Você está na página 1de 5

UNDANG-UNDANG AGAMA DAN CIVIC EDUCATION

Seperti yang telah diduga sebelumnya oleh banyak kalangan, sidang tahunan MPR 2002 beberapa waktu yang lalu pada akhirnya menyepakati dipertahankannya pasal 29 UUD 1945 tentang agama. Walaupun tidak sedikit yang kecewa dengan keputusan itu namun mayoritas mengakui bahwa tidak dirubahnya pasal tersebut merupakan langkah yang lebih bijaksana. Mengamati fenomena perdebatan amandemen pasal 29 UUD 1945 tersebut memang menarik. Walaupun banyak variasinya, pro dan kontra tentang pasal ini sejatinya tidak pernah berhasil menyentuh esensi persoalan bangsa yang plural dengan nilai-nilai denominasi kultur dan agama ini. Ganjalan utama untuk menyatukan pendapat antara dua kelompok besar yang menginginkan perubahan dan yang mempertahankan redaksi lama selalu berkutat pada masalah klasik tentang pencantuman pemberlakuan syariat Islam saja. Seolah-olah persoalan mengenai kehidupan agama di Indonesia sudah bakal selesai hanya dengan menyelesaikan problem syariat Islam disregarding persoalan lain yang sesungguhnya jauh lebih komplek dan rumit. Persoalan Identitas Harus diakui bahwa perdebatan tentang pemberlakuan syariat Islam di Indonesia merupakan perdebatan perennial yang tidak bakal ada kunjung habisnya. Begitu muncul ide ini ke permukaan maka muncul pulalah polemik pro dan kontra yang tidak kalah hebatnya. Semakin kuat yang pro mendukung ide ini sebegitu kuat pula yang kontra menolaknya. Kekuatan nyawa dari ide pemberlakuan syariat Islam ini di Indonesia, atau dimanapun berada, sejatinya tidak akan pernah padam. Kalaupun sekarang sedikit mengendor tidak berarti ia patah semangat. 17

Persidangan di MPR dalam sidang tahunan kemarin menunjukkan fenomena ini. Walaupun fraksi PPP akhirnya agak mengendor namun fraksi PBB tetap kuat mempertahankan posisinya, sementara fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (PDU) dalam pernyataan terakhirnya menunjukkan semangat untuk tetap memperjuangkan perubahan pasal 29 ini kearah yang lebih akomodatif terhadap ide pemberlakuan syariat Islam. Bagi sebagian kalangan, pencantuman keberlakuan syariat Islam dalam konstitusi negara tersebut sejatinya adalah persoalan identitas. Karena itu perjuangan terhadapnya tidak lain adalah perjuangan terhadap pengakuan identitas individual maupun kelompok (Islam) yang harus selalu dihembuskan. Dari sini kita dapat memahami mengapa politik label Islam menjadi sangat dominan bagi mereka. Persoalan identitas dalam wacana perdebatan pasal 29 kemarin sebegitu kuatnya sehingga tidak pernah muncul argumen yang menyentuh persoalan lain diluar problem pencantuman tujuh kata tersebut. Sindrom label sebegitu kuatnya sehingga tak ada satupun fraksi dalam pemandangan umumnya di MPR yang menyentuh substansi dari persoalan agama yang lebih luas. Yang menarik, dari kalangan partai Islam yang pro dengan perubahan pasal 29 tidak pernah sedikitpun berpikir tentang koherensi perubahan pasal tersebut dengan pasal-pasal lainnya seandainya redaksi kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluknya betul-betul diterima. Bagaimana hubungan pasal 29 edisi revisi itu dengan pasalpasal lain yang mengatur misalnya tentang pemilihan presiden dan wakilnya, bentuk negara, bank sentral, kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara dan lain-lainnya. Adakah pasal-pasal lain tersebut bersesuaian dengan tuntunan syariat Islam? Apatah artinya tuntutan pencantuman pemberlakuan syariat Islam tersebut kalau konstitusi itu sendiri berisi pasal-pasal yang tidak sesuai dengan syariat Islam? Bukankah berarti kita nantinya akan menciptakan konstitusi yang 18

kontradiktif di dalam. Tampak disini betapa kelompok pro revisi tersebut justru lebih mengutamakan label ketimbang isinya. Memang, pertanyaan diseputar substansi syariat Islam tidak bakalan mudah dijawab oleh kalangan Islam karena dalam tataran konsep persoalan-persoalan seperti misalnya teori tentang kepala negara, struktur dan formasi negara, konsep ekonomi dan lain-lainnya selalu tidak monolitik. Kita melihat bahwa fiqh dalam hal ini selalu bersifat multifaceted. Karena itu jawaban terhadap persoalan-persoalan itu tidak akan pernah tunggal. Walhasil, ketidakpastian yang biasanya muncul. Fenomena ini sesungguhnya tidak monopoli Indonesia. Di negara-negara mayoritas Muslim lainnya kita juga melihat bahwa diketika isu syariat Islam itu muncul maka ganjalan utamanya justru pada perumusan substansi hukum itu sendiri. Dus, tatkala label syariat Islam itu diperjuangkan maka umat Islam itu sendiri senantiasa kedodoran dalam hal substansinya. Agama dan Civic Education Langkah pemertahanan redaksi pasal 29 UUD 1945 memang langkah yang paling bijaksana untuk ditempuh dalam situasi transisi konstitusi yang dialami bangsa saat ini. Namun ini tidak berarti bahwa persoalan substansi mengenai kedudukan agama dalam ketatanegaraan kita sudah terselesaikan. Agenda utama yang musti diselesaikan pasca amandemen keempat UUD 1945 khususnya menyangkut pasal 29 adalah pada usaha perumusan undang-undang agama di Indonesia. Undang-undang agama itu diperlukan sejalan dengan tradisi civil law yang selama ini dibangun di Indonesia dimana undang-undang dasar sebagai rumusan konstitusi negara hanya memberikan arahan-arahan jeneral yang sifatnya memayungi peraturan-peraturan rinci yang ada di bawahnya. Perumusan undang-undang ini penting mengingat selama ini aturan tentang agama hanya sebatas pada peraturan-peraturan yang 19

kedudukannya di bawah undang-undang. Dengan demikian, secara herarkis peraturan itu kurang mempunyai kekuatan hukum. Bahkan, selama ini seolah-olah diasumsikan bahwa persoalan agama dalam hubungannya dengan tata negara kita sudah dicukupkan hanya dengan payung pasal 29 UUD 45 yang bersifat jeneral saja. Kepentingan terhadapnya merupakan suatu keniscayaan searah dengan perkembangan sosiologis masyarakat Indonesia yang plural dan majemuk dengan denominasi agama, adat dan budaya. Warna-warni nilai dalam masyarakat memang sesuatu yang indah dipandang mata, hanya saja keteledoran dalam manajemen pergaulan antar nilai-nilai tersebut bakalan menghasilkan kekacauan dan penindasan atas satu nilai terhadap yang lainnya. Disinilah pentingnya memerankan hukum sebagai alat konstruk sosial (tool of social engineering) untuk mendidik masyarakat yang cenderung fanatik terhadap satu nilai denominasi menuju kepada masyarakat yang mampu menghargai perbedaan dan nilai-nilai pluralitas tanpa harus mengorbankan nilai tradisi sendiri (baca misalnya Eammon Callan, Creating Citizens, 1997). Karena itu penting menciptakan undang-undang agama yang mampu menjadi alat pendidikan bagi warga negara dalam sikap keberagamaannya. Beberapa pemikiran perlu menjadi perhatian dalam penyusunan draft undang-undang agama tersebut. Pertama, bagaimana mendudukkan institusi satu agama ditengah pluralisme berbagai konsep agama dan nilai kerohanian dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat kita harus dididik untuk bersikap saling menghargai identitas agama-agama dan kepercayaan apapun yang ada. Tanpa rasa curiga dan sikap merendahkan yang lain. Kedua, bagaimana menjaga hubungan yang harmonis antar agama maupun antar paham dalam satu agama. Disini sikap lebih mengedepankan substansi ketimbang label agama menjadi tampak urgensitasnya. Pesan-pesan universal agama lah yang perlu didialogkan

20

dalam masyarakat dan bukannya politik label yang cenderung sulit untuk menghindarkan diri dari pendekatan konflik. Ketiga, bagaimana mengembangkan sistem pendidikan agama yang mampu menumbuhkan sikap saling menghargai antar pemeluk agama dan kepercayaan. Disinilah pentingnya pendidikan agama yang lintas kepercayaan (inter-religious education). Mata pelajaran perbandingan agama (comparative religions) perlu diajarkan sejak usia dini sehingga tertumbuhkan rasa pengertian dan toleran kepada agama lain pada anak didik. Agaknya dalam hal ini kita perlu lebih dalam mengkaji pemikiran para tokoh kommunitarian seperti Charles Taylor (baca The Politics of Recognition, 1993), Alasdair McIntyre (After Virtue, 1981), Michael Sandel (Liberalism and the Limits of Justice, 1998) maupun Michael Walzer (Spheres of Justice, 1983). Penekanan mereka pada pentingnya peran integritas moral pribadi (clear moral self), penghargaan identitas (identity recognition), pendidikan agama yang lintas kepercayaan (interreligious education), toleransi dan respek akan perbedaan (tolerance and respect for difference) serta penghargaan terhadap tradisi (valuing traditions) merupakan sumber-sumber moral spiritual yang penting untuk mendidik masyarakat kita dalam beragama di era millennium ini.

21

Você também pode gostar