Você está na página 1de 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

I DENGAN POST EVD a/i SPONTANEUS ICH SPONTANEUS IVH HCP NON COM DI RUANGAN NCCU RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG

I.

PENGKAJIAN a. Identitas Pasien Nama Umur Jenis kelamin Agama BB No. Rekam Medik Diagnosa Medik : Tn I : 55 Th : Laki-laki : Islam : 70 Kg : 0001143962 : Post Craniotomy + ICH + Closed Fraktur Linear + SAB

b. Riwayat penyakit Keluhan utama : Penurunan kesadaran

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan kecelakaan ditabrak motor, pasien terjatuh dengan kepala membentur aspal. Riwayat pingsan (+), muntah (+), perdarahan telinga hidung dan mulut (+). Pasien menjalani operasi Craniotomy pada tanggal 01 Desember 2011. Pasien terpasang tracheostomy tube, NGT, kateter dan monitor EKG.

Riwayat penyakit dahulu : Pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini, sebelumnya pasien hanya sakit biasa seperti demam dan batuk pilek.

c. Pengkajian Focus
1

Breathing Leher terpasang tracheostomy + T-piece dan tersambung dengan oksigen 8 lt/menit, gerakan dada simetris, retraksi supra sternal (+), retraksi inter costa (+), pasien tampak sesak, slem (+), wheezing (), ronkhi (+), sianosis, RR : 38 x/mnt, SpO2 90%. Blood Akral hangat, CRT <2 detik, TD : 120/63 mmHg, T : 38,4oC, HR : 100 x/mnt. Brain Kesadaran stupor, GCS E3M5Vt, pupil isokor 3 mm, reflek cahaya +/+. Blader Terpasang douwer catheter dengan jumlah urine 1000 cc, warna kuning muda (pukul 14.00 21.00). Bowel Bising usus (+) 8 x/mnt, BAB 1x sehari denagn konsistensi lunak dan berwarna kuning.

d. Pemeriksaan Fisik Head to Toe 1. Kepala : adanya luka craniotomy dengan ukuran 25 cm, tidak ada tanda-tanda infeksi, luka tertutup balutan. 2. Mata : adanya kebiruan (lingkaran mata), anemis, respon pupil isokor 3 mm, reflek cahaya +/+. 3. Telinga : tidak terdapat cairan, tidak terdapat laserasi/lecet, tidak terdapat benda asing.
2

4. Hidung : terpasang NGT, tidak ada cairan, tidak ada lecet/laserasi, tidak adanya kelainan bentuk tulang hidung. 5. Leher : Terpasang tracheostomy tube + T-piece, slem (+), tidak ada peningkatan tekanan vena jugularis, tidak ada deviasi trachea. 6. Thorax : Permukaan dan pengembangan dada simetris, tidak ada

luka/jejas, penggunaan otot dinding dada (+), retraksi supra sternal (+), retraksi inter costa (+), wheezing (-), ronkhi (+), RR : 38 x/mnt, bunyi jantung reguler murni dan tidak ada bunyi tambahan. 7. Abdomen : simetris, datar lembut, tidak distensi, tidak terdapat luka/jejas, bising usus (+) 8 x/mnt. 8. Ekstremitas : simetris, ekstrimitas kanan parese, CRT <2 dtk, tidak ada laserasi pada ekstrimitas atas dan bawah, tidak terdapat deformitas/atrofi.

e. Pemeriksaan Neurologis GCS : E3M5Vt Pupil : bulat, isokor 3/3 mm, reflek cahaya +/+. Reflek : reflek patella (+/+), tidak terdapat reflek patologis pada test babinsky.

f. Activity Daily Living 1. Nutrisi : terpasang NGT, diet cair 8 x 150 cc (per 3 jam). 2. Hidrasi : infuse RL 2000 cc per 24 jam. 3. Eliminasi : BAK Terpasang douwer catheter dengan jumlah urine 1000 cc, warna kuning muda (pukul 14.00 21.00). BAB 1x sehari dengan konsistensi lunak berwarna kuning. 4. Pola tidur : penurunan kesadaran. 5. Aktivitas dan personal hygiene : total care. g. Pemeriksaan Radiologi CT Scan Kepala (Pre-Op) :
3

Adanya soft tissue swelling Discontinuitas tulang tengkorak (+) Hiperdens massa at region temporoparietal sinistra. Sulcus dan gyrus compressed ( penekanan pada sulcus dan gyrusnya). Ventrikel dan siterna compressed ( ventrikel dan siterna tertekan) Mid line shift > 5 mm (-)

h. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hematologi Darah lengkap Hemoglobin Hematokrit Eritrosit Lekosit Trombosit Index Eritrosit MCV MCH MCHC Hitung Jenis Leukosit Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit Kimia Klinik AST (SGOT) ALT (SGPT) CK-MB Ureum Kreatinin GDS Na K Ca Bebas Mikrobiologi Bulyon/Bac T Resistensi Aerob Hasil Nilai Rujukan Satuan

11.5 15.5 35 45 4.88 6.16 4.500 13.500 150000 450000 77 95 25 33 31 37 01 16 35 40 70 30 45 2 10 L: <50 L: <50 <25 15 50 0.53 0.79 <140 135 145 3.6 5.5 4.7 5.2

g/dL % Juta/uL /mm3 /mm3 fL pg % % % % % % % U/L 37 U/L 37 U/L Mg/dL Mg/dL Mg/dL mEq/L mEq/L mg/dL

i. Teraphy IVFD RL 2000 cc/24 jam


4

Ceftazidime 3 x 1 gr Levofloxacin 1 x 750 mg Ketopain 2 x 1 mg Panzo 1 x 1 amp Fenitain 3 x 100 mg OBH 3 x 2 cth Ambroxo 3 x 1 tab Metronidazole 3 x 500 mg Nebulizer bisolvon NaCl 0,9% 3 x Sonde feeding 8 x 150 cc

ANALISA DATA
No Data Etiologi Masalah 5

DS : DO : RR 38 x/mnt Terpasang tracheostomy tube dan T-Piece. Saat batuk keluar slem dari T-Piece. Pasien tampak sesak. DS : DO : Post op Craniotomi ec ICH, SAB. GCS : E3M5Vt T : 38,4 C

CK kerusakan sel otak Bersihan jalan nafas perubahan perfusi jaringan tidak efektif. serebral penurunan fungsi sillia pada saluran pernafasan akumulasi secret sebagai dampak adanya benda asing pada trachea bersihan jalan nafas tidak efektif.

CK kerusakan sel otak gangguan autoregulasi aliran darah ke otak menurun O2 menurun gangguan metabolism asam laktat meningkat gangguan perfusi jaringan serebral. DS : Kerusakan sel otak meningkat DO : ransangan simpatis penurunan RR : 38 x/mnt tekanan pembuluh darah pulmonal Pasien tampak difusi O2 terhambat sesak gangguan pola nafas. Sianosis. DS : CK kerusakan sel otak DO : gangguan autoregulasi aliran Penurunan darah ke otak menurun O2 kesadaran. menurun gangguan metabolism GCS : E3M5Vt. asam laktat meningkat Bedrest total gangguan perfusi jaringan serebral penurunan kesadaran. DS : CK kerusakan sel otak DO : gangguan autoregulasi aliran Penurunan darah ke otak menurun O2 kesadaran. menurun gangguan metabolism GCS : E3M5Vt. asam laktat meningkat Bedrest total gangguan perfusi jaringan serebral Total care. penurunan kesadaran.

Perubahan perfusi jaringan serebral.

Pola nafas efektif.

tidak

Resiko injury.

Resiko infeksi

terhadap

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret sebagai respon adanya benda asing (tube trakeostomy) di trachea. 2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung). 3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. 4. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau

meningkatnya tekanan intrakranial. 5. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).

III. RENCANA KEPERAWATAN


No 1 Diagnosa Keperawatan Tujuan Bersihan jalan nafas tidak efektif Jalan nafas bebas berhubungan dengan akumulasi secret sumbatan/slem. sebagai respon adanya benda asing Kriteria hasil : (trakeostomy tube) di trachea. - Jalan nafas bersih - Tidak ada sesak - Tidak ada ronchi - RR 18-20 x/mnt Rencana Keperawatan dari 1) Kaji kepatenan jalan napas. 2) Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas. 3) Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 30 derajat. 4) Beri oksigen sesuai program. 5) Atur posisi pasien sesuai indikasi. 6) Pantau saturasi oksigen. 7) Lakukan chest fisioterapi. 8) Lakukan pengisapan lendir bila ada indikasi, diawali dengan preoksigenasi dan tidak lebih dari 10 detik. 9) Kolaborasi : analisa gas darah, tekanan oksimetri, pemberian obat. pola 1) Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat Pola napas tidak efektif berhubungan Mempertahankan ketidakteraturan pernapasan. dengan kerusakan neurovaskuler pernapasan efektif. Kriteria hasil : 2) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng (cedera pada pusat pernapasan otak). - Bebas sianosis sesuai indikasi. Kerusakan persepsi atau kognitif. - AGD dalam batas normal 3) Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret. 4) Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel. 5) Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri. 6) Kolaborasi; Lakukan ronsen thoraks ulang. 7) Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi. 8) Berikan oksigen.

Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung).

Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik. Kriteria hasil : - Tanda vital stabil - Tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.

Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).

1) Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK. 2) Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS. 3) Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya. 4) Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu. 5) Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa. 6) Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang. 7) Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. 8) Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. 9) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. Bebas dari injury. 1) Kaji status neurologis, perubahan kesadaran, kurangnya Kriteria hasil : respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, - GCS normal. aktivitas pergerakan menurun, dan kejang. - TTV stabil. 2) Kaji tingkat kesadaran dengan GCS 3) Monitor tanda-tanda vital setiap jam atau sesuai dengan protokol. 4) Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan. 5) Berikan analgetik sesuai program. Mempertahankan 1) Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan normotermia, bebas tandatehnik cuci tangan yang baik. tanda infeksi. 2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah Kriteria hasil : yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase - Mencapai penyembuhan dan adanya inflamasi. luka tepat waktu. 3) Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).

4) Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran). 5) Berikan antibiotik sesuai indikasi.

10

IV. CATATAN KEPERAWATAN


Tanggal/Jam Selasa 13 Des 2011 Diagnosa Keperawatan 1, 2, 3 Tindakan Keperawatan Evaluasi S:O: GCS : E3M5Vt Pernafasan melalui tracheostomy tube + T-piece Sekret (+), kental kekuningan Saturasi O2 98%

1) Melakukan pengkajian. 2) Mengkaji kepatenan jalan napas - Penumpukan slem di mulut/mayo, dan traceostomy tube 3) Memantau frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan, catat ketidak teraturan pernafasan. - RR 35 x/mnt, regular - Retraksi dinding dada - Ronchi (+) 4) Mengatur posisi pasien dengan posisi terlentang, posisi miring setiap 3 jam. 5) Memantau saturasi oksigen; SpO2 91% 6) Melakukan chest fisioterapi pada saat melakukan suction; slem kental, berwarna kuning. 7) Melakukan pengisapan lendir bila ada indikasi, diawali dengan preoksigenasi dan tidak lebih dari 10 detik. 8) Kolaborasi; pemeriksaan analisa gas darah, tekanan oksimetri, pemberian obat. - IVFD RL 2000 cc/24 jam - Ceftazidime 3 x 1 gr - Levofloxacin 1 x 750 mg - Ketopain 2 x 1 mg - Panzo 1 x 1 amp - Fenitain 3 x 100 mg

A : Masalah belum teratasi : Bersihan jalan nafas tidak efektif Pola nafas tidak efektif Perubahan perfusi jaringan serebral P : Intervensi dilanjutkan.

11

OBH 3 x 2 cth Ambroxo 3 x 1 tab Metronidazole 3 x 500 mg Nebulizer bisolvon NaCl 0,9% 3 x Sonde feeding 8 x 150 cc

Rabu 14 Des 2011

1, 2, 3, 4, 5

9) Memonitor TTV. - TD 112/73 mmHg - HR 98 x/mnt - RR 35 x/mnt - T 39,4 10) Mempertahankan posisi baring Head Up 15O-30 O dan menghindari fleksi leher dan pinggul yang berlebihan. 1) Melakukan pengkajian pada pasien kelolaan 2) Mengkaji kepatenan jalan napas - Penumpukan slem di mulut/mayo, dan traceostomy tube 3) Memantau frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan, catat ketidak teraturan pernafasan. - RR 38 x/mnt, regular - Retraksi dinding dada - Ronchi (+) 4) Mengatur posisi pasien dengan posisi terlentang, posisi miring setiap 3 jam. 5) Memantau saturasi oksigen; SpO2 93% 6) Melakukan pengisapan lendir 7) Kolaborasi; pemeriksaan analisa gas darah, tekanan oksimetri, pemberian obat. - IVFD RL 2000 cc/24 jam - Ceftazidime 3 x 1 gr - Levofloxacin 1 x 750 mg

S:O: GCS : E3M5Vt Terpasang tracheostomy tube + T-piece Sekret (+) SpO2 90%

A : Masalah belum teratasi : Bersihan jalan nafas tidak efektif Perubahan perfusi jaringan serebral Pola nafas tidak efektif. Resiko terhadap infeksi. Resiko injuri. P : Intervensi dilanjutkan.

12

Ketopain 2 x 1 mg Panzo 1 x 1 amp Fenitain 3 x 100 mgOBH 3 x 2 cth Ambroxo 3 x 1 tab Metronidazole 3 x 500 mgNebulizer bisolvon NaCl 0,9% 3 x - Sonde feeding 8 x 150 cc 8) Memonitor TTV. - TD 120/60 mmHg - HR 125 x/mnt - RR 37 x/mnt - T 39 9) Memantau dan mencatat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS. - GCS : E3M5Vt. 10) Mengevaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya. - Pupil isokor 3 mm. - Reflek cahaya +/+ 11) Memberikan perawatan aseptik dan antiseptik, dan mempertahankan tehnik cuci tangan yang baik. 12) Mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi. - Tidak ada eritema. - Tidak ada bengkak. 13) Memantau suhu tubuh secara teratur 14) Mencatat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).

13

Kamis 15 Des 2011

1, 2, 3, 4, 5

1) Melakukan pengkajian. 2) Mengkaji kepatenan jalan napas - Penumpukan slem di mulut/mayo, dan traceostomy tube 3) Memantau frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan, catat ketidak teraturan pernafasan. - RR 33 x/mnt, regular - Ronchi (+) 4) Mengatur posisi pasien dengan posisi terlentang, posisi miring setiap 3 jam. 5) Memantau dan mencatat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS. - GCS : E3M5Vt. 6) Mengevaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya. - Pupil isokor 3 mm. - Reflek cahaya +/+ 7) Memberikan perawatan aseptik dan antiseptik, dan mempertahankan tehnik cuci tangan yang baik. 8) Mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi. - Tidak ada eritema. - Tidak ada bengkak. 9) Memantau suhu tubuh secara teratur 10) Mencatat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran). 11) Memantau saturasi oksigen; SpO2 93% 12) Melakukan pengisapan lendir; kental dan berwarna kuning. 13) Kolaborasi; pemeriksaan analisa gas darah, tekanan oksimetri, pemberian obat.

S:O: GCS : E3M5Vt Pernafasan melalui tracheostomy tube + T-piece Sekret (+), kental kekuningan

A : Masalah belum teratasi : Bersihan jalan nafas tidak efektif Perubahan perfusi jaringan serebral Pola nafas tidak efektif. Resiko terhadap infeksi. Resiko injuri. P : Intervensi dilanjutkan.

14

IVFD RL 2000 cc/24 jam Ceftazidime 3 x 1 gr Levofloxacin 1 x 750 mg Ketopain 2 x 1 mg Panzo 1 x 1 amp Fenitain 3 x 100 mgOBH 3 x 2 cth Ambroxo 3 x 1 tab Metronidazole 3 x 500 mgNebulizer bisolvon NaCl 0,9% 3 x - Sonde feeding 8 x 150 cc 14) Memonitor TTV. - TD 128/77 mmHg - HR 100 x/mnt - RR 38 x/mnt - T 38, 9

15

V. ANALISA KASUS Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Trauma kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurlogis lainnya serta mempunyai proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Lebih dari setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya. Resiko utama pasien yang mengalami trauma kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial (PTIK). Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Tn. IM terpasang tracheostomy tube dengan T-piece yang dihubungkan dengan canul oksigen. Indikasi pemasangan alat tersebut adalah untuk menjamin suplay oksigen yang adekuat dengan nafas spontan setelah sebelumnya dibantu dengan ventilator. Dalam kondisi kesadaran yang menurun pasca trauma kepala dan setelah menjalani operasi craniotomy, pasien mengalami penurunan gag reflek dan reflek batuk sehingga

mengurangi kemampuan mengeluarkan sekret secara mandiri (batuk efektif). Selain itu adanya benda asing (tracheostomy tube) di jalan nafas merangsang trachea untuk memproduksi mucus lebih dari biasanya sehingga

memungkinkan terjadinya penumpukan sekret di jalan nafas. Adapun tindakan segera yang di berikan adalah memperbaiki kepatenan jalan nafas dengan melakukan suction dan pemberian O2 tambahan. Fisioterapi dada juga dilakukan dengan tujuan membantu mengeluarkan slem/secret yang menumpuk di jalan nafas. Tindakan ini dilakukan dengan hati-hati bila kondisi TIK masih dicurigai. Pemberian pengaturan posisi head up 300 selain mencegah peningkatan TIK juga membantu meningkatkan ekspansi dada dan melancarkan aliran balik vena. Keseimbangan asam basa juga dapat dilihat
16

dari hasil AGD sehingga dapat diberikan tindakan yang cepat. Ketidak seimbangan asam basa akan berakibat buruk pada metabolism sel-sel otak setelah operasi craniotomy.

Jalan napas, ventilasi, dan oksigen Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90 %) harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi dengan memberikan oksigen suplemen. Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak terkoreksi dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif

mempertahankan jalan nafas. Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya bila terjadi herniasi otak seperti posturing ekstensor atau kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak setelah hipotensi atau hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi (dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2) dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral (CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika biasanya aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah serebral hingga berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis gas darah akan menuntun tingkat ventilasi.
17

Resusitasi Cairan Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk mencegah hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi sesingkat mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik 90 mm Hg. Pada anak dengan cedera otak traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan usia 13-16 < 90 mm Hg. Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra rumah sakit digunakan kristaloid isotonik. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen pada fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD. Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada tindakan lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat. Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan keterancaman otak atas berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen juga gagal. Intervensi resusitatif dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan darah. Kristaloid untuk memperkuat preload jantung, mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau salin normal sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan kehilangan darah sekunder akibat

bergesernya klot hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi dapat memperburuk keadaan pada trauma tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal adalah tidak menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi. Dalam hal ini Tn. IM mendapatkan terapi cairan RL 2000 cc per 24 jam.

18

Indikasi Monitoring Tekanan Intrakranial (TIK) Sebagian kerusakan otak terjadi akibat trauma, namun kerusakan sekunder bisa beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan ICU. TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang besar, karena berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.

Lidokain Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat intubasi endotrakheal. Namun tidak ada bukti peninggian tekanan intrakranial transien saat manipulasi intubasi berpengaruh pada outcome. Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl (50 g, q2-3 menit) atau thiopental (3-5 mg/kg). Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah sakit, terutama bila perjalanan memerlukan waktu panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah atau mengamuk adalah menilai dan mengoreksi hipotensi, hipoksemia, hipoglikemia dan

ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak dianjurkan dan meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien penting dalam transport yang aman, berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila sarana tersedia). Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan. Pra rumah sakit bisa diberikan droperidol 5 mg intravena. Blok neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang
19

nyeri akan meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia dan blok neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan tanpa risiko disamping mempengaruhi GCS.

Manitol Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320 mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu. Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau nyata ada peninggian tekanan intrakranial.

Barbiturat Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.

Anti Kejang GCS < 10, Kontusi (memar) kortikal, Fraktur tengkorak terdepres, Hematoma subdural, Hematoma epidural, Hematoma intraserebral, Cedera tembus tengkorak, Kejang dalam 24 jam sejak cedera. Alasan pemberian anti
20

kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter. Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti kejang pertama membentuk fokus kejang permanen. Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan Fenitoin atau carbamazepin seperta pra rumah sakit.

Mobilisasi Mobilisasi didefinisikan sebagai gerakan yang direncanakan pada pasien dengan tujuan mencegah terjadinya komplikasi dalam perawatan dengan kondisi pasien yang tidak mampu untuk melakukannya sendiri, dalam hal ini dibantu oleh perawat di unit intensive. Mobilitas adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan aplikasi bergradasi posisi seperti elevasi tempat tidur, rentang gerak pasif-aktif dan ambulasi. Manfaat latihan dan gerakan dapat meningkatkan kekuatan otot dan mencegah penekanan pada area tubuh yang dapat menyebabkan ulcus. Ketidakstabilan hemodinamik dapat menjadi hambatan yang signifikan dalam melakukan mobilisasi. Selama istirahat atau imobilitas, efek samping yang terlihat pada pernapasan, kardiovaskuler dan musculoskeletal. Besar konsekuensi untuk system pernapasan meliputi pengembangan atelektasis kompresi dari pembentukan edema pada pasien terlentang dan gangguan kemampuan mukosiliar, reflek batuk, dan drainase tidak bekerja dengan baik pada pasien terlentang. Fokus penting dalam unit perawatan kritis peredaran darah, pernapasan, dan fungsi ginjal. Perawatan pasien juga membutuhkan intervensi yang dirancang untuk mencegah tekanan ulkus, komplikasi yang sering terjadi ketika imobilitas, nutrisi yang tidak memadai, dan penyakit ormedications yang mempengaruhi aliran darah dan perfusi.
21

Referensi : Eileen MB, Avery B, Freederick P, et all. Management of severe head injury; instituational variations in care and effect on outcome. Washinton. 2002. Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000. George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1401-1424. Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996. Kathleen M. Progressive mobility in the critically. American of critical care nurse. 2010. Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

22

Você também pode gostar