Você está na página 1de 17

Apa sih Steven Johnson Syndrome (SJS) ? Apa ada penyakit dengan nama aneh gitu di Indonesia ?

Apakah Steven Johnson masih saudara Don Johnson pemain film Miami Vice.halah kok nglantur ;D Mari kita kenalan dengan Steven Johnson Syndrome Kalo kita pernah liat di TV ada kasus yg katanya malpraktek karena setelah dikasih obat dari dokter X maka badan jadi melepuh semua, sampe sulit makan hingga perlu dirawat di RS naaah itu salah satu contoh kejadian timbulnya SJS. Apa dokternya salah? Dengan tidak bermaksud membela diri atau teman sejawat tapi kejadian itu bukan kesalahan siapa siapa. Yang salah ya para koruptor.. tapi kok bisa sakit jadi melepuh gitu. Kan harus ada yg disalahkan alias dikambinghitamkan.. kambingnya dipotong aja buat sate dan gule pasti lebih enak..nglantur lagi Pada prinsipnya SJS merupakan suatu bentuk alergi. Pemicu SJS itu sendiri bisa dikategorikan empat kelompok, yakni obat- obatan, infeksi, keganasan seperti kanker, serta penyebab yang tidak diketahui pasti alias idiopatik. Jadi gak mesti karena obat aja. SJS biasanya mulai timbul dengan gejala-gejala seperti infeksi saluran pernapasan atas yang tidak spesifik, kadang-kadang 1-14 hari. Ada demam, susah menelan, menggigil, nyeri kepala, rasa lelah, sering kali juga muntah- muntah dan diare. Muncul kelainan kulit, seperti koreng, melepuh, sampai bernanah. Kelainan kulit bisa dimulai dengan bercak kemerahan tersebar hingga tumbuh lentinglenting yang berair dan membesar hingga menimbulkan koreng, terutama pada selaput lendir seperti di hidung, mulut, mata, alat kelamin, dan lain-lain. Berat ringannya manifestasi klinis SJS bervariasi pada tiap individu bisa dari yang ringan sampai berat menimbulkan gangguan pernapasan dan infeksi berat sampai mematikan. Tapi di masyarakat terutama media cetak paling seneng kalo ada masalah SJS..beritanya langsung besar besar ditulis dokter melakukan malpraktek, atau dokter salah kasih obat berakibat fatal..kayaknya kok gak ada dokter yg berniat menyakiti pasiennya agar sengsara gitu .. jadi berita kayak gitu kalo menurut saya kok sungguh teganya, teganya, teganya kau menuduhku.lha jadi dangdutan Nah dalam rangka menuju pemberian obat yg lebih rasional maka disarankan pemberian obat berupa puyer yg polifarmasi alias mencampur 20 macem obat sekaligus..hiperbola banget, biarpun emang pernah ada . perlu dipertimbangkan ulang oleh para petugas kesehatan karena bila terjadi SJS maka tidak tahu alergi dari obat yg mana dari 20 jenis itu .. lha udah campur baur gitu Untuk pencegahannya yang penting dengan cara menghindari alergen karena memang penyebab masalahnya adalah alergi. Nah, hal inilah yang sulit karena sering kali kita tak mengetahui alergi yang ada pada diri kita sendiri. Hal yang juga penting karena ini reaksi alergi jadi tidak bisa perkirakan sebelumnya.. misalnya bisa saja selama ini udah 20 kali minum obat X tidak timbul masalah saat minum obat ke 21 kali muncul reaksi alergi termasuk SJS, itu hal yg bisa diterangkan secara teori kedokteran dan bukan karena salah pemberian obat.

Sindrom Stevens-Johnson Apa Sindrom Stevens-Johnson Itu?

Unduh versi PDF

Sindrom Stevens-Johnson, yang biasa disingkat SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk lagi, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxic epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM). Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, Dr. Stevens dan Dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya. Apa Penyebab SJS? Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat antinyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, penyebab SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5% penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu. Walaupun abacavir dapat menyebabkan reaksi gawat pada kulit, reaksi ini tidak terkait dengan SJS atau TEN. EM dapat disebabkan oleh herpes simpleks (Lembaran Informasi (LI) 519), tetapi penyakit ini jarang menjadi gawat. Apa Gejala SJS? SJS dan TEN biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat berlanjut dari 1-14 hari. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke sekujur tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh di tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah lepas bila digosok. Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30% atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok. Pada SJS dan TEN, pasien mempunyai lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata. Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari

daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN. Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk:

ruam lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin bengkak pada kelopak mata, atau mata merah konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata) demam terus-menerus atau gejala seperti flu

Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter. Siapa yang Dapat Mengalami SJS/TEN? Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki. Risiko SJS/TEN SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35% orang yang mengalami TEN dan 5-15% orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan. Pengobatan SJS/TEN Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti penggunaan obat yang dicurigai sebagai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah pemburukan. Orang dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberikan melalui infus untuk mendorong pemulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat antinyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman lihat LI 560. Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid takaran tinggi dalam beberapa hari pertama

memberi manfaat; yang lain beranggapan bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekan sistem kekebalan tubuh, sehingga meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. Garis Dasar Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah reaksi terhadap obat yang mempengaruhi kulit dan selaput mukosa. Nekrolisis epidermis toksik (TEN) adalah versi SJS yang lebih gawat. Kedua reaksi ini dapat sangat gawat, dan harus segera diobati dengan sangat hati-hati untuk menghindari kematian. Penyebab utama SJS untuk Odha adalah nevirapine, yang menimbulkan reaksi ini pada kurang lebih 1,5% penggunanya. Kotrimoksazol juga dapat menyebabkan SJS, walaupun jarang. Bila kita mengalami gejala SJS (ruam, terutama yang mempengaruhi selaput mukosa, dan demam), dalam beberapa minggu setelah kita mulai pakai obat tersebut, penting kita segera periksa ke dokter. Apa yang dimaksud dengan penyakit SINDROM STEVEN JOHNSON ? Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127). Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480). Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136). B. Etiologi Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah: 1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik) a. Penisilline dan semisentetiknya b. Sthreptomicine c. Sulfonamida d. Tetrasiklin e. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol) f. Kloepromazin g. Karbamazepin h. Kirin Antipirin i. Tegretol

2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit) 3. Neoplasma dan faktor endokrin 4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X) 5. Makanan C. Manifestasi Klinis Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa: 1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. 2. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. 3. Kelainan mata Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis. Komplikasi : Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi. D. Patofisiologi Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) . Reaksi Hipersensitif tipe III Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada

jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72). Reaksi Hipersensitif Tipe IV Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya. E. Penatalaksanaan Kortikosteroid Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan). Antibiotik Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. Infus dan tranfusi darah Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. Topikal : Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.

F. Pathway Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan makanan Reaksi alergi tipe III Terbentuknya kompleks antigen dan antibodi Terpangkap dalam jaringan kapiler Mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast Kerusakan jaringan kapiler/organ Akumulasi neutrofil Reaksi alergi tipe IV Sel tak aktif, kontak kembali dengan antigen Melepas limfosit dan sitotoksin Reaksi radang Kelainan kulit dan eritema Inflamasi dermal dan epidermal Gangguan integritas kulit Nyeri Kelainan selaput lendir dari ofisiun Kesulitan menelan Intake in adekuat Kelemahan fisik < Nutrisi dari kebutuhan Gangguan intoleransi aktivitas Mata G3 Persepsi sensori: penglihatan Konjungtifitis Sumber pathway Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC G. Fokus Intervensi 1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal KH: menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh Intervensi: a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi. Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat b. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi c. Jaga kebersihan alat tenun Rasional: untuk mencegah infeksi d. Kolaborasi dengan tim medis Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan KH: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan Intervensi: a. Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan b. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan c. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat Rasional: meningkatkan nafsu makan d. Kerjasama dengan ahli gizi Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan. 3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit KH: a. Melaporkan nyeri berkurang b. Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks Intervensi: a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan b. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum c. Pantau TTV Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat d. Berikan analgetik sesuai indikasi Rasional: menghilangkan rasa nyeri 4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik KH: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas Intervensi: a. Kaji respon individu terhadap aktivitas Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari. b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal c. Jelaskan pentingnya pembatasan energi Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh d. Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga 5. G3 Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis KH : Kooperatif dalam tindakan - Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen Intervensi: a. Kaji dan catat ketajaman pengelihatan Rasional: Menetukan kemampuan visual b. Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.

Rasional: Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan. c. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan: Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan. d. Orientasikan thd lingkungan. -Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien. -Berikan pencahayaan yang cukup. -Letakan alat-alat ditempat yang tetap. -Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar. -Hindari pencahayaan yang menyilaukan. -Gunakan jam yang ada bunyinya. e. Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien. Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun. DAFTAR PUSTAKA Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC. Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC. Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius. . Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.

Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja. Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.

Penyebab

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).

Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson Infeksivirus jamur bakteri Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia koksidioidomikosis, histoplasma streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonela malaria parasit Obat Makanan Fisik Lain-lain salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik Coklat udara dingin, sinar matahari, sinar X penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)

Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.

Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.

PATOFISIOLOGI

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

GEJALA KLINIK

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab. Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ . Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan. Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.

Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.

DIAGNOSIS BANDING

Nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ. Erythema Multiforme Burns, Chemical Burns, Ocular Staphylococcal Scalded Skin Syndrome Toxic Epidermal Necrolysis Burns, Thermal Dermatitis, Exfoliative Toxic Shock Syndrome

PENATALAKSANAAN

Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin. Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1 mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral. Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial. Beberapa mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari berturutturut (1 gr/kgBB/hari selama 3 hari). Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik. Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab) harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap episode SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 510 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

PROGNOSIS Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

Sindrom Steven-Johnson (SSJ)


Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu hipersensitivitas kompleks diperantarai kompleks imun yang merupakan bentuk berat dari eritema multiforme. Sekarang dikenal juga dengan eritema multiforme mayor. SSJ secara khas mengenai kulit dan membran mukosa. Walaupun dapat memperlihatkan gambaran yang minor, keterlibatan yang signifikan pada mulut, hidung, mata, vagina, uretra, gastrointestinal dan membran mukosa saluran cerna bawah dapat berkembang pada perjalanan penyakit. Keterlibatan saluran cerna dan saluran napas dapat berkembang kearah nekrosis. SSJ merupakan suatu kelainan sistemik yang serius yang berpotensi memperberat angka kesakitan bahkan kematian. Patofisiologi SSJ merupakan gangguan hipersensitivitas diperantarai kompleks imun yang dapat disebabkan oleh banyak obat, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini kokain juga dimasukkan dalam daftar obat yang berpotensi menyebabkan sindrom ini. Lebih dari setengah kasus tidak ditemukan penyebab yang spesifik. GAMBARAN KLINIS Khas, perjalanan penyakit mulai dengan infeksi saluran napas bagian atas non spesifik. Biasanya terjadi 1-14 hari selama masa prodromal dengan demam, nyeri tenggorok, panasdingin, nyeri kepala dan malaise. Muntah dan diare kadang-kadang didapatkan sebagai bagian dari masa prodromal Lesi mukokutan berkembang secara kasar. Lesi-lesi berkelompok pecah dalam 2-4 minggu. Lesi khas tidak gatal. Riwayat demam atau keadaan umum memburuk dapat mengarahkan adanya infeksi tambahan; bagaimanapun, demam dilaporkan terjadi pada lebih dari 85 % kasus. Keterlibatan mulut dan atau membran mukosa dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat makan atau minum. Pasien dengan keterlibatan genitourinari dapat mengeluh disuria atau ketidakmampuan buang air kecil. Riwayat pecahnya lesi sebelumnya pada SSJ atau pada eritema multiforme dapat diperoleh. Kekambuhan dapat terjadi jika agen yang bertanggungjawab tidak dieliminasi atau jika pasien terkena kembali. Gejala khas berupa: Batuk produktif dengan sputum purulen Nyeri kepala Malaise Atralgia Pemeriksaan Fisik: Ras dapat mulai berupa makula yang berkembang menjadi papula, vesikel, bulla, plak urtika atau eritema konfluen. Bagian tengah dapat vesukular, purpurik atau nekrotik. Lesi khas berupa gambaran target. Lesi target merupakan patognomonik. Lesi dapat menjadi bulla dan akhirnya pecah meninggalkan kulit yang gundul. Kulit

menjadi mudah untuk terkena infeksi. Lesi urtika khas tidak gatal Infeksi bertanggungjawab terhadap skar yang dihubungkan dengan morbiditas Meskipun lesi dapat terjadi dimana saja, telapak tangan, telapak kaki, bagian dorsum tangan dan permukaan ekstensor paling sering terkena. Rash dapat terbatas pada salah satu tempat di tubuh, paling sering dibadan. Keterlibatan mukosa dapat berupa eritema, edema, terkelupas, melepuh, ulserasi dan nekrosis. Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik: Demam Ortostasis Takikardia Hipotensi Penurunan kesadaran Epistaksis Konjungtivitis Ulserasi kornea Vulvovaginitis erosif dan balanitis Kejang, koma Penyebab: Obat-obatan dan keganasan merupakan paling sering disangkitpautkan sebagai etiologi pada orang dewasa dan orang yang lebih tua Kasus-kasus pediatrik lebih sering dihubungkan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksi terhadap obat Obat seperti sulfa, fenitoin atau penisilin sebelumnya pernah diresepkan pada lebih dari 2-3 dari semua pasien dengan SSJ. Hallegren dkk melaporkan ciprofloksasin menginduksi SSJ pada pasien muda di Swedia dan diulas pada beberapa lainnya. Metry dkk melaporkan SSJ pada 2 pasien HIV yang diterapi dengan nevirafin dan disebutkan satu lainnya dalam literatur. Kelompok tersebut menganggap bahwa masalah dapat meluas pada non-nukleosida reverse transkriptase inhibitor lain. Indinavir sudah disebutkan. Lebih dari setengah pasien dengan SSJ melaporkan akhir-akhir ini menderita infeksi saluran napas atas. 4 kategori penyebab yaitu (1) infeksi, (2) diinduksi obat, (3) berhubungan dengan keganasan dan (4) idiopatik (tidak diketahui penyebabnya dengan pasti) Penyakit virus yang dilaporkan termasuk virus herpes simpleks (HSV), AIDS, infeksi virus Coxsackie, influensa, hepatitis, mumps, infeksi jamur, limfogranuloma venerum (LGV), infeksi riketsia dan variola. Penyebab bakteri termasuk Streptokokus beta hemolitikus grup A, difteri, brusellosis, mikobakterium, pneumonia mikoplasma, tularemia dan tifoid. Coccidioidomikosis, dermatofitosis dan histoplasmosis merupakan kemungkinan jamur penyebab. Malaria dan trikomoniasis dilaporkan sebagai protozoa penyebab. Pada anak-anak, virus Epstein-Barr dan enterovirus pernah diidentifikasi Obat-obatan penyebab termasuk penisilin, sulfam fenitoin (dan antikonvulsan yang serupa), karbamazepin dan barbiturat. Pada akhir tahun 2002, The US Food and

Administration (FDA) dan The Manufacturer Pharmaca mendapatkan bahwa SSJ dilaporkan pada pasien yang menggunakan cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor valdecoxib. Berbagai keganasan dan limfoma dihubungkan dengan penyakit ini. SSJ tidak diketahui penyebabnya (idiopatik) pada 25-50 % kasus.

Você também pode gostar