Você está na página 1de 5

Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu Diposting oleh admin 2 March 2012 Cetak buletin ini Cetak buletin

in ini Kirim komentar At Tauhid edisi VIII/10 Oleh: Satria Buana

Pembaca muslim yang dimuliakan oleh Allah taala, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya. (HR. Bukhari). Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.

Adab Bagi Tuan Rumah 1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa! (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) 2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Sejelekjelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan. (HR. Bukhari Muslim) 3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang. 4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal. (HR. Bukhari) 5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah taala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim alaihis salam bersama tamu-tamunya: Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: Tidakkah kalian makan? (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27) 6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim alaihis salam. Beliau diberi gelar Abu Dhifan (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu. 7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim. 8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib 9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam: Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami. (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua. 10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya. 11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang. 12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim alaihis salam, Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka. (Qs. Adz-Dzariyat: 27) 13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka. 14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri. 15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya. Para sahabat berkata: Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya. 16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.

Adab Bagi Tamu 1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,Barangsiapa yang diundang maka datangilah! (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. (HR. Bukhari) 2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin. 3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung niatnya. (HR. Bukhari Muslim) 4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah taala dalam firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar. (QS. Al Ahzab: 53) 5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah! (HR. Muslim) 6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan. 7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan. 8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah taala dalam ayat di atas: Bila kamu selesai makan, keluarlah! (QS. Al Ahzab: 53) 9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat mempererat kasih sayang antara sesama muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai. (HR. Bukhari) 10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Masud radhiyallahu anhu: Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, Buatkan aku makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya. Kemudian, Abu Suaib berkata, Aku telah mengizinkannya. (HR. Bukhari) 11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa: Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya. (HR. Abu Daud, dinilai shahih oleh Al Albani) Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman. (HR. Muslim) Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka. (HR. Muslim) 12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah. [Satria Buana]

Adab Bertamu dalam Islam Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling mengunjungi atau bertamu, yang dikenal dengan isitilah silaturrahmi oleh kebanyakan masyarakat. Walaupun sesungguhnya istilah silaturrahmi itu lebih tepat (dalam syariat) digunakan khusus untuk berkunjung/ bertamu kepada sanak famili dalam rangka mempererat hubungan kekerabatan.

Namun, bertamu, baik itu kepada sanak kerabat, tetangga, relasi, atau pihak lainnya, bukanlah sekedar budaya semata melainkan termasuk perkara yang dianjurkan di dalam agama Islam yang mulia ini. Karena berkunjung/bertamu merupakan salah satu sarana untuk saling mengenal dan mempererat tali persaudaraan terhadap sesama muslim.

Allah berfirman: Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. (Al Hujurat: 13)

Rasulullah bersabda: :

Bila seseorang mengunjungi saudaranya, maka Allah berkata kepadanya: Engkau dan perjalananmu itu adalah baik, dan engkau telah menyiapkan suatu tempat tinggal di al jannah (surga). (Shahih Al Adabul Mufrad no. 345, dari shahabat Abu Hurairah )

Namun yang tidak boleh dilupakan bagi orang yang hendak bertamu adalah mengetahui adab-adab dan tata krama dalam bertamu, dan bagaimana sepantasnya perangai (akhlaq) seorang mukmin dalam bertamu. Karena memiliki dan menjaga perangai (akhlaq) yang baik merupakan tujuan diutusnya Rasulullah , sebagaimana beliau bersabda:

Sesungguhnya aku diutus dalam rangka menyempurnakan akhlaq (manusia).

Oleh karena itu, pada kajian kali ini, akan kami sebutkan beberapa perkara yang hendaknya diperhatikan dalam bertamu. Di antaranya sebagai berikut: 1. Beritikad Yang Baik Di dalam bertamu hendaknya yang paling penting untuk diperhatikan adalah memilki itikad dan niat yang baik. Bermula dari itikad dan niat yang baik ini akan mendorong kunjungan yang dilakukan itu senantiasa terwarnai dengan rasa kesejukan dan kelembutan kepada pihak yang dikunjungi.

Bahkan bila ia bertamu kepada saudaranya karena semata-mata rasa cinta karena Allah dan bukan untuk tujuan yang lainnya, niscaya Allah akan mencintainya sebagaimana ia mencintai saudaranya. Sebagaimana Rasulullah : : : . : : . :

Ada seseorang yang berkunjung kepada saudaranya di dalam suatu kampung, maka Allah mengirim malaikat untuk mengawasi arah perjalanannya. Ia (malaikat) bertanya kepadanya: Mau kemana anda pergi? Ia menjawab: Kepada saudaraku yang ada di kampung ini. Malaikat berkata: Apakah dia memiliki nikmat (rizki) yang akan diberikan kepada engkau. Dia menjawab: Tidak, semata-mata saya mencintainya karena Allah. Malaikat berkata: Sesungguhnya saya diutus oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu. (Shahih Al Adabul Mufrad no. 350, Ash Shahihah no. 1044) 2. Tidak Memberatkan Bagi Tuan Rumah Hendaknya bagi seorang tamu berusaha untuk tidak membuat repot atau menyusahkan tuan rumah, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : . : :

Tidak halal bagi seorang muslim untuk tinggal di tempat saudaranya yang kemudian saudaranya itu terjatuh ke dalam perbuatan dosa. Para shahabat bertanya: Bagaimana bisa dia menyebabkan saudaranya terjatuh ke dalam perbuatan dosa? Beliau menjawab: Dia tinggal di tempat saudaranya, padahal saudaranya tersebut tidak memiliki sesuatu yang bisa disuguhkan kepadanya. (HR. Muslim) Al Imam An Nawawi berkata: Karena keberadaan si tamu yang lebih dari tiga hari itu bisa mengakibatkan tuan rumah terjatuh dalam perbuatan ghibah, atau berniat untuk menyakitinya atau berburuk prasangka (kecuali bila mendapat izin dari tuan rumah). (Lihat Syarh Shahih Muslim 12/28) 3. Memilih Waktu Berkunjung Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu juga memperhatikan dengan cermat waktu yang tepat untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa menimbulkan perasaan yang kurang baik dari tuan rumah bahkan tetangganya. Dikatakan oleh shahabat Anas :

Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada waktu malam. Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi atau sore. (Muttafaqun Alaihi) Demikianlah akhlak Nabi , beliau memilih waktu yang tepat untuk mengunjungi keluarganya, lalu bagaimana lagi jika beliau hendak bertamu/mengunjungi orang lain (shahabatnya)? Tentunya kita semua diperintahkan untuk meneladani beliau . 4. Meminta Izin Kepada Tuan Rumah

Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah di dalam firman-Nya (artinya): Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat. (An Nur: 27) Di dalam ayat tersebut, Allah memberikan bimbingan kepada kaum mukminin untuk tidak memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. Di antara hikmah yang terkandung di dalamnya adalah: Untuk menjaga pandangan mata. Rasulullah bersabda:

Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata. (Muttafaqun Alaihi) Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya sebagaimana pakaian itu sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu meminta izin kepada penghuni rumah terlebih dahulu, maka ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumahnya tersebut. Sehingga tidaklah dibenarkan ia melihat ke dalam rumah melalui suatu celah atau jendela untuk mengetahui ada atau tidaknya tuan rumah sebelum dipersilahkan masuk. Di antara mudharat yang timbul jika seseorang tidak minta izin kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri, perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara diam-diam merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itulah Allah melarang kaum mukminin untuk memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Taisirul Karimir Rahman, Asy Syaikh Abdurrahman As Sadi)

Bagaimana Tata Cara Meminta Izin? Para pembaca, dalam masalah meminta izin Rasulullah telah memberikan sekian petunjuk dan bimbingan kepada umatnya, di antaranya adalah: a. Mengucapkan salam Diperintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu, sebagaimana ayat di atas (An Nur: 27). Pernah salah seorang shahabat beliau dari Bani Amir meminta izin kepada Rasulullah yang ketika itu beliau sedang berada di rumahnya. Orang tersebut mengatakan: Bolehkah saya masuk? Maka Rasulullah pun memerintahkan pembantunya dengan sabdanya: :

Keluarlah, ajari orang ini tata cara meminta izin, katakan kepadanya: Assalamu alaikum, bolehklah saya masuk? Sabda Rasulullah tersebut didengar oleh orang tadi, maka dia mengatakan: Akhirnya Nabi pun mempersilahkannya untuk masuk rumah beliau. (HR. Abu Dawud)

Lihatlah wahai pembaca, perkataan Bolehkah saya masuk atau yang semisalnya saja belum cukup. Bahkan Nabi memerintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dulu. Bahkan mengucapkan salam ketika bertamu juga merupakan adab yang pernah dicontohkan oleh para malaikat (yang menjelma sebagai tamu) yang datang kepada Nabi Ibrahim u sebagaimana yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya (artinya): Ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam. (Adz Dzariyat: 25)

b. Meminta izin sebanyak tiga kali

Rasulullah bersabda: Meminta izin itu tiga kali, apabila diizinkan, maka masuklah, jika tidak, maka kembalilah. (Muttafaqun Alaihi)

Hadits tersebut memberikan bimbingan kepada kita bahwa batasan akhir meminta izin itu tiga kali. Jika penghuni rumah mempersilahkan masuk maka masuklah, jika tidak maka kembalilah. Dan itu bukan merupakan suatu aib bagi penghuni rumah tersebut atau celaan bagi orang yang hendak bertamu, jika alasan penolakan itu dibenarkan oleh syariat. Bahkan hal itu merupakan penerapan dari firman Allah (artinya): Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: Kembalilah, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An Nur: 28)

5. Mengenalkan Identitas Diri Ketika Rasulullah menceritakan tentang kisah Isra Miraj, beliau bersabda: Kemudian Jibril naik ke langit dunia dan meminta izin untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: Siapa anda? Jibril menjawab: Jibril. Kemudian ditanya lagi: Siapa yang bersama anda? Jibril menjawab: Muhammad. Kemudian Jibril naik ke langit kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya di setiap pintu langit, Jibril ditanya: Siapa anda? Jibril menjawab: Jibril. (Muttafaqun Alaihi) Sehingga Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal Riyadhush Shalihin membuat bab khusus, Bab bahwasanya termasuk sunnah jika seorang yang minta izin (bertamu) ditanya namanya: Siapa anda? maka harus dijawab dengan nama atau kunyah (panggilan dengan abu fulan/ ummu fulan) yang sudah dikenal, dan makruh jika hanya menjawab: Saya atau yang semisalnya.

Ummu Hani, salah seorang shahabiyah Rasulullah mengatakan:Aku mendatangi Nabi ketika beliau sedang mandi dan Fathimah menutupi beliau. Beliau bersabda: Siapa ini? Aku katakan: Saya Ummu Hani. (Muttafaqun Alaihi) Demikianlah bimbingan Nabi yang langsung dipraktekkan oleh para shahabatnya, bahkan beliau pernah marah kepada salah seorang shahabatnya ketika kurang memperhatikan adab dan tata cara yang telah beliau bimbingkan ini. Sebagaimana dikatakan oleh Jabir :Aku mendatangi Nabi , kemudian aku mengetuk pintunya, beliau bersabda: Siapa ini? Aku menjawab: Saya. Maka beliau pun bersabda: Saya, saya..!!. Seolah-olah beliau tidak menyukainya. (Muttafaqun Alaihi) 6. Menyebutkan Keperluannya Di antara adab seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada tuan rumah. Supaya tuan rumah lebih perhatian dan menyiapkan diri ke arah tujuan kujungan tersebut, serta dapat mempertimbangkan dengan waktu/ keperluannya sendiri. Hal ini sebagaimana Allah mengisahkan para malaikat yang bertamu kepada Ibrahim u di dalam Al Quran (artinya): Ibrahim bertanya: Apakah urusanmu wahai para utusan? Mereka menjawab: Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa. (Adz Dzariyat: 32) 7. Segera Kembali Setelah selesai Urusannya Termasuk pula adab dalam bertamu adalah segera kembali bila keperluannya telah selesai, supaya tidak mengganggu tua rumah. Sebagaimana penerapan dari kandungan firman Allah : tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah selesai makan kembalilah tanpa memperbanyak percakapan, (Al Ahzab: 53) 8. Mendoakan Tuan Rumah Hendaknya seorang tamu mendoakan atas jamuan yang diberikan oleh tuan rumah, lebih baik lagi berdoa sesuai dengan doa yang telah dituntunkan Nabi , yaitu:

Ya Allah, berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau berikan rizki kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah mereka. (HR. Muslim) Demikianlah tata cara bertamu, mudah-mudahan pembahasan ini menjadi bekal bagi kita (kaum muslimin) untuk lebih bersikap sesuai dengan bimbingan Nabi dalam bertamu. Wallahu alam bis showab. Penulis : Buletin Al-Ilmu Jember

Você também pode gostar