Você está na página 1de 5

KONEKSITAS KELAIKAN PUNGUTAN DENGAN KEGAIRAHAN USAHA HUTAN DAN PERKAYUAN DI INDONESIA.

Oleh: Banjar Yulianto Laban Pada tanggal 9 Oktober 2012 di Bogor, di bawah bendera PERSAKI, tepatnya Dewan Pakar PERSAKI (Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia) telah digelar diskusi awal dalam rencana dwi mingguan temu pakar kehutanan. Topik diskusi kali ini adalah mengevaluasi kesepakatan ITTO yang muncul di Bali tahun 1990, bahwa semua anggota ITTO harus sudah selesai menyiapkan penerapan 100% Sustainable Forest Management (SFM) di masing masing negaranya pada tahun 2000. Setelah 12 tahun (2000 2012), bagaimana SFM ini di Indonesia? Dengan menyimak paparan hasil observasi pelaku sejarah Kehutanan Indonesia, Bapak Sadikin Djajapertjunda (tahun 2012, beliau berusia 81 tahun), diperoleh masukan yang cukup berharga bagi kita, bahwa SFM secara legal di Indonesia belum tercapai sepenuhnya karena penetapan, pengukuhan dan pengelolaan kawasan hutan (produksi) dalam suatu unit pengelolaan belum tercapai seluruhnya. Beliau mengusulkan agar progres pembentukan dan pelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) difokuskan dan dipercepat pembangunannya melalui integrasi/ konvergensi beberapa kegiatan kehutanan yang terkait. Beberapa cuplikan yang menarik untuk dihayati dari tulisan paparan beliau, sebagaimana telah ditebar di milis rimbawan interaktif oleh Sdr. Togu Manurung, saya sampaikan sebagai berikut:
"Dalam menyiapkan pelaksanaan HPH, sejak awal sudah diperkirakan adanya kesulitan yang harus dipecahkan, misalnya : a. HPH hanya dapat diberikan di kawasan hutan produksi yang sudah dikukuhkan. Sedang Hutan Produksi yang sudah dikukuhkan baru mencapai 14 juta Ha. Masalah ini akhirnya dipecahkan dengan SK Menteri Pertanian yang menyatakan setiap kawasan hutan yang dijadikan HPH, secara otomatis menjadi hutan produksi yang dikukuhkan. b. Ketika didatangi calon peminat yang minta arahan lokasi kawasan hutan yang dapat diusahakan dan menjadi HPH, karena Ditjenhut tidak memiliki data yang akurat, mereka disarankan mencari sendiri, ada yang melalui Pemda Provinsi, survey udara, dll. Setelah menemukan, mereka minta rekomendasi dari Pemda, kemudian diajukan ke Dirjenhut. Kalau disetujui oleh Dirjenhut, maka permohonan dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan prosedur. Proyek yang ditawarkan di sepanjang Trans Sumatra Highway, tidak diminati, dengan alasan sulit mengangkut kayu bulatnya. .......... Pada bulan juni 1967, Presiden Suharto memanggil Bpk. Dirjen Kehutanan. Bpk Dirjen memerintahkan penulis dan Drh. Aryo Darmoko, Kepala Biro Data, Bina Graha untuk ikut. Setelah Bpk. Dirjen Kehutanan memberikan laporan, Bpk Presiden mengajukan pertanyaanpertanyaan yang cukup intensif, akhirnya Bapak Presiden memberi petunjuk :

i. Bila perusahaan lokal tidak banyak yang berminat, untuk sementara boleh terima investor
asing saja, masing,

ii. Dirjen harus aktif dengan cara jemput bola, cari saja investor ke negaranya masingiii. Kalau Perusahaan Indonesia belum siap menjadi partner dalam patungan dengan asing,
tunjuk saja Koperasi-koperasi." ......

"Pada tahun 1968, ketika belum semua peraturan mengenai HPH tersedia, calon-calon pemegang HPH sudah mulai berdatangan dan minta diproses. Setahap demi setahap dapat diselesaikan, meskipun susah payah, karena belum ada pedoman yang baku. Dalam suatu rapat, Bpk. Dirjen Sudjarwo bercanda, ya sudah, berlari saja sambil menjahit celana."

....... Tidak kalah pentingnya adalah paparan Bapak Ir. Nana Suparna dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Dari paparan beliau terungkap bahwa APHI dkk yang terkait dengan usaha perkayuan sedang terpuruk, lesu. Pada tahun 2011 hanya ada 46% dari 293 unit HPH (pemegang IUPHHK-HA) yang aktif dengan hasil produksi tidak mencapai kuota, yaitu 5,19 juta m3 atau 57% dari 9,1 juta m3. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pemegang IUPHHK di Indonesia terpuruk, antara lain pengesahan RKT IUPHHK-HA semakin ketat kriterianya dengan alasan green development (?), sehingga pada tahun 2011 hanya 137 RKT (46%) yang disahkan dari 294 RKT yang diajukan; cash flow modal tersendat dan tidak merata, menyebabkan pada tahun 2011 jumlah unit HTI (IUPHHK-HT) makin banyak, tanaman makin luas, namun yang beroperasi 39% saja (yaitu beberapa unit HTI yang punya modal besar). Dari sekian faktor penyebab keterpurukan, mungkin hanya faktor pungutan yang diharapkan ada perhatian Pemerintah ( Kementerian Kehutanan dan Kementerian Keuangan) untuk mempertimbangkan pengurangan beban sekaligus insentif untuk menggairahkan usaha hutan dan perkayuan di Indonesia. Menyimak paparan Ir. Nana Suparna, ternyata dapat menemukenali berbagai jenis pungutan. Ada 7 jenis pungutan di sektor usaha hutan dan perkayuan, yaitu : A. Pajak 1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), berdasar luas areal kerja HPH/HTI. 2. Pajak Penghasilan (PPh), meliputi pasal 21 dan pasal 25. B. Non Pajak 1. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IIUPHHK), berdasar luas areal kerja. 2. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) 3. Dana Reboisasi (DR) 4. Pungutan Sumbangan Pihak Ketiga, pada Kabupaten-Kabupaten tertentu. 5. Pungutan masyarakat, di daerah-daerah tertentu, biasanya atas nama masyarakat adat.

Pajak penghasilan (PPh) pada umumnya diterapkan di semua negara di dunia. Sebagai contoh terkait usaha hutan dan perkayuan PPh diterapkan di Indonesia, Brazil, Bolivia, Costarica, Malaysia, China, Papua New Guinea. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IIUPHHK) sebagai salah satu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berbasis luas areal izin, hanya diterapkan di Indonesia dan Malaysia. Sedangkan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang diperoleh dari nilai intrinsik tegakan pohon di kawasan hutan, diterapkan di 3 negara yaitu: Indonesia, Malaysia dan Papua New Guinea. Pungutan di Indonesia ternyata paling banyak, ada 7 pungutan, terdiri dari 6 pungutan resmi pemerintah dan 1 pungutan masyarakat atas nama adat. Terkait pajak resmi ada 2 pungutan, non pajak 5 pungutan dengan status : diterapkan secara resmi oleh pemerintah pusat 3 pungutan, pemerintah daerah tertentu ada 1 pungutan dan 1 pungutan masyarakat atas nama adat. Sebagian besar pungutan (7 macam) terkait dengan PNBP sesuai dengan ketentuan di UU N0.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Iuran Izin Pemanfaatan hutan, berbasis luas areal izin.*) Dana Reboisasi.*) Provisi Sumber Daya Hutan.*) Dana Jaminan Kinerja. Dana Investasi. Pembinaan Industri. Dana Jaminan Reklamasi dan Rehabilitasi.

Namun yang sudah diterapkan (*), yaitu : Iuran Izin Pemanfaatan Hutan, Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber daya Hutan (PSDH). Kecuali Iuran Izin Pemanfaatan Hutan, pungutan DR dan PSDH berbasis produksi kayu. Demikian halnya pungutan berbasis produksi kayu dilakukan oleh pemda tertentu (pungutan sumbangan pihak ketiga) dan masyarakat tertentu atas nama adat. Dalam hal pungutan non pajak di luar ketentuan UU No. 41 tahun 1999, ada: 1. Pungutan Pengganti Nilai Tegakan (PNT) yang diterapkan pada kayu kayu hasil pembersihan lahan di luar kawasan hutan negara (dalam rangka penggunaan non kehutanan dan pelepasan kawasan Hutan Produksi Konversi yang akan segera dialih fungsikan, misal menjadi Hak Guna Usaha Perkebunan). 2. Pungutan Peralatan (dipungut oleh Kabupaten berdasarkan jumlah dan jenis alat). Dari pungutan pungutan tersebut diatas akan diperoleh penerimaan negara yang besarnya dipengaruhi oleh setidaknya 7 komponen, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Jumlah unit usaha Luas areal kerja Pertumbuhan hutan Efisiensi pemanenan (produksi) Harga patokan kayu/besarnya pungutan

6. Tarif 7. Kebijakan Sehubungan dengan tarif (butir 6), khususnya yang tercantum pada PP No. 59/1998 tentang Tarif Jasa Jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan, yang akan direvisi menyesuaikan dengan perkembangan keadaan, maka agar lebih kondusif dan mendorong semakin bergairahnya usaha perkayuan di masa yang akan datang, diusulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Mendorong peningkatan kinerja unit pengelola HPH/HTI, sehingga produksi naik dan dapat meningkatkan PNBP dari DR dan PSDH. Sementara tarif DR dan PSDH jangan dinaikkan dulu. 2. Harga patokan untuk perhitungan PSDH agar diberlakukan berdasarkan harga kayu di hutan HPH dan HTI, sehingga sesuai dengan perkiraan nilai intrisik tegakan pohon di kawasan hutan. 3. Rencana penambahan jenis PNBP berupa pungutan Penggantian Nilai Tegakan (PNT) sebaiknya jangan dikenakan ke pemegang izin HPH/HTI, tetapi ke pemegang izin pinjam pakai tambang/non tambang dan pemegang izin HGU untuk kebun dan kepentingan lain di HPK yang akan menjadi APL. 4. Pungutan DR yang diperoleh segera dikembalikan ke hutan lokasi asal tapak HPH yang bersangkutan, sebagai bagian dari investasi Pemerintah dalam rangka mendorong percepatan pembangunan silvikultur intensif (silin) dan penerapan Reduce Impact Logging (RIL) di Hutan Produksi Alam HPH yang bersangkutan (sebagai bahan usulan revisi PP No. 35/2002 tentang Dana Reboisasi). 5. Untuk sementara, jangan lagi menambah jenis/macam pungutan, termasuk yang menunjang upaya efisiensi pemanfaatan bahan baku, antara lain : pungutan Rp 0,- untuk kayu limbah. Penertiban pungutan hendaknya lebih diutamakan, sehingga jumlah pungutan (terutama yang tidak resmi sesuai aturan dan UU) semakin berkurang dengan bertambahnya social response items dari pemegang izin HPH/HTI, antara lain berupa lapangan pekerjaan dan fasilitas umum. Untuk mendorong meningkatnya kinerja unit pengelola HPH/HTI telah dilontarkan beberapa inisiatif di sidang diskusi/tanya jawab, sebagai berikut: 1. Membuka kran export log dan bahan baku serpih dari HPH/HTI maksimum 40% dari produksi dan pungutan exportnya nol, sehingga cash flow besar, lancar dan dapat berkompetisi dalam pemasaran bahan baku secara global dan legal. 2. Mendorong Pemerintah melakukan pengawalan dalam export log tersebut dan melakukan pengawasan kegiatan operasional HPH/HTI dengan beaya dari pemerintah (sehingga obyektifitas pengawalan dan pengawasan tetap terjaga). 3. Dalam rangka penyederhanaan birokrasi (debirokrasi), berdasar PP No. 19/2010 yang telah disempurnakan dengan PP No. 23/2011, intinya yaitu Gubernur sebagai wakil pemerintah Pusat di daerah, maka Kepala Dinas Kehutanan Propinsi dapat diberi mandat untuk melakukan pembinaan, pengawalan dan pengawasan kegiatan operasional HPH/HTI di wilayah kerjanya (menggunakan sertifikat SFM, SVLK uji DNA, dan penerapan REDD+ melalui sistem Measurable Reportable Verificable). Sumber dananya dari APBD dan dekonsentrasi pusat, terutama untuk pengawasan sebagaimana dimaksud butir 1. Adapun Kementerian Kehutanan

4.

5.

6.

7.

berkewajiban untuk menetapkan Norma, Standard, Prosedur dan Kriterianya (NSPK). Untuk memperlancar mobilitas bahan baku dan efisiensi pemasaran hasil produksi diperlukan sinergitas lokasi HPH/HTI dengan pengembangan infrastruktur (jalan dan pelabuhan) dalam jangka panjang, sebagaimana diarahkan oleh Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi yang berlaku. Penggunaan PNBP sektor Kehutanan diprioritaskan untuk pemantapan kawasan hutan, kepastian areal kerja konsesi HPH/HTI dan operasional KPH (dalam rangka efektifitas managerial kawasan hutan di lapangan, antara lain: penataan dan pemanfaatan kawasan sesuai fungsi serta penyelesaian konflik lahan yang historicable, transparan, beradab dan seadil-adilnya/ justicable). Menerapkan mekanisme premium price sebagai insentif bagi log atau kayu olahan produk SFM, termasuk di dalamnya optimalisasi komposisi ukuran produk kayu gergajian (sawnwood) dalam rangka meningkatkan nilai produknya, baik untuk export maupun domestik. Membuka lapangan kerja profesi rimbawan yang beraklak, jujur dan berilmu kebenaran di areal kerja HPH/HTI, sehingga mendapat kesempatan untuk membangun etos kerja dan penguatan (strengthening) kerjasama berbagai pihak agar posisi kehutanan sebagai tulang punggung negara semakin memperkokoh tegaknya tubuh republik ini (Dudung Darusman, 2012).

TINDAK LANJUT Tulisan ini pada intinya adalah saran untuk menggairahkan usaha hutan dan perkayuan dari sisi pengaturan pungutan atau tarif pungutan dan insentif yang diawali dengan mendorong meningkatnya kinerja unit pengelola HPH/HTI. Campur tangan pemerintah cq Kementerian Kehutanan sangat diperlukan dalam hal ini. Diharapkan tulisan ini dapat berguna sebagai salah satu masukan untuk perubahan kebijakan kehutanan yang lebih kondusif dalam SFM di usaha hutan dan perkayuan, melalui jalur PERSAKI. Bogor, 10 Oktober 2012

Você também pode gostar