalam dunia filsafat, terus ke Bagdad, bertemu dengan Al-Junaid, Abdul Hasan An-Nuri dan tokoh-tokoh lain yang terkemukan pada saat itu. Dalam ketenarannya dia mengajarkan tiga pokok ajarannya, yaitu: 1. Al-Hulul, yakni bahwa Tuhan itu menempat pada diri manusia (makhluk). 2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yakni bahwa Nur Muhammad itu adalah asal kejadian dari segala yang ada. 3. Kesatuan agama, yakni bahwa semua agama itu sama, hanya cara dan waktu turunnya yang berbeda. Dalam ajaran Ittihad, Al-Hallaj mengibaratkan bersatunya khamar dengan air,

( " Aku adalah Al-Haq yakni Tuhan). Begitu pula kata-kata: "Ma'fi Jubati illallah = ( Tidak
dan inilah inti perkataannya: "Ana Al-Haq " ada dalam jubahku kecuali Allah). Al-Hallaj banyak karyanya, hingga mencapai 47 karangan. Wafat karena dibunuh terlibat dalam fitnah Qaramithah tahun 309 H. Tokoh besar Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad Abu Hamid lahir di Thus, dibesarkan di Baghdad dalam asuhan kawan ayahnya seorang ahli tasawuf. Setelah dia menjadi guru di Madrasah Al-Nidlamiyah, mengadakan perlawatan dan

84

pengembaraan ke negeri sekeliling Timur Tengah, dan diperjalanan itu menyusun bukunya yang terkenal ialah Ihya Ulumuddin. Corak pikirannya, adalah konvergensi, antara tasawuf, filsafat dan syari'at, sehingga sukar dibedakan mana pikiran tasawuf, filsafat atau syari'at. Dia mempunyai sikap yang lain dalam menghadapi golongan yang ada pada masa itu antara lain, pada ahli Kalam, dia menganggap bahwa mutakallimin telah berhasil mempertahankan aqidah, walaupun bagi dia sendin belum menganggap puas dalam menghilangkan kehausannya mencari kebenaran yang hakiki. Dalam bidang filsafat, dia banyak mengeritik, bahkan mengkafirkan mereka dalam tiga persoalan, yakni bahwa mereka beranggapan atas qidamnya alam, pengetahuan Allah terhadap mahluknya dan tentang kebangkitan rohani di alam nanti. Bagi aliran kebathinan dia kecam habis habisan, bahwa dia menuduh keluar dari agama. Meskipun dalam tubuh tasawuf banyak yang kurang masuk akal, namun dia tidak menyinggung kelemahan yang didapatinya, bahkan membelanya, karena memang dia berada di dunianya. Tertariknya Al-Ghazali terhadap tasawuf karena menganggap tasawuf adalah ilmu dan amal, bukan hanya yang bersifat akli namun juga bersifat dzauqi (perasaan), dan dari perasaan inilah manusia akan dapat menjangkau dimana akal sudah berhenti. Al-Ghazali wafat pada tahun 550 H. Syihabuddin Abdul Futuh As-Sahrawardi (Syaikhul Maqtul), berguru kepada Syaikh Majduddin Al-Jaili, belajar Filsafat dan Ilmu Ushul, dia korban politik karena oposisinya terhadap pemerintah yang ada, dia dituduh zindik. Dalam bidang filsafat dia menganggap bahwa pada filosof itu ibarat satu warga dan satu rumpun dengan pada Nabi, sehingga satu sama lain telah berjasa dalam membimbing manusia di dunia ini. Dasar filsafatnya adalah bahwa Allah adalah cahaya dari segala cahaya, Dialah sumber dari segala yang ada dan penggerak isi alam semesta ini. Beliau terkenal dalam "Hikmatul Israq"-nya, dia menganggap bahwa pokok pengetahuan adalah ilham yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dia sebagai filosof-sufi berusaha menghubungkan pendapat Al-Farabi dengan Al-Hallaj dalam ittihad, sehingga lahirlah pendapatnya tentang hikmatul israq-nya tadi. As-Sahrawardi meninggal 587 H. Muhyiddin Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Muhammad, dikenal dengan sebutan Ibnu 'Arabi ahli hadits Andalusia, orang pandai dari barat, dia mengembara ke Mesir, Hijaz, Irak dan Asia kecil. Bila orang membicarakan tasawuf, maka dia tokoh yang tercatat di dalamnya, dan bila orang membicarakan filsafat maka dia pun termasuk dibicarakan, sebagaimana halnya Al-Ghazali. Kalau ahli tasawuf sampai kepada Ittihad atau Istirsal (menurut Al-Farabi), dan sampai kepada Al-Hulul, maka Ibnu 'Arabi mengatakan bahwa Tuhan itu bersatu dengan alam ini (Wuhdatul-Wujud), yakni adanya kesatuan antara wujud Tuhan dengan alam. Dalam salah satu perkataannya adalah: " (Maha suci Dzat yang te-lah menjadikan sesuatu, yaitu dialah sebagai 'ainnya). Wujud alam adalah wujud Allah dan Allah adalah hakekat alam ini. Dalam ajaran "HaqiqatulMuhammadiyah" dan kesatuan agama adalah terambil dari Al-Hallaj dan kupasannya tidak banyak berbeda. Ibnu 'Arabi yang bergelar "Syaikhul-Akbar" ini menimbulkan

85

tanggapan dari berbagai kalangan, ada yang pro dan ada yang kontra, sebagian ulama sunni ada yang mengecam dan bahkan keluar dari agama dan zindiq, sedangkan sebagian menganggap bahwa dia sebagai ulama besar yang tiada bandingannya. Ulama yang mengecamnya adalah Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, sedangkan yang pro adalah Majduddin Muhammad bin Yakub As-Strazi, Kamaludin AzZamalkani, Shalahuddin Al-Fashdi dan Hafidl As-Sayuthi. Ibnu Arabi wafat 638 H. (bukan yang mati dibunuh karena fitnah). Abil-Hasan Ah bin Abdillah bin Abdil-Jabbar, salah seorang ahli tarekat yang menjadikan Syadziliyah sebagaimana terekatnya, dia mempunyai murid yang terkenal ialah Abil Abbas Al-Marsi (689), dan juga Al-Mursi mempunyai murid Tajuddin bin Athoillah Al- Iskandari, wafat tahun 707 H. Abu Sa'id sebagai sufi sastrawan dan pujangga memberi kelengkapan lain dalam dunia tasawuf yang berkembang di tanah Persi, dia semasa dengan Al-Firdausi dan Ibnu Sina, gubahan-gubahannya yang berbentuk syair membentangkan tasawufnya dengan sistem rubaiyat (bait yang disusun empat-empat) Abu Sa'id wafat pada tahun 440 H. Majduddin Sinai Al-Ghaznawi, sufi-sastrawan, telah memukau para ahlinya dengan gubahan syair dan lagunya yang berbentuk matsnawi (bait yang disusun dengan dua-dua) dalam bukunya "Haqiqul-Haqaiq", Al-Ghaznawi wafat pada tahun 545 H. Abdullah Al-Anshari seorang yang terkenal dalam dunia tasawuf dari Persia, ungkapan tasawufnya melalui rangkaian do'a yang dipanjatkannya, sebagai karangan yang berisi kisah tasawuf terdapat dalam bukunya "Thabaqat". Fariduddin Al-'Aththar orang Naisabur yang pikirannya diwarnai oleh tiga orang besar yang mendahuluinya. Tasawufnya melalui syair dan lagu yang berupa untaian pendek dan panjang seperti, halnya 4.600 bait, disusun dengan bentuk matsnawi. Cerita tentang margasatwa adalah cerita yang menarik yang isinya adalah nasehat dan fatwa. Maulana Jalaluddin Al-Rumi, Muhammad bin Muhammad bin Husain AlKhuthbi, orang Persia, cetusan tasawufnya terdapat dalam gubahan syairnya yang berbentuk matsnawi seki-tar 20.700 bait yang terdiri dari 6 (enam) jilid, sedangkan tasawufnya bercorak Wihdatul-Wujud sebagaimana orang-orang sebelumnya. Dengan adanya Jalaluddin ini lahirlah tarekat Maulawiyah yang membangsakan kepada Maulana Ar-Rumi. Tarekatnya dalam Suluk mementingkan lagu dan tari sesuai dengan bunyi buku matsnawinya. Abdul-Abbas Al-Badawi juga mempunyai tarekat tersendiri yang terkenal sebagai tarekat Al-Badawiyah, orang Mesir dan wafat di sana tahun 675 H. Tokoh tasawuf yang terkenal berikutnya adalah Hafidl As-Sirazi, termashur namanya di tengah-tengah gejolak perebutan kekuasaan dan jatuhnya Baghdad ke tangan orang-orang Tartar Mongolia. Tasawufnya mengenai cinta, ini merupakan corak umum dalam dunia tasawuf, ungkapannya melalui gubahan syair yang indah dan menawan. Nuruddin Abdurahman Al-Jami' bin Nidlamuddin, sebagai orang yang berada di lingkungan Persia, telah menghirup hawa tasawuf yang segar dan merasakan

86

kelezatannya, dia terkenal karena dia sebagai penyambung Tarekat Naqsyabandiyah yang didapati dari gurunya yang mashur Syekh Sa'duddin Kasyghari. Sebagaimana lazimnya para sufi di masa itu mengungkapkan tasawufnya melalui syairnya, maka begitu pula adanya Al-Jami' ini. Dari sinar yang cemerlang, yang menerangi tanah Persia, akhirnya Tasawuf menyurut dan memudar hingga sampai di abad ini, hanya masih ada kerdipan lilin dalam diri Abdil-Wa-hab As-Sya'rani dari Mesir dan disambung oleh Abdul-Ghani AnNablusi sebagai pengikut Ibnu Arabi yang terakhir di abad ke duabelas Hijriyah.

87

VIII M A' R I F A T Menurut ahli tasawuf bahwa ma'rifat itu ada dua, yakni raa'rifat haq dan ma'rifat haqiqat. Adapun ma'rifat haq adalah menetapkan keesaan Allah terhadap apa yang lahir dari segala sifat, sedangkan ma'rifat haqiqat suatu yang tidak bisa ditembus, karena terbatas oleh ketergantungan kepada Allah dan kebenaran yang bersifat ketuhanan yang menyeluruh. Allah berfirman:

"..."
Artinya: "llmu mereka tidak meliputi ilmu-Nya" Sebagian di antara mereka berpendapat bahwa ma'rifat itu adalah membuktikan rahasia segala kesanggupan berfikir dengan menjaga segala ingatan yang pernah dialami atas dasar penguasaan alam kasyaf; artinya ia menyaksikan rahasia kebesaran Allah, kebesaran haq dan keagungan kudrat-Nya, sehingga tidak bisa diungkapkan dengan untaian kata. Al-Junaid ditanya tentang ma'rifat, beliau menjawab bahwa ma'rifat adalah lalulalangnya rahasia antara kebesaran Allah yang meliputi (menyeluruh) dengan keagungan pengetahuaan-Nya. Di kesempatan lain beliau ditanya tentang hal yang sama, beliau menjawab, bahwa ma'rifat adalah: "Engkau mengetahui tentang apa yang tergambar dalam hatimu bahwa kebenaran dengan paradoksanya adalah kebingungan, dia tidak mempunyai hak sesuatu, dan sesuatu itu tidak ada hak baginya, wujudnya bolak-balik dalam ketidakadaan, tidak ada sesuatu yang mendorong, karena makhluk itu wujudnya kemudian, dan wujudnya belakangan, tidak mengetahui secara keseluruhan. Arti dari "wujudnya bolak-balik dalam ketidakadaan" adalah bahwa orang itu mengetahui, ia adalah wujud yang dapat disaksikan dan dapat diraba, seolah-olah dihilangkan sifat dan cirinya. Tokoh lain mengatakan bahwa ma'rifat apabila telah sampai kepada rahasia, maka sukar dapat dipertanggungjawabkan, seperti matahari yang terhalang sinarnya, karena diketahui tujuan dan eksistensinya. Ibnu Farghani menyatakan: "Barangsiapa yang mengetahui sesuatu secara resmi, dia akan terpaksa; barangsiapa yang mengetahui suatu ciri (tanda), dia akan bingung, barangsiapa yang mengetahui kebenaran dia akan mantap; barangsiapa mengetahui penguasa dia akan tunduk; artinya barangsiapa yang menyaksikan dirinya berdiri di hadapan Allah, maka dia merasa tercengang; dan barangsiapa yang menyaksikan apa yang sudah terjadi dari Allah, maka dia akan bingung, karena dia tidak mengetahui apa yang diketahui oleh Allah di dalamnya dan apa yang dilakukan oleh tulisan tentang Dia; dan barangsiapa yang mengetahui dari apa yang terjadi secara pasti, dia tidak akan maju dan tidak akan mundur, dia menganggur, tidak mau berusaha; barangsiapa yang mengetahui kekuasaan Allah dan menganggap cukup, maka dia akan tenang tidak berubah di hadapan makhluk dan tidak berubah ketika

88

butuh sesuatu, dan barangsiapa mengetahui bahwa Allah itu berkuasa dari segala sesuatu, maka dia tunduk di hadapan hukum dan ketentuan-Nya." Tokoh lain mengatakan bahwa ma'rifat itu adalah: barangsiapa yang menyesali dirinya tentang Allah, maka berhentilah pengetahuan (ma'rifat), karena tidak menyaksikan cinta, takut, harapan, fakir, kaya, sebab semuanya itu bukan tujuan, sedang-kan Allah di balik tujuan; artinya dia tidak menyaksikan segala perbuatan, karena perbuatan adalah sifat-sifat-Nya, dan sifat-sifat-Nya lebih terbatas kepada tercapainya apa yang menjadi hak Allah.

89

IX FANA DAN BAQA Dalam Risalatul Qusyaiiiyah dinyatakan bahwa : Sebagian orang mengatakan bahwa Fana adalah menghilangkan sifat-sifat yang tercela, dan Baqa artinya mendirikan sifat-sifat yang terpuji; manakala tidak terlepas dari kedua persoalan ini, sudah barang tentu jika tidak ada salah satu diantara keduanya, maka tidak akan terdapat pada bagian lain, dan barangsiapa yang menghilangkan sifat tercela, maka timbullah sifat yang terpuji, jika sifat tercela menguasai diri, maka tertutuplah sifat yang terpuji bagi seseorang. Hendaklah diketahui bahwa yang mewarnai seseorang adalah perbuatan, akhlak dan tingkah laku, perbuatan dibuktikan dengan ikhtiar, akhlak dengan dorongan, namun bisa berubah sepanjang adat tingkah laku seseorang akan kembali kepadanya atas dasar yang dimiliki sejak semula, seperti halnya akhlak dalam segi yang lain; karena seseorang manakala akhlaknya turun dalam hatinya dan timbul kesungguhannya, maka Allah akan memberikan kebaikan ahlaknya, begitu pula jika seseorang bersungguh-sungguh membersihkan amalnya dengan susah payah, maka Allah akan membersihkan tingkah lakunya. Barangsiapa yang meninggalkan perbuatan yang tercela dengan menuruti syari'at, maka berarti dia menghilangkan (fana) syahwatnya, dan apabila telah hilang syahwatnya, maka tetap (baqa)-lah keteguhan dan keikhlasannya dalam ubudiyah. Barangsiapa yang berzuhud tentang dunia dalam hatinya, maka dikatakan dia telah fana (menghilangkan) kesenangannya, dan apabila telah fana (menghilangkan) dari kesenangannya maka baqa (tetap)lah kesungguhan taubatnya. Barangsiapa yang menumbuhkan akhlak mulia, kemudian dia menghilangkan hasad, dendam, bakhil, pelit, marah, sombong dan lain-lain dari kekotor jiwa, dia dapat dikatakan fana (menghilangkan) budi pekerti yang buruk, dan apabila dia telah menghilangkan (fana) budi pekerti yang buruk, maka tetap (baqa)lah dalam kebaikan dan kebenaran. Barangsiapa yang menyaksikan jalannya kekuasaan dalam penerapan hukum, maka dia dikatakan fana (menghilangkan) dari segala tuntutan, apabila fana (menghilangkan) dari segala kebingungan dan keraguan maka baqa (tetaplah) sifat kebenaran. Barangsiapa yang dikuasai kebenaran, hingga tidak ada perubahan dalam pendirian baik itu sendiri ataupun tulisan dan lain-lainnya, maka dia dikatakan fana (lenyap) dari tuntutan manusia dan baqa (tetaplah) kebenaran. Seseorang yang fana (menghilangkan) pekerjaan yang tercela dan tingkah laku yang kasar, bisa jadi memfanakan diri sendiri, makhluk dan perasaannya, dapat pula dikatakan, apabila fana dari segala perbuatan, akhlak dan tingkah laku, maka tidak boleh terjadi fana terhadap apa yang ada, dan apabila fana dari diri sendiri dan makhluk sedangkan diri dan mahluk itu ada, maka dia tidak tahu tentang mereka dan dirinya sendiri serta tidak ada perasaan dan ingatan, maka kebenaran diri dan mereka itu tetap ada, dia lupa pada dirinya sendiri dan orang lain, dengan tidak terasa oleh dirinya dan orang lain.

90

Kamu dapat menyaksikan seseorang masuk kepada penguasa atau kepada orang yang sedang marah (yang akan menangkap), kemudian dia lupa diri dan lingkungannya karena ketakutan atau karena yang akan menangkapnya lupa, sehingga manakala telah keluar dari kelupaannya dan ditanya tentang peristiwa yang sudah, maka ini tidak bisa diceritakan kepada orang lain. Allah berfirman ten tang kisah Nabi Yusuf as.:

""
Artinya : "Waka tatkala wanita-wanita itu melihatnya , mereka kagum kepada (keelokan rupalnya, dan mereka melukai jari tangannya". Mereka tidak merasakan sakitnya tangan yang terkerat, dan mereka termasuk

" ) Ini bukan manusia". "Sesungguhnya ini tidak lain adalah malaikat yang mulia" ( ) padahal bukan malaikat. Ini adalah kelupaan manusia dari tingkah
wanita-wanita yang lemah, sehingga mereka mengatakan : ( lakunya ketika bertemu dengan manusia lain, maka bagaimana pendapat anda manakala seseorang telah terbuka tabir untuk menyaksikan Tuhannya jika seseorang lupa dari segala persoalan dan sekelilingnya, apakah ada keheranan yang lebih dari itu? Barangsiapa yang fana (melenyapkan) kebodohan maka baqa (tetaplah) pengetahuannya. Barangsiapa fana pada syahwatnya maka baqalah inabahnya. Barangsiapa fana kesenangannya, maka baqalah kezuhudannya, dan barangsiapa fana angan-angannya, maka baqalah kehendaknya. Demikian kita dapati ungkapanungkapan dengan segala bentuk dan sifatnya. Apabila seseorang telah fana kerena berzikir, maka dia mengingatkan fananya kepada fana itu sendiri, dengan ini terbetiklah suatu sya'ir :

Artinya : Sebagian orang bingung di bumi ini karena kefakiran, sebagian orang bingung karena cintanya, kemudian lenyap, lenyap dan lenyap, tinggallah dia dekat dengan Tuhannya. Mula pertama dia fana dari diri dan sifatnya, karena baqa sifat Tuhan, kemudian memfanakan sifat Tuhan dengan menyaksikan Tuhan, kemudian fana menyaksikan Tuhan dengan meleburkan diri kepada wujud Tuhan. Terkonsentrasinya kepada sesuatu, ini bukan berarti menjadikan sesuatu yang salah dicocokkan, sehingga apa yang dicegah menjadi perintah, namun artinya bahwa ia tidak melakukan kecuali apa yang telah diperintahkan dan diridhoi Allah, bukan apa yang dibenci-Nya, dan melakukan apa yang dilakukan karena Allah bukan karena ingin mendapatkan sesuatu di dunia dan di akhirat. Inilah arti kata mereka: "Bahwa ia fana

91

dari segala sifatnya, dan baqa dengan sifat-sifat Yang Hak (Allah)"; karena sesungguhnya Allah berbuat sesuatu itu untuk-Nya bukan karenanya, sebab Allah tidak menarik manfaat dan menolak madarat karenanya, karena Allah berbuat sesuatu hanya untuk memberi manfaat terhadap mahluk atau memberikan madarat kepadanya. Orang yang baqa kepada Allah berarti menyirnakan dirinya. la bekerja bukan untuk mendapatkan manfa'at bagi dirinya dan bukan untuk menolak madarat yang menimpa dirinya; ini berarti bahwa dia bekerja bukan dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat dan menolak mudarat dengan menggugurkan hak dirinya, dan mencari manfaat dengan arti seganja dan niat; bukan pula berarti bahwa dia tidak akan mendapatkan balasan atas segala amal yang diperbuatnya hanya karena Allah, bukan karena tamak karena pahala dan takut karena siksa dimana kedua-duanya melihat pada dirinya, namun sebenarnya dia suka kepada pahala dari Allah karena perbuatannya sesuai dengan kehendak Allah; dia menyukai dan memerintahkan untuk meminta demikian, dia bekerja tidak untuk melezatkan dirinya dan takut siksa-Nya, namun dia semata-mata karena-Nya dan kehendak-Nya. Hal ini dikarenakan Allah menakut-nakuti hamba-Nya dan orang-orang lain, bukan dirinya, sebagaimana dikatakan bahwa orang mu'min memakan dengan kemauan keluarganya. Ringkasnya bahwa arti fana dan baqa adalah: bahwa dia telah menyirnakan hak dirinya dan membiarkan untuk orang lain. Salah satu dari pengertian fana adalah fana dari penyaksikan kekhilafan dan gerak-gerik dengan sengaja dan niat, serta baqa dalam persaksian yang merupakan penyesuaian dari gerak-gerik dengan sengaja dan bertindak; fana dari pengagungan selain dari Allah dan baqa dalam mengagungkan Allah. Salah satu fana terhadap pengagungan selain Allah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hazim tentang: Apakah dunia itu? Adapun yang sudah adalah merupakan impian, sedangkan sisanya adalah keamanan dan tipuan. Apakah syaitan diberi wewenang untuk menyelewengkannya? Sungguh dia telah diikuti, namun tidak ada manfaatnya; dan telah diingkari namun tidak menimbulkan kemadaratan, sehingga seolah-olah tidak ada dunia dan tidak ada syaitan. Dari salah satu kefanaan adalah fana terhadap hak (bagian) sebagaimana hadits Ibnu Mas'ud, beliau mengatakan: Aku tidak mengetahui bahwa ada diantara shahabat Rasul yang menghendaki dunia sehingga Allah berfirman:

:"... ...) (102


Artinya : "Diantara kamu ada yang menghendaki dunia, dan diantara kamu ada yang henghendaki akhirat". Hal ini berarti adanya fana terhadap dunia. Yang berkaitan dengan hal ini adalah hadits Haritsah, beliau berkata: Jiwaku berzuhud dari dunia, sehingga seolaholah aku melihat 'Arsy Tuhanku dengan mata kepalaku, fana dari dunia dengan akhirat, dan dari mahluk dengan Tuhannya.

92

Juga hadits Abdillah bin Umar, dimana seseorang memberi salam kepadanya ketika beliau bertawaf, beliau tidak menjawab salamnya, kemudian orang tersebut mengadu kepada kawannya, lantas Abdillah menjawab: Sesungguhnya kami sedang menyaksikan Allah ditempat itu. Syekh Abdul Qadir Jaelani setelah menyampaikan hadits Qudsi:

" , , , , , , ) (
Artinya : "Hambaku senantiasa mendekati-Ku dengan melakukan shalat sunnah, sehingga Aku mencintainya, apabila Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, dan tangannya yang ia menjamah dengannya, dan kakinya yang ia berjalan dengannya, sehingga dengan Aku ia mendengar dan dengan Aku ia melihat, dengan Aku menjamah dan dengan Aku berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku maka akan Kuberi dia, apabila dia meminta perlindungan-Ku maka Aku melindunginya". Kemudian ia melanjutkan: "Sebenarnya inilah yang disebut fana (sirna raga). Apabila kamu telah melepaskan dirimu dari mahluk, karena mahluk bisa jadi baik dan bisa jadi buruk, begitu pula dirimu bisa jadi baik dan bisa jadi buruk, maka menurut pandanganmu tidak ada suatu kebaikan yang datang dari dirimu atau dari mahluk, dan kamu tidak akan takut datangnya kejahatan dari mahluk. Semua itu terletak di tangan Allah semata. Oleh karena itu datangnya keburukan dan kebaikan Dialah yang menentukan sejak semula. Ibnu-Qayyim memberikan penjelasan tentang istilah fana dan baqa sebagai berikut: Fana dalam pengertian tauhid berbarengan dengan baqa, yaitu penetapan terhadap Tuhan yang Haq dalam hatimu dan menghilangkan Tuhan selain Allah. Di sinilah bertemu antara nafi dan itsbat. Nafi adalah fana dan itsbat adalah baqa. Sebenarnya ia fana dengan ibadah kepada Allah, menyingkirkan selaiii dari pada-Nya dan mencintai Allah membuang cinta selain dari pada-Nya; Takut kepada Allah, menyingkiri takut selain dari pada-Nya. Ta'at kepada Allah dan menyingkiri ta'at selain dari pada-Nya.

93

DAFTAR BACAAN Abu Bakar Abdurraziq, Ma'al Ghazali fi Muuqidzihi Mim Al-Dhalal, Darul-fikr AlArabi, Mesir ....................... An-Nafakhat Al-Ghazaliyah, Darul- fikr, Al-Arabi, Mesir. Abul Ala Al-Maududi, Al-Usul Al-Akhlakiyah Lil-Harakah Al-Islamiyah, Maktab AlMuslim, Damaskus. Ahmad Amin, Dr., Al-Akhlaq, Darul-Kitab Al-Miskriyah, Cairo, 1933. Amin Usman, Dr., Syakhshiyat wa Madzahib Falsafiyah, Isa Bal Al-Halabi, Mesir 1922. Al-Aqqod, Abbas Mahmud, Al-Aqoid Al-Mufakirin fil-qarnib Isyrin, Maktabil AlAnjela (Anggelo), Mesir. ....................; At-Tafkir Faridholun Islamiyatun, Darul Qolam. Ahmad HZA., Negara Utama, Jembatan, Jakarta, 1964. Al-Idrus-Shekh, At-Ta'rif Al-Ahya Li Fadhail Al-Ihya, (Hamis Ihya). Al-Bahi, Muhammad, Dr., Al-Janibul-Ilahi min Al-Fikril Islami, Jld. 1 & 2, Al-Bab AlHalabi, Mesir, 1945. Al-Ghazali, Imam, Ihya Ulumuddin, Isa Bab Alhalabi, Cairo, 1957. t Al-Munqidz min Al-Dlalal, (Tarjamah, Abdullah bin Nuh). ..................... Bidyatul - Hidayah, Nusantara, Bandung, 1961. Al-Hasani, Faidullah, Fathurrahrnan, M. Al-Ahliyah, Bairut, 1323 H. Al-Kalabadzi, Abubakar, At-Ta'aruuf li Madzhab At-Tasaivuf, Maktabah Al-Kulliyat Al-Azhariyah, 1969. Al-Qusyairi, Abu Qosim Abdulkarim, Al-Risalah Al- Qusyairiyah, Musthafa Al-Bab al-Halabi, Mesir, 1959. At-Thanthowi Ali, Ta'rif Am bidin Al-Islam, Asy-Syirkah Al-Muttaidah, Bairut, 1970. Bakri HMK, Al-Ghazali, Wijaya, Jakarta, 1962 Badawi Bathanah, Dr., Muqoddimah fi At-Tasawuf Al-Islami wa dirasah AtTakhliliyah, (Muqoddimah Ihya Al-Ghazali). Encyclopedia Britanica, vol. VII, p. 757, 1949. Encyclopedia Indonesia, Van Hoeve, Bandung, 1953. Hanafi MA, A., Pengantar Theologi Islam, Diktat, 1964. .................... Filsafat Islam, Diktat, 1968. ................... Antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dalam Tiga Metafisika, Diktat. Hamka, Prof, Dr., Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1980, Harun Nasution, Prof., Dr., Falsafah dan Misticisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973. Ibnu Nadim, Abdullah, Qisshah Al-Iman, Terjemah: A. Hanafi, MA. Ibrahim Basyuni, Dr., Nasyah At-Tasawuf Al-Islami, Dar Al-Ma'arif, Mesir, 1969. Lillie W. An Introduction to Ethics, University paper book, Published by Methuon & Co LTD, 1961. Muhammad Al-Ghazali, Khuluq Al-Muslim, Darul Bayan, Kuwait, 1970.

94

..................... Rakaiz Al-Iman, Maktabah Al-Amal, Kuwait. Mahmud Qasim, Dr., Nushush Mukhtarah min Al-Falsafah Al-Islamiyah, (Diktat), Yogyakarta. Manshur All Rajab, Taammulat fi Falsafah Al-Akhlaq, Angelo, Mesir, 1961. Muhammad Yusuf Musa, Dr., Falsafati Al-Akhlaq fi Al-Islam, Muassah Al-Khauji, Kairo, 1963. Nawawi, Shekh, Iman, Maraqi Al-Ubudiyah, Nusantara, Bandung. Omar Amin Husin, Dr., Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1964. Thahir A. Muin, KHMT, Prof., RisalaJi fi Al-Akhlaq, Diktat, Yogyakarta. .....................; Sejarah Perkembangan Filsafat, Diktat, Yogyakarta, 1954. Zaki Mubarak, Dr., Al-Akhlaq 'inda Al-Ghazali, Dar Al-Kutub Al-Mishriyah, 1934.

95

Você também pode gostar