Você está na página 1de 2

Pendidikan Alternatif untuk Anak

Ngutip sedikit dari Kak Seto: "Setiap anak pada dasarnya cerdas, setiap anak mempunyai hak
yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Dan, setiap anak sedapat mungkin memperoleh pendidikan
yang layak bagi diri mereka. Namun dalam pengalaman dilapangan menunjukan bahwasannya banyak
anak mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan selama bersekolah. Sebut saja, kasus bullying,
bentakan dan kekerasan dari guru bahkan pemasungan kreatifitas anak. Pengalaman-pengalaman yang
kurang berkesan tersebut menimbulkan phobia terhadap sekolah (School Fobia) bagi anak dan orang
tua.
Kemudian upaya penyeragaman kemampuan dan keterampilan semua anak untuk seluruh
bidang turut mematikan minat dan bakat anak yang tentunya berbeda-beda, karena setiap anak adalah
unik. Lebih jauh lagi, kurikulum yang terlalu padat dan tugas-tugas rumah yang menumpuk membuat
kegiatan belajar menjadi suatu beban bagi sebagian anak. Melihat kondisi ini, maka perlu dicarikan
solusi alternative bagi anak-anak yang kurang cocok dengan sistem pendidikan formal, salah satu
bentuk kegiatannya yaitu HomeSchooling?...."
Akhir-akhir ini kita sering saksikan mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah dengan
alternatif pendekatan dan metodologi pengajaran “link & mach yang cenderung praktis dan katanya
lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik. Program pendidikan
tersebut sering kita kenal dengan istilah home schooling. Diseluruh dunia terdapat kurang lebih 6 juta
home schooling tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Walaupun bagi kalangan praktisi
pendidikan sendiri substansi pendidikan home schooling secara simplistis inheren dengan SMP
terbuka, SMA terbuka, Universitas terbuka atau yang sekarang sedang trend adalah e-learning, namun
memang ada kecenderungan bahwa home schooling agak “berbeda” jika dilihat dari tingkat
fleksibilitas dan metodologi pengajarannya. Fleksibilitas konsep pendidikan home schooling memang
an-sich mengacu kepada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan/kemauan dan hoby
individual (baca : siswa) dengan orientasi cita-citanya bekerja atau menguasai bidang-bidang tertentu
yang menjadi harapannya dalam bekerja. Fleksibilitas tersebut juga diukur dari metode belajar-
mengajar yang tidak “terbelenggu” oleh dimensi ruang dan waktu secara formal serta menjamin tingkat
kompetensi terealisir dengan baik. Dengan kata lain konsepsi link & mach memang cenderung lebih
efektif jika para siswa belajar dalam tataran konsep pendidikan model ini. Apalagi jika kalangan dunia
industri sudah menjalin kerja sama dan membangun hubungan dengan lembaga pendidikan home
schooling misalnya mengenai pola standard alternatif bagi kompetensi para lulusan (baca : dalam hal
ijasah dan nilai) yang selama ini menjadi domainnya pemerintah.
Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih
progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai
cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan
formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang
mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan
di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa
sudah lama pendidikan kita di “hantui “oleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi
dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar
dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang
tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang
relatif “aman” buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang
selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat
terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di
pendidikan formal. Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi
pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola
pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era
globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi
yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau
berwirausaha).
Memang selama ini bagi sebagian kalangan praktisi pendidikan, mereka menjustifikasi bahwa
kebutuhan kompetensi tersebut tetap menjadi skala prioritas yang harus terus dikembangkan dalam
setiap jenjang kurikulum. Melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan sekarang berubah lagi
menjadi kurikulum berbasis pengetahuan terpadu ditambah kurikulum lokal yang terus berganti.
Konsep dan desain penerapan kurikulum tersebut dilakukan dengan pendekatan pemikiran dan teori
tentang kecerdasan berganda, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional dengan asumsi bahwa
mereka (baca : para pakar dan praktisi pendidikan) menganggap bahwa setiap insan haruslah perlu
diakui dan dihargai modalitas belajarnya. Para praktisi pendidikan menerapkan desain konsep
pendidikan dalam berbagai strata dengan berupaya mengelaborasi tingkat intelektualitas ide dan
gagasan akademiknya dengan pendekatan teoritical education an sich. Kecenderungan teoritical yang
intens tersebutlah yang pada akhirnya menimbulkan problematik teoritis dalam dunia pendidikan kita.
Implikasinya bisa kita lihat dari terlalu seringnya kurikulum berganti tanpa visi baik content maupun
format penerapannya di lapangan. Akibatnya pula bukan cuma para guru yang kesulitan
mengintepretasikan dan mengimplementasikan program kurikulum yang dibuat pemerintah, para siswa
pun akhirnya “terbelenggu”untuk menerima konsep dan program pendidikan tersebut tanpa reserve.
Kasus kontroversi output penerapan standard kelulusan untuk siswa yang baru-baru ini terjadi
semakin menjadi salah satu pemicu kuat bagaimana persoalan standard dalam dunia pendidikan juga
menjadi salah satu faktor penting mengapa masyarakat mulai beralih untuk lebih jauh melihat standard
bukan secara lokal namun sudah jauh ke standard yang lebih bersifat mondial misalnya standard
Amerika sampai standard ketaraf Internasional semisal lembaga pendidikan yang menerapkan sistem
ISO dalam program pendidikannya. Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan
home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana
seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk
dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan
tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home
schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya
memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara
baku dan menjadi domain pemerintah.
Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home
schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan
ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami
bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas
dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan
home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa
yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh
ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the j ob method, garansi dan konsepsi
link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program
pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah. Apakah
pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan
home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan
yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di
Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik
terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas
tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat
komunitas, namun cenderung individualistik.

Você também pode gostar