Você está na página 1de 30

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu penyakit yang dewasa ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. The Third National Health and Examination Survey (NHANES III) melaporkan prevalensi PGK pada penduduk berusia di atas 20 tahun di Amerika Serikat meningkat dari 14.5% pada tahun 1988-1994 menjadi 16.8% pada tahun 1999-20041. Di sisi lain, National Kidney Foundation (NKF) juga mengemukakan bahwa pada tahun 2011, diperkirakan paling tidak terdapat 26 juta jiwa penduduk Amerika dewasa yang menderita penyakit ginjal kronik dan jutaan lainnya dengan resiko untuk mengalaminya2. Di Indonesia, jumlah penderita penyakit ginjal kronik juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan pertumbuhan PGK di Indonesia mencapai sekitar 10% setiap tahunnya dengan insidensi berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk3,4. Angka kejadian PGK yang terus mengalami peningkatan diduga diperantarai oleh karena bertambahnya angka harapan hidup, meningkatnya angka kejadian diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, serta penyakit jantung-pembuluh darah yang semuanya merupakan faktor risiko timbulnya PGK itu sendiri1. Adapun Penyakit Ginjal Kronik merupakan kelainan ginjal berupa kelainan struktural maupun fungsional, dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Dikatakan PGK apabila terjadi penurunan LFG < 60 ml/ menit per 1.73 /m2 luas permukaan tubuh (LPT) selama > 3 bulan5. Dahulu, penyakit ginjal infeksi seperti glomerulonefritis merupakan penyebab utama PGK, namun dewasa ini hipertensi dan diabetes telah menjadi dua penyebab utama penyakit ginjal kronik6. Penyakit ginjal kronik (PGK) dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif. Bila tidak ditatalaksana dengan baik, dapat terjadi penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD). Pasien ESRD harus mendapatkan terapi pengganti ginjal permanen dalam bentuk hemodialisis atau

transplantasi ginjal5. Sebagaimana banyak penyakit kronik lainnya, angka harapan hidup pasien ESRD sangat berkurang. Tanpa transplantasi ginjal, pasien hanya akan mampu bertahan beberapa bulan atau minggu sebelum akhirnya mengalami uremia dan meninggal7. Angka kematian pasien yang menjalani dialisis paling tinggi pada tahun pertama menjalani hemodialisis. Berdasarkan data USRDS (The United States Renal Data System), angka kematian pada tahun pertama dialisis pada tahun 2004 adalah 24,5%, yang setara dengan 17% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kematian pada tahun kedua dan seterusnya8. Oleh sebab itulah, tindakan pencegahan progresi PGK menjadi ESRD menjadi sangat penting. Penatalaksanaan yang tepat terhadap PGK memegang posisi kunci agar tidak terjadi perburukan PGK sampai ke tahap ESRD5. Meski mekanisme yang mendasari progresi penyakit ginjal kronik menuju ESRD sudah dipahami sepenuhnya, pilihan terapi pasien PGK masih sangat terbatas. Akibatnya sampai sekarang, progresi PGK menjadi ESRD masih menjadi salah satu masalah terbesar dalam bidang nefrologi. Meskipun angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEI) sekarang diakui sebagai agen terapeutik yang paling menjanjikan dalam menghambat progresi renal fibrosis, namun baik ACEI dan atau ARBs belum optimal dalam memperlambat progresifitas PGK, sementara itu pilihan terapi yang spesifik masih belum tersedia9. Proses renal fibrosis pada dasarnya merupakan proses kunci yang mendasari progresi PGK menjadi ESRD10. Gambaran histopatologi keparahan fibrosis ginjal berkorelasi kuat dengan menurunnya fungsi ginjal pada pasienpasien PGK11. Dengan demikian, proses renal fibrosis adalah target terapi yang sangat penting dalam penanganan PGK. Yang menjadi masalah adalah kenyataan bahwa patogenesis fibrosis ginjal sangatlah rumit dan melibatkan banyak mediator serta sel. Akibatnya banyak monoterapi atau bahkan terapi kombinasi yang gagal membendung proses fibrosis ginjal ini10. Transforming growth factor-1 (TGF-1) telah lama diketahui memainkan peranan sentral dalam proses fibrosis ginjal melalui suatu proses yang kompleks. Penghambatan TGF- telah terbukti menekan proses fibrosis pada ginjal pada berbagai penelitian. Beberapa mediator diketahui berperan sebagai inhibitor TGF-

1, diantaranya yang paling spesifik adalah Bone Morphogenetic Protein (BMP) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF). Bone morphogenetic proteins (BMPs) sendiri adalah sekelompok faktor pertumbuhan yang berfungsi sebagai sitokin dan berperan dalam berbagai proses metabolisme tubuh 12. Hingga sekarang, dua jenis BMP telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) yakni BMP-2 (Medtronic) dan BMP-7 yang disebut juga Osteogenic Protein/OP-1. Baik BMP-2 maupun BMP-7

menunjukkan potensi terapi jika diberikan pada penderita PGK. Keduanya telah terbukti lebih ampuh daripada enalapril dalam mengurangi dan bahkan menyembuhkan proses fibrosis interstisial ginjal pada berbagai model eksperimen. Selain itu, pengobatan dengan BMP-7 dapat mengobati osteodistrofi ginjal dan mengurangi kalsifikasi vaskular pada uremia13. Di sisi lain, Hepatocyte Growth Factor (HGF) juga terbukti bekerja sebagai antifibrotik yang potensial lewat penghambatan Smad2/3 serta aktivasi SnoN, yang merupakan inhibitor Smad210. Pemberian HGF terbukti mampu mencegah aktivasi myofibroblast dan proses fibrosis pada hewan coba yang mengalami obstruksi ginjal. Lebih lagi sebagai faktor pertumbuhan, HGF telah terbukti mampu menginduksi proliferasi dan diferensiasi selular, serta menginduksi regenerasi jaringan yang mengalami fibrosis. Kemampuan HGF dalam menstimulasi proliferasi epitel tubulus ginjal selama gagal ginjal akut telah diakui. Efek mitogenik HGF pada epitel tubulus renal juga diperkirakan bermanfaat pada PGK, mengingat atropi tubular merupakan gambaran utama fibrosis14. Pemanfaatan terapi kombinasi BMP dan HGF membawa harapan baru dalam penanganan PGK. BMP dan HGF akan menghambat jalur sinyal TGF- yang berperan penting dalam patogenesis fibrosis renal. HGF juga akan menginduksi proliferasi sel-sel ginjal sehingga bersifat spesifik dalam pengbatan fibrosis ginjal pada PGK. Namun yang menjadi masalah, mengingat TGF- merupakan imunosupresan endogen tubuh yang kuat, penghambatan TGF- akan menimbulkan masalah. Tikus percobaan yang mengalami defisiensi reseptor TGF- terbukti meninggal akibat proses inflamasi multifokal10. Untuk mengatasi hal ini, pemanfaatan molekul pembawa obat yang selektif terhadap ginjal diharapkan akan meningkatkan keberhasilan terapi dengan meningkatkan jumlah

obat lokal dalam ginjal serta menghindari interaksi obat dengan organ lain. Franssen dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa low molecular weight

proteins (LMWPs) seperti lysozyme (LZM) dapat dimanfaatkan sebagai molekul pembawa obat yang spesifik terhadap sel ginjal. LMWPs sendiri adalah molekul berukuran sangat kecil dibawah 20 kDa sehingga akan difiltrasi di glomerulus15. Penelitian sebelumnya berhasil menunjukkan LZM dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penghantaran ACE-I ke ginjal16. Dengan demikian pemanfaatan LZM sebagai drug carrier BMP dan HGF akan menjadi agen terapeutik yang spesifik dan mutakhir dalam penatalaksanaan PGK. Dilatarbelakangi oleh

keadaan tersebutlah, kami tertarik untuk mengangkat topik Potensi Pemanfaatan Lysozime Conjugated-Bone Morphogenetic Protein (BMP-2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen Antifibrotik dan Renoprotektif dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana Potensi Pemanfaatan Bone Morphogenetic Protein (BMP2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen

Antifibrotik dan Renoprotektif dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik? 1.2.2 Bagaimana peranan Lysozime Conjugate sebagai drug carrier BMP dan HGF dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik?

1.3

Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui Potensi Pemanfaatan Bone Morphogenetic Protein (BMP2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen

Antifibrotik dan Renoprotektif dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik. 1.3.2 Mengetahui peranan Lysozime Conjugate sebagai drug carrier BMP dan HGF dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.

1.4

Manfaat Penulisan

1.4.1 Memberikan informasi tentang Pemanfaatan Lysozime Conjugated-Bone Morphogenetic Protein (BMP-2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen Antifibrotik dan Renoprotektif dalam

Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik. 1.4.2 Memberikan sumbangsih pemikiran dan bahan pertimbangan bagi peneliti lain yang ingin menggali dan memperdalam lebih jauh tentang terapi Antifibrotik pada Penyakit Ginjal Kronik. 1.4.3 Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran, khususnya dalam bidang Penyakit Ginjal Kronik.

BAB II TELAAH PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan kelainan ginjal struktural atau fungsional, yang ditandai dengan adanya kelainan patologi atau petanda kerusakan ginjal secara laboratorik ataupun radiologik, baik dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang berlangsung > 3 bulan4. PGK memiliki etiologi yang bervariasi dan tiap negara memiliki data etiologi PGK yang berbeda-beda. Di Amerika Serikat misalnya, diabetes melitus tipe 2 merupakan penyebab terbesar PGK, sementara menempati urutan kedua. Di Indonesia, menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2000), glomerulonefritis merupakan 46.39% penyebab PGK. Sedangkan diabetes melitus, insidennya 18,65% disusul obstruksi / infeksi ginjal (12.85%) dan hipertensi (8.46%)5. KDOQI (Kidney Disease outcome Quality Initiatiative) membuat klasifikasi PGK dalam 5 tahap berdasarkan tingkat penurunan fungsi ginjal yang dinilai dengan laju filtrasi glomerulus (LFG). PGK stadium I ditandai dengan LFG 90 mL/menit/1.73 m2. PGK stadium 2 ditandai dengan LFG 60-89 mL/menit/1.73 m2. PGK stadium 3 ditandai dengan penurunan LFG mencapai 3059 mL/menit/1.73 m2 disebut. PGK stadium 4 ditandai dengan penurunan LFG 15-29 mL/menit/1.73 m2. Sedangakan PGK dengan LFG < 15 mL/menit/1.73 m2 dikategorikan end stge renal disease (gagal ginjal) atau stadium 5 yang membutuhkan terapi dialisis atau transplantasi ginjal untuk pengganti ginjal. Sementara itu, NICE (National Institute for Health and Clinical Experience) juga membagi stadium 3 menjadi 3A bila LFG mencapai 49-59 mL/menit/1.73 m2 dan stadium 3B bila LFG 30-44 mL/menit/1.73 m2(4). Tabel 1. Tabel Klasifikasi Penyakit Ginjal kronik17.
Stadium 1 Gambaran Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat GFR (ml/min/1.73 m2) 90

Kerusakan ginjal dengan GFR yang sedikit menurun

60-89

3A 3B 4 5

GFR yang menurun secara moderat

45-59 30-44

GFR yang sangat menurun Gagal ginjal (end-stage renal disease)

15-29 <15

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadangan ginjal (renal reverse) pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % penderita masih belum merasakan keluhan, tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada saat LFG sudah mengalami penurunan hingga 30% mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual dan napsu makan berkurang dan penurunan berat badan. pada LFG dibawah 30% akan memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata seperti anemia, tekanan darah meningkat, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya4. Nilai laju filtrasi glomerulus merupakan parameter terbaik untuk mengukur fungsi ginjal. Nilai ini dianjurkan dihitung dengan rumus CockroftGault atau rumus MDRD (modification of diet in renal disease). Stadium dini penyakit ginjal kronik dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium. Pengukuran kadar kreatinin serum dilanjutkan dengan penghitungan nilai laju filtrasi glomerulus dapat mengidentifikasi pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal.pemeriksaan ekskresi albumin dalam urin dapat mengidentifikasi pada sebagian pasien dengan kerusakan ginjal. Deteksi dini kerusakan ginjal sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan segera, sebelum terjadi kerusakan dan komplikasi lebih lanjut4. Cockroft-Gault : Klirens Kreatinin Wanita) MDRD: Laju Filtrasi Glomerulus = 186 X (Kreatinin serum)-1,154 X (umur)0,203

) X (0,85,jika

X (0,742 jika wanita) X (1,210 jika kulit hitam)

Gambar 1. Inisiasi dan Progresi pada Penyakit Ginjal Kronik18.

Dalam penatalaksanaan penyakit ginjal kronik, hal yang diperhatikan ialah proses perlambatan dari penurunan fungsi ginjal yang akan dinilai melalui kadar serum kreatinin dan laju filtrasi glomerulus. Tidak semua penderita PGK tahap awal akan mengalami perburukan menjadi gagal ginjal. Terdapat ber-bagai faktor yang mempengaruhinya dan intervensi dini terhadap faktorfaktor ini dapat memperlambat progresi PGK ke arah gagal ginja6. Umumnya terapi yang dilakukan berhubungan dengan faktor resiko yang menyebabkan penyakit ginjal kronik seperti berhenti merokok, menurunkan berat badan untuk pasien obesitas, pembatasan konsumsi alkohol, dan konsumsi obat untuk penyakit yang mungkin menyertai PGK seperti hipertensi, dislipidemia, dan penyakit jantung-pembuluh darah19. Namun apabila PGK telah mencapai tahap gagal ginjal/ESRD, maka diperlukan terapi pengganti ginjal permanen dalam bentuk hemodialisis atau transplantasi ginjal untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya5.

2.2 Fibrosis Ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik Terlepas dari etiologi yang mendasarinya, semua pasien dengan penyakit ginjal kronis pada akhirnya akan mengalami penurunan progresif fungsi ginjal. Fibrosis ginjal merupakan penyebab utama dari hal ini20. Fibrosis ginjal juga yang mendasari perkembangan penyakit ginjal kronis (CKD) menjadi end stage renal disease (ESRD)21. Gambaran histopatologi ESRD memperlihatkan proses glomerulosklerosis, vaskulosklerosis, dan fibrosis tubulointerstitial. Dari ketiga hal tersebut, fibrosis tubulointerstitial telah diakui sebagai penanda progresivitas PGK yang paling akurat20. Ginjal yang mengalami fibrosis dengan gangguan

fungsi yang berat akan mengalami gangguan asupan darah pada kapiler peritubuler dan oksigenasi pada daerah tersebut. Walaupun kapiler peritubuler masih utuh, fibrosis interstisial dapat mengganggu asupan oksigen peritubuler. Hal ini disebabkan bertambahnya jarak kapiler dan sel tubulus sehingga mengurangi efisiensi difusi oksigen. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia berkepanjangan akan mengalami gangguan fungsi mitokondria sehingga terjadi defisit energi yang persisten yang akan memicu terjadinya apoptosis22. Proses inflamasi glomerulus dan tubuloinsterstitial diketahui memainkan peranan penting dalam proses fibrosis ginjal pada PGK23. Setelah cedera awal, jaringan ginjal akan mengalami sejumlah proses sebagai upaya perbaikan terhadap kerusakan sel-sel ginjal. Proses ini melibatkan aktivasi resident cell yang akan menyebabkan produksi sitokin-sitokin proinflamatori. Sel-sel inflamasi di glomerulus dan interstitial ginjal yang teraktivasi kemudian akan memproduksi sejumlah molekul termasuk ROS (Reactive Oxygen Species), sitokin

proinflamatori dan fibrogenik. Hal ini kemudian akan menstimulasi sel-sel mesangial, fibroblas, dan epitel tubular ginjal untuk mengadakan suatu proses transisi fenotipik dan menghasilkan sejumlah komponen extra cellular matrix (ECM). Hal yang sama ditemukan pada proses cedera selular ginjal akut, hanya saja kerusakan yang terjadi dalam proses ini dapat diatasi segera lewat regenerasi tubular dan remodelling matriks, sehingga fungsi dan struktur jaringan ginjal dapat kembali seperti semula. Sebaliknya pada proses cedera yang

berkepanjangan, jaringan mengalami maladaptasi menyebabkan produksi berlebihan matriks ekstraselular yang memicu terjadinya scar fibrosis. Hal ini karena pada kondisi kronik setelah cedera berulang, sinyal fibrogenik menjadi menetap dan bahkan semakin diperkuat oleh hilangnya antagonis dari Smad24. Setelah kerusakan terjadi pada ginjal, tergantung pada etiologinya sejumlah molekul seperti albumin, transferin, imunoglobulin, komplemen, growth factors, angiotensin-II (Ang II), sitokin ataupun glukosa pada nefropati diabetik; akan melewati glomerulus dan berinteraksi dengan sel-sel tubulus ginjal. Molekul-molekul ini akan mengaktivasi sel-sel tubular dan mengaktifkan kaskade fibrosis lebih lanjut. Albumin misalnya, akan merangsang produksi sejumlah reactive oxygen species yang menyebabkan aktifnya nuclear factor-B (NF-B)

10

pada sel-sel tubular serta merangsang produksi sejumlah kemokin dan sitokin seperti monocyte chemoattractant protein- 1 (MCP-1), regulated upon activation normal T-cell expressed and secreted (RANTES) dan transforming growth factor (TGF-). MCP-1 and RANTES akan memfasilitasi infiltrasi monosit dan neutrofil ke jaringan ginjal yang kemudian akan semakin memperparah proses fibrosis ginjal lewat produksi sejumlah molekul profibrotik, termasuk ROS dan TGF- 7. Selain itu, hipoksia dan stress oksidatif yang terjadi pada berbagai kondisi patologis yang mendasari PGK juga akan menstimulasi aktifnya berbagai sinyal proinflamasi dan profibrotik pada sel-sel tubulus ginjal25. Penelitian menunjukkan banyak mediator yang terlibat dalam patogenesis fibrosis ginjal, termasuk sejumlah growth factors, sitokin, toksin metabolik, dan sejumlah stress molecule yang bekerja lewat mekanisme yang berbeda. Diantara berbagai molekul tersebut, transforming growth factor-1 (TGF-1) diketahui sebagai mediator kunci dalam patogenesis fibrosis ginjal. Upregulation dari TGF- ditemukan pada semua jenis PGK oleh etiologi apapun. Secara in vitro, TGF- akan bekerja dengan menstimulasi sel-sel mesangial, interstitial fibroblasts, dan sel-sel epitel tubular untuk mengalami aktivasi myofibroblastik serta mengalami transisi menjadi sel-sel fibrogenik penghasil matriks (matrixproducing fibrogenic cells)24.

2.3 Bone Morphogenetic Proteins Bone Morphogenetic Proteins (BMPs) adalah sekelompok faktor pertumbuhan yang juga dikenal sebagai sitokin dan sebagai metabologen12. BMP merupakan anggota superfamili Transforming Growth Factor beta (TGF-), dimana anggota superfamili TGF- lain mencakup sejumlah protein fungsional seperti activins/inhibins, TGF-, growth and differentiation factors (GDFs), mullerian inhibiting substance, Drosophila dpp and Xenopus Vg1, dan lain-lain26. Protein ini pertama kali ditemukan oleh Urist di tahun 1965 dalam percobaannya mengimplantasikan matriks tulang pada tikus untuk merangsang pertumbuhan tulang. Kelompok protein ini telah terbukti memainkan peranan penting sebagai regulator dalam merangsang pertumbuhan, pemeliharaan, serta perbaikan tulang, serta menjadi faktor penentu perkembangan embriologis27.

11

Sebagai anggota superfamili TGF-, BMP bekerja pada kompleks reseptor heteromerik tipe I dan II, yang keduanya merupakan serine/threonine kinase. Reseptor tipe I akan diaktivasi setelah aktivasi reseptor tipe II28. Setelah teraktivasi, reseptor tipe I akan menfosforilasi sejumlah protein efektor intraselular yakni Smad1/5/8, yang akan membentuk kompleks dengan common Smad (Smad4), dan memasuki nukleus untuk menginduksi transkripsi sejumlah gen. Smads adalah sekelompok protein intraselular yang berperan sebagai signal transducing molecule untuk TGF-. Setidaknya 10 protein Smad telah diidentifikasi. Anggota famili Smads telah diklasifikasikan menjadi 3 subtipe, mis R-Smads (Reseptor Smads), common-partner smads (Co-Smads), and inhibitory smads (I-Smads). R-Smads meliputi Smad2 dan Smad3 (yang diaktifkan oleh TGF- dan activins) dan Smad1, Smad5 dan Smad8 (yang secara khusus diatur oleh BMP dan faktor GDF), Smad4 bertindak sebagai Co-Smad, dan Smad6, Smad7 berfungsi sebagai I-Smad untuk TGF-29. Semenjak pertama sekali ditemukan, lebih dari 40 BMP telah diidentifikasi. BMP adalah molekul dimer dengan dua rantai polipeptida yang terdiri dari lebih 400 asam amino yang dihubungkan oleh rantai bi-sulfur dan kebanyakan dari mereka memiliki potensi osteinduction dan pembentukan tulang baru. Saat ini BMPs telah diproduksi secara luas untuk tindakan bedah ortopaedik. Pada tindakan tersebut, BMPs biasanya diaplikasikan pada daerah fraktur lewat implantasi untuk memicu pertumbuhan tulang. Saat ini, tercatat dua produk BMPs sudah disetujui oleh FDA untuk operasi tulang belakang, penyembuhan fraktur dan bedah. Kedua BMP itu adalah sediaan infus BMP-2 dan BMP-7 yang lebih dikenal juga sebagai Osteogenic Protein/OP-113.

Gambar 2. Struktur Molekuler BMP-7 (kiri) dan BMP-2 (kanan)30.

12

Semenjak ditemukan, BMP telah dipelajari secara mendalam untuk mengetahui kemungkinan aplikasinya dalam dunia kedokteran untuk penyakit lainnya. Penelitian terbaru belakangan ini menunjukkan potensi pemanfaatan BMP dalam penatalaksanaan penyakit ginjal kronik (PGK). Baik BMP-7 maupun BMP-2 telah terbukti mampu menghambat dan memulihkan sklerosis glomerulus ginjal pada hewan coba. BMP-7 juga terbukti mampu mencegah proses fibrosis ginjal pada tikus diabetik31,32.

2.4 Hepatocyte Growth Factor Hepatocyte Growth Factor (HGF) merupakan polipeptida multifungsional yang pertama kali ditemukan pada akhir tahun 1980 sebagai protein unik yang memicu ploriferasi hepatosit dan regenerasi liver. Bentuk matur dari HGF mengikat heparin, dan merupakan glikoprotein heterodimer yang terdiri dari sebuah rantai 69 kDa dan sebuah rantai 34 kDa yang disatukan oleh ikatan disulfida. Aktivitas biologisnya diperantarai oleh reseptor c-met, produk dari proto-onkogen c-met yang merupakan anggota dari reseptor tirosin kinase. HGF akan mengikat trigger aktivasi dari reseptor c-met melalui autofosforilasi tirosin14.

Gambar 3. Struktur dan reseptor HGF (kiri) dan Jalur sinyal HGF pada sel ginjal (kanan)14,34.

Hepatocyte growth factor (HGF) ialah faktor pertumbuhan yang multifungsi. HGF dapat memperbaiki kerusakan pada berbagai model penyakit ginjal kronik, termasuk sisa obstruksi unilateral ureter ginjal, dan diabetik

13

nefropati35. Keseimbangan antara TGF- dan HGF memiliki peranan penting dalam menentukan apakah jaringan yang rusak akan melalui proses perbaikan atau fibrogenesis. TGF- telah diakui sebagai penyebab utama dalam patogenesis fibrosis ginjal. Sementara, HGF berperan sebagai anti fibrosis yang melawan aksi TGF-. Melalui berbagai mekanisme, HGF memberi sinyal pada sel ginjal melalui jalur yang efektif untuk mengganggu transduksi sinyal TGF-/Smad. Salah satunya dengan memicu protein kinase B/fosforilasi Akt pada sel ginjal melalui phosphoinositide 3-kinase-dependent pathway, menekan ekspresi -SMA yang dipicu oleh TGF-, memicu ekspresi protein anti apoptosis Bcl-xL, Aktivasi dari Erk-1/2 dan SnoN. Selain itu, TGF juga menyebabkan respon selular melalui seperti tubulogenesis, ploriferasi dan migrasi sel dengan memicu sinyal p85/p110 subunit dari phosphoinositide 3-kinase (PI-3K), kompleks Grb2/Sos/Ras, phospholipase C- (PLC-), dan Gab-114.

2.5 Lysozime Conjugate Drug Carrier Dalam beberapa tahun ini, banyak penelitian yang mencari tahu materi polimer yang dapat di biodegradasi sebagai karier obat dalam berbagai sistem penghantaran obat. Terdapat beberapa karakteristik yang harus dipenuhi dalam memilih senyawa polimer ini yaitu materi harus biocompatible dan dapat di degradasi secara in vivo menghasilkan monomer non toksik, asam laktat, dan asam glikolat lalu rata-rata lama pelepasan dari peptida dapat dikontrol dengan memvariasikan berat molekul dari rasio karier dan ko-polimernya36. Lysozime dipilih sebagai contoh peptida sebab enzim ini sangat tergantung pada struktur tersier untuk menjaga aktivitas enzimnya. Lysozime merupakan rantai polipeptida tunggal dari 129 asam amino yang disilangkan dengan 4 ikatan disulfida. Ia menghidrolisis ikatan (14) antara asam N-acetylmuraminic dan residu Nacetyl-D-glucosamine dalam peptidoglikan juga ikatan antara residu N-acetyl-Dglucosamine dalam chitodextrin. Enzim ini sering dipakai untuk melisis sel bakteri dengan menghidrolisis peptidoglikan pada dinding sel37. Penelitian yang dilakukan oleh Fransen et al mengemukakan bahwa lysozime dapat digunakan sebagai karier obat secara spesifik ke ginjal. Lysozime yang telah terfiltrasi dibawa oleh sel tubulus proksimal melalui reseptor megalin

14

secara endositosis yang diperantarai reseptor. Pada lisosom, protein kemudian didegradasi secara enzimatik menjadi peptida kecil dan asam amino. Dengan mengkonjugasi obat dengan LMWPs seperti lysozime, maka obat akan mengikuti jalur degradasi LMWPs dan terlepas di dalam sel tubulus ginjal setelah degradasi oleh lisosom38.

Gambar 4. Target obat ginjal dengan menggunakan lysozime38.

15

BAB III METODE PENULISAN

3.1

Sifat Penulisan Karya tulis ilimiah ini bersifat kajian pustaka yang menjelaskan mekanisme

kerja Lysozime Conjugated-Bone Morphogenetic Proteins (BMP-2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen Antifibrotik dan Renoprotektif dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.

3.2

Metode Perumusan Masalah Perumusan masalah ditentukan berdasarkan patomekanisme fibrosis ginjal

dan efek inhibisi BMP dan HGF terhadap TGF- pada PGK. Selain itu, juga efeknya dalam melindungi dan merangsang penyembuhan pada ginjal yang mengalami fibrosis. Ruang lingkup permasalahan terletak pada mekanisme kerja dari BMP dan HGF terhadap pencegahan, penyembuhan dan penatalaksanaan fibrosis ginjal pada PGK.

3.3

Kerangka Berpikir Kerangka berpikir yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini

digambarkan pada skema berikut:


Ginjal Normal albumin, transferin, imunoglobulin Cedera selular

AGEs, ROS
Sitokin, Komplemen

BMP dan HGF


Aktivasi TGF-

Aktivasi myofibroblastik sel-sel mesangial, interstitial fibroblasts, dan sel-sel epitel tubular

Regenerasi selular

Fibrosis Ginjal

16

ESRD

Gambar 5. Skema Kerangka Berpikir

Setelah kerusakan terjadi pada ginjal, sejumlah molekul seperti albumin, transferin, imunoglobulin, komplemen, sitokin ataupun advance glycation end products (AGEs) melewati glomerulus dan berinteraksi dengan sel-sel tubulus ginjal. Molekul-molekul ini menyebabkan cedera selular dan aktifasi TGF-. TGF- menstimulasi sel-sel mesangial, interstitial fibroblasts, dan sel-sel epitel tubular untuk mengalami aktivasi myofibroblastik serta mengalami transisi menjadi sel-sel fibrogenik penghasil matriks (matrix-producing fibrogenic cells). Fibrosis ginjal yang berkepanjangan akan menimbulkan kerusakan permanen pada ginjal hingga tahap end stage renal disease (ESRD). BMP dan HGF dapat menghambat aktivasi TGF- sehingga akan menghambat proses fibrosis pada ginjal. Di sisi lain HGF akan merangsang regenerasi selular sehingga dapat memperbaiki kerusakan ginjal yang terjadi akibat fibrosis ginjal pada PGK.

3.4

Metode Pengumpulan Data Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode studi pustaka yang

dilakukan dengan mengumpulkan data-data dari berbagai sumber seperti buku ilmiah, tesis, jurnal ilmiah, majalah dan artikel ilmiah, serta data dari internet. Data-data tersebut dikaji dan dipilih berdasarkan teknik critical apraissal yakni validitas, hasil, dan relevansinya dengan kajian tulisan yang akan dibahas.

3.5

Metode Analisis dan Pemecahan Masalah Metode analisis data pustaka dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:

1.

Metode eksposisi, yaitu dengan memaparkan data dan fakta yang ada sehingga pada akhirnya dapat dicari korelasi antara data-data tersebut.

2.

Metode analitik, yaitu melalui proses analisis data atau informasi dengan memberikan argumentasi melalui berpikir logis dan yang selanjutnya diambil suatu kesimpulan.

17

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

4.1 Mekanisme Patogenesis Renal Fibrosis Pada Penyakit Ginjal Kronik Dalam beberapa tahun belakangan ini, TGF- dan jalur ekstra maupun intraselulernya telah menjadi subyek yang paling banyak dipelajari dalam patogenesis fibrosis39. TGF-1 diketahui memainkan peran sentral dalam

timbulnya fibrosis. Pengikatan TGF-1 pada reseptor TGF-1 II (TRII) dapat mengaktifkan kinase terkait reseptor TGF- I (TRI) untuk memfosforilasi Smad2 dan Smad3, yang keduanya merupakan reseptor smads (R-Smads). Smad2 dan diketahui mengalami peningkatan yang berlipat ganda pada berbagai penyakit ginjal baik akut maupun kronik termasuk nefropati diabetes, penyakit ginjal obstruktif, nefropati hipertensi, nefropati terkait obat, dan glomerulonefritis. Banyak gen fibrogenik, seperti (ColIa1, ColIa2, ColIIIa1, ColVa2, ColVIa1, dan ColVIa3) dan inhibitor jaringan MMP-1 (TIMP-1), merupakan target dari sinyal TGF-/Smad3. Dengan demikian, Smad3 diperkirakan menjadi mediator kunci dalam induksi fibrosis oleh sinyal TGF-/Smad40. Sementara Smad2 berperan dalam meningkatkan induksi Smad3 oleh TGF- termasuk dalam fosforilasi, translokasi nuklear, aktivasi promotor Smad3, ikatan Smad 3 ke collagen I promoter (COL1A2) serta produksi matriks kolagen yang diinduksi Smad341. Selanjutnya Smad2 dan Smad3 yang terfosforilasi juga akan mengikat Smad4 dan membentuk kompleks Smads, yang akan bertranslokasi ke dalam inti sel untuk mengatur transkripsi sejumlah protein, termasuk kolagen dan juga inhibitor Smad (I-smad) seperti Smad 6 dan Smad 7. Smad 6 dan Smad7 mencegah penumpukan kolagen berlebihan melalui efek inhibisi terhadap Smad2 dan Smad3 dengan menargetkan TRI dan Smads untuk degradasi melalui mekanisme degradasi ubiquitin proteasome40.

18

Gambar 6. Mekanisme sinyal TGF-/Smad intraselular39.

Sebenarnya terdapat beberapa mediator yang dapat mengaktifkan Smad2 dan Smad3 independen dari TGF-1 dengan berinteraksi dengan jalur sinyal lain seperti jalur sinyal mitogen-activated protein kinase (MAPK) dan memainkan peran dalam proses-proses patofisiologi PGK. Dalam kondisi nefropati diabetik misalnya, advanced glycation end-products (AGEs), dapat mengaktifkan Smad2 dan Smad3 independen melalui jalur MAP kinase-bergantung ERK/p38. Hal ini didukung oleh temuan bahwa deplesi reseptor TGF-1 ternyata tidak mampu mencegah proses fibrosis dan aktivasi Smad2 dan Smad3 yang diinduksi AGEs . Mediator lain seperti Angiotensin II pada nefropati hipertensi juga dapat mengaktivasi jalur ERK/p38/MAPK40. Dengan demikian, jalur induksi Smad baik oleh TGF- 1 maupun independen TGF-1 menjadi kunci utama fibrosis.

Gambar 7. Jalur fibrosis dan peradangan ginjal lewat jalur dependen dan independen TGF-/Smad. Garis biru (simbol) menunjukkan jalur regulasi negatif, sedangkan panah merah (simbol) mewakili regulasi positif40.

19

Di sisi lain, ginjal normal sebenarnya memiliki mekanisme perlindungan lewat inhibitor Smad (I-Smad) seperti Smad6 dan 7 yang mencegah fibrosis berkelanjutan pada ginjal yang mengalami cedera. Dalam hal ini, ekspresi dari Smad7 mencegah fosforilasi Smad2/3 baik dengan menurunkan jumlah reseptor TGF- (TRI) maupun Smads itu sendiri melalui jalur degradasi ubiquitin (Ub), sehingga menghambat fibrosis ginjal akibat aktivasi Smad3 oleh TGF-1, AGEs,maupun angiotensin II (Ang II). Selain itu, overekspresi Smad7 dapat menginduksi IB, penghambat NF-kB, sehingga menghambat peradangan ginjal yang diinduksi NF-kB. Dengan demikian Smad7 menempati posisi penting sebagai regulator negatif baik dari peradangan maupun fibrosis ginjal. Smad7 menghambat sinyal TGF-/Smad dengan merekrut ligases E3 seperti Smurf2 dan Arkadia ke kompleks reseptor TGF- atau Smads untuk merangsang degradasi kompleks tersebut melalui jalur degradasi proteasomal-ubiquitin. Selain itu, Smad7 dapat menginduksi ekspresi IB, sehingga mencegah fosforilasi dari NFkB. Yang menjadi masalah, Smad7 umumnya hilang pada ginjal yang mengalami cedera kronik. Sebagai akibatnya terjadi ketidakseimbangan antara TGF-/Smad dan jalur NF-kB sinyal, dan pada akhirnya timbullah fibrosis dan peradangan ginjal40.

Gambar 8. Mekanisme inhibitorik Smad7 terhadap fibrosis dan peradangan ginjal40.

20

4.2 Peranan

Bone

Morphogenetic

Protein

(BMP-2/BMP-7)

dalam

Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik Bone morphogenetic proteins (BMPs) merupakan anggota dari superfamili TGF- . Meskipun protein tersebut pertama kali diidentifikasi dalam kapasitas untuk mempromosikan pembentukan tulang endochondral, namun berbagai penelitian telah berhasil membuktikan bahwa mereka terlibat dalam sejumlah proses penting dalam tubuh termasuk dalam morfogenesis. Selain itu, BMP memainkan peran penting setelah kelahiran dalam patofisiologi beberapa penyakit, termasuk hipertensi pulmonal, osteoporosis, artritis, penyakit serebrovaskular, kanker serta penyakit ginjal42. Saat ini, tercatat dua produk BMP telah disetujui oleh Food and Drug Administration yakni BMP-7 dan BMP-213. Baik BMP-2 maupun BMP-7 telah terbukti berpotensi dimanfaatkakan dalam penatalaksanaan PGK. BMP-7, yang juga dikenal sebagai osteogenic protein-1, adalah protein 35-kDa homodimeric, dan ginjal adalah tempat utama sintesis BMP-7 selama embriogenesis serta pascakelahiran. Delesi genetik BMP-7 pada tikus

menyebabkan kerusakan parah pembentukan ginjal, dan mengakibatkan kematian perinatal. Ekspresi BMP-7 di ginjal orang dewasa terbatas pada tubulus distal dan podocytes dari glomerulus42. Ekkspresi BMP-7 ditemukan mengalami penurunan drastis pada berbagai model penyakit ginjal, termasuk cedera ginjal akut iskemik, fibrosis tubulointerstitial, dan nefropati diabetes43. Baru-baru ini, beberapa laporan menunjukkan bahwa pemberian dosis farmakologis BMP-7 berhasil menghambat dan memperbaiki cedera ginjal akut dan kronis pada model hewan coba. BMP-7 mengahambat fibrogenesis oleh TGF serta transisi epitel mesenkimal (EMT) yang disebabkan oleh TGF-. BMP-7 juga ternyata merangsang dan menginduksi transisi balik mesenkim-ke-epitel secara in vitro, menghambat induksi ekspresi dari sitokin-sitokin proinflamasi, mengurangi infiltrasi ginjal oleh sel inflamasi, dan mengurangi apoptosis sel epitel tubular pada model penyakit ginjal. Secara kolektif, BMP-7 memainkan peran penting dalam memperbaiki proses-proses kerusakan tubulus ginjal pada penyakit ginjal42.

21

Efektivitas BMP-7 untuk penatalaksanaan penyakit ginjal kronik telah dibuktikan oleh sejumlah studi44 yang berhasil menunjukkan secara nyata bahwa pemberian rekombinan BMP-7 dapat melindungi ginjal pada model hewan gagal ginjal akut maupun kronis (CRF).

Tabel 2. Penelitian-penelitian yang mebuktikan efektivitas terapi BMP-7 pada penyakit ginjal akut dan kronik45-49.
Model hewan Spesies Dosis BMP optimum (g/kg) Nekrosis Tubular Akut Obstuksi ureter unilateral Nefritis Lupus Tikus 300 Tikus 300 Tikus 250 Berkurangnya kerusakan ginjal dan percepatan regenerasi sel Penghambatan atropi tubular dan 46 45 Efek dari Terapi BMP Sumber

fibrosis interstitial Penghambatan atropi tubular dan 47

fibrosis interstitial Glomerulonefri tis Akut Nefropati Diabetik Tikus 300 Perbaikan hipertropi sel-sel ginjal, Perbaikan gambaran histopatologi, 49 Tikus 300 Regresi fibrosis interstitial 48

Peningkatan GFR

Sementara itu, BMP-2 yang notabenenya merupakan satu-satunya dari keluarga BMP selain BMP-7 yang telah diakui FDA untuk diproduksi ternyata juga pada berbagai penelitian terbukti menghambat proses fibrosis pada ginjal. Dengan demikian, semakin jelas terdapat keterlibatan kompleks BMP dalam regulasi fibrosis ginjal. Ghosh dkk misalnya, berhasil menunjukkan bahwa BMP2 mampu menghambat efek biologis yang disebabkan faktor pertumbuhan epidermal dalam sel mesangial glomerulus ginjal seperti sintesis DNA50. Piscione dkk BMP-2 menghambat proliferasi fibroblast sel tubulus kolektivus dan merangsang apoptosis seluler. Di tahun 2009, Yang dkk juga meneliti pengaruh

22

BMP-2 pada model fibrosit tikus NRK-49F. Penelitian beliau membuktikan BMP2 dapat mengurangi proteasomal51. fibronectin yang dirangsang oleh TGF-. TGF- juga terbukti menurunkan half life reseptor TGF-1, lewat mekanisme aktivasi

Gambar 9. Pengaruh BMP-2 terhadap produksi fibronektin (A) dan reseptor TGF (B) pada model ginjal tikus coba51. 4.3 Mekanisme kerja BMP-7 sebagai Antifibrotik pada PGK Pada dasarnya, terdapat sejumlah jalur yang dihambat oleh BMP-7 dalam menghambat progresifitas fibrosis dan PGK. Pertama, BMP7 bekerja menghambat fibrogenesis yang diinduksi oleh TGF-, dengan menghambat efek dari TGF- dalam mensupresi degradasi matriks dan meningkatkan Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1). BMP7 melakukan hal ini dengan mengurangi akumulasi Smad3 intranuklear dan menghambat transcriptional up-regulation dari gen target TGF-/Smad3, yaitu domain CAGA-lux. Penelitian juga membuktikan bahwa ketika Smad5 didelesi lewat manipulasi genetik, ternyata kemampuan BMP7 dalam menghalangi aktivasi CAGA-lux dan akumulasi PAI-1 oleh TGF- hilang. Hal ini karena BMP-7 melakukan efek antifibrotiknya dengan perantara aktivasi Smad 5, yang pada gilirannya akan menghambat efek fibrotik dari Smad352. Kedua, BMP-7 dapat meningkatkan kadar inhibitor Smad sehingga menghambat mekanisme aktivasi lebih lanjut Smad pada cedera ginjal yang berkepanjangan. Wang dkk pada penelitian beliau menunjukkan pemberian BMP7 (200 pM) pada hewan coba secara substansial meningkatkan ekspresi Smad6 dalam sel mesangial. Sebaliknya, pemberian TGF- isomolar mengurangi tingkat

23

mRNA Smad6 secara signifikan sampai sekitar 50% di bawah garis batas normal. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa Smad 6 dan Smad 7 merupakan dua inhibitor smad (I-Smad) yang bekerja dengan meningkatkan degradasi dan ubikuitinisasi reseptor TGF-1. Peningkatan Smad 6 akan meningkatkan ubikuitinisasi reseptor TGF- 1 juga kompleks Smad 2, Smad 3 yang bertanggung jawab dalam menimbulkan fibrosis pada organ. Dengan demikian BMP-7 dapat mengganggu fibrogenesis baik yang dependen maupun independen TGF-52.

Gambar 10. Efek BMP-7 dan TGF- terhadap ekspresi Smad 652. Ketiga, BMP 7 menghambat induksi -smooth muscle actin (-SMA), yang merupakan marker dari myofibroblas aktif oleh TGF-1. TGF1 diketahui menyebabkan hilangnya E-cadherin and aktivasi myofibroblastik lewat peningkatan -SMA pada proximal tubule epithelial cells (PTECs) melalui suatu mekanisme yang tergantung Smad2/3. BMP-7 di sisi lain akan mengantagonis efek TGF1 tersebut dalam menginduksi -SMA53.

Gambar 11. Mekanisme kerja BMP-7 dalam menurunkan ekspresi -SMA53.

24

4.4 Mekanisme Kerja BMP-2 sebagai Antifibrotik pada Penyakit Ginjal kronik Sama seperti BMP-7, BMP-2 juga mampu berperan sebagai antifibrotik dengan merangsang degradasi reseptor TGF-. Jika BMP-7 meningkatkan Smad6, BMP-2 bekerja dengan merangsang peningkatan sebagaimana ditunjukkan pada penelitian Yang dkk51.

Gambar 12. Pengaruh BMP-2 terhadap Smad751. Secara umum mekanisme kerja BMP-2 dapat dijelaskan seperti pada gambar berikut51.

Gambar 13. Mekanisme antifibrotik BMP-2 (p: Fosforilasi; U: ubiquitinisasi; ECM: Matrix Ekstraseluler)51

25

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, transduksi sinyal TGF-1 tergantung pada sejumlah Smads yang bekerja mentransduksikan stimulus ekstraseluler ke dalam inti. Setelah dirangsang TGF-1, Smad2/3 yang terfosforilasi akan membentuk kompleks dengan Smad4, dan mengalami terlokalisasi dalam inti sel, untuk mengaktifkan sejumlah gen terkait fibrosis. BMP-2 mengantagonis fibrosis seluler yang disebabkan oleh TGF-1dengan meningkatkan TGF- RI melalui polyubiquitination dan degradasi proteosomal. Hal ini diperantarai oleh aktivasi Smad7 sebagaimana terlihat pada gambar51. Dengan demikian, jika BMP-7 dan BMP-2 dikombinasikan efek antifibrotik yang dihasilkan akan sangat meningkat, mengingat dua Smad yang bekerja sebagai inhibitor yakni Smad 6 maupun Smad 7 keduanya diaktifkan.

4.5 Peran dan Mekanisme Kerja HGF dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal kronik Dalam tatalaksana fibrosis ginjal, HGF berperan sebagai agen mitogenik pada sel renal tubulus ginjal, podosit, dan sel endotelial. HGF memberikan respon morfogenik seperti induksi percabangan pada tubulogenesis di sel epitel ginjal. Pada ginjal normal, HGF diekspresikan dalam sel intertisial, sel endotelial, makrofag, dan sel mesangial. Delesi genetik HGF pada tikus glomerulonefritis telah terbukti mempercepat akumulasi ekspresi TGF- dan apoptosis tubular. Sebaliknya, administrasi protein HGF kepada tikus tersebut menekan ekspresi TGF- dan mencegah fibrosis ginjal dan gagal ginjal kronik33,34.

Gambar 14. Peran HGF dan TGF pada patogenesis PGK34.

26

Sementara dalam proses penyembuhan disfungsi renal, injeksi HGF bekerja melalui sistem feedback tubuloglomerular dengan pertumbuhan tubulus pada sisa nefron yang masih utuh. Selain itu, HGF juga secara signifikan menghambat ekspresi -SMA, komponen matriks interstisial, dan reseptor tipe I nya. Aktivitas pro survival dari HGF diperantarai oleh mekanisme yang meliputi dua anggota protein Bcl-2. HGF akan memicu fosforilasi Akt kinase pada sel epitel tubulus melalui jalur PIK-dependent. Aktivasi Akt memicu fosforilasi Bad sehingga menginaktivasi protein pro apoptosis sementara HGF dapat juga memicu ekspresi anti apoptosis protein Bcl-xL14.

Gambar 15.Mekanisme yang mendasari penghambatan fibrosis ginjal yang diperantarai HGF14.

HGF juga berperan menghambat sinyal TGF- dengan

mengganggu

sinyal Smad. HGF akan mencegah translokasi dari Smad 2/3 yang terfosforilasi dengan cara memotong transduksi sinyal Smad sedangkan pada sel mesangial dan sel epitel tubulus, HGF akan meningkatkan jumlah ko-represor transkripsi Smad seperti TGIF dan juga SnoN. TGIF akan mengikat ke Smad dan merusak kemempuannya dalam memulai transkripsi target gen TGF lalu SnoN juga akan mengikat dan mencegah fosforilasi ekspresi gen Smad 2/3 yang terfosforilasi14.

27

Gambar 16. Efek HGF pada berbagai sel ginjal14.

Berbagai

penelitian

telah

membuktikan

efektivitas

HGF

dalam

penatalaksanaan PGK. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Mizuno dkk dengan membandingkan antara kelompok tikus yang diberi injeksi HGF 500 g dengan tikus yang hanya diberikan injeksi salin normal secara subkutan selama 28 hari. Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan HGF dalam mencegah progresi renal fibrosis sebagai mana yang terlihat pada grafik di bawah ini33.

Gambar 17. Efek terapeutik injeksi HGF dalm mencegah progresi PGK33.

4.6 Masalah dalam Pemanfaatan Terapi Kombinasi BMP-HGF dan Pemanfaatan Lysozime Conjugate sebagai Drug Carrier Mengingat blokade sinyal TGF- dan Smad sebagai jalur antifibrotik utama dan fibrosis ginjal merupakan kunci progresivitas PGK menjadi ESRD, BMP dan HGF menjadi dua agen potensial yang dapat dimanfaatkan dalam penatalaksanaan penyakit ginjal kronik. Berbagai penelitian telah menunjukkan efektivitas BMP dan HGF pada penatalaksanaan fibrosis ginjal pada hewan coba. Namun mengingat pemberian dilakukan secara sistemik, dosis yang relatif tinggi harus diberikan untuk mencapai dosis kumulatif pada ginjal untuk menimbulkan efek terapi. Selain itu, administrasi sistemik inhibitor TGF- mungkin

28

menimbulkan efek samping imunologi, karena TGF- memainkan peran penting dalam imunitas tubuh melalui regulasi proliferasi dan diferensiasi limfosit. Jika TGF- dihambat secara total, akan terjadi reaksi inflamasi multifokal

sebagaimana terbukti pada hewan coba. Administrasi senyawa yang bekerja menghambat TGF- karena itu bukan tanpa risiko, bahkan cenderung menimbulkan efek samping berat . Akibatnya, pengembangan inhibitor TGF- yang efektif telah menjadi tantangan selama beberapa dekade belakangan ini. Untuk meminimalisasi efek samping dan meningkatkan efikasi pada sel target, sekarang kita bertujuan untuk menghambat TGF- secara lokal dalam ginjal54. Untuk meminimalkan efek samping dan meningkatkan keberhasilan dalam penatalaksanaan fibrosis ginjal, maka penghambatan TGF- harus dapat dilakukan secara lokal pada ginjal. Pemanfaatan teknologi drug targetting bertujuan untuk mencapai dosis kumulatif lokal yang diinginkan dengan dosis obat yang lebih rendah serta meminimalkan efek samping potensial di organ non target55. Franssen dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa low molecular weight proteins (LMWPs) seperti lysozyme (LZM) dapat dimanfaatkan sebagai molekul pembawa obat yang spesifik terhadap sel ginjal. LMWPs sendiri adalah molekul berukuran sangat kecil dibawah 20 kDa sehingga akan difiltrasi di glomerulus15.Karena LMWPs akan menumpuk di ginjal, konjugasi BMP dan HGF dengan lysozyme dapat digunakan untuk obat yang ditujukan pada ginjal sebagai target pengobatannya. Setelah filtrasi glomerular, konjugat ini diserap oleh sel-sel tubulus proksimal melalui reseptor khusus di tubulus yakni reseptor megalin/gp33057 dan terdegradasi dalam lisosom. Akibatnya molekul BMP dan HGF dibebaskan dari lysozyme, lysozyme akan didegradasi, sementara BMP dan HGF akan dibebaskan dari kompartemen lisosomal dan menyebar ke bagian lain dari ginjal56.

Gambasr 18. Mekanisme LMWP sebagai renal specific drug carrier56.

29

Berbagai penelitian telah berhasil membuktikan efektivitas lysozime sebagai molekul pembawa obat untuk renal targetting drug. Prakash dkk meneliti efek injeksi subkutan dari captopril-lysozyme conjugate, Hasilnya kadar kaptopril intrarenal lebih tinggi daripada kelompok kontrol yang hanya diberi kaptopril bebas. Sementara itu kadar kaptopril ditemukan lebih rendah dalam urin yang menunjukkan bahwa akumulasi ginjal membaik serta peningaktan stabilitas obat di tempat injeksi58. Kok dkk juga melakukan Penelitian sejenis dengan membandingkan farmakokinetik kaptopril yg terkonjugasi lysozyme dengan kaptopril bebas yang tidak terkonjugasi. Hasil penelitian beliau, akumulasi kaptopril di ginjal adalah enam kali lebih tinggi setelah pemberian dalam bentuk terkonjugasi daripada jika diberikan dalam bentuk bebas59.

4.7 Preparasi Lysozime Conjugated BMP (BMP-2/BMP-7) dan HGF Preparasi dan sintesis Lysozime Conjugated BMP (BMP-2/BMP-7) dan HGF dilakukan melalui serangkaian reaksi kimia sebagaimana yang dijelaskan pada penelitian sebelumnya17-22. Pertama-tama lysozyme (100mg, 7 mol) dilarutkan dalam larutan 0.1 M borate buffer pada pH 7.5 dan konsentrasi 20 mg/ml. Lalu, Succinimidyloxycarbonyl--methyl--(2-yridyldithio) toluene (SMPT; 5.4 mg, 14 mol) dilarutkan dalam 0.1 ml acetonitrile dan ditambahkan secukupnya pada larutan lysozyme yang sudah dipersiapkan, kemudian divortex selama 30 menit. Setelah itu, BMP baik BMP-2 maupun BMP-7 dan HGF yang telah dilarutkan dalam 0.1 ml ethanol absolut diteteskan pada lysozime, untuk mencapai homogenisasi larutan ini lalu divortex selama 2 jam. Konjugat yang sudah bersatu disaring lewat cation exchange chromatography dan didialisis pada air dengan suhu 4C. Konjugat tersebut disimpan pada suhu -20C untuk mencapai stabilisasi sempurna.

30

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1

Simpulan

5.1.1 Renal fibrosis merupakan proses kunci yang mendasari progresi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) menjadi end stage renal disease (ESRD). 5.1.2 BMP dan HGF berpotensi untuk dimanfaatkan dalam penatalaksanaan PGK lewat kemampuannya dalam menghambat jalur TGF-/Smad pada fibrosis ginjal dan merangsang proliferasi ginjal sehat.
5.1.3 Untuk meningkatkan efisiensi pengahantaran BMP dan HGF ke sel-sel renal dan menghindari efek samping sistemik, lysozime dapat dimanfaatkan sebagai drug carrier conjugate terhadap BMP dan HGF. 5.1.4 Lysozime Conjugated Bone Morphogenetic Protein (BMP-2/BMP-7) dan

Hepatocyte Growth Factor (HGF) berpotensi menjadi agen terapeutik yang mutakhir dalam penanganan Penyakit Ginjal Kronik.

5.2 5.2.1

Saran Dibutuhkan penelitian lebih lanjut terutama untuk mengetahui sejauh mana efektivitas lysozime conjugated BMP dan HGF pada

penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik 5.2.2 Dibutuhkan pengkajian lebih lanjut mengenai efek samping dan potensi kompikasi dari penggunaan lysozime conjugated BMP dan HGF pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. 5.2.3 Dibutuhkan pengkajian lebih lanjut mengenai cara dan metode yang paling aman dan ideal dalam aplikasi dan pemakaian lysozime conjugated BMP dan HGF dalam penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik. 5.2.4 Perlu dilakukan sosialisasi kepada pemerintah, tenaga kesehatan, penelitidan industri farmasi dunia mengenai potensi pemanfaatan lysozime conjugated BMP dan HGF dalam penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

Você também pode gostar