Você está na página 1de 8

IJIN PINJAM PAKAI, MUKA BUMI NUSANTARA PASTI BERUBAHKAH?

Oleh : Banjar Yulianto Laban

LATAR BELAKANG The United Nation Office for Disaster Risk Reduction, menyampaikan data grafik bencana alam yang telah terjadi di bumi selama 31 tahun, kurun waktu tahun 1980 2011, sebagaimana pada ujung awal tulisan ini. Bencana alam tersebut meliputi : banjir, badai/ puting beliung, kekeringan dan cuaca/ suhu extrim. Tidak ada yang terkait dengan gempa bumi dan tsunami, banjir rob pasang ombak laut dan tanah longsor (mungkin sudah termasuk dalam bencana banjir di daerah hinterland/ketinggian). Hanya disayangkan dalam penyajian grafik diatas, saya terpaksa menggunakan asumsi bahwa bencana yang sudah terjadi itu sungguh dahsyat, karena tidak ada penjelasan yang terkait dengan ambang batas atau standar kekuatan bencana alam yang masih dapat dikendalikan atau di bawah resiko kemampuan manusia untuk mengatasinya. Memperhatikan data grafik tersebut diatas, bencana banjir di seluruh dunia dalam waktu 31 tahun tersebut ( 1980 2011) meningkat terus dari sekitar 150 peristiwa per tahun sampai 225 peristiwa per tahun. Berarti dalam kurun 30 tahun tersebut semakin terlalu banyak investasi proyek/kegiatan yang merubah/merusak bentang alam (landscape). Dampaknya antara lain hutan dan isinya terdegradasi dan atau punah. Ketiadaan hutan selanjutnya menyebabkan perubahan lingkungan dan menimbulkan evaporasi extrim. Perubahan lingkungan terjadi karena retak dan lepasnya keterkaitan komponen dan unsurunsur alam penyusun keseimbangan permukaan bumi. Terlalu banyak penyesuaian yang

membutuhkan waktu lama untuk optimalisasi fungsi masing masing komponen, bahkan gagal untuk menyesuaikan karena kepunahan 1 atau 2 komponen alam yang tinggi tingkat relevansinya. Kejadian beberapa kali puting beliung di daerah tropis, seperti di Indonesia akhir akhir ini memberikan indikasi bahwa unsur unsur cuaca yang meliputi air, udara, hutan dan partikel partikel kondensor dalam kondisi ada ketidak harmonisan. Drs. Achmad Zakir, AhMG dalam tulisannya berjudul : Bagaimana mengetahui adanya angin kencang/ puting beliung ?, antara lain menyampaikan bahwa puting beliung pada umumnya akan terjadi pada tanah lapang yang vegetasi/ hutannya kurang dan beliau menyatakan juga bahwa puting beliung jarang terjadi pada daerah perbukitan atau hutan alam yang lebat (tentunya juga lebat keanekaragaman hayatinya). Ternyata selama ini ( 1980 2011) dalam skala global/dunia ada relevansi banjir dan puting beliung, karena ketidak hadiran hutan yang porposional dan pengabaian bentang alam perbukitan (mountaineous) dan pantai dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan/investasi. Atas nama pembangunan, maka harus mengorbankan hutan sekaligus perbukitan dan pantai, hutan dibabat, pasir pantai dikeruk dan perbukitan diratakan. Demikian halnya, atas nama investasi exploitasi tambang misalnya, hutan dibabat habis bahkan difasilitasi ijin di hutan produksi alam/tanaman, kemudian bukit tidak diratakan tapi terus digali sehingga akhirnya terjadi perubahan bentuk bentang alam yang sangat drastis yaitu bukit jadi danau dan reklamasipun sesuai Permenhut P.4/ 2011, dikuatirkan hanya berhenti sebagai kesanggupan diatas kertas. ATAS NAMA PEMBANGUNAN Dari skala kecil ke skala besar, diperoleh banyak contoh bagaimana atas nama pembangunan akhirnya yang dituai adalah bencana dan perubahan proyek dari inovasi ke restorasi. Pembangunan perumahan rakyat oleh pengembang di daerah perbukitan, biasa dengan cara murah dan konvensional yaitu meratakan bukit, ternyata berdampak pada draenage yang rawan gagal karena kurangnya kematangan tanah. Bahkan ditemukan di Bengkulu, di suatu kompleks perumahan ada beberapa rumah roboh rata tanah pada waktu gempa beberapa tahun yang lalu. Rumah yang roboh rata tanah tersebut pada umumnya berdiri di tanah yang belum matang (tanah urugan). Ketiadaan interaktif komunikasi dalam melaksanakan program pembangunan di era orde baru yang terkait dengan penataan ruang, perubahan bentang alam dan kerusakan hutan, memberikan multi efek kehancuran alam berkelanjutan hingga sekarang. Sebagai contoh pembangunan yang berwawasan lingkungan berbasis transmigrasi lokal, tujuannya yaitu memindahkan atau membudayakan masyarakat lokal/adat yang berpredikat masyarakat terasing dan peladang berpindah ke tempat atau komplek yang dinilai sepihak oleh pemerintah pada waktu itu (tanpa proses dialog) sebagai wilayah berbudaya dan manusiawi, cocok untuk membangun bangsa yang beradab dan mempermudah pemerintah mengelola masyarakat, baik secara phisik maupun secara administratif. Namun, dalam perjalanan waktu, komplek manusiawi tadi menjadi tidak manusiawi lagi manakala segala pertumbuhan mleset diperhitungkan. Pertumbuhan penduduk dan semakin meningkatnya kebutuhan hidup, ditambah suasana keberanian masyarakat untuk mengisi peluang gerakan reformasi, ternyata dapat menjadi alasan untuk merusak hutan dan merubah bentang alam. Satu kasus yang terkenang sampai lebih tujuh turunan adalah kasus perambahan hutan di Dongi Dongi pada tahun 2000, yaitu suatu wilayah di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Sebagai kantong tangkapan air seluas kurang lebih

3.000 hektar, Dongi Dongi yang hutan alamnya ditebangi, lahannya dirambah, dijarah untuk kebun kakao telah memberi hikmah tersendiri bagi masyarakat di lembah Palu yang 80% kecukupan airnya dipenuhi kantong itu sebelum rusak. Hikmah tersebut semakin dirasakan 2 (dua) tahun kemudian, setelah terjadi banjir bandang yang menenggelamkan dan menimbun sebagian besar areal persawahan di Kecamatan Palolo. Hamparan sawah yang dikenal sebagai lumbung padi kota Palu telah terdegradasi fungsinya, sejalan dengan hancurnya fungsi hidrologi di daerah itu. Skala makro, sebagai contoh polemik dan aplikasi tambal sulam tanpa koordinasi yang mantap terpapar di bentang alam tangkapan air antara Puncak dan Tanjung Priok. Di wilayah hilir yaitu di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok, pada jaman Foke jadi Gubernur, kecepatan perencanaan grand design wilayah yang terfokus di kanal dan dam laut luar biasa, bahkan telah selesai, namun pelaksanaan aplikasinya lambat dengan alasan pembebasan tanah, koordinasi pemanfaatan tata ruang dsbnya. Ruang Terbuka Hijau (RTH) di hilir sama saja, cepat rencana di atas kertas, lambat dipelaksanaan, RTH DKI Jakarta masih kurang dari 5% luas Provinsi. Sementara di hulu, penataan ruang di sekitar puncak jadi polemik para pihak juga. Pemda Kabupaten Bogor menyampaikan ke publik atas keinginannya yang sejalan dengan penataan ruang Provinsi Jawa Barat, yaitu perubahan fungsi kawasan lindung yang membuka peluang perubahan bentang alam di daerah hulu, namun banyak publik antara lain diwakili Paguyuban Telapak yang menolak keinginan itu. Pemda Kota Bogor kelihatan juga tidak peduli dengan kemantapan bentang alam di sepanjang Sungai Cisedane dan Sungai Ciliwung yang melintasinya. Ijin Pengembangan pemukiman diterbitkan terus, terutama bagi pengembang rumah pertokoan. RTH di kota bogor didominasi Kebun Raya Bogor. Pengembangan RTH sangat sulit dan menjadi terbatas, terutama di sepanjang kedua sungai tersebut. Bentang alam yang mengatur draenage dan deposit air tanah secara alamiah, semakin terdegradasi fungsinya. Artificial draenage dengan membuat sumur resapan di perkampungan padat dan biopori di halaman sempit menjadi satu alternatif untuk sedikit mempertahankan fungsinya, namun demikian banjir dan kekeringan extrim di perkotaan pemukiman padat pada akhirnya tidak terelakan lagi. Kementerian Kehutanan sejak tahun 2011 melalui Permenhut P.49/2011 telah memiliki Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) yang berorientasi pada Rencana Tata Ruang Nasional maupun Pulau besar (seperti Kalimantan dan Sumatera). RKTN tersebut adalah fondasi penting untuk melangkah ke Rencana Kehutanan Tingkat Propinsi (RKTP) yang harus mempertimbangkan referensi pengembangan infrastruktur dan multiefeknya, disamping memperhatikan juga prediksi prediksi pengembangan investasi yang timbul di wilayah regional. Dengan demikian melalui RKTP dapat diharapkan ada perencanaan wilayah yang saling sinergi antar propinsi (RTRWP) dalam prinsip kehati hatian pemanfaatan bentang alam, efisiensi ekonomi mikro dan upaya strategis penurunan emisi karbon dalam rangka REDD+. Semoga. ATAS NAMA INVESTASI Ada beberapa noktah, besar atau kecil, yang memberi kesan cacat pada bentang alam sebagai indikasi kerusakan lingkungan atas nama investasi. Macam macam investasi dari yang ilegal sampai legal. Investasi illegal di kehutanan dikenal antara lain sebagai penebangan pohon atau pembabatan hutan secara liar tanpa ijin dan perambahan yang secara total merubah fungsi dan status lahan secara illegal, berlanjut ke menguasai/ menduduki kawasan untuk usaha non kehutanan termasuk exploitasi tambang bila ada depositnya. Adapun investasi legal adalah investasi yang didasari aturan perijinan, yang

meliputi pemanfaatan hasil hutan, pemungutan hasil hutan sampai ke ijin pinjam pakai kawasan hutan ( Hutan Lindung dan Hutan Produksi) untuk tambang dan kegiatan non kehutanan lainnya. Karakteristik indikator ex perambahan hutan dan ex tambang di kawasan hutan yang diterlantarkan sebagai lahan tidur, antara lain yaitu : berkembangnya tumbuhan invasif dan rusaknya bentang alam berupa lubang lubang atau kubangan besar kecil tidak beraturan yang menyebabkan tidak optimalnya draenage dan berlanjut ke bencana banjir di musim hujan dan kekeringan extrim di musim kemarau. Tumbuhan invasif adalah satu indikator bahwa di suatu wilayah pernah terjadi perubahan bentang alam. Perubahan yang paling sederhana adalah dampak dari kegiatan perambahan hutan. Ada dua kerugian dari perambahan ini, yaitu : degradasi keanekaragaman hayati dan runoff & gully erosion sebagai awal mula proses perubahan bentang alam secara alami. Okupasi tumbuhan invasif yang biasanya monokultur dan cepat menutup lahan, dari aspek penutupan lahan pengurangan emisi CO2e di suatu wilayah boleh dikata tidak optimal karena pada umumnya tumbuhan invasif berupa semak, tidak berkayu, menjalar, melilit dan berumur pendek. Namun dari aspek keanekaragaman hayati kerugian ilmiahnya sangat berarti. Investasi yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan kolosal yang ilegal yaitu pembabatan hutan, perambahan, penggalian mineral tambang dan berdampak lanjut ke perubahan fungsi kawasan, sangat mempengaruhi kemapanan bentang alam dan penetapan status penggunaan lahan ( termasuk fungsi hutan) dalam hasil penyusunan atau review Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi/Kabupaten/Kota yang telah disahkan. Berita dari hasil riset kualitas sungai, biasanya dipakai pemda utk mencari kambing hitam. Sebenarnya si kambing sudah ada di depan matanya, namanya Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI), yaitu suatu sindikasi bebas yg peluang utk melibatkan para oknum sangat luas. Kenapa si kambing gak ditangkap dan dikendalikan? Apa mungkin karena si oknum sudah jadi organ hidupnya PETI?. Kementerian Kehutanan berdasar aturan yg ada, telah mendengar dan melayani review RTRWP Propinsi Gorontalo sekitar 2 tahun yang lalu (2010). Antisipasi terhadap bahaya air raksa (mercury) telah diingatkan, antara lain secara kolaboratif agar segera menghentikan laju PETI di Taman Nasional Bogani yang notabene hutan alam di dataran tinggi tersebut menjadi 70% sumber air minum masyarakat di lembah Gorontalo. Untuk kasus ini, sebenarnya hanya memerlukan ketegasan dan aksi cepat pemda dalam mengelola wilayah dan masyarakatnya. Ingin masyarakat kembali hidup sehat sejahtera dalam jangka panjang, usir itu segelintir pelaku PETI di Bogani. Kenapa segelintir?, karena modal PETI tidak sedikit, tapi hanya perlu segelintir cukong!. Study Drivers of Deforestation di Kabupaten Kutai Barat (Sirait dkk 2011), dalam rangka menerapkan kebijakan pengelolaan hutan oleh masyarakat. Berdasarkan Perda Kabupaten dengan nama Kehutanan Masyarakat (KHM) pada kurun waktu observasi 2004-2010, masyarakat secara antusias dalam skala rumah tangga mengelola hutan ex HPH yang sudah berstatus APL di wilayah dekat kampungnya untuk jangka waktu 35 tahun. Lahan ex HPH tersebut dikelola dalam bentuk kebun campur yang dimulai dengan usaha perladangan, kebun karet campur, kayu kayuan dll. Dalam perkembangannya sudah terlihat permintaan kayu yang cukup tinggi oleh industri saat itu, bahkan kayu leban pun dihargai dengan nilai rupiah yang cukup tinggi. Panen dilakukan tidak dengan logging truck, tetapi dengan cara manual, manajemen pohon demi pohon. Pada waktu yang bersamaan pasar getah karetpun berkembang serta kecukupan pangan sangat jelas terlihat signifikan.

Namun pada tahun 2010, Perda KHM dibatalkan oleh DPRD dan ijin KHM dianggap batal pula. Rupanya ada keinginan pemda memberikan ijin kepada Kebun dan Tambang skala besar. Pada kelompok masyarakat peserta KHM diberikan kesempatan untuk menebang pohon yang ada dengan IPK (1 tahun) dan menyerahkan ijin KHMnya kembali kepada Pemda. Habis, berguguranlah 12 ijin KHM yang telah diberikan kepada masyarakat, dan membangun usaha kehutanan terpadu dalam skala rumah tangga hilang lenyap begitu saja, menyedihkan. Dan gapaian kesejahteraan secara mandiri pupuslah sudah, diganti rona kemiskinan diantara kerakusan manusia yang berorientasi dagang sapi, jangka pendek (maksimum 5 tahun), exploitatif, ambisius politis praktis, individual dan golongan atas nama partai. Kutai Barat ternyata tidak sendirian. Bila phenomena tersebut diatas dapat dikaitkan dengan kemudahan munculnya korupsi di daerah, maka berdasar hasil survey CSIS (Tajuk Rencana Suara Pembaharuan. Kamis, 9 Agustus 2012) disebutkan bahwa sekitar 70 persen pejabat menyalahgunakan kekuasaannya untuk merampok uang negara. Dalam kurun waktu 1 dekade terakhir ini, tidak kurang dari 240 kepala daerah tersangkut korupsi. Dengan demikian kerusakan bentang alam, meningkatnya bencana alam (terutama banjir dan tanah longsor), boleh dikata diawali oleh kerakusan manusia yang sedang berkuasa, karena dalam hal pemerintahan jabatan identik dengan kekuasaan. SARAN Kawasan hutan adalah benteng terakhir untuk membendung meluasnya bencana alam berupa banjir, tanah longsor, puting beliung, kekeringan dan cuaca extrim yang akhir akhir ini menunjukkan kehadirannya di daerah tropis, khususnya Indonesia. Di lain pihak benteng terakhir inipun tidak lepas dari kebijakan pembangunan dan investasi segala sektor yang terkait dengan pembangunan dan peningkatan devisa negara. Untuk itulah, sejalan dengan berlakunya PP.61/2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan sebagai perubahan atas PP.24/2010 saya sampaikan saran, khususnya berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan status pinjam pakai kawasan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Saran ini terbagi dua, yaitu saran umum dan saran khusus yang erat dengan tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Saran umum : Pinjam pakai hanya terbatas di HP dan HL, namun dalam KPH perlu ada komitmen kerjasama pengelolaannya, termasuk pengamanan kawasan dan potensi hutannya. Untuk masing masing tujuan strategis agar ditindak lanjuti dengan permenhut terkait : norma hukum, standar, prosedur, penetapan kriteria dan indikator. Saran khusus terkait dengan tujuan strategis (yang tidak dapat dielakkan?): 1.Religi Sementara ini pinjam pakai yang diterbitkan masih terbatas di Bali dan Alas Purwo Untuk religi/agama tertentu : Hindu, Budha, Konghucu, Kaharingan perlu identifikasi, inventarisasi dan pertimbangan di Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL), mengingat pura yang ada di Bali dan Alas Purwo berada di Taman Nasional/Kawasan Konservasi Diperlukan studi external terkait upaya peredaman/ penghindaran : issue sara, kecemburuan sosial, norma agama/kepercayaan eksklusif

2. Pertambangan Pinjam pakai terbatas, luas maksimum harus ditentukan: terbuka berapa % luas maksimum di HP dan berapa % luas maksimum tambang yang harus tertutup di HL, berapa % luas tambang di lingkup DAS/bentang alam tertentu. Untuk jenis tambang tertentu : penguasaan teknologi industri harus sampai secondary product, jangan hanya keruk dan ekspor. Kepentingan cadangan dalam negeri harus diutamakan. Perlu identifikasi dan inventarisasi potensi dan rancang bangun rehabilitasi/ reklamasinya sejalan/paralel dengan langkah langkah explorasi dan exploitasinya. Diperlukan Studi independen terkait Total Economic Valuation (TEV) bentang alam, sumber daya air dan fungsi hutan, sebagai bahan pertimbangan utama penerbitan izin panjam pakai. Dari hasil TEV, apabila dalam jangka panjang kawasan tersebut lebih menguntungkan untuk kepentingan sosial dan ekonomi maupun lingkungan di masa depan (dan juga sulit direklamasi), maka tidak harus atau jangan dipaksakan untuk ditambang. 3. Instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan Untuk kawasan konservasi mengingat pertimbangan kepentingan publik yang lebih luas akan energi listrik, maka kolaborasi pengelolaan harus diterapkan sesuai permenhut P.19/2004 atau perlu review kebijakan. Perlu identifikasi dan inventarisasi potensi energi listrik berupa : Air, Angin, Geotermal, dan Batubara di dalam seluruh fungsi hutan Diperlukan studi keterkaitan sumber energi listrik di tebaran hutan dengan distribusi sentra-sentra konsumen pengguna energi listrik, sehingga ada jaminan pendanaan untuk pengelolaan hutan yang lestari. 4. Pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi Untuk kawasan konservasi mengingat kepentingan publik yang lebih luas akan informasi dan komunikasi, maka kolaborasi pengelolaan harus diterapkan sesuai permenhut P.19/2004 atau perlu review kebijakan. Perlu identifikasi dan inventarisasi potensi dan efesiensi tapak di dalam hutan bagi kepentingan sarana informasi dan telekomunikasi. Diperlukan studi keterkaitan tapak telekomunikasi di tebaran hutan dengan distribusi sentra-sentra konsumen pengguna telepon, radio dan televisi, sehingga ada jaminan pendanaan untuk kelangsungan pengelolaan hutan yang lestari. 5. Jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api Untuk kawasan konservasi mengingat pertimbangan kepentingan publik yang lebih luas akan jalan/sarana transportasi, maka kolaborasi pengelolaan harus diterapkan sesuai permenhut P.19/2004 atau perlu review kebijakan. Perlu identifikasi dan inventarisasi potensi dan efesiensi tapak di dalam seluruh fungsi hutan bagi kepentingan pengembangan sarana transportasi, terutama yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Nasional dan Rencana Tata Ruang Pulau Besar. Diperlukan studi kelayakan keterkaitan tapak jalan di tebaran hutan dengan distribusi dan rencana pengembangan sentra-sentra aktifitas pemukiman, kependudukan, perkotaan sehingga ada jaminan pendanaan untuk pengelolaan hutan yang lestari.

6. Sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi Untuk kawasan konservasi mengingat pertimbangan kepentingan publik yang lebih luas akan jalan/sarana transportasi, maka kolaborasi pengelolaan harus diterapkan sesuai permenhut P.19/2004 atau perlu review kebijakan. Diperlukan kejelasan batasan kategori sarana transportasi khusus ini. Perlu identifikasi dan inventarisasi potensi dan efesiensi tapak di dalam hutan bagi kepentingan sarana transportasi khusus ini Studi kelayakan keterkaitan tapak jalan di tebaran hutan dengan distribusi sentrasentra aktifitas penduduk, sehingga ada jaminan pendanaan untuk pengelolaan hutan yang lestari. 7. Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah Untuk kawasan konservasi mengingat pertimbangan kepentingan publik yang lebih luas akan sarpras pengelolaan air, maka kolaborasi pengelolaan harus diterapkan sesuai permenhut P.19/2004 atau perlu review kebijakan. Perlu identifikasi dan inventarisasi potensi DAS dan tapak sumber air di dalam hutan Diperlukan studi kelayakan keterkaitan DAS dan tapak sumber air di tebaran hutan dengan distribusi sentra-sentra pemukiman penduduk sebagai pengguna air, sehingga ada jaminan pendanaan untuk pengelolaan hutan yang lestari. 8. Fasilitas umum Untuk kawasan konservasi mengingat pertimbangan kepentingan publik yang lebih luas akan fasilitas umum dimaksud, maka kolaborasi pengelolaan harus diterapkan sesuai permenhut P.19/2004 atau perlu review kebijakan atau memposisikan fasilitas umum tersebut adalah bagian dari asset wisata di zona pemanfaatan. Diperlukan kejelasan batasan fasilitas umum ini. Jangan sampai fasilitas umum tersebut mengancam kelestarian hutan/menyebabkan kerusakan hutan yang lebih parah. 9. Industri selain industri primer hasil hutan Diperlukan kejelasan batasan industri selain industri primer hasil hutan ini. Jangan sampai bangunan industri tersebut mengancam kelestarian hutan/menyebabkan kerusakan hutan yang lebih parah. 10. Pertahanan dan keamanan Diperlukan kejelasan batasan pertahanan dan keamanan ini. Jangan sampai mengancam kelestarian hutan/menyebabkan kerusakan hutan yang lebih parah sampai fungsi hutan sebagai sarana pertahanan hilang. Fokuskan ke perbatasan negara dan pusat - pusat diklatpur. 11. Prasarana penunjang keselamatan umum Diperlukan kejelasan batasan prasarana penunjang keselamatan umum ini. Jangan sampai malah mengancam kelestarian hutan/menyebabkan kerusakan hutan yang lebih parah sampai fungsi hutan sebagai prasarana penunjang keselamatan umum hilang. Adakan studi kewilayahan dan Fokuskan ke daerah rawan longsor, banjir dan kebakaran hutan.

12. Penampungan sementara korban bencana alam Diperlukan kejelasan batasan penampungan sementara korban bencana alam ini. Jangan sampai malah mengancam kelestarian hutan/menyebabkan kerusakan hutan yang lebih parah sampai fungsi hutan sebagai prasarana penunjang keselamatan umum hilang. Adakan studi kewilayahan dan Fokuskan ke daerah rawan gempa, rawan longsor, banjir dan kebakaran hutan. 13. Pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan ketahanan energi. Diperlukan kejelasan batasan penggunaan ini. Jangan sampai malah mengancam kelestarian hutan/menyebabkan kerusakan hutan yang lebih parah sampai fungsi hutan sebagai sumber pangan dan energi (terbarukan) alternatif serta media ketahanan air yang berlanjut ke pangan di zona pertanian hilang. Adakan studi kewilayahan dan Fokuskan ke daerah rawan pangan, air dan energi. Bogor, 28 September 2012

Você também pode gostar