Você está na página 1de 17

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA

JUDUL PROGRAM ANALISIS POLA KONSUMSI DAN KECUKUPAN NUTRISI MASYARAKAT KAYA DAN MISKIN DI PERKOTAAN

OUTPUT PENELITIAN

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2011

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1. Pendahuluan Kesejahteraan masyarakat tentunya merupakan salah satu tujuan dan akhir pencarian suatu bangsa. Walau kesejahteraan masyarakat umumnya diukur oleh PDB per kapita, namun banyak aspek seperti kesenjangan sosial, tingkat pendidikan, nutrisi, dan indikator kesejahteraan suatu bangsa yang juga penting untuk diperhatikan. Penyempurnaan penggabungan PDB dengan berbagai indikator lain itulah yang disebutkan dengan Indeks Pembangunan Manusia.

Konsumsi pangan -- yang memberikan pengaruh signifikan terhadap produktivitas suatu bangsa -tentunya merupakan salah satu indikator kemajuan yang vital. Selain itu, terpenuhinya kecukupan nutrisi minimal yang dibutuhkan per hari juga dapat menambah usia harapan hidup masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, ada beberapa hal yang mempengaruhi perilaku konsumsi pangan masyarakat. Diantara faktor ini pendapatan merupakan faktor utama, walaupun terdapat juga beberapa faktor lain seperti gaya hidup, kebiasaan, dan pengaruh lingkungan. Salah satu cara untuk mengetahui apakah suatu masyarakat adalah masyarakat yang sehat atau tidak adalah dengan melihat pola konsumsi masyarakat dan bagaimana pemenuhan kebutuhan nutrisi mereka. Berikut adalah tabel kebutuhan nutrisi orang dewasa.

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Indonesia sendiri saat ini berada pada kategori serius1 di mana 16 persen dari populasi mengalami malnutrisi, atau kekurangan zat makanan yang dibutuhkan untuk hidup sehat. Angka ini menjadi semakin mengkhawatirkan jika membandingkan bahwa persentase balita yang menderita malnutrisi di Indonesia mencapai 17.5%, ketiga tertinggi bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya yang memiliki GDP/kapita lebih rendah. Source: Asian Development Bank

Jakarta sendiri sebagai kota metropolitan yang pendapatan per kapita (diluar minyak dan gas) terbesar di Indonesia, juga tidak lepas dari masalah ini. Masih banyak penduduk DKI Jakarta yang konsumsi pangannya kurang atau tidak sehat. Parahnya, yang mengalami masalah nutrisi bukan hanya mereka yang pendapatannya kurang, melainkan juga mereka yang berasal dari golongan menengah dan menengah ke atas, akibat pola konsumsi pangan yang tidak seimbang. Obesitas dan kolestrol juga menjadi permasalahan bagi banyak warga menengah ke atas di Jakarta.

Source: PT Roche Indonesia <www.obesitas.web.id>

World Hunger Index, 2010

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Dari perkiraan 210 juta penduduk Indonesia tahun 2000, jumlah penduduk yang overweight diperkirakan mencapai 76.7 juta (17.5%) dan pasien obesitas berjumlah lebih dari 9.8 juta (4.7%). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa overweight dan obesitas di Indonesia telah menjadi masalah besar yang memerlukan penanganan secara serius. Perbedaan Pola Konsumsi, Gizi dan Nutrisi Masyarakat Berpenghasilan Tinggi dan Rendah

Besarnya konsumsi (yang dapat diukur dalam satuan uang) yang dibelanjakan secara tidak langsung dapat mencerminkan kemampuan ekonomi rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan yang mencakup barang dan jasa (Aminuddin, 2006). Semakin tinggi pengeluaran untuk pangan, semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Sebaliknya, menurut Mulyanto (2005) dan Rosida (2007), semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumah tangga tersebut dinilai lebih sejahtera.

Elastisitas pendapatan (tingkat perubahan pola konsumsi akibat adanya tingkat perubahan pendapatan) juga berbeda antara tiap-tiap makanan. Elastisitas pendapatan tidak saja bergantung kepada jenis barang pangan apa yang dikonsumsi, namun juga bergantung kepada daerah, waktu, dan kelas masyarakat yang berbeda (Sudarman, 2000).

Melihat perbandingan antara tingkat pendapatan perorangan dengan pola makanan yang dikonsumsi, pada tahun 1996 atau sebelum krisis, orang miskin (tingkat pendapatan relatif 0,2, dari skala nol hingga 1,0) memakan sekitar 70 persen karbohidrat dari keseluruhan makanan yang dikonsumsi. Pada tahun 1999, saat terjadi krisis, orang menjadi lebih miskin, sehingga karbohidrat
COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang dikonsumsi mencapai 75 persen. Sementara itu, pada tahun 2002, orang miskin pada tingkat pendapatan yang sama mengkonsumsi hanya 65 persen karbohidrat. (Timmer, 2003). Penelitian Timmer menunjukkan bahwa sejak krisis ekonomi sampai tahun 2003 telah ada perbaikan gizi terutama bagi orang miskin. Akan tetapi, hal tersebut ternyata tidak berlaku kepada orang yang memiliki pendapatan berpenghasilan tinggi. Hal tersebut dapat disimpulkan dari fakta bahwa sebelum krisis, saat krisis, dan setelah krisis belum ada perbaikan yang signifikan dalam konsumsi karbohidrat. Pada tahun 1999 konsumsi karbohidrat sekitar 60 persen, sementara tahun 2002 menjadi sekitar 57 persen. Hal ini mengundang argumentasi bahwa seiring dengan kenaikan pendapatan, belum tentu terdapat perubahan perbaikan nutrisi dan gizi. Perbaikan nutrisi dan gizi tentunya juga dapat dinilai dari tingkat obesitas dimana obesitas pada dasarnya merupakan indikasi tidak terjadinya kesesuaian antara konsumsi kalori dengan kebutuhan tubuh. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap obesitas yaitu: Hereditas (Ali Khomsan, 2003:90), tingkat pendapatan keluarga (Sjahmien Moehji, 2003:70), pengetahuan orang tua (Soetjiningsih,1995:10), pola makan (Sjahmien Moehji, 2003:70), kurang aktivitas fisik (Soetjiningsih,1995:185), hormonal (Soetjiningsih,1995:186), dan psikologis (Soetjiningsih,1995:188).

Kenaikan penghasilan mendorong masyarakat untuk memilih makanan yang kualitasnya lebih tinggi. Namun seiring pendapatan tersebut terus bertambah, pemilihan bahan makanan mulai bergeser kearah konsumsi makanan olahan yang telah mengalami pemurnian (refined foods). Bahan-bahan yang telah mengalami pemurnian itu sering sudah kehilangan sebagian kandungan zat gizinya, terutama serat yang justru sangat diperlukan tubuh. (Sjahmien Moehji, 2003:70)

Melihat tinjauan di atas, maka kami merasa perlu diadakannya penelitian dan pembuktian hipotesa bahwa pola konsumsi nutrisi di kalangan masyarakat berpenghasilan tinggi tidak lebih baik atau mungkin lebih buruk dibandingkan pola konsumsi nutrisi di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2. Formulasi Model Pengumpulan data yang bersifat cross-section dilakukan terhadap 76 orang sampel, yang di antaranya 49 orang masyarakat miskin di bantaran rel kereta api Senen, dan 27 orang masyarakat tidak miskin di perumahan Pesona Khayangan Depok. Sampling yang dilakukan bersifat convenience sampling, bertujuan melihat fenomena yang terjadi di masyarakat, tanpa mencoba menjelaskan karakteristik populasi. Data yang dikumpulkan diolah dengan metode regresi linear Ordinary Least Squares (OLS). Fenomena yang ingin dilihat adalah hal-hal apa saja yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat perkotaan. Ada pun data yang dikumpulkan adalah: 1) Pendapatan 2) Lama Pendidikan 3) Ongkos bepergian ke pasar/supermarket terdekat 4) Konsumsi Bahan Bakar 5) Konsumsi Pulsa 6) Merokok/Tidak 7) Ada tidaknya anggota keluarga lain yang bekerja.

Pertanyaan pendapatan dimaksudkan untuk melihat pengaruh kenaikan pendapatan terhadap proporsi pendapatan yang dipergunakan untuk konsumsi pangan. Data pendapatan didapatkan melalui proksi pengeluaran, di mana responden diminta menjabarkan seluruh pengeluaran bulanan mereka. Pertanyaan ongkos pergi ke pasar dimaksudkan untuk melihat apakah akses seseorang terhadap bahan pangan berpengaruh signifikan terhadap konsumsinya. Selain itu, pertanyaan seperti pemakaian bahan bakar dan konsumsi pulsa bermaksud untuk melihat apakah besarnya kebutuhan terhadap barang ini berpengaruh terhadap anggaran pangan seseorang. Terakhir, pertanyaan tentang rokok adalah untuk melihat seberapa besar efek anggaran rokok terhadap anggaran pangan seseorang.

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, dirumuskan suatu model regresi linear dengan proporsi pendapatan untuk pangan sebagai variabel terikat, sementara sisanya sebagai variable bebas. Adapun model ekonometrika sebagai berikut:

Yi = b0 + b1Inci + b2 Pulsi + b3Marci + b 4 D1i + ei


Yi = Proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi bahan pangan (persen)
COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Inci = Pendapatan (rupiah per bulan) Educi = Lama pendidikan (tahun) Pulsi = Konsumsi pulsa (rupiah per bulan) Marci = Ongkos pergi ke pasar/supermarket terdekat (rupiah) Gasi = Konsumsi bahan bakar (rupiah per bulan) D1i D1i = 0; tidak merokok D1i = 1; merokok Keterangan: Proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi bahan pangan adalah porsi pengeluaran yang dikeluarkan oleh responden untuk membeli bahan-bahan kebutuhan makanan, baik berupa makanan, minuman, atau bahan-bahan penunjang seperti minyak goreng, garam, gula, dan lain-lain. Pendapatan adalah rata-rata pendapatan yang diterima dalam satu bulan, dihitung dari total pengeluaran di tambah total tabungan setiap bulannya. Pengeluaran pulsa adalah total pengeluaran untuk pembelian pulsa setiap bulannya. Jarak tempat tinggal ke pasar/supermarket dihitung dari ongkos yang harus dikeluarkan untuk bepergian ke sana. Konsumsi bahan bakar adalah keseluruhan pengeluaran yang dipakai untuk pembelian bahan bakar, baik bensin untuk kendaraan bermotor maupun minyak tanah untuk keperluan rumah tangga. Variabel Dummy 1 mengukur variabel kualitatif responden yang merokok dan yang tidak merokok.

Hipotesis awal adalah semua variable bebas memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel Yi.

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 3. Hasil dan Pembahasan

Proporsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk bahan makanan dapat menjelaskan berbagai hal seperti kesejahteraan masyarakat dan juga pola konsumsi masyarakat. Pada umumnya, nilai proporsi pendapatan masyarakat untuk bahan pangan yang rendah menandakan kesejahteraan masyarakat tinggi, karena mereka telah mampu mengalokasikan sejumlah besar pendapatannya untuk non-makanan. Tetapi di sisi lain, nilai rendah tersebut tidak berarti baik, jika ternyata kecukupan gizi masyarakat tidak terpenuhi.

Salah satu yang dapat ditelaah adalah bagaimana kenaikan pendapatan dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan seseorang, dilihat dari berkurangnya proporsi konsumsi pangan terhadap pendapatan (pendapatan dan proporsi menunjukkan hubungan negatif).

Setelah melalui pengujian pelanggaran asumsi OLS, terbukti bahwa tidak ada variabel yang mengalami masalah multikolinearitas, tetapi terdapat heteroskedastisitas (residual tidak terdistribusi dengan normal). Oleh karena itu, regresi dilakukan dengan metode robust untuk menghilangkan heteroskedastisitas dengan memberi bobot standar eror.

Adapun hasil regresi terhadap 80 sampel adalah sebagai berikut.

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Dengan demikian, model estimasi yang didapat adalah sebagai berikut: Y = 1.759 - 0.08 Inc 0.013 Puls 0.007 Marc 0.07 Rokok + e

Pengujian model dilakukan dengan uji-F statistik, untuk melihat apakah secara keseluruhan variabel-variabel independen yang terdapat pada model dapat mempengaruhi variabel independen. Dengan nilai Prob>F sebesar 0.0000, maka pada tingkat kepercayaan 5%, model signifikan mempengaruhi variabel independen. Sementara itu, dari nilai R-squared disimpulkan bahwa 48,9% perubahan pada variabel dependen dapat dijelaskan oleh perubahan-perubahan pada variabel independen.

Adapun pengujian untuk masing-masing variabel independen adalah sebagai berikut.

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Variabel p-value Estimasi arah (hipotesis) Inc 0.010 Negatif Arah pada Keterangan hasil estimasi Negatif Signifikan pada 5% Puls 0.028 Negatif Negatif Signifikan pada 5% Marc 0.066 Negatif Negatif Signifikan pada 10% Rokok 0.101 Negatif Negatif Tidak signifikan Terima H0 Tolak H0 Tolak H0 Tolak H0 Kesimpulan

Dari tabel di atas terlihat bahwa pada hasil regresi OLS cross-section yang dilakukan, variabel-variabel independen Inc dan Puls signifikan mempengaruhi variabel independen pada tingkat kepercayaan 5%, Marc signifikan pada tingkat kepercayaan 10%, sementara variabel Rokok tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen.

Hasil ini sesuai dengan hipotesis awal yakni terdapat hubungan yang negatif antara pendapatan seseorang dengan proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi bahan pangan. Meski demikian, koefisien-nya tidak terlalu besar. Kenaikan pendapatan seseorang sebesar 1% akan mengurangi proporsi pendapatan yang digunakan untuk bahan pangan sebesar 0.08%.

Sementara itu, variabel pengeluaran pulsa dan

ongkos bepergian ke pasar

tradisional/swalayan terdekat juga signifikan dan memiliki hubungan yang negatif, namun dengan koefisien yang kecil. Artinya kedua hal ini benar mempengaruhi pola konsumsi pangan seseorang, walaupun hanya sedikit.

Yang cukup mengherankan adalah bahwa variabel dummy merokok atau tidaknya seseorang ternyata tidak signifikan mempengaruhi pola konsumsi pangan seseorang.

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Padahal, studi literatur sebelumnya menunjukkan bahwa perokok memiliki porsi konsumsi rokok yang cukup besar terhadap pendapatannya (Lembaga Demografi, 2005).

Dengan fakta di atas, terlihat bahwa kesejahteraan seseorang berpengaruh signifikan terhadap konsumsi pangan mereka. Dalam bagian berikut, akan dibahas pemenuhan gizi masyarakat perotaan, dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi mereka. Dengan melihat perbandingan tersebut dan hasil regresi ini, barulah akan ditarik kesimpulan mengenai kondisi pangan masyarakat perkotaan.

4. Keadaan Asupan Nutrisi Masyarakat

Kecukupan gizi kerap kali digunakan sebagai tolak ukur seberapa jauh tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Tak sedikit pihak berkeyakinan bahwa masalah gizi dikarenakan oleh ketidaktercukupinya asupan gizi minimal. Padahal bila dilihat lebih jauh, masalah gizi bukan hanya sebatas busung lapar, gizi buruk dan masalah kurang gizi lainnya, namun pemenuhan asupan gizi yang jauh lebih dari ideal juga merupakan suatu masalah, mengingat angka obesitas yang semakin membahayakan dari hari ke hari. Oleh karenanya baik kasus kurang maupun gizi berlebih merupakan masalah yang serius.

Selanjutnya, jumlah pendapatan sering dikaitkan sebagai salah satu faktor yang paling menentukan terhadap pemenuhan gizi seseorang. Masyarakat dengan pendapatan tinggi, diyakini memiliki lebih banyak kemampuan dalam upaya pemenuhan gizi yang seimbang dibanding masyarakat berpendapatan rendah. Pendapat ini benar, sayang pada faktanya kemampuan yang cukup untuk pemenuhan gizi tersebut sering kali tidak diimbangi dengan pola konsumsi yang benar dari masyarakatnya.

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%

belum memenuhi memenuhi

Diagram 1. Pemenuhan Asupan Gizi Masyarakat Kaya terhadap AKGSumber: Data Primer

Berdasar survey (Diagram 1) terlihat bahwa rata-rata asupan gizi dari masyarakat menengah keatas masih banyak kurang dari AKG ideal. Sejumlah zat-zat penting seperti energi, kalsium, vitamin E, dan B12 bahkan masih jauh dari cukup. Hanya vitamin C, A, dan fosfor yang mendekati ideal, sedangkan Zat besi justru melebihi angka kecukupan yang dibutuhkan.

Selebihnya, masyarakat berpendapatan rendah terlihat lebih memprihatinkan. Seperti yang telah diulas sebelumnya bahwa penggunaan pendapatan mereka yang rendah masih kurang dioptimalkan. Konsumsi terhadap barang-barang bukan primer seperti rokok dan pulsa yang cukup tinggi, membuat pendapatan mereka yang sudah terbatas semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi idealnya. Pemaparan dari gizi yang telah disurvei terhadap pangan mereka (Diagram 2) mengatakan bahwa terjadi kekurangan disemua zatzat primer. Vitamin C, B12, A dan kalsium berada pada posisi sangat kurang, bahkan energi, zat yang paling dibutuhkan oleh rata-rata masyarakat berpendapatan rendah yang umumnya merupakan pekerja kasar pun, hanya terpenuhi sebesar 45.69% saja, sungguh merupakan kondisi yang memprihatinkan.

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% blm memenuhi memenuhi

Diagram 2. Pemenuhan Asupan Gizi Masyarakat Miskin terhadap AKG Sumber: Data Primer

Ketimpangan hasil tersebut jelas menunjukkan masih kurangnya perhatian masyarakat perkotaan, baik mereka yang berpendapatan tinggi maupun berpendapatan rendah terhadap pemenuhan gizi idealnya. Ketidakidealan dari hasil penelitian ini sekaligus menindikasikan bahwa yang menjadi penyebab dari buruknya gizi di Indonesia bukan semata-mata karena pendapatan saja melainkan pola konsumsi masyarakat yang salah.

5. Apakah Masyarakat Perkotaan Telah Memaksimalkan Pendapatan Mereka untuk Konsumsi Pangan?

Dalam pengolahan model di bagian 3, disimpulkan bahwa pendapatan signifikan mempengaruhi proporsi konsumsi pangan seseorang, walaupun koefisien-nya tidak besar. Terlihat pula pada diagram-diagram di atas bahwa pendapatan seseorang mempengaruhi kecukupan nutrisi yang diasup setiap harinya. Asupan nutrisi masyarakat berpenghasilan tinggi terlihat jauh lebih baik daripada mereka yang berpenghasilan rendah. Dalam semua komponen gizi dalam AKG (kecuali Ca), masyarakat tidak miskin lebih baik asupan-nya.

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Namun demikian, pertanyaan yang belum terjawab adalah Apakah pendapatan merupakan satu-satunya alasan untuk tidak tercukupinya kebutuhan nutrisi masyarakat miskin di perkotaan?. Bisa saja dengan pendapatan mereka, sebetulnya masih ada pilihan dalam ruang konsumsi untuk memilih jenis makanan lain yang lebih bergizi, atau meningkatkan proporsi konsumsi pangan terhadap pendapatan mereka.

Menilik data nutrisi masyarakat tidak miskin, terlihat bahwa tampaknya pilihan makanan masih kurang optimal. Hal ini dapat terlihat dari kurangnya asupan energi mereka yang hanya sekitar 44% dari AKG. Cukup mencengangkan, melihat sebetulnya daya beli masyarakat berpenghasilan tinggi terhadap bahan pangan cukup besar. Kemudian dengan rata-rata pendidikan yang lebih tinggi, mereka seharusnya lebih mengerti pola makan yang sehat dan seimbang. Jadi, kekurangan zat energi ini bisa jadi adalah karena preferensi, lebih menyukai makanan-makanan yang lain.

Pada masyarakat berpenghasilan rendah, walaupun secara keseluruhan masih jauh di bawah AKG, persebarannya cukup merata. Energi, protein, vitamin C, semua berada di sekitar 42% AKG, sementara vitamin E dan A berada sangat kecil pada 15% dan 12%. Dari sini dapat disimpulkan bahwa masalah utama nutrisi masyarakat ini adalah kurangnya pendapatan yang dapat dialokasikan untuk konsumsi pangan. Dari data yang kami dapatkan, rerata proporsi konsumsi pangan terhadap total pendapatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah mencapai 43%. Angka ini sebetulnya masih bisa ditingkatkan lagi, mengingat masih besarnya pengeluaran untuk pos-pos seperti rokok dan biaya hiburan.

6. Kesimpulan dan Saran

Penelitian kami mengenai pola konsumsi masyarakat menengah ke bawah dan menengah ke atas menghasilkan beberapa kesimpulan yang menarik, yakni:

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1) . Variabel pengeluaran pulsa dan ongkos bepergian ke pasar

tradisional/swalayan terdekat signifikan mempengaruhi pola konsumsi pangan seseorang, walaupun hanya sedikit. (2) Variabel dummy merokok atau tidaknya seseorang ternyata tidak signifikan mempengaruhi pola konsumsi pangan seseorang. Padahal, studi literatur sebelumnya menunjukkan bahwa perokok memiliki porsi konsumsi rokok yang cukup besar terhadap pendapatannya (Lembaga Demografi, 2005). (3) Pendapatan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kecukupan nutrisi seseorang, melainkan juga pola konsumsi dari individu tersebut. Kesimpulan ini diambil dengan melihat keadaan asupan nutrisi masyarakat berpenghasilan tinggi maupun rendah yang belum optimal. Hal ini mengingat bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut masih berada di bawah angka kecukupan gizi yang seimbang. Sebagai contoh, nutrisi masyarakat menengah ke atas masih banyak yang kurang dari AKG ideal yakni energi, kalsium, vitamin E, dan B12 yang masih jauh dari batas seimbang. Selain itu masyarakat berpendapatan rendah juga hanya memenuhi 45.69% dari kecukupan gizi idealnya.

Hasil penelitian menuntun kami kepada solusi dan penanganan yang berbeda untuk tiap golongan masyarakat:

(1) Untuk golongan masyarakat menengah ke bawah, konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan karena masyarakat menengah ke bawah diduga memiliki elastisitas terhadap harga yang cukup tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan subsidi terhadap makanan dasar yang memiliki nilai nutrisi yang tinggi sehingga dengan keterbatasan pangan, masyarakat miskin akan memiliki insentif untuk mengubah pola makan yang kurang sehat (seperti rokok) kepada makanan bergizi yang lebih terjangkau. (2) Untuk golongan masyarakat menengah ke atas, perbaikan konsumsi pangan lebih mengarah kepada perbaikan pola konsumsi masyarakat. Hal ini dikarenakan tingkat pendapatan mereka sebenarnya cukup memungkinkan untuk

mengkonsumsi makanan lebih banyak, hanya saja pola konsumsi yang masih

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Badan Otonom Economica Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia kurang terhadap beberapa zat tertentu, seperti energi, kalsium, dan vitamin namun berlebih pada zat lainnya seperti zat besi, menandakan bahwa optimalisasi pola konsumsi masih perlu diterapkan. Untuk itu, pemerintah harus menerapkan kampanye health awareness yang efektif. Kampanye disarankan juga untuk mempertimbangkan mobilitas dari golongan kaum menengah ke atas sehingga akan lebih baik jika dilakukan dengan media online dan radio dibandingkan dengan media konvensional seperti majalah ataupun koran.

Daftar Pustaka

1. Gujarati, Damodar N, Basic Econometrics 4/e (New York: Mc-Graw Hill, 2003) 2. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989) 3. International Food Policy Resources Institute, 2010. 2010 Global Hunger Index Report. 4. Aminuddin. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta 5. Larry Samuelson, 2005. "Foundations of Human Sociality: A Review Essay," Journal of Economic Literature, 43(2), pp. 488-497. 6. Rosida, 2007. Tingkat Pengeluaran Masyarakat. Kanisius. Yogyakarta. 7. Sudarman, Ari, 2000. "Teori Ekonomi Mikro," Buku 1, Yogyakarta : BPFE 8. Timmer, M. P. (2001), Financial and Economic Crises in Asia. Review of Income and Wealth, 47: 125133. doi: 10.1111/1475-4991.00007 9. Ali Khomsan. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo 10. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

COPYRIGHT BOE FEUI. DO NOT COPY WITHOUT PERMISSION

Você também pode gostar