Você está na página 1de 34

1.

PEMETAAN WANITA RISIKO TINGGI DENGAN MENGGUNAKAN METODA GIS


Wanita hamil mempunyai risiko komplikasi. Apalagi bagi kelompok wanita risiko tinggi, yaitu wanita dengan keadaan 4T; kehamilan yang terjadi pada usia terlalu muda, usia terlalu tua, selang kelahiran terlalu dekat dan urutan anak > 3. Kategori wanita risiko tinggi ini mempunyai risiko lebih besar untuk terjadi komplikasi dibanding kategori lain. Wanita yang tidak hamil tidak mempunyai risiko tersebut. Suatu analisis spasial (kajian keruangan/kewilayahan) yang didukukung data dan informasi berbasis wilayah (peta) dapat membantu dalam memberikan gambaran masalah menurut wilayah. Analisis spasial ini dikenal dengan Geographical Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG yang memberikan gambaran menurut wilayah akan dapat membantu bagi penentu kebijakan atau donor agency dalam membuat perencanaan untuk menentukan daerah yang dianggap perlu untuk dilakukan suatu intervensi tertentu. Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran wanita risiko tinggi di Indonesia, meliputi risiko tinggi tunggal dan risiko tinggi ganda. Juga gambaran kejadian komplikasi menurut latar belakang dan wanita risiko tinggi. Sumber data SDKI 2002-2003, dengan menggunakan sampel wanita pernah kawin dengan riwayat kehamilan anak terakhir dalam lima tahun terakhir sebelum survei. Kerangka analisis yang digunakan mengacu pada kerangka teori determinan kematian ibu menurut Mc. Carthy dan Deborah Maine sebagai berikut: Determinan jauh: pendidikan ibu, strata ekonomi, akses informasi ke media seminggu sekali, pengetahuan tentang cara/alat KB Determinan antara : status reproduksi yaitu wanita risiko tinggi (4T) dan penolong persalinan Determinan proxy : komplikasi kehamilan dan komplikasi persalinan. Hasil analisis menunjukan persentase kategori risiko tinggi lebih sebesar 38 persen, kategori risiko tidak dapat dihindari sebesar 32 persen dan kategori bukan risiko tinggi sebesar 30 persen. Pada kategori risiko tinggi, persentase paling tinggi adalah jenis risiko selang kehamilan <2 tahun (10 persen) dan usia >34 dan urutan anak >3 (8 persen). Berdasarkan hasil pemetaan, provinsi NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, merupakan provinsi yang perlu mendapat perhatian karena besarnya persentase untuk kategori risiko tinggi, juga untuk risiko tinggi tunggal atau risiko tinggi ganda. Provinsi NTT merupakan provinsi yang paling berisiko karena persentase yang selalu jauh di atas persentase nasional untuk ; jenis risiko tinggi tunggal, risiko tinggi ganda, kategori risiko tinggi, pendidikan rendah, persentase keluarga miskin, komplikasi kehamilan dan komplikasi persalinan yang saat persalinan ditolong oleh tenaga non kesehatan. Sehingga untuk perencanaan pembangunan di NTT hendaknya memperhatikan berbagai aspek yang terkait. Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan kategori risiko tinggi yang persentasenya jauh di atas persentase nasional. Namun saat persalinan lebih banyak ditangani oleh tenaga kesehatan dibanding tenaga non kesehatan. Khusus untuk pemetaan wanita risiko tinggi empat terlalu, dari kelima provinsi tersebut, memberikan kontribusi tinggi pada jenis risiko kehamilan selang terlalu dekat dan urutan anak>3. Untuk provinsi NTB, memberikan kontribusi persentase yang tinggi untuk kehamilan usia terlalu muda dan urutan anak >3.
Sumber : Tin Afifah dkk, Analisis Lanjut SDKI 2002-2003 Pemetaan Wanita Resiko Tinggi (4T) dengan Menggunakan Metoda SIG , BKKBN, 2004

2. IBU REMAJA DAN REMAJA IBU: BEBERAPA HAL YANG BERKAITAN DENGAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Analisis ini membahas beberapa hal berkaitan dengan kesehatan reproduksi dari dua kelompok ibu yang menjadi responden SDKI 2002. Dua kelompok tersebut adalah ibu-ibu yang berusia remaja dan ibu ibu yang memiliki anak berusia remaja. Pengertian remaja dalam pembahasan ini mencakup tiga tahap masa remaja yaitu awal, tengah dan akhir. Dengan demikian yang dimaksud remaja adalah usia 15-24 tahun. Dalam SDKI responden yang merupakan ibu ibu berusia remaja ada 4.832 orang atau 16, 4 persen dan wanita yang memiliki anak berusia remaja adalah 11.031 orang atau 37 persen. Beberapa aspek yang akan ditinjau antara lain: Keluarga Berencana, (yaitu pengetahuan, pemakaian dan sumber alat KB), pengetahuan tentang komplikasi kehamilan, kelahiran dan paska melahirkan serta pencarian pertolongannya, jumlah anak yang diinginkan, usia menikah pertama, HIV/AIDS dan komunikasi dalam keluarga. Selanjutnya dari temuan tersebut akan diperbandingan dalam perhitungan rasio kecenderungan antara kedua kelompok ibu tersebut. Ibu remaja umumnya lebih sering bersentuhan dengan media, baik cetak, radio maupun televisi dibandingkan ibu yang memiliki anak usia remaja. Rasio kecenderungan ibu remaja untuk membaca surat kabar/majalah adalah 1,5 kali dibandingkan kelompok ibu memiliki anak remaja, dan 1,4 kali untuk mendengarkan radio dan dalam menonton televisi rasio kecenderungannya 1,1 kali ibu yang memiliki anak remaja. Dengan demikian maka dapat dimengerti pula bahwa ibu remaja memiliki rasio kecenderungan yang lebih besar pula dalam hal informasi KB dan HIV/AIDS. Rasio Kecenderungan ibu remaja yang mendapatkan informasi tentang KB dalam 6 bulan terakhir di ketiga media adalah 1,2 kali dibandingkan ibu yang memiliki anak remaja. Sedangkan rasio mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS dari media adalah 1,9 kali dibandingkan ibu memiliki anak remaja. Keputusan untuk menggunakan alat KB merupakan keputusan bersama antara suami dan isteri. Baik kelompok ibu usia remaja maupun ibu yang lebih tua (memiliki anak remaja) menunjukkan persentse yang sama (78,3 persen). Tetapi untuk suami yang memutuskan sendiri agar isteri ber KB pada ibu remaja lebih tinggi 0,9 persen daripada kelompok ibu yang lebih tua. Apakah ini berarti bahwa para suami sudah sadar akan perlunya mengikuti program Keluarga Berencana? Sehingga para bapak ini memutuskan sendiri agar isterinya menggunakan alat KB. Komunikasi dalam keluarga selain dilihat dari pengambilan keputusan mengikuti program KB juga dapat dilihat dari apakah selama setahun terakhir pernah membicarakan HIV/AIDS dengan suami. Rasio Kecenderungan ibu usia remaja untuk berbicara tentang HIV/AIDS dengan suaminya dari perhitungan didapatkan 1,3 kali ibu yang memiliki anak remaja. Informasi tentang komunikasi antara ibu dan anak remaja puteri tentu saja hanya diperoleh dari kelompok ibu yang memiliki anak remaja. Persentase ibu yang berbicara kepada anak remaja puterinya tentang topik kesehatan reproduksi seperti KB, usia subur dan akil baligh belum cukup tinggi yaitu 23 persen, 27 persen dan 27 persen. Sedangkan yang pernah berbicara tentang Narkoba adalah 34 persen dan penyakit menular seksual hanya 15 persen. Program suami SIAGA tampaknya diikuti oleh para suami ibu berusia remaja. 54 persen ibu remaja menyatakan diantar suami pada waktu memeriksakan kehamilan dan 76 persen diantar atau ditemani suami pada waktu melahirkan anak terakhir. Sedangkan kelompok ibu memiliki anak remaja 39 persen yang diantar suami waktu periksa kehamilan dan 72 persen ditemani suami pada waktu melahirkan anak terakhir.
Sumber : Ayke Soyara dkk, Analisis Lanjut SDKI 2002-2003 Ibu Remaja dan remaja Ibu : Beberapa hal yang berkaitan dengan KRR , BKKBN, 2004

3. HUBUNGAN ANTARA PEMERIKSAAN KEHAMILAN DENGAN KOMPLIKASI PERSALINAN DI INDONESIA


Sampai saat ini AKI di Indonesia masih sangat tinggi dan masih tertinggi di Asia walaupun ada penurunan. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 memberikan perkiraan AKI 390 per 100.000 menurut periode pelaporan 0-4 tahun sebelum survei. Demikian juga untuk SDKI 2002-2003 memberikan perkiraan AKI 307 per 100.000 untuk periode 0-4 tahun sebelum survei (Depkes, 2004). AKB cenderung menunjukkan penurunan dari angka 142 per 1000 pada tahun 1967 (SP 1971) menjadi 42 per 1000 pada tahun 2000 (Susenas 2003). SDKI 2002-2003 memberikan AKB rendah (43 per 1000) untuk tahun 2003 (Depkes, 2004). Ada variasi yang cukup nyata antara angka kematian maternal di kawasan Jawa Bali dan kawasan lain, misalnya kematian maternal di Sumatera 2.3persen dan di KTI 1.7persen sedangkan di Jawa Bali hanya 0.7 persen, (laporan SKRT, 2001 studi Mortalitas). Hal ini mencerminkan adanya perbedaan pola kematian dalam segi geografis, akses dan kualitas pelayanan kesehatan dan mungkin sumber daya manusia. Penyebab utama kematian ibu masih tetap perdarahan (34-45 persen), terutama adalah perdarahan postpartum, kemudian hipertensi pada kehamilan (14,5 -24persen), infeksi (10,5 persen) dan partus lama (6,5 persen). SDKI 1997, hanya 26 persen yang disertai dengan komplikasi, diantaranya partus lama 22 persen, perdarahan 7 persen, infeksi 4persen dan kejang 2 persen. Pada umumnya ibu yang ketika bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan) cenderung untuk lebih sering melaporkan adanya komplikasi persalinan terutama partus lama dan perdarahan banyak. Tujuan dari kajian analisis ini adalah untuk mengetahui besarnya hubungan antara pemeriksaan kehamilan dengan kejadian komplikasi persalinan dikaitkan dengan faktor sosiodemografi (umur, pendidikan, pekerjaan, daerah tempat tinggal, status ekonomi), faktor Kondisi anak (berat bayi lahir, urutan kelahiran, dan tindakan persalinan), dan faktor pelayanan kesehatan (penolong persalinan). Penelitian ini merupakan studi analitik dengan menggunakan data sekunder SDKI 20022003, yang menggunakan rancangan cross-sectional. Sampel dalam kajian ini adalah semua riwayat kehamilan anak terakhir dalam kurun waktu 5 tahun sebelum survei. Adapun yang menjadi variable dalam kajian ini adalah; Variabel Dependennya , Komplikasi Persalinan, Variabel Independen utama, Pemeriksaan Kehamilan, Variabel Independen (Kovariat), faktor sosiodemografi (umur, pendidikan, pekerjaan, daerah tempat tinggal, status ekonomi), faktor Kondisi anak (berat bayi lahir, urutan kelahiran, dan tindakan persalinan), faktor pelayanan kesehatan (penolong persalinan). Untuk menjawab tujuan dilakukan analisis multivariate. Masih ada 26 persen ibu hamil yang tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke petugas kesehatan. Dan 35 persen ibu bersalin mengalami komplikasi pada waktu persalinannya. Namun dalam analisis multivariat, untuk mendapat model akhir faktor determinan apa yang memang berhubungan, ternyata hanya ada 4 faktor determinan, yaitu pemeriksaan kehamilan, umur ibu, tindakan persalinan, dan urutan kehamilan. Penelitian ini mendapatkan bahwa ketidak adekuat pemeriksaan kehamilan akan menimbulkan terjadinya komplikasi pada waktu persalinannya sebesar 1,3 kali setelah dipengaruhi umur ibu, tindakan persalinan dan urutan kehamilan.
Sumber : Ning Sulistyowati dkk , Analisis Lanjut SDKI 2002-2003, Hubungan Anatara Pemeriksaan Kesehatan dengan Komplikasi Persalinan di Indonesia , BKKBN, 2004

4. PENGETAHUAN DAN PERSEPSI TENTANG AIDS DAN PMS LAINNYA SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Tulisan ini membahas pengetahuan tentang HIV/AIDS para wanita berstatus kawin yang menjadi responden SDKI 2002-2003. Pengetahuan tersebut akan di indeks menjadi kategori rendah, sedang dan tinggi untuk HIV/AIDS. Pengetahuan HIV/AIDS ditinjau dari faktor demografi seperti daerah tempat tinggal, umur, kemudian faktor sosial ekonomi yang diwakili dengan pendidikan dan status bekerja. Wanita berstatus kawin yang tinggal di kota memiliki peluang 0,3 kali lebih rendah untuk berpengetahuan HIV/AIDS dengan Indeks rendah dibandingkan wanita desa, yang berpeluang pengetahuan HIV/AIDS dengan Indeks Sedang, wanita berstatus kawin yang tinggal di kota akan memiliki peluang lebih kecil 0,6 kali dibandingkan perempuan kawin yang tinggal di desa. Dengan kata lain, perempuan berstatus kawin yang tinggal di pedesaan memiliki peluang yang lebih besar untuk berIndeks Pengetahuan HIV/AIDS rendah dan sedang, dibanding dengan perempuan berstatus kawin yang tinggal di perkotaan. Dari kelompok umur, wanita kawin dalam kelompok 20-24 tahun berpeluang untuk ber indeks pengetahuan HIV/AIDS sedang adalah sebesar 2,2 kali peluang wanita kawin usia 40-49 tahun. Pendidikan dan status bekerja berasosiasi positif dengan Indeks Pengetahuan HIV/AIDS para wanita kawin yang menjadi responden SDKI 2002. Wanita kawin yang tidak tamat SD peluangnya sangat besar untuk memiliki Indeks Pengetahuan Rendah. Demikian pula dengan pengetahuan tentang PMS. Dengan pendidikan tamat SD maka peluang untuk wanita tersebut berpengetahuan PMS cukup adalah lebih kecil 0,3 kali dibandingkan wanita yang tamat SMP ke atas. Sedangkan wanita berstatus kawin yang tidak tamat SD maka peluangnya untuk memiliki pengetahuan PMS cukup lebih kecil lagi, yaitu 0,7 kali lebih kecil daripada peluang para wanita yang tamat SMP. Ada hubungan positif antara status bekerja dengan Indeks Pengetahuan HIV/AIDS, perhitungan dengan model regresi didapatkan hasil bahwa wanita berstatus kawin yang tidak bekerja memiliki peluang 1,8 kali lebih besar untuk ber Indeks Pengetahuan Rendah dibanding wanita kawin yang bekerja. Sedangkan untuk PMS, peluang wanita berstatus kawin yang tidak bekerja untuk memiliki indeks pengetahuan PMS yang cukup adalah 0,6 kali lebih kecil daripada peluang wanita bekerja. Wanita kawin yang membaca poster atau selebaran untuk beri Indeks Pengetahuan Sedang, ternyata memiliki peluang 3,4 kali lebih besar daripada peluang wanita kawin yang tidak membaca poster/selebaran. Selanjutnya majalah atau surat kabar memberikan peluang hampir 3 kali lebih besar bagi wanita kawin yang membacanya untuk memiliki Indeks Pengetahuan HIV/AIDS Sedang dibanding wanita yang tidak pernah membaca surat kabar/majalah. Sekolah dan guru terbukti memberi sumbangan yang besar bagi wanita kawin untuk mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS. Dalam analisis deskriptif juga menunjukkan hal ini, yaitu 13 persen wanita kawin dengan indeks pengetahuan tinggi mendapatkan informasi dari sekolah atau guru. Sebagian besar media berpengaruh signifikan secara statistik pada alpha 5 persen.

Sumber : Romanus Beni dkk , Analisis Lanjut SDKI 2002-2003, Penegtahaun dan Persepsi etntang AIDS dan PMS Lainnya serta Faktor-faktor yang Berpengaruh, BKKBN, 2004

5.ISU GENDER DALAM KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN REPRODUKSI


Tujuan dari analisa lanjut ini adalah untuk mengetahui isu-isu strategis yang berkaitan dengan aspek gender dalam Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Metode yang digunakan dalam analisa data sekunder adalah pengolahan data kasar hasil SDKI 2002-2003 dengan sample wanita pernah kawin umur 15-49 tahun dan sample pria kawin umur 15-54 tahun. Jumlah seluruh sample wanita pernah kawin adalah 29.483 responden, dan jumlah seluruh sample pria kawin adalah 8.310 responden. Wanita pernah kawin telah memiliki kemampuan dalam pengambilan keputusan untuk urusan core domestic business seperti pengambilan keputusan untuk menentukan apa yang akan dimasak sehari-hari dan pembelian kebutuhan sehari-hari. Dominasi pria dalam pengaturan atau pembatasan jumlah anak diasumsikan akan dipahami sejalan dengan terlembaganya program KB. Dari pria kawin yang tidak sedang KB saat wawancara dan tidak ingin berKB dimasa yang akan datang mayoritas mengemukakan alasan tidak KB karena ingin banyak anak.. Pria kawin yang pada saat survei adalah bukan peserta KB dan mereka yang menginginkankan KB dimasa yang akan datang lebih separuhnya menyatakan berkeinginan menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi modern terutama alat kontrasepsi kondom dan cara KB sterilisasi pria. Wanita pernah kawin yang masih produktif (umur 15-24 tahun) diharapkan lebih potensial dan lebih berperan terhadap akses sumber pendapatan, namun data menunjukkan akses mereka lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan pria kawin kelompok umur 15-24 tahun terhadap akses sumber pendapatan. Akses wanita terhadap pengambilan keputusan tidak identik dengan akses terhadap pengambilan kekuasaan. Sebuah pemahaman bahwa wanita pernah kawin telah memiliki kemampuan dalam pengambilan keputusan untuk urusan core domestic business seperti pengambilan keputusan untuk menentukan apa yang akan dimasak sehari-hari dan pembelian kebutuhan sehari-hari. Namun mereka masih kurang beruntung dalam pengambilan keputusan untuk mandiri dalam pembelian barang tahan lama dan mengunjungi keluarga. Isu gender seputar KB selain disebabkan oleh ketersediaan alokon dan informasi, masih ada pula mitos-mitos yang dilestarikan dalam masyarakat seperti misalnya wanita ibarat ladang yang seharusnya diolah. Demikian pula pengetahuan proteksi ganda kondom untuk mencegah penularan penyakit seksual /AIDS belum banyak dipahami sehingga perlu upaya yang lebih optimal untuk meningkatkan pengetahuan sasaran. Banyak pria dan wanita yang melaporkan mereka telah merubah perilaku seks mereka untuk menghindari AIDS dengan menggunakan kondom terutama dikalangan pria dan wanita yang menikah. Dikalangan lajang , baik yang aktif berhubungan seksual maupunyang tidak, yang pernah mendengar AIDS , perubahan perilaku seks mereka tunjukkan denbgan cara berhenti berhubungan seks atau menunda hubungan seks. Pengetahuan pria terhadap nasehat dokter yang diterima isteri mengenai masalah kehamilan, persalinan atau perawatan kesehatan ibu pasca persalinan; sampel atau data belum cukup membuktikan adanya perbedaan/belum cukup membuktikan adanya perbedaan yang signifikan. Perihal pengetahuan suami atas pelayanan kesehatan yang diterima ibu terutama bila dikaji dengan jumlah anak yang masih hidup dan atau wilayah desa/kota menunjukkan pengaruh yang negatif. Peluang untuk dapat melakukan akses terhadap sumber pendapatan juga merupakan salah satu variable yang diduga memberi kesempatan bagi wanita untuk memberdayakan dirinya.
Sumber : M. Dawam, Analisis Lanjut SDKI 2002-2003, Isu Gender Dalam Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, BKKBN, 2004

6. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KEMATIAN ANAK (0-2 TAHUN) DI PROPINSI JAWA BARAT
Angka kematian anak (0-2 tahun) di propinsi Jawa Barat masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Pulau Jawa. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara berat bayi lahir dengan kejadian kematian anak (0-2 tahun). Rancangan penelitian yang digunakan adalah data sekunder dari SDKI 1997 dengan desain penelitian yaitu pendekatan potong lintang (cross sectional). Sampel adalah anak berusia 0-3 tahun bagi yang hidup dan 0-2 tahun bagi yang mati dari responden wanita yang pernah kawin berusia 1549 tahun dan dari wawancara terkumpul 1072 anak. Variabel dependen adalah kejadian kematian anak (0-2 tahun), sedangkan variabel independen adalah berat bayi lahir, faktor anak (umur kehamilan saat anak dilahirkan, jarak kelahiran dan pemberian ASI), faktor ibu (umur ibu saat melahirkan, pekerjaan, pendidikan dan paritas), faktor lingkungan (sumber air bersih, jarak sumur ke tangki pembuangan dan tipe jamban keluarga). Adanya hubungan bermakna antara umur kehamilan, jarak kelahiran, pemberian ASI dan pendidikan ibu dengan kejadian kematian anak (0-2 tahun). Sedangkan hasil penelitian tidak menemukan adanya hubungan antara berat bayi lahir, umur ibu saat melahirkan, pekerjaan, paritas, sumber air bersih, jarak sumur ke tangki pembuangan dan tipe jamban keluarga dengan kejadian kematian anak (0-2 tahun). Agar angka kematian anak di propinsi Jabar lebih menurun lagi maka diperlukan usaha-usaha antara lain yaitu penyuluhan tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan selain untuk kesehatan janin juga untuk kesehatan ibunya, penyuluhan mengenai pentingnya jarak antara kelahiran yaitu 2 tahun atau lebih, juga mengenai pentingnya pendidikan terutama kesehatan untuk para ibu.

Sumber : Inti Wikanestri, Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kematian anak (0-2 tahun) di propinsi Jawa Barat (Analisis Data Sekunder SDKI 1997), FKM- UI, Depok, 2001.

7. PERTISIPASI PRIA DALAM PERAWATAN KESEHATAN DAN PENGETAHUAN PRIA TENTANG HIV/AIDS

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003: Pria merupakan survei tingkat nasional dari 8.310 pria berstatus kawin umur 15-54 tahun. Pengetahuan pria tentang masa subur masih rendah, hanya 16 persen yang mengetahui masa subur dengan benar. Pendapat tentang usia sebaiknya menikah bagi pria 25 tahun dan bagi wanita 20 tahun, sedangkan usia aman untuk melahirkan bagi seorang wanita 21-40 tahun. Pendapat pria tentang perawatan kehamilan pada saat istri yang hamil anak terakhir dalam kurun waktu 5 tahun sebelum survei, cukup baik tampak 87 persen menyatakan istri mendapatkan perawatan selama hamil, 77 persen istri mendapatkan perawatan selama melahirkan dan 71 persen menyatakan bahwa istri mendapatkan perawatan dalam masa nifas. Pengetahuan pria tentang tanda-tanda bahaya pada wanita hamil relatif rendah, 56 persen pria menyatakan tidak tahu tentang tanda-tanda bahaya pada seorang wanita hamil. Perdarahan merupakan salah satu tanda-tanda bahaya yang paling banyak diketahui (25 persen), tanda-tanda bahaya yang lain diketahui kurang dari 10 persen. Pria yang pernah berkomunikasi dengan tenaga kesehatan pada saat istrinya hamil diungkapkan oleh 40 persen pria. Percakapan dalam rangka persiapan menghadapi persalinan yang banyak dilakukan adalah membicarakan tempat melahirkan, penolong persalinan dan biaya. Lebih dari 60 persen pria tahu tentang imunisasi yang diperoleh anak terakhir yang dilahirkan dalam kurun 5 tahun sebelum survei. Imunisasi yang diketahui diterima oleh anak adalah polio (80 persen), BCG (78 persen), DPT (73 persen) dan campak (63 persen). Alasan pria yang anaknya tidak mendapatkan imunisasi adalah karena tidak tahu tentang imunisasi dan karena tidak tahu mengapa harus imunisasi. Pria yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS 73 persen, diantara mereka 54 persen tahu bahwa ada cara untuk menghindari penularannya. Cara menghindari penularan HIV/AIDS yang paling banyak diketahui adalah dengan menghindari hubungan dengan pekerja seksual (42 persen). Pengetahuan tentang 3 cara mengindari HIV/AIDS yaitu berpantang, memakai kondom dan membatasi jumlah pasangan sangat terbatas (25 persen). Pengetahuan bahwa HIV/AIDS dapat ditularkan dari ibu kepada bayinya melalui persalinan (45 persen), melalui kehamilan (48 persen), melalui ASI (16 persen). Pria yang pernah membicarakan masalah penularan HIV/AIDS dengan istrinya relatif kecil (15 persen). Satu dari lima orang pria berpendapat bahwa jika status HIV/AIDS positive harus dirahasiakan, dan 28 persen mengungkapkan bahwa tidak mau merawat saudara yang menderita HIV/AIDS di rumahnya. Satu dari sepuluh pria tahu bahwa ada tempat untuk melakukan pemeriksaan atau test HIV/AIDS dan diantara mereka yang tahu , 87 persen mengetahui dimana tempat untuk melakukan test atau pemeriksaan. Pengetahuan yang salah juga terlihat dari pendapat pria dimana satu dari 3 orang pria mengatakan bahwa AIDS dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk, begitu pula diungkapkan bahwa AIDS akan menular jika makan sepiring dengan penderita. Satu dari 4 orang pria menyatakan bahwa AIDS dapat dikurangi penularannya dengan minum jamu atau antibiotik sebelum berhubungan seksual. Informasi tentang HIV/AIDS paling banyak bersumber dari TV (65 persen), surat kabar (31 persen) dan teman/keluarga (26 persen). Tiga puluh sembilan persen pria menyatakan tidak tahu masalah penyakit menular seksual selain HIV/AIDS. Diantara pria yang tahu penyakit menular seksual, ditanyakan tanda-tanda PMS, 31 persen menyebutkan dua atau lebih gejala penyakit menular seksual lain pada pria dan 9 persen menyebutkan gejala penyakit menular seksual lain pada wanita. Informasi tentang penyakit menular seksual lain bersumber dari teman/keluarga (41 persen), TV (27 persen) dan surat kabar (18 persen).
Sumber : Leli Asih, SDKI 2002-2003 : PRIA Partisipasi Dalam Perawatan Kesehatan dan Pengetahun tentang HIV/AIDS, BKKBN , 2004

8.HUBUNGAN BEBERAPA FAKTOR DENGAN PENGETAHUAN PRIA TERHADAP HIV/AIDS


Analisis bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berpengarih terhadap pengetahuan pria tentang HIV/AIDS dilakukan terhadap 8.310 orang sampel pria kawin usia 15-54 tahun, yang tersebar pada hampir seluruh provinsi di Indonesia. Semua pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan pria tentang HIV/AIDS (tahu cara menghindari,tahu apa yang dilakukan, tahu cara penularan, akibat yang ditimbulkan serta pendapat/ perilaku positif terhadap ODHA), dikelompokkan atas dua kategori, yaitu:rendah dan cukup. Pengetahuan HIV/AIDS akan ditinjau dari faktor sosiodemografi yang diwakili oleh variabel daerah tempat tinggal, umur, pendidikan, pekerjaan, tingkat kesejahteraan, jumlah anak, perilaku seksual (jumlah pernikahan, isteri tidak tinggal serumah, umur pertama menikah, umur pertama melakukan hubungan seksual), keterpaparan program KB ( tahu cara KB, kesertaan KB, pengetahuan tenntang program KB/KR dan persepsi tentang KB) dan Akses Informasi (media elektronik, media cetak, dan informasi lainnya). Dari analisis diperoleh diperoleh gambaran bahwa pengetahuan pria tentang HIV/AIDS masih sangat rendah, yaitu sekitar sepertiga (36,5 persen) pria berada pada katagori pengetahuan cukup. Sebagian besar berusia kurang dari 40 tahun, bertempat tinggal di perdesaan, berpendidikan SLTP keatas dan, bekerja, 52 persen berada pada indeks kesejahteraan tinggi, dan 60 persen memiliki anak lebih dari 2 orang. Hubungan variabel sosiodemografi dengan pengetahuan dan persepsi pria tentang HIV/ AIDS sebagian besar menunjukkan hasil yang nyata (P<0.05), yaitu variabel: umur, tempat tinggal, pendidikan, indeks kesejahteraan dan jumlah anak. Pria yang berdomisili di perkotaan, pendidikan tinggi, dengan indeks kesejahteraan tinggi serta memiliki anak sedikit cenderung memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS relatif lebih baik, dibandingkan mereka yang tinggal di perdesaan, pendidikan rendah, tingkat kesejahteraan rendah dan memiliki anak banyak (>2 orang). Terdapat hubungan yang bermakna antara variabel keterpaparan program dengan tingkat pengetahuan HIV/AIDS. Diantara 4 (empat) variabel yang mencakup tahu jenis alkon, kesertaan KB, pengetahuan program KB dan KR, hanya variabel persepsi tentang KB tidak memberikan hubungan bermakna (p>0.05) dengan tingkat pengetahuan HIV/AIDS. Bila dilihat dari akses pria terhadap sumber informasi, ternyata semua sumber informasi ( media elektronik, media cetak, sumber informasi lain), menunjukkan hubungan yang bermakna dengan pengetahuan HIV/ AIDS. Media elektronik memberikan peluang untuk berpengetahuan lebih baik tentang HIV/AIDS sebesar hampir 20 kalinya; media cetak sebanyak 8 kali dan sumber informasi lainnya sebesar 2 kali. Diskusi dengan isteri tentang AIDS juga memberikan hubungan yang bermakna dengan pengetahuan HIV/AIDS (p< 0.00). Hasil analisis logistik regresi memperlihatkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Pengetahuan terhadap HIV/AIDS ada 11 variabel yang berpengaruh, yaitu: tingkat pendidikan, tempat tinggal, jumlah anak, indeks kekayaan, pengetahuan KB dan KR, diskusi AIDS dengan isteri, tahu jenis alat KB, informasi AIDS melalui media elektronik, media cetak dan sumber informasi lain. Variabel terkuat mempengaruhi pengetahuan dan persepsi pria adalah informasi HIV/AIDS melalui media elektronik dengan nilai OR = 5.165, diskusi AIDS dengan isteri (OR= 3.766) dan tahu jenis alat KB (OR= 2,3730) dan pendidikan (OR=2.316). Hal ini berarti bahwa pria yang mendapatkan informasi melalui media elektronik memberi peluang sebesar 5 kali dari mereka yang tidak terpapar media elektronik untuk memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang HIV/AIDS, diskusi dengan istri sebesar hampir empat kalinya dan terakhir adalah pendidikan yaitu sebesar dua kalinya.
Sumber : Hadriah Oesman dkk, Analisa Lanjut SDKI 2002-2003 Hubungan Beberapa Faktor dengan Pengetahuan dan Persepsi Pria terhadap HIV/AIDS dan PMS Lainnya, BKKBN , 2004

9.HUBUNGAN BEBERAPA FAKTOR DENGAN PENGETAHUAN PRIA TERHADAP PMS LAINNYA


Analisis lanjut data SDKI yang dilakukan dalam 3 (tiga) kali terbitan secara berturut -turut baru dilakukan kepada wanita kawin, sementara terhadap pria kawin belum pernah dilakukan, karena berbagai informasi HIV/AIDS dan pada pria kawin baru dikumpulkan dalam SDKI 20022003. Analisis bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berpengarih terhadap pengetahuan pria tentang PMS. Analisis dilakukan terhadap 8.310 orang sampel pria kawin usia 15-54 tahun, yang tersebar pada hampir seluruh provinsi di Indonesia. Semua pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan pria tentang PMS (bisa menyebutkan beberapa gejala-gejala bila seorang perempuan atau laki-laki terkena PMS, dikelompokkan atas dua kategori, yaitu:rendah dan cukup. Dari analisis diperoleh diperoleh gambaran bahwa pengetahuan pria tentang PMS proporsinya hanya 1,3 persen. Sebagian besar (62.0 persen) berusia kurang dari 40 tahun, bertempat tinggal di perdesaan (57 persen), sebagian berpendidikan SLTP keatas, 97 persen bekerja, 52 persen berada pada indeks kesejahteraan tinggi, dan 60 persen memiliki anak lebih dari 2 orang. Dari faktor faktor perilaku seksual, sekitar 8 persen pernah menikah lebih dari satu kali, umumnya (60 persen) menikah pada usia muda (kurang 25 tahun) dan 64 persen menyatakan melakukan hubungan seksual pertama kali di usia muda (kurang dari 25 tahun). Menurut keterpaparan program KB diperoleh gambaran bahwa: 62 persen tahu cara KB dengan katagori sedang, 5.5 persen tercatat sebagai peserta KB (termasuk cara sanggama terputus dan kalender). Dijelaskan pula bahwa sebagian besar (82 persen) tahu atau pernah dengar KB, akan tetapi pada kebanyakan pria (70 persen) memiliki persepsi yang negatif tentang KB. Sumber informasi yang paling banyak diakses pria untuk HIV/AIDS dan PMS berturut-turut adalah media elektronik, media cetak dan sumber informasi lainnya. Untuk media elektronik disampaikan oleh 66 persen untuk HIV/AIDS, dan 33 persen untuk PMS responden. Melalui media cetak sebesar 34 persen tentang HIV/AIDS, sedangkan tentang PMS lainnya dinyatakan oleh 21 persen responden. Media informasi lainnya, yaitu melalui media tradisional, dari teman, keluarga, pertemuan-pertemuan lainnya tentang HIV/AIDS dan PMS masing-masing diterima sebanyak 27 persen dan 35 persen responden.Hubungan variabel sosiodemografi dengan pengetahuan dan persepsi pria tentang PMS hanya tingkat pendidikan saja yang menunjukkan hubungan yang bermakna (p=0,00; OR= 2.2). Semua variabel keterpaparan program KB yang dianalisis, menunjukkan hubungan yang bermakna (p<0.05) dengan tingkat pengetahuan PMS,. hubungannya dengan pengetahuan PMS lainnya memperlihatkan bahwa media elektronik, dan media cetak memberikan hubungan yang bermakna.Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PMS, dari 7 (tujuh) variabel yang terpilih sebagai kandidat dari model multivariat, terdapat 5 (lima) variabel yang menunjukkan hasil bermakna, yaitu : tingkat pendidikan, tahu jenis alat KB, informasi PMS melalui media elektronik, informasi melalui media cetak dan persepsi tentang KB. Diantara variabel tersebut, yang terkuat mempengaruhi pengetahuan pria tentang HIV/AIDS adalah informasi PMS melalui media cetak (OR=5.055), media elektronik dengan nilai OR = 3.968, tahu jenis alat KR (OR= 3,795) dan pendidikan (OR=0.522). Dari temuan diatas, dapat disimpulkan bahwa akses informasi melalui media elektronik dan media cetak sangat mempengaruhi terhadap pengetahuan HIV/ AIDS dan PMS disamping faktor pendidikan dan tahu jenis KB. Begitu pula diskusi dengan isteri tenyata turut mempengaruhi terhadap pengetahuan HIV/ AIDS.
Sumber : Hadriah Oesman dkk, Analisa Lanjut SDKI 2002-2003 Hubungan Beberapa Faktor dengan Pengetahuan dan Persepsi Pria terhadap HIV/AIDS dan PMS Lainnya, BKKBN , 2004

10.FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRIA NIKAH PADA REMAJA DI INDONESIA

Analisis secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi predictor sikap dan perilaku melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Data yang dianalisis adalah data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI), dengan jumlah sampel 1.815 perempuan belum kawin dan 2.341 pria belum kawin. Hasil menunjukkan bahwa remaja perempuan lebih banyak tahu tentang masa subur dibanding remaja laki-laki. Remaja laki-laki dan perempuan berumur lebih tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang mengetahui masa subur dibanding remaja berumur lebih muda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Remaja perempuan lebih banyak tahu tentang resiko hamil dengan sekali berhubungan seksual dibanding remaja pria. Remaja berumur lebih tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang mengetahui resiko hamil bila berhubungan seksual dibanding remaja pria, berumur lebih muda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Remaja berumur lebih tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang mengetahui HIV/AIDS dibanding remaja berumur lebih muda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Rernaja laki-laki lebih banyak tahu tentang penyakit infeksi rnenular seksual dibanding rernaja perernpuan. Rernaja berurnur lebih tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang rnengetahui penyakit infeksi rnenular seksual (IMS) dibanding rernaja berurnur lebih rnuda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Rernaja perernpuan lebih banyak tahu tentang salah satu alatlcara KB dibanding rernaja pria. Rernaja berurnur lebih tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang rnengetahui salah satu alatlcara KB dibanding remaja pria, berurnur lebih rnuda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Rernaja perernpuan lebih banyak yang sudah atau pernah pacaran dibanding rernaja pria.. Rernaja berurnur lebih tua, tinggal di kota, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang sudah atau pernah pacaran dibanding rernaja usia lebih muda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah..Rernaja perernpuan sedikit lebih banyak yang rnengetahui seseorang dari ternan rnereka yang pernah rnelakukan hubungan seksual pra nikah dibanding rernaja pria. Responden perernpuan dan pria lebih setuju bila hubungan seksual pra nikah dilakukan oleh pria daripada perernpuan. Remaja pria lebih banyak yang rnelakukan hubungan seksual pra nikah dibanding rernaja perempuan.Rernaja pria urnur lebih tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang melakukan hubungan seksual pra nikah dibanding rernaja pria umur lebih rnuda, tinggal di perdesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Rernaja berasal dari keluarga dengan tingkat kesejahteraan menengah ke atas lebih banyak rnengetahui rnasa subur, resiko hamil dengan sekali hubungan seksual, alatlcara KB, HIV/AIDS, dan penyakit IMS dibanding remaja dari keluarga rniskin. Hasil analisis rnultivariat rnenunjukkan bahwa variabel jenis kelamin,ternpat tinggal. punya ternan yang telah melakukan hubungan seksual pra nikah, dan adanya dorongan dari ternan yang pernah melakukan hubungan seksual pra nikah rnerupakan variabel paling berpengaruh secara bermakna terhadap sikap remaja melakukan hubungan seksual pra nikah. Variabel lain seperti pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ternyata tidak berpengaruh terhadap sikap remaja melakukan hubungan seksual pra nikah, artinya remaja yang tahu atau tidak tahu tentang kesehatan reproduksi tidak berpengaruh terhadap sikap remaja melakukan hubungan seksual pra nikah.
Sumber : Iswarati & Prihyugiarto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Terhadap Perilaku Seksual Pria Nikah Pada Remaja Di Indonesia, BKKBN, 2005

10

11. EFEK PENGGUNAAN HRT (HORMONE REPALCEMENT THERAPY) PADA FSH, PROFIL LIPID, KIMIA DARAH DAN KETEBALAN KULIT PADA WANITA MENOPAUSE

Menopause merupakan suatu proses fisiologi yang akan dialami oleh setiap wanita. Berkurangnya estrogen dalam tubuh menyebabkan 50-60 % wanita akan mengalami keluhan yang membutuhkan bantuan medis. Salah satu masalah kesehatan yang memerlukan perhatian besar di beberapa negara di dunia adalah osteoporosis. TSH dengan estrogen atau kombinasi estrogen progesterone dapat melindungi osteoporosis sampai dengan 50 %. Penelitian ini merupakan uji klinik non komparativ yang bertujuan untuk melihat efek pemberian TSH (Terapi Suli Hormon) estradiol 2 mg + 1 mg noretisteron asetat secara kontinyu terhadap hormon FSH, profil lipid, kimia darah serta ketebalan kulit pada wanita menopause. Lama pemberian TSH adalah 6 bulan. Sebagai subyek penelitian adalah 35 wanita menopause. Penelitian dimulai dari Janurai 2001 hingga Juni 2001. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 35 wanita yang mempunyai umur rata-rata 52,4 0,76 tahun dan rata-rata mengalami menopause selama 3,3 0,42 tahun setelah penggunaan TSH selama 6 bulan terjadi penurunan yang bermakna terhadap FSH yaitu dari rata-rata FSH 63,7 5,59 mIU/ml pada bulan ke 0 menjadi 40,1 4,38 mIU/ml setelah 6 bulan penggunaan (p < 0,01). Tidak dijumpai pengaruh TSH terhadap kadar bilirubin, namun dijumpai sedikit peningkatan enzim alkali fosfatase. Terdapat peningkatan yang bermakna SGOT yaitu rata-rata 19,5 0,82 u/l sebelum penggunaan menjadi 27,5 1,17 ul setelah 6 bulan penggunaan (p < 0,01). Begitu juga SGPT mengalami peningkatan dari rata-rata 18,7 1,31 ul sebelum penggunaan menjadi 24,1 1,30 ul setelah 6 bulan penggunaan (p < 0,01). Tidak demikian dengan Kolesterol total justru mengalami penurunan yaitu dari rata 224,5 4,56 mg/dl sebelum penggunaan menjadi 218,1 5,02 mg/dl setelah 6 bulan penggunaan, begitu juga dengan kadar trigliserida mengalami penurunan dari ratarata 132,8 14,73 mg/dl sebelum penggunaan menjadi 127,2 13,6 mg/dl setelah 6 bulan penggunaan (p > 0,05). Dijumpai sedikit peningkatan LDL yaitu dari rata-rata 144,74 5,73 mg/dl sebelum penggunaan menjadi 146,5 7,25 mg/dl setelah 6 bulan penggunaan (p > 0,05), sedangkan HDL justru mengalami penurunan yang bermakna yaitu dari rata-rata 58,7 2,21 mg/dl sebelum penggunaan menjadi 54,3 2,49 mg/dl setelah 6 bulan penggunaan (p < 0,05). TSH dengan progesterone sintetik noretisteron dapat menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis kolagen kulit. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan ketebalan kulit yang bermakna yaitu dari rata-rata 0,93 0,069 mm sebelum penggunaan menjadi 0,94 0,072 mm setelah 6 bulan penggunaan (p < 0,01). Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan TSH dapat meningkatkan kadar FSH, SGOT, SGPT, HDL dan ketebalan kulit secara bermakna. Sementara penggunaan TSH juga dapat meningkatkan LDL namun tidak bermakna dan kadar Trigliserid mengalami penurunan namun tidak bermakna.
Sumber : A. Baziad, Effects of Continuous Hormone Replacement Therapy (HRT) on FSH, lipid profiles, blood chemistry, and skin thickness in menopausal women, Medical Journal of Indonesia, Volume 11 nomor 2, April June 2002,

11

12. EFEK HORMONE REPALECMENT THERAPY (HRT) TERHADAP BERAT BADAN, TEKANAN DARAH DAN PERDARAHAN VAGINA PADA WANITA MENOPAUSE
Menopause terjadi karena berkurangnya estrogen dalam tubuh wanita ternyata dapat menyebabkan masalah kesehatan jangka pendek dan jangka panjang. Keluhan jangka pendek biasanya karena terjadinya rasa panas (hot flushes), gejala fisiologi seperti fear, tension, depresi, rasa melankolis, fatigue, kondisi urogenital atrofi, susah tidur, pusing, jantung berdebar dll. Keluhan jangka panjang yang timbul adalah meningkatnya insiden pengeroposan tulang karena osteoporosis, penyakit jantung koroner, gangguan metabolisme lipid, stroke dan peningkatan insiden kanker colorectal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian kombinasi Hormone Replacement Therapy (HRT) terhadap berat badan, tekanan darah dan insiden perdarahan pada wanita menopause yang menggunakan selama 6 bulan. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif deskriptif yang dilakukan pada 29 pasien menopause yang datang ke klinik Menopause Menox di Jakarta pada Januari 2000 sampai dengan Juni 2000. Setiap pasien mendapatkan pengobatan dengan estrogen equin konyugasi (EEK) 0,625 mg/hari + medroxyprogesterone acetate (MPA) 5 mg/hari terus menerus selama 6 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata usia wanita menopause adalah 53,7 6,23 tahun dengan lama menopause 5,5 3,9 tahun. Tingkat pendidikan pasien yang tertinggi adalah SMA yaitu sebanyak 37,9 % dan sebanyak 27,6 % berpendidikan Sarjana. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa setelah 6 bulan penggunaan kombinasi HRT secara terus menerus dapat meningkatkan berat badan secara bermakna (p < 0,01), dimana rata-rata berat badan sebelum menggunakan adalah 59,4 11,28 kg menjadi 60,9 11,17 kg setelah 6 bulan menggunakan. Begitu juga tekanan darah sistolik mengalami peningkatan yang bermakna (p < 0,05) yaitu dari rata-rata tekanan darah sistolik sebelum menggunakan sebesar 136,2 16,34 mmHg menjadi 139,0 3,03 mmHg setelah 6 bulan pemakaian. Namun tidak demikian dengan tekanan darah diastolik, hasil penelitian menunjukkan peningkatan yaitu dari rata-rata 87,4 7,74 mmHg sebelum penggunaan HRT menjadi 89,0 7,2 mmHg, namun peningkatan tersebut berdasarkan hasil uji statistik tidak bermakna (p > 0,05). Perdarahan vagina berupa spotting terjadi pada 69 % selama pasien menggunakan secara kontinyu kombinasi HRT, sedangkan sisanya tidak mengalami. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan HRT pada wanita menopause dapat meningkatkan berat badan, tekanan darah sistolik dan terjadinya spotting.

Sumber : A. Baziad, Effects of Hormone Replacement Therapy (HRT) on the body weight, blood pressure and vaginal bleeding in menopausal women, Medical Journal of Indonesia, Volume 11 nomor 1, Januari Maret 2002.

12

13. Karakteristik Ibu Dalam Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan di Propinsi Jawa Barat Tahun 2001 (Analisa Data Sekunder Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2001)
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran karakteristik ibu dalam pemilihan tenaga penolong persalinan di Propinsi Jawa Barat Tahun 2001. Secara khusus bertujuan untuk mengetahui karakteristik ibu dalam pemilihan penolong persalinan pertama; mengetahui hubungan antara umur ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, paritas, daerah tempat tinggal, tingkat pengeluaran rumah tangga dengan pemilihan tenaga penolong persalinan pertama. Penelitian ini merupakan analisis data skunder yang datanya bersumber pada hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2001. Populasi penelitian adalah semua ibu yang memiliki anak di Propnisi Jawa Barat tahun 2001. Sampel penelitian adalah semua ibu yang memiliki anak usia 0 12 bulan dalam Susenas tahun 2001, diperoleh sampel sebanyak 1.401. Data dianalisis dengan menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat dengan metode chi square, derajat kemaknaan 0,05, sedangkan untuk mengetahui kelompok yang memiliki risiko lebih tinggi dengan melihat nilai Adds Ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 52% ibu memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan pertama. Tingkat pendidikan ibu sebagian besar (78,7%) berpendidikan rendah, dan 85,7% tidak bekerja, Terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan daerah tempat tinggal, dan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan pemilihan tenaga penolong persalinan pertama. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur, pekerjaan dan paritas dengan pemilihan tenaga penolong persalinan pertama.

Sumber: Veranita, Eka, , Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 2002

13

14. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Pemahaman Wanita PUS Tentang Iklan Layanan Masyarakat Sahabat di Depok Jawa Barat 2003

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman wanita PUS tentang iklan layanan masyarakat Sahabat. Secara khusus untuk mengetahui hubungan antara karakteristik periklanan, tingkat keterpaparan iklan Sahabat di televisi, dan tanggapan responden dengan pemahaman wanita PUS tentang layanan masyarakat Sahabat. Metode penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian adalah murni deskriptif yang menggunakan pendekatan Cross Sectional. Populasi penelitian adalah wanita PUS yang berada di wilayah Depok dan memiliki televisi. Jumlah sampel diperhitungkan dengan menggunakan perhitungan Andrew Fisher yang hasilnya 137 ditambah 13 sampel toleransi, sehingga menjadi 150. Sampel diambil dari 6 Puskesmas di Depok secara purposif. Data dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner, yang jawabannya diisi oleh responden sendiri. Analisis data secara univariat dan bivariat dengan batas kemaknaan sebesar 0.05, dan dilakukan uji statistik dengan Chi-square. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa 61,3% responden berpendidikan tinggi, yang berumur antara 20-35 tahun sebanyak 58,7%, memiliki pengetahuan yang tinggi tentang KB (56,7%), sebanyak 86 persen setuju KB, sebanyak 91,3 persen menjadi peserta KB. tentang KB (56,7%), Responden yang tinggi tingkat keterpaparannya terhadap iklan Sahabat di televisi sebanyak 61,3%, sebanyak 63,3% memberikan tanggapan positif, dan 70 persen mengaku paham terhadap iklan tersebut. Faktor-faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan pemahaman wanita PUS terhadap iklan layanan masyarakat Sahabat ternyata faktor pendidikan responden, dan tingkat keterpaparan terhadap iklan tersebut sedangkan faktor umur responden, pengetahuan tentang KB, sikap terhadap KB dan praktek KB tidak memperlihatkan hubungan yang bermakna dengan pemahaman wanita PUS tentang iklan layanan masyarakat Sahabat.
Sumber : Suswita, Elda, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 2003

14

15. Karakteristik Keluarga yang Berhubungan dengan Kematian Bayi di Desa Tertinggal Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan Tahun 1999
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan antar propinsi faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian bayi di desa tertinggal Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kematian bayi di keluarga tiga propinsi; mengetahui hubungan antara faktor sosial ekonomi keluarga, ibu, pengendalian penyakit perorangan dengan kejadian kematian bayi dalam keluarga di desa tertinggal pada 3 propinsi. Penelitian merupakan analisa lanjutan terhadap data yang bersumber dari Penelitian Profil Keluarga Sejahtera di Desa Tertinggal 1994. Populasi adalah seluruh kepala keluarga daerah desa tertinggal tahun 1994 sampel wilayah, setiap propinsi terpilih diambil 2 kabupaten dan satu kotamadia, dari setiap Dati II diambil 4 desa/Dati II. Di setiap sampel wilayah diambil secara acak 5 RT, kemudian diambil 10 keluarga/RT sehingga jumlah sampel penelitian sebanyak 1800 keluarga. Data dikumpulkan melalui wawancara berstruktur. Untuk melihat hubungan antara 2 variabel digunakan analisa Chi-square, uji t dan Odds Ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian kematian bayi di dalam keluarga desa tertinggal adalah 6,67% di Propinsi Jawa Barat, 4,83% di Propinsi Jawa Tengah dan 10,83% di Propinsi Sumatera Selatan, masing-masing keluarga mengalami kematian rata-rata lebih dari satu. Keluarga yang mengalami kematian bayi tertinggi di Sumatera Selatan 10,83%. Tiap propinsi, keluarga rata-rata mengalami kematian bayi lebih dari satu kali. Dari analisa univariat ada beberapa karakteristik yang berisiko terhadap kematian bayi yaitu pendidikan bapak dan ibu yang rendah, pengeluaran perbulan < Rp. 18.244, bahan lantai tanah (Jawa Tengah), luas lantai < 34 M 2, sumber air bersih berasal dari mata air/sungai (Jawa Tengah dan Sumatera Selatan), keluarga yang tidak pernah membaca, paritas > 4 (Jawa Barat dan Sumatera Selatan), jumlah ibu yang tidak memeriksakan kehamilan dan ibu yang memeriksakan kehamilan < 4 kali (Jawa Barat dan Sumatera Selatan), ibu yang tidak mendapat imunisasi TT dan penolong persalinan oleh tenaga non medis. Dari hasil uji Chi-square menunjukkan ada perbedaan bermakna kematian bayi di dalam keluarga menurut propinsi. Dari 24 variabel yang diteliti hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa karakteristik yang berhubungan dengan kematian bayi di Jawa Barat hanya pengeluaran keluarga per bulan. Di Jawa Tengah adalah kesulitan transportasi dan pola pengobatan. Dan di Sumatera Selatan adalah pekerjaan ibu, pengeluaran per bulan, luas lantai, bahan dinding rumah, sumber air bersih, kesulitan transportasi, frekuensi membaca seminggu, frekuensi menonton televisi seminggu, tempat tinggal, paritas, tempat kehamilan, jumlah periksa kehamilan dan penolong persalinan.

Sumber : Patriani, Ana Adina, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 1995

15

16. Anak Jalanan di Jakarta dan Kerentanan Mereka terhadap HIV/AIDS Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Hak Asasi Manusia

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan anak jalanan di Jakarta, tempat utama dan kegiatan pekerjaan mereka; untuk mengetahui sosiokultural mereka (seperti tempat tinggal keluarga) dan gaya hidup; untuk menganalisis kerentanan mereka terhadap pelecehan seksual dan PMS, khususnya HIV/AIDS; dan untuk menganalisis kerentanan ini dari sisi hak asasi manusia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif termasuk teknik etnografi observasi dan wawancara Responden penelitian adalah 60 anak jalanan (22 chlidren of the street dan 38 chlidren on the street) dengan berbagai profesi yakni pengemis, penyemir sepatu, penjual koran, joki three in one. Dari 60 anak jalanan yang diwawancarai, 16 di antaranya (26,7%) telah melakukan kontak seksual (dengan alat kelamin). Berdasarkan kategorinya kurang lebih satu dari dua chlidren of the street mengaku telah melakukan hubungan seksual, sedangkan untuk chlidren on the street hanya satu di antara10 anak. Kebanyakan dari antara mereka yang melakukan hubungan seksual (14 anak) tidak pernah menggunakan kondom. Setiap satu dari dua anak jalanan pernah mengalami kekerasan seksual, ancaman perkosaan, dirayu, dan diminta untuk melakukan masturbasi oleh orang yang lebih tua.

Sumber : Julianto, Irwan, Pusat Studi Kependudukan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2000

16

17. Sifon - Antara Tradisi dan Penularan PMS


Penelitian ini mengkaji kemungkinan penularan PMS/HIV/AIDS melalui sunat tradisional Atoin Meto di Timor Barat yang mempersyaratkan hubungan seksual paska sunat bagi pasiennya. Penelitian ini bertujuan (a) mendeskripsikan seluk beluk praktek sunat pria tradisional Atoin Meto; (b) mengetahui nilai-nilai sosial budaya di balik tradisi tersebut; (c) mengetahui berbagai pola dukungan kelembagaan terhadap praktik ini; dan (d) mengetahui keterkaitan antara praktik tersebut dengan kesehatan reproduksi, khususnya PMS/HIV/AIDS. Pengumpulan data dilakukan di dua kabupaten yaitu Kupang dan Timor Tengah Utara. Setiap kabupaten dipilih 2 kecamatan, dari setiap kecamatan dipilih 2 desa (total 8 desa). Melalui snowball method diperoleh data tambahan dari berbagai daerah lain di TimorBarat, termasuk Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Ambenu (Propinsi Timor Timur). Jumlah responden 214 terdiri dari tukang sunat, pria yang telah disunat menurut tradisi Atoin Meto, pria yang belum disunat, kaum wanita, dan pekerja seks yang pernah melayani hubungan seks paska sunat. Tokoh masyarakat dan petugas kesehatan di lokasi penelitian dijadikan informan. Data dperoleh melalui wawancara mendalam, FGD dan observasi. Analisis dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian membuktikan bahwa hingga dewasa ini sunat tradisional Atoin Meto masih dipraktekan secara luas. Sebagian besar pria Atoin Meto dan beberapa pria beretnis lain, baik di desa maupun di kota telah menjalani sunat tradisional Atoin Meto dan melakukan hubungan seks paska sunat (sifon, saeb oaf dan haekit) dengan mitra seksual yang bukan pasangan tetapnya. Dewasa ini banyak pasien sunat yang melakukan hubungan seks paska sunat dengan pekerja seks di lokasi pelacuran. Faktor-faktor yang mendorong pria menjalani penyunatan adalah faktor kesehatan, keawetan tubuh, kepuasan hubungan seksual, menghindari sindiran masyarakat, memenuhi tuntutan pasangan, tuntutan tradisi dan meningkatkan rasa percaya diri. Selain faktor motif, kehadiran tukang sunat di setiap desa, adanya dukungan generasi muda dan tokoh adat, kurangnya perhatian tokoh agama dan petugas kesehatan menyebabkan praktek tersebut akan terus dipraktekkan di masa-masa mendatang. Penggunaan alat sunat yang tidak steril dan adanya hubungan seksual paska sunat dapat berperan sebagai media penularan PMS/HIV/AIDS.

Sumber: Lake, Primus, Ford foundation bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1999

17

18. PENELITIAN PENYAKIT MENULAR SEKSUAL PADA PEREMPUAN PENGUNJUNG KLINIK KIA/KB DI BEKASI DAN BOGOR

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang prevalensi PMS dan perilaku yang berhubungan dengan risiko penularan PMS pada perempuan yang mengunjungi klinik KIA/KB di 2 kota. Sampel penelitian sebanyak 305 perempuan yang mengunjungi klinik KIA/KB di 3 puskesmas dan 3 klinik kesehatan ibu di Bogor dan Bekasi. Data dikumpulkan melalui wawancara, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa 23,4% perempuan pengunjung klinik menderita PMS, paling banyak (14,4%) adalah infeksi genitalia non spesifik. Tidak ditemukan gonore, yang dikonfirmasikan dengan Gram-stain dan kultur. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa 48,9% di antaranya mengalami keputihan, 4,6% mengalami ulkus genital dan 1% mengalami condyloma atau lesi veskuler. Gejala dan tanda yang didapat dari hasil wawancara, yang terbanyak adalah keputihan (42%), namun setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, hanya 25,6% dari mereka yang ternyata mengalami infeksi, sebanyak 58,7% dari perempuan yang mengalami keputihan, mengalaminya dalam 3 bulan terakhir. Tidak satupun responden yang pernah tidak setia kepada pasangannya dan menggunakan kondom baik saat dia atau suaminya mempunyai gejala PMS. Prevalensi PMS yang didapat dalam penelitian ini (23,4%) relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain. Frekuensi keputihan yang tinggi (42%) dihubungkan dengan rendahnya temuan laboratorium untuk PMS mungkin disebabkan oleh kondisi fisiologis.

Sumber : Muhaimin, Toha dkk., Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia , Jakarta, 1999

18

19. Infertilitas dalam Perspektif Jender


Penelitian ini mengkaji dinamika hubungan jender dalam pencegahan dan pengelolaan infertilitas. Secara khusus penelitian ini ingin mengetahui persepsi masyarakat Aceh tentang infertilitas; peran dan hubungan jender masyarakat Aceh dalam pencegahan infertilitas; anggapan moral masyarakat Aceh tentang infertilitas. Data diperoleh dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh melalui survei retrospektif, populasi penelitian adalah pasangan infertil primer dalam kurun waktu 5 tahun sebelum survei sampai saat survei dilakukan. Secara purposif insidental sampel penelitian diambil sebanyak 82 pasangan yang terdiri dari 46 mewakili populasi desa dan 36 mewakili populasi kota. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dan wawancara mendalam agar diperoleh deskripsi yang utuh mengenai beberapa aspek infertilitas. Ditemukan pola relasi jender yang timpang dalam upaya pencegahan dan pengelolaan infertilitas. Yang perempuan lebih dominan, baik dalam inisiatif, intensitas, maupun kontinuitas. Kurun waktu yang dihabiskan untuk pengobatan relatif panjang. Pilihan cara pengobatan sangat beragam dan sangat melelahkan. Perempuan juga mengalami berbagai bentuk tekanan psikologis, serta menerima ekses negatif persepsi masyarakat yang lebih besar daripada laki-laki. Pasangan infertil rentan terhadap ancaman disintegrasi rumah tangga, mengeluarkan biaya pengobatan yang besar dan masalah warisan harta. Berbagai perilaku bias jender tersebut tidak dapat dilepaskan dari sistem ideologi dan kosmologi masyarakat Aceh dalam memandang perempuan, anak, dan infertilitas.

Sumber : Rahmani, Diah P. dan Ana Nadya Abrar, Ford foundation bekerja sama dengan Pusat Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1999

19

20. Perspektif Perempuan Indonesia pada Infeksi Saluran Reproduksi (Sebuah Studi Eksplorstif)
Tujuan studi adalah untuk menggali pengalaman-pengalaman dan persepsi perempuan dalam hubungannya dengan gejala-gejala Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), untuk mendapatkan informasi tentang sikap, persepsi dan penanganan ISR oleh para bidan dan dokter untuk mengidentifikasi hal-hal yang relevan untuk penangan ISR di Indonesia. Metode pengumpulan data penelitian ini adalah diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam. Lokasi penelitian adalah di Desa Pejeruk, di Lombok dan Cilandak di Jakarta. Sampel penelitian dibatasi pada jumlah 52 perempuan, 20 bidan, dan 8 dokter Kebanyakan perempuan (71%) mengeluh kadang-kadang mengalami keputihan . Beberapa dari mereka juga mengeluh adanya gatal pada alat kelamin, keputihan yang banyak dan bau. Perempuan dalam penelitian ini percaya (dalam beberapa kasus karena diberi tahu oleh petugas kesehatan) bahwa stres, kelelahan dan kurang bersih adalah penyebab utama keputihan mereka. Mereka merasa malu karena adanya keluhan tersebut dan menghindari untuk berhubungan seksual. Beberapa perempuan percaya bahwa keputihan mereka normal saja dan akan hilang dengan sendirinya. Kebanyakan perempuan tidak datang kepada petugas kesehatan kecuali terjadi keputihan yang menetap.

Sumber : Sadli, Saparinah dkk., Pusat Studi Wanita Universitas Indonesia, bekerja sama dengan The Population Counsil, Jakarta 1994

20

21. Efesiensi Pengobatan Penyakit Radang Panggul yang Disebabkan oleh Infeksi Klamida

Penyakit Radang Panggul (PRP) adalah infeksi saluran reproduksi bagian atas wanita, yang dapat mengenai endomitrium, tuba, ovarium, maupun jaringan-jaringan sekitarnya. Sebagian besar PRP ada hubungannya dengan infeksi PMS, terutama gonore dan/atau klamida. Berdasarkan tiga kriteria klinis dilakukan diagnosa PRP pada wanita yang berkunjung ke klinik ginekologi RS Cipto Mangunkusumo, RSUD Koja, dan RSUD Tangerang. Secara acak ditentukan 2 kelompok PRP. Kelompok pertama diobati dengan terapi klamidia regimen biasa, dan kelompok kedua diobati dengan regimen singkat. Keduanya diberi diberi terapi yang sama terhadap gonore. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan Gen Probe. Dari 187 pasien PRP, didapatkan 2,1% terinfeksi gonore dan 9,6% terinfeksi klamidia. Dari 95 pasien yang diterapi regimen biasa, 71,6% langsung sembuh dan sisanya tidak kembali. Kemungkinan pasien PRP untuk sembuh yang diberi terapi regimen baku 1,18 kali lebih besar daripada regimen singkat, perbedaan ini secara statistik ada di perbatasan antara bermakna dan tidak bermakna (p-value: 0,05). Bagian terbesar kasus PRP di kalangan wanita risiko rendah tidak disebabkan oleh klamidia dan/atau gonore. Akan tetapi apapun penyebabnya, ternyata regimen pengobatan terhadap klamidia dan gonore cukup efektif untuk menyembuhkan. Regimen singkat cenderung mempunyai efektifitas yang sama dengan regimen baku.

Sumber Sedyaningsih, Endang R., dkk., Pusat Penelitian Penyakit Menular - Litbangkes DepKes RI, Jakarta, 1999

21

22. Keberadaan Candida sp. Di Bawah Kuku tangan pada Penderita Vaginitis
Pada tahun-tahun terakhir beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandida adalah penyebab utama keputihan dan angka insidensinya meningkat. Diduga bahwa penyebab dari kandidiasis vagina adalah beberapa mateial yang terkontaminasi seperti feses, air dan kuku. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur angka insidensi adanya kandida di bawah kuku tangan orang yang menderita vaginistis baik yang disebabkan oleh parasit (Trichomonas vaginalis) atau bakteri. Penelitian deskriptif ini dilakukan di sub-unit Mikologi, Unit Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dari bulan Januari sampai April 1993 di antara 141 klien dengan vaginistis dengan gejala utama keputihan. Spesimen laboratorium diambil dari swab vagina dan kotoran di bawah kuku tangan. Dari pemeriksaan sekret vagina terhadap seluruh sampel penelitian, ditemukan kandida 57,4%, T. vaginalis 6,4%, dan campuran kandida dan T. vaginalis 3,6%. Di lain pihak ditemukan 67,4% dengan kandida di bawah kuku tangan. Kandida juga ditemukan di bawah kuku tangan pasien dengan vaginistis kandida dan T. vaginalis dengan angka insidensi 82,7% dan 66%. Dari hasil uji statistik Chi Square diperoleh simpulan bahwa ada hubungan yang bermakna (P<0.05) antara vaginistis kandida dengan kandida di bawah kuku tangan. Ini berarti kuku tangan dengan kandida adalah sumber infeksi vaginistis kandida.

Sumber Syarifuddin, Pudji K., D. Kartanegara, dan J. Susilo, Unit Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 1995

22

23.Ukuran-ukuran Dasar Perilaku Berisiko terhadap PMS/HIV; Survei Surveilan 1996 (Hasil dari kota Jakarta Utara, Surabaya, dan Manado)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ukuran-ukuran dasar terpilih mengenai perilaku berisiko terhadap PMS/HIV pada kelompok populasi tertentu di 3 kota pelabuhan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei potong lintang. Sampel lokasi adalah 3 kota pelabuhan yaitu Jakarta, Surabaya, dan Manado. Data dikumpulkan melalui wawancara yang menggunakan kuesioner terstruktur. Wawancara dilakukan terhadap pekerja seks perempuan, pelaut dan buruh pelabuhan di Jakarta, Surabaya dan Manado, sopir truk dan pekerja pabrik laki-laki dan perempuan; dan siswa SMA laki-laki dan perempuan di Manado. Survei ini menunjukkan tingginya persentase responden yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS di seluruh kelompok responden, namun tingkat informasi tentang pencegahan dan penularan rendah. Responden laki-laki khususn ya pelaut dan buruh pelabuhan, sebagaimana dengan sopir dan dan pembantunya memiliki angka aktifitas seksual sebelum dan di luar pernikahan (termasuk dengan pekerja seks) lebih tinggi dibandingkan dengan responden perempuan. Angka pemakaian kondom relatif rendah, bahkan pada hubungan seks sebelum dan di luar pernikahan. Pengetahuan mengenai PMS, sebagai gejala atau penyakit infeksi, rendah. Kebanyakan dari mereka yang pernah mengalami gejala PMS atau diperkirakan terinfeksi PMS memilih mencoba mengobati daripada mencari pengobatan moderen. Jadi kombinasi antara ketidakacuhan terhadap PMS, tendensi untuk mengobati sendiri, dan perilaku seks yang tidak aman yang terus berlanjut meningkatkan kemungkinan untuk tertular HIV/AIDS. Diperlukan desiminasi informasi yang lebih baik dan pemberian pelayanan terhadap kelompok risiko tinggi; dan perlu dilakukan surveilan sentinel secara reguler untuk memonitor pengaruh desiminasi informasi tersebut.

Sumber : Utomo, Budi dkk., Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Indonesia, Jakarta, 1998

23

24. Kebutuhan akan informasi dan pelayanan tentang Kesehatan Reproduksi para pekerja pendatang wanita
Banyaknya kota industri di Cina menarik sejumlah pekerja musiman (pendatang) yang bersifat sementara dari daerah pedesaan. Pada awal 1990, pekerja musiman tersebut atau disebut floating population diperkirakan antara 70 - 80 juta. Dan hampir sepertiga dari populasi tersebut adalah wanita dan separuhnya berusia dibawah 25 tahun serta kebanyakan dari mereka bekerja di pabrik kecil atau di industri pelayanan. Dan ternyata cukup banyak dari pekerja pendatang wanita muda dan berstatus belum menikah. (Lihat grafik 1) Kebutuhan akan kesehatan reproduksi dari kelompok wanita muda belum menikah ini ternyata tidak tampak dan mereka tidak mempunyai Grafik 1. % wanita belum menikah di akses untuk mendapatkan pelayanan yang populasi terapung di 5 kota di Cina, 1997 layak. Sebagai pekerja kontrakan jangka pendek dan tanpa tempat tinggal yang 100 permanen di kota, penduduk terapung 70 80 tersebut tidak dapat menerima manfaat kesehatan dan kesejahteraan yang layak 50 60 46 40 diterima oleh penduduk yang terdaftar secara 30 40 resmi.
20

Studi ini dilaksanakan pada tahun 0 Beijing Shanghai Guangzhou Guiyang Taiyun 1998-1999 di 5 kota (Beijing, Shanghai, Guangzhou, Guiyang dan Taiyuan) untuk mempelajari tentang pengetahuan dan perilaku dari para pekerja wanita pendatang ini dalam hal kesehatan reproduksi. Metoda pengumpulan data dengan cara Fokus Grup Diskusi pada 22 kelompok dengan total 146 wanita muda pekerja (72 berstatus menikah, 74 tidak menikah) dengan usia 16-25 tahun dan bertempat tinggal di kota selama lebih dari 6 bulan. Disamping itu dilakukan juga wawancara mendalam terhadap 58 wanita muda yang lain (termasuk didalamnya 8 wanita menikah) dan 3 laki-laki migran, yang direkrut dari klinik KB dan KR, toko kecil dan lokasi lain.Wawancara dengan sumber kunci juga dilakukan yaitu terhadap 16 dokter, petugas KB, manager dari pabrik dan staf kantor managemen penduduk terapung. Temuan studi. Seks pranikah tidak lagi tabu dan norma serta perilakunya telah berubah. Tidak ada yang salah dengan perilaku seks pranikah, sepanjang mereka saling menyukai satu sama lain dan mereka bahagia (Shanghai, FGD). Sebagian besar wanita muda menyatakan bahwa seks pranikah dapat diterima. Namun demikian mereka menyatakan keprihatinan tentang konsekuensi sosial dari kehamilan yang tidak diharapkan. Pengalaman Seks Pranikah tidak pernah dilaporkan. Sebagian besar dari wanita muda tahu bahwa seseorang hidup bersama pacarnya, tetapi hanya sedikit yang mengakui bahwa mereka telah melakukan seks pranikah. Mereka yang melakukan seks, mengakui hanya melakukan hubungan seksual dengan yang akan menjadi suaminya. Pengetahuan dan penggunaan kontrasepsi sangat rendah. Sebagian besar wanita yang melakukan hubungan seksual secara aktif tidak pernah menggunakan kontrasepsi dan hanya sedikit yang tahu dimana mendapatkan alkon tersebut.

24

4 kendala pada penggunaan kontrasepsi. Kegiatan seks tidak direncanakan dan secara spontan. Wanita muda akan menyetujui atau mengabaikan pasangan yang tidak mau menggunakan kontrasepsi. Wanita belum menikah malu untuk mendapatkan kontrasepsi karena jika mereka mencari kontrasepsi akan terungkap bahwa mereka melakukan hubungan seksual. Wanita belum menikah menganggap bahwa pusat distribusi KB adalah untuk wanita menikah. Kehamilan yang tidak diharapkan dan aborsi merupakan hal yang biasa diantara mereka yang melakukan hubungan seks.

Jika pernikahan tidak dapat direncanakan secara dini maka akhir dari kehamilan adalah aborsi. Provider melaporkan bahwa wanita pendatang lebih suka menunda aborsi dan lebih mempunyai pengalaman aborsi berkali-kali dibandingkan wanita bukan pendatang. Mereka biasanya juga lebih suka meminta bantuan pada provider swasta karena mereka percaya bahwa kerahasiaannya akan lebih terjamin dan terlindungi. Kesimpulan dan Rekomendasi. Sebagian besar wanita muda sebagai perkerja pendatang melakukan hubungan seksual, namun mereka kurang pengetahuan dasarnya tentang kontrasepsi dan reproduksi. Mereka tidak tahu dimana mendapatkan kontrasepsi atau malu untuk mencoba. Aborsi atau menikah secara terburu-buru merupakan satu-satunya upaya jika terjadi kehamilan. Wanita muda belum menikah tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan KB meskipun secara teori pelayanan tersebut adalah untuk seluruh wanita. Program Pemerintah tentang Pendidikan KB atau materi informasi tidak sampai pada wanita pendatang. Pengukuran yang harus segera dilakukan agar informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi di daerah urban dapat diterima oleh pekerja pendatang yang masih muda. Rekomendasi kebijakan nya adalah sebagai berikut : - Jika migran baru datang untuk melakuklan registrasi, kantor registrasi harus memberikan kepada mereka informasi tentang KB serta tempat pelayanannya. - Orang yang mempekerjakan pekerja pendatang harus menyebarkan informasi yang telah diadakan oleh bagian KB atau Kes. pemerintah lokal; mereka juga dapat memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi di klinik yang ada di tempat kerjanya. - Petugas KB di daerah perkotaan harus melakukan kunjungan di tempat kerja para pekerja dan tempat tinggal yang banyak para pendatangnya untuk memberikan informasi dan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.
Sumber : Zhenzhen Zheng et al., Perilaku seksual dan penggunaan kondom diantara pasangan yang tidak menikah pada pekerja wanita muda yang tidak menikah di 5 kota di Cina, Reproductive Health Matter, 2001; 9:118-127.

25

25. Situasi Kesehatan Anak Indonesia : Analisis data Mutakhir

Anak merupakan sumber potensi dan penerus cita-cita bangsa. Untuk dapat mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas harus dilakukan dengan memperhatikan keadaan manusia sejak usia dini, yaitu sejak masa kanak-kanak. Anak usia 0-14 tahun merupakan sumber daya manusia pada beberapa tahun mendatang dan menjadi penduduk produktif sebagai calon tenaga kerja, calon orang tua, calon pemimpin pada masa yang akan datang. Upaya untuk meningkatkan derajad kesehatan anak sudah dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga lain yaitu dengan memberikan penyuluhan kesehatan agar keluarga berperilaku hidup sehat, pemberian imunisasi untuk bayi, balita dan ibu hamil serta penyediaan fasilitas kesehatan seperti Posyandu. Sejak krisis ekonomi di Indonesia sekitar tahun 1997, sering diberitakan bahwa akan ada lost generation, kematian anak karena kelaparan dan kurang gizi. Suara Pembaharuan, 20 Juni 2000 menuliskan bahwa berdasarkan data Susenas 1999, dari 70,6 juta balita di Indonesia 7,53 % atau sekitar 5,319 juta bergizi buruk dan 17,13 % atau sekitar 12,09 juta balita bergizi kurang. Benarkah demikian ? Populasi anak pada tahun 1999. Terdapat penurunan jumlah penduduk anak (0-14) tahun, namun jika diperhatikan menurut kelompok umur dan jumlah absolut Grafik 1. % Penduduk anak menurut kelompok maka anak balita usia 0-4 tahun umur th 1995 dan 1999, Indonesia meningkat, ini berarti terdapat 15 peningkatan kelahiran. Se mentara kelompok 5-9 tahun mengalami 0-4 th penurunan, disini kemungkinan terjadi 10 banyak kematian balita karena balita 5-9 th pada tahun 1995 menjadi anak usia 5-9 5 10-14 th tahun pada tahun 1999. (lihat grafik 1). Kondisi kesehatan mereka sebenarnya 0 berhubungan satu sama lain, yang 1995 1999 berawal dari kesehatan kehamilan, penolong persalinan, pemberian ASI dan pemberian makanan, pemberian imunisasi, memberi makanan bergizi, informasi tentang KR (untuk usia 10-14 tahun). Pemeriksaan Kehamilan dan Penolong kelahiran. Menurut SDKI 1997 dari 16.217 kehamilan, sebanyak 73 % melahirkan di rumah, sedangkan sisanya sebanyak 27 % melahirkan di RS, dirumah bidan dan fasilitas pemerintah. Sedangkan menurut Susenas 1997 dan 1999, balita yang dilahirkan ditolong oleh bidan mengalami peningkatan dari 45 % menjadi 50,04 %, sedangkan yang ditolong oleh dukun mengalami penurunan dari 44,06 % menjadi 37,95 %. Keadaan Kesehatan Bayi. Besarnya persentase BBLR berhubungan dengan kondisi kesehatan dan status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan, status sosial, budaya, kebiasaan merokok dan paritas (Depkes 1998). Data SDKI 1997 menunjukkan bahwa dari persalinan selama 5 tahun sebelum survei terdatap 7,7 % bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram. Angka Kematian Bayi di Indonesia mengalami penurunan dari 60 per 1000 kelahiran hidup menjadi 46 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1999.

26

Penyakit saluran pernapasan (ISPA) dan diare sejak tahun 1992 s/d 1995 merupakan penyakit utama penyebab kematian (ISPA 29,5 % & Diare 13,9 % pada tahun 1995). Sampai dengan tahun 2000, kedua penyakit tsb masih merupakan penyakit yang mematikan bayi. Keunggulan dan manfaat ASI dalam menunjang kelangsungan hidup bayi, belum diikuti pemanfaatan penggunaan ASI secara optimal. Rata-rata lamanya pemberian ASI eksklusif (tanpa makanan tambahan) mengalami penurunan jaitu 4,04 bulan pada tahun 1997 menjadi 3,54 bulan pada tahun 1999. Sementara rata-rata lama pemberian ASI dan makan tambahan mengalami peningkatan yaitu 16,74 bulan pada tahun 1997 menjadi 17,68 bulan pada tahun 1999. Keadaan gizi selain menggambarkan keadaan balita itu sendiri, juga mencerminkan keadaan gizi masyarakat. Balita yang berstatus gizi baik pada tahun 1995 sebanyak 63,86 % meningkat menjadi 64,63 % pada tahun 1998. Sementara Balita berstatus gizi kurang mengalami penurunan yaitu 14,61 % (1995) menjadi 14,46 % (1998), ini berarti bahwa sekitar 3 juta anak di Indonesia dalam status gizi buruk. Balita yang mendapat imunisasi BCG dan DPT pada tahun 1998 dan 1999 persentasenya relatif tetap yaitu 85% (BCG) dan 83% (DPT), sementara cakupan imunisasi Polio dan campak mengalami penurunan masing-masing 3,71 % untuk Polio dan 6,38% untuk campak. Angka Kematian Balita (1-4 tahun) mengalami penurunan yaitu 111 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1993 turun menjadi 59 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1997. Dan penyebab kematian Balita sama dengan penyebab kematian bayi yaitu ISPA dan Diare. Berdasarkan data Ditjen PPM & PLP Depkes RI sampai dengan bulan September 2001 tercatat sebanyak 7 orang balita , 3 orang remaja 5-14 tahun yang menderita AIDS. Berdasarkan cara penularannya ternyata 13 orang tertular karena transmisi perinatal, hal ini berarti balita mendapat HIV/AIDS melalui ibu yang mengandungnya.

Simpulan. Pada 1997 masih 11 % ibu hamil yang tidak pernah memeriksakan kehamilannya, 26 % tidak pernah mendapatkan imunisasi TT dan 17 % tidak pernah mendapat pil zat besi. 73 % persalinannya di rumah dan 54 % dibantu oleh dukun bayi. Penyakit saluran pernapasan atau penyakit sistem pernapasan dan diare sejak tahun 1992 sampai 2000 merupakan penyakit utama penyebab kematian bayi dan balita. Sedangkan pada kelompok umur 5-14 tahun penyebab kematiannya adalah terutama karena penyakit infeksi dan parasit. Masih sekitar 3 juta anak di Indonesia dalam status gizi kurang menurut data tahun 1998. Ketidak tahuan remaja tentang kesehatan reproduksi menyebabkan remaja muda mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, pemeriksaan kehamilan dan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan harus ditingkatkan lagi, termasuk pemberian informasi tentang KR untuk ibu hamil. Informasi tentang KR yang benar agar diberikan pada kelompok remaja muda 5-14 tahun agar kasus aborsi, premarital seksual serta kehamilan yang tidak diinginkan dapat dikurangi.

Sumber : Sutji R. Siregar., Warta Demografi, tahun ke 31, nomor. 4, 2001, Situasi Kesehatan Anak Indonesia : Analisis Data Mutakhir,

27

26. Pengetahuan dan sikap wanita tentang HIV/AIDS dan PMS lainnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi
AIDS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu timbulnya sekumpulan gejala penyakit yang terjadi karena kekebalan tubuh menurun, oleh karena adanya virus HIV di dalam darah. Jumlah orang yang terkena HIV di Indonesia hingga bulan Maret 2004 dilaporkan sebanyak 4159, sedangkan jumlah orang yang terkena AIDS sebanyak 1431 orang. Namun kejadian ini bagaikan gunung es, jumlah yang sebenarnya terjadi jauh melampaui angka tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi penyebaran virus HIV/AIDS, salah satunya adalah adanya komitmen Sentani 2004 yang isinya antara lain mempromosikan penggunaan kondom pada setiap kegiatan seksual beresiko dengan target pencapaian 50 % pada tahun 2005, penerapan upaya pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik, pengurangan stigma dan diskriminasi pada pengidap HIV/AIDS, mengupayakan dukungan peraturan, perundangan dan penganggaran kegiatan penanggulangan AIDS. Untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan program penyuluh AIDS telah dicapai, diperlukan antara lain informasi tentang pengetahuan dan pendapat masyarakat tentang AIDS secara berkesinambungan. Pada kesempatan ini dilakukan analisis dengan menggunakan data hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002/2003 untuk mempelajari pengetahuan ibu menurut berbagai variabel latar belakang yang meliputi pendidikan ibu dan pasangannya, umur ibu, keterpaparan terhadap media masa, daerah tempat tinggal, tingkat kesejahteraan dan pengaruh masing-masing variabel tersebut terhadap pengetahuan ibu tentang AIDS. Adapun tujuan dari dilakukannya analisis ini adalah untuk mengetahui persentase pengetahuan dan sikap ibu tentang HIV/AIDS menurut berbagai karakteristik latar belakang: mengetahui hubungan masing-masing variabel tersebut di atas terhadap pengetahuan ibu terhadap AIDS, mengetahui persentase pengetahuan tentang Infeksi Menular Seksual lainnya menurut berbagai karakteristik latar belakang, mengetahui hubungan masing-masing variabel terhadap pengetahuan ibu terhadap penyakit PMS-lainnya. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa informasi tentang penyakit AIDS belum dapat diterima secara menyeluruh di masyarakat. Terdapat perbedaan yang bermakna proporsi wanita yang tahu AIDS di daerah non SM-PFA dan SM-PFA, pengetahuan wanita tentang AIDS di daerah non SM-PFA lebih tinggi dari pada di daerah SM-PFA. Namun demikian meskipun terdapat perbedaan diantara kedua daerah tersebut ternyata diantara mereka yang tahu tentang AIDS dan tahu cara menghindari penyakit AIDS tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Di daerah non SM-PFA menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara umur, pendidikan, status perkawinan, jumlah perkawinan dan umur kawin pertama wanita dengan mereka yang pernah mendengar tentang AIDS. Sementara di daerah SM-PFA hanya status perkawinan dan umur kawin pertama yang berhubungan dengan mereka yang pernah mendengar tentang AIDS.Berdasarkan hasil analisa bivariate ternyata pendidikan suami, tempat tinggal dan tingkat kesejahteraan sosial menunjukkan adanya hubungan dengan wanita yang tahu tentang AIDS di daerah non SM-PFA. Sementara di daerah SM-PFA yang berhubungan adalah pendidikan suami dan tingkat kesejahteraan sosial.Rendahnya pengetahuan wanita tentang cara pencegahan penyakit AIDS yang benar menunjukkan bahwa informasi yang benar dan tepat belum diterima oleh masyarakat.

28

Televisi merupakan media yang paling banyak digunakan oleh wanita dalam mendapatkan informasi tentang AIDS , dibandingkan informasi dari tenaga kesehatan yang masih sangat rendah. ihal penyakit AIDS. Sikap wanita dalam mendiskusikan dengan suami agar tidak tertular AIDS masih rendah (dibawah 32 persen), hanya dibawah 29 persen dari wanita mengatakan akan merahasikan jika salah seorang keluarga menderita AIDS dan wanita yang bersedia merawat jika ada keluarga / saudara yang menderita AIDS lebih tinggi persentasenya pada wanita di daerah SMPFA.
Sumber : Flourisa J. Sudrajat, Pengetahuan dan Sikap Wanita tentang HIV/AIDS dan PMS lainnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi, BKKBN , 2004

29

27. HUBUNGAN POLA MENYUSUI DAN IMUNISASI DENGAN MORBIDITAS ANAK (Pnemonia)

Analisis lanjut data SMPFA dalam SDKI 2002-2003 telah dilakukan dengan topik tentang hubungan pola menyusui dan imunisasi dengan morbiditas anak (pnemonia). Dari jumlah sampel wanita sebanyak 4246 di daerah proyek SMPFA dan 9065 wanita di daerah non proyek, akhirnya dapat dianalisis sebanyak 778 wanita di daerah proyek SMPFA dan 1802 wanita di daerah non proyek yang memiliki anak balita terakhir dan masih hidup yang lahir dalam kurun waktu lima tahun sebelum survei. Variabel bebas yang digunakan dalam analisis ini adalah (1) karakteristik latar belakang wanita, yaitu tingkat kesejahteraan keluarga, umur pada waktu melahirkan anak terakhir, jumlah anak hidup yang dimiliki, tingkat pendidikan dan daerah tempat tinggal; (2) karakteristik latar belakang anak balita seperti berat badan lahir, umur balita, jenis kelamin, urutan kelahiran dan pemberian vitamin A dosis tinggi. Sedang variabel kontrol adalah pemberian ASI dan imunisasi kepada anak balita. Sebagai variabel tergantung adalah kejadian penyakit ISPA pada anak balita. Analisis dilakukan secara deskriptif, bivariate dengan tabulasi silang dan multivariate dengan regresi logistik. Hasil analisis diperoleh bahwa anak balita terakhir yang menderita penyakit ISPA adalah cukup rendah, yaitu berkisar antara 5-6 persen, baik di daerah proyek maupun daerah non proyek. Analisis secara deskriptif menunjukkan adanya perbedaan yang cukup berarti antara daerah proyek dan daerah non proyek tentang variabel bebas karakteristik wanita, karakteristik balita dan variabel kontrol menyusui ASI dan imunisasi, maupun variabel terpengaruh kejadian penyakit ISPA pada anak balita. Analisis secara bivariate dengan tabulasi silang variabel karakteristik latar belakang wanita dengan kejadian penyakit ISPA, terutama tingkat pendidikan wanita yang tidak sekolah atau tidak tamat SLTP, daerah tempat tinggal di perdesan, dan umur melahirkan antara 14-22 tahun. Sedang tabulasi silang antara karakteristik latar belakang anak balita dengan kejadian ISPA menunjukkan adanya hubungan yang bermakna pada anak yang mendapat vitamin A dosis tinggi, imunisasi lengkap dan pola menyusui. Hubungan yang nyata antara variabel bebas dengan variabel terpengaruh terlihat baik di daerah proyek SMPFA maupun daerah non proyek. Analisis multivariate menunjukkan bahwa variabel karakteristik latar belakang wanita dan anak balita secara bersamaan ternyata tidak mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada anak balita di daerah proyek SMPFA. Sedang analisis regresi logistik untuk daerah non proyek menujukkan bahwa secara bersamaan variabel karakteristik wanita dan anak balita yang mempengaruhi kejadian ISPA secara bermakna adalah daerah tempat tinggal di perdesaan dan umur anak kurang dari 12 bulan.
Sumber : Trintrin Tjukarni dan Mudjianto, Analisis Lanjut SM-PFA: Hubungan Pola Menyusui Dan Imunisasi Dengan Morbiditas Anak (Pnemonia) , BKKBN, 2004

30

28. HUBUNGAN ASUHAN PERAWATAN KEHAMILAN DAN PASCA PERSALINAN DENGAN KOMPLIKASI KEHAMILAN DAN PERSALINAN

Untuk melihat hubungan antara komplikasi kehamilan dan atau persalinan dengan variabelvariabel lainnya, maka setiap katagori variabel tersebut akan dilihat seberapa besar komplikasi tersebut terjadi pada populasi wanita atau responden tersebut baik di wilayah SM-PFA maupun Non-SM-PFA. Penggunaan data Non SM-PFA, yaitu di luar 10 kabupaten proyek SM-PFA di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur ditujukan untuk lebih mempertajam analisis sehingga diharapkan dapat menjawab tujuan analisis yang telah ditetapkan. Hasil analisis penelitian ini, menyimpulkan bahwa : 1) Untuk beberapa hal, terdapat ketidak homogenan data karakteristik responden antara wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA, terutama untuk karakteristik, misalnya tempat tinggal responden, pendidikan, dan indeks kesejahteraan ; 2) Dalam kurun waktu 1997 s/d 2002, ditemukan sebanyak 34 persen ibu yang pernah hamil dan bersalin mengalami komplikasi, sementara di wilayah non SM-PFA relatif lebih tinggi, yaitu sebesar 41 persen. Bila dilihat dari kecenderungan (tren) kejadian komplikasi di kedua wilayah ini menunjukkan hasil yang sedikit berbeda, dimana di wilayah SM-PFA cenderung meningkat sementara di wilayah non SM-PFA cenderung menurun. Lonjakan komplikasi untuk wilayah SMPFA terjadi pada tahun 2000 (meningkat jadi 22,8 persen), kemudian turun menjadi 16 persen pada tahun 2001 dan meningkat kembali menjadi 22,5 persen. Begitu pula di wilayah non SMPFA berfluktuasi, tapi tidak begitu mencolok ; 3) Diantara karakteristik latar belakang individu yang mempunyai hubungan dengan komplikasi kehamilan dan atau persalinan di wilayah SMPFA adalah pekerjaan ibu. Sementara di wilayah non SM-PFA, pendidikan ibu menunjukkan adanya hubungan ; 4) Karakteristik program, yaitu mengenai peran petugas untuk memberikan KIE tentang tanda-tanda komplikasi kehamilan dan persalinan menunjukkan hubungan yang signifikan di wilayah SM-PFA (p=0,00 ; OR=1,62) maupun non SM-PFA (p=0,02 ; OR=1,62). Sedangkan informasi rujukan untuk pertolongan komplikasi menunjukkan adanya hubungan yang berarti hanya di wilayah non-SM-PFA (p=0,003 ; OR=4,130) ; 5) Hubungan antara asuhan perawatan antenatal dengan komplikasi kehamilan dan atau persalinan, di wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA terlihat bahwa : Petugas ANC mempunyai hubungan yang signifikan (SM-PFA : p=0,000 ; OR=4,78, non SM-PFA :p=0,00 ; OR=0,07). Tempat pemeriksaan ANC ternyata memiliki hubungan yang bermakna dengan komplikasi (SM-PFA, p=0,010 ; OR=1,65 ; non SM-PFA 0,012 ; 0R=0,47) ANC sesuai standar 5T menunjukkan hubungan yang signifikan di wilayah SM-PFA (p=0.002 ; OR=1,36) Mendapatkan suntikan TT, juga memperlihatkan hubungan yang signifikan di wilayah SMPFA (p=0,000 ; OR=1,54). Sementara hubungan antara perawatan persalinan dan pasca persalinan dengan komplikasi kehamilan dan atau persalinan, di wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA terlihat bahwa : Penolong persalinan, memiliki hubungan yang bermakna dengan komplikasi dikedua wilayah (SM-PFA=0,00 ; OR=0,59; Non SM-PFA=0,006; OR=0,67) Tempat persalinan memiliki hubungan yang bermakna dengan komplikasi (p=0,00; OR=0,58) di wilayah SM-PFA. Tempat pemeriksaan masa nifas menunjukkan adanya hubungan yang bermakna di wilayah SM-PFA (p=0,00; OR=0,56)

31

Pemberian vitamin A juga memperlihatkan hubungan yang bermakna baik di wilayah SMPFA maupun non SM-PFA (SM-PFA:p=0,00;OR=0,70; Non SM-PFA: p=0,007; OR=0,71). Dari hasil logistic regresi, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komplikasi Kehamilan dan atau Persalinan di wilayah SM-PFA, secara berurutan dari yang paling tinggi ke rendah adalah: petugas pemeriksa ANC (OR=10,04); Pemeriksaan sesuai dengan standar 5T (OR=1,819); Diberi tahu tanda-tanda komplikasi (OR=1,593); Status Pekerjaan Ibu (OR=1,250), Pengetahuan komplikasi persalinan (OR=0,522); sedangkan di wilayah non SM-PFA, terdapat: 4 (empat) variabel yang secara berurutan dari yang tertinggi adalah: Wanita yang pernah mengalami keguguran (OR=2,576), urutan anak lahir (OR=1,865); Pemeriksaan sesuai dengan standar 5T (OR=0,626); Diberitahu kemana mencari pertolongan komplikasi (OR=0,317).

Sumber : Hadriah Oesman dan Rindang Ekawati, Hubungan Asuhan Perawatan Kehamilan Dan Pasca Persalinan Dengan Komplikasi Kehamilan Dan Persalinan , BKKBN, 2004

32

29. HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA DENGAN KEHAMILAN 4-TERLALU


Analisis data SM-PFA tahun 2002 bertujuan untuk diketahuinya hubungan antara karakteristik dengan kehamilan empat terlalu (4T) di wilayah SM-PFA dan Non SM-PFA, dan faktor lain yang mempengaruhi hubungan tersebut. Sampel (responden) adalah wanita berstatus kawin (PUS) yang memiliki anak. Secara keseluruhan jumlah sampel adalah 1868 orang ibu. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kuantitatif berdasarkan analisis univariat, bivariat dan multivariat. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa secara keseluruhan di kedua wilayah proporsi kehamilan empat terlalu adalah 1,5 persen. Proporsi kejadian empat terlalu lebih besar di wilayah SM-PFA (1,7 persen) dibandingkan di wilayah Non SM-PFA (1,3 persen). Gambaran karakteristik kehamilan empat terlalu adalah umur <20 atau >35 tahun (31,6 persen), jumlah kehamilan 4 kali atau lebih (32,1 persen), jarak kelahiran <24 bulan (9,6 persen) pada wilayah SM-PFA. Sedangkan umur <20 atau >35 tahun (33,1 persen), jumlah kehamilan 4 kali atau lebih (22 persen), jarak kelahiran <24 bulan (12,9 persen) pada wilayah Non SM-PFA. Analisis bivariat antara variabel karakteristik yang berhubungan secara signifikan (p<0,05) dengan kehamilan empat terlalu adalah urutan kelahiran anak, umur pertama kali kawin, serta indeks kesejahteraan pada wilayah SM-PFA. Sedangkan pada wilayah Non SM-PFA adalah urutan kelahiran anak. Variabel kovariat yang berhubungan secara signifikan (p<0,05) dengan kehamilan empat terlalu adalah kehamilan yang diinginkan, asuhan kehamilan (ANC), kesertaan ber-KB pada wilayah SM-PFA. Sedangkan pada wilayah Non SM-PFA adalah tidak ada variabel kovariat yang berhubungan secara signifikan (p<0,05) dengan kehamilan empat terlalu. Pada analisis multivariat, hubungan antara karakteristik dengan kehamilan empat terlalu yang dipengaruhi oleh variabel kovariat menunjukan bahwa pada wilayah SM-PFA, diperoleh hubungan yang signifikan (p<0,05) antara umur pertama kali kawin dengan kehamilan empat terlalu setelah dikontrol dengan variabel asuhan kehamilan (ANC). Sedangkan pada wilayah Non SM-PFA diperoleh hubungan yang signifikan (p<0,05) antara indeks kesejahteraan dan tempat tinggal dengan kehamilan empat terlalu setelah dikontrol dengan variabel asuhan kehamilan (ANC). Berdasarkan analisis tersebut, terdapat kecenderungan variabel asuhan kehamilan (ANC) merupakan faktor yang dominan pada hubungan antara karakteristik ibu dengan kehamilan empat terlalu baik pada wilayah SM-PFA maupun pada wilayah Non SM-PFA. Untuk menghindari kehamilan empat terlalu, perlu peningkatan penyuluhan (KIE) dengan strategi yang tepat pada ibu-ibu PUS dan pasangannya tentang materi kehamilan empat terlalu. Disamping itu, perlu menekankan kembali betapa pentingnya asuhan selama kehamilan (ANC) bagi ibu PUS, bahkan kualitas ANC baik ketepatan waktu dan frekuensi ANC maupun tindakan ANC. Selanjutnya perlu kiranya analisis lanjutan tentang kehamilan empat terlalu dengan memperhatikan variabel antara lain jenis pekerjaan, kualitas asuhan kehamilan (ANC) termasuk ketepatan waktu dan frekuensinya, kontak dengan petugas, dan akses dengan media massa serta ASI eksklusif.
Sumber : Maria Anggraeni dan Rahmadewi, Hubungan karakteristik Wanita dengan Kahamialn 4 Terlalu, BKKBN, 2004

33

30. HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN DENGAN KELUHAN KESEHATAN PADA PESERTA KB DI PROVINSI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR

Analisis lanjut dengan data SDKI 2002-2003 bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan, tingkat kesertaan KB, gambaran kualitas pelayanan KB di kabupaten SMPFA dan bukan SMPFA di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasil analisis menunjukkan bahwa karakteristik kedua wilayah tidak ada perbedaan yang bermakna. Upaya peningkatan pengetahuan dan promosi tentang KB telah menunjukkan hasil memuaskan dimana pengetahuan tentang cara KB mencapain 98 persen. Tetapi jika dilihat dari jenis alat/cara KB persenatse pengetahuan wanita di wilayah SMPFA relatif lebih rendah daripada di wilayah bukan SMPFA. Analisa logistik menunjuukan bahwa jenis kontrasepsi yang dipakai, kunjungan petugas eksehatan, tempat tinggal dan wilayah proyek ada hubungan yang bermakna dengan adanya keluhan masalah kesehatan selama pemakaian kontrasepsi. Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal 6 kali lebih besar kemungkinan mendapatkan resiko masalah kesehatan selama pakai kontrasepsi dibandingkan dengan jenis kontrasepsi non-hormonal. Peserta KB yan pernah dikunjungi oleh petugas kesehatan resiko untuk mendapatkan keluhan masalah kesehatan 1.8 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak dikunjungi. Sedangkan pemberian informasi tentang masalah kesehatan yang mungkin timbul selama pemakaian, informasi cara/alat KB lain selain yang dipakai, informasi upaya yang dilakuakn bila mendapatkan efek samping, tempat tinggal, umur peserta KB, indek kesejahteraan, pekerjaan peserta KB dan jumlah anak tidak menaikkan resiko terjadinya keluhan masalah kesehatan. Disimpulkan bahwa karakteristik latar eblakang wanita kawin di wilayah SMPFA dan bukan SMPFA secara statistik ada perbedaan yang bermakna, kecuali umur dan status pekerjaan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap adanya keluhan masalah kesehetan selama pemakaian KB anatara lain : jenis kontrasepsi, tempat tinggal dan kunjungan petugas. Wanita pemakai kontrasepsi hormonal resiko utnuk mendapatkan masalah 6 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang yang memakai kontrasepsi non-hormonal. Informed choice adalah aspek kunci dari KB. Informasi yang diberikan kepada peserta dan pilihan metoda kontrasepsi menajdi inti dari emlakukan informed choice. Peserta akan mengguankan KB untuk jangka lama jika mereka memilih metodanya sendiri. Untuk meningkatkan kualiats kuncinya adalah memberdayakan para provider untuk melakukan informed choice agar dapat menuju pelayanan yang berkwalitas.

Sumber ; T.Y. Prihyugiarto, Hubungan Antara Kualitas Pelayanan Dengan Keluhan Kesehatan Pada Peserta Kb Di
Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, BKKBN, 2004

34

Você também pode gostar