Você está na página 1de 13

anak SMP | Juara Olimpiade Matematika Tingkat Dunia

Author: Kang Sugeng | Posted at: 04:17:00 | Filed Under: anak SMP |

Lagi-lagi dunia pendidikan Indonesia menuai prestasi. Kali ini seorang anak SMP dan seorang lagi anak SD berhasil mengharumkan nama bangsa. Mereka menang dalam Olimpiade Matematika, di Korea yg juga diikuti oleh 26 negara di dunia. Peter Tirtowidjoyo Young, 14, anak SMP Petra 1 Surabaya, dan Andrew Tirtowidjoyo, 12, anak SD Santa Maria Surabaya, kakak beradik itu telah berhasil menjadi juara dalam Kompetisi Matematika tingkat Internasional. Anak ketiga dan keempat pasutri Steven Tirtowidjoyo, 52, dan Rani Pandunata, 45, itu berhasil mengharumkan nama bangsa dalam kompetisi matematika tingkat Internasional di Incheon, Korea Selatan. Peter si anak SMP menyabet medali emas sedangkan adiknya, Andrew si anak SD menggondol medali perunggu. Saat mewakili Indonesia dalam International World Youth Matematic Intercity Competition (IWYIC), 25 29 Juli 2010 yg lalu, mereka berhasil menyisihkan utusan dari 26 negara lainnya dalam adu pintar dan adu cepat mengerjakan soal-soal matematika. Peter menyabet pernghargaan tertinggi dengan meraih emas tingkat anak SMP. Baik di nomor perorangan maupun tim, anak SMP kelas tiga Petra 1 ini berhasil mengumpulkan 115 poin. Sedangkan adiknya yg masih duduk di kelas enam SD, anak SD Santa Maria menyabet medali perunggu untuk tingkat anak SD. Peter harus menyelesaikan 15 soal dalam waktu satu jam. Sebanyak 12 soal berupa isian sedangkan tiga soal lainnya adalah esai matematika. Peter nyaris meraih nilai sempurna karena nilai maksimal untuk soal-soal ini adalah 120. Sekembalinya dari Korsel, Selasa (3/8) lalu, dua pahlawan matematika ini disambut Kepala Dinas Pendidikan bersama orang tua dan juga temantemannya. "Dulu sampai kelas tiga, saya benci sekali sama matematika. Tapi guru les saya, Pak Pariyanto, mengubah matematika menjadi sesuatu yg sangat menyenangkan, sampai akhirnya saya punya tips jitu ketika mengerjakan soal-soal matematika. Strateginya yaitu dibuat seperti main game aja. Seru gitu mengerjakannya sampai benar-benar menang," ujar Peter berapi-api. Menurutnya, soal-soal dalam kompetisi itu ternyata lebih mudah jika dibandingkan dengan soalsoal ketika latihan. Keluarga Tirtowidjoyo sempat tidak percaya dengan prestasi gemilang dua anaknya ini. Apalagi, baik Peter maupun Andrew tumbuh seperti anak SD dan anak SMP pada umumnya. Selain menyukai musik dan basket, mereka juga suka membaca komik Naruto. Mereka juga tidak ikut bimbel, melainkan ikut les privat. "Kami hanya memotivasi dan menjembatani kesukaan anak saja," kata Steven, yg bekerja di sebuah pabrik kertas di Mojokerto tersebut, mantab. "Setelah kelas empat SD, Peter mulai menyukai matematika. Ketekunan dan kecerdasan Peter mulai terlihat setelah berhasil melalap soal-soal matematika. Dia disarankan ikut Olimpiade

tingkat provinsi. Tapi tidak lolos. Setelah itu tertantang dan terus brilian."

"Saya pertama kali ikut Olimpiade Internasional Matematika yaitu di Jakarta, dan langsung dapat perak. Di Singapura 2007 dapat emas, di Hongkong 2008 juga dapat emas, di Durban Afrika Selatan dapat perak lagi dan terakhir di Korea kemarin dapat emas," urai Peter, penuh kebanggaan. Anak SMP kelahiran Surabaya, 29 Februari 1996 ini pernah juga didiskualifikasi dalam Olimpiade Matematika Nasional Pasad. Meski berhasil memenangkan Olimpiade itu, tapi karena syaratnya harus kelas tiga SMP sedangkan dia waktu itu baru kelas dua, maka akhirnya Peter pun didiskualifikasi. Peter bertekad mengukir prestasi sama di tingkat SMA nanti, karena selama ini belum ada anak SMA Indonesia yg berhasil meraih medali emas matematika. Dan tekad Peter itu ternyata juga mendorong adiknya, Andrew yg kemarin juga tampil bersama di Korea. Andrew merasa terdorong untuk menyamai prestasi Peter. "Pokoknya saya mau seperti kakak, juara matematika dunia," kata Andrew. Hmmm.... benar-benar membanggakan prestasi mereka. Ayo anak-anak SMP Indonesia, tunjukkan bahwa kita adalah bangsa yg pintar dan hebat. Bukan bangsanya pembantu. (halah... mulai ngawur..) Susul prestasi mereka...!! (uhuk..!! capek juga ternyata ngetik segini banyak... xixixi...)

Natalia Liviani Tandiono: Pianis Cilik Indonesia yang Mengharumkan Nama Bangsa
Anak-anak berusia 8 tahun, biasanya hanya sibuk dengan kegiatan belajar dan bermain. Namun, tidak demikin dengan Natalia Liviani Tandiono. Di usianya yang masih terbilang muda, jari-jari lentik Natalia pandai memainkan piano. Ia bahkan telah mengharumkan nama Indonesia di berbagai ajang kompetisi piano. Kepiawainnya memainkan piano sudah dikuasai sejak ia berusia 5 tahun. Baru-baru ini, pada tahun 2010, Natalia bahkan berhasil meraih juara pertama dalam kompetisi kejuaraan piano klasik di ajang Anzca International Music Festival di Kuala Lumpur, Malaysia. Tak hanya itu, Natalia juga sempat mencicipi ajang kompetisi bergengsi dan langsung mendapat tempat kedua di kompetisi 7-9 years in International Competition Of Romantic Music 2011 in New York USA. Diakui oleh sang ibu, putrinya memang telah lama mendambakan menjadi seorang pianis yang berhasil meraih banyak penghargaan. Yang diinginkan Natalia adalah, dirinya bisa lebih banyak mendapatkan penghargaan di ajang kompetisi musik klasik di luar negeri, ujar Ifiwati, ibu dari Natalia saat ditemui di Hall of Jaya Suprana School, Kelapa Gading, Senin, 12 Desember 2011. Natalia Liviani Tandiono yang lahir 18 Desember 2002 adalah putri dari pasangan Iwan Tandiono dan Ifiwati Wibowo. Latar belakang keluarga mereka memang berkecimpung di dunia musik. Bahkan saat Natalia berusia 6 tahun, bersama dengan dua kakaknya, Felicia Liviani Tandiono dan Celine Liviani Tandiono, pernah menggelar konser bertajuk The Songs of Three Little Fairies di Gramedia Expo Surabaya, pada 2009 silam. Dalam konser itu, mereka memainkan piano, biola, cello, dan flute diiringi ensemble violoncello. Konser itu dicatatkan dalam Museum Rekor Indonesia (Muri) dengan kategori ensemble violoncello pertama di Indonesia; trio vokal, violoncello, biola, pianoforte, dan flute dengan iringan ensemble violoncello; pemain flute termuda pertama dengan iringan ensemble violoncello (Celine); serta cellis dan guru piano sebagai pemrakarsa ensemble violoncello di Indonesia. Jaya Suprana selaku ketua MURI juga mengaku sangat mendukung dengan kemampuan superlatif yang dimiliki Natalia Liviani Tandiono. Sejak pertama bertemu dengan Natalia,saya terkesan oleh kegigihan semangat anak muda belia ini untuk menciptakan karsa dan karya yang terbaik di bidang seni musik. Ia berhasil mendapat rekor MURI memperoleh gelar resitel piano tunggal dengan reportoar mahakarya Wolfgang Amadeus Mozart, ujar Jaya Suprana. (hp).

Anak Supir Bajaj Juara Catur ASEAN.

Anda suka main catur? Kalau saya sih jujur setengah suka setengah ga suka. Pasalnya, kalau main catur suka kalah dan suka bikin frustasi. Beda sama anak yang satu ini. Namanya Masruri Rahman. Meskipun terlahir di keluarga yang kurang mampu, tidak menjadi penghalang baginya untuk menjadi seorang anak bangsa yang berprestasi.

Masruri Rahman adalah anak supir bajaj yang juga sekaligus Juara I KU-7 Kejuaran Catur ASEAN dan Juara III Kejuaraan Catur Pelajar Dunia di Yunani. Masruri tak pernah belajar catur secara formal dan hanya mengenal catur dari ayahnya. Ia sempat tidak diperhatikan oleh pengurus catur Indonesia. Bahkan setelah berhasil menjadi juara ASEAN di Ancol, ia dan orang tuanya harus berjalan kaki pulang ke rumahnya di Kemayoran akibat kehabisan ongkos dan tidak adanya pengurus catur yang mengantar. Namun hal tersebut tidak membuatnya putus asa. Ia tetap tekun berlatih. Dan ketekunannya ini berbuah manis, akhirnya para pengurus catur menyadari bakatnya yang luar biasa dan kemudian mengirimnya bersama kontingen Indonesia ke kejuaraan catur pelajar dunia di Yunani. Anak bangsa ini hebat bukan? tapi saya masih miris melihat sebegitu banyaknya piala yang pernah ia raih, ia masih tinggal di rumah yang begitu sederhana. Bahkan Ibunda tercintanya harus meminjam uang kepada tetangga-tetangganya untuk ongkos ia bertanding ke luar negri. Bagaimanapun juga anak-anak seperti masruri Rahman harus mendapatkan perhatian lebih karena ia telah mengharumkan nama Bangsa ini. Mari kita doakan ia menjadi anak yang lebih hebat di masa mendatang agar senantiasa bisa membanggakan orang tua dan

Profil 4 Anak Bangsa Juara Kompetisi Produk Pangan Internasional (IFT)


Ini dia 4 anak bangsa yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional dengan prestasinya di bidang produk pangan internasional. Keempat anak bangsa tersebut adalah Stefanus, Agus Danang Wibowo, Saffiera Karleena, dan Margaret Octavia yang merupakan mahasiswa dan mahasiswi IPB dengan karyanya produk pangan sereal yang berbahan baku utama singkong. Berikut ini profil dan berita selengkapnya: Sereal Bikinan IPB Juara di Amerika Serikat Sereal bukanlah jenis makanan yang lazim dikonsumsi di Indonesia. Karena itu, tak banyak yang memproduksi makanan ini. Tapi sereal olahan empat mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor ini berhasil menjuarai kompetisi produk pangan internasional, Institute of Food Technologists (IFT) Annual Meeting and Food Expo di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, 17-20 Juli lalu. Keempat mahasiswa itu adalah Stefanus, Agus Danang Wibowo, Saffiera Karleena, dan Margaret Octavia. Sereal kami dinilai lebih enak dan memiliki cita rasa lokal, kata Stefanus saat dihubungi Rabu lalu. Mereka menamakan serealnya Crantz Flakes. Bahan bakunya adalah singkong, kedelai, pisang, tepung beras, gula, dan garam. Menurut Stefanus, pembuatan Crantz tidak menggunakan air. Alasannya, Crantz dibuat dengan asumsi lokasi di Nusa Tenggara Timur. Di sana jarang (terdapat) air bersih, katanya. Provinsi ini dipilih lantaran juri mensyaratkan produk yang dilombakan bisa menjadi penyelesaian krisis pangan atau kekurangan gizi di daerah tertentu. Angka gizi buruk Nusa Tenggara Timur tertinggi di Indonesia, kata Agus memberi alasan. Ide membuat Crantz berasal dari Stefanus dan Agus. Sebelum membuat Crantz, keduanya, bersama Yogi Karsono, mengikuti kompetisi produk pangan yang digelar Himpunan Mahasiswa Teknologi dan Industri Pertanian IPB pada Januari lalu. Mereka membuat sereal berbahan baku bekatul yang kaya serat. Tujuannya, Membuat produk rendah kolesterol, ujar Agus melalui sambungan telepon Rabu lalu. Bersama tim Zuper T, juga dari IPB, dan Universitas Brawijaya, Malang, mereka dipilih juri sebagai tiga besar kategori peserta internasional. Selanjutnya pemenang diminta mempraktekkan produk mereka dan diuji di depan dewan juri. Tahapan ini yang paling seru, kata Agus. Beruntung, tim Crantz memiliki Saffiera, yang gemar memasak, dan Stefanus, yang memahami banyak bahan pangan. Keunggulan ini bertambah sempurna dengan adanya Agus, yang jago menuliskan presentasi. Mereka ulet meramu bahan baku untuk mendapatkan komposisi yang oke.

Kendala justru datang dari masalah teknis pemberangkatan. Kami tidak punya ongkos, kata Agus. Hadiah dari IFT sebesar US$ 2.000 tidak cukup untuk tiket perjalanan empat orang. Selama dua pekan mereka berjibaku mendapatkan bantuan dana. Walhasil, mulai dari bank hingga dosen bersedia mensponsori. Sayangnya, justru Stefanus dan Agus tak bisa berangkat lantaran tidak mendapat visa. Akhirnya Saffiera dan Margaret yang berangkat. Saffiera tetap percaya diri. Ia yakin kemenangan diraih sejak timnya menyajikan Crantz di meja dewan juri. Sereal kami ludes dimakan juri, ujar Saffiera. Kejadian ini membuat kedua perempuan itu makin percaya diri. Setiap pertanyaan bisa kami jawab lancar, katanya. Mereka mendapatkan juara pertama dan membawa pulang hadiah US$ 3.500. Kendati tak menyaksikan langsung, Agus tetap bungah. Setidaknya ia menuai kesuksesan dari hobinya mencicipi makanan. Kesukaan pemuda 22 tahun ini pada bidang pangan berawal dari minatnya terhadap ilmu biologi sejak sekolah menengah atas. Saya kerap mengikuti kompetisi biologi, ujarnya. Lulus sekolah, Agus diterima di IPB lewat seleksi bibit unggul. Jurusan pangan dipilihnya lantaran mengikuti nasihat ayah, Mochammad Sidik. Agus diminta memilih jurusan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia. Pilihan Agus tak salah. Selain kuliah, pemuda asal Semarang ini kerap mengikuti lomba. Tidak hanya soal pangan, beberapa lomba dengan tema manajemen perusahaan dia ikuti. Belajar jadi pengusaha, katanya beralasan. Agus menilai semakin banyak kompetisi diikuti semakin bertambah ide dan kreativitas. Agus bukan tipe yang ingin terus bergantung pada orang tuanya. Ia ingin mengembangkan bisnis sendiri setelah lulus Juli lalu. Namun, sementara ini, ia memilih mencari kerja dulu. Mengumpulkan modal dulu, ujarnya. Stefanus juga memutuskan menjadi karyawan. Pemuda kelahiran Jakarta, 6 November 22 tahun lalu, itu bekerja di perusahaan consumer goods yang kesohor di Jakarta setelah lulus kuliah Juli lalu. Stefanus dikenal ulet. Dia mampu meracik komposisi bahan baku yang pas sehingga produk olahan terasa lezat. Sudah lama Stefanus berminat terhadap pangan. Saya suka berkreasi dalam membuat kue dan memasak, katanya. Hobi ini lahir karena Stefanus geram terhadap produk makanan bergizi tinggi tapi mahal. Menurut dia, makanan yang memiliki kandungan gizi bisa diolah dari bahan baku yang sederhana. Jadi harganya bisa murah, katanya. Stefanus juga menyoroti bahan baku yang tidak banyak diolah jadi makanan. Dia yakin bahan seperti sorghum, jawawut, hotong, singkong, dan jagung dapat diolah dengan rasa enak dan sehat. Menurut dia, dengan mengolah bahan tersebut, tidak akan ada persoalan kekurangan pangan dan gizi. Tidak perlu tergantung dengan satu komoditas, katanya.

AKBAR TRI KURNIAWAN DI BALIK KEMENANGAN 1. Stefanus Kelahiran: Jakarta, 6 November 1988 Orang Tua: Thio Man Sin dan Ma Bie Thjung Pendidikan: l SMA Kristen Yusuf Jakarta l Ilmu dan Teknologi Pangan IPB Penghargaan: l Juara Pertama Food Innovation Competition 2009 Universitas Pelita Harapan l Juara National Food Innovation Competition, Indonesian Food Expo 2009, IPB l Juara National Product Design Competition Hi-Great 2010, Universitas Brawijaya, Malang l Juara National Food Technology Competition Universitas Katolik Widya Mandala 2010 l Juara I 10th Institute of Food Technologists Annual Meeting and Food Expo, Chicago, Illinois, Amerika Serikat 2. Agus Danang Wibowo Kelahiran: Semarang, 14 Agustus 1988 Orang tua: Mochammad Sidik dan Endang Ekawati Pendidikan: l SMA 3 Semarang (2003-2006) l Ilmu dan Teknologi Pangan IPB (2006-2010) Penghargaan l Danone Trust l Juara I IFT Annual Meeting and Food Expo, Chicago, AS 3. Saffiera Karleena Kelahiran: Bogor, 26 Juli 1988 Orang tua: Edi Santoso dan Grace Sri Mulyati Pendidikan: l SMA Regina Pacis Bogor (2003-2006) l Ilmu dan Teknologi Pangan IPB 2006-sekarang 4. Margaret Octavia Kelahiran: Jakarta, 30 Oktober 1988 Orang tua: Aji Putrawan dan Tjen Nam Lin Pendidikan: l SMA Kristen Kanaan (2003-2006) l Ilmu dan Teknologi Pangan IPB 2006-sekarang

Siswa Pamekasan Juara Matematika Internasional


Siswa SMP Negeri 1 Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, Alyssa Putri Mustika, berhasil mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional setelah menyabet tiga medali emas dan perak pada ajang International Young Mathematic Convention. Prestasi ini membanggakan. Ketekunan Alyssa dan dedikasi para guru membuahkan hasil maksimal, kata Wakil Kepala Sekolah SMPN 1 Pamekasan, Sulytiowati, Jumat (10/12). Dalam ajang IYMC yang digelar selama tujuh hari, 1-7 Desember lalu, di India, Alyssa Putri Mustika menyabet dua medali emas untuk perseorangan dan beregu. Untuk beregu Alyssa Putri berpasangan dengan kakaknya sendiri Alyssa Diva Mustika. Alyssa Putri juga meraih perak untuk kategori Mathematical Fair, ujar Sulistyowati. Menurut dia, sebelum berangkat ke India, Alyssa Putri menjalani training di klinik Matematika di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selain ketekunan, kata dia, keberhasilan Alyssa tidak lepas dari program pembinaan di lingkungan sekolah. Setiap hari siswa kita dibimbing belajar matematika dari jam 2 sampai 5 sore, guru unggulan kita datang untuk mengajar, terangnya. Kepala Dinas Pendidikan Pamekasan Akhmat Hidayat mengaku bangga dengan prestasi Alyssa. Menurut dia, sepanjang tahun 2010, selain Alyssa, dua siswa Pamekasan lainnya juga menorehkan prestasi international. Mereka adalah Mohammad Salim Ghazali, santri Pondok Pesantren Al Mujtamak Pamekasan yang berhasil meraih pemenang pertama kategori hafalan Al-Quran 20 Juz tingkat Asia-Pasifik yang diselenggarakan oleh Sultan Ibnu Abdul Aziz Al Suud, Saudi Arabia. Prestasi lain dicetak Mohammad Shohibul Maromi, siswa SMAN 1 Pamekasan yang meraih medali emas pada ajang olimpiade fisika internasional di Zegreb, Kroasia.

Anak-Anak Indonesia Menang di Milan Junior Camp, Italia

Sebuah penampilan mengesankan dibuat oleh bibit-bibit pesepakbola muda Indonesia yang tergabung dalam The All Star Team Milan Junior Camp. Mereka berhasil mengukir sejarah dengan memenangi Milan Junior Camp Day Tournament, yang berlangsung di home of AC Milan, Italia. Atas prestasi yang dicapai para pemain muda penuh talenta itu, bendera Merah Putih berkibar di Stadion San Siro, Milan. Mereka berhasil membuktikan, bahwa dengan kerja keras, mimpi bisa diwujudkan menjadi kenyataan. Keberhasilan anak-anak muda tanah air di Milan ini dikemukakan oleh Yeyen Tumena dan Ricky Djoharli, masing-masing sebagai pelatih dan manajer tim dari 17 pemain yang tergabung dalam The All Star Tean Milan Junior Camp Indonesia. Mereka tampil baik dalam seluruh pertandingannya pada turnamen Milan Junior Camp Day Tournament, yang menjadi bagian dari program All Star Challenge AC Milan, tulis Ricky Djoharli dalam pesan layanan singkat yang disampaikannya Senin (18/10) pukul 12.33 WIB, atau sekitar pukul 05.33 waktu Milan. Seperti diketahui, All Star Team Challenge AC Milan Junior Camp adalah salah satu program pelatihan pemain muda yang tengah merintis jalan menuju pemain kelas dunia. AC Milan Junior Camp memberikan kesempatan kepada talenta sepakbola masa depan untuk merasakan secara langsung program pelatihan kelas dunia ala AC Milan. Program ini telah berjalan lebih dari sepuluh tahun dan telah dilaksanakan di 180 lokasi di 36 negara. Untuk Indonesia, program ini

melibatkan 17 anak dari kategori usia sembilan hingga 15 tahun yang terjaring melalui AC Milan Junior Camp di Bali dan Jakarta. Mereka bertolak ke Milan pada 13 Oktober dinihari. Ke-17 anak muda Indonesia yang tergabung dalam progam All Star Team AC Milan Junior Camp Challenge tersebut adalah: Samuel Budi Santoso (14 tahun/Jakarta), James Kho, (16/Jakarta), Galih Dwi Jayanto (15/Bali), Richard Hidayat (15/Jakarta), Ferry Ferdiansyah (15/Bintan) Armando Mamangkay (15/Jakarta), Agus Setyawan (15/Bali), Arvie Nabiel (15/Jakarta), Eriyanto (14/Sukabumi) I Putu Angga Eka Putra (14/Bali), M.Aek Nabara (14/Jakarta), David Nathan (14/Jakarta), Alberto Putra Miggliavacca (13/Bali), Albani Adiyasa Zachman (13/Jakarta), Nur Nugroho (12/Jakarta), Mahir Radja Satya Djamaoeddin (12/Jakarta), Adjani Yahya (9/Jakarta). Menurut keterangan Ricky Djoharli, di turnamen Milan Junior Camp Day Tournament yang berlangsung dengan sistem setengah kompetisi itu anak-anak Indonesia memenangkan tiga pertandingannya di babak penyisihan, dan di babak final mengalahkan tim Italia. Tak hanya menjadi juara, seorang pemain I Putu Angga Eka Putra asal Bali juga terpilih sebagai pemain terbaik. Selain itu, Eriyanto asal Sukabumi terpilih sebagai best captain. Pada penyisihan pertama mereka menang 1-0 atas tim Step Stone dari Eropa, kemudian menang 3-1 atas tim UISP yang gabungan pemain Brasilia dan Venezuela, terakhir menang lagi 3-0 atas tim USUNTP, gabungan pemain Eropa non-Italia, tulis Ricky Djoharli, yang sehari-harinya adalah managing-director PT Asia Sport Development, pemegang hak ekslusif AC Milan Junior Camp untuk Indonesia. Pada pertandingan final yang dilangsungkan Minggu malam waktu Milan di Stadion San Siro, anak-anak muda Indonesia kembali bermain mengesankan untuk mengalahkan tim ASTI yang terdiri dari para pemain Italia dengan skor 1-0. Anak-anak muda Indonesia yang tergabung dalam The All Star Team Milan Junior Camp ini disertai manajer tim Ricky Djoharli dan pelatih Yeyen Tumena akan meninggalkan Milan Senin sore waktu setempat. Mereka diperkirakan tiba di Jakarta pada Rabu (20/10) siang. Menurut rencana, Kamis (21/10) siang tim ini akan diteriuma oleh Sekjen PSSI Nugraha Besoes di kantor PSSI, Senayan. Menjelang berangkat ke Milan, Ricky Djoharli, Yeyen dan timnya juga dilepas oleh PSSI dan Menegpora Andi Alfian Malarangeng.(adi)

Susi Susanti

Peraih Emas Pertama Olimpiade


Masa keemasannya yang berlangsung cukup panjang, berpuncak pada juara tunggal putri bulutangkis Olimpiade Barcelona, Spanyol (1992). Dia peraih emas pertama Indonesia di Olimpiade. Ketika itu Alan, pacarnya, juga juara di tunggal putra sehingga media asing menjuluki mereka sebagai "Pengantin Olimpiade". Predikat pengantin ini rupanya terus melekat, terbukti saat mereka dipercaya menjadi pembawa obor Olimpiade Athena 2004. Prestasi yang mengharumkan nama bangsa juga diukir oleh Susi dengan meraih sederetan kejuaraan. Dia menjuarai All England empat kali (1990, 1991, 1993, 1994). Sang juara yang punya semangat pantang menyerah ini selalu menjadi ujung tombak tim Piala Sudirman dan Piala Uber. Juga juara dunia (1993) dan puluhan gelar seri grand prix. Kiprah Susi Susanti di dunia olahraga bulutangkis Indonesia memang luar biasa. Dalam setiap pertandingan, ia menunjukkan sikap tenang bahkan terlihat tanpa emosi di saat-saat angka penentuan. Semangatnya yang pantang menyerah meski angkanya tertinggal jauh dari lawan membuat banyak pendukungnya menaruh percaya bahwa Susi pasti menang. Berkat kegigihan dan ketekunannya, perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Februari 1971 ini turut menyumbang sukses tahun 1989 ketika Piala Sudirman direbut tim Indonesia untuk pertama kalinya dan sampai sekarang belum lagi berulang. Dia pun turut menorehkan sukses saat merebut Piala Uber tahun 1994 dan 1996 setelah piala itu absen lama dari Indonesia. Semenjak SD, Susi sudah suka bermain bulutangkis. Kebetulan orang tuanya juga sangat mendukung dan memberinya kebebasan untuk menjadi atlit bulutangkis. Setelah menang kejuaraan junior, ia pindah dari Tasikmalaya ke Jakarta. Meski saat itu ia masih duduk di bangku 2 SMP, ia sudah mulai berpikir untuk serius di dunia bulutangkis. Kegiatan Susi berbeda dengan remaja lain karena ia tinggal di asrama dan bersekolah di sekolah khusus untuk atlit. Ia mengaku menjadi kuper karena hanya berteman dengan sesama atlit. Bahkan pacaran pun dengan atlit. Sebagai atlit, jadwal latihannya sangat padat. Enam hari dalam seminggu, Senin - Sabtu dari jam 7 sampai jam 11 pagi, lalu disambung lagi jam 3 sore sampai jam 7 malam. Makan, jam tidur, dan pakaian juga ada aturannya tersendiri. Ia tidak diperbolehkan memakai sepatu dengan hak tinggi agar kakinya terhindar dari kemungkinan keseleo. Jalan-jalan ke mal pun hanya bisa dilakukannya pada hari Minggu. Itu pun jarang karena ia sudah terlalu capek latihan. Memang tidak ada pilihan lain, ia harus disiplin dan berkonsentrasi untuk menjadi juara. Ia akhirnya menyadari bahwa untuk meraih prestasi memang perlu perjuangan dan pengorbanan. Kalau mau santai dan senang-senang terus, mana mungkin cita-cita saya untuk jadi juara bulutangkis tercapai? Sekarang rasanya puas banget melihat pengorbanan saya ada hasilnya. Ternyata benar juga kata pepatah: Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, kata Susi mengenang. Ketika masih menjadi pemain, Susi berusaha menjadikan dirinya sebagai contoh bagi para pemain lainnya. Ia sangat berdisiplin dengan waktu saat berlatih atau di luar latihan. Sementara di lapangan ia memperlihatkan semangat pantang menyerah sebelum pertandingan berakhir. "Saya hanya berharap teman-teman pemain mengikuti yang baik-baik dari saya," kata Susi.

Nyatanya, cara ini tidak melulu berhasil. Sepeninggal Susi (dan Mia Audina), sektor putri bulutangkis Indonesia mandek. Piala Uber semakin jauh dan puncaknya, tidak satu pun pemain tunggal puteri Indonesia lolos ke Olimpiade Athena 2004. Susi yang telah mundur mengakui merosotnya prestasi karena memang kekurangan bibit pemain unggul. "Kita bisa saja memberi prasayarat pemain untuk berhasil, tetapi kalau bibitnya tidak ada bagaimana?" Susi melihat popularitas bulutangkis semakin merosot sementara proses seleksi melalui kejuaraan antarklub dan daerah semakin sedikit.

Merasa Sedih Susi merasa sedih karena olahraga bulutangkis tidak lagi dipandang antusias oleh masyarakat. Ia mengingat betapa antusiasnya masyarakat menyambut kejuaraan bulutangkis seperti All England. Susi melihat hal ini disebabkan karena perhatian anak-anak muda masa kini lebih ke hiburan. Belum lagi maraknya kasus penyalahgunaan obat terlarang, seperti shabu dan narkotika. Masyarakat juga lebih banyak membaca, mendengar, atau menyaksikan berita-berita kekalahan pebulutangkis Indonesia lewat media massa. Itu tentu berbeda dengan era Tan Joe Hok cs, Liem Swie King, hingga Ardy B Wiranata cs yang banjir mahkota juara. Keadaan semakin rumit karena orang takut serius terjun di dunia olahraga Indonesia karena tidak jelasnya jaminan akan masa depan. Susi sendiri sudah berniat tidak akan mengijinkan anaknya terjun ke dunia olahraga mengingat pengalamannya dulu. Ia melihat banyak rekannya yang pernah menjadi juara SEA Games, Asian Games, namun hidupnya terkatung-katung. Selain itu, menjadi atlet olahraga membutuhkan banyak resiko misalnya sekolah yang terhenti, padahal olahraga yang ditekuni tidak mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Susi sendiri terpaksa mengorbankan sekolah (hanya sampai SMA). Ia pun menghadapi banyak halangan sebab ada pihak-pihak dari organisasi yang tidak menyukainya. Meski ia berprestasi namun kemudian berhenti, dari situlah ia mendapat pengalaman bahwa bulutangkis belum bisa menjamin masa depannya. Ia berharap bagi para atet berprestasi yang sudah tidak bermain diberikan dana pensiun yang memadai. Ia khawatir kalau persoalan masa depan atlet belum terpecahkan atau tidak ada jaminan dari pemerintah, bibit-bibit potensial atlet akan sulit ditemukan karena mereka akan memilih jalur pendidikan. "Saya harap PBSI dan KONI memerhatikan persoalan ini. Kalau ini dibiarkan terus, hasilnya akan seperti sekarang ini," ujarnya. Ia menyesalkan masalah pembinaan yang membuat olahraga semakin terpuruk. Selama ini, hanya kesadaran dari keluarga masing-masing yang ingin anaknya menjadi pemain bukan karena pemerintah ingin memajukan olahraga. Pemerintah dan PBSI hanya menunggu, bukan membina dari daerah, memantau, mencari yang berbakat, baru diambil. Mereka hanya terima jadi saja. Ia beranggapan, semua orangtua saat ini akan seratus kali berpikir untuk membiarkan anaknya menjadi atlet. Susi mengaku mempunyai pengalaman yang mengecewakan terutama dalam organisasi. Ketika ia dan Alan berprestasi, ada pihak-pihak tertentu yang tidak senang. Mereka berusaha membagi bonus kepada Susi dan Alan dengan asumsi mereka berdua dianggap satu orang. Hal ini menunjukkan sikap tidak profesional pemerintah maupun PBSI yang mempunyai kepentingankepentingan tertentu.

Dari segi organisasi internal, Susi berharap agar orang-orang yang terlibat di PBSI (Persatuan Bulutangkis seluruh Indonesia) adalah orang yang benar-benar ingin memajukan perbulutangkisan, bukan untuk kepentingan pribadi.Melihat keadaan dunia olahraga yang belum menjanjikan bagi para atlit, Susi belajar dari pengalaman kakak-kakak seniornya. Susi belajar me-manage keuangannya. Saat ia meraih berbagai prestasi dan hadiah seperti bonus, ia usahakan untuk diinvestasikan ke dalam bentuk tanah, rumah atau tabungan. Ia tahu bahwa prestasi olahragawan itu singkat dan tidak selamanya berada di atas. Kedua orang tuanya pun sering berpesan agar ia tidak sombong dan hidup sederhana. Susi juga banyak mendapat masukan dari Ir. Ciputra, seorang pengusaha sukses yang dulu merupakan pimpinannya di Klub Bulutangkis Jaya Raya, agar mempergunakan waktu sebaik mungkin dan giat berprestasi sebisa mungkin.

Mulai dari Nol Ketika berhenti dari dunia bulutangkis, Susi harus memulai dari nol lagi. Meski ada modal dari pendapatan saat aktif di bulutangkis, Susi masih harus belajar dan bersabar mencari usaha apa yang akan ia jalankan. Suaminya, Alan Budikusuma, berulang kali mencoba berbagai jalan untuk menghidupi keluarga mulai dari jual beli mobil, dibantu menjadi rekanan di sebuah instansi, belajar menjadi agen Gozen (alat olahraga bikinan Malaysia) dan menjadi pelatih di Pelatnas. Itu semua menjadi bukti bahwa bahwa setelah tidak berprestasi, mereka berdua harus memulai lagi dari nol.Untunglah, Susi dan Alan mendapat dukungan dari orang-orang yang terdekatnya. Sedikit demi sedikit mereka belajar menimba pengalaman dan pengetahuan. Baru sekitar satu setengah tahun, mereka bisa berdiri sendiri dan mempunyai keyakinan membuat usaha sendiri. Sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh tiga orang anak, anak pertama perempuan bernama Lourencia Averina, sedangkan yang kedua dan ketiga adalah lelaki; Albertus Edward dan Sebastianus Frederick, Susi juga ingin ikut membantu keluarga. Bila anak-anaknya sekolah, ia ingin mempunyai kesibukan tetapi tidak menyita waktu untuk keluarga. Oleh karena itu, ia membuka toko di ITC Mega Grosir Cempaka Mas dengan nama D&V dari nama kedua anaknya, Edward dan Verin. Ia menjual baju-baju dari Cina, Hongkong, dan Korea, dan sebagian produk lokal.Sebagai mantan atlit bulutangkis, peraih penghargaan tertinggi bulutangkis dari International Badminton Federation (IBF) Hall of Fame 2004 ini tetap peduli dengan dunia yang pernah membesarkannya ini. Bersama suaminya, Alan Budi Kusuma - peraih medali emas Olimpiade 1992 pula - ia mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading. Di gedung pusat pelatihan bulutangkis ini, Susi berharap akan muncul bibit pemain yang akan mengembalikan kejayaan bulutangkis Indonesia. Selain itu, pada pertengahan tahun 2002, Susi dan Alan membuat raket dengan merek sendiri yaitu Astec, Alan-Susi Technology. Meski pabriknya ada di Taiwan, tetapi senar yang digunakan adalah senar Jepang. Cara pembuatan dan sebagainya, dikontrol oleh mereka sendiri. Pada awalnya mereka mencoba produknya ke temanteman mereka untuk mencari tahu produk mana yang paling bisa diterima. Baru setelah itu, produk dipasarkan. terlupakan bagi Susi adalah saat ia berhasil menyumbangkan emas Olimpiade yang pertama bagi Indonesia di Barcelona (Olimpiade Barcelona 1992) bersama Alan Budikusuma yang juga mendapatkan emas. Sedangkan yang paling mengesalkan baginya adalah saat ia kalah hanya satu poin dari Sarwendah (Kusumawardhani) di final Piala Dunia di Jakarta. Kini pasangan yang menikah pada 9 Februari 1997 ini tinggal di rumah mereka nan tenang di Gading Kirana Timur I Blok B2 No. 28, Komplek Gading Kirana, Jakarta Utara. Di komplek perumahan ini Susi dan Alan masih rutin main bulutangkis.

Você também pode gostar