Você está na página 1de 18

Pemicu Diskusi Topik Khusus (DTK) : Pemilihan Obat Anti Inflamasi Non-steroid Tn.

Reuma, 49 tahun datang dengan keluhan susah digerakkan pada pergelangan tangan dan kaki terutama pada pagi hari, yang disertai adanya nyeri jika digunakan untuk olah raga bulu tangkis. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya edema pada kedua persendian tersebut. Dari pemeriksaan darah didapatkan : rheumatoid factor (+) , hasil lain dalam batas normal. Pasien didiagnosis menderita rheumatoid arthritis. Pasien kemudian mendapat terapi dengan piroxicam tablet 20 mg 1 kali sehari selama 1 minggu, yang kemudian diubah menjadi 10 mg 2 kali sehari pada minggu kedua. Pasien merasa keluhannya berkurang, tetapi sering merasakan nyeri ulu hati dan dada terasa panas, yang tidak dapat dihilangkan dengan konsumsi antasida tablet 3 kali sehari (1/2 jam sebelum makan). Oleh dokter, pasien kemudian mendapat terapi meloxicam 15 mg 1 kali sehari, dengan terapi ini pasien merasakan keluhannya pada daerah sendi berkurang, demikian juga dengan nyeri ulu hatinya. Perhatikan resep berikut : Dr. Artrita sip: 983920/jdj/2010 Jl. A. Yani komp. Untan telp. 712345 pontianak, 4 januari 2011 R/ meloxicam tab no. 10 s 1 dd 1 p.r.n Pro : tn. Rheuma Usia: dewasa Alamat :-

1.

Klarifikasi dan Definisi 1.1 Nyeri, didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan. 1.2 Edema, istilah ini menandakan meningkatnya cairan dalam ruang jaringan interstisial. 1.3 Sendi, adalah tempat pertemuan dua tulang atau lebih, baik terjadi pergerakan atau tidak terjadi pergerakan. 1.4 Rheumatoid factor, adalah suatu autoantibodi terhadap epitope fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70 sampai 90% pasien RA 1.5 Rheumatoid arthritis, adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. 1.6 Piroxicam, adalah salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam, derivat asam enolat.
1

1.7 1.8

Antasida, adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri tukak peptik. Meloxicam, adalah salah satu AINS yang tergolong prefential COX-2 lebih dari COX-1.

2.

Learning Issues 2.1 Dasar pemilihan obat-obatan yang digunakan dalam kasus tersebut (berdasarkan diagnosis, kondisi pasien, golongan obat, dan efek samping yang mungkin ditimbulkan) 2.2 Apakah oains yang digunakan sudah tepat? (alasannya) 2.3 Jika anda adalah dokter yang dikunjungi oleh Tn.Reuma saat pertama kali konsultasi, terapi apa yang akan anda lakukan terhadap pasien tersebut? (farmakologi dan non-farmakologi) 2.4 Menuliskan dengan tepat resep dari obat-obatan yang digunakan dalam kasus tersebut. 2.5 Lakukan analisa terhadap resep di atas (berdasarkan komponen yang harus ada dalam penulisan resep) Pembahasan 3.1 Dasar Pemilihan Obat-obatan yang Digunakan pada Kasus 3.1.1 Berdasarkan diagnosis Pasien dalam kasus ini, Tn. Reuma, didiagnosis menderita rheumatoid arthritis (RA). Ada beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan penyakit yang diderita oleh pasien tersebut diantaranya mengetahui apa itu RA, apa etiologi dan bagaimana patogenesisnya, gejala klinis yang sering muncul, serta konsep pengobatannya. A. Definisi Penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini.

3.

B.

Etilogi 1) Kompleks Histokompatibilitas Utama kelas II Bukti terkuat yang menunjukkan bahwa RA memiliki predisposisi genetik diketahui dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (MHC Class II determinants), khususnya HLA-DR4 dengan RA seropositif. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengemban HLA-DR4 memiliki resiko 4:1 untuk menderita penyakit ini. Molekul antigen MHC Class II dapat dideteksi secara serologis , baik dengan cara menyampurkan limfosit pasien dengan antibodi humoral terhadap HLA tertentu atau dengan melakukan mixed lymphocyte culture (MLC). Dengan cara MLC saat ini sekurang-kurangnya telah diketahui terdapat 5 subtipe dari HLA-DR4 yaitu Dw4, Dw10, Dw13, Dw14, Dw15. 2) Hubungan Hormon Seks dengan Rheumatoid Arthritis Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan bahwa hormon seks merupakan salah satu faktor predisposisi penyakit ini. Sebagai contoh, prevalensi RA diketahui 3 kali lebih banyak diderita kaum wanita dibandingkan dari kaum pria. Rasio ini dapat mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai pada pasien RA yang sedang hamil. Akan tetapi, walaupun masih banyak kontroversi dalam hal ini, beberapa observasi telah menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral atau penggunaan preparat estrogen eksternal bagi wanita yang telah mengalami menopause menimbulkan kesan terjadinya penurunan insidens pemyakit ini. Faktor Infeksi sebagai Faktor Penyebab Rheumatoid Arthritis Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab RA timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul dugaan kuat bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suau proses autoimun oleh suatu antigen tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab RA antara lain adalah bakteri, mycoplasma, atau virus. Walaupun hingga saat ini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya RA.

3)

C.

Patogenesis Patogenesis RA dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut, antigen tersebut akan diproses oleh antigen presenting cell (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel dendritik atau makrofag dan semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+, suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk memungkinkan terjadinya aktivasi CD4+,
3

sel tersebut harus mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC. Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu oleh interleukin-1 (IL-1) yang disekresi dengan monosit atau makrofag. Pada tahap selanjutnya, antigen, determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC dan CD4+ akan membentuk suatu kompleks antigen trimolekular. Kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptornya dan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti A-interferon, tumor necrosis factor (TNF-), IL-3, IL-4 (B-cell differentiating factor), granulocyte/macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini juga dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4 yang disekresi oleh sel CD4+ yang telah teraktivasi. Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga menarik lebih banyak sel PMN yang memfagositir kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mass cells dan pembebasan radikal oksigen, leukotriene, enzim lisosomal, prostaglandin, collagenase dan stromelysin yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronate sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi serta juga merusak jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Walaupun leukotrien LTB4 diketahui menyebabkan terjadinya migrasi dan agregasi netrofil yang kuat, akan tetapin peranan LTB4 pada patogenesis RA belum dapat dijelaskan dengan pasti. Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-. Akan tetapi karena PGE2 juga menghambat sekresi IL-2 dan interferon , PGE2 juga memiliki efek anti inflamasi. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T ke dalam membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling bersifat destruktif pada patogenesis RA. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang berproliferasi dan jaringan mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan kolagendan proteoglikan rawan sendi serta tulang sehingga dapat menghancurkan struktur persendian. Jika proses pembentukan pannus
4

tidak terhenti baik karena pengobatan atau terjadinya remisi spontan, proses ini akan menyebabkan terjadinya ankilosis. Pembentukan pannus juga mengakibatkan terjadinya peningkatan ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang merupakan tempat perlekatan sel mononukleus pada sel endotel mikrovaskular. Ekspresi ICAM-1 pada sel endotel kapiler sinovial mengakibatkan terjadinya peningkatan adhesi sel mononukleus pada endhotel kapiler. Walaupun pada RA terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan adhesi sel mononuklear, tidak semua subset sel T mengalami migrasi dari kapiler sinovial. Hanya fenotip sel T tertentu saja yang keluar dari kapiler sinovial yaitu subset CD4+, CD45RO dan CD29 bright. Peristiwa di atas menunjukkan bahwa pengenalan antigen RA tersebut terjadi setelah subset sel T tersebut meninggalkan thymus. Terjadinya reseptor MHC Class II seperti HLA-DR, DQ dan DP pada permukaan sel T bersama dengan adanya very late antigen type 1 (VLA-1) menunjukkan bahwa aktivasi san proliferasi sel T terjadi secra lokal. Dari penemuan ini dapat disimpulkan bahwa aktivasi sel T mungkin dicetuskan oleh suatu antigen yang tidak diketahui, APC atau kompleks peptida trimolekular dalam ruang sendi yang mengakibatkan terjadinya sinovitis pada RA. Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada RA, antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Berlangsung terusnya destruksi persendian pada RA kemungkinan juga disebabkan karena terebntuknya faktor rheumatoid. Faktor rheumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitope fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90% pasien RA. Faktor rheumatoid juga dapat berikatan dengan komplemen atau mengalami aggregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Terbentuknya autoantibodi terhadap collagen type II baik yang bersifat native ataupun yang telah mengalami denaturasi dapat pula mengekalkan terjadinya peradangan dengan mekanisme yang sama. D. Gejala Klinis Gejala klinis utama RA adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang di sekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris. Pada tabel berikut ada susunan kriteria klasifikasi rheumatoid arthritis menurut ARA (American Rheumatism Association) 1987. Pasien dikatakan menderita RA jika memenuhi sekurang-kurangnya kriteri 1 sampai 4 yang diderita sekurang-kurangnya 6 minggu. No Kriteria 1 Kaku pagi hari Definisi Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal. Arthritis pada 3 Pembengkakan jaringan lunak atau daerah persendian persendian atau lebih efusi (bukan atau lebih pertumbuhan tulang) pada sekurang5

kurangnya tiga sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter. Arthritis pada Sekurang-kurangnya terjadi persendian tangan pembengkakan satu persendian tangan seperti yang tertera di atas Arthritis simetris Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP, MCP, atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris). Nodul rheumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi oleh seorang dokter. Faktor rheumatoid Terdapatnya titer abnormal faktor serum positif rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa. Perubahan gambaran Perubahan gambaran radiologis yang radiologis radiologis khas bagi RA pada pemeriksaan sinar-X tangan posterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.

E.

Penatalaksanaan Tujuan utama dari program pengobatan adalah untuk menghilangkan nyeri dan peradangan, untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari pasien, serta untuk mencegah dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada pasien. Ada sejumlah cara penatalaksanaan yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan ini: pendidikan, istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi dan obat-obatan. Langkah pertama dari program penatalaksaan ini adalah memberikan pendidikan yang cukup tentang penyakit kepada pasien, keluarga dan siapa saja yang berhubungan dengan pasien. Pendidikan yang diberikan meliputi tentang patofisiologi, penyebab dan prognosis penyakit ini, semua komponen penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini, dan metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Istirahat penting karena rheumatoid artritis biasanya disertai rasa lelah yang hebat. Kekakuan dan rasa tida nyaman dapat menigkat apabila beristirahat. penatalaksanaan juga harus mencakup perencanaan aktivitas. Pasien harus membagi waktu seharrinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa
6

istirahat. Jika ada suatu aktivitas tertentu yang sangat berat, misalnya pesta, maka sebelumnya harus beristirahat. Laithan-latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerekan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya 2 kali sehari. Obatobat untuk mengihlangkan nyeri mungkin perlu diberikan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi-sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Mandi parafin dengan suhu yang bisa diatur dan mandi dengan suhu panas dan dingin dapat di lakukan di rumah. Latihan dan terrapin panas ini paling baik diatur oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan pelatihan khusus, seperti fisisoterapis atau terapis kerja. Latihan berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit. Alat-alat pembantu dan adaptif mungkin diperlukan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Tidak dibutuhkan diet khusus untuk pasien arthritis rheumatoid. Ada sejumlah cara pemberian diet dengan berbagai variasi yang tidak terbukti kebenarannya. Prinsip umum adalah pentingnya diet seimbang. Terapi pengobatan adalah bagian yang penting dari seluruh program dari penatalaksanaan penyakit ini. Obat-obatan dipakai untuk mengurangi nyeri, meredakan peradangan, dan untuk mencoba mengubah perjalanan penyakit. Untuk setiap tujuan ini dapat diberikan obat yang berbeda. Pemberian obat yang utama pada rheumatoid arthritis adalah obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (AINS). Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi proses produksi mediator peradangan. Pemberian obat lain baru menjadi indikasi apabila AINS tidak dapat mengendalikan rheumatoid arthritis. Pada kelompok ini mencakup berbagai macam obat yang bekerja lambat seperti senyawa emas, antimalaria, penisilamin, azatioprin, dan metotreksan. Beberapa dari obat-obat ini tidak disetujui oleh FDA untuk dipakai sebagai obat rheumatoid arthritis. Sedikitnya 4 indikasi untuk pemakaian kortikosteroid. Pemberian oral kronik dilakukan pada kasus-kasus rheumatoid arthritis yang tidak berespons terhadap AINS dan obat-obatan yang bekerja lambat. Indikasi kedua adalah untuk mengatasi gejala-gejala penyakit yang terjadi selama menunggu efek dari obat-obatan yan bekerja lambat. Ketiga, suntikan intra-artikular dilakukan apabila ada eksaserbasi akut dari sinovitis dari suatu sendi, yang gerakannya menjadi sangat terganggu. Indikasi keempat adalah pemberian dosis tinggi per oral untuk jangka waktu pendek dalam mengatasi serangan yang berat. Mekanisme kerja obat kelompok ini adalah sebagai antiperadangan dan imunosupresif.

3.1.2 Berdasarkan kondisi pasien Pasien, Tn.Reuma, laki-laki berusia 49 tahun mengeluhkan pergelangan tangan dan kaki susah digerakkan terutama pada pagi hari dan nyeri saat bermain bulutangkis. Untuk menangani RA yang diderita,
7

mulanya pasien diberikan obat dari golongan AINS yaitu piroxicam yang memiliki waktu paruh yang tinggi (lebih dari 45 jam) serta efek samping terutama yang berat terhadap gastrointestinal. Beberapa hal yang umumnya menjadi pertimbangan dokter dalam memilih OAINS adalah khasiat anti inflamasinya, efek samping obat, kenyamanan/kepatuhan pasien, dan biaya. Karena faktor seperti khasiat anti inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping atau biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya masih tidak jauh berbeda, sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung pada faktor kenyamanan dan kepatuhan pasien dalam menggunakan OAINS. Kemungkinan mengapa dipilih piroxicam karena biasanya dokter cenderung memberikan OAINS dengan waktu paruh panjang untuk meningkatkan kepatuhan minum obat pada pasien. Namun karena ternyata obat tersebut menimbulkan efek samping yang mengganggu kenyamanan pasien akhirnya dipilihlah meloxicam yang pada kadar 7,5 gram per hari kurang mengganggu saluran cerna jika dibandingkan dengan piroxicam 20 gram. Hanya saja barangkali dokter perlu mempertimbangkan dosis yang diberikan kepada pasien, sebagaimana yang terdapat di pemicu dosis meloxicam yang diresepkan dokter adalah 15 gram. 3.1.3 Berdasarkan Golongan obat Golongan obat yang dipilih pada kasus ini adalah obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). OAINS umumnya diberikan pada pasien RA sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik. OAINS bekerja dengan cara memungkinkan stabilisasi membran lisosomal, menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya), menghambat migrasi sel ke tempat peradangan, menghambat proliferasi selular, menetralisasi radikal oksigen, dan menekan rasa nyeri. OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim Cyclooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Prostaglandin mempunyai rumus asam lemak tak jenuh yang dihidroksilasi. Semula diduga sintesanya hanya dalam prostat, sehingga diberi nama demikian. Tetapi kemudian ternyata senyawa ini dapat dibentuk lokal di seluruh tubuh, misalnya di dinding lambung dan pembuluh, trombosit, ginjal, rahim dan paru-paru. Senyawa ini memiliki sejumlah efek fisiologi dan farmakologi luas, antara lain terhadap otot polos, agregasitromboit, produksi hormon, lipolisis di depot lemak dan SSP.

Mengenai sintesis prostaglandin diuraikan sebagai berikut.


Fosfolipida (membran sel)

kortikosterioda

Fosfolipase

Asam arachidonat

NSAID

cyclooxigenase

O- 2
radikal bebas

lipoxygenase

Zileuton montelukast

endoperoksida
COX-2 Nabumeton celecoxib

Asam hidroperoksida

COX-1

Prostaglandin PgE2/F2 Tromboxan (TXA2) Prostacyclin (PgI2)

Leukotrien LTA

Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsang kimiawi, fisik atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida yang terdapat disitu menjadi asam arachidonat. Asam lemak poli tak jenuh ini kemudian untuk sebagian diubah oleh enzim cyclo-oxygenase menjadi asam endoperoksida dan seterusnya menjadi zat-zat prostaglandin. Bagian lain asam arachidonat diubah oleh enzim lipoxygenase menjadi zatzat leukotrien. Baik prostaglandin maupun leukotrien bertanggung jawab untuk sebagian besar dari gejala peradangan dan nyeri. Peoksida melepaskan radikal bebas oksigen yang juga memegang peranan pada timbulnya rasa nyeri. Cyclooxygenase terdiri dari dua iso-enzim, yakni COX-1 dan COX-2, dengan berat molekul dan daya enzimatis yang sama. COX-1 terdapat di kebanyakan jaringan, antara lain di pelat-pelat darah, ginjal dan saluran cerna. Zat ini berperan pada pemeliharaan perfusi ginjal, homeostatis vaskuler dan melindungi lambung dengan jalan membentuk bikarbonat dan lendir, serta menghambat produksi asam. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan, tetapi dibentuk oleh sel-sel radang selama proses peradangan; kadarnya dalam sel meningkat sampai 80 kali. Menurut perkiraan penghambatan COX-2 lah yang memberikan OAINS efek antiradangnya.
9

Penghambatan COX-1 menghindari pembentukan prostacyclin (PgI2) yang berdaya melindungi mukosa lambung dan ginjal, sehingga demikian bertanggung jawab untuk efek samping iritasi lambung-usus serta nefroksisitasnya. Atas dasar perbedaan ini telah dikembangkan OAINS selektif, yang terutama menghambat COX-2 dan kurang atau tidak mempengaruhi COX-1 sehingga PgI2 tetap dibentuk dan iritasi lambungusus dihindari. Obat ini dinamakan penghambat COX-2 selektif dan yang kini dikenal adalah senyawasenyawa coxib celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib dan etoricoxib. Dua obat dengan selektivitas kurang tuntas adalah nabumeton dan meloxicam. Jenis prostaglandin yang dikenal termasuk dalam 3 kelompok, yakni: 1) Prostaglandin A-F (PgA-PgF) yang dapat dibentuk oleh semua jaringan. Yang terpenting adalah PgE2 dan PgF2. Setiap Pg memiliki nomor sebanyak jumlah ikatan tak jenuhnya, jika perlu dengan tambahan alfa atau beta tergantung dari posisi rantai-sisinya dalam ruang. Zat-zat ini berdaya meradang dengan jalan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh dan membran sinovial. Selain itu reseptor nyeri disensibilisasi hingga efek dari mediator lain diperkuat. 2) Prostacyclin (PgI2) dibentuk terutama di dinding pembuluh. Berdaya vasodilatasi (bronchi, lambung, rahim) dan antitrombotis, juga memiliki efek protektif terhadap mukosa lambung. Pada perokok dan pasien tukak lambung, produksi PgI2 menurun. 3) Tromboxan (TxA2, TxB2) khusus dibentuk dalam trombosit. Berdaya vasokontriksi dan menstimulasi agregrasi pelat darah. Leukotrien LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE4 adalah senyawa sisteinil (sulfidopeptida) yang dibentuk sebagai hasil metabolisme asam arachidonat. Zat-zat ini juga merupakan mediator radang dan nyeri. Melalui jalur lipooxygenase terbentuk LTA4 tidak stabil, yang oleh hidrolase diubah menjadi LTB4 atau LTC4. Yang terakhir dapat diubah lagi menjadi LTD4 dan LTE4. LTC4, LTD4 dan LTE4 terutama dibentuk di sel mast dan granulosit eosinofil dan berkhasiat vasokontriksi di bronchi dan mukosa lambung, juga meningkatkan hiperreaktivitas bronchi dan permeabilitas pembuluh paru dengan menimbulkan edema. 3.1.4 Berdasarkan Efek Samping OAINS yang merupakan golongan obat yang dipilih untuk terapi pasien pada kasus ini, secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitasnya yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada tractus gastrointestinalis, terutama jika OAINS digunakan bersama obat-obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stres. Usia juga merupakan suatu faktor resiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinalis akibat OAINS. Pada pasien yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release, atau non acidic. Akhir-akhir ini telah banyak digunakan OAINS yang bersifat selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme asam arakhidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.

10

3.2

Ketepatan Penggunaan OAINS pada Kasus Pada kasus ini OAINS yang digunakan mulanya adalah piroxicam lalu karena efek samping yang ditimbulkannya dokter memberikan resep obat lain namun masih dari golongan yang sama (OAINS) yaitu meloxicam. 3.2.1 Piroxicam Piroxicam merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam, derivat asam enolat. Waktu paruh dalam plasma lebih dari 45 jam sehingga dapat diberikan hanya sekali sehari. Absorbs berlangsung cepat di lambung; terikat 99% pada protein plasma. Obat ini menjalani siklus enterohepatik. Kadar taraf mantap mencapai 7-10 hari dan kadar dalam plasma kira-kira sama dengan kadar di cairan sinovial. Frekuensi kejadian efek samping dengan piroxicam mencapai 11-46% dan 4-12% dari jumlah pasien terpaksa menghentikan obat ini. Efek samping tersering adalah gangguan saluran cerna antara lain yang berat adalah tukak lambung. Efek samping lain adalah pusing,tinnitus, nyeri kepala, dan eritem kulit. Piroxicam tidak di anjurkan di berikan pada wanita hamil, pasien tukak lambung dan pasien yang sedang minum antikoagulan. Indikasi piroxicam hanya untuk penyakit inflamasi sendi misalnya arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan spondilitis ankilosa. Dosis 10-20 mg sehari diberikan pada pasien yang tidak memberikan respon cukup dengan AINS yang lebih aman. Sejak Juni 2007 karena efek samping serius di saluran cerna lambung dan reaksi kulit yang hebat, oleh EMEA (badan POM se Eropa) dan pabrik penemunya, piroxicam hanya dianjurkan penggunaannya oleh para spesialis rematologis, inipun sebagai terapi lini kedua bila obat lain tidak berhasil. 3.2.2 Meloxicam Meloxicam tergolong prefential COX-2 lebih dari COX-1 tetapi penghambatan COX-1 pada dosis terapi tetap nyata. Penelitian terbatas menyimpulkan efek samping meloxicam (7,5 mg per hari) terhadap saluran cerna kurang dari piroxicam 20 mg sehari. Meloxicam diberikan dengan dosis 7,5-15 mg sekali sehari. Efektifitas dan keamanan derivate oksikam lainnya : lornoksikam, sinoksikam, sudoksikam, tenoksikam di anggap sama dengan piroxicam. Penggunaan piroxicam dalam kasus ini kurang tepat karena obat ini menimbulkan gangguan terhadap saluran cerna, terutama yang berat adalah menyebabkan tukak lambung. Akibat efek serius yang ditimbulkannya, pada tahun 2007 piroxicam hanya diperbolehkan digunakan oleh para spesialis rematologis. Pada kasus ini piroxicam digunakan sebagai lini pertama terapi terhadap RA, padahal menurut EMEA penggunaan obat ini adalah sebagai lini kedua bila pengobatan dengan obat lain tidak berhasil. Sebaiknya dokter terlebih dahulu menganjurkan penggunaan meloxicam kepada pasien tersebut ataupun OAINS jenis lain yang kurang menimbulkan efek terhadap saluran cerna maupun organ lainnya. Apabila ternyata setelah dilakukan terapi dengan obat tersebut ternyata belum juga berhasil barulah dilakukan inisiatif penggunaan piroxicam sebagai terapi lini selanjutnya.

3.3

Terapi terhadap Pasien secara Farmakologi dan Non Farmakologi Tujuan terapi pada penderita RA adalah sebagai berikut. 1) Mengurangi nyeri. 2) Mempertahankan status fungsional.
11

3) 4) 5) 6) 7)

Mengurangi inflamasi. Mengendalikan keterlibatan sistemik. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular. Mengendalikan progresivitas penyakit. Mengendalikan komplikasi yang berhubungan dengan penyakit.

Modalitas terapi untuk RA meliputi non farmakologik dan farmakologik. 3.3.1 Terapi Non Farmakologik. Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita RA. Terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita RA. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi herbal, acupuncture, dan splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan. Pembedahan harus dipertimbangkan bila: 1) Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif. 2) Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi gerak. 3) Ada ruptur tendon. 3.3.2 Terapi farmakologik Famakoterapi untuk penderita RA pada umumnya meliputi obat anti inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah, atau intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan seperti acetaminophen, opiate, diproqualone, dan lidokain topical. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk RA menggunakan pendekatan pyramid yaitu: pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat diagnosis ditegakan dan perubahan dosis atau penambahan terapi hanya diberikan jika terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini pendekatan pyramid terbalik (reverse pyramid) lebih disukai, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat dari beberapa penelitian yaitu: 1. Kerusakan sendi sudah terjadi pada awal penyakit. 2. DMARD memberikan manfaat yang bermakna bila diberikan sedini mungkin. 3. Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara kombinasi. 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia dan terbukti memberikan efek yang menguntungkan. Penderita dengan penyakit ringan dan hasil pemeriksaan radiologi normal, bisa dimulai dengan terapi hidrosiklorokuin/klorokuin fosfat, sulfasalazin, atau minosiklin, meskipun metrotexate (MTX) juga menjadi pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi MTX. Jika gejala tidak bisa dikendalikan dengan adekuat, maka pemberian leflunomide, azathiopine, dan terpai kombinasi (MTX ditambah satu DMARD yang terbaru) bisa dipertimbangkan. Kategori obat secara individual akan dibahas dibawah ini: A. OAINS OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Oleh karena obat-obat ini tidak mengubah perjalanan penyakit, maka tidak boleh digunakan secara tunggal. Penderita RA mempunyai resiko dua kali lebih sering mengalami
12

B.

C.

komplikasi serius akibat penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita osteoarthritis. oleh karena itu, perlu pemantauan secara ketat terhadap gejala efek samping gastrointestinal. Glokokortikoid. Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednisone kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid harus diberikan dalam dosis minimal karena resiko tinggi mengalami efek samping sperti osteoporosis, katarak, gejala cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi glukortikoid harus disertai dengan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU per hari. Bila arthritis mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas yang bermakna, maka infeksi steroid cukup aman dan efektif. Walaupun efeknya hanya bersifat sementara. Adanya arthritis infeksi harus diberikan sebelum pemberian injeksi. Gejala mungkin akan kambuh kembali jika steroid dihentikan, terutama jika menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga kebanyakan rheumatologist menghentikan steroid secara perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk menghindari rebound effect. Steroid sistemik sering digunakan sebagai bridging therapy selama periode inisiasi DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi DMARD terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif cepat. DMARD Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua penderita RA. Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter, dan adanya penyakit penyerta. DMARD yang umum digunakan adalah MTX, hidrosiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab, dan etanercept. Sulfasalazin ata klorokuin fosfat sering digunakan sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukan bahwa kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur (childbearing) harus menggunakan alat kontrasepsi yang adekuat bila sedang dalam terapi DMARD, oleh karena DMARD membahayakan fetus. Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor terhadap enzim intraseluler yang diperlukan untuk sintesis pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun. Antagonis TNF menurunkan konsentrasi TNF , yang konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi penderita RA. Etanercept adalah suatu soluble TNF receptor fusion protein, dimana efek jangka panjang sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala, sering dalam dua minggu terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab, yang merupakan chimeric IgG1 anti- TNF- antibody. Penderita AR dengan respon buruk terhadap MTX, mempunyai respon yang lebih baik dengan pemberian infliximab dibandingkan placebo. Adalimumabuga merupakan rekonbinan human IgG1 antibody, yang mempunyai efek aditif bila dikombinasikan dengan
13

D.

E.

MTX. Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya infeksi, khususnya reaktivasi tuberculosis. Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor interleukin- 1. Beberapa uji klinis tersamar ganda mendapatkan bahwa anakinra lebih efektif dibandingkan dengan placebo, baik diberikan secara tunggal maupun dikombinasikan dengan MTX. Efek sampingnya antara lain iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan resiko infeksi dan leucopenia. Rituximab merupakan antibody terhadap reseptor permukaan sel B (anti- CD20) menunjukan efek cukup baik. Antibody terhadap reseptor interleukin- 6 juga sedang dalam evaluasi. Terapi Kombinasi Banyak penelitian memperlihatkan bahwa efikasi terapi kombinasi lebih superior dibandingkan dengan terapi tunggal, tanpa memperbesar toksisitas. Regimen terapi kombinasi yang efektif dan aman digunakan untuk penderita RA aktif yang tidak terkontrol adalah salah satu dari kombinasi: MTX+ hidrosiklorokuin, MTX+ hidrosiklorokuin+ sulfasalazine, MTX+ sulfasalazine+ prednisolone, MTX+ leflunomide, MTX+ infliximab, MTX+ etanercept, MTX+ adalimumab, MTX+ anakinra, atau MTX+ rituximab. Penderita RA yang memberikan respon suboptimal dengan terapi MTX saja, akan memberikan respon yang lebih baik bila diberikan regimen terapi kombinasi. Terapi kombinasi juga efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan radiografi, terutama untuk regimen terapi kombinasi MTX+ inhibitor TNF, tetapi harganya jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan regimen kombinasi MTX+ hidrosikolorokuin atau sulfasalazine. Pemantauan keamanan terapi DMARD. Selalu pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar terhadap kemanan pemberian DMARD tersebut. ACR merekomendasikan evaluasi dasar yang harus dilakukan sebelum memberikan terapi DMARD antara lain: darah perifer lengkap (complete blood counts), kreatini serum, dan transaminase serum hati. Untuk pemberian hidrosiklorokuin atau klorokuin fosfat perlu dilakukan pemeriksaan oftamologik berupa pemeriksaan retina dan lapang pandang. Sedangkan penderita yang mendapat methrotrexate dan leflunomide perlu pemeriksaan tambahan yaitu screening terhadap hepatitis B dan C. setelah DMARD diberikan perlu dilakukan pemantauan secara berkala untuk mengidentifikasikan sedini mungkin adanya toksisitas.

Menurut pendapat kami terapi farmakologi yang dapat diberikan kepada Tn. Reuma adalah OAINS yaitu dengan memberikan meloxicam sesuai dosis yang diberikan dokter di atas. Kemudian perlu juga diberikan misoprostol yang berkhasiat menghambat produksi asam lambung dan melindungi mukosa. Selain itu meningkatkan sekresi mucus dan bikarbonat, dan memperbaiki sirkulasi darah di mukosa lambung. Misoprostol khusus digunakan untuk prevensi tukak lambung selama penggunaan NSAID dimana terdapat kekurangan prostacyclin yang berdaya melindungi. Dosis sebagai pencegah tukak 2 dd 200-400mg, bersama suatu NSAID Untuk melindungi destruksi sendi dan tulang yang berlanjut maka diperlukan pula DMARD, dalam hal ini kami memilih sulfazalazine, dalam bentuk enteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 5oo gram/hari, untuk
14

kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 gram. Setelah remisi tercapai di 2 g/hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi. Selain itu pasien juga perlu diberikan vitamin C agar tulang pasien kuat. Sedangkan untuk terapi non farmakalogi yang kami sarankan adalah memberikan edukasi kepada pasien, istirahat, latihan (dalam hal ini perlu datang ke ahli fisioterapi untuk mendapatkan saran latihan yang tepat untuk pasien tersebut), mendatangi ahli gizi untuk pengaturan diet seimbang.

3.4

Penulisan Resep Obat-obatan yang digunakan dalam kasus ini adalah piroxicam, antasida, dan meloxicam. 3.4.1 Piroxicam Berikut resep untuk resep yang diberikan pertama kali yaitu untuk penggunaan minggu pertama. Dr. Artrita sip: 983920/jdj/2010 Jl. A. Yani komp. Untan telp. 712345 Pontianak, 4 januari 2011 R/ piroxicam tab 20 mg no. VII s 1 dd 1 Ttd Pro : Tn. Rheuma (49 tahun) Jl. Sepakat 2 Blok S No 10

Di bawah ini resep piroxicam yang digunakan untuk minggu kedua.

15

Dr. Artrita sip: 983920/jdj/2010 Jl. A. Yani komp. Untan telp. 712345 Pontianak, 4 januari 2011 R/ piroxicam tab 10 mg no. XIV s 2 dd 1 Ttd Pro : Tn. Rheuma (49 tahun) Jl. Sepakat 2 Blok S No 10

3.4.2 Antasida

Dr. Artrita sip: 983920/jdj/2010 Jl. A. Yani komp. Untan telp. 712345 Pontianak, 4 januari 2011 R/ antasida tab 10 mg no. XXI s 1 dd 1 Ttd Pro : Tn. Rheuma (49 tahun) Jl. Sepakat 2 Blok S No 10

16

3.4.3 Meloxicam Dr. Artrita sip: 983920/jdj/2010 Jl. A. Yani komp. Untan telp. 712345 Pontianak, 4 januari 2011 R/ meloxicam tab 15 mg no. X s 1 dd 1 Ttd Pro : Tn. Rheuma (49 tahun) Jl. Sepakat 2 Blok S No 10

3.5

Analisis Resep Resep yang lengkap memuat hal-hal sebagai berikut. 3.5.1 Nama, alamat dan nomor izin praktik dokter, dokter gigi, atau dokter hewan. 3.5.2 Tanggal penulisan resep 3.5.3 Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep 3.5.4 Nama setiap obat dan komposisinya 3.5.5 Aturan pemakaian obat yang tertulis 3.5.6 Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 3.5.7 Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan 3.5.8 Tanda seru dan/atau paraf dokter untuk resep yang melebihi dosis maksimalnya. Beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam penulisan resep yang diberikan pada kasus diantaranya sebagai berikut. 1) Penulisan jumlah tablet sebaiknya menggunakan angka romawi. Jadi bukan 10, tapi X (R/ meloxicam tab no. X) 2) Sebaiknya masukkan dosis yang dibutuhkan setiap sekali minum misalnya piroxicam 20 gram. 3) Keterangan p.r.n (pro re nata) yang berarti obat diminum kadang-kadang jika diperlukan sebaiknya dihapus karena penggunaan obat ini adalah rutin untuk terapi RA Tn. Reuma. 4) Tuliskan pula usia pasien. Pada kasus ini, Tn. Reuma 49 tahun. 5) Tuliskan alamat pasien. 6) Beri tanda tangan dokter.

17

DAFTAR PUSTAKA

Fauci, Anthony S and Dennis S Kasper et all. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. United State of America: McGraw-hills Acces Medicine. FKUI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi V. Jakarta: Gaya Baru. FKUI. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam, Jilid III Edisi V. Jakarta: Internal Publishing. Kumar, Vinay, Ramzi S. Cotran, dan Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi, Edisi 7. Jakarta: EGC. Price,A.Sylvia & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi volume 2 edisi 6. Jakarta:EGC Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran, Edisi 6. Jakarta EGC. Syamsuni. 2005. Ilmu Resep. Jakarta: EGC. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/rheumatoidarthritis.html

18

Você também pode gostar