Você está na página 1de 22

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti.
Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan
penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan
untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Anak dianggap sebagai modal untuk
meninggkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status sosial orang tua.
Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih
hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalah
lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan
dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah.
Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.
1

Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah
SWT mensyariatkan adanya perkawinan. Pensyariatan perkawinan memiliki tujuan
antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab,
menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah.
2

Sebagaimana firman Allah SWT., dalam surat al-Rum ayat 21:

1
Yusuf al-Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 1976), h. 256-158
2
Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. Ke-2 . h.
114
2

;}g`4 gOg-4C-47 up 4-UE
7 ;}g)` 7O^ ~w}4^e
W-EONL7O4g E_^1) EE_4
:4LuO4 LEE14OE` OE;O4O4 _ Ep)
O) ElgO e4CE Og
4pNO-E4-4C ^g
Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendri supaya kamu cendrung dan merasa tentram
kepdanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikin itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir

Di Indonesia, peraturan tentang (hukum) perkawinan diatur dalam UU Nomor
I Tahun 1974 yang selanjutnya secara rinci dilengkapi oleh Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang keberlakuannya diatur dalam INPRES Nomor 1 Tahun 1991. Peraturan di
atas telah menjadi dasar hukum pelaksanaan perkawinan khususnya di Kantor Urusan
Agama.
Akan tetapi pada tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi membuat
keputusan yang sangat kontroversial terkait dengan peraturan di atas. Yaitu berkaitan
dengan status anak di luar nikah. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
VIII/2010 itu sendiri bermula dari permohonan uji materi atas isi undang undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, khususnya pada pasal 43 ayat 1.
Putusan MK tersebut kemudian memunculkan berbagai tafsiran yang saling
bertentangan. Ada sebagiannya yang menuding bahwa Putusan MK tersebut sama saja
dengan melegalkan perzinaan dan kumpul kebo. Tetapi ada pula yang memandangnya
sebagai kemajuan, karena berpihak kepada kepentingan anak dan memberikan ikatan
dan kewajiban kepada orang tua, terutama laki laki untuk tetap bertanggung jawab
terhadap anak hasil hubungan di luar nikah yang sah menurut undang undang tersebut.
3

Selain kontroversi di atas, Putusan MK menyisakan beberapa masalah yang
mesti di selesaikan demi mewujudkan keadilan dan kepastian hukum di dalam
Perkawinan. Diantara polemik yang sampai sekarang belum menemui titik terang
yaitu tentang nasab, waris, nafkah dan perwalian. Melihat kenyataan yang demikian,
penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut kontroversi dan masalah di atas khususnya
yang berkaitan dengan nasab.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan antara lain:
1. Bagaimana status anak di luar nikah setelah adanya Putusan MK?
2. Bagaimana nasab anak yang di lahirkan di luar nikah ditinjau dari Putusan
MK?
C. BATASAN MASALAH
Untuk mengarahkan penelitian ini, maka dalam makalah ini di batasi
3
pada
permasalahan nasab anak diluar nikah, sesuai dengan Putusan MK. Tujuan
pembatasan masalah adalah untuk membatasi masalah yang akan dibahas agar
terfokus pada satu titik pembahasan dan tidak meluber pada hal yang lain.





3
Batasan masalah adalah melihat bagian demi bagian dan mempersempit ruang lingkup sehingga
dapat dipahami betul-betul. Lihat Husin Sayuti, (Pengantar Metodologi Riset Jakarta: Faar Agung, 1989),
h. 28
4

BAB II
PEMBAHASAN

Nasab dalam doktrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini
dapat dilihat dalan sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang
anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada
Nabi, mendapatkan teguran dari Allah SWT. Dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 4-5
yang berbunyi:
4`4. EE_ 747.41gNu1
747.E4 . ^j . -ONNu1-
)_j*.4E 4O- 7O=O^~ .
*.-ELgN ^)
4. Dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak
kandungmua (sendiri).
5. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak
kandung, ini dipahami dari lafaz wama jaala adiya-akum abna-akum. Dan kemudian
dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada
bapak angkatnya. Ini dipahami dari lafaz udu-hum li abaihim.
4

Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda:


Barang siapa menisbahkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia
mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya
surga.
5



4
KHO Sholeh, HAA. Dahlan, MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, tt), h. 385
5
Imam Muslim,Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, tt),h. 52
5



A. Nasab Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Nasab
Istilah nasab secara bahasa diartikan dengan kerabat, keturunan atau
menetapkan keturanan.
6
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi yang
dikemukakan oleh ulama yang dapat disimpulkan bahwasanya nasab adalah
legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu
akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama subhat. Nasab
merupakan sebuah pengakuan syara bagi hubungan seorang anak dengan garis
keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang
anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak
mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab.
Menurut Hazairin, Islam dengan mengacu pada al-Quran dan as-Sunnah
menganut sistem bilateral/parental.
7
Selanjutnya Ulama Fiqh menjadikannya lebih
cenderung patrilineal.
8
Senada dengan pendapat di atas, berkaitan dengan konsep
nasab, Ziba Mir Hosseini menyatakan bahwa seorang anak mengambil nasab dari
kedua belah pihak (ayah dan ibu), akan tetapi penghubungan nasab kepada bapak
lebih dominan daripada kepada ibu. Dalam semua madzhab hukum Islam, makna
paling utama dari nasab adalah menyangkut sisi bapak, yang erat kaitannya dengan

6
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1973), h. 449
7
Memperhitungkan hubungan-hubungan kekerabatan baik melalui laki-laki maupun perempuan
8
Memperhitungkan hubungan-hubungan kekeluargaan melalui laki-laki saja. Oleh karena itu
mengakibatkan bahwa setiap warga masyarakat memperhitungkan semua kerabat ayahnya dalam batas
hubungan kekeluargaan. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran, (Jakarta: Tintamas,
1982), 26
6

legitimasi di mana anak memperoleh identitas hukum dan agamanya.
9
Berdasar
kedua pendapat di atas, tentu saja pembahasan nasab dalam fiqh klasik
sebagaimana yang telah dijelaskan lebih mengarah pada sistem patrilineal.
2. Dasar-dasar Nasab
Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi
disebabkan karena kehamilan disebabkan karena adanya hubungan seksual yang
dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad
nikah maupun melalui perzinaan.
10
Amir Syarifuddin menyebutkannya dengan
kalau nasab kepada ibunya bersifat alamiah, maka (nasab) anak kepada ayah
adalah hubungan hukum; yaitu terjadinya peristiwa hukum sebelumnya, dalam hal
ini adalah perkawinan.
11

Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya,
bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :
1. Melalui Pernikahan Yang Sah
Para ulama fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad
yang sah apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu.
Mereka berdasarkan pendapat tersebut antara lain pada hadist :
) (
anak-anak yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri
(yang melahirkan anak itu) dan bagi pezina adalah rajam
12



9
Ziba Mir Hosseini, Perkawinan dalam Kontroversi Dua Madzhab: Kajian Hukum Keluarga dalam
Islam, terj. Marriage and Trial: a Study of Islamic Family Law, (Jakarta: ICIP, 2005), 168.
10
Wahbah al- Zuhailiy,Op. Cit, h.7247
11
Dr. Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-isu penting hukum Islam kontemporer di
Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 198
12
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Barry, juz XII, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 127
7

Anak yang dilahirkan itu dinasabkan kepada suami ibu yang melahirkan
dengan syarat antara lain :
Menurut kalangan hanafiyah anak itu dilahirkan enam bulan setelah
perkawinan. Dan jumhur ulama menambahkan dengan syarat suami isteri itu
telah melakukan senggama. Jika kelahiran itu kurang dari enam bulan, maka
anak itu dapat dinasabkan kepada suami si wanita. Batasan enam bulan ini
didasarkan pada kesepakatan para ulama, bahwa masa minimal kehamilan
adalah enam bulan.
13

Laki-laki yang menjadi suami wanita tersebut haruslah seseorang yang
memungkinkan memberikan berketurunan, yang menurut kesepakatan ulama
adalah laki-laki yang sudah baligh.
14

Suami isteri pernah bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. Hal ini
disepakati oleh ulama.
15

2. Nasab yang ditetapkan melalui pernikahan fasid
Pernikah fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan
cacat syarat sahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah.
Menurutkesepakatan ulama fiqh penetapan nasab anak yang lahir dalam
pernikahan fasid sama denganpenetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah.
3. Nasab yang disebabkan karena senggama subhat

13
Wahbah al-Zuhaili, op. cit., h.7257
14
Ibid h. 7256
15
Ibid h. 7258
8

Senggama subhat maksudnya terjadinya hubungan seksual antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dalam keyakinannya adalah
isterinya. Nasab disini menjadi diakui bukan karena terjadinya pernikahan yang
sah dan bukan pula karena adanya senggama dalam akad nikah yang fasid dan
bukan pula dari perbutana zina, tetapi karena telah terjadi kesalahdugaan.
16

B. Status Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Islam
Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap
punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas
segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga
ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.
Dalam hal anak diluar nikah ini, penulis membagi ke dalam dua kategori :
a. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam
pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan imam Syafii, anak yang lahir setelah enam
bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya.
Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada
ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di
luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.
17

b. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah
Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya
dengan anak zina dan anak lian, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum

16
Ibid 7256
17
M. Ali Hasan, Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukun Islam di
Indonesia,(Jakarta: Raja wali Press, 1997), h. 81
9

sebagai berikut: (a). tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. (b). tidak ada saling mewaris dengan
bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan. (c).
bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah
itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia
tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.
18

C. Nasab Dalam Hukum Perkawinan Indonesia
Hukum perkawinan di Indonesia adalah segala peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Hukum
perkawinan di Indonesia ini meliputi :
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
3. Kompilasi Hukum Islam
1. Pengertian Nasab
Nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan sebagai
sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena
adanya akad nikah yang sah. Hal ini dapat dipahami dari beberapa ketentuan,
diantaranya pasal 42 dan 45 serta 47 undang-undang perkawinan. Pasal 42
dinyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Pasal 45 (1) kedua orang tua yang dimaksud dalam
ayat (1) ini berlaku sampai anak itu kawin atau anak itu dapat berdiri sendiri.

18
Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit, h. 195
10

Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Pasal
47 (1) anak yang belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan ornag tuanya selama mereka
tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) orang tua mewakili anak tersebut mengenai
perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
19

Selanjutnya pasal 98 dan 99 kompilasi hukum islam. Pasal 98 menyatakan
(1) batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan. (2) orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai
segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. (3) pangadilan agama
adapat menunjuk salah satu kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban
tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal 99 : anak yang sah adalah (1) anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan sah. (2) hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim yang
dilahirkan oleh isteri tersebut.
20

b. Dasar-dasar nasab
Seorang anak secara langsung memiliki hubungan nasab dengan ibunya.
Ini dapat dipahami dari pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 (sebelum adanya
putusan MK) yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

19
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam,(Jakarta: Akademika Presindo, 1995),h. 23-24
20
Ibid 137
11

Penentuan nasab anak kepada bapaknya dalam hukum perkawinan
Indonesia didasarkan pada:
1. Perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya. Setiap perkainan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penetapan nasab
berdasarkan perkawinan yang sah, diatur dalam beberapa ketentuan yaitu:
Pertama, UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal
99.
21

Dapat di pahami dari peraturan peraturan tersebut, seorang anak dapat
dikategorikan sah, bila memenuhi salah satu dari 3 syarat :
a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, dengan dua kemungkinan,
Pertama, Setelah terjadi akad nikah yang sah istri hamil, dan kemudian
melahirkan. Kedua, Sebelum akad nikah istri telah hamil terlebih dahulu, dan
kemudian melahirkan setelah akad nikah.
b. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Contoh, istri hamil
dan kemudian suami meninggal. Anak yang dikandung istri adalah anak sah
sebagai akibat dari adanya perkawian yang sah.
c. Anak yang dibuahi di luar rahim oleh pasangan suami istri yang sah, dan
kemudian dilahirkan oleh istrinya. Ketentuan ini untuk menjawab kemajuan
teknologi tentang bayi tabung.

21
Abdurrahman, Op.Cit. h. 137
12

2. Perkawinan yang dibatalkan
Kompilasi Hukum Islam pasal 76 menyatakan batalnya perkawinan
tidak akan memutuskan hukum antara anak dan orang tuanya. Suatu perkawinan
dapat dibatalkan dengan syarat-syarat sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-Undang Perkawinan pasal 22-28.
D. Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional.
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan
menjadi dua: anak sah dan anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan
UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang
menyatakan : anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. (b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan
dilahirkan oleh istri tersebut.
Kedua adalah anak di luar nikah, yang dimaksud dengan anak luar nikah
adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana
yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional antara lain:
1. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1 (sebelum adanya putusan MK), menyatakan
anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya

13

E. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah institusi kekuasaan kehakiman di
Indonesia memiliki salah satu wewenang untuk melakukan judicial review (uji
materil) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 (UUD 1945). Putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi bersifat
final, tidak memiliki upaya hukum untuk ditinjau kembali. Pada asasnya putusan
hakim tidak boleh didiskusikan apalagi disalahkan, inilah asas yang berlaku secara
universal. Perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut secara mutatis mutandis berlaku
otomatis sebagaimana perubahan undang-undang.
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Permohonan Pengujian Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias
Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono
dengan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Pokok permohonan Para Pemohon adalah mengajukan permohonan pengujian
konstitusionalitas pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Mengenai ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974
tidak bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945, karena mengenai pencacatan
perkawinan yang diatur dalam pasal tersebut menurut penjelasan umum angka 4 huruf
b UU Nomor 1 tahun 1974 hanya berkenaan dengan administrasi perkawinan tidak
menentukan keabsahan perkawinan. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
memenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaan
14

masing-masing. Jadi keberadaan akta nikah sama halnya dengan keberadaan akta yang
lain, seperti akta kelahiran dan kematian.
22

Mengenai keberadaan anak di luar perkawinan (pasal 43 ayat [1] UU Nomor
1 tahun 1974) Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melihat bahwa setiap kehamilan
pasti diawali dengan pertemuan ovum dengan spermatozoa baik melalui hubungan
seksual (coitus) maupun melalui jalan lain sesuai dengan kemajuan teknologi.
Sehingga hubungan anak yang dilahirkan dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya
bukan hanya semata-mata karena adanya perkawinan tetapi juga berdasarkan
hubungan darah anak dengan seorang laki-laki yang dapat dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan dan atau teknologi atau bukti lain yang sah menurut hukum.
Merupakan suatu ketidakadilan jika seorang laki-laki yang telah melakukan
suatu hubungan dengan seorang perempuan terlepas dari tanggung jawab. Apalagi
selama ini anak yang di lahirkan di luar perkawinan mendapat stigma yang tidak baik
di tengah masyarakat. Seorang anak yang seperti itu mesti mendapat perlindungan
hukum dari Negara walaupun status perkawinan orang tuanya masih
dipersengketakan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa bunyi pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 harus dibaca:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

22
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, h. 20
15

menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya.
Dari Putusan MK itu selengkapnya dapat diambil beberapa poin mengenai
tujuan pengubahan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu :
1. Menjamin hak-hak anak untuk mendapat pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan
dan biaya penghidupan, perindungan dan lain sebagainya dari ayahnya
sebagaimana mestinya.
2. Memberi ketegasan hukum bahwa setiap laki-laki harus bertanggung jawab atas
tindakannya dan akibat yang timbul karena perbuatannya itu, dalam hal ini
menyebabkan lahirnya anak. Mereka tidak dapat melepaskan diri dari tanggung
jawab tersebut.
23

F. Tinjauan Putusan MK
a. Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974
Penulis sependapat dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam
mempertimbangkan keberadaan pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974, bahwa
pencatatan perkawinan legal meaningnya adalah sebagai syarat administatif
perkawinan, tidak menentukan keabsahan sebuah perkawinan. Tujuan dari
pencatatan adalah untuk kemaslahatan, dimana dengan adanya pencatatan tersebut
hubungan pernikahan akan mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
Hanya saja pasal tersebut terkesan kurang bertaring, Karena bisa dipahami
bahwa nikah tetap sah tanpa adanya pencatatan. Untuk memberikan taring

23
Putusan MK., hlm. 29-36
16

(kekuatan mengikat) maka redaksinya seharusnya berbunyi: Tiap-tiap perkawinan
hanya dapat dibuktikan keabsahannya setelah dicatatkan menurut peraturan
perundang-undangan sebagaimana telah diakomodir dalam dalam pasal 7 ayat (1)
Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Solusi lain yaitu
dengan menggambungkan pasal 1 dan 2 menjadi satu pasal.
b. Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974
Sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi yang telah kita
kemukakan sebelumnya, pertimbangannya sangat logis dan bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan bagi anak di luar perkawinan tersebut
agar dia mendapat jaminan kehidupan dan tidak lagi mendapat stigma negatif dalam
pergaulan sehari-hari lantaran dosa kedua orang tuanya.
Hal tersebut sesuai dengan kaidah Ushul Fiqh :

Tindakan seorang pemimpin terhadap penyelenggaraan kehidupan rakyatnya
harus didasarkan asas kemaslahatan.

Tetapi penambahan pasal 43 ayat (1) yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi melalui putusannya Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidaklah sebatas dengan hak
perlindungan tetapi memiliki makna yang sangat luas sebagaimana halnya makna yang
melekat pada anak sah.
Secara umum terjadinya pemaknaan yang beragam pada pasal 43 Undang-
undang no 1 tahun 1974 adalah pemakaian term hubungan perdata. Sebab selama ini
pemaknaan hubungan perdata meliputi hubungan hukum, hak dan kewajiban antara
anak dengan ayah dan ibunya yang dapat berupa: (1) hubungan nasab; (2) hubungan
17

mahram; (3) hubungan hak dan kewajiban; (4) hubungan pewarisan (saling mewarisi)
yang merupakan pelanjutan hubungan hak dan kewajiban karena nasab ketika mereka
sama-sama masih hidup; dan (5) hubungan wali nikah antara ayah dengan anak
perempuannya.
Jika yang maksudkan dengan hubungan perdata seperti pemaknaan diatas,
secara otomatis status anak di luar nikah sama dengan anak sah. Akan tetapi
masalahnya tidak sesederhana itu. Dari pasal itulah terjadi berbagai macam penafsiran
yang satu sama lain saling bertentangan.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menegaskan, Putusan MK
tentang anak di luar nikah tidak menyebutkan soal nasab kepada lelaki (yang tidak
menikahi) yang menyebabkan kelahiran anak tersebut. "Amar Putusan MK (anak lahir
di luar nikah) tak berbicara nasab sama sekali."
24

Senada dengan Mahfud MD menurut Hakim Konstitusi Akil Mochtar UU
Perkawinan dan juga Putusan MK, hanya merupakan aturan hukum yang bersifat
umum (lex generalis) dalam mengatur status dan kedudukan anak. Sementara itu, ada
aturan lain yang sifatnya lebih khusus (lex specialis) seperti KUHPerdata dan UU
Peradilan Agama yang dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam.
25

Dari penjelasan di atas, setidaknya ada dua poin penting yang bisa diambil
dari putusan MK. Pertama, hubungan perdata dalam putusan diatas tidak ada kaitanya
dengan nasab. Kedua, berkaitan dengan tujuan melindungi hak anak, MK tidak
membedakan anak di luar nikah baik itu anak dilahirkan akibat nikah sirri dan anak

24
www.gatra.com, Mahfud MD Vonis MK Tak Bicarakan Nasab, 16 Maret 2012
25
www.hukumonline.com, Putusan Mk Tak Bermanfaat Untuk Anak Luar Kawin, 29 maret 2012
18

akibat zina. Kedua poin inilah yang menimbulkan kontroversi. Diketahui kedua poin
tersebut terkesan bertentangan dengan pemahaman yang selama ini berkembang, baik
pemahaman yang dikaitkan dengan peraturan yang berlaku di negeri ini maupun
pemahaman fiqih.
Pengajar Hukum Perdata Universitas Padjadjaran Sherly Imam
Slamet mengaku bingung dengan Putusan MK ini. Menurut dia, di satu sisi MK
mengaku mengedepankan perlindungan hukum dan hak keperdataan kepada anak luar
kawin. Tapi di sisi lain, lanjut Sherly, MK malah menyatakan untuk masalah
penetapan silsilah keturunan dan termasuk masalah waris, diserahkan kepada aturan
yang lebih spesialis seperti KHI dan KUHPerdata. Padahal merujuk pada aturan
hukum Islam dan KUHPerdata, diketahui bahwa status dan kedudukan anak luar
kawin ternyata masih dalam posisi yang tidak beruntung. Lantas dimana perlindungan
keperdataannya kalau nasab-nya masih belum jelas dan juga masih belum berhak atas
harta waris. Padahal masalah nasab dan mewaris itu adalah hak keperdataan
seseorang.
26

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai Putusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUU-VIII/2010 sangat berlebihan, melampaui batas, sembrono dan bersifat over
dosis serta bertentangan dengan ajaran Islam dan pasal 29 UUD 1945. MUI
memandang, Putusan MK tersebut memiliki konsekwensi yang sangat luas, termasuk
mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dan
lelaki yang menyebabkan kelahirannya, dimana hal demikian tidak dibenarkan oleh

26
ibid
19

ajaran Islam. Dalam menanggapi Putusan MK tersebut MUI mengeluarkan Fatwa
MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan
Terhadapnya,menyatakan: Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali
nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
27

Melihat banyaknya penafsiran pasal diatas, terlihat hal tersebut
menggambarkan bahwasanya Anak luar perkawinan dalam pandangan hukum nasional
Indonesia tidak bisa ditetapkan secara global begitu saja. MK semestinya meninjau
kembali penjelasan kriteria anak diluar nikah dan hubungan perdata dalam Putusan
MK tersebut.
Menurut hemat penulis, jika di hubungkan UU Nomor 1 tahun 1974, anak
luar perkawinan memuat dua makna yang secara prinsip berbeda:
a. Anak yang dilahirkan dari hubungan seorang laki-laki yang telah terikat hubungan
perkawinan secara agama dengan seorang perempuan, tetapi tidak memiliki
legalitas disebabkan perkawinan tersebut tidak dicatatkan sesuai dengan ketetuan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Anak yang lahir tanpa pernikahan yang sah, hanya disebabkan hubungan biologis
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan yang
sesuai dengan agama dan kepercayaannnya masing-masing.
Mengingat ketentuan pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, maka
terhadap anak sebagaimana dalam poin a sudah tepat dikatakan bahwa anak tersebut

27
www.eramuslim.com, Berita Nasional Mui Putusan MK Sembrono Mengacak Acak Ajaran
Islam.htm, 13 April 2012
20

memiliki hubungan keperdataan (nasab, perwalian, waris, dan nafkah) yang sempurna
baik dengan ibunya maupun bapaknya sebagaimana yang tertera dalam Putusan MK.
Menurut pendapat penulis, dengan mempertimbangkan aspek perlindungan
anak di luar perkawinan dan keberagaman agama yang ada di Indonesia, maka penulis
memandang bahwa pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 jika diuji dengan UUD
tahun 1945 seharusnya dimbah dengan kalimat dan ditetapkan sesuai dengan agama
dan kepercayaannnya itu.
Berkaitan dengan anak yang lahir tanpa hubungan pernikahan ( Poin b). Agar
anak luar perkawinan tersebut benar-benar mendapat perlindungan hukum, tidak ikut
serta menanggung dosa turunan dari orang tuanya, dalam pasal 43 UU Nomor 1 tahun
1974 mesti di tambahkan satu ayat yang secara khusus mengikat orang tua biologis
anak tersebut untuk bertanggung jawab memberikan pemeliharan dan kepastian dalam
mendapatkan pendidikan serta perlindungan terhadap anak biologisnya. Sehingga
walaupun agama anak atau ayah biologis anak tersebut menentukan tidak ada
hubungan keperdataan antara anak luar perkawinan dengan ayah biologisnya tetapi dia
dibebani kewajiban untuk memberikan pemeliharan dan kepastian dalam mendapatkan
pendidikan serta perlindungan terhadap anak biologisnya sebagaimana maksud pasal
45 ayat (1 dan 2) UU Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak.



21

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Islam menetapkan nasab sebagai legalitas hubungan kekeluargaan
yang berdasarkan hubungan darah, sebagai akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah
fasid, atau senggama subhat. Nasab merupakan pengakuan syara bagi hubungan
seorang anak dengan garis keturunan ayahnya, notabenenya anak tersebut berhak
mendapatkan hak dan kewajibannya dari ayahnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII bertujuan untuk melindungi hak
anak, seperti pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan biaya penghidupan,
perindungan dan lain sebagainya. Hal itu menjawab segala hal yang sering
menyudutkan posisi anak di luar nikah selama ini.
Putusan MK masih menyisakan PR yang harus diselesaikan. Karena dalam
Putusan MK ada dua term yang yang penjelasanya berbeda dengan pemahaman
masyarakat umum selama ini, yaitu hubungan perdata dan anak di luar nikah.
Perlu adanya penjelasan lebih lanjut agar tidak terjadi kontroversi dalam penafsiran
ayat tersebut agar penerapan aturan dapat seragam.
B. Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Oleh sebab itu kritik yang membangun sangat dibutuhkan demi
sempurnanya makalah ini. Semoga nantinya makalah ini bisa bermanfaat bagi semua
pihak dan bisa menjadi sumbangsih bagi perkembangan keilmuan.
22

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Presindo, 1995
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-isu penting hukum Islam kontemporer
di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2002
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran, Jakarta: Tintamas, 1982
Husin Sayuti, Pengantar Metodologi Riset, Jakarta: Faar Agung, 1989
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Barry, juz XII, Beirut: Dar al-Fikr, tth
Imam Muslim,Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, tt
KHO Sholeh, HAA. Dahlan, MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung: Diponegoro, tt
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1973
M. Ali Hasan, Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukun Islam di
Indonesia, Jakarta: Raja wali Press, 1997
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindunagn Anak.
Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1997
www.gatra.com, Mahfud MD Vonis MK Tak Bicarakan Nasab, 16 Maret 2012
www.hukumonline.com, Putusan Mk Tak Bermanfaat Untuk Anak Luar Kawin, 29 maret
2012
www.eramuslim.com, Berita Nasional Mui Putusan MK Sembrono Mengacak Acak
Ajaran Islam.htm, 13 April 2012
Yusuf al-Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: Pt Bina Ilmu, 1976
Ziba Mir Hosseini, Perkawinan dalam Kontroversi Dua Madzhab: Kajian Hukum
Keluarga dalam Islam, terj. Marriage and Trial: a Study of Islamic Family Law,
Jakarta: ICIP, 2005

Você também pode gostar