Você está na página 1de 7

A Modest Proposal

Sekali waktu, ketika lampu lalulintas di simpang Jl. Tuanku


Tambusai – Sukarno Hatta memancarkan cahaya merah, saya
menghetikan sepeda motor yang setia menemani aktifitas
keseharian, “mengukur jalanan” kota Pekanbaru.

Dalam hitungan detik, pengais rezeki trafficlight secara


bergerombolan menghampiri pengguna jalan menawarkan
jasa. Mulai dari koran, membersihkan kaca mobil atau sekedar
meminta uang untuk makan yang dilontarkan sejumlah
pengemis berbagai tipe (dari pengemis cilik, pengemis dewasa, pengemis kaki
berbalut kain kassa sampai pengemis yang menuntun atau menggendong
balita). Penuh warna-warni. Kontras merefleksikan wajah kota.

Pemandangan tersebut mengingatkan saya kepada sebuah karya tulis seorang


pujangga Eropa asal Dublin - Irlandia, Jonathan Swift (1667-1745) berjudul A
Modest Proposal (sebuah proposal sederhana) yang selalu saya jadikan bahan
diskusi dengan mahasiswa pada mata kuliah Prose ditempat saya mengajar.

Deskripsi paragraf pertama proposal Swift menceritakan keadaan memilukan


sejumlah kota di Irlandia. Digambarkannya, sepanjang jalan terlihat pengemis
wanita, diikuti tiga hingga enam orang anak kecil mengharapkan belas kasihan
pengguna jalan memberi mereka sekeping recehan penyambung hidup.

Terinspirasi kenyataan tersebut, Swift menggoreskan sebuah proposal berisikan


bagaimana cara memanfaatkan anak-anak terlantar sehingga berfaedah
dipandang dari segi ekonomi dan berorientasi bisnis.

Swift menawarkan ide gila-gilaan, yaitu memelihara bayi-bayi terlantar secara


telaten hingga berusia satu tahun, kemudian disembelih dan disajikan dalam
bentuk hidangan yang pasti menggugah selera, seperti diolah menjadi daging
rebus, daging asap atau atau daging panggang. Dia yakin cita rasanya setara
dengan masakan sejenis rogout (masakan Eropa – daging cincang dengan
bumbu khas) atau Fricassee (masakan Eropa –daging di iris tipis lalu direbus
bersama rempah serta bumbu dan disajikan dengan sayuran, biasanya
dihidangkan direstoran besar dengan harga mahal).

Lanjut Swift, bila dilakoni tentu saja akan bermanfaat karena secara ekonomi
bisa menjadi komoditi menguntungkan. Selain itu, konsep tersebut dipandang
mampu untuk memperkecil populasi penduduk, artinya dari pada setelah besar
bayi-bayi tersebut menyusahkan orangtua yang tidak memiliki kesanggupan
membiayai hidup mereka, lebih baik dimanfaatkan seperti layaknya memelihara
hewan ternak. Lagi pula biaya perawatan bayi menjelang usia satu tahun tidak
terlalu berat bila dibandingkan sampai mereka beranjak dewasa dan tidak perlu
membayar pajak kepada pemerintah seperti dilakukan peternak.
Sebenarnya isi proposal Swift tidak sungguh-sungguh harus diimplementasikan
sebagai perwujudan nyata. Swift hanya mencoba mengetuk hati nurani
pemerintah di Irlandia masa 1720-an, yang hanya mementingkan urusan pribadi
mereka tanpa pernah memperhatikan nasib rakyat dengan segala problematika
sosial ekonomi, seperti kemiskinan dan kebodohan. Jika mereka mau sedikit
memutar otak, justru tidak bakal terlihat pengemis berkeliaran. Tinggal saja
bagaimana merumuskan bentuk usaha yang cocok mengatasi persoalan
tersebut, misalnya membangun pabrik atau perkebunan pemerintah, lalu
memperkerjakan mereka sebagai buruh.

Kembali menyusuri kota Pekanbaru, gambaran kemiskinan kota sudah terlihat


dengan bertebarannya gelandangan pengemis (gepeng), konon berasal dari luar
Riau, disetiap sudut kota. Terkadang menimbulkan kesan seolah-olah
pemerintah tidak memperhatikan keadaan mereka.

Sementara melalui instansi pemerintah terkait, pernah dicoba mengembalikan


mereka kedaerah asal menggunakan dana APBD, bahkan sudah menjadi
kegiatan tahunan, namun tetap saja kembali muncul. Parahnya, tidak hanya
muka lama yang hadir, malah ditambah muka baru berikut atributnya (anak, cucu
dan handaitaulan). Jika dibiarkan terus berlanjut tanpa solusi jelas, sepuluh
tahun kedepan sulit membedakan mana ibu kota Jakarta, mana kota Pekanbaru
dipandang dari populasi gepeng.

Kalau sudah begitu, ada benarnya Modest Proposal Jonathan Swit diterapkan
jika pemerintah belum juga merumuskan strategi tepat, he..he..he..he..he..he.
Ketika Hak Pejalan Kaki “Dikangkangi”
Dilihat dari fungsinya, pembangunan trotoar merupakan sebuah ide cemerlang
yang dapat menyelamatkan ribuan nyawa dari kecelakaan lalulintas. Artinya,
pemerintah dengan sengaja telah memberikan penghargaan dalam bentuk hak
mutlak bagi pejalan kaki sebagai pengguna jalan. Namun bagaimana kalau hak
tersebut dicaplok atau dikangkangi oleh sejumlah oknum?

Kalau peraturan pemerintah Tennessee dengan Ibu kota Nashville, negara


bagian XVI yang bergabung dengan United Stated (Amerika), menganggap
meludah diatas trotoar saja adalah tindakan illegal, atau secara umum di
Amerika ada larangan bersepeda dan berseluncur (dengan skateboard) diatas
trotoar, bagaimana dengan Indonesia?

Sudah tentu kita punya aturan main terkait hak pejalan kaki. Sebut saja UU RI
No. 14/1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Jelas disebutkan pada pasal
23 ayat 2 poin b bahwa setiap pengendara mengutamakan keselamatan pejalan
kaki. Kemudian bentuknya direfleksikan pada pasal 26, yaitu pejalan kaki wajib
berjalan pada bagian jalan dan menyebarang pada tempat penyeberangan yang
telah disediakan bagi pejalan kaki.

Indah sekali bunyi aturan tersebut, secara langsung pemerintah telah


memberikan proteksi serta hak bagi pejalan kaki yang tertuang dalam aturan
baku. Sayangnya, aturan, ya, tinggal aturan. Tetap saja masih berjalan timpang.

Sepanjang Jl. Sudirman Pekanbaru, dengan kasat mata pencaplokan hak


pejalan kaki terlihat jelas. Beberapa bank terkemuka dinegeri ini memanfaatkan
trotoar didepan kantornya untuk parkir kendaraan roda empat milik nasabah
mereka tanpa menyisakan sedikitpun ruang bagi pejalan kaki melintas. Belum
lagi sejumlah halte bus yang dibangun diatas trotoar sehingga terkesan
mempersempit ruang gerak pejalan kaki. Pemandangan seperti itu masih
dipandang wajar, terbukti tidak ada tindakan dari pihak terkait melakukan
penertiban dan terkesan tutup mata.

Memang masih jarang terdengar pejalan kaki mengalami kecelakaan akibat tidak
berjalan diatas trotoar, tetapi saya yakin akan terjadi. Meskipun relatif kecil, tetap
saja hak pejalan kaki harus menjadi prioritas utama dan sudah wajar kalau
instansi terkait mengembalikan trotoar mereka sebagaimana fungsinya.
“Penyandang Cacat Tak Perlu Dikasihani”

Lah, kok, begitu? Maksudnya apa? Seharusnya penyadangan cacat (penca)


harus mendapat perhatian lebih, kok tidak boleh dikasihani? Demikian
perdebatanan dimulai antara saya dengan Rita Romauli, notabene juga penca, di
sekretariat Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) provinsi
Riau beberapa waktu lalu.

“Iya, memang demikian seharusnya,” lanjut Rita. “Kalau penca dikasihani, justru
akan menjerumuskan mereka menjadi generasi malas dan hanya tahu terima
beres tanpa pernah berfikir bagaimana mendapatkan apa yang mereka inginkan
melalui jalan usaha mandiri. Dengan kata lain, mereka tidak akan pernah mandiri
dan akan terus tergantung kepada belas kasihan orang,” ucapnya dengan nada
sedikit meninggi.

Saya hanya manggut-manggut dengan seribu pertanyaan dibenak. Bagaimana


bisa seorang penca mandiri? Langkah apa yang harus dikerjakannya? Apakah
tidak meinmbulkan kontroversi dilingkungan keluarga?

Saya mencoba merumuskan pertanyaan demi pertanyaan tersebut dalam


kerangka berifikir. Lalu lambat-lambat coba mendiskusikannya dengan Rita.
Secara tidak langsung saya ingin lebih mendalami pemikirannya tentang konsep
“Penca tak perlu dikasihani”.

Menurut Rita, inti utama menjadikan penca mandiri adalah lingkungan keluarga.
Spirit pertama yang harus diterima harus dari orang dekat, terutama orang tua.
Menimbulkan rasa percaya diri penca tidak semudah seperti anak normal. Perlu
proses untuk meyakinkan bahwa didalam kekurangan yang dimiliki, ada potensi
terbaik dalam diri penca dapat dibangkitkan.

Tidak membedakan perlakuan dengan anak normal merupakan langkah awal


yang baik. Secara mendasar, penca juga mengharapakan agar setiap orang
dapat memberikan kepercayaan bahwa mereka juga memiliki kemampuan
seperti orang lain untuk berkarya.

“Kalau begitu, ada dua sisi yang harus dibenahani, penca sebagai individu dan
masyarakat sebagai komunitas yang bakal menerima mereka dalam suatu ikatan
sosial kemasyarakatan,” potong saya.

“Betul, Jika penca siap untuk berbaur secara sosial, masyarakat juga harus
memberikan dukungan. Tidak muluk-muluk, dengan memberikan kesempatan
kepada mereka untuk berkarya saja, sudah cukup,” ungkap Rita.
Lalu Rita mulai menguraikan bagaimana keluarga harus bersikap terhadap
anggota keluarga yang mennyadang salah satu jenis kecacatan, seperti tuna
rungu (bisu tuli), tuna netra (buta), tuna daksa (cacat fisik) dan tuna grahita (
cacat mental, terkadang juga mempengaruhi fisik). “Jenis kecacatan tentu akan
berpengaruh kepada cara melakukan pendekatan untuk menimbulkan
kepercayaan diri terhadap penca. Makanya orang tua dan keluarga adalah
individu yang tepat bagi penca untuk berinteraksi, karena telah mengetahui
secara jelas sifat penca bersangkutan,” katanya.

Dengan menyuruh penca melakukan hal sederhana yang dianggap mampu


dikerjakan merupakan salah satu wujud kepercayaan kita terhadap mereka.
Misalnya, seorang tuna grahita disuruh memasang tali sepatu. Bagi orang
normal itu hal mudah, tetapi bagi mereka mungkin butuh waktu 30 menit.

“Bagi orang tua penca, jangan pernah malu untuk membawa anak mereka keluar
rumah. Ini masih terjadi di masyarakat kita yang percaya kalau memiliki anak
cacat merupakan kutukan. Sehingga mereka merasa malu dan berusaha
menutupinya dari publik. Kesalah persepsi tersebut justru membuat penca
semakin terpuruk kedalam komunitas minor, akhirnya menghambat
perkembangan mental,” papar Rita.

Interaksi sosial salah satunya adalah antara individu dengan masyarakat.


Berikan kenyataan kepada penca bahwa mereka tidak hidup sendiri dan ada
dunia lain lebih besar diluar sana. Penca adalah bagian dari dunia tersebut.

Penca adalah orang-orang khusus dengan kebutuhan khusus pula, namun tidak
berarti mereka harus diberikan tempat khusus. Maksudnya, masyarakat tidak
perlu memberikan perhatian khusus yang berlebihan kepada mereka. Jadikan
mereka bagian dalam kehidupan ini. Biarkan mereka memiliki fikiran normal
seperti orang lain tanpa pernah membedakan status mereka sebagai warga
masyarakat.

“Mereka pasti bisa. Saya sudah merasakannya dan terbukti berkat kepercayaan
dari pihak keluarga serta sikap masyarakat terhadapa saya, mudah-mudahan
kemandirian dimaksud sudah saya miliki, padahal dari segi kecacatan, saya
tergolong kelas berat,” urainya sambil tertawa.

Rita mencoba beranalogi. Penca tidak selamanya didampingi orang tua. Bila
orang tua mereka sudah tiada, pernahkah terfikirkan siapa yang akan membantu
mereka menjalani hidup? Kalau saja untuk makan penca harus disuapkan, bisa
dibayangkan penca tersebut akan mati kelaparan karena tidak bisa makan
sendiri sebab selama ini hanya bisa menerima, tanpa pernah mampu
mengerjakan sendiri.

Ditanyakan bagaimana masyarakat harus bersikap, Rita mengatakan salah


satunya adalah inklusi, terutama dibidang pendidikan. “Jika dikotakkan, tentu
saja sebagian penca tidak bisa bersekolah di sekolah umum, harus belajar
disekolah khusus. Terutama yang memiliki masalah dengan sikap mental
dipandang secara psikologi. Namun bila kemampuan berfikir mereka setara
dengan orang normal, mengapa tidak? Mereka bisa bersekolah lembaga
pendidikan umum, seperti SD, SMP dan SMA sederajat, bukan di Sekolah Luar
Biasa (SLB),” jelasnya.

Permasalahan yang sering terjadi dilapangan menurut Rita adalah masih banyak
sekolah umum tidak bersedia menerima penca sebagai siswa. Alasannya
mereka tidak bisa memberikan perhatian khusus kepada mereka. Sebagai
contoh bagi para plegia (jenis dari tuna daksa), mereka tidak akan pernah
menyadari kapan mereka harus buang air kecil atau besar. Karena saat “benda”
tersebut keluar, mereka memang tidak merasakannya. Bisa kita bayangkan ini
terjadi saat pelajaran sedang berlangsung dikelas. Belum lagi saat tuna rungu
harus mengalami kesulitan dalam berkomunikasi atau tuna netra yang hanya
mengandalkan suara untuk menerima informasi.

“Sekarang zaman sudah canggih, kalau itu persoalannya, bisa saja para plegia
diberikan pampers (bukan bermaksud untuk mengecilkan, tetapi semata murni
hanya sebagai solusi), tuna rungu sebelum ikut sekolah inklusi wajib ikut
pelajaran membaca gerak bibir dan tuna netra bisa menggunakan alat bantu
berupa komputer. Semuanya ada solusi dan tidak perlu dicemaskan,” tambah
Rita.

Apa yang harus dikerjakan pemerintah untuk mendukung penca agar hidup
mandiri? Tetap saja jawabannya memberikan penca kesempatan berkarya.
Membangun fasilitas kegiatan penca lebih baik dari pada memberikan bantuan
berupa uang atau sembako kepada mereka. “Kalau diberi bantuan uang, justru
dapat merusak mental penca, tetapi kalau diberikan fasilitas untuk berkarya,
seperti pendidikan, pelatihan dan peralatan bekerja, itu jauh lebih bagus,” kata
Rita.

Intinya, pemerintah tidak perlu lagi melakukan basa-basi seremoni yang dikemas
dalam bentuk penyaluran santunan. Tetapi cukup berikan kesempatan saja.
Bangun fasilitas untuk penca (konon di Riau sudah direncanakan pembangunan
panti rehabilitasi penca, namun belum jelas realisasinya). Dibidang pekerjaan,
cukup implementasikan undang-undang tenaga kerja dimana setiap perusahaan
wajib menyediakan quota satu persen bagi penca.

Dibidang sarana dan prasarana, pemerintah juga tidak bisa mengabaikan


kepentingan penca. Perlu difikirkan aksesibilitas, yaitu hal-hal pendukung penca
dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari. “Itu makna dari orang khusus yang
punya kebutuhan khusus. Misalnya bila tuna netra hendak menyeberang jalan
dilampu merah, pemerintah melalui instansi terkait memberikan bel khusus yang
memberi tanda status aman bagi mereka untuk menyeberang. Kemudian trotoar,
tangga gedung dan bangunanan harus memilki tanjakan sehingga tuna daksa
pengguna kursi roda bisa naik tanpa harus dibantu,” ucapnya.

Diskusi semakin menarik dan Rita menyebutkan sejumlah penca yang berhasil
diberbagai bidang, diantaranya Ir. Rahmita Harahap, MT (Tuna rungu, Dosen
Teknik Sipil salah satu perguruan tinggi di Jakarta), drg.Veronica L Mimi (Tuna
rungu, dokter gigi di Jakarta), Dra. Mimi Mariani Msi (Tuna netra, pakar sastra
Inggris di Jakarta, sarjana lulusan Oxford university), dr. Susatio Wirjawan (Tuna
daksa, dokter umum di Pekanbaru), Drs. Harpalis Alwi (Tuna rungu, pemerhati
bidang Olahraga bagi tuna rungu, Pensiunan pegawai negeri di Jakarta), Martin
Lousu (Tuna daksa, Atlit BPOC cabang Atletik, dengan prestasi nasional dan
internasional, Mahasiswa di Pekanbaru), Dra. Risna (Tuna daksa di Solo), Wuri
Handayani, SE. Akt (Tuna daksa – polio akut, mahasiswa pasca sarjana Oxford
University) dan ribuan penca lainnya yang tidak bisa disebutkan sau persatu.

“Saya salut kepada orang tua mereka yang telah menumbuhkan keyakinan bagi
penca sehingga berbuah keberhasilan dalam bentuk kemandirian hidup. Perlu
dijdikan contoh,” kata Rita.

-----------------------------------

Catatan : Rita Romauly, Tuna daksa (Celebral Palsy, kekejangan otot yang
dipengaruhi oleh syaraf otak) lulusan Universitas Riau Fakultas Sosial Politik,
Mahasiswa Pasca Sarjana dengan konsentrasi Psikologi, Ketua Himpunan
Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) Riau, Saat ini bekerja sebagai
pegawai honor pada kantor Badan Kesejahteraan Sosial (BKS) provinsi Riau.

Seluruh tulisan ini telah di publikasikan di situs berita RiauNews (www.riaunews.com)

Você também pode gostar