Você está na página 1de 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa menimbulkan ini industri tekstil telah berkembang industri pesat.

tekstil Selain juga

dampak

positif,

perkembangan

menimbulkan dampak negatif. Satu diantara dampak negatif itu disebabkan oleh limbah sisa pewarnaan yang dibuang begitu saja tanpa pengolahan yang menyebabkan pencemaran lingkungan. Salah satu zat warna tekstil yang digunakan pada proses pencelupan adalah congo red. Zat warna ini sering digunakan karena dapat terikat kuat pada kain dan tidak mudah luntur. Zat warna congo red merupakan zat warna senyawa organik diazo yang nonbiodegradable. Nama IUPAC dari congo red adalah Natrium benzidindiazobis-1-naftilamin-4-sulfonat. Adsorpsi adalah suatu proses dimana suatu komponen bergerak dari suatu fasa menuju permukaan yang lain sehingga terjadi perubahan konsentrasi pada permukaan. Zat yang diserap disebut adsorbat sedangkan zat yang menyerap disebut adsorben. Pada umumnya dikenal dua jenis adsorpsi, yaitu adsorpsi fisik atau adsorpsi Van der Walls dan adsorpsi kimia atau adsorpsi teraktifasi (Oscik, 1982 dalam dewi). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendegradasi senyawa organik dalam limbah cair industri tekstil. Manurung dkk, (2004) menyatakan bahwa limbah cair organik dapat diolah melalui teknologi biologi menggunakan mikroba. Akan tetapi, sulitnya memilih mikroorganisme yang selektif serta sifat zat warna yang mempunyai ketahanan terhadap degradasi biologi menyebabkan metode ini kurang efektif. Selain dengan teknologi biologi, pengolahan limbah juga dilakukan melalui koagulasi. Koagulasi ini memiliki kekurangan karena menghasilkan lumpur (sludge) dalam jumlah relatif besar. Teknologi fisika telah digunakan untuk pengolahan limbah organik yaitu dengan proses adsorpsi karbon aktif. Proses ini tidak dapat menguraikan limbah organik sehingga limbah masih tetap tertinggal pada bentuk awalnya (Manurung dkk, 2004). 1

Selulose seperti jerami, dan serbuk kayu dapat digunakan untuk menyerap zat warna (Sutarso, 1998 dalam Diah Rahmawati ). Dari penelitian diketahui bahwa enceng gondok terdiri dari sel-sel tanaman berupa serat yang mengandung selulose. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya, sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma karena dapat merusak lingkungan perairan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan memanfaatkan enceng gondok untuk menyerap zat warna tekstil yaitu natrium benzidindiazobis-1-naftilamin-4-sulfonat. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh rasio massa adsorbent (arang enceng gondok) terhadap natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat pada limbah zat warna tekstil yang teradsorpsi? 2. Bagaimana rasio efektifitas adsorpsi antara arang enceng gondok dengan serbuk enceng gondok pada limbah zat warna tekstil? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh rasio massa adsorbent (arang enceng gondok) terhadap adsorpsi natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat pada limbah tekstil 2. Untuk mengetahui rasio efektifitas adsorpsi antara arang enceng gondok dengan serbuk enceng gondok pada limbah zat warna tekstil 1.4 Manfaat Penelitian 1. Mengurangi dampak pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah zat warna tekstil congo red (natrium benzidindiazo-bis-1naftilamin-4-sulfonat) 2. Meningkatkan kualitas lingkungan di sekitar pabrik tekstil

1.5 Definisi Operasional, Asumsi, dan Batasan Masalah a. Definisi Operasional Untuk menghindari adanya salah pengertian maka beberapa istilah dalam penelitian ini perlu didefinisikan sebagai berikut: 1. Adsorpsi adalah suatu proses dimana suatu komponen bergerak dari suatu fasa menuju permukaan yang lain sehingga terjadi perubahan konsentrasi pada permukaan. 2. Natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat (Congo red) adalah suatu turunan asam azonaftalen dengan rumus molekul yang C32H22N6Na2O6S2 yang terdapat pada limbah zat warna tekstil 3. Enceng gondok (Eichornia crossipe) merupakan herba mengapung, kadang-kadang berarak dalam tanah, menghasilkan tunas merayap yang keluar dari ketiak daun yang dapat tumbuh lagi menjadi tumbuhan baru dengan tinggi 0,4-0,8 m. Kadar O2 yang terlarut dalam air pada konsentrasi 3,5 4,8 ppm menyebabkan perkembangbiakan enceng gondok dapat berjalan dengan cepat (Moenandir,1990). 4. Arang eceng gondok merupakan partikel serbuk eceng gondok yang telah melalui proses karbonisasi dan terbentuk pori-pori baru. b. Asumsi Untuk menghindari adanya kemungkinan hasil penelitian yang bias maka perlu diasumsikan hal-hal sebagai berikut: 1. Sampel berupa tanaman enceng gondok (Eichornia crossipe) yang diteliti mempunyai umur dan kondisi lingkungan yang sama. 2. Selama proses pengumpulan, pengeringan, dan penyimpanan sampel dianggap tidak terkontaminasi oleh tumbuhnya jamur yang dapat mengakibatkan proses biotransformasi pada senyawa metabolit sekunder yang dikandungnya. 3. Limbah zat warna tekstil yang diambil pada kondisi lingkungan dan waktu yang sama.

c. Batasan Masalah Peneliti membatasi masalah yang ada dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Sampel berupa tanaman enceng gondok (Eichornia crossipe) yang diperoleh dari daerah Dinoyo, Lamongan. 2. Limbah zat warna tekstil yang diambil berasal dari Maduran, Lamongan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Enceng Gondok (Eichornia crossipe) Enceng gondok di Indonesia pada mulanya diperkenalkan oleh Kebun Raya Bogor pada tahun 1894, yang akhirnya berkembang di Sungai Ciliwung sebagai tanaman pengganggu (Brij dan Sarma, 1981 dalam Krystiyanti). Klasifikasi enceng gondok secara umum adalah (Moenandir, 1990 dalam Krystiyanti):

Enceng gondok (Eichornia crossipe) merupakan herba yang mengapung, kadang-kadang berarak dalam tanah, menghasilkan tunas merayap yang keluar dari ketiak daun yang dapat tumbuh lagi menjadi tumbuhan baru dengan tinggi 0,4-0,8 m. Kadar O2 yang terlarut dalam air pada konsentrasi 3,5 4,8 ppm menyebabkan perkembangbiakan enceng gondok dapat berjalan dengan cepat (Moenandir,1990 dalam Krystiyanti).

Gambar 1.1 Tumbuhan Enceng Gondok Muramoto dan Oki dalam (Soedibyo, 1989 dalam Krystiyanti) menjelaskan bahwa, enceng gondok dapat digunakan untuk menghilangkan polutan karena fungsinya sebagai sistem filtrasi biologis, menghilangkan nutrien mineral, untuk menghilangkan logam berat seperti cuprum, aurum, cobalt, strontium, merkuri, timah, cadmium dan nikel. Winarno menyebutkan bahwa hasil analisis kimia dari enceng gondok dalam keadaan segar diperoleh bahan organik 36,59%, C organik 21,23% N total 0,28%, P total 0,0011% dan K total 0,016% (Supriyanto dan Muladi, 1999). 2.2 Adsorpsi Adsorpsi merupakan proses bergeraknya suatu komponen dari suatu fasa menuju permukaan fasa yang lain sehingga terjadi perubahan konsentrasi pada permukaan. Pada proses adsorpsi, adsorben merupakan zat yang mempunyai sifat mengikat molekul pada permukaannya. Sifat ini menonjol pada permukaan berpori (Dewi, 2006). Adsorpsi terjadi pada permukaan zat padat dan disebabkan oleh gaya valensi (valence force) atau gaya tarik menarik (attractive forces) dari atom atau molekul pada lapisan paling luar dari zat padat tersebut (Respati, 1992 dalam Dewi ). Adsorpsi senyawa terlarut oleh adsorben berlangsung terus menerus dan berhenti pada saat sistem mencapai kesetimbangan, yaitu kesetimbangan antara konsentrasi yang tinggal dalam larutan dengan konsentrasi yang diadsorpsi oleh adsorben. Adsorben yang baik umumnya mempunyai luas permukaan yang besar tiap unit partikelnya, berpori, aktif dan murni, tidak bereaksi dengan adsorbat (Kirk and Othmer, 1981, dalam 6

Dewi). Proses adsorpsi terjadi pada konsentrasi selektif dari satu atau lebih komponen (adsorbat) dari fasa gas atau cairan pada permukaan pori-pori zat padat (adsorben). Adsorbat dapat diserap kembali dengan menaikkan temperature adsorben atau mereduksi tekanan parsial adsorbat (Rousseau, 1987, dalam Dewi). 2.2.1 Adsorpsi Fisika dan Kimia Pada umumnya dikenal dua jenis adsorpsi, yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika adalah adsorpsi yang disebabkan oleh interaksi antara adsorben dengan adsorbat pada permukaan karena adanya gaya Van der Waals (Oscik and Cooper, 1991, dalam Dewi). Adsorpsi ini berlangsung sangat cepat karena adsorbat tidak terikat dengan kuat pada permukaan adsorben sehingga dapat bergerak dari satu bagian adsorben ke bagian yang lain. Sifat adsorpsinya adalah reversible, yaitu dapat balik atau dilepaskan kembali ke dalam larutan dengan adanya penurunan konsentrasi larutan dengan panas reaksi 5 19 kkal/mol (Parker, 1984, dalam Dewi). Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang melibatkan ikatan kovalen sebagai hasil pemakaian bersama elektron oleh adsorben dan adsorbat yang membutuhkan panas adsorpsi 20 100 kkal/mol. Adsorpsi kimia berkaitan dengan pembentukan ikatan kimia yang melibatkan adsorben dan permukaan zat yang diserap (Oscik and Cooper, 1991, dalam Dewi). Adsorpsi ini biasanya tidak reversible dan adsorben harus dipanaskan pada temperatur tinggi untuk memisahkan adsorbat (Dewi, 2006). 2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Adsorpsi Proses adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (Sawyer andMc Carty, 1987) dalam Dewi): 1. Sifat dan jenis adsorben Sifat adsorben, seperti kemurnian adsorben dan luas 7

permukaannya. Kemurnian adsorben dapat ditingkatkan melalui

proses aktifasi. Makin besar luas permukaan, makin besar pula adsorpsi yang terjadi. Kemampuan adsorben untuk terikat pada adsorbat sangat bergantung pada jenis adsorben dan adsorbat yang bereaksi. Jenis adsorben menyangkut cirri khas dari suatu adsorben untuk menyerap adsorbat, apabila adsorbennya berupa tanah, mineral yang terkandung dalam tanah tersebut yang menentukan proses adsorpsi (Kusuma, 2002, dalam Dewi). 2. Temperatur Reaksi yang terjadi pada adsorpsi biasanya eksotermis, oleh karena itu adsorpsi akan besar jika terjadi pada suhu rendah. 3. Sifat adsorbat Jumlah yang teradsorpsi tergantung pada kelarutannya dalam pelarut. Kenaikan kelarutan menunjukkan ikatan yang kuat antara zat terlarut dengan pelarut dan aksi yang sebaliknya terhadap adsorpsi oleh adsorben. Besarnya kelarutan, maka ikatan antara zat terlarut dengan pelarut makin kuat sehingga adsorpsi akan makin kecil karena sebelum adsorpsi terjadi diperlukan energi yang besar untuk memecah ikatan zat terlarut dengan pelarut. 4. pH larutan Pada umumnya adsorpsi bertambah pada kisaran pH dimana suatu senyawa bermuatan netral, karena senyawa yang tidak terionisasi akan lebih mudah diserap dari pada senyawa yang terionisasi. 5. Waktu kontak Waktu kontak yang cukup diperlukan untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi, jika fase cair yang berisi adsorben diam maka difusi adsorbat melalui permukaan adsorben akan lambat, oleh karena itu diperlukan pengocokan untuk mempercepat proses 8

adsorpsi. 6. Konsentrasi adsorbat Pada umumnya akan meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi adsorbat tetapi tidak berbanding langsung. Adsorpsi akan konstan jika terjadi kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat yang diserap dengan konsentrasi yang tersisa dalam larutan. Kapasitas adsorpsi ditentukan dengan adanya pengaruh dari konsentrasi adsorbat. Penentuan kapasitas adsorpsi dapat dihitung berdasarkan mol per gram adsorben dengan menggunakan persamaan (Moret, 2005, dalam dewi):

2.3 Natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat Congo red adalah suatu turunan asam azonaftalen dengan rumus molekul C32H22N6Na2O6S2. Nama IUPAC dari congo red adalah natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat. Congo red dalam air membentuk koloid berwarna merah. Kelarutan congo red sangat baik pada pelarut organik seperti etanol. Senyawa ini memiliki berat molekul 696,67 g/mol (ONeil, 2001).

NH 2 N N N N

NH 2

SO3Na

SO3Na

Gambar 1.2 Struktur kimia congo red

Congo red biasanya digunakan dalam industri kain katun dan industri kertas. Pada beberapa kasus, congo red dapat menyebabkan alergi, seperti anaphylactic shock. Selain itu, senyawa benzidin berwarna ini diduga dapat menyebabkan kanker pada manusia. Pada pH 3,0-5,2, congo red mengalami perubahan warna dari biru menjadi merah sehingga dapat digunakan sebagai indikator pH. (ONeil, 2001). Congo red dapat diidentifikasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan memberikan warna merah. Spektra congo red menunjukkan pada puncak sekitar 498 nm (ONeil, 2001).

10

2.4 Kerangka Konseptual Penelitian


Fakta : Harapan : 1. Belum ada penelitian arang untuk mengkaji tentang penggunaan enceng gondok

(Eichornia red) pada

Dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah zat warna tekstil congo red (natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat)

crossipe) sebagai adsorben Natrium benzidindiazobis-1-naftilamin-4-sulfonat limbah zat warna tekstil


2. Enceng gondok yang melimpah di daerah Dinoyo,

(congo

Lamongan kurang termanfaatkan secara maksimal


3. Pada

beberapa

kasus,

congo

red

dapat

menyebabkan alergi, seperti anaphylactic shock.


4. Senyawa benzidin yang berwarna menyebabkan

kanker pada manusia

Rumusan Masalah :

1. Bagaimana pengaruh rasio massa adsorbent (arang enceng gondok) terhadap natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat pada limbah zat warna tekstil yang teradsorpsi? 2. Bagaimana rasio efektifitas adsorpsi antara arang enceng gondok dengan serbuk enceng gondok pada limbah zat warna tekstil?

11

Teori :

1. Adsorpsi merupakan proses bergeraknya suatu komponen dari suatu fasa menuju permukaan fasa yang lain sehingga terjadi perubahan konsentrasi pada permukaan 2. Natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat (Congo red) adalah suatu turunan asam azonaftalen dengan rumus molekul C32H22N6Na2O6S2 yang terdapat pada limbah zat warna tekstil 3. Arang eceng gondok merupakan partikel serbuk eceng gondok yang telah melalui proses karbonisasi dan terbentuk pori-pori baru. 4. Enceng gondok (Eichornia crossipe) merupakan herba yang mengapung, kadang-kadang berarak dalam tanah, menghasilkan tunas merayap yang keluar dari ketiak daun yang dapat tumbuh lagi menjadi tumbuhan baru dengan tinggi 0,4-0,8 m. Kadar O2 yang terlarut dalam air pada konsentrasi 3,5 4,8 ppm menyebabkan perkembangbiakan enceng gondok dapat (Moenandir,1990). 5. berjalan dengan cepat

Penelitian terdahulu :

1. Dewi Erina Sawitri, Tri Sutrisno, dan Andri Cahyo Kumoro. Adsorpsi khrom (VI) dari limbah cair industri pelapisan logam dengan arang eceng gondok (Eichornia crossipes). Semarang: Universitas Diponegoro. 2. Fitria rahmawati, Pranoto, dan N. Ita Aryunani. Adsospsi zat warna tekstil remazol yellow FG pada limbah batik oleh enceng gondok dengan aktivator NaOH. UNS 3. Mochamad Chalid Al Ayubi. 2007. Studi keseimbangan adsorpsi merkuri(ii) pada biomassa daun enceng gondok (eichhornia crassipes). Skripsi. Universitas Islam Negeri Malang.

ADSORPSI NATRIUM BENZIDINDIAZO-BIS-1-NAFTILAMIN-4-SULFONAT DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL DENGAN ARANG ECENG GONDOK (Eichornia crossipes)

Gambar 1.3 Kerangka konseptual penelitian

12

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium kimia anorganik dan laboratorium penelitian Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Surabaya. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2012. 3.2 Alat dan Bahan Alat : Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi; gelas piala, pengaduk bermagnet, corong, gelas pengaduk, gelas ukur, timbangan, kertas saring, SEM, XRD, dan UV-VIS Bahan : Bahan-bahan penelitian yang digunakan antara lain; arang eceng gondok yang di peroleh dari Sungai di daerah Dinoyo, Lamongan sebagai adsorbent, limbah cair industri tekstil yang diperoleh dari Industri Batik Maduran, Lamongan dan akuades. 3.3 Prosedur Penelitian 1. Pembuatan larutan induk congo red 1000 ppm Sejumlah 1,0000 g congo red ditimbang dalam gelas beker dan dilarutkan dengan akuadem, kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu ukur 1000 mL serta ditambahkan akuadem sampai tanda batas. 2. Pembuatan larutan standar congo red Sebanyak 0,50; 1,00; 1,50; 2,00 dan 2,50 mL diambil dari larutan induk congo red 1000 ppm dengan menggunakan buret. Masing-masing 13

volume tersebut dimasukkan dalam 5 buah labu ukur 100 mL dan ditambahkan akuadem sampai tanda batas sehingga diperoleh larutan standar congo red dengan konsentrasi berturut-turut 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm. 3. Pembuatan larutan sampel congo red Larutan induk congo red 1000 ppm diambil sebanyak 12,50 mL menggunakan buret, kemudian dimasukkan dalam labu ukur 500 mL dan ditambahkan akuadem sampai tanda batas. Sehingga diperoleh larutan sampel congo red dengan konsentrasi 25 ppm. 4. Penentuan panjang gelombang maksimum congo red Larutan congo red dengan konsentrasi 25 ppm diukur absorbansinya dengan alat spektrofotometer UV-Vis untuk mendapatkan panjang gelombang maksimum dari larutan congo red. Panjang gelombang maksimum diperoleh dari absorbansi tertinggi dari pembacaan alat pada larutan congo red. Dilakukan blanko dengan akuadem pada spktrofotometer UV-Vis sebelum dilakukan pengukuran sampel. 5. Pembuatan kurva standar congo red Kurva standar congo red diperoleh dari pengukuran absorbansi larutan standar congo red dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm. Pada masingmasing konsentrasi diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UVVis pada panjang gelombang maksimum. Pengukuran tersebut diperoleh data absorbansi dari masing-masing larutan standar. Sehingga dapat dibuat kurva standar hubungan antara absorbansi terhadap konsentrasi yang kemudian ditentukan persamaan garis regresi liniernya. Persamaan regresi linier secara umum: y = a + bx , dengan sumbu y sebagai absorbansinya dan sumbu x sebagai konsentrasi congo red (ppm). 6. Perlakuan awal Eceng gondok Tanaman eceng gondok diletakkan di tempat yang bersih dan terbuka dan dikeringkan dibawah terik sinar matahari. Setelah benar-benar kering eceng gondok dihancurkan dengan menggunakan blender sampai menjadi serbuk. Sebagian eceng gondok kering dibakar dan diambil arangnya untuk digunakan sebagai adsorbent.

14

7. Proses adsorpsi Sebanyak 250 ml air limbah industri tekstil dimasukkan ke dalam gelas piala, kemudian ditambahkan adsorbent sebanyak 5 gram ke dalamnya. Sistem ini diaduk secara terus menerus agar selalu homogen. Selanjutnya, arang enceng gondok diambil setelah dimasukkan 5 jam Langkah ini diulangi dengan rasio adsorbent yang berbeda yaitu 10 gram, 15 gram, 20 gram, 25 gram, dan 30 gram 8. Karakterisasi Adsorben Karakterisasi XRD digunakan untuk mencari informasi mengenai derajat kemurnian, kristalisasi dan kisi kristal (Kwayke-Awuah, 2008, dalam Fitria). SEM (Scanning Electron Microscopy) digunakan untuk analisis topografi, morfologi, dan komposisi adsorben 3.4 Teknik analisis data Teknik analisis statistika yang digunakan adalah korelasi sederhana mengenai pengaruh rasio adsorbent terhadap adsorpsi Natrium benzidindiazo-bis1-naftilamin-4-sulfonat (congo red), sedangkan fase statistika yang digunakan adalah statistika inferensial. 3.5 Rancangan anggaran biaya penelitian Rincian Pembelian Bahan Analisis Sampel Peralatan Laboratorium Penulisan laporan Lain-lain Total Biaya Rp. 800.000 Rp. 1.900.000 Rp. 200.000 Rp. 50.000 Rp. 50.000 Rp. 3.000.000

15

DAFTAR RUJUKAN
1. Chalid Al Ayubi, Mochamad. 2007. Studi keseimbangan adsorpsi merkuri (II)

pada biomassa daun enceng gondok (eichhornia crassipes). Skripsi. Universitas Islam Negeri Malang
2. Dewi Erina Sawitri, Tri Sutrisno, dan Andri Cahyo Kumoro. 2006. Adsorpsi

khrom (VI) dari limbah cair industri pelapisan logam dengan arang eceng gondok (Eichornia crossipes). Semarang: Universitas Diponegoro.
3. Diah Rahmawati, Ika. 2011. Degradasi Congo red secara fotokatalitik menggunakan Besi(III)-Tiosianat berpendukung Titanium Silikat-1. Skripsi. Surabaya: UNAIR Surabaya 4. Fitria rahmawati, Pranoto, dan N. Ita Aryunani (2008). Adsospsi zat warna tekstil

remazol yellow FG pada limbah batik oleh enceng gondok dengan aktivator NaOH. UNS
5. Ho,Y.S. (2006), Review of second-order models for adsorption systems,

Journal of Hazardous Materials B136, Hal. 681689


6. Johar, A. 2010. Degradasi congo red dengan [Cu(SCN)]+/H2O2 secara

fotokatalitik. Skripsi. UNAIR Surabaya


7. Krystiyanti, Kartika. 2008. Adsorpsi merkuri(II) oleh biomassa enceng gondok

(eichornia crassipes) yang diimmobilisasi pada matriks polisilikat menggunakan metode kolom. Skripsi. Universitas Islam Negeri Malang
8. Manurung, R., Hasibuan, R,. Irvan, 2004, Perombakan Zat Warna Azo Reaktif secara Anaerob-Aerob, Jurnal e-USU Repository, Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara, Hal. 1-19 9. Mohanty, K., Mousam Jha, B.C. Meikap, M.N. Biswas, (2006), Biosorption of Cr(VI) from aqueous solutions by Eichhornia crassipe. Chemical Engineering Journal 117, Hal. 7177 10. ONeil, M.J., 2001, The Merck Index : An Encyclopedia of Chemical, Drugs, and Biological, 13th ed., Merck & Co. Inc., New York 11. Shankera et al, (2005), Chromium toxicity in plants. Environment International,

31, Hal. 739 753 Ho, Y.S. and McKay, G., (1998), Pseudo-second order model for sorption processes, Process Biochemistry 34, Hal. 451465
12. Widati, A. A., Prasetyoko, D.. 2009. Sintesis, Karakterisasi, dan Aplikasi TS-1

Mesoporus, Seminar Nasional Kimia, jurusan kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. ISBN 978-979-95845-9-5

16

13. Widiarti, Nuni dan Prasetyoko, Didik. (2007). Sintesis dan Karakterisasi Katalis

Cu/Ts-1. Laporan Penelitian. Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya


14. Wijaya, K., Sugiharto, E., Fatimah, I., Sudiono, S., Kurniaysih, D.. 2006. Utilisai

TiO2-Zeolit dan Sinar UV untuk Fotodegradasi Zat Warna Congo Red. Jurnal TEKNOIN, Vol. 11, No.3, Hal. 199-209

17

Você também pode gostar