Você está na página 1de 15

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah Tulang mempunyai banyak fungsi yaitu sebagai penunjang jaringan tubuh, pelindung organ tubuh, memungkinkan gerakan dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan garam mineral, namun fungsi tersebut bisa saja hilang dengan terjatuh, benturan atau kecelakaan yang mengakibatkan fraktur. Fraktur atau patang tulang adalah suatu peristiwa terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung maupun trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2005). Klasifikasi fraktur ada dua jenis yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup yaitu bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka yaitu bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Bentuk-bentuk perpatahan antara lain transfersal, oblique, spiral, kompresi atau crush, comminuted dan greenstick (Mansjoer, 2000). Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki menjadi penyebab tingginya resiko fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan

meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan hormon pada menopause (Apley, 1995). Fraktur intertrochanter femur merupakan salah satu dari 3 tipe fraktur panggul. Fraktur intertrochanter terjadi diantara 2 trochanter dimana trochanter mayor terdapat musculus gluteus medius dan minimus (ekstensi dan abduksi panggul) dan trochanter minor dimana terdapat musculus iliopsoas (fleksi panggul) (Evans & McGrory, 2001).

Tujuan rehabilitasi adalah untuk mengembalikan pasien pada tingkat fungsi yang sama dengan sebelum terjadi cedera. Pada banyak kasus, hal ini tidak realistis. Hanya 20% sampai 35% pasien yang dapat kembali sesuai dengan tingkat fungsi sebelum terjadi cedera. Sekitar 15-40% membutuhkan penanganan konstitusional lebih dari 1 tahun setelah cedera. Dan sekitar 5083% membutuhkan alat untuk membantu ambulasi. Tujuan rehabilitasi seharusnya secara individual, dengan terapis menghitung komorbiditas, derajat keparahan fraktur dan tingkat motivasi dari pasien (Pratt et al, 2001). Kesuksesan tujuan terapi dari luka atau jejas pada ekstremitas bawah adalah mengembalikan Lingkup Gerak Sendi dari semua sendi, rehabilitasi semua unit otot dan tendon, dan unrestricted weight bearing (Brotzman, 1996).

B.

Tujuan Penulisan Untuk mengetahui penanganan dan rehabilitasi medik pada kasus fraktur intertrochanter.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Femur Femur, tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh, meneruskan berat tubuh dari os coxae kepada tibia sewaktu kita berdiri. Caput femoris menganjurkan ke arah craniomedial dan agak ke ventral sewaktu bersendi dengan acetabulum. Ujung proximal femur terdiri dari sebuah caput femoris, dan 2 trochanter (trochanter mayor dan trochanter minor) (Moore, 2002).

Gambar 1. Anatomi femur Area intertrochanter dari femur adalah bagian distal dari collum femur dan proksimal dari batang femur. Area ini terletak di antara trochanter mayor dan trochanter minor (Goodman, 2011). Caput femoris dan collum

femoris membentuk sudut (1150-1400) terhadap poros panjang corpus femoris; sudut ini bervariasi dengan umur dan jenis kelamin. Corpus femur berbentuk lengkung, yakni cembung ke arah anterior. Ujung distal femur, berakhir menjadi 2 condylus, yaitu epicondylus medialis dan epicondylus lateralis yang melengkung bagaikan ulir (Moore, 2002).

Gambar 2. Pembuluh darah pada femur

B. Definisi Fraktur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan persarafan (Evans, 2001). Definisi fraktur intertrochanter femur adalah terputusnya kontinuitas tulang pada area di antara trochanter mayor dan trochanter minor yang bersifat ekstrakapsular (Apley, 1995)

C. Klasifikasi Fraktur Femur Ada 2 tipe fraktur femur, yaitu : 1. Fraktur intrakapsuler 2. Terjadi didalam tulang sendi, panggul dan kapsula Melalui kepala femur Hanya dibawah kepala femur Melalui leher dari femur

Fraktur ekstrakapsuler Terjadi diluar sendi dan kapsul, melalui trochanter femur yang lebih besar atau yang lebih kecil atau pada daerah intertrochanter. Terjadi dibagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci dibawah trochanter kecil (Mardhiya, 2009).

Sedangkan klasifikasi untuk intertrochanter adalah berdasarkan stabilitas dari pola fraktur, yaitu fraktur stabil (pola fraktur oblik standar) dan fraktur tidak stabil (pola fraktur oblik reverse) (Evans, 2001).

Gambar 3. Klasifikasi fraktur femur

D. Etiologi Fraktur 1. Trauma Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan otot yang tibatiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena; jaringan lunak juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada (Apley, 1995). 2. Kompresi Retak dapat terjadi pada tulang, sama halnya seperti pada logam dan benda lain, akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh (Apley, 1995) 3. Patologik Fraktur dapat terjadi karena tekanan yang normal apabila tulang itu lemah (misalnya oleh tumor) atau apabila tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit paget) (Apley, 1995).

E. Diagnosis Untuk mendiagnosis fraktur, diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, sebagai berikut: 1. Anamnesis Biasanya terdapat riwayat cedera (bagaimana proses cederanya), diikuti dengan ketidakmampuan menggunakan tungkai yang mengalami cedera. Setelah jatuh tidak dapat berdiri, kaki lebih pendek dan lebih berotasi keluar dibandingkan pada fraktur collum (karena fraktur bersifat ekstrakapsular) dan pasien tidak dapat mengangkat kakinya (Apley, 1995).

2.

Pemeriksaan Fisik Sedangkan tanda-tanda lokal pada fraktur akan didapatkan, antara lain: a. Penampilan (look) Pembengkakan, memar, deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu terlihat utuh atau tidak (Apley, 1995). b. Rasa (feel) Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan menguji sensasi (Apley, 1995). c. Gerakan (movement) Krepitus dan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih oenting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal cedera (Apley, 1995).

3.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi pada panggul meliputi foto polos pelvis secara anteroposterior (AP) dan area yang terkena cedera, dan dapat pula foto panggul secara lateral view. Pada beberapa kasus, CT scan mungkin diperlukan (Goodman, 2011).

Gambar 4. Gambaran radiologi fraktur intertrochanter femur 7

F. Penyembuhan Fraktur Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Lokasi fraktur Jenis tulang yang mengalami fraktur Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil Adanya kontak antar fragmen Ada tidaknya infeksi Tingkatan dari fraktur

Adapun faktor sistemik adalah : 1. 2. 3. 4. Keadaan umum pasien Umur Malnutrisi Penyakit sistemik.

Proses penyembuhan fraktur terdiri dari beberapa fase, sebagai berikut : 1. Fase Reaktif a. b. 2. Fase hematom dan inflamasi Pembentukan jaringan granulasi

Fase Reparatif a. b. Fase pembentukan callus Pembentukan tulang lamellar

3.

Fase Remodelling a. Remodelling ke bentuk tulang semula

Dalam istilah-istilah histologi klasik, penyembuhan fraktur telah dibagi atas penyembuhan fraktur primer dan fraktur sekunder.

1.

Proses penyembuhan fraktur primer Penyembuhan cara ini terjadi internal remodelling yang meliputi upaya langsung oleh korteks untuk membangun kembali dirinya ketika kontinuitas terganggu. Agar fraktur menjadi menyatu, tulang pada salah satu sisi korteks harus menyatu dengan tulang pada sisi lainnya (kontak langsung) untuk membangun kontinuitas mekanis. Tidak ada hubungan dengan pembentukan kalus. Terjadi internal remodelling dari haversian system dan penyatuan tepi fragmen fraktur dari tulang yang patah.

2.

Proses penyembuhan fraktur sekunder Penyembuhan sekunder meliputi respon dalam periostium dan jaringan-jaringan lunak eksternal. Proses penyembuhan fraktur ini secara garis besar dibedakan atas 5 fase, yakni fase hematom (inflamasi), fase proliferasi, fase kalus, osifikasi dan remodelling. a. Fase Inflamasi Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.

b.

Fase proliferasi Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast.

c.

Fase Pembentukan Kalus Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh atau umumnya disebut sebagai jaringan tulang rawan.

d.

Stadium Konsolidasi Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone).

e.

Stadium Remodelling. Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi.

G. Komplikasi fraktur Komplikasi lokal pada fraktur dapat timbul secara dini maupun lanjut 1. Komplikasi dini pada fraktur a. b. Tulang : infeksi Jaringan lunak Lepuh dan luka akibat gips Otot dan tendon robek Cedera vaskular (termasuk sindroma kompartemen) Cedera saraf Cedera visceral 10

c.

Sendi Hemartrosis dan infeksi Cedera ligament Algodistrofi

2.

Komplikasi lanjut pada fraktur a. Tulang b. c. Nekrosis avaskular Penyatuan lambat dan non-union Mal-union

Jaringan lunak Ulkus dekubitus Miositis osifikans Tendinitis dan rupture tendon Tekanan dan terjepitnya saraf Kontraktur volkmann

Sendi Ketidakstabilan Kekakuan Algodistrofi

Pasien dengan fraktur intertrochanter femur mempunyai resiko menderita penyakit tromboemboli dan mempunyai resiko kematian, sama halnya pada fraktur colum femur. Selain itu resiko osteonekrosis dan nonunion minimal, karena suplai darah yang baik pada regiofemur.

H. Terapi Fraktur 1. Operatif Open Reduction Internal Fixation (ORIF) 2. Rehabilitasi Medik Rehabilitasi medik untuk terapi fraktur intertrochanter meliputi :

11

Waktu Tindakan pencegahan

Treatment

Menghindari passive ROM

Range of Motion (ROM) Active ROM pada hip dan knee dengan fleksi, ekstensi, abduksi dan adduksi

Kekuatan otot Isometric exercises pada m.gluteus dan m.quadriceps Hari pertama sampai 1 minggu Aktivitas fungsional Transfer ke stand-pivot jika non-weight bearing. Jika weight bearing, ekstremitas yang dipengaruhi, digunakan selama transfer. Menggunakan alat bantu untuk ambulasi.

Weight bearing Weight bearing sesuai toleransi untuk fraktur yang stabil. Toetouch sampai partial weight bearing atau non-weight bearing untuk fraktur tidak stabil.

Tindakan pencegahan Menghindari berdiri pada kaki yang cedera tanpa bantuan. 2 Minggu Menghindari passive ROM.

Range of Motion Active ROM pada hip dan knee. Hip difleksikan mencapai 900. Kekuatan otot

12

Isometric exercises pada glutei, quadriceps dan hamstrings.

Aktivitas fungsional Tergantung pada weight bearing, patien melakukan tranfer stand-pivot atau menggunakan ekstremitas tang dterkena selama transfer. Untuk ambulasi, menggunakan alat bantu.

Weight bearing Tergantung prosedur, weight bearing sesuai toleransi. Nonweight bearing sampai partial weight bearing, sampai toetouch untuk fraktur yang tidak stabil.

Tindakan pencegahan Menghindari puntiran atau putaran pada sisi fraktur.

Range of Motion Active, active-assistive ROM pada hip dan knee. Kekuatan otot Isometric exercises pada glutei, quadriceps dan hamstrings. Active resistive exercise pada quadriceps, glutei dan 4 sampai 6 minggu hamstrings, jika gerak sendi mempuntai toleransi yang baik.

Aktivitas fungsional Tergantung dari weight bearing, transfer stand-pivot atau weight bearing sesuai toleransi pada ekstremitas yang terkena selama transfer. Ambulasi dengan alat bantu.

Weight bearing Weight bearing sesuai toleransi untuk fraktur yang stabil. Partial weight bearing, non-weight bearing sampai toe-touch untuk fraktur yang tidak stabil.

13

Tindakan pencegahan Tidak ada

Range of Motion Melanjutkan active, active-asisstive ROM. Memulai passive ROM dan pemanasan pada hip dan knee.

Kekuatan otot 8 sampai 12 minggu Aktivitas fungsional Pasien menggunakan ekstremitas yang diliputi dengan weight bearing sesuai toleransi atau weight bearing yang penuh selama transfer dan ambulasi. Menghentikan penggunaan alat bantu. Progressive resistive exercises pada hip dan knee.

Weight bearing Penuh 12 sampai 16 minggu Tidak berubah

(Hoppenfeld, 1999)

14

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A.G.,L. Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi Fraktur Sistem Apley. Edisi 7. Jakarta: Widya Medika. Brotzman S, 1996. Clinical Orthopaedic Rehabilitation. Missouri : Mosby Evans, P.J., B.J McGrory. 2001. Fracture of The Proximal Femur. ME: Orthopaedic Associates of Portland. Goodman, M.S. 2011. Intertrochanteric Hip Fracture Treatment and

Management. Diakses at www.medscape.com Hoppenfeld, S., 1999. Treatment and Rehabilitation of Fractures. New York: Lippincott Williams & Wilkins Mansjoer, Arif,. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 edisi 3. Aesculapius : FKUI. Mardhiya, W.R. 2009. Fraktur Femur. Pekanbaru : Universitas Riau. Moore, K.L., A.M.R. Agur. 2002. Essensial Clinical Anatomy. Jakarta: Hipokrates. Pratt, E. et al. 2001. Open Reduction and Internal Fixation. In Rehabilitation for The Post Surgical Orthopedic Patient. Missouri: Mosby Elsevier. Pp 309-13 Sjamsuhidajat, R., de Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC Media

15

Você também pode gostar