Você está na página 1de 7

Tugas Mata Kuliah Tajwid Waode Nella Arnianti

Adab Majelis Ilmu.


Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah :

Ikhlas.

Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allh semata. Tanpa disertai riya dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata: Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat. (Tadzkiratus Smi wal Mutakallim, hal.68)

Bersemangat menghadiri majelis ilmu

Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali. Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsalab rahimahullh, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi rahimahullh: Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun. Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran. Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullh : Ilmu adalah karunia yang diberikan Allh kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi

shallallhu alaihi wasallam . Demikian juga Imam Malik rahimahullh, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain : Alhamdulillh, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris. Abul Hasan Al Karkhi rahimahullh berkata : Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jumat walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya. Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.

Bersegera datang ke majelis ilmu dan tidak terlambat, bahkan harus mendahuluinya dari selainnya.

Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysyabi rahimahullh ketika ditanya : Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua? Beliau menjawab : Tidak bergantung kepada orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang. (Rihlah Fi Thalabil Hadits, hal.196) Mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang ada di majelis ilmu yang tidak dapat dihadirinya.

Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu, seperti sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.

Mencatat faidah-faidah yang didapatkan dari kitab. Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak memasukkannya ke perpustakaan, kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis dan pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan membaca (sesuai dengan kecukupan waktu) sebagian pokok bahasan kitab.

Tenang dan tidak sibuk sendiri dalam majelis ilmu.

Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahab rahimahullh menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata : Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Suara pena tidak terdengar. Tidak ada yang bangkit, seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat. (Tadzkiratul Huffdz: 1/331) Dan dalam riwayat yang lain: Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar. (Siyar Almin Nubala: 4/1470) Tidak boleh berputus asa.

Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk disana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum teh hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu. Kemudian beliau berkata,Lalu terpecahlah problem tersebut. Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya. Jangan memotong pembicaraan guru atau penceramah

Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Raslullh shallallhu alaihi wasallam mengajarkan kepada kita dengan sabdanya :

Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama. (Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami)

Imam Bukhari rahimahullh menulis di Shahihnya, orang yang ditanya satu ilmu dalam keadaan sibuk berbicara, hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits: : : : : Dari Abu Hurairah, beliau berkata, Ketika Raslullh shallallhu alaihi wasallam berada di majelis menasihati kaum, datanglah seorang Arabi dan bertanya : Kapan hari kiamat? (Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai. Lalu (Raslullh shallallhu alaihi wasallam) bertanya : Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari kiamat? Dia menjawab: Saya, wahai Raslullh. Lalu beliau berkata: Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat. Dia bertanya lagi: Bagaimana menyia-nyiakannya? Beliau menjawab: Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat. (Riwayat Bukhri) Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : Kapan saja ada yang tidak dapat dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraannya. (Al-Adab asy-Syariyyah, jilid 2, hlm. 163) Raslullh shallallhu alaihi wasallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya untuk mendidiknya. Beradab dalam bertanya Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allh Tala dalam firmanNya: 43 Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An Nahl/16 : 43) Demikian pula Raslullh shallallhu alaihi wasallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabda beliau: : : :

Tidakkah mereka bertanya, ketika mereka tidak tahu? Sesungguhnya obat ketidak mengertian adalah bertanya. (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Saadah, hal. 174) Imam Ibnul Qayim rahimahullh berkata:

Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui. (Mifth Dris Sadah 1/169) Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi rahimahullh memberikan pernyataan: Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya. (Al Faqh Wal Mutafaqqih: 1/143) Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, diantaranya: 1. Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji. Hal ini dijadikan syarat oleh Allh Tala dalam firman-Nya di atas (QS An Nahl/16 : 43). Dalam ayat ini Allh Tala menyebutkan syarat dalam mengajukan pertanyaan adalah karena tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Namun demikian seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, dengan tujuan untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril alaihissalam kepada Raslullh shallallhu alaihi wasallam dalam hadits Jibril yang masyhur. 2. Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin. Hal ini dinyatakan oleh Allh Tala dalam firman-Nya:

101 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allh memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS Al Midah : 101) Dan Raslullh shallallhu alaihi wasallam juga bersabda: Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan karena pertanyaannya. (Riwayat Bukhri, Muslim, Abu Daud dan Ahmad)

Oleh karena itulah para sahabat dan tabiin tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi. Rab bin Khaitsam rahimahullh berkata: Wahai Abdullh, apa yang Allh berikan kepadamu dalam kitabnya (ilmu) maka syukurilah, dan yang Allh tidak berikan kepadamu, maka serahkanlah kepada orang alim dan jangan mengada-ada. Karena Allh Tala berfirman kepada NabiNya: 86 87 88 Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Quran ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Quran setelah beberapa waktu lagi. (QS Shd : 86-88) (Jmi Baynil ilmi Wa Fadhlihi: 2/136) 3. Diperbolehkan bertanya kepada seorang alim tentang dalil dan alasan pendapatnya. Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi rahimahullh dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih 2/148: Jika seorang alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata. 4. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang alim yang belum jelas. Hal ini berdasarkan dalil hadits Ibnu Masud radhiyallhuanhu, beliau berkata: : : Saya shalat bersama Nabi shallallhu alaihi wasallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu kejelekan. Kami bertanya kepada Ibnu Masud: Apa yang engkau niatkan? Beliau menjawab: Saya ingin duduk dan meninggalkannya. (Riwayat Bukhari dan Muslim) 5. Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain. 6. Tidak mengadu domba di antara ahli ilmu seperti mengatakan: Tapi ustadz fulan (dengan menyebut namanya) mengatakan demikian. Maka yang demikian termasuk kurang beradab. Kalau memang harus bertanya, maka hendaklah mengatakan: Apa pendapatmu tentang ucapan ini? Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan.

(Lihat Hilyah Thalibil Ilmi, Syaikh Bakr Abu Zaid dengan syarh Syaikh Utsaimin, hal: 178).

Mengambil akhlak dan budi pekerti guru.

Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia. Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau. (Siyar Alamin Nubal: 11/316) Abu Bakar Al Muthwii rahimahullh berkata: Saya menghadiri majelis Abu Abdillh beliau mengimla musnad kepada anakanaknya duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya. (Siyar Alamin Nubal: 11/316) Dengan demikian kehadiran kita dalam majelis ilmu, hendaklah bukan sematamata mengambil faidah ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah yang ada.

Você também pode gostar