Você está na página 1de 6

INDUSTRI KAYU LARI KE TITIK NADIR Oleh : Banjar Yulianto Laban Berita harian Kompas, Senin.

17 September 2012 cukup menghentak dunia industri perkayuan di Indonesia. Sebagai representative, Kalsel khususnya Banjarmasin dsknya yang 10 tahun lalu masih ada 15 pabrik kayu aktif , sekarang hanya ada 5 pabrik kayu yang bertahan aktif dengan suply bahan baku apa adanya dan semuanya berada dibawah kapasitas mesin terpasang. Untuk 5 pabrik itu tenaga kerja yang terserap tinggal sekitar 20.000 orang. Apabila kapasitas semua pabrik sama, maka sekitar 40.000 orang selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini jobless, setidaknya dari subsektor industri perkayuan di Kalimantan Selatan (Kalsel). Kepala Dinas Kehutanan Kalsel memperkirakan besarnya suply bahan baku dari luar Kalsel 90% ( sebagian besar dari Indonesia timur : Maluku, Papua) dan dari dalam propinsi 10% (sebagian besar kayu dari Hutan Rakyat, antara lain sengon dan jabon). Pemilik ke 5 pabrik kayu tersebut, ternyata berusaha juga di bidang lain (mungkin tambang batubara yang sekarang sedang marak di Kalsel) dan juga menyesuaikan peralatan mesin mesin dengan kondisi sekarang, antara lain penyesuaian band saw, circle saw dan mesin kupas vineer yang cocok dan efisien untuk bahan baku kayu sengon atau kayu jabon ( diameter kecil dibawah 30 cm dan kayu ringan pohon cepat tumbuh berumur pendek kurang dari 7 tahun). Memperhatian latar belakang tersebut, sangat menarik dipertanyakan adalah bagaimana perjuangan rimbawan untuk mempertahankan Sustainable Forest Management (SFM)?. Apa arti SFM itu bagi kemantapan industri perkayuan?, bila goyahnya industri ternyata hanya tertumpu pada titik nadir ketidakseimbangan supply demand yaitu pada terpuruknya supply bahan baku karena SFM berjalan gontai, sekarat dan akhirnya ambruk, mati. Hariyadi Kartodihardjo secara langsung telah mengingatkan rimbawan pada waktu bedah buku KEMBALI KE JALAN LURUS : Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan, tanggal : 12 Sepetember 2012 Pukul : 08.00-17.00 WIB di IPBInternational Convention Center Bogor, yaitu : jangan cukup puas dengan jabatan, sebab tanpa jaringan dan ilmu pengetahuan akan tertinggal dari "apa yg sesungguhnya terjadi". Proses menuju kematian SFM, boleh jadi karena ada ketidakharmonisan hubungan emosional (baca: jumawa) antara pengemban jabatan (baca: kekuasaan) dengan yang merasa menjadi pengemban ilmu pengetahuan (baca : begawan) atau tegasnya hubungan antara pejabat birokrat dengan akademisi atau scientist. Ketiadaan jaringan untuk berlangsungnya hubungan rutin yang semakin kuat di dalam suatu sistem kinerja SFM menjadikan hutan dan kawasan hutan hanya sekedar obyek (baca: pelengkap kehancuran).

Sebagai begawan, wajar bila akademisi lebih memilih penguatan peran masyarakat sipil dan membangun wacana terus menerus bersama jaringan masyarakat sipil, agar ada perubahan wacana atau cara pikir yang diharapkan dapat diterima pejabat sebagai bagian dari perubahan kebijakan. Namun demikian sebagai wacana yang direkomendasikan kepada pejabat untuk perubahan kebijakan, belum tentu langsung diterima. Bahkan lebih banyak yang ditolak dengan alasan antara lain: wacana tidak kompatibel dengan konstitusi atau aturan diatasnya; wacana bukan bagian dari strategi pembangunan nasional yang tidak terelakan; wacana belum waktunya menjadi bagian dari kebijakan; dsb, dsb. Melelahkan, tapi ini bagian dari perjuangan rimbawan untuk hidup berdemokrasi, sebab menurut Kartodihardjo (2012) hampir tidak pernah ada perubahan kebijakan oleh pemerintah cq. Kementerian Kehutanan tanpa perubahan wacana. Masih terkait dengan jabatan, selanjutnya Kartodihardjo hkartodihardjo@yahoo.com menulis untuk rimbawan interaktif pada Sep 28, 2012 2:05 AM, sebagai berikut : Lagi - lagi tergantung mahzabnya. Power (baca: Kekuasaan) yang diperoleh dari Surat Keputusan, misal Surat Keputusan untuk jabatan Menteri Kehutanan dari Presiden itu mengikuti mahzab Weberian, yg biasanya digunakan untuk membicarakan beberapa kewenangan struktural. Cara pandang lain (misal menurut Faucauldian) menyebutkan bahwa teks Surat Keputusan Presiden itu sebenarnya bukan sumber kekuasaan itu. Power/kekuasaan itu seharusnya muncul dari proses interaksi yang menghormati dan menggunakan ilmu pengetahuan, sumberdaya (sosial, ekonomi dan lingkungan) dan jaringan (network kelembagaan). Industri Kehutanan yang terpuruk, sebagai indikator kegagalan SFM. Selanjutnya dapat terus dikupas, antara lain ilmu pengetahuan kehutanan itu, aplikasinya bagaimana? Perjuangan rimbawan melalui institusi Litbang dan Perguruan Tinggi, saya kira tidak kurang kurang dari hasil penelitian ilmiah merekomendasikan bagaimana mengelola hutan alam tropis yang terbaik dan lestari, bagaimana mengelola hutan tanaman sengon, dsbnya. Tentunya sumberdaya, yang terdiri dari aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek lingkungan diintegrasikan juga dalam hasil penelitian tersebut untuk mendukung berlangsungnya pengelolaan hutan berbasis ilmiah yang lestari. Interaksi ilmu pengetahuan dan sumberdaya, kalau standar operasi proses penelitiannya seperti itu, saya kira keberhasilannya tidak perlu diragukan di level penelitian. Permasalahannya akan muncul bila dilanjut ke level operasional aplikasi di lapangan, bila parapihak yang diperkirakan akan mempengaruhi dari hulu ke hilir tidak diikat dalam hubungan jaringan kerjasama. Belum lama ini di milis rimbawan interaktif muncul debate menarik terkait dengan sertifikasi SFM yang diberikan ke suatu Unit Pengelola HPH, HTI dan skema pengelolaan hutan yang lain (HTR,HKm,HD dan HR). Ternyata ada penghapusan makna atau pelecehan nilai sertifikat SFM bila Unit Pengelola bangkrut atau tidak aktif sesuai ijinnya, yang akhirnya tidak dapat mempertahankan predikat SFM.

Sertifikat SFM yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi yang diakui oleh lembaga setaraf Komite Akreditasi Nasional (KAN), ternyata hanya sekedar kertas. Roh SFM bergentayangan karena tidak diikat dalam hubungan jaringan kerjasama operasional di lapangan. Seorang pakar akademisi dari Fakultas Kehutanan UGM, Sofyan Warsito, mengusulkan agar SFM (Sustainable Forest Management) diganti WMF (Well Manage Forest) tingkat 1, tingkat2 dst nya, sehingga dapat diukur kinerja prosesnya untuk menuju ke SFM. Melalui penilaian proses ini, secara rutin pengembangan jaringan kerjasama pengelolaan dapat dimonitor dan dievaluasi efisiensi dan efektifitasnya. Jaringan kerjasama parapihak dalam pengelolaan hutan melalui skema apapun asal tujuan akhirnya SFM, diakui sangat menentukan kualitas pengelolaannya. Bila di Kalsel Hutan Rakyat dapat memenuhi 10% supply bahan baku ke industri perkayuan, berarti ada keberhasilan pengelolaan Hutan Rakyat di Kalsel. Permasalahannya Pemda Kalsel apakah masih peduli untuk membantu meningkatkan kinerjanya, mengingat tambang batubara masih mendominasi sektor ekonomi hulu di Kalsel, sementara perkayuan atau hasil hutan lainnya semakin terpuruk. Bahkan ada citra di Kalsel bahwa SFM disertifikasi sekalipun, tidak ada gunanya karena hutan semakin setara dengan tambang, yaitu deposit akhirnya sama sama habis. Lain halnya di Pulau Jawa. Di pulau yang luasnya hanya 3% luas Indonesia dengan jumlah penduduk 70% penduduk Indonesia, mempunyai success story pembangunan Hutan Rakyat dan pengelolaan Hutan Negara berbasis masyarakat yaitu Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dibawah yurisdiksi Perum Perhutani. Kuncinya yaitu penguatan jaringan kerjasama parapihak dari hulu ke hilir, dari proses produksi di hutan sampai pemasaran hasil produksi di kota. Di Lampung Hutan Rakyat Tanaman Sengon juga "berkibar", walaupun belum mencapai tingkat keberhasilan seperti ceritera sukses di pulau Jawa. Hutan Rakyat di Konawe Selatan Sultra yang didominasi tanaman jati dan disertikasi SFM oleh Steward Forest Council (SFC) progres pengelolaannya sepertinya tertutup aksesnya, sehingga keberhasilannya tidak banyak diketahui orang. Mengapa pembangunan hutan rakyat sebagai altenatif sumber pasokan bahan baku industri kayu di luar pulau Jawa masih "tersendat-sendat" kontinuitasnya? apakah sudah dipikirkan tentang Insentif harga kayu bulat yang dihasilkan? Sekali lagi perhatian Pemda harus ditingkatkan. Melalui tulisan ini, saya ingin mengingatkan Pemda Sultra melalui jaringan kerjasama yang ada, untuk segera mengembangkan pembibitan jati unggul muna, dengan menggunakan kloning jati muna unggul yang telah dikumpulkan dan dimuliakan melalui penelitian Libang Kehutanan dan Perguruan Tinggi sejak 5 tahun yang lalu. Hasil pengembangan pembibitan jati muna yang telah dimuliakan

ini diharapkan dapat untuk memperbaiki sekaligus memperkaya pengelolaan Hutan Jati Rakyat di Konawe Selatan dsknya dengan hasil hasil penelitian ilmiah. Peranan Pemerintah (Kementerian Kehutanan dan Dinas Dinas yang diberi kewenangan mengurus hutan di daerah) tentunya sangat penting dan perlu. Kalau mentalitas pejabat Birokratnya masih terus feodal, maunya hanya menikmati pelayanan dari berbagai pihak, mencari "rente", dan sok berkuasa ... (aji mumpung ....), dan terus ber-KKN dalam lingkup kerjasama negatif, maka tidak mungkin akan kembali ke jalan lurus WMF menuju SFM. Dan tidak mungkin kita (profesional kehutanan) dapat mewujudnyatakan praktik pengelolaan hutan lestari di bumi Nusantara ini. Mungkin kecenderungannnya memang sudah berubah, yaitu yang laku setelah melalui proses industri bukan wujud "kayu"nya lagi saja, tetapi produk hasil hutan lainnya, seperti buah, madu, Hasil Hutan Bukan Kayu dll. Yang akhirnya, Hutan Rakyat dapat juga didorong bukan untuk wood product saja, tetapi ada hasil samping bukan kayu yang mungkin lebih bernilai ekonomis. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, antara lain termasuk jasa lingkungan ekosistem hutan dan wisata alam sangat penting dan perlu untuk mencerdaskan dan menyehatkan bangsa. Sudah semakin banyak respons positif pasar terhadap produk barang dan jasa hasil hutan bukan kayu ini. Namun demikian, terkait dengan turun drastisnya jumlah industri perkayuan, seperti di Kalsel, mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan SFM di Hutan Produksi yang hanya mengandalkan kayu, terutama dari hutan alam untuk memasok kebutuhan bahan baku industri perkayuan. Bahkan beberapa tahun terakhir ini, juga dilaporkan telah terjadi pemindahan pabrik-pabrik pengolahan kayu dari luar Jawa ke pulau Jawa, dengan alasan karena ada "kecukupan" dan kepastian supply/pasokan bahan baku kayu di Jawa, khususnya dari jenis pohon yang cepat tumbuh dan bernilai ekonomi tinggi seperti: Sengon, Jabon, dll. Lebih lanjut, ketidakberhasilan pembangunan hutan tanaman, khususnya hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat di luar pulau Jawa, dan ambruknya bisnis HPH (hutan alam) menjadi tantangan utama profesi kehutanan. Hutan alam produksi semakin terdegradasi dari tahun ke tahun. Jumlah HPH aktif semakin sedikit. HPH yang SFM masih dipertanyakan, lebih lebih HPH yang sudah non aktif tetapi menyandang sertifikat SFM. Pada acara Diskusi Bedah Buku dalam rangka HAPKA ke-15 IPB telah dipresentasikan Nana Suparna tentang Statistik IUPHHK-HA (HPH) pada saat ini: jumlah HPH, berapa yang aktif, dan berapa yang ada realisasi produksi kayu bulatnya. Ternyata, sangat memprihatinkan. Akhirnya dipertanyakan : Adakah MASA DEPAN HPH di Indonesia? Apakah sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa sistem pengusahaan hutan HPH gagal?

Jadi, tantangan utama kita adalah bagaimana mewujudnyatakan praktik pengelolaan hutan lestari di Hutan Produksi. Tentu saja, pembentukan dan implementasi KPH harus menjadi bagian utama dan awal dalam rangka memastikan wujud nyata praktik pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Satu kesalahan fatal yang terjadi selama ini adalah dilaksanakannya bisnis "logging operations" HPH di Indonesia sejak 1960-an tanpa terlebih dahulu membangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Dampaknya, pengawasan obyektif sesuai kajian ilmiah sangat kendor, sehingga sangat mudah terjadi over cutting,over exploitation, illegal logging, bahkan main amplop kesana-sini di belantara manggala kantor Jakarta dan provinsi/ Kabupaten (semoga perbuatan seperti ini sampai sekarang semakin berkurang). Masalah konflik lahan hutan, bila hal tersebut diatas tidak segera dapat ditangani (dalam konteks membangun KPH dan kelembagaannya), akhirnya dapat diprediksi siap meledak di berbagai daerah. Menjadi konflik sosial, menjadi sumber ketidakpastian dan resiko tinggi bisnis kehutanan yang akan dihadapi para pengusaha di bidang kehutanan dan tentu saja, masyarakat di sekitar hutan. Kurikulum pendidikan Sarjana Kehutanan (S1) agar diarahkan untuk tujuan utamanya yaitu melaksanakan wujud nyata praktik pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Fakta lapangan sampai dengan saat ini masih terlalu banyak kurikulum yang sangat responsif terhadap hasil hutan kayu, mulai dari perhitungan prediksi kubikasi kayu sampai eksploitasi, industri dan nilai ekonomi pasar. Jadi, sangat baik, penting dan perlu untuk mengembangkan kurikulum yang terkait dengan jasa lingkungan dan pelayanan hidup sehat di alam bebas (adventure) dan pemanduan wisata alam. Cukup memprihatinkan bila staf akademika di fakultas kehutanan tidak peduli terhadap tumbuh kembangnya organisasi Mapala di Fakultasnya dan tidak menyusun maupun mengembangkan kurikulumnya. Berkembangnya pasar hasil hutan bukan kayu (buah, getah, bahan baku obat tradisional dan produk dari satwa liar) yang kurang progresif, sehubungan dengan kurangnya perhatian pemerintah dalam hal jaringan kerjasama dan penguatannya sejak dari asal bahan baku (misal: unit KPH) sampai ke proses produksi, kemasan dan pemasaran, hendaknya diprioritaskan oleh Ditjen Bina Usaha Kehutanan untuk dana dan percepatan aksi pengembangannya, setidaknya sampai 2014. Seorang pakar kehutanan, Dudung Kadarusman mengatakan bahwa nilai kayu hanya 5 % dari nilai hutan. Tetapi kalau tidak ada pohon/kayu menurut pakar kehutanan lainnya, Sofyan Warsito, itu bukan hutan tetapi semak belukar. Inilah yang disebut tantangan nilai/value, bukan "cash/tunai", karena belum ada pihak yang membuatnya jadi tunai. Jadi meski hanya 5%, tapi bila ada pihak yang berani cash, maka value yang lain terabaikan atau hilang, termasuk value atas ekosistem hutan. Terlebih bila kawasan hutannya kehilangan spesies kunci, seperti badak

sumatera "punah/hilang" di Taman Nasional Kerinci Seblat, maka jadilah kawasan hutan itu hanya sebagai kumpulan pohon yang dikenal sebagai empty forest, tidak bermakna dan tidak bergigi seperti sertifikat SFM yang sudah bermakna kertas ditangan pemegang ijin HPH, sehingga menyebabkan industri kayu lari ke titik nadir. Bogor, 05 Oktober 2012

Nb: Terima kasih disampaikan kepada TM, NA, Goar dll yang sumbangan responsifnya di milis rimbawan interaktif telah melengkapi inspirasi tulisan ini.

Você também pode gostar