Você está na página 1de 330

Prof. Dr. Muladi, S.H.

Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia

Editor: Taftazani

DEMOKRATISASI, HAK ASASI MANUSIA, DAN REFORMASI HUKUM DI INDONESIA

Perpustakaan Nasional Indonesia : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Muladi Demokratisasi, hak asasi manusia, dan reformasi hukum di Indonesia/ penulis, Muladi; editor, Taftazani; Jakarta, The Habibie Center, 2002, -viii, 320 hal ; 21 cm. Bibliografi ; hal 313 - 319 Tentang penulis ; hal 368 ISBN 979-96962-1-6

1. Indonesia - Politik dan pemerintahan. I. Judul. II. Taftazani. 320.959.8

DEMOKRATISASI, HAK ASASI MANUSIA, DAN REFORMASI HUKUM DI INDONESIA Penulis: Prof. Dr. Muladi, S.H. Editor: Taftazani Desain sampul dan layout: Nink Hanibal Hak cipta ada pada penulis. Tidak boleh direproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penulis Diterbitkan oleh The Habibie Center, Jakarta Cetakan Pertama, 2002

Kata Pengantar

Untuk kesekian kalinya penulis memberanikan diri untuk mengkompilasi tulisan-tulisan yang berisi pemikiran-pemikiran yang telah penulis kemukakan dalam pelbagai forum baik di dalam maupun di luar negeri, dalam bentuk pelbagai makalah seminar, diskusi, ceramah, pidato ilmiah, wawasan akademis menyongsong suatu draft akademis suatu rancangan undang-undang, bahan kuliah pasca sarjana, dan sebagainya. Tentu saja hal ini dilakukan setelah merumuskannya secara sistemik dan menerjemahkannya dalam bahasa yang lebih populer. Sebagian besar substansi buku ini berkaitan dengan masalahmasalah pembaharuan sistem hukum, baik yang bersifat struktural, substantif, maupun kultural; persoalan-persoalan reformasi hukum dalam kerangka demokratisasi hukum yang merebak di Era Reformasi; masalah-masalah demokrasi dan HAM baik dalam konteks nasional maupun internasional sebagai refleksi proses globalisasi; dan masalah-masalah aktual lain seperti terorisme, tindak pidana ekonomi kejahatan transnasional, dan sebagainya. Tema-tema penulisan tentu saja tidak bebas nilai, bahkan cenderung value loaded sekalipun sudah diusahakan untuk bersifat obyektif. Tidak bebas nilai dalam arti bahwa sikap, persepsi, dan bahkan filosofi dimensi penulisan akan terpengaruh oleh latar belakang pengalaman penulis dalam meniti jenjang karir di masyarakat. Penulisan materi tentang pembaharuan hukum banyak dipengaruhi pengalaman penulis sebagai spesialis hukum pidana dalam rangka membantu Badan Pembinaan Hukum Nasional iii

Departemen Kehakiman merumuskan pelbagai rancangan undangundang. Hal ini juga merupakan refleksi pengalaman empiris penulis semasa menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara RI (1988-1999) serta mantan hakim agung MA (2000-2001) yang juga banyak bergelut dengan pelbagai proses pembentukan perundang-undangan, penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Semasa menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara, penulis merasa memperoleh blessing in disguise yang sangat besar, karena justru dalam jabatan yang relatif singkat tersebut, penulis secara langsung terlibat sebagai stakeholder untuk menyelesaikan puluhan produk perundang-undangan sebagai tuntutan reformasi. Perundang-undangan tersebut berkaitan dengan perundang-undangan di bidang sosial politik, HAM, ekonomi pasar dalam rangka proses globalisasi, pemberantasan KKN, yang semuanya merupakan bagian usaha sistematis bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi sebagai tuntutan reformasi. Khusus di bidang HAM, penulis mengalami masa-masa yang cukup dramatis, sebagai anggota KOMNAS HAM (sub divisi pemantauan) tahun 1993-1998, karena harus mempromosikan dan melindungi HAM di masa pemerintahan Orde Baru yang represif dengan segala dinamika dan romantikanya. Dalam hal ini pula semasa menjadi Menteri Kehakiman, penulis ditunjuk sebagai Ketua Delegasi RI untuk pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) di Roma (1998) yang kemudian menghasilkan Statuta Roma 1998. Penulis juga terlibat langsung dalam penyusunan RUU Pengadilan HAM dan sosialisasinya dalam bentuk pelbagai penataran. Kedudukan sekarang sebagai Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center merangkap sebagai Ketua Pusat Demokrasi dan HAM akan lebih memperkuat nuansa di atas. Selanjutnya sepanjang berkaitan dengan sistem peradilan pidana, hal ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman penulis semasa menjabat sebagai koresponden nasional RI pada Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, Ecosoc (1991-1998) yang banyak bergelut dengan instrumen-instrumen internasional pencegahan kejahatan dan sistem peradilan pidana.

iv

Pembahasan substansi yang banyak bersentuhan dengan kehidupan peradilan dan pengadilan yang selalu menggelorakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, sedikit banyak dipacu oleh emosi penulis semasa menjabat sebagai hakim agung pada Mahkamah Agung RI tahun 2000-2001. Perhatian terhadap relevansi antara hukum, demokrasi dan politik, yang menempatkan baik hukum sebagai variabel dependen maupun sebagai variabel independen banyak dipengaruhi oleh kedudukan penulis baik sebagai anggota MPR (utusan daerah) pada tahun 1992-1997 maupun pelbagai jabatan birokratis di atas. Namun demikian, obyektivikasi penulisan akan selalu menjadi pedoman penulis, sebab sebagai insan yang berasal dari kampus perguruan tinggi, baik sebagai dosen, sebagai mantan ketua jurusan, dekan dan rektor, penulis akan selalu menjunjung tinggi kebebasan akademis (academic freedom) dan budaya akademis (academic culture) yang akan menjunjung tinggi kebenaran (truth) dan bukan pembenaran (justification). Harapan penulis, Insya Allah penulisan buku ini akan bermanfaat bagi pemerhati hukum khususnya, dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, Oktober 2002 Penulis,

Muladi

Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................................... Daftar Isi ...................................................................................

iii vii

Bagian pertama: Reformasi Hukum, dan Hak Asasi Manusia


Peranan Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman di Era Reformasi ....................................................................... Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Penegakan Hukum Paska Reformasi .................................................................. Reformasi Hukum dan Proses Demokratisasi di Indonesia ...... Peranan Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu ................................................................... Analisis Gijzeling dari Sisi Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia .............................................................. Usaha Keluar dari Lingkaran Abu-abu di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia ....................................................... Diskriminasi Terhadap Wanita, Suatu Perspektif Hak Asasi Manusia .............................................................. Perlindungan Wanita, Terhadap Tindak Kekerasan ................. Beberapa Catatan Tentang Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia ............................................................................... Asas Legalitas dan Pengadilan Hak Asasi Manusia .................. Perspektif Hak Asasi Manusia Tentang Ilmu dan Etika Keilmuan .................................................................... Format Penyelenggaraan Negara di Bidang Pertahanan dan Keamanan ............................................................................ Proses Aktualisasi Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia ... vi 3 21 28 34 41 49 54 60 67 73 78 84 91

Bagian kedua: Faktor-faktor Global dan Ketegangan Hukum Nasional


International Criminal Court Sebagai Karya Agung Antar bangsa ........................................................................ Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan dan Perlindungan hukum Dalam Era Globalisasi ....................... Hukum Positif Indonesia Dalam Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara ...................................................... Korporasi Transnasional dan Pengaruhnya Terhadap Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia .................................. Penanggulangan Kejahatan Ekonomi dan Kejahatan Profesi dalam Mengantisipasi Era Globalisasi ................................. Penerapan Tanggungjawab Korporasi Dalam Hukum Pidana .................................................................... Hakekat Terorisme dan Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi ........................................................................ Aspek Internasional dari Kebijakan Kriminal Non Penal .......... Beberapa Catatan Tentang Hukum Pidana Internasional ......... Tindak Pidana Perlindungan Terhadap Konsumen Sebagai Mala Per Se .............................................................. Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime.................................. 109 120 129 138 151 157 165 182 190 195 200

Bagian ketiga: Sisi-sisi Problematik Hukum di Indonesia


Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggungjawab ............................................................... Refleksi dan Rekonstruksi Wajah Hukum Indonesia ................ Kontroversi Seputar Sistem Pembuktian Terbalik ..................... Politik Hukum Pidana, Dasar Kriminalisasi dan De Kriminalisasi, serta Beberapa Asas Dalam RUU KUHP .. Politik, Hukum, dan Politik Hukum (I) .................................... Politik, Hukum, dan Politik Hukum (II) ................................... Politik, Hukum, dan Politik Hukum (III) .................................. 219 230 242 251 258 263 269 vii

Polisi dan Persepsi Keadilan ..................................................... Pertanggungjawaban Komando ............................................... Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Penyuapan Saksi Oleh Pengacara ............................................................................ Proses Peradilan In Absentia: Konteks dan Permasalahannya ... Struktur Kekuasaan Lembaga Pengadilan dan Kejaksaan ........

274 280 293 299 306

Daftar Pustaka .......................................................................... 313 Tentang Penulis ........................................................................ 320

viii

bagian 1
REFORMASI HUKUM, DAN HAK ASASI M A N U S I A

Peranan Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman di Era Reformasi


Pendahuluan Setiap warga negara yang sadar politik, pasti akan tertarik dan menaruh perhatian untuk mengkaji dan memantau implementasi Garisgaris Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Tap MPR No. IV/MPR/ 1999, yang diwarnai oleh tekad bangsa Indonesia untuk mengatasi krisis multi dimensi melalui reformasi di segala bidang kehidupan. Di dalam GBHN tersebut kebijakan di bidang hukum dirumuskan sebagai bagian integral dari seluruh kebijakan sosial, yang pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh warganya di pelbagai bidang kehidupan. Kondisi umum bidang hukum yang diidentifikasikan pada saat GBHN dirumuskan terasa cukup memprihatinkan, sebab kondisi tersebut telah dipandang sebagai penyebab berbagai pelanggaran HAM dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan kesewenangwenangan yang terjadi selama ini. Identifikasi kondisi umum tersebut secara singkat dapat digambarkan seperti sebagai berikut: Pertama, terdapat perkembangan yang kontroversial. Di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Tetapi di pihak lain peningkatan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan, serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga gagasan tentang perlunya menegakkan supremasi hukum baru pada tingkat retorika belaka, belum dapat diwujudkan secara nyata. Kedua, tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti KKN dan kejahatan ekonomi, 3

keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkahlangkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Terjadinya campur tangan dalam proses peradilan dan tumpang tindih dan kerancuan hukum yang acap terjadi, telah mengakibatkan terjadinya krisis hukum di hampir semua tingkatan. Pembangunan nasional didasarkan atas visi bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan R.I. yang didukung oleh manusia Indonesia yang mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai iptek, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang digariskan dalam GBHN juga menggaris bawahi betapa pentingnya perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM yang berlandaskan keadilan dan kebenaran. Atas dasar kondisi umum, visi dan misi di atas, maka arah kebijakan hukum yang harus dicapai adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya Negara hukum. 2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. 3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai HAM. 4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang bertalian dengan HAM sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk Undang-Undang. 5. Meningkatkan integritas moral dan profesionalisme aparat penegak hukum, termasuk POLRI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif. 4

6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun. 7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. 8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas KKN dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran. 9. Meningkatkan pemahaman, kesadaran, perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM dalam seluruh aspek kehidupan. 10.Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan HAM yang belum ditangani secara tuntas. Untuk selanjutnya dengan cara mengidentifikasi peta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman atau kendala yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, harus segera diajukan pelbagai alternatif pemecahan guna meningkatkan peranan Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lainnya di era reformasi. Kekuatan Derap reformasi yang mengawali lengsernya Orde Baru pada awal tahun 1998 pada dasarnya merupakan gerak kesinambungan yang merefleksikan komitmen bangsa Indonesia yang secara rasional dan sistematis bertekad untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi. Nilai-nilai dasar tersebut antara lain berupa sikap transparan dan aspiratif dalam segala pengambilan keputusan politik, pers yang bebas, sistem pemilihan umum yang jujur dan adil, pemisahan POLRI dan TNI, sistem otonomi daerah yang adil, dan prinsip good governance yang mengedepankan profesionalisme birokrasi lembaga eksekutif, keberadaan badan legislatif yang kuat dan berwibawa, kekuasaan kehakiman yang independen dan impartial, partisipasi masyarakat yang terorganisasi dengan baik serta penghormatan terhadap supremasi hukum. Dalam hal yang terakhir ini (penghormatan terhadap supremasi hukum), di samping keharusan adanya kekuasaan kehakiman yang independen, harus dijunjung pula nilai-nilai sebagai berikut; menjauhi hal-hal yang bersifat fragmentaris (ad hoc) dan mengedepankan 5

pendekatan sistematik, mengutamakan kebenaran dan keadilan, melakukan promosi dan perlindungan HAM, menjaga kesinambungan antara moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil, hukum tidak mengabdi kepada atau berada di bawah kekuasaan politik, sistem hukum yang kondusif untuk terciptanya supremasi hukum, kepemimpinan nasional yang mempunyai komitmen kuat terhadap tegaknya supremasi hukum, konsep kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa dan perasaan hukum masyarakat, proses pembuatan peraturan perundang-undangan, proses penegakan dan pembudayaan hukum yang mempertimbangkan aspirasi suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional, penegakan hukum yang berorientasi pada penyelesaian konflik secara tuntas, perpaduan antara tindakan represif dan preventif, dan perpaduan antara proses litigasi dan non litigasi (alternative dispute resolution). Aktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi tersebut sebenarnya mempunyai basis kultural-historis yang sangat kuat, mengingat negara Republik Indonesia lahir melalui perjuangan fisik yang teramat berat menentang penjajahan. Perjuangan itu mengandung pesan moral untuk senantiasa menegakkan dan mempromosikan nilai-nilai HAM, sebab penjajahan pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) . Mempromosikan dan menegakkan HAM merupakan salah satu elemen utama supremasi hukum, dan supremasi hukum sendiri merupakan salah satu inti nilai demokrasi. Semangat ini dengan jelas tersurat dan tersirat dalam pembukaan UUD 1945. Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machsstaat), serta pernyataan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, mengandung spirit untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, menegakkan prinsip persamaan di depan hukum dan melindungi campur tangan baik yang bersifat internal maupun eksternal terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka mencegah dan menghindari kegagalan pencapaian keadilan. Perlu dicatat bahwa prinsip independensi kekuasaan kehakiman merupakan prinsip yang diakui sebagai salah satu instrumen HAM internasional yaitu UN Basic Principles on the Independence of the Judiciary(1985). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha untuk melakukan 6

reformasi hukum sebenarnya telah terjadi sejak proklamaasi kemerdekaan, khususnya pada saat UUD 1945 disusun. UUD 1945 tidak hanya merupakan sistem normatif hukum dasar semata-mata, tetapi sarat dengan sistem nilai demokratis yang merupakan reaksi terhadap penjajahan yang penuh diwarnai dengan penindasan terhadap nilai-nilai dasar demokrasi dan HAM. Rangkaian langkah reformasi tersebut terus berlanjut pada zaman Konstitusi RIS, UUD 1950 dan setelah kita kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sampai dengan proses amandemen UUD 45 saat ini. Malpraktek, penyimpangan dan distorsi yang terjadi dalam praktek konstitusi biasanya lebih banyak diakibatkan oleh kecerobohan, kebodohan, kemiskinan, kurang pengalaman, kurang kemampuan dan kurang pengetahuan, yang pada akhirnya banyak dimanfaatkan oleh elit-elit politik yang tidak bertanggungjawab, yang berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan memadukan ideologi tertentu yang dianutnya dengan teror sistematis dan hukum yang sudah dikooptasi oleh kekuasaan. Dalam konteks ini dapat dipahami jika muncul apa yang diistilahkan dengan c rimes by government atau top hat crimes, suatu istilah yang melukiskan tentang praktek pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar demokrasi dan HAM yang melibatkan unsur negara atau pemerintah. Setiap tahap pergantian rezim selalu mengandung harapanharapan baru berupa kehidupan yang lebih demokratis dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Jatuhnya Orde Lama yang digantikan Orde Baru, yang ditandai dengan ikutsertanya para teknokrat dari dunia akademis di pemerintahan, pada mulanya membawa angin segar dan harapan baru dalam kehidupan politik di Indonesia. Namun akibat inkonsistensi dalam sikap dan pemikiran dalam menegakkan nili-nilai dasar demokrasi, pada akhirnya Orde Baru terseret dalam praktek-praktek pemerintahan pragmatis dan otoriter. Akibatnya hukum ditundukkan untuk mengabdi kepada sistem kekuasaan represif. Sebagai contoh adalah perundangan UU No. 14 Tahun 1970 yang menggantikan UU No. 19 Tahun 1964. Dalam hal ini masyarakat hukum Indonesia mengharapkan adanya kehidupan hukum yang lebih responsif dan demokratis, karena banyak prinsip-prinsip due process of law yang diadopsi. Namun demikian di sisi lain masih terdapat pula pasal-pasal yang tidak menunjukkan konsistensi, seperti Pasal 11 ayat (1) UU No. 14 7

Tahun 1970 yang memungkinkan campur tangan departemendepartemen teknis (DEPKEH, DEPHANKAM dan DEPAG) untuk mengurus organisasi, administrasi dan finansial badan-badan kehakiman kecuali Mahkamah Agung. Baru dengan UU No. 35 Tahun 1999, setelah melampaui rentang hampir tiga dasawarsa, hal ini secara bertahap dapat dikoreksi. Dalam praktek terbukti bahwa inkonsistensi tersebut dimanfaatkan oleh kekuasaan eksekutif untuk melakukan intervensi ke dalam kekuasaan kehakiman, khususnya dalam kasuskasus bernuansa politik yang diperkirakan baik langsung maupun tidak langsung akan merugikan pemerintah atau kekuasaan. Pengangkatan pimpinan Mahkamah Agung tidak terkecuali selalu direkayasa sehingga dijabat oleh mereka yang direstui penguasa. Demikian pula kehendak politik untuk mempertahankan berlakunya UU No. 11/Pnps/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, dengan cara tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersurat dan tersirat dalam UU No. 5 Tahun 1969, yang pada akhirnya banyak memproduksi ratusan tapol dan napol (Catatan: UU No. 11/Pnps/1963 telah dicabut melalui UU No. 26 Tahun 1999). Contoh lain adalah kegagalan Orde Baru untuk membuat TAP MPRS yang mengatur tentang HAM dengan alasan yang bersifat sangat partikularistik dan cenderung defensif. Selalu saja terbukti bahwa sikap tidak taat asas ternyata membawa bencana bagi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya pada dunia hukum. Selama Orde Baru, HAM sipil dan politik banyak dilanggar dengan alasan untuk menjaga stabilitas politik demi kelancaran pembangunan ekonomi. KKN merajalela, penyalahgunaan kekuasaan meluas, hukum merupakan subordinasi dari kekuasaan politik, dan campur tangan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman sudah menjadi cerita biasa. Beberapa keputusan Mahkamah Agung jelasjelas memperlihatkan pemihakannya terhadap kekuasaan, meski dengan akibat merugikan rakyat kecil. Kebenaran dan keadilan sering dikesampingkan dengan alasan demi persatuan dan kesatuan bangsa, demi Pancasila, demi kepentingan umum, demi asas kekeluargaan dan sebagainyaa, meski semua itu merugikan HAM. Terdapat pula sikap ambivalen akibat pengaruh universal dan global yang mengharuskan penguasa untuk mengadopsi kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, seperti tercermin pada kasus untuk menyebut beberapa 8

diundangkannya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan dibentuknya KOMNAS HAM dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 yang membawa pesan-pesan demokratis (kedudukan Komnas HAM kemudian diperkuat oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM). Maraknya aktivitas pelbagai LSM yang bergerak di bidang studi dan advokasi hukum serta HAM, turut pula memberikan kontribusinya sendiri. Mereka berjuang tanpa lelah menembus kekakuan birokrasi, dibantu oleh tekanan masyarakat internasional yang cukup efektif. Cukup lama kita merasakan bahwa wajah hukum kita berwajah ganda. Tidak dapat disangkal bahwa di samping krisis ekonomi yang dahsyat, sebenarnya langkah-langkah ambivalen tersebut merupakan rahmat tersembunyi (blessing in disguise) dan turut andil dalam kejatuhan Orde Baru. Kekuatan lain yang memberi semangat reformasi hukum adalah proses globalisasi sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi, informatika dan transportasi modern, yang menyebabkan interdependensi antar bangsa semakin tak terhindarkan sehingga mengharuskan terjadinya harmonisasi hukum yang intensif terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional. Harmonisasi tidak hanya melalui ratifikasi terhadap pelbagai konvensi internasional, tetapi juga terhadap sumber-sumber hukum internasional lain yang terbukti dalam praktek telah diterima sebagai hukum, seperti hukum kebiasaan internasional, asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa beradab, dan keputusan pengadilan serta pandanganpandangan penulis yang berkualitas dari pelbagai bangsa yang secara komplementer dapat didayagunakan untuk menegakkan supremasi hukum baik nasional maupun internasional. Dalam hal ini Pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4 memberikan pembenaran bahwa Pemerintah Indonesia juga membawa misi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Bahkan pelbagai deklarasi, resolusi, standard minimum rules, model law/model treaties, code of conduct, guidelines dan hasil-hasil kongres internasional yang sering diselenggarakan oleh organisasi profesi hukum atau NGOs, sering dimanfaatkan untuk acuan harmonisasi hukum. Sebagai contoh, untuk menggambarkan dampak keterlambatan dalam menyesuaikan diri dengan kecenderungan 9

internasional adalah maraknya tuntutan internasional terhadap mereka yang dituduh melakukan pelanggaran HAM berat di Timor Timur pasca jajak pendapat 1998. Ancaman digelarnya international criminal tribunal, karena dipandang tidak memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengadili si pelanggar, mengharuskan kita untuk segera membentuk UU Pengadilan HAM, mengingat PERPU No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM telah ditolak DPR. Melalui pelbagai debat dan polemik, demi atas nama kehormatan bangsa, produk UU Pengadilan HAM yang sesuai dengan standar internasional tersebut memang tidak bisa lain harus ada. Mengingat gerakan reformasi hukum harus mencakup seluruh subsistem hukum (struktur, substansi dan kultur hukum) maka supresmasi tersebut juga akan mencakup pula seluruh aspek yang berkaitan dengan peradilan yang masuk wilayah kekuasaan eksekutif (seperti Polri dan Kejaksaan sebagai penegak hukum), kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan kehakiman). Bahkan aspek sosial yang sifatnya nongovernmental seperti profesi advokasi dan masyarakat luas (berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat) harus menjadi bagian sasaran reformasi hukum. Pembaharuan substansi hukum yang mencakup 67 Undangundang, 3 Perpu, 112 Peraturan Pemerintah, 253 Keputusan Presiden dan 31 Instruksi Presiden sejak lengsernya Orde Baru bagaimanapun harus dilihat sebagai hal yang positif, dan kemajuan tersebut merupakan modal pembangunan hukum sebagaimana tercantum dalam GBHN 1999-2004. Demikian pula tekad untuk memberantas KKN dan tindak pidana ekonomi lainnya, termasuk keberadaan visi dan misi serta keberadaan arah dan kebijakan yang jelas dalam pembangunan hukum, penting sekurangnya untuk diapresiasi sebagai niat baik. Introspeksi atas Beberapa Kelemahan Kelemahan pembangunan bidang hukum Indonesia saat ini sebenarnya sudah dapat diidentifikasi dari kondisi umum, visi dan misi, serta kebijakan di bidang hukum yang telah dirumuskan secara garis besar oleh perumus GBHN di atas. Faktor-faktor yang sangat menonjol dari rumusan itu antara lain berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 10

1. Masih diperlukannya peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan hukum, kepastian dan keadilan hukum; 2. Perlunya peningkatan tekad dan kesungguhan aparatur penegak hukum; 3. Masih adanya praktek campur tangan dalam peradilan, sehingga perjuangan untuk menegakkan kemandirian kekuasaan kehakiman perlu terus dilakukan; 4. Masih adanya tumpang tindih dan kerancuan hukum; 5. Belum terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM berlandaskan keadilan dan kebenaran; 6. Masih diperlukannya ratifikasi konvensi internasional di bidang HAM; 7. Masih kurangnya peraturan perundang-undangan yang mendukung perekonomian dalam menghadapi perdagangan bebas, meskipun tanpa melupakan kepentingan nasional; 8. Masih belum terwujudnya peradilan yang cepat, murah, mudah, terbuka dan bebas dari KKN; 9. Promosi dan perlindungan HAM yang masih perlu ditingkatkan, termasuk penegakan hukum terhadap para pelanggar HAM. Di samping itu perlu masih harus dipikirkan secara mendasar, khususnya dalam rangka melanjutkan proses perubahan UUD 1945, yaitu belum mantapnya pengaturan Konstitusi (UUD 1945) yang berkaitan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka. Prinsip universal ini (UN Basic Principles on the Independence of Judiciary, 1985) tidak cukup diuraikan dalam perundang-undangan di bawah UUD. Prinsip ini mestinya dirumuskan dalam batang tubuh UUD 1945. Sayangnya, dalam proses amandemen UUD 45 prinsip ini tidak ditegaskan dalam Batang Tuhuh UUD 45. Dalam rangka ini pula, implementasi UU No. 35 Tahun 1999 harus dipercepat, khususnya pelbagai perubahan yang harus dilakukan terhadap perundangundangan yang bersumber pada UU No. 14 Tahun 1970 dan pelaksanaan pengaturan organisasi, administrasi dan finansial di bawah satu atap Mahkamah Agung. Dalam pengaturan tentang kekuasaan kehakiman, perlu ditegaskan kewenangan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi 11

(supreme court) untuk melakukan uji materiil (judicial review) yang mencakup pula uji materiil terhadap undang-undang sebagai bagian prinsip check and balance dalam kehidupan demokrasi, sebagai alternatif dari usulan untuk dibentuknya Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Tidak benar apabila dikatakan bahwa hal ini seperti dikhawatirkan banyak orang akan menempatkan Mahkamah Agung sebagai super legislature. Tujuannya semata-mata untuk melindungi konstitusi Indonesia dan sekaligus juga merupakan konsekuensi adanya tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia. (catatan: dalam proses amandemen UUD45 kedudukan Mahkamah Konstitusi dikukuhkan dalam Pasal 24 c). Selanjutnya dalam rangka mengimbangi tegaknya kekuasaan kehakiman yang bebas, usulan adanya semacam lembaga pengawas eksternal yang independen (Komisi Yudisial) perlu diatur untuk menjaga integritas Mahkamah Agung. Keberadaan Komisi Yudisial telah dikukuhkan dalam proses amandemen UUD45, Pasal 24 b. Demikian pula dengan usulan agar dibentuk divisi-divisi atau kamarkamar khusus di Mahkamah Agung guna meningkatkan kinerja Mahkamah Agung agar lebih profesional, khususnya dalam menghadapi hubungan dan peristiwa hukum yang semakin kompleks akibat modernisasi dan globalisasi, harus ditanggapi secara positif. Belum mantapnya pengaturan organisasi profesi advokat atas dasar perundang-undangan baru yang lebih menjamin integritas, uniformitas, standardisasi profesi, kode etik dan peradilan disiplin merupakan permasalahan tersendiri. Kondisi semacam itu mengakibatkan profesi advokat belum sepenuhnya diperlakukan sebagai salah satu subsistem peradilan. Bahkan tidak jarang, secara struktural dan individual penasehat hukum justru melakukan malpraktek dan turut andil dalam proses gagalnya pencapaian keadilan. Perilaku di bawah standar profesi (professional malpractice) tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian perseorangan, tetapi juga menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi hukum, dalam arti luas mengganggu proses pembangunan hukum nasional. Kedudukan hakim sebagai pegawai negeri dan keikutsertaan hakim sebagai anggota Muspida dan Mahkejapol yang cenderung menimbulkan conflict of interest dan mengganggu prinsip profesionalisme dan independensi hakim harus diakhiri. Demikian pula praktek penerbitan surat sakti MA atas dasar alasan fungsi pembinaan 12

dan pengawasan MA tidak sepatutnya dilakukan, kecuali atas dasar alasan yang transparan dengan pertimbangan adanya clear and present danger terhadap asas supremasi hukum. Lalu istilah-istilah klise atau jargon-jargon yang tidak selalu mudah dimengerti hendaknya dipraktekkan dengan indikator-indikator yang lebih jelas. Sebagai contoh, istilah sistem peradilan pidana terpadu, orang cenderung sulit memahaminya dalam konteksnya yang operasional. Karena itu pelbagai indikator efektivitas kinerja operasionalnya harus lebih jelas seperti; crime rate yang rendah; clearance rate yang tinggi; conviction rate yang tinggi; reconviction rate yang rendah; partisipasi publik yang tinggi; profesionalisme penegak hukum; rendahnya disparitas sanksi; speedy trial (dalam GBHN dirumuskan lebih luas yakni cepat, murah, sederhana dan terbuka); sistem pendidikan terpadu antar penegak hukum; dan transparansi antar subsistem peradilan pidana. Sepanjang menyangkut indikator pengadilan yang cepat dapat dikemukakan bahwa suatu keterlambatan yang tidak beralasan dalam penanganan proses peradilan (unreasonable delay of justice) merupakan pelanggaran HAM bagi pencari keadilan. Sehubungan dengan ini, ada kenyataan yang sangat memprihatinkan yaitu stagnasi perkara di tingkat kasasi (kurang lebih 16.000 kasus). Untuk itu di satu pihak diperlukan langkah crash program yang bervariasi dengan melibatkan masyarakat hukum Indonesia (seperti akademisi dan advokat), di lain pihak diperlukan perundang-undangan yang dapat membatasi kasasi. Di samping itu perlu pula dikaji kemungkinan untuk menerapkan semacam pengadilan keliling (mobile court) MA ke pelbagai Pengadilan Tinggi untuk melakukan jemput bola terhadap kasus-kasus yang diajukan sebagai perkara kasasi. Masih terjadinya langkah ad hoc yang bersifat fragmentaris dan pragmatis, sebaiknya dikaji dan diuji terlebih dahulu atas dasar konsistensi sistem secara menyeluruh. Sebagai contoh adalah usaha untuk menghidupkan kembali lembaga sandera (gijzeling) dalam kasus utang piutang (perdata). Lembaga ini sejak tahun 1964 dengan pertimbangan bertentangan dengan kemanusiaan atas pengarahan MA tidak digunakan kembali. Dalam suatu sistem yang tidak didukung oleh kualitas SDM yang berwawasan luas, kemungkinan penyalahgunaan lembaga ini besar sekali. Kriteria debitur yang beritikad baik dan buruk sangat subyektif, apalagi dalam situasi krisis multidimensional seperti saat ini. Kondisi force majeure 13

merupakan sesuatu yang terlalu debatable. Kreditur yang kuat dengan mudah akan dapat merampas kemerdekaan debitur atas biayanya sendiri maksimum satu tahun. Padahal kebijakan pidana saat ini justru menghindari short prison sentence di bawah satu tahun yang cenderung dianggap merusak. Secara empiris juga membuktikan bahwa lembaga sandera, atas dasar UU No. 19 Tahun 1997 tentang perpajakan, juga tak pernah diterapkan karena masih dapat diatasi dengan upaya lain seperti penyitaan jaminan pribadi dan lain-lain. Sekali lagi usaha untuk menghidupkan kembali lembaga sandera, harus didahului dengan pertimbangan yang masak. Indikasi masih banyaknya korupsi di pengadilan ternyata tidak hanya menimbulkan keprihatinan negara per negara, tetapi juga di forum internasional. Korupsi di pengadilan tidak hanya merusak supremasi hukum atas dasar independensi kekuasaan kehakiman, tetapi dianggap pula bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang didasarkan atas kepercayaan. Tindakan tersebut berupa berbuat atau tidak berbuat sesuatu (omission) yang mengakibatkan atau bertujuan untuk mengganggu kebebasan dan bersifat tidak memihak pengadilan. Secara khusus korupsi terjadi apabila hakim atau pejabat pengadilan mencari atau memperoleh keuntungan pribadi dalam kaitan dengan kekuasaannya. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat berupa penyuapan, penipuan, pembocoran informasi, memalsu atau merubah bahkan menghilangkan dokumen pengadilan dan sebagainya. Korupsi di pengadilan (istilah mafia peradilan terkesan terlalu didramatisasi) juga terjadi apabila hakim atau pejabat pengadilan lainnya melakukan perbuatan melawan hukum atas dasar pengaruh, rayuan, tekanan, ancaman atau campur tangan (langsung atau tidak langsung) sehingga menimbulkan benturan kepentingan. Faktorfaktor yang berpengaruh antara lain karena nepotisme, hubungan kawan, janji-janji berkaitan dengan prospek promosi, masa depan setelah pensiun, tekanan kekuasaan politik, hubungan yang salah dengan profesi hukum dan pihak yang berperkara atau calon pihak yang berperkara, hubungan yang salah dengan penegak hukum lain (misalnya jaksa) dan lain sebagainya. Guna mengatasi hal tersebut Center for the Independence of Judgesand Lawyers (CIJL), yang merupakan subsistem dari the International Commission of Jurist (ICJ) telah memprakarsai pertemuan 16 Pakar di Jenewa pada tanggal 23-25 Pebruari 2000 (penulis merupakan salah 14

seorang yang diundang). Rekomendasi penanggulangan yang diajukan antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Perlunya mekanisme independen untuk menginvestigasi dugaan korupsi; 2. Menekankan betapa pentingnya Judicial Ethics, yang didukung sanksi yang tegas; 3. Perlu adanya ketentuan yang mengharuskan pengungkapan dan pemantauan kekayaan hakim dan pejabat pengadilan; 4. Perlu adanya peranan aktif dari lembaga pengadilan untuk memberikan informasi kepada publik tentang terjadinya korupsi di pengadilan; 5. Perlu disediakannya pembiayaan yang memadai untuk pengadilan; 6. Seleksi dan promosi hakim dan pejabat pengadilan atas dasar merit system; 7. Gaji dan kesejahteraan hakim dan pejabat pengadilan yang memadai; 8. Peranan organisasi profesi penasehat hukum untuk mendidik anggotanya dan masyarakat umum untuk menghindarkan diri dari korupsi di pengadilan dan secara aktif mengambil langkah-langkah untuk mencegah, mengekspos dan mengambil tindakan disiplin. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa keberadaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru (UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 20 th. 2000) Komisi Penyidik Terpadu, UU Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN (UU No. 28 Tahun 1999), Lembaga Khusus Pendaftar Harga Kekayaan Penyelenggara Negara, Lembaga Ombudsman, Komisi Yudisial, Komisi Independen Pemberantasan Korupsi, Majelis Kehormatan Hakim, UU Perlindungan Saksi (semacam Whistle Blower Act) dan UU tentang Money Laundering, diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemberantasan KKN di masa datang. Selanjutnya koordinasi antar lembaga-lembaga yang baru dengan yang sudah ada sangat dibutuhkan, sehingga tidak menimbulkan situasi overorganized. Masih adanya kontroversi tentang keberadaan hakim non karir atau hakim adhoc harus diakhiri. Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 yang memungkinkan rekrutmen hakim non karir atau hakim adhoc atas dasar bakat dan keahliannya harus dikembangkan secara proporsional demi 15

peningkatan kinerja pengadilan. Pendayagunaan hakim adhoc sangat dibutuhkan dalam kasus-kasus yang membutuhkan pendekatan komprehensif dan kepakaran seperti kasus-kasus HAM, niaga, hak cipta, lingkungan hidup dan sebagainya. Salah satu kelemahan lain yang sangat dirasakan oleh pengadilan adalah kualitas sumber daya manusia, khususnya penguasaan yang minim terhadap sumber-sumber hukum internasional dan instrumeninstrumen internasional lain sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Penguasaan tersebut sangat penting tidak hanya dalam kasus-kasus transnasional, tetapi juga dalam rangka harmonisasi keputusankeputusan hakim terhadap pelbagai kecenderungan yang diakui bangsa-bangsa beradab sehubungan dengan proses globalisasi. Citra positif dalam hal ini dapat menumbuhkan kepercayaan asing, khususnya berkaitan dengan ekonomi pasar dan investasi. Usul rekrutmen hakim asing sangat berlebihan. Keterlibatan para ahli asing dapat dilakukan melalui prosedur kesaksian ahli (expert testimony) atau sebagai bagian kelompok pakar. Dalam kerangka SDM ini pula perlu disampaikan betapa pentingnya pengaturan sistem seleksi dan rekrutmen hakim dan pejabat-pejabat yudisial yang transparan atas dasar kemampuan dan kualitas moral dan intelektual. Demikian pula sistem promosi hakim dan pejabat-pejabat yudisial yang seharusnya dilakukan atas dasar merit system yang diharapkan akan mendorong dan memberi semangat mereka untuk menjalankan tugasnya lebih baik. Peluang dan Kendala Reformasi hukum termasuk reformasi di bidang kekuasaan kehakiman akan terus dilakukan secara berkesinambungan, baik yang berkaitan dengan struktur (kelembagaan), substansi (hukum positif) maupun kultur (iklim). Di dalam masyarakat modern dan demokratis, peranan pengadilan lebih-lebih Mahkamah Agung tidak hanya mengadili dan memberikan penilaian bagi pihak-pihak yang berperkara (fungsi yudisial). Begitu pula Mahkamah Agung tidak hanya dibebani tugas lain seperti fungsi judicial review, fungsi pembinaan dan pengawasan, fungsi pertimbangan dan fungsi mengatur, tetapi juga fungsi-fungsi lain yang lebih luas di masa datang harus pula diperhatikan, khususnya berkaitan dengan praktek negara demokratis. Fungsi-fungsi yang harus tercermin dari keputusan hakim tersebut meliputi; fungsi pendidikan hukum bagi masyarakat; fungsi 16

untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan HAM; fungsi pembaharuan hukum melalui proses penemuan hukum (rechtsvinding); fungsi judicialization of politics atau fungsi policy making by judge; dan fungsi penyelesaian konflik secara tuntas. Untuk itu, jelas dibutuhkan kapasitas pengetahuan yang luas bahkan mencakup pula pengetahuan ekstra yuridis, mengingat sistem yudisial merupakan subsistem dari sistem sosial yang lebih luas. Pelbagai pendapat agar Ketua Mahkamah Agung membebaskan diri dari fungsi mengadili agar bisa menjaga independensinya serta dapat berkonsentrasi pada manajemen dan fungsi-fungsi Mahkamah Agung lain yang akan memberikan nuansa kehidupan politik, cukup layak untuk dipertimbangkan. Di samping spirit reformasi tersebut di atas, proses globalisasi, independensi kekuasaan kehakiman yang semakin mantap, rekrutmen dan promosi atas dasar merit system yang menjamin terjadinya kompetisi ketat dan adil, penerapan prinsip good governance yang konsisten, kesejahteraan dan pendidikan hukum yang lebih baik, semuanya harus dilihat sebagai peluang untuk menempatkan hukum, keadilan dan kebenaran menjadi salah satu acuan utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kendala-kendala yang akan dihadapi untuk mereformasi Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lain bersifat multidimensional. Sebagian kendala telah dikemukakan pada analisis yang berkaitan dengan pelbagai kelemahan di atas, yang mencakup hal-hal yang telah tersurat dan tersirat dalam GBHN 1999-2004 (baik yang berkaitan dengan struktur, substansi maupun kultur hukum), seperti belum mantapnya pengaturan UUD 1945 yang berkaitan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman (termasuk lambatnya pelaksanaan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman), terbatasnya kewenangan uji materiil (hanya terhadap peraturan-peraturan yang lebih rendah daripada UU), belum adanya lembaga pengawas internal yang independen, tidak adanya divisi-divisi spesialis di Mahkamah Agung yang lebih menjamin profesionalisme, Undang-undang advokat yang sudah ketinggalan jaman, masih adanya surat sakti dari MA dengan alasan pengawasan atau pembinaan yang selalu memperoleh reaksi negatif dari masyarakat, kedudukan hakim sebagai pegawai negeri, kedudukan 17

Ketua KPT/KPN sebagai anggota atau penasehat Muspida, keberadaan lembaga Mahkejapol, besarnya jumlah tunggakan perkara di MA dan tiadanya pembatasan kasasi, masih adanya langkahlangkah adhoc yang tidak sistemik, masih maraknya korupsi di pengadilan, kurangnya kemampuan penguasaan hakim terhadap sumber-sumber hukum dan kecenderungan internasional, belum efektifnya tugas-tugas MA di bidang-bidang non yudisial, masih belum efektifnya peranan hakim non-karir atau hakim adhoc dan sistem rekrutmen hakim dan pejabat pengadilan serta sistem promosi yang cenderung belum transparan. Bagaimanapun peningkatan peranan Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lainnya di era reformasi sedikit banyak akan tergantung pada keberhasilan untuk mengatasi pelbagai kelemahan atau kendala di atas. Di luar itu terdapat hal-hal lain yang sifatnya lebih eksternal tetapi memiliki dampak tersendiri terhadap kekuasaan kehakiman, misalnya; keberadaan pemimpin-pemimpin nasional di segala lini yang memiliki komitmen kuat dan konsisten terhadap supremasi hukum; kualitas perundang-undangan yang aspiratif, baik dalam kaitannya dengan aspirasi suprastruktur, infrastruktur, kepakaran maupun aspirasi internasional; tersedianya sarana dan prasarana yang relatif memadai, yang menjamin adanya sistem informasi dan manajemen yang efisien dan efektif; partisipasi masyarakat yang terorganisasi secara baik dan kritis (misalnya dalam bentuk judicial watch) dalam kerangka masyarakat madani; tersedianya sumber daya manusia yang memadai baik dari sisi mental maupun intelektual; keberadaan Dewan Pakar yang dapat memberikan policy advice diminta atau tidak diminta; kelembagaan yang mangkus dan sangkil; pelembagaan sistem penyelesaian sengketa alternatif yang bersifat komplementer terhadap sistem litigasi, mengingat sistem penyelesaian sengketa tidak hanya dilakukan dengan proses pengadilan. Dalam hal ini efektivikasi UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa harus ditingkatkan; 18

kesediaan hakim dan para pejabat pengadilan untuk senantiasa meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan hukum yang baru, baik melalui studi lanjut, pelatihan, banyak membaca, maupun berpartisipasi dalam seminar-seminar ilmiah. Perlu dipikirkan pula adanya forum dialog reguler antara hakim dan advokat untuk membahas masalah-masalah hukum yang aktual; tersedianya lembaga khusus yang selalu mengkaji dan memantau perkembangan sumber-sumber hukum internasional, baik yang bersifat konvensi maupun bentuk lainnya. Dalam hal konvensi baik yang belum maupun sudah diratifikasi serta tindak lanjutnya; sikap Majelis Kehormatan Hakim yang tegas dan tidak menimbulkan kesan melindungi hakim yang salah dengan alasan kesetiakawanan. Untuk itu perlu dikembangkan Pengadilan Disiplin yang transparan dan dilengkapi dengan unsur-unsur eksternal guna menjaga obyektivitasnya; keberadaan UU tentang Contempt of Court yang mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang bernada scandalizing the court, disobeying court order, disturbing justice and sub-judice rule; keberadaan Special Board untuk rekrutmen hakim yang anggotanya terdiri atas hakim, akademisi, advokat dan tokoh masyarakat, guna mencegah kemungkinan terjadinya KKN yang merusak kualitas SDM. Penutup Atas dasar pengamatan, kontaminasi kekuasaan politik otoriter terhadap kekuasaan kehakiman di masa lalu telah membuahkan kerusakan yang parah terhadap kekuasaan kehakiman. Belum lagi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh budaya tidak bertanggungjawab akibat pengaruh materi dan konsumerisme yang menjadikan proses penyelesaian perkara di pengadilan tumbuh sebagai komoditi perdagangan. Mengingat independensi pengadilan merupakan salah satu pilar pokok demokrasi, maka penyehatan kekuasaan kehakiman merupakan tanggungjawab kita semua, khususnya para hakim, pejabat pengadilan lain, penegak hukum terkait, seperti jaksa dan lain-lain, profesi advokat, anggota masyarakat umum dan pencari keadilan, para akedemisi, media massa dan sebagainya. Untuk bisa berperan secara maksimal sebagai pilar demokrasi, harus dilakukan reformasi 19

secara sistemik terhadap kekuasaan kehakiman termasuk Mahkamah Agung. Secara sistemik, reformasi hukum mengandung elemen struktural (kelembagaan yang terkait pada sistem), elemen substansial (hukum positif yang mendasari jalannya sistem tersebut) dan elemen kultural (pandangan, sikap, bahkan filosofi yang mendukung efektivitas sistem tersebut). Mengingat masalahnya demikian kompleks maka perlu ada skala prioritas yang disusun dengan mempertimbangkan desakan masyarakat terhadap tegaknya reformasi hukum dan reformasi kekuasaan kehakiman, khususnya Mahkamah Agung. Untuk itu program jangka pendek dan jangka menengah harus diarahkan pada aspek-aspek reformasi struktural dan substansial secara kasuistis. Sedangkan program jangka panjang secara simultan diarahkan pada aspek kultural. Jangka pendek bisa dilakukan antara 2-3 tahun, sedangkan jangka panjang paling lama 5 tahun. Jika ada kemauan, pasti ada jalan. n

20

Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Penegakan Hukum Pasca Reformasi


Pendahuluan Penggunaan istilah pasca reformasi sebenarnya mengandung kontradiksi interminis. Sebab secara hakiki reformasi adalah sebuah proses yang tak pernah berhenti untuk menuju gambaran ideal tertentu. Penggunaan istilah itu, dalam konteks kita di Indonesia, agaknya dimaksudkan dalam pengertiannya yang khas dan terbatas, yakni untuk melukiskan suatu babakan runtuhnya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa empat tahun silam. Reformasi sebagai suatu era dan dalam pengertian politis sebagai tatanan atau rezim, harus diartikan sebagai usaha sistematis dari bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi; atau lebih luas lagi untuk mengaudit dan mengaktualisasikan indeks demokrasi yang pada orde lalu yang telah dimanipulasi. Demokrasi dapat digambarkan sebagai suatu piramida yang mengandung empat sub, yang masing-masing sub terdiri dari pelbagai indeks atau indikator kinerja yang dapat diaudit untuk mengukur seberapa jauh suatu negara benar-benar demokratis. Di bawah ini akan diuraikan secara sepintas ke empat sub piramida demokrasi tersebut. Pertama, adanya sistem pemilihan yang bebas dan adil (free and fair elections). Di dalam kerangka ini, indikator kinerjanya antara lain mencakup; pemilihan umum yang berbasis pada kompetisi terbuka, hak pilih dan sistem pemilihan yang bersifat rahasia, pemberian kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan publik tanpa 21

diskriminasi, adanya pemerintahan yang independen dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh-pengaruh eksternal lain terhadap pemilih. Selanjutnya bisa disebutkan adanya akses yang adil dan sama dari partai dan kandidat untuk menggunakan media dan sarana-sarana komunikasi yang lain. Kedua, adanya pemerintahan yang terbuka, bertanggungjawab dan bersifat responsif. Terkait di sini indikator-indikator seperti, keterbukaan informasi terhadap apa yang dilakukan penguasa, efek dari kebijakan, independensi sarana-sarana informasi milik pemerintah, efektivitas pengawasan terhadap pejabat pemerintah baik sipil maupun militer, efektivitas pengawasan parlemen terhadap eksekutif, ketaatan eksekutif terhadap the rule of law, transparansi pengaturan yang mengendalikan kekuasaannya, jaminan pengadilan bahwa eksekutif taat pada hukum termasuk efektivitas acaranya, adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pengaruh eksekutif dan pengaruh serta bentuk-bentuk campur tangan yang lain dan sampai seberapa jauh administrasi hukum terbuka bagi efektivitas pengawasan publik. Selanjutnya, sebagai indikator perlu dipertanyakan juga seberapa jauh masyarakat memperoleh akses untuk memperoleh keadilan melalui pengadilan, ombudsman dan lain-lain, dalam rangka memperjuangkan hak-haknya akibat terjadinya mal administration atau kegagalan pemerintah dan badan-badan publik untuk menjalankan tanggung jawab hukumnya. Kemudian masih dalam konteks indikator kinerja tadi, perlu dilihat pula seberapa jauh keterbukaan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat untuk menyampaikan opini publik dalam rangka pembentukan dan implementasi kebijakan dan perundang-undangan. Ketiga, adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak sipil dan politik. Hal ini mencakup; seberapa jauh hukum mendefinisikan hak-hak sipil dan politik serta kebebasan warga negara dan seberapa jauh pula hal ini terlindungi; kebebasan dari diskriminasi dalam menikmati hak-hak tersebut; seberapa jauh keberadaan lembaga-lembaga sukarela dikembangkan dalam rangka pemantauan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut; seberapa jauh efektivitas prosedur dan sistem sosialisasi hak-hak tersebut terhadap masyarakat; dan sampai seberapa jauh perlindungan terhadap pengungsi dan imigran yang membutuhkan perlindungan. 22

Keempat, adanya rasa percaya diri warga negara dalam kehidupan demokratis atas dasar kekuatannya sendiri untuk mempengaruhi pelbagai keputusan kolektif yang bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam hal ini, ketiadaan diskriminasi terhadap minoritas atas dasar kesepakatan nasional, pengawasan NGOs , pluralisme media komunikasi, partisipasi masyarakat dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik atas dasar prinsip keterbukaan menjadi sangat penting. Aktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi sebagaimana dijelaskan di atas bersifat universal, indivisible dan interdependen. Semuanya harus dilakukan secara simultan dan tidak boleh dilakukan dengan mengutamakan salah satu atau beberapa indeks di satu pihak, seraya mengabaikan indeks-indeks. Prakondisi Penegakan Hukum Yang Demokratis Dalam kerangka konseptual di atas, nampak bahwa indeks demokrasi yang berkaitan dengan penegakan hukum di era reformasi adalah pelbagai indikator kinerja yang berada dalam sub piramida kedua, yaitu keberadaan pemerintahan yang terbuka, bertanggung jawab dan responsif, yang secara kategoris apabila dikaitkan dengan penegakan hukum mensyaratkan hal-hal sebagai berikut: a. Adanya prinsip keterbukaan informasi; dalam hal ini di samping perhatian terhadap HAM berupa kebebasan berekspresi, maka dalam pembatasannya jelas dibutuhkan apa yang dinamakan semacam The Freedom of Information Act (FOIA). Prinsip keterbukaan ini seringkali dituntut masyarakat, acap disertai dengan prasangka telah terjadinya penyimpangan yang secara empiris telah banyak terjadi di masa lalu. Namun informasi juga mengenal pelbagai pengecualian (disclosure exemption). Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini perkecualian yang diatur di dalam US FOIA 1996 yang mengatur perkecualian sepanjang berkaitan dengan: keamanan nasional, rahasia-rahasia perdagangan, hak privasi seseorang, laporan-laporan bank, data-data tentang gas dan minyak bumi, catatan-catatan penegakan hukum, dan sebagainya. Berkaitan dengan catatan-catatan penegakan hukum (law enforcement records), perkecualian-perkecualian tersebut berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: keterbukaan informasi dikhawatirkan akan terjadinya campur tangan terhadap proses 23

penegakan hukum; akan mengganggu atau membatasi hak seseorang atas dilaksanakannya peradilan yang jujur (fair trial) dan tidak memihak (impartial adjudication); untuk melindungi kepentingan kerahasiaan pribadi (privacy interest) terhadap gangguan atau pelanggaran yang tidak beralasan (unwarranted invasion); untuk melindungi identitas sumber-sumber yang dirahasiakan baik berupa negara atau badan intelijen, badan-badan daerah atau asing, lembaga swasta yang memberikan informasi secara rahasia; untuk melindungi kerahasiaan teknik dan prosedur investigasi dan penuntutan yang dapat menimbulkan risiko pengelakan hukum (circumvention of the law); dan untuk melindungi nyawa dan keamanan fisik seorang individu. b. Adanya jaminan ketaatan penguasa terhadap prinsip kedaulatan hukum atas dasar prinsip equality before the law. Dalam hal ini harus dicegah terjadinya penegakan hukum yang selektif dan mengandung hak-hak istimewa (privilege), misalnya banyak dipersoalkan apakah masih diperlukan izin atasan untuk memeriksa pejabat-pejabat tinggi baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Dipertanyakan pula dalam hal ini keberadaan asas oportunitas yang memungkinkan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. c. Ditegakkannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab. Merdeka berarti bahwa dalam melaksanakan judicial power, hakim harus bebas dari pengaruh eksternal, seperti eksekutif, legislatif, kepentingan pribadi, kelompok, golongan, pengaruh pers, pengaruh KKN; selain juga pengaruh internal dari lingkungan peradilan yang lebih tinggi. Akhir-akhir ini muncul pula pendapat agar independensi tersebut mencakup pula seluruh jajaran sistem peradilan, seperti jaksa penuntut umum dan polisi sebagai penegak hukum. Kekuasaan kehakiman, di samping memiliki independensi, juga harus memiliki tanggungjawab baik yang bersifat administratif, prosedural, maupun substantif, dan akuntabilitas yudisial baik berupa akuntabilitas politik, sosial atau publik, dan akuntabilitas hukum. Yang tak kalah pentingnya adalah akuntabilitas vertikal: Tuhan! d. Adanya jaminan yang luas bagi warga negara untuk memperoleh keadilan (access to justice) apabila terlanjur menjadi korban akibat malpraktek dalam penegakan hukum, baik berupa 24

maladministration maupun miscarriage of justice yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga publik. Di samping melalui lembaga-lembaga pengadilan, lembaga semacam Ombudsman dan Komnas HAM menjadi sangat strategis keberadaannya. e. Diperlukan perundang-undangan yang demokratis dan aspiratif; melalui koridor akademis, birokratis, sosial dan politik, akan terjaring secara proporsional aspirasi suprastruktur , infrastruktur dan aspirasi kepakaran. Selanjutnya dalam era globalisasi harus diperhatikan pula aspirasi global yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Khusus dalam kerangka aspirasi lintas struktural, dalam kerangka otonomi daerah dan Tap.MPR RI No. III/MPR/2000, perlu diperhatikan aspirasi daerah dalan kerangka Perda. Dalam rangka menghadapi kondisi-kondisi yang luar biasa seperti korupsi yang sistemik dan endemik, tidak mustahil diperlukan pula instrumen-instrumen yang luar biasa untuk menanggulanginya, seperti pendekatan sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) yang akan segera diberlakukan. Begitu pula masalah lembaga paksa badan (gijzeling) terhadap debitur yang beritikad buruk. f. Adanya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana ini mencakup aspek material, finansial, dan kelembagaan yang betulbetul memadai. Sebagai contoh adalah akan segera dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan keberadaan Pengadilan HAM yang akan mengadili pelanggaran HAM berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada pula usul untuk membentuk pengadilan khusus korupsi (corruption court). Hal yang secara khusus berkaitan dengan peran serta masyarakat yang terorganisasi dan tertata dengan baik serta kualitas SDM yang diperlukan secara khusus akan diuraikan di bawah. Rambu-rambu Peran Serta Masyarakat Dari uraian tentang indeks demokrasi di atas, khususnya sepanjang berkaitan dengan indikator kinerja dalam kerangka sub-piramid keempat (society with self- confidence citizens) telah digambarkan betapa pentingnya hal ini ditumbuhkan di dalam kehidupan yang demokratis. Semangat ini tergambar di dalam pelbagai perundang-undangan yang muncul setelah tahun 1998 (Pasca Orde Baru), yang sejak semula 25

dimaksudkan sebagai reaksi terhadap masa lalu yang lebih menekankan pendekatan mobilisasi daripada partisipasi. Ketentuan yang mencakup hal ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Apabila digambarkan abstraksinya secara umum, peran serta masyarakat dalam konteks penyelenggaraan negara mengandung hak-hak dan kewajiban sebagai berikut: a. hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara (lihat FOIA di atas); b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara; c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara; d. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya, dan apabila diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Hak-hak tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan mantaati norma agama dan norma sosial lainnya. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menghindari fitnah dan laporan yang tidak bertanggungjawab. (Di beberapa negara pelakunya justru dapat dipidana). Dari sisi HAM, hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan masuk kategori Generasi HAM III, yaitu hak untuk pembangunan (right to development). Di samping peran serta yang bersifat individual, secara khusus perlu ditonjolkan peranan civil society yang dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi kehidupan sosial yang bersifat terbuka, sukarela, self generating atau sekurangnya self supportjng, otonom terhadap negara, dan terikat pada suatu tertib hukum, berdiri di antara lingkungan swasta dan negara. Organisasi atau lembaga-lembaga bergerak dalam lingkup soal-soal publik yang beragam, mulai dari hukum, ekonomi, lingkungan, budaya, dan sebagainya. Gerakan civil society pada dasarnya bukanlah dimaksudkan untuk bersaing untuk mengalahkan negara, atau memupuk kekuasaan untuk mengarahkan kebijakan negara secara 26

menyeluruh. Yang diharapkan oleh para aktor pendukungnya adalah semacam konsesi, kemanfaatan, perubahan kebijakan, pembaharuan kelembagaan, keadilan, dan akuntabilitas, yang kesemuanya diorientasikan bagi pemenuhan hak-hak atau urusan publik dan bukan orang per orang atau kelompok eksklusif. f. Kesadaran hukum masyarakat dan para penegak hukum dalam semangat yang interaktif, antara kesadaran hukum versi penguasa si satu sisi, dan perasaan hukum khususnya persepsi keadilan yang bersifat spontan dari masyarakat di sisi lain. Kesimpulan Efektivitas penegakan hukum sedikit banyak tergantung pada faktor-faktor di atas. Namun secara umum ada tiga faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Pertama, adanya strategi penegakan hukum yang tepat dan dirumuskan secara komprehensif dan integral; kedua, adanya kehendak politik untuk melaksanakan strategi tersebut; dan ketiga, adanya pressure dalam bentuk pengawasan masyarakat. Di samping tiga faktor di atas, selain diperlukan adanya faktor kepemimpinan yang committed terhadap supremasi hukum, juga etik kepemimpinan yang mencakup standar-standar sebagai berikut : a. Responsibility and Accountability; hal ini memungkinkan yang bersangkutan dapat melakukan identifikasi secara terus menerus terhadap kekuatan dan kelemahannya; b. Commitment; mencakup dedikasi, antusiasme terhadap perannya dalam organisasi, komitmen terhadap hukum dan peraturan perundang- undangan lain, serta standar profesi; c. Responsiveness; sifat peka dan fleksibel terhadap perubahan sosial dan kebutuhan publik; d. Knowledge and skills; dibangun melalui pendidikan dan pelatihan untuk menjawab kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bergerak secara dinamik; e. Conflicts of interest; dalam arti peka terhadap kemungkian benturan kepentingan, terutama antara kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi; f. Professional Ethics; harus selalu melakukan evaluasi untuk mendeteksi seberapa jauh keputusan yang telah diambil sejalan dengan standar etika. n 27

Reformasi Hukum dan Proses Demokratisasi di Indonesia


Reformasi hukum di Indonesia harus dipandang sebagai bagian integral dari proses demokratisasi yang tak boleh henti. Peralihan dari rezim pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan Habibie disebut sebagai Kabinet Reformasi yang berumur singkat sangatlah dramatik. Hal ini ditandai dengan peralihan rezim yang tidak demokratis, yang telah berkuasa selama 32 tahun kepada suatu sistem politik yang demokratis sebagai hasil gerakan reformasi yang dipicu oleh merosotnya perekonomian pada triwulan pertama tahun 1998. Kemerosotan di bidang ekonomi pada gilirannya mendelegitimasi hampir seluruh basis sosial dan politik Orde Baru. Maka dalam tempo yang sangat singkat, krisis ekonomi itupun segera berubah menjadi krisis multi dimensi yang teramat kompleks. Pada waktu itu tingkat inflasi mencapai 78%; nilai tukar rupiah berada pada tingkat terendah, menembus angka Rp. 15.000,- untuk setiap dollar AS; nilai suku bunga berada di atas 80%; dan kerusuhan secara sporadis terjadi di sepanjang jalur distribusi utama di Jawa dan tempat-tempat lainnya di Indonesia. Secara mendasar, gerakan reformasi harus diinterpretasikan sebagai suatu upaya yang terorganisir dan sistematis dari bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi, yang di sepanjang kekuasaan rezim Orde Baru terlanjur telah dimanipulasikan dan diselewengkan. Berdasarkan interpretasi reformasi tersebut, maka agenda nasional harus difokuskan pada upaya pengembangan yang terus indeks demokrasi (indices of democracy). Indeks ini dapat dikelompokan ke dalam empat aspek ke kehidupan berbangsa dan bernegara: Pertama, keberadaan sistem 28

pemililihan umum yang bebas dan adil; kedua, keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif; ketiga, pemajuan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik seluruh warga tanpa kecuali; dan keempat, keberadaan masyarakat yang memiliki rasa percaya diri yang penuh. Dalam hubungannya dengan reformasi hukum dalam kerangka empat aspek dasar demokrasi di atas, pemerintah harus secara sistematis menerapkan reformasi yang didasarkan kepada elemenelemen konsep sistem hukum yaitu; (1) struktur hukum (semacam suatu lembaga, mesin lintas sektoral dari sistem hukum, seperti potret yang membuat suatu gerakan menjadi beku atau diam); (2) elemen substansi hukum (produk dari mesin yaitu hukum, aturan-aturan yang aktual, norma dan pola perilaku dari orang-orang dalam suatu sistem); dan (3) elemen budaya hukum (perilaku orang terhadap hukum dan sistem hukum; iklim dari pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan). Dengan mempertimbangkan konsep sistem hukum di atas, dan setelah mempertimbangkan pula arti dari reformasi serta kondisi domestik yang spesifik, pemerintah dan badan pembentuk undangundang memusatkan perhatian reformasi hukum terhadap lima kepentingan hukum berikut ini. Pertama, peraturan perundang-udangan di bidang sosial politik harus sedapat mungkin mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi, contohnya undang-undang tentang pemilihan umum yang jujur dan adil. Pemilihan umum harus didasarkan pada kompetisi terbuka, hak pilih yang universal, pemungutan suara yang rahasia dan bebas. Hal ini harus didukung oleh undang-undang tentang kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan pers, netralitas politik dari pegawai negeri, polisi dan militer. Dalam konteks ini, pendirian suatu Komisi Pemilihan Umum yang lebih independen di masa mendatang mutlak diperlukan untuk memberikan jaminan dari segala kemungkinan manipulasi dan bentuk-bentuk kecurangan lain yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Kedua, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pemulihan ekonomi, yang menekankan pada persiapan untuk menghadapi kecenderungan ekonomi pasar internasional yang tak terhindarkan, seperti Undang-undang tentang Bank Sentral yang 29

memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menjalankan kebijakan moneter secara independen, undang-undang perlindungan konsumen, undang-undang anti monopoli, undang-undang kepailitan (yang juga berisikan ketentuan pendirian Pengadilan Niaga yang didasari prinsip pengadilan cepat), dan inisiatif untuk membangun program-program ekonomi yang bekerjasama dengan berbagai organisasi internasional. Ketiga, peraturan perundang-undangan tentang pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, seperti Undang-undang HAM, Undang-undang Pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran berat HAM, ratifikasi berbagai instrumen hak asasi manusia seperti Konvensi PBB tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat, atau Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras, serta berbagai konvensi organisasi perburuhan internasional. Keempat, peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan yang bersih, akuntabel dan responsif. Dalam hal ini termasuk di dalamnya pembaharuan undang-undang pemberantasan korupsi, undang-undang tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN (yang antara lain mencakup kewajiban penyelenggara negara untuk mengumumkan kekayaan dan aset-asetnya). Pembaharuan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatukan kekuasaan mengadili dan penyelenggaraan administrasi peradilan di bawah satu atap (Mahkamah Agung), harus dapat dilakukan dalam rangka menegakkan prinsip independensi kekuasaan peradilan eksekutif. Komitmen untuk memajukan dan memberdayakan parlemen adalah untuk menghindari adanya kemungkinan campur tangan dari eksekutif dan untuk mendorong terciptanya sistem check and balances. Keputusan Presiden tentang Ombudsman juga telah dikeluarkan untuk mengawasi kegagalan pejabat pemerintah dalam melaksanakan tanggungjawabnya secara hukum (maladministration). Beberapa waktu yang lalu sejumlah rancangan undang-undang untuk memperkuat penghapusan korupsi telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI, beban pembuktian terbalik, Rancangan Undang-undang tentang Pencucian Uang, dan yang terakhir adalah tentang Pembentukan Komisi Independen Untuk Memberantas Korupsi. Komisi ini akan memiliki fungsi multidimensi, yaitu 30

melakukan fungsi-fungsi investigasi dan penuntutan, pendidikan, pencegahan dan legislasi. Kelima, peraturan perundang-undangan untuk melindungi dan memperkuat masyarakat yang demokratis sebagai masyarakat yang memiliki rasa percaya diri. Dalam hal ini, termasuk undang-undang yang memajukan dan melindungi kebebasan pers, pluralisme media komunikasi dan kebebasan berekspresi. Pembatasan dan larangan terhadap pembentukan dan pengendalian organisasi profesi, termasuk serikat buruh, asosiasi jurnalis, dan asosiasi-asosiasi masyarakat sipil lainnya juga telah dicabut. Konsep masyarakat madani harus dikembangkan bukan untuk mendapatkan kendali atau posisi dalam negara, dan bukan pula untuk mengatur pemerintahan secara keseluruhan, melainkan bertindak atas konsesi dari negara yang secara kritis berjuang untuk kepentingan perubahan kebijakan, reformasi kelembagaan, pemulihan, keadilan dan akuntabilitas. Dengan kata lain hendak ditekankan di sini bahwa terdapat perbedaan khusus antara reformasi hukum pada kondisi yang normal (sebagai upaya untuk menggantikan hukum kolonial dengan hukum nasional) dan reformasi hukum dalam arti gerakan reformasi yang harus diinterpretasikan sebagai demokratisasi hukum. Selama pemerintahan Habibie (22 Mei 1998 sampai dengan 14 Oktober 1999), telah dikeluarkan 67 Undang-undang, 3 Peraturan Pemerintah, 263 Keputusan Presiden dan 31 Instruksi Presiden. Keseluruhan kebijakan itu dimaksudkan sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi problem yang berlangsung dalam situasi krisis tadi. Disadari atau tidak, banyak kemajuan yang telah dicapai, sehingga pada waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari Presiden Habibie kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Oktober 1999), pemulihan ekonomi berlangsung dengan baik, yang ditandai dengan peningkatan berbagai indikator ekonomi, seperti tingkat inflasi 2 %, nilai tukar rupiah sebesar Rp. 6.700,- per dollar AS, dan suku bunga 12 %. Secara jujur harus diakui, bahwa kerusakan sistemik dan multi dimensional warisan Orde Baru tidak mudah untuk diselesaikan dalam waktu singkat. Namun rezim baru yang menggantikan akan terasa tidak bijaksana jika setiap kali masih terus menyalahkan Orde Baru dengan motif untuk menyembunyikan ketidakmampuannya. Konflik regional dan horizontal, gerakan disintegrasi, kekerasan politik, berlanjutnya krisis ekonomi dan keuangan, kesenjangan antara 31

pusat dan daerah, disharmoni sosial, tingginya tingkat kejahatan, krisis kepercayaan dari para donor dan investor internal dan eksternal, meningkat dan berlanjutnya praktek korupsi baik secara kuantitas maupun kualitas, berlanjutnya praktek mafia di pengadilan, amandemen Undang-undang Dasar 1945, harus dianggap sebagai proses yang tidak terhindarkan dalam iklim demokrasi. Sekurangnya begitulah fakta yang dapat kita saksikan. Di masa yang akan datang, agar gerakan reformasi dapat dilakukan secara lebih komprehensif, agaknya penting untuk mempertimbangkan beberapa persyaratan sehingga gerakan reformasi tidak identik dengan memunculkan gejala euforia, yang belakangan justru lebih banyak menimbulkan perasaan tidak menentu ketimbang harapan yang menjanjikan. Pertama, harus segera dirumuskan suatu strategi reformasi dan pemulihan yang terintegrasi dan komprehensif. Kedua, terdapat kemauan politik yang kuat khususnya dari para elite untuk segera keluar dari krisis yang amat melelahkan ini. Ketiga, harus selalu ada tekanan sosial (dalam arti positif) baik secara nasional maupun internasional. Keempat, didukung oleh watak kepemimpinan yang profesional dan beretika pada semua tingkatan pemerintahan. Kelima, keinginan dari organisasi internasional untuk mendukung reformasi harus sepenuhnya didasarkan atas semangat kemitraan. Keenam, rekonsiliasi nasional untuk menyelesaikan berbagai masalah dan kasus-kasus yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Ketujuh , komitmen untuk menjunjung prinsip supremasi hukum dan pemerintahan yang baik guna menjamin keadilan, keamanan dan kepastian berdasarkan hukum. Dalam hal penegakan supremasi hukum, ada beberapa langkah sistemik yang harus dilakukan: 1. Pengadopsian semua aspirasi hukum sebagai sumber daya dalam upaya untuk melakukan reformasi hukum, yang meliputi aspirasi suprastruktur, aspirasi infrastruktur, aspirasi kepakaran dan aspirasi internasional yang telah diterima oleh bangsa-bangsa beradab; 2. Menjunjung prinsip kebebasan dan ketidak berpihakan lembaga peradilan, bebas dari campur tangan kekuatan internal maupun eksternal; 3. Meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia; 32

4. Meningkatkan semangat profesionalisme aparat penegak hukum; 5. Pembentukan Komisi Yudisial dengan keanggotaan yang komprehensif dalam rangka untuk mengawasi perilaku hakim dan pejabat peradilan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi para hakim, dan menangani pengaduan terhadap hakim dan aparat peradilan; 6. Mendorong fungsi kontrol masyarakat terhadap lembaga peradilan (semacam Judicial Watch); 7. Meningkatkan pengimplementasian prinsip sistem lembaga peradilan terpadu; 8. Secara sistematis memerangi korupsi di pengadilan dan dalam sistem peradilan; 9. Rekrutmen kepemimpinan di bidang hukum atas dasar merit system. n

33

Peranan Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu


Pendahuluan Wacana tentang peradilan terpadu mengemuka sehubungan dengan adanya TAP MPR-RI No. VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2000. Tap MPR itu antara lain menekankan bahwa MA perlu melaksanakan asas-asas sistem peradilan terpadu. Peringatan ini menyadarkan kepada kita tentang kondisi obyektif sistem peradilan pidana yang tidak hanya terkesan fragmentaris dan berorientasi sektoral, tetapi juga cenderung mengganggu terhadap sistem secara keseluruhan. Sistem peradilan pidana (terpadu) bisa berdimensi internal namun bisa juga berdimensi eksternal. Berdimensi internal apabila perhatian ditujukan kepada keterpaduan subsistem peradilan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Sedangkan dimensi eksternal lebih karena kaitannya yang hampir tidak bisa dipisahkan dari sistem sosial yang lebih luas. Yang terakhir ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sistem peradilan dalam pencapaian tujuannya, termasuk di sini budaya hukum kekuasaan dan masyarakat, perkembangan politik, ekonomi, sosial, iptek, pendidikan dan sebagainya. Contoh budaya hukum kekuasaan adalah kecenderungan terjadinya politisasi hukum atau instrumentalisasi hukum baik dalam proses pembuatan UU maupun dalam praktek penegakan hukum. (Tate and Vallinder, 1995) Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap mengikuti karakter sistem yang bersifat umum, yaitu kerjasama secara terpadu antara pelbagai subsistem untuk mencapai tujuan yang sama. 34

Dalam kerangka itu secara internal dan eksternal sistem peradilan harus berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior) , pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value transformation), keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu. Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus koordinasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui kebersamaan norma dan nilai (shared norms and values). Sebagai contoh, adalah kenyataan bahwa sistem peradilan pidana selalu bekerja atas dasar sistem informasi yang berjenjang. Karena itu apabila muncul informasi yang menyesatkan akan dengan sendirinya berdampak luas terhadap kinerja pengadilan, misalnya berupa kegagalan dalam menciptakan keadilan. Untuk dapat mengevaluasi atau mengaudit sampai seberapa jauh sistem peradilan pidana sudah bekerja dengan baik, perlu dirumuskan indeks sistem peradilan pidana yang pada hakekatnya merupakan indikator kinerja sistem peradilan pidana, baik dalam tataran idiil, tataran asas maupun tataran operasional dan tataran penunjang. Pada tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks yaitu: keberhasilan sistem peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi bagi terpidana; keberhasilan sistem peradilan pidana untuk mencegah terjadinya kejahatan; dan keberhasilan sistem peradilan pidana untuk menciptakan kesejahteraan sosial. Indeks pada tataran asas berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, promosi dan perlindungan HAM, berorientasi tidak hanya kepada model rehabilitatif tetapi juga kepada model restoratif. Pada level operasional, pelbagai indeks yang semakin konkrit mencakup antara lain; keberadaan UU payung (umbrella act) yang dapat menciptakan sinergi positif antar subsistem (semacam Wet RO, 1928 di masa lalu); berorientasi baik kepada tindak pidana, pelaku tindak pidana maupun pada korban tindak pidana; keterukuran dari clearance rate, conviction rate, rate of recall to prison. Selanjutnya juga tingkat terjadinya disparitas pidana, tersedianya pelbagai sistem sanksi pidana alternatif, dan tingkat kecepatan penanganan perkara baik di lingkungan subsistem maupun sistem secara keseluruhan. 35

Pada tataran penunjang indeks terpenting nampak pada kualitas sumber daya manusia yang dimiliki, seperti SDM yang terlatih dan terorganisasi dengan baik, kepemimpinan yang bertanggungjawab, partisipasi masyarakat terhadap sistem peradilan pidana, dan sistem pelatihan terpadu antar penegak hukum. Administrasi Peradilan Administrasi peradilan bisa bermakna ganda. Pertama, bisa diartikan sebagai court administration, dalam arti pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial badan-badan peradilan. Kedua, dalam arti administration of justice yang mencakup proses penanganan perkara (caseflow management) dan prosedur serta praktek litigasi dalam kerangka kekuasaan mengadili (judicial power). Kekuasaan mengadili ini berhubungan erat dengan proses penegakan hukum. Dua makna tersebut berkaitan erat dengan kesatuan tanggungjawab yudisial yang mengandung tiga dimensi yaitu; (a) tanggungjawab administratif yang menuntut kualitas pengelolaan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial; (b) tanggungjawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acara yang digunakan; dan (c) tanggungjawab substantif yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku. Tanggungjawab mengandung dimensi hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan atau akuntabilitas yang bisa bersifat responsif (peka terhadap kebutuhan masyarakat), bersifat representatif (yang menuntut sikap jujur dan tidak diskriminatif) dan bersifat ekonomis (kesadaran adanya pengawasan publik, khususnya berkaitan dengan dana-dana masyarakat yang digunakan). (Shetreet and Deschenes, 1985) Pada era reformasi, kewenangan penguasaan dua dimensi makna administrasi peradilan di atas sangat dipersoalkan (sampai saat ini implementasinya belum selesai) sebab berkaitan dengan kebiasaan kekuasaan di era Orde Baru yang sering mengooptasi kekuasaan kehakiman sehingga tidak pernah tumbuh sebagai lembaga independen. Padahal, independensinya lembaga kehakiman di negara manapun merupakan salah satu ukuran yang paling menonjol untuk melihat apakah sebuah sistem kekuasaan demokratis atau otoriter. Betapa pentingnya prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka ini nampak dari pernyataan-pernyataan sebagai berikut: 36

The principle of complete independence of the judiciary from the executive is the foundation of many things in our island life..the judge has not only to do justice between man and man. He also has to do justice between the citizens and the state. He has to ensure that the administration conforms with the law and to adjudicate upon the legality of the exercise by the executive of its power. (Sir Winston Churchil). Fundamental rights and liberties can best be preserved in a society where the legal profession and the judiciary enjoy freedom from interference and pressure (Louis Joined, UN Rapporteur on the Independence of Judiciary).

Atas dasar pengalaman dan praktek demokrasi di pelbagai negara, terdapat suatu hipotesa bahwa kualitas demokrasi suatu bangsa yang antara lain ditandai dengan menjunjung asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, akan lebih efektif daripada usaha untuk menghindari kooptasi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif dengan cara menyatukan administrasi peradilan dan kekuasaan pengadilan dalam satu kekuasaan: Mahkamah Agung. Pengalaman di Indonesia sejak kemerdekaan, kemudian disusul Orde Lama dan Orde Baru, menunjukkan bahwa pemisahan dua kekuasaan tersebut di dua lembaga yaitu di lembaga eksekutif (Departemen Kehakiman, Departemen Hankam dan Departemen Agama) untuk aspek administrasi peradilan (organisasi, administrasi dan finansial) dan di lembaga yudikatif (Mahkamah Agung) untuk aspek judicial power, sangat rawan terhadap gangguan bagi asas kekuasaan kehakiman yang merdeka. Seperti diutarakan pada bagian awal, asas kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu karakteristik sistem peradilan terpadu pada tataran asas. Dari uraian selanjutnya akan nampak bahwa mengingat budaya hukum demokrasi yang belum melembaga di Indonesia, maka menempatkan hukum sebagai instrumen (instrumentalisasi hukum) untuk melindungi kekuasaan kehakiman yang merdeka akan lebih efisien dan efektif daripada mempercayakan mekanisme perlindungannya kepada budaya hukum yang masih diragukan. Dalam hal ini ada pendapat yang menarik, dan ada baiknya dikemukakan, yaitu usul perluasan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka agar diperluas mencakup perlindungan integritas keseluruhan sistem peradilan pidana yang mencakup independensi administrasi peradilan, termasuk independensi penyelidik, penyidik dan penuntut umum sebagai penegak hukum. 37

Di samping keterkaitannya dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka baik buruknya kinerja administrasi peradilan akan merupakan variabel independen terhadap promosi dan perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana. Dalam hal ini penghayatan terhadap pedoman yang tersurat dan tersirat dalam pelbagai instrumen internasional tak dapat dihindarkan. Fungsionalisasi Administrasi Peradilan Administrasi peradilan, baik dalam arti court administration maupun sebagai refleksi judicial power, hanya akan berperan maksimal dan bermakna terhadap sistem peradilan pidana terpadu apabila dapat mengelola jati dirinya sebagai pendukung prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berhasil mempromosikan serta melindungi HAM dalam administrasi peradilan pidana. Dalam konteks court administration guna menegakkan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka di era reformasi, maka atas dasar amanat TAP MPR RI No. X/MPR/1998 yang mengamanatkan pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif dengan mengalihkan organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawah departemen-departemen menjadi berada di bawah MA, maka diundangkan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Th. 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Untuk pelaksanaannya secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak UU tersebut berlaku (31 Agustus 1999). Menyadari di masa lalu MA boleh dikatakan telah mengalami kerusakan sistemik, maka usaha untuk memperbaikinya harus dilakukan secara sistemik pula guna menyongsong dua wewenang yang di masa datang akan berada di bawah kekuasaannya. Selanjutnya dalam ruang lingkup pemahaman administrasi peradilan sebagai adminstration of justice maka pengamanan harus dilakukan dengan melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan yang dapat mencederai integritas administrasi peradilan pidana tersebut. Kelompok tindak pidana yang masuk kategori offences against the administration of justice antara lain mencakup tindak-tindak pidana seperti; menolak untuk membantu polisi, lari dari penjara, membuang atau menggelapkan alat atau barang bukti, menghalangi penahanan atau penuntutan, sumpah dan kesaksian palsu, menyampaikan buktibukti palsu, mempengaruhi saksi dengan penyuapan (koruptif), 38

menghambat atau menggangggu proses kesaksian, melakukan pembalasan terhadap saksi, melakukan intimidasi, menyuap untuk mempengaruhi pejabat pengadilan dengan tujuan untuk memaksa pejabat yang bersangkutan untuk tidak melakukan atau melakukan tugasnya secara tidak benar (termasuk pula di sini pejabat pengadilan yang menerima suap), melakukan pembalasan terhadap pejabat pengadilan sehubungan dengan pelaksanaan tugas pejabat yang lain, melakukan perbuatan tidak patut di depan pengadilan, dan merendahkan martabat pengadilan (contempt of court). Khusus mengenai promosi dan perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana, mencakup di dalamnya usaha untuk selalu mencapai atau mendekati standar umum kemajuan sebagaimana ditentukan oleh pelbagai instrumen internasional yang mencakup antara lain, penegakan persamaan hukum dan pencegahan diskriminasi baik secara tertulis maupun praktis, perlindungan asas legalitas, hak untuk hidup dan bebas dari pemidanaan yang kejam dan tidak biasa, hakhak kebebasan dan hak terpidana (prisoners rights), hak untuk diadili secara adil, administrasi peradilan bagi anak remaja (Administration of Juvenile Justice), kekuasaan kehakiman yang merdeka; pelbagai Kode Etik untuk para penegak hukum; dan lain sebagainya. Kesimpulan 1. Kualitas administrasi peradilan baik dalam bentuknya sebagai court administration maupun sebagai administration of justice dalam kerangka kekuasaan mengadili (judicial power) sangat berarti bagi terciptanya sistem peradilan pidana terpadu; 2. Untuk dapat berperan efektif dan maksimal terhadap sistem peradilan pidana terpadu, dua dimensi makna administrasi peradilan harus dapat mncerminkan pelbagai indeks sistem peradilan pidana terpadu pada umumnya baik yang berada pada tataran ideal, tataran asas, tataran operasional dan tataran penunjang, maupun promosi dan perlindungan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan HAM pada khususnya; 3. Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu, khususnya untuk menghindari kooptasi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif, maka dua dimensi administrasi peradilan harus berada dalam satu kekuasaan yaitu MA. Dengan demikian UU No. 35 Tahun 1999 harus dilaksanakan secara sistematik dan konsisten; 39

4. Untuk dapat menerima tugasnya yang berat dalam rangka menyatukan kekuasaan mengadili, dan court administration, MA dengan segala jajarannya harus membenahi diri secara sistemik yang mencakup perbaikan struktural, substantif, kultural, kepemimpinan, keterbukaan akan kritik dan peningkatan kesejahteraan pejabat-pejabat pengadilan; 5. Mengingat makna dari administrasi peradilan yang mencakup pula administration of justice dalam arti luas, maka di samping dukungan legislasi yang memadai (UU No. 35/1999 dan kriminalisasi perbuatan yang mengganggu), diperlukan semangat para pemegang peran di dalamnya untuk memperluas pengertian the independence of judiciary menjadi the independence of the administration of justice; 6. Di samping kualitas penguasaan konseptual, perlu diperhatikan pelbagai faktor-faktor decisive lain seperti kualitas perundangundangan, ketersediaan prasarana penunjang, kualitas SDM, partisipasi masyarakat, kualitas kepemimpinan di bidang hukum, dan kondisi sosial ekonomi yang kondusif. n

40

Analisis Gijzeling dari Sisi Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia
Pendahuluan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1964 dan No.2 Tahun 1975 telah memerintahkan kepada Ketua Pengadilan dan Hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai gijzeling (upaya paksa badan) yang diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB/HIR), dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (RBg) karena dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan. Seperti diketahui, surat edaran di atas sempat menimbulkan kontroversi karena landasan hukum pembekuan ketentuan HIR dan RBg tentang gijzeling melalui SEMA dianggap tidak memadai dan bisa menimbulkan preseden hukum yang buruk. Mestinya pertimbangan kebutuhan hukum, keadilan, perikemanusiaan dan hak asasi manusia harus dijadikan semangat bagi para hakim untuk mengembangkan dan menggali nilai-nilai keadilan masyarakat dalam penerapan hukum. Dengan demikian tercermin upaya lebih serius untuk melaksanakan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka (the independece of judiciary) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 Melalui Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2000, kedua SEMA di atas dinyatakan tidak berlaku lagi atas dasar pertimbangan bahwa pembekuan lembaga gijzeling dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan untuk penegakan hukum dan keadilan dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia. Selanjutnya pertimbangan Mahkamah Agung dalam Peraturan MA (PERMA) No. 1 Tahun 2000 untuk tidak lagi 41

mengartikan gijzeling sebagai sandera (hostage) atau penyanderaan (taking of hostages) dan diganti dengan paksa badan (imprisonment for civil debts) sangat tepat. Sesuai dengan prinsip universal, imprisonment harus diartikan sebagai lawful imprisonment. Menggunakan penjelasan Black: penahanan seseorang bertentangan dengan keinginannya. Undang-undang menempatkan atau membatasi seseorang dalam penjara. Pengekangan atas kebebasan pribadi seseorang; paksaan yang dilakukan atas seseorang untuk mencegah penggunaan kebebasan bergerak. (Black, 1998). Istilah sandera atau penyanderaan selalu mengandung konotasi negatif dalam arti false imprisonment yang di dalamnya terkandung unsur tidak mengindahkan hukum, tanpa surat perintah, dan dengan paksaan. Di Amerika Serikat, penyanderaan diperlakukan sebagai federal crime. Dalam KUHP Indonesia hal semacam ini diatur dalam pasal-pasal yang menyangkut kejahatan terhadap kemerdekaan orang (Bab XVIII). Gijzeling dalam Kerangka Hukum Pidana Istilah imprisonment for civil debt akan memberi kesan terjadinya intervensi hukum pidana sebagai bagian hukum publik terhadap masalah-masalah perdata dalam batas-batas tertentu memang bisa dibenarkan, mengingat sikap komplementer yang demikian itu bukan sesuatu yang asing lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia. Sebagai contoh adalah sanksi berupa pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 34 c UU no.3 tahun 1971, yang kemudian dilanjutkan dalam Pasal 18 ayat (10 huruf b UU no.31) Tahun 1999 yang keduanya mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam RUU KUHP (2000) disebutkan pengaturan pidana tambahan berupa ganti rugi. Sifat komplementer juga terjadi antara hukum pidana dan hukum administrasi dalam bentuk administrative penal law yang semakin marak dalam kehidupan modern. Dalam hal ini nampak semakin intensifnya kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang sebenarnya masuk wilayah hukum administrasi. Dalam konteks ini dibutuhkan sanksi pidana untuk memperkuat sanksi administrasi dalam rangka mendorong seseorang untuk tetap taat terhadap norma-norma yang mendasarinya, seperti dalam masalah lingkungan hidup, perpajakan, kearsipan, perlindungan konsumen, dan sebagainya. 42

Di dalam hukum pidana sering kali orang sulit membedakan antara persoalan hukum perdata dengan persoalan hukum pidana. Definisi tentang kejahatan ekonomi yang digunakan oleh The American Bar Association dapat dijadikan acuan, mengingat salah satu karakteristik kejahatan ekonomi adalah tindak pidana yang dilakukan dalam lingkup kegiatan ekonomi, yang dengan sendirinya merupakan, atau paling tidak dianggap sebagai kegiatan bisnis yang legal dan normal. Disebutkan bahwa tindak pidana ekonomi adalah kegiatan ilegal dan tanpa kekerasan yang pada dasarnya mengandung unsur penipuan, mispresentasi, penyembunyian, manipulasi, pelanggaran kepercayaan, pengelakan atau penggunaan dalih yang tidak sah menurut hukum. Dengan demikian keberadaan unsur-unsur tadi merupakan kata-kata kunci untuk menentukan apakah suatu perbuatan di bidang ekonomi merupakan perbuatan yang mengandung unsur sifat melawan hukum (pidana) ataukah perbuatan melanggar hukum yang bersifat perdata (Clinard and Yeager, 1989). Apabila hukum perdata dengan sanksi berupa ganti rugi berusaha untuk melindungi hak-hak sipil/privat, maka hukum pidana melalui proses kriminalisasi dan sanksi yang lebih berat (pidana mati, penjara, kurungan dan atau denda serta pidana tambahan) berusaha untuk melindungi tidak hanya kepentingan pribadi, tetapi juga kepentingan pribadi dalam kaitannya dengan kepentingan masyarakat luas, seperti kepentingan umum dan kepentingan negara. Dalam hal ini dikenal istilah mala in se (suatu perbuatan yang salah dan immoral pada dirinya) dan mala prohibita (hal-hal yang dilarang undang-undang sebagai pelanggaran hak orang lain hanya karena hal-hal tersebut dilarang). Yang terakhir ini menunjukkan kemungkinan bergesernya pandangan tradisional hukum pidana tentang unsur kebejatan moral. Dengan perkembangan di atas, sekalipun agak aneh, tetapi atas dasar asas komplementer antara hukum perdata dan hukum pidana, pendayaguaan imprisonment (yang merupakan sanksi hukum pidana) sebagai upaya paksa badan (gijzeling) terhadap debitur yang beritikad tidak baik, masih dapat dibenarkan sejauh didasarkan atas alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemberlakukan upaya paksa badan tadi pada dasarnya merupakan kriminalisasi terbatas. Disebut kriminalisasi terbatas sebab dalam hal ini muncul istilah atau jenis kejahatan baru yakni civil offenses sebagaimana diatur di Arizona, yakni ketika misalnya seseorang atau orang tua gagal untuk 43

membayar bantuan terhadap anak yang ditetapkan oleh pengadilan (Child Support Arrest Warrant). Kriminalisasi dapat diartikan sebagai berikut; (a) proses menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi sebuah tindak pidana; (b) mengaktualisasikan ketentuan hukum pidana yang semula dianggap sebagai ultimum remedium menjadi primum remedium; (c) perluasan subjek hukum pidana mencakup pidana atas dasar prinsip komplementer terhadap pelanggaran norma-norma hukum perdata (civil offense) dan hukum administrasi (Muladi, 1990). Salah satu syarat kriminalisasi adalah keberadaan korban, baik korban aktual maupun korban potensial. Imprisonment for debts jelas mengandung dua jenis korban tersebut. Syarat lain adalah apakah fungsi subsidair dipenuhi, dalam arti tidak adanya cara lain yang lebih efektif dan penggunaan cost and benefit analysis. Kapasitas atau kelayakannya untuk diterapkan merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan sehingga tidak menimbulkan kesan adanya overkriminalisasi. Kriminalisasi tidak boleh bersifat adhoc dan terlebih lagi dimaksudkan sebagai tindakan pembalasan semata-mata. Ringkasnya, kriminalisasi tetap harus berpijak pada tujuan-tujuan positif. (Mc Lean, 1999) Khusus mengenai fungsi subsidair, gijzeling merupakan reaksi terhadap sistem alternative dispute resolution yang tidak memuaskan dan proses hukum perdata yang berlarut-larut dan bertentangan dengan prinsip pengadilan yang cepat. Alasan penolakan terhadap imprisonment for debts seperti yang terjadi di Texas, berkaitan dengan pemikiran bahwa memenjarakan, mengurung, atau bahkan mengancam pemenjaraan dan pengurungan terhadap proses penyelesaian hutang seorang debitur yang beritikad baik, adalah langkah yang tidak beradab dan sama sekali tidak dibenarkan. Alasan lain, dikaitkan dengan pengalaman empiris, bahwa sekalipun penerapan hukum pidana dalam kasus-kasus perdata didasarkan atas keinginan penuntut umum untuk menyatakan perang melawan pengusaha yang terlibat dalam perselisihan kontrak demi mencari keadilan, namun ternyata eksesnya adalah pemerasan (exortion) terhadap pengusaha yang jujur yang tidak mampu untuk menerima stigma atau noda akibat pemenjaraan. Di samping itu alasan kemampuan atau ketidakmampuan debitur 44

untuk memenuhi kewajibannya yang terkait dengan persoalan finansial, seringkali menimbulkan penegakan hukum pidana yang diskriminatif yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila kinerja debitur didasarkan pada unjustifiable standard dan arbitrary classification. Bagi mereka yang terkena, langkah pemenjaraan akan dianggap sebagai tindakan hukum yang tiranik dari sebuah sistem kekuasaan yang arogan akibat penerapan teori rekayasa sosial yang berlebihan. Di beberapa negara bagian Amerika Serikat memang terdapat Constitutional and Statutory Restriction untuk tidak menerapkan penahanan seseorang atas dasar masalah perdata, kecuali atas dasar dua hal. Pertama, kasus-kasus yang mengandung unsur penipuan atau kecurangan atau yang secara sengaja ingin menimbulkan kerugian terhadap orang lain, yang seringkali antara keduanya dipisahkan atau dibedakan satu sama lain. Jika pemahaman terhadap unsur kecurangan dapat mengacu pada definisi kejahatan ekonomi dari American Bar Association di atas, maka unsur dengan sengaja yang biasa digunakan dalam hukum pidana mencakup tujuan atau kesengajaan untuk melakukan perbuatan. Sekalipun tidak mengandung kesengajaan jahat, orang yang bersangkutan menghendaki dan mengetahui segala sesuatu yang akan dilakukan termasuk akibatnya, sebagai seseorang yang bebas. Unsur dengan sengaja tadi menjadikan perbuatan seorang debitur sebagai kejahatan, misalnya seseorang sebenarnya mampu untuk membayar, tetapi dengan sengaja (menghendaki dan mengetahui) menolak kewajiban tersebut, meskipun ia tahu menyangkut hak orang lain. Dalam hal ini perbuatan seorang debitur melebihi batas dan masuk ke dalam lingkup pidana. Kedua, Hutang debitur yang termasuk dalam kategori not ordinary debts, yaitu apabila dengan itikad buruk ia sengaja tidak ingin dibayar, akan bertentangan dengan kesejahteraan umum atau bertentangan dengan good morals and fair dealing atau dengan sengaja ingin merugikan hak orang lain atau berlawanan dengan norma-norma sosial yang fundamental. Mungkin kondisi negara dalam keadaan krisis multidimensional masuk dalam kategori ini. (Androphy, 2001). Gijzeling dalam konteks HAM Sejak gerakan reformasi bergulir, yang ditandai dengan lengsernya rezim Orde Baru (Mei 1998), maka segala indeks 45

demokrasi seolah-olah berlomba untuk diaktualisasikan. Pelbagai indeks tersebut pada dasarnya bersumber pada empat hal yaitu; (a) pemilihan umum yang jujur dan adil; (b) pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan responsif; (c) penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik; (d) pemenuhan terhadap ciri-ciri yang diperlukan bagi masyarakat yang demokratis (Beetham, 1999). Kekuasaan di Indonesia pasca Orde Baru nampaknya sangat serius terhadap promosi dan perlindungan HAM. Hal ini nampak dari produk perundang-undangan yang dihasilkannya tegas-tegas mengakomodasi elemen-elemen HAM yang penting, seperi sebagai berikut: Pertama, Pasal 3 Piagam HAM PBB (the Universal Declaration of Human Rights) yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang; Gijzeling pada dasarnya adalah perampasan kemerdekaan yang tidak boleh diingkari dengan semena-mena. Ini diperkuat dengan penjelasan Pasal 9 Piagam HAM PBB bahwa tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang. Kedua, Pada Pasal 11 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka, dan di dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang perlu untuk pembelaannya. Gijzeling yang masuk kategori imprisonment for civil debt merupakan bagian dari kriminalisasi terbatas. Apabila pelaksanaannya tidak didasarkan atas keputusan pengadilan maka merupakan pelanggaran HAM. Hal ini nampaknya sudah diantisipasi oleh perumus Perma No.1 Tahun 2000. Pasal 6 Perma tersebut mengatur bahwa putusan tentang paksa badan, ditetapkan bersama-sama dengan putusan pokok perkara terhadap debitur yang beritikad tidak baik dan mempunyai hutang kepada negara atau yang dijamin oleh negara, dan dilaksanakan secara serta merta. Pelaksanaan putusan yang menyangkut paksa badan dilakukan dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini perlu dipikirkan agar dengan syaratsyarat tertentu, perbuatan debitur yang tidak memenuhi kewajibannya dijadikan tindak pidana (kriminalisasi penuh). Syaratsyarat tersebut antara lain berkaitan dengan unsur penipuan dan kecurangan disertai unsur kesengajaan dilengkapi dengan standar 46

kejahatan ekonomi dari The American Bar Association; hutang debitur nakal yang bersangkutan termasuk kategori utang yang tidak biasa dan dipenuhinya dengan syarat-syarat kriminalisasi yang lain. Ketiga, Pasal 29 ayat (2) Piagam Ham PBB yang secara tegas menyatakan bahwa di dalam menjalankan hak dan kewajibannya yang ditetapkan oleh undang-undang, setiap orang tunduk hanya pada batasan-batasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syaratsyarat kesusilaan, kesejahteraan umum yang adil dalam suatu masyarakat demokrasi. Hal seperti ini juga diatur dalam Pasal 73 UU No.39 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Kovenan Internasional Tentang Hakhak Sipil dan Politik, maka masalah kemerdekaan dan kebebasan tidak termasuk dalam non derogable rights, sehingga dapat dibatasi dengan undang-undang atas dasar alasan-alasan yang didasarkan pada baik Pasal 29 ayat (2) piagam HAM PBB atau Pasal 73 UU No. 29 Th 1999. Dengan demikian perkeculian tertera dalam Pasal 2 PERMA no.1 tahun 2000 bahwa di samping gijzeling harus didasarkan pada ketentuan Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 HIR, dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 2558 RBg, masih mungkin dikecualikan dalam hal yang diatur secara khusus dalam PERMA tersebut perlu dipertanyakan. Keempat, Pasal 11 Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik menegaskan bahwa tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang. Mengingat sifat hak kemerdekaan merupakan derogable rights, maka dapat diperlakukan kemungkinan restriksi dan limitasi atas dasar Pasal 29 ayat (2) Piagam HAM PBB dan Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999. Dengan demikian pertimbangan normatif dari PERMA No. 1 Tahun 2000 (keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia) harus kompatibel dengan istilah debitur yang beritikad tidak baik sebagaimana beberapa 47

kali disebut dalam batang tubuh Perma, konsep empiris yang berkaitan dengan syarat penerapan imprisonment for debts, standar pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Piagam HAM PBB, dan Pasal 73 UU No.39 tahun 1999. Kesimpulan dan Rekomendasi (1) Dengan persyaratan teoritik dan konseptual yang jelas, keberadaan lembaga gijzeling (lembaga paksa badan) atau imprisonment for debts dapat dibenarkan. (2) Pendayagunaan sanksi pidana perampasan kemerdekaan (imprisonment) secara konseptual tidak bertentangan dengan prinsip hukum atas dasar asas komplementer (principle of complimentary) dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan di masyarakat. (3) Gijzeling atau lembaga paksa badan atau imprisonment for debt pada hakekatnya merupakan proses kriminalisasi terbatas . Peningkatannya menjadi kriminalisasi penuh untuk memenuhi asas legalitas dalam bentuk civil offence dapat dilakukan dengan menggabungkan persyaratan kriminalisasi yang bersifat umum (adanya korban, analisa biaya dan hasil, efektivitas penerapan, tidak bersifat ad hoc dan bukan pembalasan semata-mata, fungsi subsidair hukum pidana dan tidak menimbulkan kesan overcriminalization dengan standar yang telah ada (seperti menggunakan acuan definisi economic crimes dari the American Bar Association). (4) Persyaratan yang tersebut dalam butir (3) harus sesuai dengan pertimbangan diterbitkannya Perma No.1 Tahun 2000 dan ratifikasi dan limitasi HAM yang tecantum dalam Pasal 29 ayat (2) Piagam HAM PBB dan Pasal 73 UU No. 39 tahun 1999. (5) Sebagai hak asasi, kemerdekaan seseorang bisa dibatasi dengan syarat-syarat tersebut pada butir (4), karena liberty tidak termasuk kategori non derogable rights. Sehubungan dengan itu sebenarnya langkah administratif yang hanya dibatasi pada hutang kepada negara atau yang dijamin oleh negara tidak perlu dilakukan, sepanjang persyaratan tersebut pada butir (3) dan (4) bisa dipenuhi. (6) Sesuai dengan persyaratan restriksi dan limitasi yang hanya bisa dilakukan atas dasar Undang-undang, maka pengaturan pelaksanaan paksa badan terhadap debitur yang beritikad tidak baik, tidak boleh diatur secara khusus dalam Perma dan menyimpang dari ketentuan HIR dan RBg. (lihat Pasal 2 Perma No.1 tahun 2000). n 48

Usaha Keluar dari Lingkaran Abu-abu di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia
Mengkaji dan mengamati perkembangan hukum sejak pasca kemerdekaan sampai dengan perkembangannya saat ini memberikan sumber inspirasi dan mengandung pelajaran yang mendalam. Tanpa terasa, sejak kemerdekaan Bangsa Indonesia telah mengalami 3 (tiga) orde dengan masing-masing karakteristiknya sendiri yaitu, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Hipotesis bahwa suatu orde atau suatu tatanan politik akan mempengaruhi sistem hukum yang berlaku, baik secara substantif, struktural, maupun kultural banyak benarnya. Orde Lama yang merupakan kelanjutan dari orde pemerintahan pasca kemerdekaan, sarat dengan spirit untuk mencari bentuk pemerintahan yang cocok untuk Negara Republik Indonesia. Spirit pencarian itu dilatarbelakangi oleh pelbagai usaha untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang tengah diuji oleh pelbagai gerakan separatis dan subversif. Perubahan konstitusi, mulai dari UUD 1945, Konstitusi RIS, UUD 1950, dan kembali lagi ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 memberikan gambaran utuh tentang proses pencarian jati diri tersebut. Pada masa pencarian itu tak dapat dihindari terjadinya euphoria kemerdekaan yang seringkali menimbulkan efek kebiasaan menerabas hukum dengan alasan bahwa pelbagai hukum yang ada merupakan produk kolonial. Dalam situasi dan kondisi semacam itu nampak pelbagai gejala yang mengambarkan praktek-praktek pelanggaran prinsip hukum, seperti kecenderungan kekuasaan eksekutif melakukan kooptasi terhadap kekuasaan yudikatif dan legislatif. Contohnya adalah keberadaan UU No.19 Tahun 1964 yang memungkinkan campur 49

tangan Presiden terhadap kekuasaan kehakiman demi kepentingan revolusi, dan pembiaran kedudukan MPR dan DPR yang bersifat sementara dalam kurun waktu yang relatif lama. Demikian pula dengan keberadaan UU No.11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang penuh dengan nuansa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), meningkatnya peraturan-peraturan hukum pidana yang represif, dan bayang-bayang kegiatan intelijen yang bersifat eksesif karena kemungkinannya dapat terlibat melakukan crimes by government dengan dalih keamanan, ketertiban, dan seterusnya. Setelah Orde Lama jatuh, muncul Orde Baru yang diwarnai oleh semangat untuk menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, suatu semangat yang lama diabaikan dan dipandang menjadi sebab paling penting kejatuhan Orde Lama pada tahun 1966. Dekade pertama dari Orde Baru ini diwarnai oleh semangat promosi dan perlindungan HAM, supremasi hukum dan demokratisasi melalui Pemilu 1971. Tetapi nampaknya spirit tersebut tak berlangsung lama, karena segera setelah itu, yang dapat kita saksikan adalah beroperasinya sebuah sistem kekuasaan dan kepemimpinan nasional yang bersifat tertutup, melupakan tekad awal untuk menjalankan UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, dan di atas segalanya, merebaknya praktek-praktek KKN yang berlangsung begitu luas dan dalam jangka waktu yang lama pula. Usaha untuk merumuskan TAP MPRS tentang HAM sejak tahun 1966 gagal dilakukan, dan supremasi hukum tinggal kenangan akibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak berhasil diwujudkan, karena UU No.14 Tahun 1970 yang diundangkan membuka kemungkinan untuk campur tangan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman melalui kewenangan Menteri Kehakiman, Menteri Hankam dan Menteri Agama untuk tetap campur tangan di bidang administrasi peradilan (administrasi, finansial dan personal). Pemilu 1971 dan seterusnya sulit dikatakan jujur dan adil meskipun istilah ini menjadi semboyan resmi di sepanjang pemilu Orde Baru karena ditandai oleh pelbagai rekayasa untuk kepentingan politik penguasa saat itu. Apa yang disebut praktek KKN ternyata sudah demikian sistemik dan endemik sifatnya. Yang sangat mengherankan adalah munculnya usaha untuk melestarikan UU No.11 tahun 1963 (melalui UU No.5 tahun 1969 menjadi UU No.11 PNPS tahun 1963), yang ternyata menimbulkan 50

ekses luar biasa mahal berupa kematian hak-hak politik dan kemudian membawa banyak korban dalam bentuk meningkatnya jumlah tahanan politik dan narapidana politik. Padahal undang-undang tersebut pada masa Orde Lama telah banyak mengantarkan tokoh-tokoh Orde Baru ke penjara. Kelak, dengan praktek-praktek semacam itu, Orde Baru yang pada mulanya ditunggu hasil positifnya dengan penuh harapan, pada akhirnya menampakkan bentuknya sebagai orde yang hampir selalu diliputi oleh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan banyak terlibat dalam praktek pelanggaran HAM. Pada mulanya langkah-Iangkah yang menekan hak-hak sipil dan politik dengan dalih perlunya keamanan dan ketertiban masyarakat demi pembangunan ekonomi tidak terlalu dirasakan karena didukung oleh kondisi ekonomi yang baik. Namun begitu krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997, maka tuntutan-tuntutan untuk menegakkan hak-hak sipil dan politik melalui gerakan reformasi meledak tak tertahankan dan berujung pada jatuhnya Orde Baru pada bulan Mei 1998. Orde Reformasi yang dimulai pada Mei 1998 belajar banyak dari orde-orde sebelumnya. Langkah sistematis dilakukan untuk bangkit kembali dari krisis multidimensional yang mengawali kekuasaannya. Reformasi diletakkan makna operasionalnya sebagai usaha sistematis bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dasar demokrasi. Reformasi hukum yang pada orde-orde sebelumnya diartikan sebagai usaha untuk menggantikan pelbagal perundangundangan kolonial dengan hukum nasional, diposisikan sebagai proses demokratisasi hukum dengan memperhatikan baik aspirasi nasional maupun global. Konsentrasi pembaharuan hukum diarahkan pada pelbagai kelemahan pada masa lalu yang mencakup sistem hukum dan kehidupan sosial, politik dan HAM, pemberantasan KKN, dan yang mengatur bidang ekonomi untuk menghadapi era pasar bebas. Undang-undang yang mengatur Pemilu dan Partai Politik disesuaikan dengan dengan cara mengakomodasi aspirasi demokrasi yang berkembang. UU tentang HAM dirumuskan, diikuti dengan ratifikasi terhadap HAM Internasional. UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diperbaiki, dan penciptaan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN terus diusahakan. Undang-undang anti monopoli, kepailitan, perlindungan konsumen, perbankan yang antara lain mengatur independensi Bank Indonesia dan lain-lain dibentuk juga disempurnakan. Yang tak kalah pentingnya adalah UU No.35 51

Tahun 1999 yang mengatur kekuasaan kehakiman di bawah satu atap Mahkamah Agung juga diundangkan, dengan maksud utama untuk menghalangi kooptasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif. Belum lagi yang mengatur kebebasan pers serta pencabutan UU Pemberantasan Kegiatan Subversi yang disusul dengan pembebasan ratusan tahan politik dan narapidana politik. Tetapi, seperti kita tahu, oleh sebab-sebab politik yang tak terhindarkan berupa gugatan-gugatan terhadap legitimasi yang menopangnya terutama menyangkut UUD 45, selain karena kasus skandal perbankan dan soal jajak pendapat Timor Timur, Orde Reformasi ini pada akhirnya jatuh juga. Orde Reformasi lanjutan di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid dikenal dengan Kabinet Persatuannya yang dimulai pada bulan Oktober 1999 berusaha terus untuk melanjutkan dan mengoreksi Orde Reformasi sebelumnya. Tetapi, kabinet inipun tidak berlangsung lama. Abdurrahman Wahid dilengserkan pada bulan Juli 2001 akibat tuduhan KKN terutama dalam skandal Bulogate I dan juga faktor krisis multidimensional yang hampir tidak menunjukkan tanda perbaikan di sepanjang masa kepemimpinannya. Untuk keluar dari kemelut di atas, agaknya sulit dibayangkan tanpa mengandalkan suatu sistem pemerintahan yang memiliki basis legitimasi yang luas dan dipilih secara langsung melalui pemilu yang terbuka, jujur dan demokratis, baik untuk Presiden dan wakil Presiden, maupun bagi anggota DPR dan DPRD. Sistem yang demikian lebih memungkinkan bagi terciptanya pemerintahan yang terbuka, bertanggungjawab dan responsif dalam kerangka penegakan negara hukum, promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama hakhak sipil dan politik yang pada masa lalu banyak terabaikan. Partisipasi masyarakat dalam rangka pembentukan masyarakat madani yang ditandai dengan apa yang disebut self confidence citizens, juga sejalan karena sistem pemilu yang bersifat langsung memberikan akses langsung bagi hak politik rakyat untuk mengontrol pemerintahannya, baik yang di lembaga legislatif, yudikatif maupun di eksekutif. Khusus di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia, diperlukan kepemimpinan di bidang hukum yang moralis dan kuat, disamping dibutuhkan adanya strategi kebijakan yang komprehensif dan profesional, kehendak politik dan pengawasan masyarakat yang berkelanjutan. 52

Pada akhirnya hasil-hasil amandemen terhadap UUD 1945 (IIV) yang belakangan sempat memicu kontroversi secara sistematis dan profesional harus dilaksanakan mengingat sebagian sumber dari segala kemelut bangsa ini, termasuk di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia terkait dengan sifat UUD 1945 yang terlalu singkat dan umum sehingga mudah diberikan interpretasi atau bahkan dimanipulasi sesuai dengan selera dan kepentingan tertentu. Tanpa ada langkah-langkah terobosan yang lebih konkrit dan menyeluruh serta tahapan-tahapan yang jelas, sulit dibayangkan dapat segera keluar dari lingkaran yang serba samar ini. n

53

Diskriminasi Terhadap Wanita, Suatu Perspektif Hak Asasi Manusia


Proses globalisasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi tetapi juga di bidang sosial budaya, iptek, politik, dan sebagainya. Globalisasi di bidang politik antara lain ditandai dengan merebaknya isu tentang transparansi, demokratisasi, hak asasi manusia, keadilan gender, dan sebagainya. Dalam konteks kita di Indonesia, karena alasan-alasan kekuasaan isu-isu seperti itu sempat tertahankan di zaman Orde Baru, tetapi baru kemudian muncul sebagai isu atau tuntutan yang terbuka segera setelah sistem kekuasaan Orde Baru itu runtuh. Selanjutnya, yang dapat kita saksikan adalah serangkaian kontroversi-kontroversi, karena era pemerintahan yang menggantikannya sering tidak memiliki perangkat yang memadai (SDM, hukum, UU, dsb) untuk memberikan jawaban terhadap tuntutan-tuntutan tersebut. Salah satu dari sekian banyak kontroversi itu adalah tentang pengaturan hak asasi manusia terhadap wanita, yang belakangan sempat ramai diperdebatkan. Sejumlah pihak berpandangan bahwa konvensi khusus tentang hak-hak wanita sebagai hal yang tidak ada urgensinya mengingat hak-hak tersebut sudah tercakup dan dilindungi oleh instrumen-instrumen internasional yang ada yang bersumber dari The International Bill of Human Rights. Sementara itu, terdapat kelompok lain yang secara bersemangat memandang sebaliknya, bahwa konvensi khusus itu perlu diadakan justru karena instrumen-instruemn HAM yang ada terlalu umum dan tidak rinci. Apabila membicarakan konvensi HAM tentang wanita (The International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman/ CEDAW yang diratifikasi dengan UU No.7 Tahun 1984 54

dan Convention on the Political Rights of Woman yang diratifikasi dengan UU No.68 Tahun 1958), secara komprehensif harus dikaitkan pula dengan Piagam PBB dan dokumen-dokumen HAM Internasional lain seperti: Convention on the Rights of Child (CRC); The Vienna Declaration and Programme of Action (1993) yang antara lain menegaskan bahwa hak asasi manusia wanita/perempuan merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia; Beijing Declaration and Platform for Action (1995); Declaration on the Protection of Woman and Children in Emergency and Armed Conflict; Convention Consent to Marriage, minimum Age for Marriage and Registration of Marriage; Perjanjian tentang Persamaan pembayaran Gaji Bagi Wanita dan Pria untuk Pekerjaan yang Sama, di Jenewa (diratifikasi dengan UU No.80 tahun 1957). Di samping itu, sebagai konsekuensi dari negara berdaulat maka segala pembicaraan tentang hak-hak wanita harus mengacu pula pada hukum positif nasional seperti: Pasal 27 UUD 1945, memberikan landasan pemikiran bahwa wanita dan pria memiliki hak dan kewajiban (rights and duties) yang sama dalam keluarga, masyarakat dan pembangunan; GBHN 1993 (Tap MPR/II/1993) yang menegaskan bahwa wanita, baik sebagai warga negara maupun sebagai daya insani pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang; Kebijaksanaan mengenai peranan wanita dalam Repelita VI yakni peningkatan kualitas wanita sebagai insan maupun sumber daya pembangunan; UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pembangunan Nasional, khususnya yang mengatur tentang wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang dimulai tahun 1994, menegaskan bahwa orang tua dianjurkan menyekolahkan anaknya baik wanita ataupun pria sekurang-kurangnya sampai menyelesaikan SLTP; Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-O3/MEN/1989 dan No.PER-O4/MEN/1989, masing-masing mengenai larangan pemberhentian hubungan kerja bagi wanita karena perkawinan, hamil dan melahirkan dan aturan (tata cara) untuk melindungi tenaga kerja wanita yang bekerja pada malam hari. Aturan-aturan hukum positif seperti dikemukakan di atas penting untuk dijadikan acuan, sebab sekalipun HAM memiliki sifat universal, 55

namun sebagaimana negara-negara berkembang yang lain dalam implementasinya dikenal pula asas relativisme kultural yang secara universal juga sudah mendapatkan pengakuan, tentu sejauh penggunaan asas relativisme kultural tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dan hakekat HAM yang universal. Pentingnya untuk tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerapan HAM, nampak pada contoh sebagai berikut: 1. The Jakarta Message (1992), butir 18 antara lain menegaskan bahwa: No country however, should use its power dictate its concept of democracy and human rights or impose conditionalities on others... 2. Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang HAM yang dirumuskan oleh Asean Inter Parliamentary Organization (AIPO) antara lain menegaskan: the peoples of Asean accept that human rights exist in a dynamic and envolving context and that each country has inherent historical experiences, and changing economic, social, political and cultural realities and value system which should be taken into account. 3. Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang menyatakan bahwa: while human rights are universal in nature, they must be considered in the context of a dynamic and evolving process of international normsetting, bearing in mind the significance of national and regional peculiaritiers and various historical, cultural and religious backgrounds. 4. Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia yang merumuskan bahwa: All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated While the significant of national and regional particularities and various historical, cultural and religious background must be borne in mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic and cultural systems, to promote and protect all human rights and fundamental freedoms. Apapun rumusannya, pelbagai negara di dunia sepakat bahwa HAM adalah hak yang melekat (inherent) secara alamiah pada diri manusia sejak manusia lahir dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh. Tanpa 56

HAM, manusia tak dapat mengembangkan bakat-bakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, meliputi hak-hak sipil dan politik, hak-hak sosial, ekonomi, budaya serta hak untuk berkembang. Sepanjang menyangkut diskriminasi terhadap wanita, pelbagai data baik nasional maupun internasional menunjukkan bahwa perjuangan untuk menegakkan HAM wanita masih merupakan perjuangan yang berat, sebab masih terdapat kesenjangan yang cukup memprihatinkan antara hukum dalam buku dan hukum dalam praktek. Ratifikasi terhadap konvensi internasional tentang wanita tidak secara otomatis akan mengakhiri pelbagai tindak diskriminatif. Implementasinya masih harus menuntut perjuangan secara berkelanjutan, sebab masalah yang terkandung di dalamnya tidak sekedar melulu persoalan yuridis tetapi juga mengandung aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya. Pengertian diskriminasi sendiri dapat dikaji dari Pasal 1 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman (1979) yang menyatakan bahwa:
For the purpose of the present convention, the term discrimination against woman shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by woman, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field.

Secara universal diskriminasi diidentifikasikan sebagai praktekpraktek yang meliputi; aborsi selektif dengan teknik-teknik cangggih untuk memperbaiki rasio laki-laki dan wanita (China, India dan Korea Utara); pembunuhan bayi wanita (India Selatan); penyunatan yang sangat kejam (Afrika); diskriminasi kesehatan terhadap anak-anak wanita (Bangladesh); kawin muda; penyimpangan seksual dan perkosaan; pelacuran anak-anak; diskriminasi wanita di bidang penguasaan hak pekerjaan, pendidikan, upah, perlindungan kerja; dan sebagainya. Kemudian dalam Fourth World Conference on Woman di Beijing tanggal 4-15 September 1995, diidentifikasikan beberapa wilayah kritis yang berkaitan dengan wanita dan harus secara berkelanjutan diperjuangkan, meliputi; wanita dan kemiskinan, pendidikan dan pelatihan bagi wanita, wanita dan kesehatan, kekerasan terhadap wanita, wanita dan konflik bersenjata, wanita dan ekonomi, wanita dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, mekanisme 57

kelembagaan bagi peningkatan wanita; hak asasi wanita; wanita dan lingkungan, dan termasuk wanita yang masih anak-anak. Secara nasional, diskriminasi terhadap wanita di Indonesia nampak pada Hasil Survei Sosial Ekonomi (Susenas) 1994 yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik yang antara lain mengambarkan; tingkat buta huruf wanita lebih tinggi daripada pria; kemampuan berbahasa Indonesia lebih rendah dari laki-laki; jam kerja wanita lebih pendek daripada pria; jumlah pegawai negeri sipil wanita sepertiga dari jumlah seluruh pegawai negeri sipil; pegawai negeri sipil wanita yang mempunyai kedudukan tinggi masih sedikit; jumlah wanita yang menjadi anggota lembaga tinggi negara masih sedikit; pengurus partai sebagian besar adalah pria; pengurus maupun anggota organisasi profesi lebih sedikit dari pada pria; penegak hukum wanita jauh lebih sedikit dibandingkan penegak hukum pria. Selanjutnya dari riset yang dilakukan oleh Convention Watch, suatu kelompok kerja yang dibentuk di Program Studi Kajian Wanita (PSW) Pasca Sarjana Universitas Indonesia, memuat penjelasan adanya sejumlah diskriminasi terhadap tenaga kerja wanita, seperti; hak kesempatan kerja yang sama antara perempuan dan laki-laki; kebebasan memilih profesi, pekerjaan, promosi dan pelatihan; hak dalam memperoleh upah yang sama terhadap pekerjaan yang sama nilai (perempuan selalu dianggap lajang); hak dalam menikmati jaminan sosial; hak terhadap kesehatan dan keselamatan kerja; hak untuk tidak diberhentikan dari pekerjaan (dan mendapat tunjangan) karena kawin dan melahirkan; hak haid, hamil dan melahirkan; hak untuk mendapat fasilitas umum dan sosial, khususnya tempat penitipan anak. Dalam kerangka untuk melakukan akselerasi tercapainya pemenuhan hak-hak wanita sebagaimana tercantum di dalam dua Konvensi Internasional dan hukum positif Indonesia, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Perlu ditingkatkan sosialisasi Konvensi Internasional tentang wanita serta peraturan-peraturan hukum positif yang menunjang; b. Perlu ditingkatkan kegiatan-kegiatan penelitian kondusif untuk meningkatkan perlindungan atas hak-hak kewajiban wanita; c. Perlu ditingkatkan usaha untuk menyusun Buku Pedoman Latihan Sosialisasi Konvensi Wanita; d. Perlu ditingkatkan peranan NGOs untuk mengkaji, mendesiminasi dan mengimplementasikan HAM wanita; 58

e. Perlu ditingkatkan kerjasama pelbagai pihak untuk melakukan perlindungan terhadap Wanita; f. Meningkatkan kepeloporan Pusat-pusat Kajian Wanita di Perguruan Tinggi dalam rangka menegakkan HAM Wanita; g. Perlu ditingkatkan usaha untuk melakukan pembaharuan hukum dan harmonisasi hukum nasional sehingga sejalan dengan dokumen-dokumen internasional tentang HAM Wanita; h. Perlu ditingkatkan kerjasama regional dan internasional untuk meningkatkan penghayatan terhadap HAM Wanita baik yang menyangkut institutional arrangement maupun financial arrangement. i. Perlunya pula sosialisasi dari Beijing Declaration and Platform for Action yang dihasilkan oleh Fourth World Conference on Woman di Beijing (1995). n

59

Perlindungan Wanita Terhadap Tindak Kekerasan


Masalah kekerasan terhadap wanita saat ini tidak hanya merupakan masalah individual atau masalah nasional, tetapi sudah merupakan masalah global. Dalam hal-hal tertentu bahkan dapat dikatakan sebagai masalah transnasional. Banyak istilah-istilah yang digunakan untuk melukiskan perhatian terhadap problem ini, seperti violence against woman, gender-based violence, gender violence, female-focused violence, domestic violence, dan sebagainya. Disebut sebagai masalah global karena terkait di sini isu global tentang hakhak asasi manusia (HAM), yang per definisi diartikan sebagai hakhak yang melekat (inherent) secara alamiah sejak manusia dilahirkan dan tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar. Hak-hak tersebut meliputi hak-hak sipil dan politik, hak-hak sosial, ekonomi dan budaya serta hak untuk berkembang. Kaitannya dengan HAM nampak dari pelbagai pernyataan, antara lain bahwa kekerasan terhadap wanita merupakan rintangan (barrier) terhadap pembangunan, sebab kekerasan itu dapat menimbulkan akibat kumulatif yang tidak sederhana, seperti dapat mengurangi kepercayaan diri kaum wanita, menghambat kemampuan wanita untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan sosial, mengganggu kesehatan wanita, mengurangi otonomi wanita baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan seterusnya. Dalam pelbagai pertemuan internasional bahkan dikatakan hal ini ada hubungannya dengan indeks perkembangan manusia (human development index). Dokumen-dokumen HAM yang terkait antara lain: Piagam HAM PBB, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sosial Ekonomi 60

dan Budaya, Konvensi Internasional untuk Menghapuskan (eliminasi) Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (1979), Deklarasi terhadap Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita (1993). Pertemuan-pertemuan internasional untuk membahas penanggulangan kekerasan terhadap wanita juga semakin banyak dilakukan di berbagai negara, seperti; seminar di Den Haag pada tahun 1993 dengan tema Calling for Change: International Strategies to End Violence Against Woman; Workshop Internasional di China (1990); Pertemuan Internasional tentang Kesehatan Reproduksi Wanita di Indonesia (disponsori oleh the Population Council and the Epidemiology Network) yang mengidentifikasi kekerasan terhadap wanita sebagai salah satu bidang prioritas; Konferensi (dua tahunan) yang diselenggarakan oleh the Association of Woman in Development (1991), yang mengidentifikasi kekerasan terhadap wanita sebagai salah satu masalah kesehatan yang penting; Pertemuan yang disponsori oleh the National Council for Womans Rights di Brazil (1986) dan Konferensi Internasional HAM PBB di Wina pada tahun 1993, yang mengakui kekerasan terhadap wanita sebagai pengingkaran HAM wanita. Beberapa pertemuan atau konferensi lain, meskipun sebagian tidak secara langsung berhubungan dengan tema kekerasan terhadap wanita tetapi sangat relevan, di antaranya; Pertemuan tingkat Menteri di Napoli tentang kejahatan transnasional yang terorganisasi di Napoli; Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana di Kairo, serta Sidang keempat Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (semuanya pada tahun 1994). Demikian pula Forty-Seventh World Health Assembly (1994), Forth UN World Conference on Woman, Action for Equality, Development and Peace di Beijing (1995). Kekerasan terhadap wanita juga menjadi substansi utama dalam Final Declaration dari Konferensi Internasional tentang Perlindungan terhadap korban perang di Jenewa (1993), yang berkaitan dengan hukum humaniter. Pelbagai peristiwa di atas semakin menjadi jelas bahwa pergeseran pandangan telah terjadi secara drastis dalam masalah kekerasan terhadap wanita. Semula masalah kekerasan terhadap wanita dilihat sebagai kejahatan terhadap badan dan mungkin nyawa sebagai bentuk kejahatan penganiayaan dan pembunuhan biasa; demikian pula tentang pelecehan seksual dan sebagainya. Dalam perkembangannya kemudian nampak bahwa kekerasan terhadap 61

wanita tidak hanya merupakan persoalan yuridis semata-mata, tetapi di belakangnya ada suatu spirit yang besar yang berkaitan dengan HAM. Seperti diketahui, HAM mencakup dimensi politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya yang harus ditelaah secara komprehensif dan integral. Anatomi Kekerasan Terhadap Wanita Pada tahun 1993, Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap wanita yang dirumuskan pada tahun 1992 oleh Komisi Status Wanita PBB. Pada Pasal 1 dinyatakan bahwa kekerasan terhadap wanita mencakup: setiap perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap wanita baik fisik, seksual atau psikis, termasuk ancaman perbuatan tersebut; dan paksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat. Pasal 2 Deklarasi menyatakan bahwa definisi tersebut hendaknya dipahami untuk meliputi, dan tidak terbatas pada kekerasan fisik, seksual dan psikis yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat, termasuk penganiayaan, perlakuan seksual secara salah terhadap anak wanita, kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin (dowry related violence), perkosaan dalam perkawinan (marital rape), penyunatan wanita yang mengganggu kesehatan (female genital mutilation) dan praktek-praktek tradisional lain yang merugikan wanita, kekerasan di luar hubungan perkawinan, kekerasan yang bersifat eksploitatif, pelecehan wanita secara seksual (sexual harrasment) dan intimidasi di lingkungan kerja, dalam lembaga pendidikan, perdagangan wanita, pemaksaan untuk melacur, dan kekerasan yang dilakukan oleh penguasa. Definisi ini secara tegas menunjuk akar kekerasan pada hubungan gender (gender-based roots). Lalu sejumlah aktivis LSM wanita mengembangkan lebih lanjut definisi tersebut secara lebih luas, yakni mencakup akses yang terbatas dalam bidang sumber daya sosial ekonomi, seperti lapangan kerja, dan sejenisnya sebagai bentukbentuk lain dari kekerasan yang memang berkaitan dengan HAM (sipil, politik, sosial ekonomi dan budaya serta hak untuk berkembang). Bentuk-bentuk yang lebih spesifik di pelbagai negara adalah incest, serangan seksual, perkosaan, pembunuhan, penganiayaan, foot62

binding di China pada masa lalu, stove death dengan cara dibakar di Pakistan, penganiayaan karena mahar di India dan Bangladesh serta Pakistan baik di desa maupun di kota. Di Bangladesh dikenal adanya perusakan muka wanita dengan melempar bahan kimia. Di Afrika terjadi penyunatan wanita yang melebihi batas toleransi kesehatan, perdagangan wanita untuk pelacuran termasuk anak-anak di bawah umur (white slavery), penganiayaan isteri, perkosaan dan kekerasan lain di lingkungan keluarga (domestic violence), kekerasan terhadap karyawan wanita, pornografi, kawin paksa (force marriage), seranganserangan psikis dan emosional lain, diskriminasi ekonomis, pelecehan seksual, intimidasi di lingkungan kerja. Dari sisi siklus kehidupan manusia kekerasan terhadap wanita dapat diidentifikasikan sebagai berikut: - Sebelum kelahiran: aborsi (Cina, atas India, dasar seleksi kelamin Korea), penganiayaan pada saat hamil, pemaksaan kehamilan seperti perkosaan masal pada saat perang. - Pada saat bayi: pembunuhan bayi (wanita), perlakuan salah baik emosional dan psikis, perbedaan perlakuan dalam bidang makanan dan kesehatan terhadap anak wanita. - Pada usia anak: kawin anak, penyunatan, perlakuan seksual baik oleh keluarga maupun orang lain, pelacuran anak. - Pada usia remaja: kekerasan pada saat bercumbuan (date rape), perlakuan seks terpaksa karena tekanan ekonomi, pelecehan seksual di tempat kerja, perkosaan, pelacuran dipaksa, perdagangan wanita. - Masa reproduksi: Kekerasan oleh pasangan intim, marital rape, pembunuhan atau kekerasan karena mahar, pembunuhan oleh pasangan, perlakuan salah psikis, pelecehan seksual di tempat kerja, perkosaan, kekerasan terhadap wanita cacat. - Usia tua: Kekerasan terhadap janda, kekerasan terhadap orang tua. Identifikasi Kausa Pada dasarnya secara umum dapat dikatakan bahwa akar kausa terjadinya kekerasan terhadap wanita adalah budaya dominasi lakilaki atau budaya patriakhi. Dalam struktur dominasi ini kekerasan seringkali digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan kadangkala untuk 63

mendemonstrasikan dominasi semata-mata. Segala bentuk kekerasan seringkali tanpa disadari merupakan refleksi dari sistem patriarkhi tersebut. Pendekatan akar budaya tentang praktek-praktek merugikan terhadap wanita (culture-bound practices harmful to women), seringkali digunakan untuk menggantikan istilah yang lebih dangkal yang digunakan PBB, yakni apa yang disebut praktek- praktek tradisional yang merugikan wanita (traditional practices harmful to woman) . Sebagai contoh, penghargaan terhadap keperawanan, diidentifikasikan sebagai sebab pendorong terjadinya perkawinan pada usia sangat muda. Begitu pula tentang penyunatan (dilakukan dengan cara yang dapat mengganggu kesehatan) diarahkan untuk cepat kawin muda. Di beberapa negara Afrika penyunatan yang sangat kejam dengan mengangkat sebagian klitoris dilakukan dengan motivasi menghindarkan penyelewengan wanita. Hal ini dapat mengakibatkan infeksi, tetanus keracunan darah karena digunakannya alat-alat pemotong yang tidak steril. Seringkali di Sierra Leonne hal ini dilakukan tanpa anastesi dan mengakibatkan shock. Bedah plastik dan diet patologis, serta pelbagai tindakan lain yang sering tanpa disadari hanya dimaksudkan untuk pemuasan kaum laki-laki, sering menimbulkan deritanya sendiri bagi kaum wanita. Di beberapa negara konsep tentang kehormatan seringkali menstimulasi terjadinya kekerasan terhadap wanita. Bagi suatu masyarakat tertentu, karena alasan-alasan tradisional yang terlanjur melekat, kehilangan keperawanan hanya dapat ditebus dengan darah. Di Mesir misalnya sekalipun hilangnya keperawanan itu terjadi karena perkosaan, kehormatan keluarga diangap lebih penting daripada keadilan individual wanita. Di Bangladesh dan India, korban perkosaan seringkali dipaksa kawin dengan pemerkosanya. Di Pakistan perkosaan dianggap sebagai jinah (etramarital sex). Dalam hukum Islam, perkosaan harus dapat dibuktikan dengan keterangan 4 saksi laki-laki, kalau tidak, si wanita dapat dipidana karena dianggap jinah. Kekerasan terhadap wanita seringkali tidak dianggap sebagai masalah besar karena beberapa alasan: pertama, ketiadaan data statistik yang akurat; kedua, ada anggapan bahwa kekerasan tersebut adalah masalah tempat tidur yang sangat pribadi dan berkaitan dengan kesucian rumah; ketiga, berkaitan dengan keterkaitan dengan budaya (cultural sovereignity) seperti telah diuraikan di atas; dan 64

keempat karena ketakutan terhadap suami. Seringkali faktor-faktor tersebut terpadu satu sama lain. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa tindak kekerasan terhadap wanita seringkali berkaitan pula dengan instabilitas di rumah dan di masyarakat. Hal ini nampak dari tiga kategori sebagai berikut; Pertama, kondisi kemiskinan cenderung mendorong perilaku agresif dan sasarannya hampir selalu diarahkan kepada kelompok yang lemah, yakni wanita dan anak-anak. Kedua, dalam masyarakat yang penuh instabilitas, budaya kekerasan akan mudah berkembang. Ketiga, dalam masyarakat yang bergolak kekerasan merupakan bagian senjata yang digunakan untuk perang. Kondisi-kondisi seperti di atas menggambarkan bahwa isu kekerasan terhadap wanita bergeser, yang semula lebih bersifat individual berubah menjadi isu kolektif dan politis. Namun demikian, dari segi pandangan hukum pidana, kriminologis dan viktimologis, pendekatan yang berorientasi pada hubungan pelaku dan korban (offender victim oriented ) harus dilakukan. Dalam kerangka ini identifikasi tentang korban kekerasan dapat dikategorikan sebagai berikut: (a) Korban serta merta (unrelated victim), karena nasib. (b) Korban yang turut memprovokasi (provocative victim). (c) Korban yang turut mendorong, tanpa harus memprovokasi (precipitative victim). (d) Korban yang secara fisik lemah (biologically weak victim), seperti anak, wanita, orang cacat. (e) Korban yang lemah secara sosial (socially weak victim), misalnya kelompok imigran, minoritas. (f) Korban politis (g) Korban laten, yakni mereka yang mempunyai karakter perilaku yang selalu menjadikannya korban. Dalam tipologi semacam itu tidak mustahil terjadi tanggungjawab renteng (shared responsibility) baik yang bersifat individual maupun sosial. Penanggulangan Dari uraian di atas nampak bahwa permasalahan kekerasan terhadap wanita merupakan masalah interdisipliner, baik politis, sosial budaya, ekonomis maupun aspek-aspek lainnya. Atas dasar kajian65

kajian lintas disiplin, misalnya saja dapat diprediksi bahwa kekerasan akan banyak terjadi jika; dimana ada kesenjangan ekonomis antara laki-laki dan wanita, dominasi laki-laki dalam ekonomi keluarga dan pengambilan keputusan yang berbasis pada laki-laki. Sebaliknya dalam kondisi dimana perempuan mempunyai aktivitas di luar rumah, berkembangnya perlindungan sosial, keluarga dan kawan terhadap kekerasan, kemungkinan terjadinya kekerasan sangat dapat diprediksi akan rendah. Dari pengalaman pelbagai negara dalam menanggulangi tindak kekerasan terhadap wanita, pada umumnya mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) Peningkatan kesadaran wanita terhadap hak dan kewajibannya di dalam hukum melalui latihan dan penyuluhan (legal training). Pendidikan sebagai sarana pemberdayaan wanita dilakukan dalam tema yang universal. (2) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang betapa pentingnya usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap wanita, baik dalam konteks individual, sosial maupun institusional. (3) Mengingat masalah kekerasan terhadap wanita sudah merupakan isu global, maka perlu koordinasi antar negara untuk melakukan kerjasama penanggulangan. (4) Meningkatkan kesadaran para penegak hukum, agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap wanita, dalam satu spirit bahwa masalahnya telah bergeser menjadi masalah global. (5) Peningkatan bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan terhadap wanita. (6) Peningkatan kesadaran masyarakat secara nasional dengan kampanye yang sistematis didukung jaringan yang mantap. (7) Meningkatkan peranan media massa. (8) Perbaikan sistem peradilan pidana, dimulai dari pembaharuan hukum yang kondusif terhadap terjadinya kekerasan. (9) Pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif untuk penanggulangan kekerasan terhadap wanita. (10) Secara terpadu meningkatkan program pembinaan korban dan pelaku. n

66

Beberapa Catatan Tentang Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia


Penjelasan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM menyatakan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of International Criminal Court (ICC), Pasal 6 dan Pasal 7. Dengan demikian untuk memahami kedua jenis tindak pidana tersebut mau tidak mau harus mengkaji dengan teliti legal spirits dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya menyangkut elemen-elemen kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam ICC. Hal ini akan berdampak dalam pembuktian nantinya, baik yang bersentuhan dengan hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Mengingat dugaan kejahatan yang terjadi dalam kasus Timor Timur hanya berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, maka uraian selanjutnya akan diarahkan lebih berkaitan dengan jenis kejahatan ini. Uraian secara singkat akan dititikberatkan pada persoalan-persoalan pembuktian, baik yang berkaitan dengan hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Sebab dalam pembuktian, yang harus dibuktikan adalah sampai seberapa jauh terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan (pembuktian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang) atas dasar tata cara dan penilaian alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menegaskan bahwa Dalam hal tidak ditentukan lain dalam UU ini, hukum acara atas perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Dengan demikian apabila tidak ditentukan lain, maka hukum acara yang berlaku adalah Kitab UU Hukum Acara 67

Pidana (UU No. 8 tahun 1981 beserta Peraturan Pelaksanaannya serta perundang-undangan positif lain yang terkait). Namun demikian, apabila KUHAP dll. dan UU No. 26 Th.2000 tidak mengatur, tidak ada salahnya kita, atas dasar International Customary Law mengadopsi hal-hal yang diatur dalam ICC beserta segenap aturan dan prosedur sebagai lampirannya. Unsur-unsur Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Secara umum unsur-unsur kejahatan ini mencakup unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur obyektif (criminal act, actus reus) berupa adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum serta tidak adanya alasan pembenar. Unsur subyektif (criminal responsibility, mens rea) meliputi unsur kesalahan dalam arti luas, yang meliputi unsur kemampuan bertanggungjawab dan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf. Khusus mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan HAM berat yang lain, terdapat prinsip umum bahwa unsurunsur kejahatan terdiri atas : (a) unsur material yang berfokus pada perbuatan (conduct), akibat (consequences) dan keadaan-keadaan (circumstances) yang menyertai perbuatan; (b) unsur mental yang relevan dalam bentuk kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge) atau keduanya. Ada kesengajaan apabila sehubungan dengan perbuatan tersebut si pelaku berniat untuk melakukan/turut serta melakukan perbuatan tersebut, dan berkaitan dengan akibat si pelaku berniat untuk menimbulkan akibat tersebut secara sadar bahwa pada umumnya akibat akan terjadi dalam kaitannya dengan perbuatan tersebut. Sedangkan pengetahuan diartikan sebagai kesadaran bahwa suatu keadaan terjadi, atau akibat pada umumnya akan timbul sebagai akibat kejadian tersebut. Tahu dan mengetahui harus ditafsirkan dalam kerangka tersebut. (Dalam hukum pidana kita secara doktriner dirumuskan sebagai unsur menghendaki dan mengetahui). Yang harus mendapat perhatian khusus dalam setiap kejahatan terhadap kemanusiaan (dalam UU No. 26 Th. 2000 terdapat 10 jenis tindak pidana, ICC 11 jenis), adalah dua elemen terakhir yang harus ada dan harus dibuktikan dari setiap kejahatan terhadap kemanusiaan yang manggambarkan konteks dalam hal mana perbuatan terjadi. Dua elemen tersebut adalah (a) perbuatan tersebut dilakukan sebagai 68

bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread) atau sistematik (systematic) dan ditujukan pada penduduk sipil; dan (b) keharusan adanya pengetahuan pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Hal lain yang harus dicermati adalah bahwa telah ditegaskan adanya eliminasi secara tegas hubungan antara kejahatan terhadap kemanusiaan dengan konflik bersenjata (armed conflict), karena dalam hukum kebiasaan internasional kejahatan kemanusiaan dapat juga terjadi di masa damai. Hal ini dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB pada saat merumuskan Statuta Tribunal Internasional untuk Rwanda (ICTR) dan selanjutnya diakui pula oleh Majelis Banding dari International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) dalam kasus Tadic. Perkembangan ini dilembagakan oleh Statuta Roma 1987 Art. 7 yang diawali dengan paragraph yang menyatakan: For the purpose of this Statute, crimes against humanity means any of the following act when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with the knowledge of the attack. Pengertian attack tersurat dan tersirat pada Art. 7.2.a. yang menyatakan bahwa the term of attack is defined as a course of conduct involving the multiple commission of acts referred to in paragraph 1 against any civilian population, pursuant to or in furtherance of a State or organizational policy to commit such attack. Dengan demikian secara implisit dapat disimpulkan bahwa serangan tersebut tidak memerlukan karakter sebagai suatu serangan militer. Selanjutnya dari kata organizational policy dapat disimpulkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh aktor non negara. Demikian pula mengenai korban, sekalipun ada istilah meluas atau sistematik, korbannya bisa hanya satu dan tidak harus lebih dari satu, asalkan syarat lain dipenuhi. Mengenai policy to commit such attack, harus dipahami bahwa negara atau organisasi aktif mempromosikan dan mendorong serangan terhadap penduduk sipil tersebut. Selanjutnya adanya persyaratan bagi pelaku yang harus memiliki pengetahuan tentang penyerangan, harus diartikan sebagai kesengajaan khusus (specific intent). Misalnya seseorang yang turut serta melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa 69

pembunuhan, tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya merupakan bagian dari suatu serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil, tetap dapat dinyatakan salah telah melakukan pembunuhan tetapi tidak dalam kerangka kejahatan terhadap kemanusiaan melainkan merupakan kejahatan biasa (ordinary crime) sebagaimana diatur dalam Pasal 338 dan 340 KUHP. Perlu pula diingat bahwa untuk dapat dipidana karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak disyaratkan bahwa si pelaku telah mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian pasti dari perencanaan atau dari negara atau organisasi tersebut. Persyaratan yang berkaitan dengan alasan/sebab kejahatan, sekalipun tidak tercantum dalam definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, hal ini tetap relevan sebagai indikator kesalahan, di samping untuk menentukan sanksi pidana yang tepat atau proporsional. Contohnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan, dicantumkan motif berupa perbedaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Tanggungjawab Individual dan Umum Sesuai dengan kerangka teoritik tentang penyertaan tindak pidana, maka tanggungjawab individual tidak hanya menyangkut pelaku yang secara langsung melakukan kejahatan, tetapi berlaku juga bagi setiap orang yang secara tidak langsung berpartisipasi dalam perencanaan persiapan atau pelaksanaan kejahatan. Pasal 55 dan 56 KUHP mengenal istilah pelaku, menyuruhlakukan, turut serta melakukan, penganjuran dan pembantuan. Hal ini sejalan dengan hukum kebiasaan internasional. Persyaratan yang berkaitan dengan actus reus adalah bahwa partisipasi tersebut haruslah bersifat langsung dan mengandung efek substansial. Selanjutnya persyaratan yang berkaitan dengan mens rea adalah there must be awareness of the act of participation coupled with a conscious decision to participate by planning, instigating, ordering, committing or otherwise aiding and abetting in the commission of a crime. Sepanjang mengenai command and superior responsibility, bisa dalam bentuk perbuatan positif (direct command responsibility) atau 70

dalam bentuk culpable omissions. Dengan demikian atasan dapat dimintai pertanggungjawaban tidak hanya karena telah memerintahkan, menganjurkan atau merencanakan tindak pidana yang dilakukan bawahan, tetapi juga apabila atasan tersebut gagal mengambil tindakan untuk mencegah atau menghentikan perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan bawahan. Seorang komandan militer dianggap berpartisipasi atau menganjurkan kejahatan apabila tidak mengambil tindakan terhadap bawahan yang melakukan kejahatan, atau membiarkan bawahannya melakukan kejahatan. Tiga persyaratan yang harus terbukti adalah; (a) adanya hubungan atasan bawahan baik langsung atau tak langsung, baik de jure maupun de facto; (b) atasan tahu atau seharusnya beralasan untuk mengetahui bahwa tindak pidana sedang dilakukan atau telah dilakukan dan; (c) atasan gagal mengambil tindakan yang perlu dan beralasan untuk mencegah tindak pidana atau menghukum si pelaku (lihat Ps 42 UU No. 26 Th. 2000). Perlindungan Perlindungan terhadap korban dan saksi, sekalipun sudah diatur dalam Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000, tetapi pengaturannya tidak tuntas dan diserahkan lebih lanjut kepada Peraturan Pemerintah. Di dalam Statuta Roma 1998 dimungkinkan adanya penyimpangan dari asas terbuka untuk umum demi kepentingan saksi dan korban atau untuk melindungi informasi konfidensial atau sensitif yang diajukan sebagai alat bukti dalam bentuk kamera (audio visual dan sejenisnya yang berhubungan teknologi) atau mengijinkan the presentation of evidence by electronic or other special means (recorded audio or video testimony of witness). Dalam hal ini sidang juga dapat dinyatakan tertutup. Sesuai dengan stelsel pembuktian berdasarkan undang-undang yang bersifat negatif yang kita anut, maka atas dasar Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa kesalahan terbukti dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, dan hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Hal ini secara konsisten juga dianut oleh ICC, sekalipun di dalamnya dimasukkan lembaga Common Law berupa lembaga guilty plea, tetapi tidak diartikan sebagai ganti berupa komitmen dari jaksa untuk tidak mempidana berat dan bentuk 71

dakwaan. Dalam pengertian Continental Law hal ini harus dipandang dengan hati-hati dan curiga, sebab yang dicari adalah kebenaran materiil. Kesalahan atau tidak harus didasarkan pada alat bukti minimum yang cukup (menurut Ps.184 ayat (1) KUHAP, keterangan terdakwa baru merupakan salah satu alat bukti). Dalam hal ini berlaku prinsip yang disebut beyond reasonable doubt. Beberapa prinsip ICC lain yang perlu diperhatikan dalam pengadilan HAM sebagai hukum kebiasaan atau hukum konvensi internasional adalah: Tidak dikenal peradilan in absentia kecuali terdakwa mengacaukan jalannya persidangan (dalam hal ini dapat digunakan teknologi komunikasi jika dipandang perlu); Hak-hak terdakwa, saksi dan korban harus dilindungi dan dihormati; Memberikan perlindungan informasi yang bersifat peka dan rahasia, contohnya untuk keamanan nasional; Pembuktian terbalik tidak diperbolehkan; Larangan permaksaan untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya , untuk diam (right to silence) atau mengaku bersalah.; Sepanjang relevan dan diperlukan, atas dasar prinsip kepercayaan, maka tidak ada larangan untuk menyampaikan hearsay or indirect evidence; Apabila terdakwa nekad tidak mau didampingi pengacara (a stubborn defendant) maka pengadilan dapat menunjuk seorang amicus curiae (friend of the court) untuk menjamin bahwa keadilan akan ditegakkan, dengan cara menyampaikan hasil observasi baik tertulis atau lisan. Dimungkinkan demi efektivitas atau kepentingan korban, korban dapat menunjuk legal representatives yang wajib hadir dan berpartisipasi dalam persidangan. Larangan self incrimination by a witness. n

72

Asas Legalitas dan Pengadilan Hak Asasi Manusia


Pendahuluan Asas legalitas tumbuh menjadi asas fundamental hukum pidana di sebagian besar sistem peradilan pidana di dunia dimulai pada akhir tahun 1800-an sebagai akibat perubahan pemikiran politik di Eropa dan filsafat hukum yang berkembang pada abad pencerahan. Asas tersebut terdiri atas : (1) nullum crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang); (2) nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undangundang); dan (3) nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa kejahatan). Asas ini mencakup pula asas derivatif seperti nullum crimen sine lege praevia (tiada kejahatan tanpa undang-undang sebelumnya) dan nullum crimen sine poena legali (tiada kejahatan tanpa pidana). Asas lain yang terkait di sini adalah larangan untuk menerapkan ex post facto criminal law dan kaitannya dengan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (non retroactive application of criminal laws and criminal sanctions). (Bassiouni, 1992) Sekalipun asas legalitas berkaitan dengan pembatas legislatif (legislative constraint), hal tersebut menyentuh pula aturan tentang penafsiran yudisial, yakni larangan atau pembatasan penggunaan analogi. Dalam pelbagai kesempatan para sarjana hukum menegaskan pula berlakunya asas lex-certa, bahwa undang-undang harus dirumuskan sejelas dan setajam mungkin serta harus dapat dipercaya. Dalam hal ini terkait dua fungsi sekaligus; yakni fungsi melindungi (maksudnya melindungi rakyat dari pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas), dan fungsi instrumental (dalam batas-batas yang ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas-tegas diperbolehkan). (Schaffmeister dkk, 1995) 73

Secara keseluruhan tujuan dari asas legalitas adalah: (1) memperkuat kepastian hukum; (2) menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa; (3) mengefektifkan fungsi pencegahan (deterrent funtion) dari sanksi pidana; (4) mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan (5) memperkokoh penerapan rule of law. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional Penerapan asas legalitas memiliki variasi yang beragam antar satu negara dengan negara lainnya, tergantung apakah sistem pemerintahan yang berlaku di negara bersangkutan bersifat demokratis atau tiranis. Variasi juga tergantung pada keluarga hukum yang dianut. Sistem Eropa Kontinental cenderung menerapkan asaas legalitas lebih kaku daripada penerapannya di negara-negara yang menganut sistem Common Law , karena di negara-negara Eropa Kontinental asas legalitas menjadi alat untuk membatasi kekuasaan negara. Di pelbagai negara, berkembang ragam diskresi peradilan yang memungkinkan analogi untuk tindak pidana ringan bagi pelaku remaja, ekstradisi sehubungan dengan asas double criminality dan diskresi dalam penerapan pidana yang berorientasi pada pelaku dan pidana alternatif. Di negara-negara yang menggunakan sistem Common Law asas legalitas tidak begitu menonjol, karena prinsip-prinsip rule of law telah tercapai dengan berkembangnya konsep due process of law yang didukung oleh hukum acara yang baik (bahkan sudah dimulai pada tahun 1215 dengan dirumuskannya Magna Carta). Dalam hal ini, analogi tidak hanya diijinkan tetapi bahkan menjadi basis pembaharuan Common Law. Amerika Serikat lebih ketat dalam membatasi analogi dan berlakunya asas retroaktif hanya dalam hukum acara, khususnya hukum pembuktian. Uni Soviet (Sosialisme Marxist) sebelum tahun 1976 menerapkan apa yang disebut socialist justice yang menolak asas legalitas, khususnya untuk tindak-tindak pidana yang dikategorikan socially dangerous. Tetapi sejak 1976 negara ini sudah mulai menyesuaikan diri dengan negara-negara Eropa Barat. Walaupun sudah menjadi prinsip hukum yang berlaku umum, di negara-negara Asia dan Afrika yang tidak dijajah oleh negara-negara Eropa Barat, dalam praktek asas legalitas tersebut masih banyak disimpangi.

74

Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Internasional Hukum internasional di samping berasal dari produk kebiasaankebiasaan yang sering dipraktekkan oleh negara-negara, juga berasal dari apa yang dinamakan certain basic national principles, kaidah-kaidah dasar yang masuk kategori asas-asas umum (general principles) . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan asas legalitas tidak sama ketatnya antara hukum nasional dan hukum internasional mengingat kekhasan masing-masing negara. Yang menonjol dari hukum internasional adalah proses kriminalisasi yang terjadi jauh dari kebijakan dan standar legislatif. Hukum pidana internasional lebih bersifat konvensional, biasanya dalam bentuk ratusan instrumen yang dibangun oleh organisasi-organisasi internasional yang pada kenyataannya tidak luput dan bahkan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan politik. Lebih dari itu, dalam praktek seringkali tanpa disertai dengan teknik perancangan yang konsisten, sehingga dapat berakibat tidak memenuhi standar legalitas. Para perancang pada umumnya terdiri dari diplomat-diplomat yang seringkali bukan ahli hukum pidana internasional dan hukum pidana perbandingan. Penting untuk diperhatikan bahwa produk formulasi norma-norma yang dihasilkannya tidak langsung diarahkan untuk diterapkan pada individu-individu melalui pengadilan pidana internasional. Dengan demikian norma-norma tersebut lebih merupakan rangkaian kewajiban bagi negara-negara untuk menggunakannya sebagai bahan pembaharuan hukum pidana nasional di masing-masing negara. Perumusan kejahatan internasional biasanya dilukiskan dengan sangat umum dan luas dan acap melupakan elemen-elemen tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana sebagaimana tercantum dalam bagian umum hukum pidana nasional. Seringkali juga dijumpai bahwa hukum pidana internasional tidak mengatur sanksi pidana. Oleh karenanya, praktek hukum kebiasaan internasional tidak memasukkan asas nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undangundang). Disini nampak adanya artikulasi dari asas nullum crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang) menjadi nullum crimen sine iure (tiada kejahatan tanpa hukum) yang menjadi inti asas legalitas dalam hukum pidana internasional, seperti nampak dalam banyak konvensi-konvensi hukum pidana internasional. Dalam konteks ini, dimungkinkan penggunaan analogi dipertautkan dengan 75

hukum nasional negara yang terkait. Asas larangan berlaku surut juga diakui dalam hukum pidana internasional sebagai hasil interaksi antara traktat dan praktek diplomatik serta yudisial. Khusus mengenai kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang banyak berkaitan dengan pelanggaran HAM dianggap tidak melanggar standar asas legalitas di dalam hukum pidana international, sebab kejahatan tersebut semata-mata merupakan perluasan yuridiksi dari kejahatan perang, dan hukum international melarang perbuatan tersebut. Apa yang dilakukan oleh International Military Tribunal di Nuremberg tidak akan menimbulkan preseden karena hal tersebut tidak menciptakan hukum baru, tetapi semata-mata menerapkan hukum yang sudah ada di dalam Kesepakatan Internasional tentang kejahatan perang. Argumen lain yang akan muncul adalah bahwa asas nullum crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang) tidak merupakan batasan kedaulatan, tetapi harus dipandang sebagai prinsip keadilan yang harus ditegakkan. Sebab, adalah tidak adil apabila orang yang nyata-nyata bersalah dibiarkan bebas (impunity). Dalam hukum pidana internasional, sejak 1946 perkembangan asas legalitas terjadi melalui pelbagai instrumen dan bahkan dapat dikatakan telah memperoleh pengakuan independen. Hal ini nampak dari pelbagai instrumen sebagai berikut: a. Artikel II, para 2 Deklarasi HAM PBB (1948) : Seseorang tidak dapat dituduh bersalah dengan kesalahan pidana atas dasar tindakan atau kelalaian yang tidak termasuk kejahatan pidana, baik di bawah hukum nasional maupun internasional, pada saat dilakukan. Hukuman yang lebih berat juga tidak bisa dijatuhkan dibanding hukuman yang yang bisa diterapkan pada saat kejahatan pidana dilakukan. b. Artikel 15, Kovenan Inetrnasional tentang Hak-hak Politik dan Sipil: (1) Seseorang tidak dapat dituduh bersalah dengan kesalahan tindak pidana atas dasar tindakan atau kelalaian yang tidak termasuk kejahatan pidana, baik di bawah hukum nasional maupun internasional, pada saat dilakukan. (2) Tidak ada dalam artikel ini yang menganggap adanya pengendalian dan hukuman bagi seseorang karena sebuah tindakan mapun kelalaian yang, pada waktu hal tersebut dilakukan, merupakan kejahatan menurut asas hukum umum yang diakui oleh komunitas sebuah negara. 76

c.

Artikel 99 dari Konvensi Jenewa Ketiga, 12 Agustus 1949: Seorang tawanan perang tidak boleh diadili atau dipidana karena perbuatan yang tidak dilarang oleh hukum atau oleh hukum internasional yang berlaku pada saat tindakan tersebut dilakukan. Demikian pula yang tercantum dalam Article 2 Protocol additional to Geneve Convention 1945 (Protocol I) dan Article 6 Protocol II. (Kedua yang terakhir juga melarang penggunaan hukum secara ex post facto atau pemberlakuan hukum surut). Sejak pengadilan Nuremberg dan Tokyo, beberapa negara telah mengatur secara nasional untuk mengadili kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel menuntut Adolf Eichmann pada tahun 1960, Perancis mengadili Klaus Barbie pada tahun 1988, Kanada mengadili Imre Finta pada tahun 1989. Dalam hal ini para ahli ada yang menolak terhadap praktek pemberlakukan hukum secara surut dalam mengadili kasus-kasus tadi. Argumen untuk menolak kritik tersebut adalah bahwa tidak ada hukum kejahatan baru; yang diterapkan adalah hukum pidana yang terdapat dalam hukum internasional. Disebutkan: it has not violated any prohibition against the ex post facto application of criminal laws which may exist in international law. (Bassiouni, 1992). n

77

Perspektif Hak Asasi Manusia Tentang Ilmu dan Etika Keilmuan


Istilah etika keilmuan mengantarkan kita untuk melakukan kontemplasi mengenai hakekat, proses pembentukan, lembaga yang memproduksi ilmu, lingkungan yang kondusif dalam pengembangan ilmu, serta moralitas dalam memperoleh dan mendayagunakan ilmu tersebut. Semuanya harus dicermati mengingat fenomena global bahwa perkembangan dunia serta perubahan sosial yang cepat sebenarnya merupakan akibat perkembangan pengetahuan, dan setiap bangsa dan negara, baik secara sendiri-sendiri maupun kolektif (transnasional) sadar betul bahwa keunggulan komparasi dan keunggulan kompetitif hanya dapat dicapai dengan bantuan dan penguasaan pengetahuan (knowledge based development), baik pengetahuan alam (natural science) maupun pengetahuan sosial (social science). Ilmu harus dilihat sebagai cabang pengetahuan yang mendasarkan pada logika tentang apa yang benar dan salah. Cabang pengetahuan yang lain mencakup pengetahuan tentang baik dan buruk (etika) dan pengetahuan tentang indah dan jelek (estetika). Dengan demikian istilah etika keilmuan sekaligus merupakan kombinasi antara dua kategori pengetahuan yaitu ilmu yang berbasis pada logika, ilmu yang berbasis pada etika atau moralitas yang mempersoalkan baik atau buruk. Sejak lama disadari bahwa keberadaan Perguruan Tinggi dan lembaga-lembaga riset, menempati kedudukan yang strategis untuk bertindak sebagai produsen ilmu. Namun demikian, dalam prakteknya, karena kompleksitas ilmu dan keilmuan menyebabkan bidang ini tidak hanya bersentuhan dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi dengan segala kedaulatan yang dimilikinya, 78

masyarakat akademis, kebebasan akademik (academic freedom) dan budaya akademik, tetapi juga menyentuh bidang-bidang lain yang lebih luas. Era reformasi menyadarkan kepada kita bahwa masalah keilmuan, dengan segala kompleksitasnya itu, akan bersentuhan secara langsung dan tidak langsung dengan bangunan yang besar, yaitu nilainilai dasar atau indeks demokrasi. Sejak bergulirnya gerakan reformasi di Indonesia di penghujung tahun 1988, seluruh elemen bangsa Indonesia, baik individual maupun kolektif, berusaha mengkaitkan diri atau kelompoknya dalam arti introspeksi dengan mulai mempertanyakan apakah reformasi perlu pula dilakukan di lingkungannya, mengingat reformasi mengandung nuansa multi dimensional, seiring dengan reaksinya terhadap kompleksitas krisis yang melanda bangsa Indonesia. Namun demikian perlu disepakati terlebih dahulu makna reformasi itu sendiri. Reformasi pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali indeks atau nilai-nilai dasar demokrasi yang telah mengalami distorsi yang berat pada era Orde Baru dengan diterapkannya ideologi pembangunan. (Muladi, 1977). Indeks demokrasi tersebut sekalipun cukup banyak, namun pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam empat kategori elemen sebagai berikut: 1). Keberadaan sistem pemilihan umum yang jujur dan adil; 2). Adanya pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif; 3). Adanya kemauan dan langkah politik untuk selalu melakukan promosi dan perlindungan HAM, khususnya hak-hak sipil dan politik; 4). Adanya masyarakat demokratik yang terrefleksi dalam sikap percaya diri, antara lain dalam bentuk pelbagai assosiasi masyarakat madani (Beetham, 1999) Elemen butir 2, 3 dan 4 terkait secara fundamental dengan topik pembicaraan tentang etika keilmuan, karena akan terbukti bahwa etika keilmuan tidak dapat dilepaskan dari hakekat ilmu sendiri yang pada dasarnya merupakan bangunan terorganisasi tentang pengetahuan (the organized body of knowledge), yang seharusnya mencakup pula perilaku dan metoda yang membentuk ilmu pengetahuan tersebut. Pengalaman di pelbagai negara yang pernah mengalami pemerintahan yang otoriter membuktikan, bahwa perkembangan ilmu dan keilmuan tidak mungkin bisa terbentuk dan tumbuh dengan baik bilamana kehidupan politik tidak kondusif, 79

kebebasan akademik ditekan, kultur akademik yang mendambakan kebenaran terancam. Kaitan ilmu/keilmuan, kebebasan akademik dan kultur akademik dengan HAM tidak dapat dihindari dan bahkan memperoleh pengakuan universal. Karena, ilmu pada akhirnya harus diekspresikan dan diinformasikan untuk kemaslahatan manusia. Terkait di sini apa yang dinamakan kebebasan untuk berekspresi atau menyatakan pendapat yang diatur di dalam Deklarasi HAM PBB tahun 1948 dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) Pasal 19, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut pilihannya. Selanjutnya di dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966) Pasal 15 ditegaskan bahwa, para negara peserta perjanjian (state parties) harus mengakui hak setiap orang untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu dan penerapannya serta memperoleh manfaat perlindungan atas kepentingan moral dan material yang terdapat pada segala karya ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya, termasuk langkahlangkah yang diperlukan guna melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu dan kebudayaan. Yang tak kalah pentingnya adalah adanya janji untuk menghormati kebebasan yang mutlak yang diperlukan untuk peneliti ilmiah dan kegiatan yang kreatif untuk menghindarkan praktek-praktek diskriminasi yang dapat merusak hakekat pendidikan. Pada tahun 1960 telah dirumuskan konvensi melawan diskriminasi dalam pendidikan. Sebenarnya masih dapat disebutkan instrumen-instrumen HAM baik nasional maupun internasional yang memberikan perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan proses untuk membentuk ilmu tersebut, seperti Deklarasi Wina (Program Aksi) tentang HAM, yang dirumuskan dalam Konferensi Dunia tentang HAM tahun 1993, dan sebagainya. Yang selalu harus diingat dalam hal ini adalah pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat akademis sebagai konsumen sekaligus produsen dan disseminator ilmu, sangat rentan terhadap pelbagai tekanan politik maupun ekonomi. Pada Era Orde Baru, sebagai insan Perguruan Tinggi kita tidak 80

pernah bisa lupa terhadap pelbagai restriksi terhadap aktivitas akademik dan kebebasan berekspresi, seperti keharusan untuk memperoleh ijin riset yang berbelit-belit baik dari lingkungan Perguruan Tinggi maupun dari Direktorat Sospol jajaran Depdagri, keharusan untuk memperoleh ijin dari Polri baik daerah maupun pusat apabila akan menyelenggarakan seminar atau konferensi. Istilah blacklist dari aparat militer dan intelijen sangat populer saat itu. Sensor preventif dari rektor terhadap topik-topik tertentu yang akan diangkat dalam seminar sangat lazim dilakukan, bahkan seringkali berujung pada penundaan atau pembatalan. Interogasi, intimidasi yang bersifat ekstra yudisial sering terjadi, apalagi bila menyangkut pembicara asing. Di era demokrasi, pembatasan-pembatasan tersebut tidak selayaknya lagi dilakukan, sebab bukan tanpa alasan hukum jika tindakan demikian dianggap sebagai kejahatan yang dilakukan oleh penguasa. (baca: Academic Freedom in Indonesia, Dismantling Soeharto-Era Barriers dalam Human Right Watch 1998). Khusus mengenai indeks demokrasi berupa keberadaan masyarakat yang penuh percaya diri, sebagian tercermin dalam bentuk assosiasi-assosiasi, seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia), dan sebagainya, bisa saja beberapa jenis assosiasi tersebut akan berperan tidak saja menjaga standardisasi kualitas ilmu, tetapi juga sebagai kompetitor bagi lembaga-lembaga pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di bidangnya masing-masing, baik secara konseptual maupun praktis. Dalam kerangka kebebasan akademik dikenal pula istilah hak kebebasan berserikat (the right to freedom association). Sesuai dengan hakekat ilmu yang berbasis logika untuk menyatakan benar atau salah, sudah seharusnya bahasa ilmu tidak perlu dibebani dengan segala bentuk tata krama pengucapan (euphemisme) yang sama sekali tidak ada relevansinya. Watak ilmu harus berburu kebenaran dan menentang pembenaran yang tidak didukung oleh logika yang rasional. Inilah yang dinamakan kejujuran ilmiah (academic honesty ), sekalipun seseorang ilmuwan yang profesional misalnya saja bekerja pada suatu lingkungan korporasi atau pemerintah (organic intellectual), dan bukan sebagai ilmuwan murni (traditional intellectual). Seorang ilmuwan yang beneran harus siap berdiri diantara kesepian (loneliness ) dan keberpihakan (alignment) . 81

Selanjutnya ilmuwan acap pula digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki kantor untuk berlindung atau teritori untuk melakukan konsolidasi. Dalam kehidupan modern ilmuwan tidak lagi dipandang semata-mata hidup di menara gading yang bertugas hanya untuk pengembangan ilmu atau sering disebut ilmuwan kutu buku yang hanya mau terikat dengan literatur (closed literature scientist), tetapi juga harus berperan pula sebagai agen perubahan sosial. Dalam hal terakhir ini, yang membedakan antara kebenaran dan pembenaran adalah kemampuan untuk memberikan alternatif-alternatif pemecahan, bukan satu pemecahan yang bersifat mutlak, seolah-olah paling benar. Sebab, yang demikian itu bertentangan dengan hakekat ilmu yang watak dasarnya dinamis dan anti status quo. Dalam hal ini patut dikutip pernyataan dari salah seorang pemenang Hadiah Nobel untuk DNA, Francis Crick, yang menyatakan bahwa sopan santun (politeness) merupakan racun (poison) bagi semua kerjasama yang baik di bidang ilmu. Jiwa kerjasama adalah kejujuran dan keterusterangan (candor), dan bila perlu kasar (rudeness). Di dalam ilmu, kritik merupakan pertanda tingginya ukuran persahabatan. Di dalam Dekralasi Lima tentang Kebebasan Akademik dan Otonomi Lembaga Pendidikan Tinggi yang dirumuskan dan diterima dalam Sidang Umum ke 68 World University Service pada tahun 1988, di samping memuat penjelasan pelbagai kebebasan dan hak dari Pendidikan Tinggi, secara tersurat dan tersirat tercantum pelbagai prakondisi yang diperlukan bagi keberadaan etika keilmuan, seperti: perkembangan paripurna kepribadian manusia, harga diri, penghormatan terhadap HAM, kebebasan asasi dan perdamaian, semangat toleransi, anti-diskriminasi, perlindungan lingkungan, instrumen perubahan sosial yang positif, kebebasan berpikir, berkontemplasi, beragama, berekspresi, berkumpul dan berserikat, hak atas kebebasan dan keamanan seseorang dan kebebasan bergerak, akses pada komunitas akademis, hak untuk mengadakan kerja penelitian tanpa campur tangan, mengikuti prinsip-prinsip universal dan metode penelitian saintifik, hak mengkomunikasikan hasil penelitian secara bebas dan mempublikasikannya tanpa sensor, kebebasan untuk berhubungan dengan koleganya di belahan dunia manapun, merespon masyarakat kontemporer, menjalankan pelaksanaan HAM masyarakat, berusaha untuk mencegah penyalahgunaan sains dan teknologi, memberikan solidaritas bagi 82

institusi lain dan anggota komunitas akdemis, partnership yang setara dalam mencari dan menggunakan pengetahuan, mendorong korporasi akademis dan tingkat otonomi institusi yang tinggi. Uraian di atas sekali lagi menggambarkan bahwa etika keilmuan penuh dengan nuansa hak dan tugas. Suatu lembaga yang bernama Inter Action Council yang anggota-anggotanya secara selektif terdiri dari mantan-mantan Presiden dan Kepala Pemerintahan (mantan Presiden BJ. Habibie, termasuk di dalamnya) telah merumuskan sebuah draft, the Draft Universal Declaration of Human Responsibilities, sebagai pasangan dari UN Declaration of Human Right. Di dalam pasal 13 dinyatakan bahwa:
Tidak satupun politisi, pegawai negri, pimpinan bisnis, saintis, penulis atau seniman dikecualikan dari standar etika umum. Begitu juga dengan ahli fisika, pengacara dan profesional lain yang memiliki tugas khusus bagi klien. Profesional dan kode etik lain harus mencerminkan prioritas standar umum seperti standar kebenaran dan keadilan.

Sejalan dengan itu, ketentuan tentang kebebasan menyatakan pendapat sebagaimana telah diuraikan di atas, mengandung pula batasan-batasan dan moralitas untuk selalu menghormati hak-hak dan reputasi orang-orang lain serta perlindungan terhadap keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan umum dan kesusilaan. Di dalam seminar di Lund disinggung batasan-batasan seperti larangan riset yang merusak lingkungan hidup dan membahayakan kehidupan manusia dan riset yang menunjang terciptanya senjatasenjata yang terlarang dan melanggar hukum. Selanjutnya di dalam Deklarasi Lima tersebut di atas secara eksklusif diwajibkan menjaga standar profesional dan standar ilmiah yang tertinggi. Kemudian di dalam Deklarasi Dar es Salaam (1990) ditegaskan adanya batasanbatasan bahwa kebebasan akademik tidak boleh melakukan diskriminasi dan mengobarkan kebencian agama, etnik, nasionalitas dan gender. Selanjutnya dirumuskan pula bahwa usaha-usaha pencegahan penyalahgunaan sain dan teknologi, keharusan untuk memecahkan masalah-masalah actual dan kontemporer, menjaga kemampuan, integritas, semangat toleransi melalui debat dan diskusi yang demokratis serta menjaga asas-asas dan standar etik dan profesi. Di dalam Deklarasi Kampala (1990) juga ditegaskan betapa pentingnya semangat kesetaraan, non diskriminasi, dan demokrasi. n 83

Format Penyelenggaraan Negara di Bidang Pertahanan dan Keamanan


Diskursus tentang masalah pertahanan dan keamanan (hankam) negara betapapun secara konseptual sulit dilepaskan dari kajian tentang konstitusi. Lebih dari itu, hakekat hankam itu sendiri, meskipun sudah menjadi istilah yang lazim digunakan, dalam arti seperti memiliki pengertiannya yang baku, tetapi untuk benar-benar bisa memahaminya secara lebih konseptual ia harus dimulai dengan kajian tentang hakekat pertahanan dan keamanan nasional (national defense and security). Dalam hal yang disebut terakhir ini (keamanan nasional) sungguh bukan hal yang mudah untuk memberikan batasan pengertian yang bersifat baku mengingat dinamika pengukuran (security yardstick) yang begitu cepat berubah, baik secara nasional, regional maupun global. Di lain pihak istilah pertahanan dan keamanan nasional merupakan konsekuensi logis yang harus dikaji apabila secara konseptual hakekat dan kondisi pertahanan dan keamanan suatu negara sudah dirumuskan secara jelas. Kajian terhadap konstitusi akan dapat memberikan gambaran betapa pentingnya aspek pertahanan dan keamanan bagi suatu bangsa, terutama bagi bangsa-bangsa tertentu yang karena sebab-sebab historis yang dimilikinya masing-masing diwarnai perjuangan dan bahkan konflik bersenjata, seperti Indonesia, Vietnam, Aljazair dan Amerika Serikat. Bagi bangsa-bangsa dengan latar belakang seperti ini atau bangsa-bangsa pada umumnya di dunia kewajiban warga negara untuk menjaga dan mempertahankan keamanan nasional, lebih dari kewajiban-kewajiban lainnya, sangat fundamental sifatnya. Contohnya adalah Amerika Serikat. Dalam bagian pembukaan Konstitusi negara tersebut dinyatakan bahwa salah satu dari tujuan Pemerintah Federal 84

yang baru adalah menciptakan pertahanan bersama (common defence). Perlu ditegaskan di sini, bahwa penetapan tujuan tersebut mendahului tujuan lain yang bahkan sebenarnya juga sangat penting, yaitu memajukan kesejahteraan umum (general welfare). Pada saat tujuan tersebut dirumuskan, kita yakin bahwa yang ada di balik para perumus konstitusi tersebut adalah bayangan bahaya atau ancaman fisik dari kekuatan-kekuatan Eropa yang bermusuhan dengan Amerika Serikat dan masih mempunyai tempat berpijak di Amerika Utara. Demikian pula dengan konstitusi Indonesia (UUD 1945). Dalam bagian Pembukaan ditegaskan: Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.. Perumusan ini juga mendahului tujuan lain yang pada dasarnya juga berkaitan dengan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Penyebutan fungsi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia lebih dahulu daripada membentuk pemerintah Indonesia, bukanlah hal yang kebetulan. Seperti halnya di Amerika Serikat, para pendiri Republik ini secara rasional dan emosional telah dengan sadar menempatkan aspek yang bernuansa keamanan nasional dan bahkan keamanan bangsa-bangsa di dunia dalam kedudukannya yang strategis, kalau bukan paling strategis. Seperti diketahui, aspek pertahanan dan keamanan nasional yang secara riil dihadapi Indonesia saat itu (sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan) banyak bersentuhan dengan perjuangan fisik baik untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, maupun menghadapi bahaya disintegrasi bangsa sebagai wilayah kesatuan dan persatuan RI. Jika saja fungsi pertahanan dan keamanan itu diberikan tafsir berdasar konteks situasi sekarang maka hampir pasti elemen-elemen kebijakan yang harus dihadapi akan jauh lebih komprehensif dan luas. Perumusan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha bela negara, adalah refleksi nuansa kejiwaan saat itu. Bela negara, bukan saja dihayati sebagai hak, tetapi sudah merupakan kewajiban dan bahkan kehormatan. Dengan perspektif konstitusi seperti ini maka dapat disimpulkan bahwa soal pertahanan dan keamanan nasional, faktor perekatnya terletak pada Pembukaan UUD 1945. 85

Faktor perekat lain yang bersifat internal tetapi juga sekaligus universal adalah komitmen untuk melindungi dan mempromosikan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Tak bisa dipungkiri bahwa setiap bentuk pengingkaran dan pelanggaran HAM, tidak saja merupakan tragedi yang dirasakan secara individual tetapi juga merupakan atau dapat menimbulkan derita sosial dan politik yang luas, seperti tersemainya benih-benih konflik dan kekerasan di segala tingkatan: lokal, nasional dan bahkan internasional. Karena itu tak dapat diragukan kebenaran salah satu bunyi pernyataan Piagam HAM PBB, 1948, bahwa: menghormati hak asasi dan martabat manusia adalah landasan bagi terciptanya kebebasan, keadilan, dan kedamaian di dunia. Kajian terhadap Pembukaan UUD 1945 mengantarkan pada suatu kesimpulan pasti bahwa perjuangan gigih merebut kemerdekaan Indonesia adalah reaksi terhadap pelanggaran HAM yang berat: penjajahan, dengan segenap kekerasan yang ada di dalamnya. Piagam HAM PBB, 1948, yang kemudian dielaborasi ke dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dengan tegas menyatakan bahwa hidup, kebebasan, dan keamanan seseorang merupakan hak absolut yang harus dihormati bahkan dalam kondisi darurat sekalipun. Betapa pentingnya arti keamanan nasional juga nampak dalam pelbagai instrumen HAM internasional, yang bahkan dalam beberapa hal digunakan sebagai syarat restriksi dan limitasi bagai penerapan hak asasi yang lain. Hal ini antara lain nampak dalam beberapa artikel dari kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik, yakni bahwa restriksi terhadap beberapa hak dapat saja dilakukan dengan undang-undang atas pertimbangan untuk melindungi keamanan nasional. Aktualisasi analisis terhadap ancaman keamanan nasional di atas sangat penting untuk melakukan generalisasi terhadap elemen-elemen kebijakan pertahanan dan keamanan nasional seakurat dan seantisipatif mungkin. Selanjutnya, untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut perlu dirumuskan manajemen dan organisasinya melalui Departemen Pertahanan dan MABES POLRI yang secara konseptual berfungsi untuk merumuskan doktrin, strategi, rekrutmen, pelatihan, sistem penunjang apabila terjadi konflik bersenjata dan perang, penggelaran dan pemeliharaan kekuatan, pengadaan dan pemeliharaan materiil. Dalam banyak hal sulit untuk melepaskan diri dari dukungan terhadap kebijakan luar negeri dan 86

kebijakan departemen lain. Selanjutnya, sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi, maka praktek konsultasi dan penjelasan yang lebih persuasif kepada masyarakat luas tak dapat dihindari, seperti media massa, kalangan LSM, parlemen, kalangan Perguruan Tinggi, dan kelompok-kelompok sosial yang tertarik pada masalah kajian keamanan nasional. Untuk menentukan unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam menentukan kebijakan pertahanan dan keamanan nasional harus secara akurat dan komprehensif diidentifikasikan pelbagai kendala signifikan yang secara aktual dan potensial dapat membahayakan keamanan nasional, baik secara geografis maupun fungsional. Setelah itu barulah dapat dikaji faktor-faktor organisasional dan manajerial dalam rangka memformulasikan dan melaksanakan kebijakan hankam nasional. Indonesia, tentu tidak dapat begitu saja meniru kebijakan Amerika Serikat yang karena kekuatan nasionalnya menerapkan wawasan global. Mengkaji pengalaman negara adidaya itu, kita melihat bahwa elemen-elemen kebijakan keamanan nasional yang ditempuh tidak hanya mendasarkan diri pada kepentingan militer, tetapi juga kepentingan politik, ekonomi, dan kepentingan-kepentingan lainnya yang dinilai strategis. Elemen-elemen tesebut meliputi: 1. Identifikasi terhadap negara-negara yang dapat dikategorikan sebagai musuh utama dalam kancah internasional, baik secara militer maupun kemungkinan terjadinya intimidasi politik; dengan sendirinya menggunakan standar kekuatan politik, ekonomi dan militer. 2. Hal-hal yang dapat membahayakan kondisi ekonomi Amerika serikat, termasuk kemungkinan gangguan terhadap penyediaan energi dari negara lain yang bagi AS dipandang sangat strategis bagi keamanan nasional. 3. Masalah perkembangan bahaya persenjataan nuklir di negaranegara lain. 4. Pengembangan dan pembagian tanggungjawab dengan sekutusekutu militer, seperti NATO. 5. Efisiensi dan efektivitas manajemen dan organisasi Departemen Pertahanan. 6. Basis politik domestik yang kondusif untuk menunjang perumusan dan pelaksanaan kebijakan keamanan nasional. 87

7. Strategi politik, militer dan ekonomi secara terpadu dalam kebijakan pengendalian persenjataan. 8. Kemampuan militer. 9. Kepentingan keamanan di pelbagai wilayah di dunia, seperti di Asia Timur, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin 10. Penemuan-penemuan baru di bidang industri strategis dan industri persenjataan. 11. Kehandalan diplomasi internasional. 12. Kemampuan untuk mengontrol perbatasan wilayah nasional (Amerika sampai saat ini sangat disibukkan oleh imigran-imigran gelap dari negara-negara lain). 13. Pembinaan sumberdaya manusia secara memadai. Kebijakan keamanan nasional mensyaratkan strategi militer yang membutuhkan struktur militer yang harus dibiayai, dilengkapi dan diperkuat dengan staf serta personil yang profesional. 14. Kualitas pemimpin sipil dan militer yang handal dan mempunyai komitmen terhadap kebijakan keamanan nasional. Dengan demikian menggunakan rumusan Brown (1977) secara umum apa yang dinamakan keamanan nasional dapat diartikan: the ability to preserve the national physical integrity and territory; to maintain its economic relations with the rest of the world on reasonable terms; to protect its nature, institution, and governance from disruption from out side, and to control its border Melihat perkembangan konseptual dan empiris, baik internal maupun eksternal saat ini, Indonesia yang tengah berada dalam situasi reformasi menuju masyarakat yang lebih demokratis, sungguh memerlukan pengujian terhadap doktrin dan kebijakan hankamnasnya selama ini sebagai langkah adaptasi menghadapi fenomena sebagai berikut: 1. Proses globalisasi yang antara lain memunculkan fenomena new global players berupa organisasi-organisasi quasi regional atau quasi supranasional seperti NATO, WTO, IMF, Euro Union, dan sebagainya, yang disadari atau tidak turut menentukan kebijakan nasional suatu bangsa. Pengalaman menunjukkan bahwa proses kematian industri-industri strategis Indonesia, antara lain diakibatkan oleh adanya larangan lembaga donor internasional untuk menggunakan bantuan/pinjaman finansial bagi pembiayaan 88

2.

3.

4.

5.

6.

7.

industri-industri tersebut. Padahal pada proporsinya yang benar industri-industri strategis itu sangat diperlukan untuk menunjang kebijakan keamanan nasional. Munculnya gerakan-gerakan separatis dengan pelbagai latar belakang dengan menyalahtafsirkan prinsip HAM: hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai tertera dalam kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Padahal hak tersebut hanya bisa diterapkan dalam konteks rakyat yng berada di bawah dominasi asing dan sama sekali tidak dapat diterapkan kepada bagian dari warga/rakyat suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat yang merupakan inti dari keutuhan bangsa. Perkembangan internasional memang menunjukkan bahwa implikasi dari hak tersebut dapat dipahami dalam konteks otonomi dalam lingkup domestic constitutional arrangement. Gerakan separatis tersebut antara lain bermula dari rasa ketidakadilan, baik ekonomi, politik maupun yang lainnya. Basis politik dalam negeri yang kurang kondusif dan diliputi kecurigaan terhadap TNI/Polri akibat terkooptasinya kedua institusi tersebut ke dalam sistem kekuasaan yang tidak demokratis di masa lalu sehingga mudah dituduh misalnya terlibat dalam kegiatan politik praktis, penyalahgunaan kekuasaan, dan melakukan pelanggaran HAM. Peralatan militer yang sudah tidak memadai, baik jumlah maupun mutunya (penting dicermati keluhan korps marinis kepada Presiden baru-baru ini ihwal peralatan militer tahun 1960 yang masih digunakan). Kurangnya kemampuan untuk mengawasi wilayah perbatasan yang memang sangat luas (salah satunya karena peralatan tadi). Banyak infiltrasi asing tak mudah dideteksi, dan ini sungguh berbahaya terutama bagi sejumlah wilayah yang sedang bergolak, seperti Aceh, Maluku, dan sebagainya yang rawan bagi terhadap penyelundupan senjata dari luar. Krisis ekonomi yang belum kunjung dapat dipulihkan sering menimbulkan kerawanan sosial dan politik. Lebih dari itu juga menimbulkan ketidakmampuan untuk meningkatkan kualitas SDM TNI dan Polri. Lalu rendahnya tingkat kesejahteraan cenderung mendorong mereka pada perbuatan-perbuatan tercela. Proses reformasi dan reposisi di tubuh TNI/Polri yang tidak 89

tuntas seringkali dapat menimbulkan fragmentasi pemikiran dan langkah keduanya. 8. Pemahaman terhadap hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia yang masih rendah, dapat dengan mudah menjebak mereka (anggota TNI/Polri) untuk melakukan tindak pelanggaran HAM, atau sekurangnya menimbulkan kegamangan yang sering menimbulkan kesan tidak profesional. 9. Pengamanan yang belum memadai terhadap kekayaan sumber daya alam, sehingga potensial mengganggu keamanan nasional. 10. Khusus mengenai Polri, kelemahan yang terasa adalah menonjolnya fungsi authoritative intervention dan symbolic justice. Pemahaman keduanya di segala tingkatan harus diperluas ke arah management of crime yang menempatkan kedua fungsi tadi di bawah crime prevention. n

90

Proses Aktualisasi Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia


Beberapa dekade terakhir ini, tindak pidana lingkungan hidup semakin marak menjadi isu sosial ekonomi dan bahkan juga politik. Tindak pidana lingkungan hidup, apabila dikaitkan dengan masalah hak-hak asasi manusia, tidak saja merupakan persoalan negara per negara, tetapi juga menjadi persoalan regional bahkan internasional (antar bangsa). Hal ini nampak dari program kerja The Commission on Crime Prevention and Criminal Justice 1992-1996 yang menyoroti secara khusus keterkaitan antara masalah lingkungan hidup dengan sistem peradilan pidana. Atas dasar itulah, Kongres ke 9 PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku pada tanggal 29 April-8 Mei 1995 di Kairo, menjadikan masalah lingkungan hidup sebagai salah satu agenda utama. Di dalam draft resolusi yang diajukan, yang kemudian menjadi resolusi, sepanjang menyangkut perlindungan lingkungan diajukan beberapa proposal sebagai berikut: (a) The right to enjoy an adequate environment and the duty to preserve the environment should be established in all legislations at the national level; (b) A chapter concerning environmental offenses should be included in penal codes; (c) The neccesary measures should be introduced to ensure that damage to the environment is repaired, either by the transgressors themselves or by the State; (d) Cooperation agreements should be established between states, including provisions for the exchange of experiences on prevention programmes and legislative effectiveness; 91

(e) Subject of environmental protection should be included at all educational level, and specifically in curriculla for the study of criminal law, and human resources should also be developed to deal with these new problems, by means of degree courses, post-graduate courses, seminars and any other form of training; (f) Not only should environment offences be established as a class of offence in penal codes, but also, in the administrative area, offending enterprises should be subject to financial penalties; (g) Regarding penal sanctions themselves, the principle of subjective culpability should be maintained. Sehubungan dengan itu, para anggota PBB diminta untuk: (a) To consider enacting environmental protection legislation reflecting the importance of a healthy environment, in order to preserve and protect the environment; ((b) To consider enacting penal provisions on the protection of the environment and to consider the protection of endangered species and cultural property under similar provisions; (c) To consider the creation of special bodies in the protection of the environment, such as special prosecutors or specialized investigative bodies, bearing in mind the role such bodies can play in developing skills and raising public awareness; (d) To consider encouraging the inclusions of the role of criminal law in the protection of the environment as a subject in curricula for the study of criminal law and the training of law enforcement and criminal justice personnel; Hal di atas tidak berkelebihan, sebab hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat merupakan salah satu hak asasi yang diatur di dalam Universal Declaration of Human Right, 1948 (Art. 25) jo. Art. 11 International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966). Demikian pula di dalam Paragraf 1 UN Conference on the Environment di Stockholm th. 1972, The Optional Protocol dari International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights, Art. 12, dan Laporan Akhir (1985) dari the World Expert Group on Environmental Law kepada the Brundtland Commission (Art. 1 dan 2), hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat selalu ditegaskan. Penegasan secara global terjadi pada The UN Conference 92

on Environment and Development di Rio de Janeiro, pada tahun 1992. Kaitan antara masalah lingkungan hidup dengan HAM secara lebih mendalam tercantum dalam laporan akhir tentang Human Rights and the Environment dari Commission on Human Rights, Ecosoc, PBB (Doc. E/CN.4/sub.2/1994/9, 6 Juli 1994). Dalam laporan ini ditegaskan bahwa efek lingkungan hidup terhadap HAM berkaitan dengan: (a) Right to self-determination and permanent sovereignity over natural resources; (b) Right to life; (c) Right to health; (d) Right to food; (e) Right to safe and healthy working conditions; (f) Right to housing; (g) Right to information; (h) Popular participation; (i) Freedom of association; (j) Cultural rights. Latar belakang legislatif lain yang dapat dikemukakan di sini adalah apa yang tercantum di dalam Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order (UN, 1985) yang menegaskan bahwa: 7. In view of the characteristics of contemporary post industrial society and the role played by growing industrialization, technology and scientific progress, special protection against criminal negligence should be ensured in matters pertaining to public health, labour conditions, the explotation of natural resources and the environment and the provision of goods and services to consumers. The Council of Europe Resolution 77 (28) juga menegaskan perlunya kontribusi hukum pidana dalam rangka proteksi terhadap lingkungan hidup. Demikian pula UN General Assembly Resolution No. 45/121 tahun 1990 yang menerima resolusi tentang proteksi lingkungan hidup dengan hukum pidana yang diajukan oleh the Eighth UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Rekomendasi dari the AIDP Preparatory Colloquium on the Application of Criminal Law to Crime Against the Environment yang diselenggarakan di Ottawa, Kanada (2-6 Nopember 1992) menegaskan perlunya dipertimbangkan penggunaan hukum pidana untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya di dalam The Vienna Declaration and Programme of Action yang dirumuskan pada World Conference on Human Rights dinyatakan bahwa: 11. The right to development should be fulfilled so as to meet equitably the developmental and environmental needs of present and future generations. The World Conference on Human Rights recognizes that illicit dumping of toxic and dangerous substances and waste potentially constitutes a serious threat to human rights to life and health of everyone. 93

Pada bulan Maret 1994, di Portland, Oregon, USA, telah diselenggarakan International Meeting of Experts on Environmental Crime. Dalam pertemuan itu dibahas tentang penggunaan sanksi kriminal dalam kerangka perlindungan lingkungan dalam lingkup internasional, regional dan domestik yang kemudian menghasilkan The Portland Draft. Yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kejahatan lingkungan dalam bentuk illegal disposal of dangerous waste di pelbagai negara sudah menjurus ke arah kejahatan transnasional yang terorganisasi dan secara serius hal ini dibahas dalam The World Ministerial Conference on Organized Transnational Crimes di Napoli pada 21-23 Nopember 1994. Secara konseptual hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa tindak pidana yang melanggar ketentuan tentang perlindungan lingkungan merupakan salah satu kejahatan kriminal di samping 21 kejahatan yang lain. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa kejahatan lingkungan seringkali mempunyai dampak internasional atau transnasional. Dalam hukum internasional, unsur internasional dalam hal ini sering berkaitan dengan kategorisasi delik lingkungan sebagai perbuatan yang menyebabkan indirect threat to world peace and security, conduct affecting more than one state, conduct including or affecting citizens of more than one state, sehingga memerlukan metode kerjasama antar negara untuk penanggulangannya. Sebelumnya di Rio de Janeiro, Brazil, sejak tanggal 5 sampai 10 September 1994 telah diselenggarakan The XVth. International Congress of Penal Law yang antara lain secara khusus membahas crimes against environment. Dalam kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan para Pelaku ke-9 sebagaimana tersebut di atas, United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute (UNICRI), telah menampilkan hasil riset tentang Environmental Protection at National and International Levels: Potentials and Limits of Criminal Justice (Case Studies). Sebagaimana masalah nasional, secara yuridis persoalan kejahatan lingkungan dikategorikan sebagai tindak pidana administratif atau tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat. Tindak pidana ini semakin populer dengan diundangkannya UU No. 4 Th. 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jangka waktu pemberlakuan selama 12 tahun menunjukkan kepada bangsa Indonesia bahwa pengaturan tindak pidana 94

lingkungan hidup yang secara idiil dimaksudkan untuk dapat melakukan rekayasa sosial, masih memerlukan penyempurnaan ditinjau dari seluruh permasalahan pokok hukum pidana, yakni: perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan sanksi baik yang merupakan pidana maupun tindakan tata tertib. Di lain pihak, usaha untuk memperbaharui kodifikasi hukum pidana nasional (menggantikan WvS) terus dilakukan dan ada kesepakatan dari Tim Perumus untuk memberikan muatan-muatan hukum pidana nasional dengan elemen-elemen: (1) cita-cita nasional sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Ideologi Bangsa; (2) kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa dan (3) kecenderungankecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat beradab. Mengingat konsep Rancangan KUHP tersebut sudah merupakan draft akademis, maka sudah selayaknya apabila segala pembicaraan tentang perencanaan peraturan pidana (termasuk aspek hukum pidana dalam pengelolaan lingkungan) secara sistemik membahas pula Konsep Rancangan KUHP tersebut, khususnya sepanjang berkaitan dengan Ketentuan Umumnya yang akan berlaku tidak hanya ke dalam tetapi juga keluar KUHP. Tentu saja perkembangan internasional yang berkembang harus dijadikan acuan, mengingat secara konseptual Rancangan KUHP baru yang disusun sejak lama bisa juga ketinggalan zaman. Secara umum pembaharuan hukum dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan yakni (a) pendekatan global (global approach), yang mengatur secara tersendiri materi hukum di luar kodifikasi yang ada, dengan kemungkinan terjadinya banyak penyimpangan; (b) Pendekatan evolusioner (evolusionary approach ), dengan cara menyempurnakan atau menambahkan pasal-pasal tertentu dalam KUHP yang ada; (c) Pendekatan kompromis (compromise approach) dengan menambahkan suatu Bab baru dalam kodifikasi yang ada. Beberapa Permasalahan (1) Perlunya penegasan secara konsisten asas-asas dasar (general principles ) yang dapat memberikan pembenaran terhadap penggunaan hukum pidana dalam rangka perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. (2) Perlunya penegasan tentang konsep korban dalam tindak pidana lingkungan, untuk memberikan pembenaran tentang 95

(3)

(4)

(5)

(6)

kemungkinan penjatuhan pidana yang lebih proporsional bagi pelaku tindak pidana lingkungan. Di samping itu perlu penegasan tentang konsep kerugian dan kerusakan (harm) sebagai akibat tindak pidana lingkungan. Perlunya arahan tentang stelsel dan sistem sanksi tindak pidana lingkungan, baik yang merupakan pidana (punishment) maupun tindakan tata tertib (treatment). Dalam hal sanksi pidana, sejauh mungkin mencakup jenis pidana (strafsoort) berat ringannya (strafmaat) dan cara pelaksanaan (strafmodus) pidana tersebut. Sampai seberapa jauh konsep pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan. Dalam hal ini timbul masalah apakah korporasi mencakup pula organisasi yang tidak berbentuk badan hukum. Usaha untuk merumuskan kembali tindak pidana lingkungan atas dasar asas legalitas yang menuntut adanya kepastian dan kejelasan (lex certa). Perlukah dibedakan antara generic crimes dan specific crimes. Menegaskan kedudukan tindak pidana lingkungan dalam sistem hukum pidana. Apakah tindakan pidana lingkungan merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri atau tergantung pada bidang hukum lain.

Asas-asas Umum Asas pertama yang menonjol adalah asas legalitas, yang di dalamnya terkandung asas kepastian hukum dan kejelasan serta ketajaman dalam merumuskan peraturan dalam hukum pidana, khususnya sepanjang berkaitan dengan definition of crimes against the environment dan sanksi yang perlu dijatuhkan agar si pelaku mentaati normanya. Dalam hal ini terkait akurasi proses kriminalisasi dengan segala persyaratannya. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah adanya korban/kerugian yang jelas dan sifat enforceable dari perumusan tersebut. Asas yang kedua adalah asas pembangunan yang berkesinambungan, yang diterima oleh The General Assembly PBB pada tahun 1992 yang menegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangan sampai mengorbankan hak generasi yang akan datang untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat. Asas yang ketiga adalah asas pencegahan, yang dikemukakan 96

dalam Konperensi PBB tentang lingkungan hidup dan pembangunan tahun 1992 di Rio de Janeiro dan kemudian diadopsi oleh Sidang Umum PBB. Asas ini menegaskan bahwa apabila terjadi bahaya atau ancaman terjadinya kerusakan yang serius dan irreversible, maka kekurangsempurnaan kepastian ilmiah hendaknya jangan dijadikan alasan untuk menunda cost effective measures dalam rangka mencegah terjadinya degradasi lingkungan hidup. Asas yang keempat adalah asas pengendalian yang juga merupakan salah satu syarat kriminalisasi, yang menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi-sanksi perdata dan administrasi dan sarana-sarana lain ternyata tidak tepat dan tidak efektif untuk menangani tindak-tindak pidana lingkungan tertentu. Dalam hukum pidana, dalam hal ini dikenal asas subsidiaritas atau ultima ratio principle atau asas ultimum remedium. Pendayagunaan peradilan administrasi dan hukum pidana tidak akan merupakan bis in idem, tetapi sebaiknya hal tersebut ne dilakukan setelah mempertimbangkan tingkat kesalahan si pelaku dan berat ringannya kerusakan terhadap lingkungan akibat tindak pidana yang dilakukan. Di sinilah letak pentingnya peranan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Konsep Korban Dalam Tindak Pidana Lingkungan Untuk memahami konsep korban yang bersifat khusus ini, pertama-tama harus dikaji makna korban sebagaimana dirumuskan dalam Declaration on Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, yang telah diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1985. Dijelaskan bahwa yang dinamakan korban (victims) adalah: persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power. Pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat juga bersifat perorangan atau kolektif, bahkan bentuknya dapat merupakan kejahatan korporasi (corporate crimes). Sorotan terhadap kejahatan dari aspek korban (victim oriented analysis) sangat penting sehubungan dengan pertumbuhan viktimologi sejak tahun 1947. Dalam hukum pidana modern perhatian terhadap korban kejahatan tidak hanya 97

ditekankan terhadap proses kriminalisasi, tetapi juga berkaitan erat dengan pedoman pemidanaan, konsep pertanggungjawaban pidana, dan usaha untuk mencantumkan ganti rugi (restitution) sebagai sanksi pidana. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, antara lain muncul konsep shared responsibility apabila si korban juga turut berperan untuk terjadinya kejahatan tersebut. Analisis terhadap korban kejahatan sangat penting untuk menentukan politik kriminal yang paling tepat dalam rangka penanggulangan kejahatan. Dalam tindak pidana lingkungan, hal yang paling mendasar adalah kualifikasinya sebagai tindak pidana ekonomi (economic crimes) yang secara umum dirumuskan sebagai any non-violent, illegal activity which principally involves deceit, misrepresentation, concealment, manipulation, breach of trust, subterfuge or illegal circumvention. Istilah non-violent sendiri sangat relatif, karena tindak pidana lingkungan hidup dapat menyebabkan orang luka, mati, pingsan atau tidak berdaya, yang secara yuridis disamakan dengan kekerasan. Dalam konotasi politis tindak pidana ekonomi diistilahkan sebagai white collar crime dan secara sosial disebut sebagai socio-economic crime. Apapun istilahnya, di sini nampak korban pertama dari tindak pidana lingkungan sebagai tindak pidana ekonomi adalah kepentingan negara dan kepentingan masyarakat, karena tindak pidana ekonomi selaku berkaitan dengan sistem ekonomi suatu bangsa. Dengan demikian tindak pidana ekonomi sering disebut juga sebagai crimes against constitution. Kemungkinan korban kedua adalah manusia perorangan atau kolektif yang menderita baik fisik maupun mental, dan korban selanjutnya adalah perusahaan saingan yang kalah efisien karena taat pada peraturan lingkungan yang mengharuskan adanya pengolahan limbah dengan biaya yang besar. Korban potensial lain adalah karyawan, karena bekerja pada suatu lingkungan yang tidak aman/ tidak sehat. Apabila hal-hal di atas merupakan korban yang bersifat langsung maka ada pula proses viktimisasi akibat tindak pidana lingkungan yang bersifat tidak langsung dalam bentuk kerugian negara berupa biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan peradilan pidana, yang tentu saja lebih kompleks dan otomatis lebih mahal dibanding dengan tindak pidana biasa. Di samping itu dapat berupa kerugian sosial, karena sebagai tindak pidana ekonomi mengandung 98

pula apa yang dinamakan corrosive effect terhadap standar moral yang seharusnya ditaati dalam menjalankan usaha. Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks. Tidak hanya bersifat praktis atau konseptual ekonomi saja tetapi juga merupakan masalah etika baik sosial maupun bisnis. Yang dilindungi oleh hukum (pidana) tidak hanya alam, flora dan fauna (the ecological approach), tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi lingkungan hidup (the anthropocentric approach) . Dengan demikian muncul istilah environmental laws carry penal the sanctions that protect a multitude of interest. Konsep korban dalam tindak pidana lingkungan berkaitan erat dengan konsep tentang kerugian dan kerusakan lingkungan. Hal ini meliputi kerugian dan kerusakan nyata (actual harm) dan ancaman kerusakan (threatened harm). Sebab harus dipahami bahwa kerugian atau kerusakan dalam tindak pidana lingkungan seringkali tidak terjadi seketika atau dapat dikuantifikasi dengan mudah. Dengan demikian ada kategori korban yang bersifat konkrit dan ada korban yang bersifat abstrak. Di sinilah pembicaraan sering bersinggungan dengan tindak pidana formil dan tindak pidana materiil; tindak pidana spesifik dan tindak pidana generik. Masalahnya perbuatan seseorang tidak hanya causes impairment of the quality of the natural environment, tetapi juga is likely to cause impairment of the quality of the natural environment. Stelsel dan Sistem Sanksi Tindak Pidana Lingkungan Berbicara tentang pemidanaan, pertama kali harus dikaji falsafah suatu bangsa tentang pemidanaan. Dengan falsafah pengayoman yang dianut oleh sistem pemasyarakatan saat ini, maka pemidanaan di Indonesia tidak boleh menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Untuk menerjemahkan asas-asas dan tujuan pemidanaan yang dianut oleh pelbagai negara (protection of the public, retribution or punishment, rehabilitation and reform and deterrence), masyarakat hukum Indonesia telah merumuskan tujuan pemidanaan dalam Konsep Rancangan KUHP sebagai berikut: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; 99

c. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga mejadi orang yang baik dan berguna; dan d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Untuk memenuhi tujuan integratif di atas, perlu disediakan pelbagai alternatif yang dapat dipilih oleh hakim dalam menentukan jenis-jenis pidana yang pantas diterapkan kepada si pelaku dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan perbuatannya, orangnya, kesan masyarakat terhadap kejahatan, berat ringannya korban/kerugian, dan proyeksi efektivitas pemidanaan. Dalam tindak pidana lingkungan, beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam pemidanaan adalah; pertama, untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang; kedua, mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian secara antisipatif sebenarnya secara konseptual tidak ada masalah seandainya ancaman pidana dalam tindak pidana lingkungan akan dikembangkan dan tidak hanya mencakup pidana penjara dan atau denda sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 UU No. 4 Th. 1982. Atas dasar kecenderungan internasional, di samping pidana kemerdekaan, perlu diperhatikan jenis sanksi-sanksi finansial, seperti denda, sanksi bisnis misalnya penutupan perusahaan, dan sanksi alternatif misalnya kompensasi terhadap korban dan perbaikan yang harus dilakukan atas kerusakan. Hal ini didasarkan atas pengalaman bahwa tindak pidana lingkungan biasanya dilakukan atas dasar alasan-alasan ekonomis dan dalam kerangka aktivitas bisnis. Pertanggungjawaban Korporasi Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana sudah diatur dalam hukum positif Indonesia, khususnya dalam beberapa tindak pidana di luar KUHP. Dalam ius constituendum, pertanggungjawaban korporasi ini ditingkatkan kedudukannya menjadi ketentuan yang brsifat umum (masuk Buku I KUHP). Di dalam UU No. 4 Th. 1982, pertanggungjawaban korporasi juga dikenal walaupun dari segi teknik legislative drafting kurang baik. Hal ini nampak dari pencantumannya yang hanya ditempatkan dalam penjelasan Pasal 55 UU tersebut. Di samping itu pengaturannya terlalu sederhana, yang seringkali menimbulkan pelbagai penafsiran. Atas 100

dasar pengalaman pengaturan hukum positif, dan pemikiran yang berkembang pada saat penyusunan Rancangan KUHP serta memperhatikan pula kecenderungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Korporasi mencakup baik badan hukum maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya; b. Korporasi dapat bersifat privat dan dapat pula bersifat publik; c. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employees) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-punishment provision); d. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision; e. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana; f. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara; g. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan; h. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan dan keputusan tersebut telah diterima oleh korporasi tersebut. Perumusan dan Kedudukan Tindak Pidana Lingkungan dalam Hukum Pidana Atas dasar UU NO. 4 Tahun 1982 beserta pelbagai peraturan pelaksanaannya nampak bahwa karakteristik yang nyata adalah bahwa kategori suatu tindakan sebagai tindak pidana lingkungan erat hubungannya dengan tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban administrasi, seperti tercantum di dalam izin atau lisensi. Masalah yang sering terlontar adalah, apakah hukum pidana lingkungan hanya berfungsi apabila kepentingan hukum administrasi terganggu ataukah hukum pidana harus lebih aktif melindungi lingkungan hidup sebagai kepentingan hukum yang strategis. Hal ini misalnya saja dengan 101

mengatur delik lingkungan dalam KUHP, apakah dalam bentuknya sebagai tindak pidana yang membahayakan keamanan umum bagi orang, barang dan lingkungan hidup ataukah sebagai Bab tersendiri yang memuat tindak pidana lingkungan hidup secara sistematis dan lengkap. Tindak pidana lingkungan di Indonesia saat ini dapat dikategorikan sebagai administrative penal law atau public welfare offenses (Ordnungswidrigkeiten) yang memberi kesan ringannya perbuatan tersebut. Dalam hal ini fungsi hukum pidana bersifat menunjang sanksi-sanksi administratif untuk ditaatinya norma-norma hukum administrasi. Dengan demikian keberadaan tindak pidana lingkungan sepenuhnya tergantung pada hukum lain. Kondisi semacam itu wajar, namun mengingat betapa pentingnya lingkungan hidup yang sehat dan baik dan kedudukannya sebagai tindak pidana ekonomi serta kompleksitas kepentingan yang dilindungi tersebut di atas baik yang bersifat antroposentris maupun ekosentris, maka ketentuan khusus (specific crimes) perlu dilengkapi dengan tindak pidana lingkungan yang bersifat umum dan mandiri terlepas dari hukum lain (delictum sui generis), yang dinamakan generic crimes atau core crimes. Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan, hendaknya selalu diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat nyata, tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial, baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan karena kerusakan tersebut seringkali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikuantifikasi. Sehubungan dengan ini untuk generic crime yang relatif berat sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam hal mana akibat merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan. Namun untuk tindak pidana yang bersifat khusus yang melekat pada hukum adminstratif dan relatif lebih ringan, maka perumusan yang bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan. Sikap batin yang menjadi elemen tindak pidana tersebut dapat mencakup perbuatan sengaja (dolus, knowingly), sengaja dengan kemungkinan (dolus eventualis, recklesness), dan kealpaan (culpa, negligence). Pengkajian terhadap Pasal 22 UU No. 4 Th. 1982 menunjukkan bahwa pasal tersebut banyak kelemahannya ditinjau dari ukuran-ukuran di atas. 102

Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan hendaknya selalu dipertimbangkan adanya dua macam elemen yakni elemen material dan elemen mental. Elemen material mencakup: (1) adanya perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang menyebabkan terjadinya tindak pidana; atau (2) perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar atau bertentangan dengan standar lingkungan yang ada. Elemen mental mencakup pengertian bahwa berbuat atau tidak berbuat tersebut dilakukan dengan sengaja, recklessness (dolus eventualis atau culpa gravis) atau kealpaan (negligence). Pembagian ini biasa dikenal dalam Sistem Hukum Anglo Saxon. Sedangkan hukum kita yang banyak dipengaruhi oleh Sistem Hukum Kontinental membedakan kategori-kategori kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Ditinjau dari perkembangan internasional, perumusan di atas perlu disempurnakan, karena masih kelihatan bahwa lingkungan hidup sebagai kepentingan hukum belum memperoleh perlindungan secara eksplisit. Kesehatan umum dan nyawa manusia jauh lebih sempit apabila dibandingkan dengan pengertian lingkungan hidup yang luas. Karena itu, pada masa mendatang, pengaturan tindak pidana lingkungan hidup, hendaknya menyesuaikan diri dengan kecenderungan internasional (AIDP Preparatory Colloquium on the Application of Criminal Law to Crimes Against the Environment di Ottawa pada 2-6 Nopember 1992, International Meeting of Experts on Environmental Crime di Oregon 19-23 Maret 1994 yang menghasilkan The Portland Draft, dan XVth International Congress of Penal Law di Rio de Janeiro pada tanggal 5-19 September 1994) yang membedakan antara Generic Crimes dan Specific Crimes. Seperti dinyatakan di atas, sifat dari generic crimes adalah independen (otonom) dan perumusannya merupakan delik materiil, dalam hal mana akibat merupakan unsur yang hakiki (material endangerment offences atau concrete gevaarzettings-delicten). Dalam hal ini teori kausalitas sangat penting. Selanjutnya karakteristik specific crime adalah sifatnya yang dependent terhadap aturan-aturan lain dan perumusannya bersifat formil dalam hal mana akibat bukan merupakan unsur hakiki (abstract endangerment offenses atau abstracte gevaarzettings-delicten) dan teori kausalitas tidak menjadi penting.

103

Perkembangan Hukum Pidana Lingkungan dalam UU No. 23 tahun 1997 Dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya pada Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 sepanjang mengenai tindak pidana lingkungan dirumuskan jauh lebih baik daripada perumusan semacam dalam UU No. 4 tahun 1982. Beberapa perkembangan yang terjadi adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana lingkungan tidak mengatur tentang strict liability karena semua tindak pidana lingkungan dilihat sebagai kejahatan. Dengan demikian unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan) merupakan unsur yang hakiki (liability based on fault); 2. Tindak pidana lingkungan terbagi dalam 2 (dua) kategori yaitu tindak pidana generik yang merupakan delik materiil (Pasal 41 dan Pasal 42) dan tindak pidana spesifik yang merupakan delik formil (Pasal 43 dan Pasal 44). Perumusan delik materiil didasarkan atas konsep viktimisasi yang bersifat aktual, sedangkan perumusan delik formil dilandasi konsep viktimisasi yang bersifat potensial (potential harm atau threatened harm); Dalam proses pembuktian delik materiil teori hukum pidana tentang kausalitas menjadi sangat penting. 3. Baik delik materiil maupun delik formil dapat berupa delik kesengajaan dan delik kealpaan dan khusus mengenai delik formil (yang merupakan kejahatan spesifik), mensyaratkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang ada terlebih dahulu; 4. Jenis-jenis delik materiil meliputi perbuatan baik sengaja maupun alpa yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Akibat berupa orang mati atau luka berat merupakan alasan pemberatan pidana; 5. Jenis delik-delik formil mencakup pelbagai perbuatan baik sengaja maupun alpa berupa: (1) melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan; (2) melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut; (3) menyimpan bahan tersebut; (4) menjalankan instalasi yang berbahaya; Di samping terdapat syarat perlunya melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, terdapat perumusan unsur yang dikulpakan (pro parte dolus pro parte culpa) yaitu si pelaku mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga 104

6.

7. 8.

9.

bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain; Dalam delik formil yang berupa delik kesengajaan diatur pula delik berupa dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan delik kesengajaan tersebut dalam butir (5) di atas, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain; Sanksi pidana penjara dan denda dirumuskan secara kumulatif, yang secara imperatif harus diterapkan hakim; Definisi pencemaran lingkungan hidup diatur dalam Pasal 1 butir (12) yaitu masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain di dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya; Dalam Pasal 1 butir (14) perusakan lingkungan hidup dirumuskan sebagai tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; catatan: ada keluhan dari penegak hukum bahwa kalimat yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan terlalu abstrak dan bersifat akademis, sehingga menimbulkan kendala terhadap penegakan hukum; UU No. 23 tahun 1997 secara eksklusif mengatur pertanggung jawaban korporasi dalam hukum pidana (corporate criminal responsibility), yaitu dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 47. Dengan demikian, korporasi (yang meliputi badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain) tidak hanya dipandang dapat melakukan tindak pidana, tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana serta dapat dijatuhi pidana dan/atau tindakan. Catatan: Penjelasan tentang hal ihwal pertanggungjawaban korporasi dapat dikaji dari bagian lain buku ini; 105

10.Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana, di samping denda yang diperberat dengan sepertiga (Pasal 45), juga sanksi berupa tindakan tata tertib (tuchtmaatregel) seperti: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan atau perbaikan akibat tindak pidana; dan atau mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau menempatkan perusahaan di bawah pengampunan paling lama 3 (tiga) tahun. Penutup Mengingat semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap konsep pembangunan yang berkelanjutan, maka peranan hukum pidana dalam melindungi lingkungan hidup semakin penting. Bahkan dalam kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang berat, sifatnya sebagai pimum remedium semakin nampak. Sekalipun demikian, efektivikasinya akan banyak tergantung pada kualitas mental dan intelektual para penegak hukumnya, terutama untuk memahami spirit dan substansi hukum pidana lingkungan yang cukup kompleks. Pemahaman ini antara lain dilakukan denga mengadakan studi banding dengan penerapan hukum pidana lingkungan di negara lain yang sudah banyak pengalaman dalam penegakan hukum pidana lingkungan. Pendayagunaan saksi ahli akan sangat membantu untuk selalu menjaga keseimbangan antara kepastian hukum, kemanfaatan, kebenaran dan keadilan. n

106

bagian 2
FAKTOR-FAKTOR GLOBAL DAN KETEGANGAN HUKUM NASIONAL

107

108

International Criminal Court Sebagai Karya Agung Antar Bangsa


Ide untuk mengadili mereka yang telah terlibat melakukan kekejaman dan pelanggaran HAM berat telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman itu telah terjadi penuntutan terhadap mereka yang melakukan kekejaman dalam konflik bersenjata yang brutal atas dasar standar nilai dan norma kemanusiaan yang bersumber pada filsafat dan agama. Pada tahun 1474 hukuman mati bahkan telah dijatuhkan kepada Peter von Hagenbach, pelaku kekejaman pada saat pendudukan Breisach, oleh suatu pengadilan internasional. Dalam sejarah perang saudara di Amerika, Abraham Lincoln telah melarang perilaku tidak manusiawi dan mengancam dengan sanksi berat, termasuk pidana mati terhadap pelakunya. (Schabas, 2001) Setelah perjanjian perdamaian Wesphalia tahun 1648, secara gradual desakan untuk melakukan proses penuntutan internasional terhadap para pelaku pelanggaran hukum humaniter mulai berkembang. Kodifikasi penting dalam bentuk perjanjian internasional yang mengatur hukum perang terjadi pada tahun 1889 dan 1907, yaitu Konvensi Den Haag (the Haque Convention) yang menegaskan betapa pentingnya perlindungan terhadap penduduk sipil, kehidupan manusia, hak milik pribadi, hak dan kehormatan keluarga, serta keyakinan agama. Baik penduduk maupun pihak yang berperang tetap harus mendapatkan perlindungan atas dasar asas-asas hukum internasional yang berlaku sebagai kebiasaan di masyarakat yang beradab, hukum kemanusiaan, dan hati nurani. Konvensi tersebut lebih diarahkan pada kewajiban dan tugas-tugas negara, dan tidak dimaksudkan untuk mengatur pertanggungjawaban pidana secara individual. 109

Perkembangan untuk merumuskan kejahatan perang yang memungkinkan para pelakunya untuk dituntut semakin melembaga setelah Perang Dunia I sampai dengan terbentuknya Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Law) dalam bentuk Statuta Roma pada tahun 1998. Dari sisi hukum pidana internasional, terbentuknya statuta ini sangat menarik, sebab sampai saat ini, dalam penegakan hukum secara umum berlaku indirect enforcement method atas dasar konvensi internasional, yang mengharuskan negara-negara untuk melakukan ratifikasi konvensi tersebut dan menerapkannya melalui hukum nasional. Penegakan hukum yang bersifat langsung (direct enforcement model), hingga saat ini, secara eksplisit hanya diterapkan secara adhoc dengan tempos dan locus tertentu. Statuta Roma 1998 tentang ICC justru mengembangkan direct enforcement model dalam pengadilan yang bersifat permanen. (Bassiouni, 1993) Proses Pembentukan Pengadilan Internasional Pada tanggal 17 Juli 1998, di gedung markas besar FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di Roma, delegasi 120 negara, melalui pemungutan suara sepakat untuk mengadopsi Rome Statute of Internbational Criminal Court (ICC). Perjanjian yang bersifat kompleks dan terperinci ini menetapkan pembentukan Pengadilan Pidana Internasional dengan wewenang dan kekuasaan untuk mengadili dan memidana pelanggaran HAM yang sangat berat dalam kasuskasus apabila sistem peradilan pidana nasional gagal menjalankan peranannya. ICC berkedudukan di Den Haag, ibu kota Kerajaan Belanda, berdampingan dengan pasangannya yang telah lama berdiri, yaitu Mahkamah Internasional (ICJ: the International Court of Justice). ICJ merupakan pengadilan dimana negara-negara mengajukan perkara yang berkaitan dengan perselisihan dengan negara lain (Art.34). Peranan individu di depan ICJ terlalu kecil. ICC melakukan penuntutan dan pemidanaan terhadap individu, di samping itu juga menghargai peran serta yang sah dari individu sebagai korban, khususnya dalam kasus pelanggaran HAM berat. Sementara itu ICJ banyak sekali mengadili perselisihan antar negara yang berkaitan dengan penetapan batas antar negara dan zona perikanan dan kasuskasus semacamnya. Dalam perkembangannya, ICJ juga melibatkan diri dalam kasus-kasus yang bernuansa HAM seperti genocide di bekas 110

Yugoslavia, penggunaan senjata nuklir, hak menentukan nasib sendiri di Timor Timur, imunitas dari para penyelidik HAM internasional dan penerapan pidana mati di Amerika. Apabila ICC dibentuk atas dasar Statuta Roma 1998, maka ICJ dibentuk atas dasar Piagam HAM PBB sebagai principal judicial organ PBB. Apabila yurisdiksi dari ICC menyangkut perkara pokok pelanggaran berat HAM, seperti kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi, maka yurisdiksi ICJ menyangkut pelbagai perselisihan hukum (legal disputes) mengenai: the interpretation of a treaty; any question of international law; the existence of any fact which, if established, would constitute a breach of an international obligation; the nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international obligation (Art.36). Sebagai contoh adalah perselisihan antara Indonesia dan Malaysia mengenai kedaulatan (sovereignty) atas pulau Ligitan dan pulau Sipadan. Tentang hukum yang digunakan (applicable law), dalam Pasal 38 Statuta ICJ ditentukan sebagai berikut: (a) international convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; (b) international custom, as evidence of a general practice accepted as law; (c) the generals principles of law recognized by civilized nations; (d) subject to the provisions of Art. 59, judicial decisions and the teachings of most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. Pada ICC, hukum yang diterapkan diatur dalam Pasal 21 Statuta Roma, yaitu: (a) in the first place, this Statue, Elements of Crime and its Rules of Procedure and Evidence; (b) in the second place, where appropriate, applicable treaties and the principles and rules of international law or armed conflict; (c) Failing that, general principle of law derived by Court from national laws of legal systems of the world including, as appropriate, the national laws of states that would normally exercise jurisdiction over the crime, provided that those principles are not inconsistency with this Statute and with international law and internationally recognized norms and standards. Terbentuknya ICC pada tahun 1998 merupakan buah dari usaha yang panjang dan sarat dengan kendala, bahkan tragedi-tragedi kemanusiaan di dunia. Usaha tersebut dimulai pada tiga perempat abad yang lalu, yaitu pada tahun 1919 di Versailles saat berakhirnya Perang Dunia I, yang sebenanrnya diharapkan sebagai the war to 111

end all wars. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu meledaknya Perang Dunia II yang menimbulkan akibat lebih dahsyat dan mengerikan dari sisi kemanusiaan. Sejak itu boleh dikatakan telah terjadi kurang lebih 250 konflik dalam segala bentuknya dan proses viktimisasi yang dilakukan oleh rezim-rezim tiranis yang mengorbankan lebih kurang 170 juta orang. Yang teramat mengejutkan adalah bahwa sebagian besar pelaku genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang diuntungkan melalui praktek impunity (membebaskan tanpa memberikan hukuman). Dalam kurun waktu sejak tahun 1919 masyarakat internasional sudah mendesak untuk dibentuknya Pengadilan Pidana Internasional (ICC) yang bersifat permanen. Bahkan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir telah terbentuk 4 tribunal adhoc dan 5 komisi pemeriksa (investigatory commissions). Keempat tribunal ad hoc tersebut adalah; a). the International Military Tribunal (IMT) yang berkedudukan di Nuremberg; b). the International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) yang berkedudukan di Tokyo; c). the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia di Den Haag, dan d). the International Criminal Tribunal untuk Rwanda (ICTR) di Arusha. (Sebagai tambahan dapat dikemukakan bahwa di samping pengadilan militer di Nuremberg dan di Tokyo pasca Perang Dunia II, langkah-langkah penuntutan yang bersifat nasional atas dasar Control Council Law No. 10 juga terjadi di Republik Federal Jerman, Kanada, Perancis dan Israel. Australia dan Inggris juga melakukannya sekalipun hanya satu orang yang diadili. Apa yang terjadi di Tokyo dan Nuremberg sangat berarti karena berhasil diciptakan sebagai preseden dalam sistem peradilan pidana internasional, yakni dalam bentuk norma-norma hukum baru dan standar pertanggungjawaban pidana kepala negara atau kepala pemerintahan). Sedangkan kelima Komisi Pemeriksa di atas terdiri dari: a). the 1919 Commission on the Responsibilities of the Authors of War and on Enforcement of Penalties, yang menginvestigasi pelbagai kejahatan yang terjadi selama PD I; b). the 1943 UN War Crime Commission, yang menginvestigasi kejahatan perang Jerman selama PD II; c) the 1946 Far Eastern Commission, yang menginvestigasi kejahatan perang Jepang selama PD II; d). the Commission of Expert Established Pursuant to Security Council Resolution 780, yang menginvestigasi pelanggaran hukum humaniter di bekas negara Yugoslavia; dan e). the Independence Council Resolution 935, the 112

Rwanda Commission , yang menginvestigasi pelanggaran yang dilakukan selama perang saudara (civil war) di Rwanda. Sebenarnya setelah PD I the Treaty of Versailles menetapkan pula keberadaan tribunal ad hoc, namun tidak pernah terlaksana dan atas persetujuan tentara sekutu penuntutan dilakukan secara nasional di Jerman. Baru setelah 75 tahun kehendak masyarakat internasional untuk membentuk pengadilan pidana permanen terlaksana, sekalipun hanya terbatas pada pertanggungjawaban kriminal secara individual. Konsep tentang state criminal responsibility belum pernah diterapkan (kecuali dalam peradilan Nuremberg). Dalam hal ini faktor political will sangat menonjol. Apabila setelah PD I terjadi kompromi untuk kepentingan kebijaksanaan politik, maka pasca PD II kehendak politik terutama negara-negara pemenang perang-- sangat berkeinginan untuk menciptakan keadilan internasional yang efektif. Hal ini sering dinamakan victor justice over the defeated sekalipun bisa dibuktikan bahwa pengadilan tersebut were not unjust dan bahkan bisa mendemonstrasikan peranannya sebagai lambang keadilan internasional dan kejujuran. Terbentuknya ICC boleh dikatakan sepenuhnya merupakan buah perjuangan baik individu, NGOs, pemerintah negara-negara maupun lembaga-lembaga lainnya yang semuanya mengharapkan terciptanya rule of law di level inetrnasional. Tahun 1989 1998 merupakan saatsaat yang paling dramatis. Harapan yang sudah tipis untuk membentuk ICC antara tahun 1989 1992 (kurun berakhirnya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur), dengan terjadinya peristiwa yang mengerikan di Yugoslavia dan Rwanda, kemudian digalakkan lagi yang disusul dengan langkah Dewan Keamanan PBB untuk membentuk Tribunal Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili pelanggaran HAM berat di kedua wilayah tersebut. Dalam kurun waktu itu pula, dalam suasana dan iklim dukungan publik internasional yang kuat, akhirnya terbentuk pengadilan permanen ICC pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma. Yurisdiksi ICC Yurisdiksi ICC berkaitan dengan pelbagai parameter hukum sebagai berikut: 1. Yurisdiksi yang berkaitan dengan pokok perkara; ini mencakup pelbagai kejahatan yang sangat berat seperti genosida (genocide), 113

kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) , kejahatan perang (war crime) dan agresi. Sepanjang menyangkut kejahatan agresi, pengadilan hanya akan menerapkan yurisdiksinya setelah ada kesepakatan terhadap definisi kejahatan agresi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan pengadilan menerapkan konsisten dengan Piagam PBB (Pasal 5) dalam kerangka Pasal 121 dan 123 Statuta, yang mengatur amandemen melalui Review Conference yang dapat dilakukan setelah 7 tahun sejak berlakunya Statuta secara efektif. 2. Yurisdiksi yang berkaitan dengan waktu (temporal jurisdiction); ditegaskan bahwa ICC merupakan lembaga prospektif yang tidak dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebelum Statuta ICC berlaku (entry into force). Dalam hal ini asas nullum crimen nulla poena sibe lege tetap dipandang sebagai asas fundamental. Terhadap kejahatankejahatan yang terjadi sebelumnya, maka penyelesaiannya diserahkan kepada hukum nasional masing-masing. Apabila negaranegara tersebut menolak maka mekanisme universal dapat ditetapkan. Berlakunya asas legalitas tersebut mengandung perkecualian, yaitu apabila negara yang bersangkutan telah membuat suatu pernyataan (adhoc declaration) bahwa negara tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan bersangkutan yang dilakukan di masa lalu. Terhadap kejahatan-kejahatan yang sudah dimulai sebelum Statuta berlaku secara efektif dan berlanjut sesudahnya (continues crimes), penyelesaian diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan pengadilan. 3. Yurisdiksi teritorial (space/territorial jurisdiction); pengadilan mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara peserta, tanpa mempertimbangkan kewarganegaraan si pelaku, termasuk pula kejahatan di wilayah negara yang menerima yurisdiksi atas dasar pernyataan ad hoc dan di atas wilayah yang ditentukan oleh Dewan Keamanan. Wilayah dalam hal ini mencakup pula kapal dan pesawat terbang yang didaftarkan di negara peserta. 4. Yurisdiksi personal/individual; ditentukan bahwa ICC mempunyai yurisdiksi terhadap warganegara negara peserta yang dituntut atas suatu kejahatan. ICC dapat juga mempunyai 114

yurisdiksi warga negara bukan negara peserta yang telah menerima yurisdiksi yang bersifat ad hoc atau mengikuti Dewan Keamanan PBB. Prinsip equally to all persons, irrelevance of official capacity diterapkan, termasuk mereka yang berkedudukan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan. Imunitas atas dasar hukum internasional tidak menghalangi yurisdiksi ICC. Selanjutnya diatur pula apa yang disebut responsibility of commanders and the superiors, termasuk di sini perbuatan berupa disregarded information yang menjurus pada kejahatan omisionis (pembiaran). Hubungan ICC dengan Pengadilan Nasional Hubungan ICC dengan yurisdiksi sistem peradilan pidana nasional bersifat komplimenter. Hal ini mengandung arti, bahwa suatu kasus tidak dapat diterima (inadmissible) apabila: a) kasus tersebut sedang disidik dan dituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi, kecuali negara tersebut sungguh-sungguh tidak mau atau tidak mampu melakukan penyidikan dan penuntutan; b) kasus tersebut telah disidik oleh negara yang memiliki yurisdiksi dan negara tersebut telah memutuskan untuk tidak menuntut si pelaku, kecuali keputusan tersebut sebagai akibat ketidakmauan atau ketidakmampuan negara yang sungguh-sungguh untuk menuntut; c) si pelaku telah diadili atas dasar perbuatan yang sama, kecualui terjadi apa yang dinamakan peradilan pura-pura (sham proceeding): proses peradilan dimaksudkan untuk tujuan melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan di bawah yurisdiksi ICC; atau proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau bersifat imparsial sesuai dengan norma-norma due process yang diakui oleh hukum internasional serta tidak konsisten dengan tujuan untuk mengadili si pelaku); d0. kasus tersebut tidak cukup memadai untuk memberikan pembenaran langkah-langkah lanjutan. Selanjutnya, ukuran yang digunakan untuk menentukan ketidakmauan (unwillingness) meliputi: (a) proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan, ditujukan untuk 115

melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana; (b) terjadi keterlambatan proses peradilan yang dasarnya tidak dapat dibenarkan (unjustified delay); (c) proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka. Sedangkan ukuran untuk menentukan ketidakmampuan (inability) dalam kasus-kasus tertentu, yakni apabila pengadilan (ICC) mempertimbangkan bahwa telah terjadi kegagalan secara menyeluruh atau substansial atau ketiadaan/ ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan tersangka, atau bukti-bukti dan kesaksian, atau tidak mampu untuk menyelenggarakan proses peradilan. Urgensi Keberadaan ICC Dalam rangka operasionalisasinya, efektivitas ICC tidak dapat dilepaskan dari legal spirit yang melatarbelakangi mengapa ICC diperlukan. Secara umum spirit itu berupa semangat universal untuk mengamankan penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar, terutama dalam situasi konflik. Sedangkan spiritnya yang bersifat khusus mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Menciptakan keadilan bagi semuanya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa ICC sebenarnya merupakan the missing link dalam sistem hukum internasional yang sampai saat terbentuknya ICC didominasi oleh Mahkamah Internasional (ICJ). b. Untuk mengakhiri praktek impunity. Dalam hal ini konsep individual crime responsibility diterapkan secara merata dan tanpa perkecualian karena hirarki, baik di lingkungan sipil maupun militer. c. ICC merupakan mekanisme yang diperlukan guna membantu mengakhiri konflik. Keberadaan ICC sebagimana pelbagai tribunal ad hoc yang ada diharapkan dapat menimbulkan efek pencegahan (deterrent effect) dan mengakhiri pelbagai konflik yang terjadi yang sering kali disertai kekerasan dan kekejaman, misalnya pembersihan etnik. d. Berusaha memperbaiki kekurangan dan kelemahan dari pengadilan atau tribunal ad hoc, yang sering dituduh menerapkan keadilan selektif dengan locus dan tempos delik tertentu; di samping itu diharapkan mengakhiri apa yang disebut tribunal fatigue setelah Tribunal Rwanda yang memakan waktu dan energi yang cukup signifikan. e. Mengambil alih, seandainya atas dasar prinsip komplementer 116

f. g.

h.

i. j.

lembaga pengadilan nasional tidak mau atau tidak mampu berbuat atau tidak berdaya. Untuk mencegah terjadinya kejadian serupa di masa datang; effective deterrence ini merupakan salah satu tujuan utama pembentukan ICC. Dengan mengkombinasikan antara nilai-nilai kemanusiaan dan pertimbangan kebijakan, maka ICC diharapkan tidak hanya penting untuk pencapaian keadilan, perbaikan dan pencegahan, tetapi juga berusaha untuk meberikan perlindungan, restorasi, dan pemeliharaan perdamaian. Karena perhatiannya yang terfokus pada pada perlindungan dan restorasi korban, termasuk pemberian restitusi, kompensasi dan rehabilitasi, maka ICC dapat dikatakan tidak hanya merupakan simbol keadilan tetapi juga merupakan yudisial yang efektif, yakni secara adil menerapkan keadilan retributif dan restoratif sekaligus. ICC diharapkan merupakan warisan moral ( moral legacy) bagi mereka yang mendambakan sistem peradilan pidana internasional yang permanen, efektif dan secara politik tidak mengenal kompromi. ICC merupakan landmark dalam hukum internasional yang penting dalam hubungan internasional. Dalam hal ini Sekjen PBB (Kofi Annan) menggambarkannya sebagai a gift of hope to future generations, and a giant step forward in the march forward universal human right and the rule of law. Bahkan seorang penulis seperti Robert C. Johansen menyebutnya sebagai the most important institutional innovation since the founding of the United Nations.

Tetapi, penting dikemukakan bahwa akhir-akhir ini muncul perkembangan yang kurang menguntungkan bagi kewibawaan ICC. Dalam rangka melindungi tentaranya yang melakukan tugas bantuan internasional (peacekeeping operations) dari kemungkinan penuntutan ICC, secara mengejutkan Presiden Amerika, George W. Bush, menyetujui suatu undang-undang yang berjudul the American Service Members Protection Act of 2002, yang pada intinya mengandung substansi sebagai berikut: 1. Tidak ada lembaga pemerintahan Amerika Serikat boleh bekerjasama dengan ICC. 2. Tidak ada agen ICC boleh melakukan kegiatan investigasi di Amerika Serikat. 117

3. Presiden akan menjamin bahwa semua resolusi Dewan Keamanan PBB yang membentuk peacekeeping operations secara permanen mengecualikan anggota-anggota angkatan bersenjata Amerika Serikat dari penuntutan oleh ICC. 4. Amerika Serikat tidak akan berpartsipasi pada setiap misi perdamaian kecuali Presiden menyatakan kepada Kongres bahwa personil militer Amerika Serikat dikecualikan dari penuntutan ICC. 5. Tidak ada informasi keamanan nasional yang bersifat rahasia dapat ditransfer langsung atau tidak langsung kepada ICC atau kepada negara yang menjadi pihak dari Statuta Roma. 6. Amerika Serikat tidak akan memberikan bantuan militer, termasuk pelatihan, kepada negara-negara yang meratifikasi perjanjian ICC, kecuali negara-negara anggota NATO, dan major non NATO allies (Australia, Mesir, Israel, Jepang, Republik Korea, Taiwan, dan New Zeland). 7. Presiden diberi wewenang untuk menggunakan segala yang diperlukan dan tepat (all means necessary and appropriate) untuk membebaskan personil Amerika Serikat atau sekutunya yang ditahan atau dipidana bertentangan dengan kehendaknya oleh atau atas nama ICC. Secara tradisional bahasa ini meliputi kekuatan militer, termasuk ancaman eksplisit untuk menginvasi Belanda, sekutu NATO. 8. Pengecualian dimungkinkannya dengan syarat-syarat yang sangat ketat (misalnya atas dasar kepentingan nasional). Keberadaan undang-undang di atas dirasakan sangat meresahkan karena dianggap bertentangan dengan kehendak masyarakat internasional untuk menegakkan supermasi hukum. Di samping itu merupakan kenyataan bahwa sebagian besar pendukung adalah negara-negara yang demokrasinya masih rentan dan baru bangkit dari krisis pelanggaran HAM. Yang menarik adalah bahwa Amerika Serikat tetap akan membantu usaha internasional untuk membawa ke pengadilan para pelaku genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk usaha dari ICC. Menanggapi perkembangan di atas, nampaknya Dewan Keamanan PBB tetap konsisten terhadap keberadaan ICC. Pada tanggal 12 Juli 2002, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi untuk menolak pengecualian permanen Amerika Serikat terhadap yurisdiksi 118

ICC, dengan cara menunda hanya satu tahun setiap investigasi dan penuntutan ICC terhadap pasukan perdamaian (peacekeepers) dari negara-negara yang belum meratifikasi perjanjian ICC. Hal ini sesuai dengan Pasal 16 ICC, walaupun pasal ini sebenarnya berlaku terhadap a particular case dan bukan category of people seperti pasukan perdamaian. Kesimpulan ICC hanya dapat memenuhi misi yang diembannya, baik yang berupa general spirit maupun specific spirit, apabila ICC tetap bersifat independen, efektif, tidak memihak, jujur dan adil. Adopsi terhadap Statuta ICC pada tanggal 17 Juli 1998, di samping merupakan berakhirnya perjuangan yang panjang untuk pembentukannya, juga merupakan titik awal pencapaian sasaran yang baru, yakni berlakunya ICC secara efektif setelah diratifikasi oleh 60 negara (dapat dikemukakan bahwa sejak 31 Desember 2000 sebanyak 130 negara, kecuali Indonesia, telah menandatangani Statuta Roma dan 52 negara telah meratifikasinya). Statuta Roma merupakan bentuk keseimbangan antara peranan lembaga nasional dan lembaga internasional atas dasar prinsip insentif dan komplementer. Sebagai perjanjian multilateral Statuta Roma membutuhkan dukungan luas tanpa mengorbankan efektivitas dan keadilan. Memahami Statuta Roma 1998 tentang Pengadilan Pidana Internasional (ICC), secara simultan harus dilakukan pula pemahaman terhadap 2 dokumen yang terkait dalam satu kesatuan, yaitu dokumen yang menguraikan the elements of crimes dan dokumen yang mengatur rule of procedures and evidence. n

119

Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan dan Perlindungan Hukum Dalam Era Globalisasi
Pendahuluan Perubahan sosial yang cepat akibat proses modernisasi sudah dirasakan sebagai sesuatu yang secara potensial dapat menimbulkan keresahan dan bahkan ketegangan sosial. Perubahan sistem nilai dengan cepat menuntut adanya norma-norma kehidupan sosial baru, yang menyibukkan badan legislatif, lembaga-lembaga penyelesaian sengketa dan segenap usaha untuk melakukan sosialisasi hukum. Sinisme masyarakat yang meluas terhadap dunia hukum muncul dalam ragam pandangan, seperti hukum dituduh telah ketinggalan zaman, tidak memenuhi rasa keadilan, penegak hukum dianggap tidak profesional, sasaran (adressat) norma dianggap tidak sadar hukum, lembaga peradilan didakwa tidak dapat menggali nilai-nilai dalam masyarakat, diskresi-diskresi muncul secara tidak terkendali, DPR dilecehkan, hakim didakwa menyalahgunakan kebebasan, delegated legislation semakin merebak, doktrin dasar terdesak oleh pragmatisme, otonomi profesional berjuang melawan legislasi, dan sebagainya. Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi akibat ditemukannya alat-alat komunikasi modern, alat transportasi dan teknologi informatika modern, isu modernisasi menjadi mendunia dan memunculkan fenomena baru berupa globalisasi yang menuntut perubahan struktur hubungan hukum, substansi-substansi baru pengaturan hukum dan budaya hukum yang sering sama sekali baru. Tanpa adanya perubahan sistem hukum tersebut, akibat-akibat selanjutnya yang lebih rumit dapat dipastikan akan muncul. Misalnya, persepsi publik yang terlanjur menganggap bahwa penguasa tidak 120

dapat menjamin kepastian hukum akan dapat menimbulkan bahaya lenyapnya ketenteraman dalam pelbagai kehidupan sosial. Segalanya terasa serba tidak pasti. Praktek penegakan hukum yang terjadi semakin jauh dari penegakan hukum yang diidealkan, dan hukum hanya akan berpihak melindungi orang-orang yang berkuasa dan para pelanggar hak asasi manusia, dan seterusnya. Di sinilah masalah kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang pada dasarnya mengandung dua hal sekaligus, yakni, rasa aman (jasmaniah) dan tentram (batiniah), yang keduanya tercakup dalam tujuan hukum: kedamaian!. Tiga Konsep Hukum Penegakan hukum tidak bisa lain harus diartikan dalam kerangka tiga konsep yang saling berhubungan, yakni (1) konsep penegakan hukum yang bersifat total ( total enforcement concept), yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali; (2) yang bersifat penuh ( full enforcement concept), yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual; dan (3) konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept), yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasanketerbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumberdaya manusia, kualitas perundang-undangannya, dan miskinnya partisipasi masyarakat. Apapun konotasinya, perubahan sosial akibat modernisasi dan globalisasi tidak merupakan sesuatu yang bersifat fakultatif dan tidak dapat dihindari. Keduanya, modernisasi dan globalisasi, merupakan sesuatu yang alamiah yang timbul serta merta akibat kompleksitas dan heterogenitas hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial, terutama di abad teknologi modern seeperti sekarang ini. Globalisasi mengandung makna dan implikasi yang dalam. Dalam perdagangan misalnya, globalisasi tidak hanya sekedar melakukan praktek perdagangan di beberapa negara di dunia, tetapi ia harus ditafsirkan sebagai berdagang di seluruh dunia dengan cara baru, menjaga keseimbangan kualitas global hasil produksi atau pelayanan dengan kebutuhan-kebutuhan yang khas (unique needs) yang berbasis pada pelbagai macam konsumen lokal. Lebih jauh lagi globalisasi mematahkan kualitas-kualitas yang melekat pada bisnis 121

yang sudah terbentuk atas dasar pandangan-pandangan kultural etnosentrik yang sempit tanpa memandang nasionalitasnya. Globalisasi melibatkan tenaga-tenaga tertentu yang memiliki keahlian khusus dari perusahaan yang beroperasi di seluruh dunia, tanpa melihat kewarganegaraannya. Penghargaan terhadap staf tersebut sepenuhnya didasarkan atas semata-mata karyanya yang hebat serta usahanya untuk menciptakan kemajuan perusahaan yang tanpa batas. Melakukan bisnis dalam nuansa ini mau tidak mau mengharuskan para pelaku bisnis mempertimbangkan pendekatan global terhadap hasil produksi dan jasa untuk melayani konsumen atau langganan, yang kemungkinan juga beroperasi (dalam bentuk kontrak-kontrak) di seluruh dunia. Mereka, baik secara individual maupun kolektif, melalui sistem informasi yang canggih mengharapkan standar produksi dan pelayanan yang sama, di manapun mereka berada (the global traveler). Dalam kondisi global seperti ini terbuka kemungkinan yang luas bagi mereka untuk berkompetisi, mengikuti perkembangan teknologi, dan menggali keuntungan dari pelbagai kesempatan bisnis yang ada. Dari segi hukum, hal-hal di atas tidak dapat dibiarkan begitu saja. Kehidupan umat manusia yang didasarkan atas pemikiran yang bersifat global dengan segala kompleksitasnya, tidak dapat dibiarkan berjalan tanpa norma dan tanpa rule of law. Persiapan masing-masing negara, baik secara internal maupun eksternal harus dilakukan apabila bangsa dan negara tersebut ingin menjadi independent variable dalam era globalisasi. Harus segera dikatakan bahwa apa yang dinamakan globalisasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi (Uruguay Round, NAFTA, APEC dan sebagainya). Globalisasi juga terjadi di bidang-bidang iptek (ISO 9000), pendidikan dalam bentuk kelas-kelas paralel pendidikan jarak jauh (distance education) yang menempatkan aktivitas pendidikan sebagai komoditi perdagangan, sistem informasi melalui internet yang sering dinamakan library in the sky, masalah sosial budaya (misalnya isu tentang lingkungan hidup), masalah politik (demokratisasi dan HAM), dan sebagainya. Nampaknya usaha untuk mempertahankan pola-pola kehidupan yang bersifat domestik, jargon-jargon politik yang bersifat nasional, dan aktivitas ekonomi yang eksklusif tidak dapat dipertahankan lagi. Kecenderungan global di pelbagai kehidupan di atas tidak berdiri tetapi saling terkait satu sama lain. 122

Yang menjadi pertanyaan kunci adalah seberapa jauh doktrindoktrin dasar setiap bangsa (Untuk Indonesia: Pancasila dan UUD dengan segala refleksi pengaturannya) dalam konteks kehidupan global tidak dianggap justru sebagai kendala globalisasi. Sebaliknya, seberapa jauh pula aspirasi-aspirasi global dalam pelbagai kehidupan tersebut dapat dimanfaatkan tanpa harus mengorbankan jati diri bangsa. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini, apakah kejahatan ekonomi pada masa mendatang masih dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan melawan konstitusi (ingat Ps. 33 UUD 1945) atau malah justru sebaliknya menjadi kejahatan melawan sistem ekonomi global. Di sinilah hukum ditantang untuk berperanan sebagai mekanisme pengintegrasi, mempersatukan pelbagai dimensi kepentingan; seperti antar kepentingan internal bangsa, antara kepentingan nasional dengan kepentingan internasional, antar sektor kehidupan nasional, dan sebagainya. Kepentingan internal bangsa mencakup; (1) kepentingan individual yang berkaitan dengan kepribadian (fisik, kebebasan, reputasi dan kehormatan, rahasia pribadi, kepercayaan dan pendapat), hubungan domestik (perkawinan, keluarga), kepentingan substantif (hak milik, kebebasan industri, kontrak, hubungan dengan orang lain, kebebasan berkumpul, pekerjaan); (2) kepentingan umum yang terdiri atas kepentingan negara sebagai badan hukum (intergritas dan kebebasan serta kehormatan bangsa, kedudukan sebagai organisasi politik, korporasi dengan tujuan-tujuan tertentu) dan negara sebagai pelindung kepentingan sosial; (3) kepentingan masyarakat yang terdiri atas keamanan umum (keamanan, kesehatan, kedamaian dan ketertiban, transaksi umum), keamanan lembagalembaga sosial (lembaga domestik, lembaga keagamaan, lembaga politik dan lembaga ekonomi), moral masyarakat, perlindungan sumberdaya sosial (sumber daya alam, perlindungan bagi yang lemah), kemajuan umum (ekonomi: penggunaan hak milik, perdagangan, industri, hak milik intelektual), kemajuan politik (kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi), kemajuan kultural (kebebasan iptek, surat-menyurat, seni, promosi pendidikan dan belajar, keindahan) dan kehidupan individual (tuntutan, kesempatan dan kondisi kehidupan).

123

Integrasi Antara Kepentingan Nasional dan Internasional Integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan internasional sangat penting sebagai bahan pertimbangan akademis mengingat interdependensi, interaksi dan interkoneksi antar negara cenderung semakin meningkat dalam pelbagai aspek kehidupan. Pendekatan partikularistik relatif harus lebih dikembangkan dalam bentuk strategi yang tetap berpijak pada jati diri bangsa, tanpa mengesampingkan kecenderungan global sepanjang tidak bertolak belakang dengan pandangan hidup bangsa. Kepentingan internasional tersebut tersurat dan tersirat dalam instrumen-instrumen dan dokumen-dokumen internasional berupa konvensi, model treaties, standar minimum rules, resolusi, deklarasi, dan sebagainya yang dihasilkan oleh organisasi-organisasi internasional terutama PBB. Kebutuhan ini dapat diatasi dengan ratifikasi, perjanjian bilateral, regional, harmonisasi hukum dan seterusnya. Dalam konteks ini relevan dengan salah satu tujuan nasional bangsa yaitu ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia. Tetapi, di atas segalanya yang lebih penting adalah keberanian para penegak hukum untuk menjadikan instrumen-instrumen dan dokumen-dokumen internasional tersebut sebagai acuan penegakan hukum, di samping perundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin. Integrasi antar pelbagai aspek kehidupan nasional merupakan atau harus dipandang sebagai refleksi dari Doktrin Ketahanan Nasional. Pemahaman terhadap refleksi ketahanan nasional dalam kaitannya dengan integrasi dan harmonisasi antar pelbagai aspek kehidupan akan lebih mudah dipahami dalam hubungan sentral antara hukum dan politik dalam kehidupan masyarakat. Seni untuk menyerasikan aktualisasi nilai-nilai atau karakteristik pelbagai bentuk masyarakat, pada dasarnya merupakan usaha untuk menyerasikan hubungan antara kesejahteraan dan keamanan dalam pelbagai aspek kehidupan nasional. Di bawah ini adalah table karakteristik dari suatu sistem sosial tertentu. Kristalisasi dari uraian di atas adalah bahwa yang disebut hukum nasional dalam era globalisasi di samping mengandung karakteristik lokal, seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungankecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat dunia yang beradab. Yang menjadi masalah adalah sampai seberapa jauh kecenderungan-kecenderungan internasional ini memberikan warna 124

dalam kehidupan hukum nasional baik dalam pembentukan hukum, penegakan hukum maupun kesadaran hukum. Dalam pembentukan dan pembaharuan hukum, aspirasi yang perlu diperhatikan adalah aspirasi suprastruktur, infrastruktur, ekpertis dan aspirasi masyarakat internasional, di samping tentu saja proses legal drafting yang berkualitas harus dapat dipenuhi. Untuk penegakan hukum sudah seharusnya ada transparasi antar keluarga-keluarga hukum (legal family) dengan maksud agar tidak diikuti lagi secara kaku. Keluarga-keluarga hukum tersebut antara lain keluarga hukum Anglo-Saxon, keluarga hukum Kontinental, keluarga hukum Sosialis, keluarga hukum Timur Tengah dan keluarga hukum Timur Jauh. Yurisprudensi misalnya, sudah saatnya menjadi sumber hukum yang representatif, tanpa harus memandangnya sebagai tradisi yang hanya ada di sistem Common Law. Selanjutnya Doktrin-doktrin hukum dari para pakar kiranya dapat mengisi kekosongan hukum yang ada. Persepsi teoritik di samping dapat menggambarkan, menjelaskan, mengungkap, juga dapat memprediksi secara lebih akurat apa yang akan terjadi di masa depan. Dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum harus tergambar pula karakteristik hukum modern, yang merupakan landasan sistem hukum dalam menyongsong globalisasi yang semakin meningkat di masa datang. Tidak mustahil sasaran (adressat) norma hukum nasional suatu bangsa, karena aktivitas transnasional, adalah bangsa lain yang ada di negara yang berlainan sebagaimana tergambar dalam hakekat globalisasi di atas. Karakteristik hukum modern adalah bahwa hukum harus (a) seragam dalam dalam aplikasi; (b) transaksional; (c) universalistik; (d) hirarkis; (e) organized bureau-critically; (f) rasional; (g) profesional; (h) dapat diamandemen; (i) politik; (j) pemisahan lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif. Aspirasi infrastruktur baik dalam pembentukan hukum maupun penegakan hukum harus diperhitungkan sebagai salah satu aspek penentu efektivitas hukum. Sebagai illustrasi dapat dikemukakan di sini hasil riset di pelbagai negara yang menyimpulkan, bahwa seringkali pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana ekonomi tidak dapat efektif karena mereka merasa dirinya bukan penjahat. Hanya karena kesalahan yang tidak seberapa mereka harus masuk penjara. Tidak ada stigma sosial yang diberikan oleh lingkungannya. 125

Dalam kehidupan global yang saat ini dan di masa datang akan banyak ditandai oleh profesionalisme, maka dituntut adanya sistem pendidikan hukum yang semakin menunjang berupa sekolah-sekolah profesional yang terdiversifikasikan secara baik, semakin spesialis, pendidikan penegak hukum yang terintegrasi, badan-badan dan lembaga-lembaga khusus yang menangani kasus-kasus yang sarat dengan kerumitan dan sarat iptek. Pengembangan para legal nampaknya harus dilihat sebagai tuntutan yang tidak berlebihan. Dalam kerangka ini pula muncul kode etik, yang keberadaannya sudah merupakan tuntutan nasional maupun internasional. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini bahwa di tingkat internasional saat ini terdapat: (a) kode etik untuk perusahaan transnasional; (b) kode etik untuk untuk para penegak hukum; (c) prinsip-prinsip dasar bagi peran pengacara; (d) panduan tentang Jaksa Penuntut; dan sebagainya. Ketaatan seseorang pada kode etik harus mendapatkan penghargaan yang memadai, mengingat sanksi dalam masalah norma susila sangat lemah dibanding sanksi hukum. Yang harus dihayati adalah bahwa dalam hal ini terkait tiga komponen sekaligus, yakni komponen mental, intelektual dan semangat alruistik yang memadai. Standar-standar tersebut sangat penting (apalagi bila didukung oleh peradilan disiplin dan organisasi profesi yang handal), di samping dapat memperkuat, memperlemah atau menghapuskan sifat melawan hukum dalam suatu kasus perbuatan, standar-standar tersebut juga dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi malpraktek profesional atau tidak. Dikatakan ada malpraktek apabila seorang profesional, dalam menjalankan kewajibannya telah bertindak di bawah standar (substandar) profesinya sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang lain sebagai akibat perbuatannya (causation). Perlu disadari pula bahwa menegakkan hukum dengan semangat dan jiwa yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, secara konseptual merupakan malpraktek juga. Dalam hal ini harus dibedakan antara jiwa undang-undang (the legal spirit) sebagaimana tersurat dan tersirat dalam konsiderans dan penjelasan umum perundang-undangan tersebut, dengan jiwa penegakan hukum (the spirit of law enforcement) yang berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UU no. 14 th 1970 yang harus selalu digali oleh hakim pada saat mengadili perkara tersebut di dalam masyarakat. Semangat ini harus mewarnai juga segala sub sistem 126

peradilan pidana lain. Doktrin yang menyatakan bahwa apabila terjadi benturan antara hukum dan keadilan maka keadilanlah yang harus diutamakan atas dasar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan atas dasar ajaran sifat melawan hukum materiil. Dalam era globalisasi orang tidak mungkin lagi hanya mengoperasionalkan nilai-nilai domestik. Sebagai contoh adalah usaha dunia internasional melalui PBB untuk melindungi apa yang dinamakan jural postulates of civilization (JPC) yang mendasari pernyataan bahwa ada 22 kejahatan yang dipertimbangkan sebagai kejahatan international. JPCs tersebut adalah : (a) Ancaman langsung terhadap kedamaian dan keamanan dunia; (b) Ancaman tidak langsung terhadap kedamaian dan keamanan dunia; (c) Shocking to the conscience of humanity; (d) Conduct affecting more than one state; (e) Conduct including or affecting citizens of more than one state; (f) Means or methods transcend national boundaries; (g) Cooperation of States Necessary to enforce. Dalam aktivitas manusia maupun kelembagaan yang bersifat global, khususnya globalisasi politik yang bernuansa perlindungan HAM dan demokratisasi. Manusia dan lembaga tersebut harus sadar bahwa segala bentuk norma-norma HAM, baik hak-hak sipil dan politik, hak-hak sosial, ekonomi dan kultural serta hak kolektif untuk berkembang mengenal restriksi-restriksi dan limitasi yang diakui secara universal. Restriksi dan limitasi tersebut adalah harus menghormati hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan moral umum, menghormati ketertiban umum, menghormati kesejahteraan umum, menghormati keamanan umum, menghormati keamanan nasional dan keamanan masyarakat, menghormati kesehatan umum, menghindari penyalahgunaan hak, menghormati asas-asas demokrasi dan menghormati hukum positif. Sebaliknya, hak negara untuk mengurus dan mengatur serta menyelenggarakan pemerintahan, juga dihadapkan pada restriksi dan limitasi, seperti asas legalitas, asas negara hukum, martabat kemanusiaan, asas bahwa pembatasan merupakan perkecualian, asas persamaan dan non diskriminasi, asas non retroaktif dan asas personalitas. Restriksi dan limitasi baik bagi negara maupun warga negara dan penduduk suatu negara, menunjukkan kepada kita bahwa sesuai dengan isyarat yang terkandung dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, setiap orang tidak hanya memiliki hak persamaan di depan 127

hukum tetapi juga sama-sama mempunyai kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan, tanpa ada pengecualian. Di samping penegakan hukum yang bersifat represif dan preventif yang sudah banyak diuraikan di atas dengan pelbagai asas pembatasnya, dekade terakhir diwarnai oleh munculnya dimensi baru dalam peradilan, yakni dimensi korban khususnya dalam kasus-kasus pidana. Dimensi baru ini tidak hanya menimbulkan gerakan untuk lebih memperhatikan korban untuk mendapatkan akses keadilan, tetapi muncul gerakan untuk menumbuhkan apa yang dinamakan restorative justice yang menempatkan peradilan pada posisi mediator. Model konsensus dianggap menimbulkan konflik baru dan harus digantikan dengan acensus model yang mementingkan dialog antara yang berselisih untuk menyelesaikan masalahnya. Lalu muncul istilah ADR ( alternative dispute resolution), yang dalam hal-hal tertentu dianggap lebih memenuhi tuntutan keadilan dan efisiensi. Akhirnya secara umum dapat disimpulkan bahwa sebenarnya penegakan hukum yang dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada zaman modern dan era globalisasi ini, hanya dapat terlaksana apabila pelbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sosial, moralitas kelembagaan dan moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab, baik nasional maupun internasional. Dengan demikian kerjasama internasional sangat dibutuhkan, tidak hanya untuk membuat rambu-rambu pergaulan internasional, tetapi juga untuk mengatasi secara bersama-sama apabila terjadi perbuatan-perbuatan menyimpang yang berdimensi transnasional dan mungkin juga ekstrateritorial. Suasana nasional sangata kondusif untuk memberikan peranan terhadap hukum dalam era globalisasi. Hukum saat ini ditempatkan secara terhormat sebagai Bidang pembangunan dalam GBHN dan tidak sekedar sebagai sektor pembangunan politik seperti pada masa lalu. Globalisasi harus dilihat sebagai suatu sistem, baik sebagai sistem abstrak yang penuh dengan sistem nilai baru maupun sebagai sistem fisik dalam bentuk mobilitas barang, orang dan jasa yang menggunakan standar-standar baku yang bersifat global. Untuk itu sistem hukum, baik struktur, substansi maupun kulturnya harus disiapkan untuk menghadapinya. n

128

Hukum Positif Indonesia Dalam Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara


Pendahuluan Pada saat orang membicarakan proses modernisasi dan dampak serta perubahan sosial yang diakibatkannya dua dekade yang lalu, banyak orang diliputi rasa keprihatinan yang mendalam. Sistem hukum baik substantif, struktural maupun kultural dirasakan sangat ketinggalan dibandingkan dengan pelbagai kebutuhan hukum yang berkembang akibat perubahan sosial. Diskrepansi tersebut cenderung menumbuhkan kritik yang tajam terhadap lembaga-lembaga hukum, baik yang terlibat langsung dalam proses pembuatan undang-undang, yang melaksanakan proses penegakan hukum, maupun lembaga peradilan yang harus menerapkan hukum dalam peristiwa yang konkrit dalam kerangka kehidupan nasional sehari-hari. Kemudian, pada dekade terakhir orang juga nyaris semakin terpana oleh fenomena proses globalisasi sebagai dampak dari perkembangan teknologi komunikasi, informatika dan transportasi modern yang dahsyat. Proses globalisasi antara lain memunculkan fenomena berupa erosi kedaulatan nasional, munculnya konsepkonsep kesejahteraan regional dan global, berlakunya pelbagai standar baku di pelbagai bidang yang bersifat global seperti rezim WTO, HAM dan sebagainya. Sementara itu mobilitas sosial yang semakin tinggi yang ditandai munculnya global travellers, juga memunculkan serangkaian akibat-akibat lain yang tak terbayangkan sebelumnya, seperti melemahnya ikatan-ikatan etnosentrik, peranan swasta yang semakin besar yang beriringan dengan meningkatnya peranan dan pemanfaatan informasi yang luar biasa (Daniels, 1994). Globalisasi sebagai proses perubahan sosial yang tak terhindarkan, di samping membawa kemaslahatan manusia di dunia 129

dalam bentuk pelbagai kenikmatan dan kemudahan, ternyata juga menimbulkan mudarat yang bersifat eksesif dalam bentuk kehancuran bagi negara-negara yang tidak siap, perusakan lingkungan hidup, runtuhnya tradisi-tradisi nasional yang bersifat partikularistik, berkembangnya jenis-jenis kejahatan baru yang bersifat transnasional dengan memanfaatkan perkembangan alat transportasi, komunikasi dan informatika modern dan sebagainya. Reaksi-reaksi keras yang terjadi terhadap globalisasi yang dilakukan oleh sejumlah kalangan NGOs akhir-akhir ini, pada dasarnya menuntut agar globalisasi juga menghormati supremasi hukum dan HAM. Ringkasnya, globalisasi tidak hanya mengandung kesempatan emas, tetapi juga mengandung pelbagai bahaya dan ancaman bagi kehidupan manusia. Banyak orang beranggapan bahwa dengan ekonomi global berarti semakin mudahnya perdagangan wanita dan anak-anak untuk kerja paksa dan prostitusi, semakin mudahnya penyelundupan narkotik dan senjata, semakin mudahnya menghindari pengadilan, dan lebih banyak bisnis yang menghasilkan penyuapan. (Handelman, 2000). Globalisasi tidak hanya bersifat kriminogin yang menimbulkan bentuk kejahatan-kejahatan lintas negara dan munculnya jenis-jenis kejahatan baru, tetapi juga memicu berkembangnya kejahatan yang terorganisasi (organized crimes), bahkan yang bersifat transnasional (organized transnational crimes). Problem yang ditimbulkan oleh kejahatan yang disebut terakhir ini (transnasional) semakin meningkat dan harus dicermati betul, karena dari pelbagai riset nampak terbukti adanya kaitan erat antara kejahatan terorisme dengan kejahatan terorganisasi. PBB menganggap fenomena di atas sebagai sesuatu yang terlalu serius untuk diabaikan karena akan membahayakan keamanan, stabilitas nasional dan internasional, dan tertib hukum serta HAM. Beberapa kriteria untuk melakukan kategorisasi adanya kejahatan internasional adalah bahaya yang ditimbulkannya baik langsung maupun tidak langsung terhadap perdamaian dan keamanan, pelanggaran terhadap nurani kemanusiaan, pengaruhnya terhadap warga lebih dari satu negara, cara dan alatnya yang bersifat lintas batas, dan kerjasama antar negara yang menangani (Bassiouni, 1990). Perkembangan kejahatan lintas negara yang terorganisasi tersebut begitu meresahkan pelbagai negara mengingat dimensi-dimensi keorganisasiannya yang begitu canggih dan motifnya yang bersifat multidimensional seperti motif ekonomis, politis atau kombinasi antara 130

keduanya. Untuk itu cara penanggulangannya tidak bisa lain harus pula dilakukan secara transnasional dalam bentuk kerjasama yang komprehensif antar negara (internasional, regional, bilateral dan multilateral) baik preventif maupun represif, baik dengan sarana penal (melalui sistem peradilan pidana) maupun dengan sarana non penal. Kejahatan Lintas Negara Kejahatan lintas negara baik yang bersifat individual maupun yang terorganisasi dapat berupa: pemalsuan dan penipuan, korupsi yang terkait dengan kejahatan terorganisasi, penyelundupan berlian, rentenir, perdagangan dan penyelundupan imigran gelap, pencucian uang, penipuan dalam telemarketing, pemalsuan melalui internet, terorisme, perdagangan manusia (wanita dan anak-anak) untuk kerja paksa dan prostitusi, penyelundupan obat dan senjata api, perdagangan ilegal spesis hewan dan tumbuh-tumbuhan yang membahayakan, pelanggaran atas warisan budaya, agresi, kejahatan perang, apartheid, penyadapan kabel bawah laut, dan lain-lain. Untuk membedakannya dengan kejahatan individual, kejahatan terorganisasi mempunyai karakteristik sebagai berikut: kelompok tersebut memiliki sedikit banyak struktur yang hirarkis dengan komposisi yang relatif konstan; sistem kontrol yang diberlakukan bersifat paksaan; pada batas tertentu, sebagian keuntungan dari hasil kejahatan diinvestasikan pada kegiatan-kegiatan legal; tindak pidana yang dilakukan lebih dari satu atau sejenis; menyuap pegawai pemerintah atau perusahaan swasta. (Nilson, 1995). Di dalam Naples Political Declaration and Global Action Plan against Organized Transnational Crimes yang disetujui oleh SU PBB 23 Desember 1994 kejahatan terorganisasi (transnasional) dirumuskan sebagai berikut:
.organisasi/kelompok untuk melakukan kejahatan; hubungan hirarkis atau personal yang memungkinkan para pemimpin mengontrol kelompok (kekerasan, intimidasi dan kerupsi digunakan untuk mendapatkan keuntungan atau mengontrol wilayah atau pasar); pencucian hasil tindakan ilegal baik untuk kegiatan kejahatan maupun untuk menginfiltrasi kegiatan ekonomi yang legal; potensial untuk melakukan ekspansi ke dalam kegiatan-kegiatan baru di luar batasbatas negara; dan terbuka untuk kerja sama dengan dengan organisasi kelompok kejahatan transnasional.

Dari sisi normatif dan penegakan hukum, ada usaha untuk menyederhanakan pengertian kejahatan terorganisasi agar para 131

penegak hukum lebih fleksibel mengingat definisi yang ada terlalu kriminologis, kompleks dan seringkali sempit. Sebagai contoh, di Kanada, perubahan yang dilakukan menyangkut ciri-ciri kejahatan terorganisasi antara lain mencakup: (1) mengurangi jumlah orang yang terorganisasi dari lima menjadi tiga orang; (2) Jaksa tidak lagi diwajibkan untuk menunjukkan bahwa organisasi kejahatan tersebut terlibat dalam pelaksanaan serangkaian kejahatan untuk kepentingan organisasi tersebut selama lima tahun terakhir; (3) memperluas ruang lingkup kejahatan yang didefinisikan dalam organisasi kejahatan dan meliputi semua kejahatan berat. Padahal sebelumnya hanya mencakup serangan atau tindakan yang dapat dituduhkan (indictable offenses) yang dipidana maksimum lima tahun atau lebih. Definisi tentang kelompok kejahatan yang terorganisasi dan kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crime) menjadi semakin mantap dengan diadopsinya konvensi PBB untuk memerangi kejahatan transnasional yang terorganisasi, di Palermo (disebut Konvensi Palermo), oleh the General Assembly pada bulan Nopember 2000 dan terbuka untuk ditandatangani di Palermo, Desember 2000. Konvensi ini berlaku setelah diratifikasi oleh 40 negara. Dalam Konvensi ini, Organized Criminal Group dirumuskan sebagai: kelompok terstruktur yang terdiri dari tiga orang atau lebih, berada untuk suatu masa dan berbuat dalam satu kesatuan dengan tujuan untuk melakukan lebih dari satu kejahatan serius yang diatur dalam konvensi, untuk memperoleh, langsung atau tidak langsung, keuntungan finansial atau materi yang lain. Sedangkan ruang lingkup penerapan konvensi tersebut mencakup pencegahan, investigasi dan penuntutan meliputi kejahatan-kejahatan sebagai berikut: (a) berpartisipasi dalam organisasi kelompok kejahatan; (b) pencucian hasil tindak kejahatan; (c) korupsi; (d) mengganggu proses untuk mendapatkan keadilan; (e) tindak pidana berat sebagaimana didefinisikan dalam Artikel 2 Konvensi tersebut. Selanjutnya di dalam Artikel 3.2. dinyatakan bahwa kejahatan tersebut dikategorikan bersifat transnasional apabila: (a) dilakukan di lebih dari satu negara; (b) dilakukan di sebuah negara tetapi persiapan dan pengendaliannya dilakukan dari negara lain; (c) dilakukan di sebuah negara, tetapi melibatkan kelompok organisasi kejahatan yang terlibat dalam tindak kejahatan di lebih dari satu negara; atau (d) dilakukan di satu negara tetapi menimbulkan efek substansial di negara lain. 132

Di samping pelbagai kejahatan di atas, terdapat tiga protokol, yakni; (1) protokol yang menentang penyelundupan migran melalui darat, udara dan laut; (2) protokol untuk mencegah, memberantas dan memidana perdagangan manusia, khususnya wanita dan anak; dan (3) protokol yang menentang pembuatan dan perdagangan senjata api, bagian-bagian atau komponen dan amunisinya. Hanya saja dalam Pasal 37 ditegaskan bahwa suatu negara harus terlebih dahulu meratifikasi Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi sebelum menjadi peserta suatu protokol di atas. Hal ini berarti bahwa setiap protokol harus dibaca dan diterapkan dalam kerangka Konvensi Utama. Kasus di Indonesia Data yang tercatat pada Mabes POLRI pada tahun 2000/2001 tentang keterlibatan orang asing dalam tindak pidana menunjukkan fakta-fakta sebagai berikut:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 No Tindak Pidana Kasus Penipuan Penggelapan Perbuatan tidak menyenangkan Keimigrasian/imigran gelap Narkotika Pencurian/pencurian dg. pemberatan Penganiayaan Penghinaan Pengrusakan Pemerasan Uang palsu Unjuk rasa Kesusilaan Lalu lintas Perlindungan konsumen Pembunuhan Pemalsuan Perjudian Penyelundupan Pengrusakan Pembakaran rumah Janji palsu Pemilikan senjata api secara ilegal Mempekerjakan anak di bawah umur Jumlah Keterangan 25 17 5 68 32 23 11 3 2 2 5 2 ? 1 1 1 2 3 3 2 1 1 1 1 212 Pasal 378 KUHP Pasal 372 KUHP Pasal 335 KUHP UU No.9 Th 1992

Psl. 359 KUHP

Psl.328 KUHP

133

Data di atas secara sekilas menunjukkan bahwa pelbagai kejahatan yang melibatkan orang asing di Indonesia lebih bersifat perorangan. Sekalipun ada kemungkinan bahwa tindak pidana keimigrasian, imigran gelap, tindak pidana narkotika dan tindak pidana uang palsu kemungkinan berkaitan dengan kejahatan transnasional yang terorganisasi, namun nampaknya hal ini belum pernah terungkap. (Karena keterbatasan waktu, penulis belum memperoleh data tentang keterlibatan warga negara Indonesia dalam tindak pidana di luar negeri, yang kemungkinan berkaitan dengan kejahatan transnasional yang terorganisasi). Dengan semakin meningkatnya kejahatan lintas negara terutama yang terorganisasi dalam bentuk sindikat baik regional maupun global, maka di samping usaha peningkatan kebijakan kriminal domestik (baik preventif maupun represif), masih diperlukan kerjasama antar negara yang intensif. Kerjasama tersebut bisa bersifat bilateral (mis. perjanjian ekstradisi antara dua negara, bahkan forum seperti The CanadaUS Cross-Border Crime Forum) dan bisa pula bersifat multilateral. Yang terakhir ini bisa bersifat global (atas dasar UN Convention Against Transnational Organized Crimes, Interpol) dan bisa pula bersifat regional (mis. The Asean Plan of Action to Combat Transnational Crime dan SARPCCO: the Southern African Police Chiefs Cooperation Organization yang salah satu tujuannya adalah memerangi kejahatan lintas negara yang terorganisasi. Demikian pula keberadaan Aseanapol). Kerjasama tersebut mencakup ruang lingkup yang luas seperti pertukaran informasi, kerjasama di bidang hukum seperti kriminalisasi dan harmonisasi hukum, kerjasama di bidang penegakan hukum seperti ekstradisi, mutual assistance, transfer of proceeding, investigasi bersama, pelatihan, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan kerjasama ekstra regional. Dalam hal ini berlaku doktrin bahwa tak satupun suatu bangsa dapat menyelesaikan soal kejahatan secara sendirian! Kesiapan hukum positif Berbicara tentang kaitan antara kejahatan lintas negara khususnya yang terorganisasi dengan hukum positif, mau tidak mau akan mengantarkan kita pada hakekat hukum pidana dengan tiga permasalahan pokoknya, yaitu; adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum (actus reus) yang dilakukan baik oleh orang dan atau korporasi; adanya kesalahan yang melekat pada si pelaku (mens rea); 134

dan adanya sanksi baik pidana (punishment) maupun tindakan (treatment). Dalam hal ini akan terkait pula persoalan kriminalisasi, baik dalam arti perumusan tindak pidana baru, maupun perluasan berlakunya hukum pidana seperti pengaturan corporate criminal liability. Dalam Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional terorganisasi, liability of legal persons tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana, tetapi juga hukum perdata dan hukum administratif (Art. 10). Dalam konteks Indonesia, persoalan yang perlu diajukan adalah sampai seberapa jauh telah dilakukan kriminalisasi terhadap tindak pidana dalam kategori sebagai berikut: tindak pidana berupa turut berpartisipasi dalam kelompok organisasi kejahatan; tindak pidana pencucian uang hasil kejahatan (money laundering) dan tindak pidana korupsi; tindak pidana gangguan terhadap proses untuk memperoleh keadilan; dan pelbagai kejahatan berat (yang diancam dengan pidana perampasan kemerdekaan paling sedikit empat tahun atau lebih berat) yang bersifat transnasional dan melibatkan kelompok organisasi kejahatan. Jawabannya adalah Indonesia secara eksplisit belum mempunyai perundang-undangan yang mengkriminalisasikan kejahatan-kejahatan berpartisipasi dalam kelompok organisasi kejahatan dan kejahatan obstruction of justice. Untuk tindak pidana korupsi relatif telah diatur secara lengkap dalam UU. no 31 th. 1999, namun di luar kaitannya dengan sifat transnasional dan dengan kelompok kejahatan terorganisasi. Sedangkan tindak pidana money laundering (UU. no 15 th, 2002) masih harus diuji seberapa jauh kesesuaiannya dengan dengan standar internasional. Sepanjang menyangkut kejahatan penyelundupan imigran (human cargo), trafficking in persons dan trafficking in firearms sekalipun jauh dari memadai, kita mempunyai Pasal 324 KUHP, Pasal 297 KUHP dan UU No.1 Drt. Th. 1951. Namun sekali lagi nuansa transnasional dan kaitannya dengan organisasi kejahatan belum ada pengaturannya. Terhadap tindak-tindak pidana berat yang lain, juga banyak yang belum dikriminalisasikan, apalagi jika dikaitkan dengan kelompok kejahatan terorganisasi dan sifat transnasional. Dari pelbagai contoh kejahatan lintas negara sebagaimana tersebut di atas, secara domestik sudah banyak diatur (sekalipun ancaman pidananya ada yang lebih ringan dari empat tahun penjara), tetapi sekali lagi itu tidak terkait dengan sifat transnasional dan hubungannya dengan organisasi kejahatan. Belum lagi menyangkut jenis-jenis kejahatan serius lain, 135

seperti kejahatan maya (cybercrimes) yang ruang lingkup pengaturannya begitu luas seperti tercermin secara tersurat dan tersirat dalam Konvensi Eropa tentang Kejahatan Maya tahun 2001 (European Convention on Cybercrime 2001), dan terorisme (hanya beberapa dari 12 Konvensi Internasional yang menentang terorisme telah diratifikasi). Selanjutnya, dengan sendirinya persoalan akan bersentuhan dengan hukum pidana formil, yakni tata cara untuk mempertahankan hukum pidana materiil. Yang perlu dicermati di sini adalah ketentuan tentang perlindungan saksi dan perlindungan korban, mulai dari perlindungan fisik, relokasi, sampai dengan penyembunyian identitas. Korban dalam hal ini harus dilihat pula sebagai saksi, di samping ketentuan tentang obstruction of justice. Pada akhirnya yang harus diperhatikan adalah hukum pelaksanaan pidana yang berkaitan dengan jenis pidananya (strafsoort), kemudian berat ringannya pidana (strafmaat), dan cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus). Contoh yang menarik adalah Kanada. Pada bulan April 1997, terjadi amandemen KUHP yang mengatur anti gang measure yang memidana maksimum 14 tahun penjara terhadap mereka yang berpartisipasi terhadap organisasi kriminal. Selanjutnya terdapat ketentuan dalam Corrections and Conditional Act (CCRA), yang menentukan bahwa terpidana kejahatan yang berkaitan dengan organisasi kejahatan tidak berhak mengajukan parole, semacam pelepasan bersyarat. Dalam UU tentang ekstradisi yang baru ditentukan kemungkinan bagi saksi untuk menggunakan video and audio-link technology dalam memberikan kesaksian baik yang ada di Kanada maupun di luar Kanada. Kesimpulan Dalam rangka penanggulangan kejahatan lintas negara yang terorganisasi yang membahayakan keamanan dan kehidupan nasional, regional maupun internasional diperlukan langkah-Iangkah strategis dan kerjasama baik domestik, bilateral, regional maupun internasional. Dari sisi kehidupan masing-masing negara paling sedikit diperlukan langkah-langkah strategis sebagai berikut: a. Melakukan kajian dan ratifikasi terhadap UN Conventions Against Transnational Organized Crime, disusul kriminalisasi dan harmonisasi pengaturan tentang tindak-tindak pidana terkait. 136

b.

Memperluas jangkauan perjanjian ekstradisi dan kerjasama yang lain. c. Melakukan usaha perlindungan saksi dan korban secara maksimal. d. Mendorong dan mempererat kerjasama domestik, bilateral, regional dan internasional untuk mengefektifkan penanggulangan kejahatan transnasional terorganisasi kejahatan terkait. e. Meningkatkan partisipasi masyarakat melalui sosialisasi substansi Konvensi termasuk dimensi bahaya yang ditimbulkan kejahatan transnasional terorganisasi. f. Merumuskan kebijakan kriminal yang komprehensif, baik preventif maupun represif. n

137

Korporasi Transnasional dan Pengaruhnya Terhadap Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia


Dalam uraian di bawah ini, pengertian tindak pidana ekonomi dimaksudkan dalam pengertiannya yang luas, tidak hanya terbatas pada pengertiannya sebagaimana diatur dalam UU No.7 Drt.tahun 1955, yang dengan UU Pabean baru semakin kehilangan pamornya. Dalam tulisan ini tindak pidana ekonomi lebih diartikan sebagai kegiatan ilegal tanpa kekerasan yang pada dasarnya melibatkan unsur penipuan, mispresentasi, penyembunyian, manipulasi, pelanggaran kepercayaan, pengingkaran atau penggunaan dalih tidak sah (Andenaes, 1977). Istilah tiadanya unsur kekerasan (non violent) bukan hanya kabur pengertiannya tetapi juga problematis jika dihubungkan dengan munculnya gejala malpraktek yang terkait dengan perusahaanperusahaan multi nasional dengan segala dampak buruk yang ditimbulkannya; contohnya, kecelakaan mobil akibat kesalahan desain yang mengakibatkan matinya ribuan orang; ribuan orang mati karena pengaruh rokok (cigarette-induced disease); ribuan orang mati karena asbestos-related cancer, meningkatnya sakit paru coklat (brown-lung) pada buruh-buruh pabrik tekstil; meningkatnya penyakit paru-hitam (black lung) pada buruh-buruh tambang; kasus union carbide yang menyebabkan ribuan orang mati dan luka-luka; kasus Thalidomide yang mengakibatkan ribuan bayi mengalami cacat; kasus agent orange yang mencederai veteran perang Vietnam. Belum lagi kasus-kasus tindak pidana berupa pencemaran lingkungan yang semakin merebak (Mokhiber, 1988). Secara singkat dapat dikemukakan bahwa dalam pengertiannya yang luas, tindak pidana ekonomi pada hakikatnya mengandung paling kurang tiga elemen sebagai berikut: 138

a) Tindak pidana ekonomi adalah tindak pidana yang dilakukan dalam lingkup kegiatan ekonomi, yang dengan sendirinya merupakan, atau paling tidak dianggap, sebagai kegiatan bisnis yang legal dan wajar. Tidak termasuk di dalamnya kegiatan ekonomi yang bersifat ilegal, seperti perjudian ilegal, perdagangan narkotik, atau prostitusi yang terorganisasi. b) Tindak pidana ekonomi adalah tindak pidana yang bukan hanya individu yang menjadi korban, tetapi juga merugikan kepentingan negara atau masyarakat secara umum. Kejahatan ekonomi adalah kejahatan bisnis, meski tidak berarti semua kejahatan bisnis adalah kejahatan ekonomi. Kasus-kasus penipuan atau penggelapan biasa tidak termasuk dalam kategori ini. c) Tindak pidana ekonomi mencakup pula di dalamnya tindak pidana yang dilakukan dunia bisnis atas perusahaan bisnis yang lain, atau individu-individu, atau sekurangnya beberapa tindak pidana yang sejenis. (Andenaes, 1977). Mengaitkan korporasi transnasional dengan tindak pidana ekonomi memerlukan kesepakatan-kesepakatan dalam mengartikan terminologi yang digunakan. Istilah yang biasa digunakan di tingkat organisasi internasional adalah Multinasional Enterprises (MNEs) yang secara yuridis dirumuskan sebagai perusahaan-perusahaan asing yang dikendalikan dari negara asal dan terlibat dalam kegiatankegiatan ekonomi yang penting di negara lain, yang disebut negaranegara tuan rumah (Galbraith, 1988). Yang membedakannya dari aktivitas bisnis dari perusahaan yang lain adalah kemampuannya untuk menerapkan kekuatan pasar dan mempengaruhi negara-negara tuan rumah melalui apa yang dinamakan remote control. Di dalam dunia yang terbagi-bagi dalam kedaulatan teritorial dan yurisdiksi, penerapan pengaruh kekuatan pasar yang bersifat ekstrateritorial tadi memerlukan pengaturan tersendiri dan berbeda dengan pengaturan perusahan domestik. Kondisi semacam itulah yang mendorong organisasi-organisasi internasional seperti PBB (ECOSOC) dan OECD (organization for Economic Cooperation and Development) untuk mengatur kode etik tersendiri bagi MNEs. Kode ini, yang oleh UNECOSOC dirumuskan pada 1979 (Horn, 1980), memuat antara lain aspek-aspek dan ketentuan sebagai berikut: 139

1. Kegiatan Perusahaan Transnasional. a. Umum dan Politik; menghormati kedaulatan negara dan patuh pada hukum, peraturan dan praktek-praktek administratif negara setempat; berpegang pada tujuan-tujuan ekonomi dan sasaransasaran serta prioritas kebijakan pembangunan; berpegang pada nilai sosio kultural; menghormati HAM; tidak campur tangan urusan politik intern; dan tidak terlibat dalam praktek korupsi. b. Ekonomi, Finansial, dan Sosial; meliputi ketentuan kepemilikan dan pengawasan; neraca pembayaran dan keuangan; transfer pricing, perpajakan; persaingan dan praktek-praktek bisnis terbatas; transfer tekonologi; lapangan kerja dan pekerjaan; perlindungan konsumen; dan perlindungan terhadap lingkungan. c. Penyingkapan Informasi. 2. Perlakuan Terhadap Perusahaan Transnasional. Hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam ketegori ini di antaranya; perlakuan umum Perusahaan Transnasional oleh negara-negara tuan rumah; nasionalisasi dan kompensasi; yurisdiksi. 3. Kerjasama antar Negara. Keberadaan kode tersebut merefleksikan hasil riset bahwa perusahaan-perusahaan besar yang tetap survive sampai ratusan tahun pada umumnya adalah perusahaan-perusahaan yang patuh pada etika bisnis. Dalam konteks ini penting disadari bahwa setiap aspek memiliki disiplin dan logikanya sendiri-sendiri; misalnya soal teknik dasarnya adalah fakta, ilmu pengetahuan dan logika; ekonomi didasarkan atas kebutuhan dan penawaran; sosial tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan kelompok dan lembaga-lembaga; segi-segi psikologis berdasarkan kebutuhan kesejahteraan umum dari negara; estetika didasarkan atas keindahan; etika didasarkan atas apa yang dianggap benar; dan spiritual didasarkan atas wahyu. (Blomstrom, 1990). Apabila MNEs di atas lebih dikaitkan dalam pengertiannya yang positif atau sah (legalized), maka istilah tersebut bisa pula dikaitkan dengan sesuatu yang negatif, yakni kejahatan korporasi yang dilakukan secara terorganisasi. Dengan kata lain, pengertian tindak pidana ekonomi (UU No.7 Drt. Th. 1955) dalam kaitan dengan korporasi, istilah korporasi diartikan lebih luas daripada pengertian korporasi dari segi hukum perdata. 140

Dalam hukum pidana, korporasi bisa berbentuk badan hukum atau non badan hukum. Dalam pasal 15 UU No.7 Drt. Th 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi ayat (1) dinyatakan bahwa Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka. Dengan demikian bisa terjadi bahwa pengertian korporasi dalam tindak pidana ekonomi, bisa mengandung organisasi yang sah dan bisa pula yang bersifat tidak sah. Yang pertama dapat dikategorikan sebagai crimes for corporation, sedang yang terakhir ini bisa disebut corporate criminal, yakni korporasi yang dibentuk untuk melakukan kejahatan. Tetapi secara transnasional, yang terlibat dalam kejahatan terorganisir bisa juga mencakup kedua-duanya asalkan memenuhi karakteristik sebagaimana dirumuskan di dalam Rencana Aksi Global Melawan Organisasi Kejahatan Transnasional yang dihasilkan oleh Konferensi Tingkat Menteri Dunia tentang Organisasi Kejahatan, di Napoli (November, 1994), yang rumusannya sebagai berikut:
Untuk memerangi organisasi kejahatan dengan efektif, negara harus mempertimbangkan karakteristik struktural dan modus operandinya dalam merumuskan strategi, kebijakan, perundang-undangan dan langkah-langkah lainnya. Meskipun tidak mencerminkan definisi legal yang komprehensif atas fenomena tersebut, sifat-sifat berikut merupakan bagian dari karakteristiknya, yaitu; organisasi kelompok untuk melakukan tindak pidana; hubungan hirarkis atau hubungan personal yang memungkinkan seseorang yang disebut pemimpin dapat mengontrol kelompok; kekerasan, intimidasi dan korupsi yang dilakukan untuk untuk mendapatkan keuntungan atau mengontrol wilayah dan pasar; pencucian uang hasil kejahatan dengan dalam rangka menjalankan kegiatan tindak pidana dan untuk menyusup kedalam kegiatan ekonomi yang legal; potensi untuk ekspansi ke dalam kegiatan-kegiatan baru dan di luar perbatasan negara; serta kerjasama dengan kelompok-kelompok organisai kejahatan transnasional yang lain.(General Assembly, UN, 1994: hal 9-10).

Dalam Konvensi Palermo Th. 2000 tentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi, terdapat sejumlah jenis kejahatan yang diidentifikasi masuk dalam kategori transnational organizes crimes yaitu: korupsi, pencucian uang, berpartisipasi dalam kelompok kejahatan, dan obstruction of justice. Disebut bersifat transnasional kejahatan itu memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) perbuatan dilakukan di lebih dari satu negara; (2) dilakukan di satu negara 141

tetapi bagian substantif dari persiapan, perencanaan, dan pengendaliannya dilakukan dari negara lain; (3) dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok organisasi kejahatan di lebih dari satu negara; atau (4) dilakukan di satu negara tetapi efek substansialnya mengimbas ke negara-negara lain. Jadi, sepanjang MNEs terlibat dalam usaha-usaha dengan karakteristik di atas, maka ia memenuhi syarat untuk disebut sebagai telah melakukan kejahatan transnasional yang terorganisasi. Konsekuensinya adalah berlakunya corporate liability, baik bagi pejabat eksekutif korporasi maupun korporasinya sendiri, sejauh memenuhi prasyarat dalam kaitannya dengan functional criminal liability of natural persons. Keterlibatan MNEs di atas, antara lain bisa dalam bentuk pencucian uang hasil kejahatan, khususnya dalam bentuk integration (Waling dkk., 1994: hal 1072-1073). Dalam hal ini tentu saja asas legalitas tetap harus diperhatikan. Dan agar tetap dapat dipertanggungjawabkan, undang-undang harus secara eksplisit mengaturnya. Di samping kemungkinan terlibat secara langsung dengan kejahatan transnasional terorganisasi, secara kolektif dan mandiri MNEs dapat pula melakukan tindak pidana ekonomi secara tidak langsung di negara di mana MNEs beroperasi, seperti menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, pelanggaran pajak, hak milik intelektual (lihat UU Pabean yang baru), perburuhan, perlindungan konsumen, korupsi dan sebagainya. Khusus dalam kaitannya dengan korupsi, ada kasus yang menarik, yakni apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam rangka menanggulangi pembayaran-pembayaran yang tidak sah yang dilakukan oleh MNEs Amerika di negara-negara di mana mereka beroperasi, termasuk penyuapan terhadap pejabat-pejabat setempat dalam bentuk penyuapan, pemerasan, pembayaran kembali, biaya siluman untuk korupsi politik, dan sebagainya. Banyak negara-negara maju semula menganggap bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan bagian dari strategi kompetisi dengan MNEs negaranegara lain yang beroperasi di negara-negara berkembang, sehingga tindakan yang demikian cenderung dianggap bukan merupakan kewajiban negara bersangkutan (tuan rumah) untuk menegakkan integritas pegawai-pegawai negara lain. Amerika serikat sejak semula menganggap bahwa perbuatan seperti disinggung di atas merupakan perbuatan tercela. Di dalam Tax 142

Reform Act 1976, penyuapan terhadap pejabat asing (trading in influence) di negara asing oleh MNEs dapat mengakibatkan konsekuensi pajak yang berat. Selanjutnya di dalam Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) yang ditandatangani pada tahun 1977 (bab 103 dan 104), pelaku penyuapan tersebut (untuk perusahaan) dapat dijatuhi denda 1 juta dollar dan bagi individu denda 10.000 dollar dan pidana 5 tahun. (Seymour, 1977; hal 220-223). Langkah ini secara global memperoleh tanggapan, yang ditandai dengan disusunnya kode etik untuk MNEs dan diterimanya resolusi tentang Tindakan Memerangi Korupsi, yang telah mengadopsi Kode Etik Internasional untuk Para Pejabat Publik pada sidang kelima Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana di Wina, 21-31 Mei 1996 yang lalu. Yang perlu dikemukakan di sini bahwa penyuapan untuk pejabat publik asing (bribery of foreign public officials) bersama-sama dengan tindak pidana lingkungan, pemalsuan dan sebagainya, termasuk kategori kejahatan internasional (Bassiouni, 1989). Beberapa konvensi internasional terkait dalam hal ini antara lain: EU Convention on the Fight Againts Corruption (1977), Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption (1999), dan OECD Anti-Bribery Convention (2000). Keberadaan standar-standar internasional mendampingi aktivitas manusia yang juga semakin mengglobal akibat kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan informatika modern. Sulit dapat dibayangkan betapa kacaunya tatanan dunia ini (karena globalisasi ekonomi yang ditandai oleh meningkatnya peranan modal swasta, interdepedensi perusahaan-perusahaan swasta antar negara, peranan modal asing yang semakin besar, tumbuhnya perusahaanperusahaan raksasa) apabila tidak dibarengi dengan tegaknya hukum (Ohmae, 1995). Dalam kerangka ini semua negara harus segera menyadari bahwa tidak ada satu negara pun secara sendiri-sendiri dapat secara efektif mengatasi kejahatan yang berkaitan dengan negara lain. Untuk itu diperlukan jaringan kerjasama internasional untuk pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Korban Kejahatan Korporasi Istilah kejahatan pada judul di atas mengandung makna yang khas, karena cakupan pengertiannya lebih luas dari pada sekedar hanya mengaitkannya dengan hukum pidana dan kriminologi. Dalam hal ini Clinard dan Yeager menyatakan bahwa kejahatan korporasi 143

adalah tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam hukuman di bawah hukum pidana, perdata atau administratif (Clinard and Yeager, 1980). Dalam pengertian yang kurang lebih sama juga dinyatakan oleh Box sebagai berikut:
Kejahatan korporasi adalah kejahatan, terlepas dari apakah yang hanya diancam hukuman di bawah badan administratif, atau apakah hanya sekedar melanggar hak-hak sipilmungkin menjadi pertanyaan mengapa banyak kejahatan korporasi ditangani badan-badan administratif bukan pengadilan pidana. Tetapi itu tidak menjastifikasi pengecualian tindakan-tindakan korporasi yang diatur oleh badanbadan administratif dari kajian kejahatan korporasi. (Box, 1983).

Hal di atas nampaknya berkaitan erat dengan penyataan bahwa dalam kejahatan kerah putih, baik perumusan hukum maupun status kriminal si pelaku bersifat mendua. Ini berarti bahwa dalam kejahatan tersebut (yang mencakup pula kejahatan korporasi), terdapat batas yang sempit antara legalitas, ilegalitas dan kriminalitas. Pada kejahatan organisasional, landasan nasional dalam penggunaan hukum pidana bukan semata-mata didasarkan atas pertimbangan bahwa perbuatan tersebut secara moral salah, tetapi demi perlindungan hukum pidana tindak pidana semacam itu disebut mala prohibita dan bukan mala in se. Croal menyatakan bahwa tindakan yang demikian sering dipandang sebagai nyata-nyata pidana, dan tersangka dapat mengklaim bahwa kejahatan tersebut merupakan hasil kesalahan yang tidak disengaja atau semacam keteledoran teknis, sehingga dapat dibedakan dengan tindak pidana yang sebenarnya (Croall, 1992). Permohonan di atas secara menarik dinyatakan oleh Clinard dalam kaitannya dengan pembelaan diri dari pelaku kejahatan korporasi yang mengakibatkan efektivitas sanksi hukum menjadi berkurang. Ia mengutip hasil riset dari Silk dan Vogel (1976), khususnya tentang keyakinan pada level atas manajer korporasi, sebagai berikut: 1. Semua tindakan hukum yang diusulkan menggambarkan campur tangan pemerintah dalam sistem perdagangan bebas; 2. Peraturan-peraturan pemerintah tidak dapat dibenarkan karena biaya tambahan dengan adanya peraturan dan prosedur birokrasi akan mengurangi keuntungan; 3. Peraturan cacat karena kebanyakan peraturan pemerintah tidak mudah dipahami dan sangat kompleks;

144

4. Peraturan tidak perlu karena menyangkut masalah-masalah yang tidak penting; 5. Terdapat unsur kesengajaan yang ringan dalam penyelewengan korporasi; banyak diantaranya berupa kesalahan omisionis karena kelalaian ketimbang kesalahan yang disadari; 6. Masalah lain yang berkaitan dengan bisnis adalah pelanggaran hukum, dan jika pemerintah tidak bisa mencegah situasi ini, tidak ada alasan mengapa perusahaan yang bersaing juga tidak boleh mengambil keuntungan melalui tindakannya yang serupa; 7. Meskipun benar, seperti dalam kasus price fixing, bahwa sejumlah penyelewengan korporasi melibatkan jutaan dolar, kerugian begitu menyebar di kalangan konsumen sehingga secara individual kerugian tersebut sangat kecil; 8. Jika tidak ada penambahan keuntungan bagi perusahaan, pelanggaran dianggap tidak salah; 9. Perusahaan pada hakekatnya dimiliki oleh warga negara biasa, sehingga klaim bahwa bisnis besar dapat mendominasi masyarakat dan melanggar hukum dengan bebas adalah tidak benar; 10. Pelanggaran disebabkan oleh kebutuhan ekonomi: tujuan untuk melindungi nilai saham, untuk memastikan pengembalian yang memadai bagi pemegang saham dan untuk melindungi kepastian pekerjaan bagi para pekerja dengan menjamin stabilitas finansial perusahaan. (Clinard, 180) Pemahaman di atas akan berkaitan erat dengan pelbagai usaha untuk menghentikan viktimasi yang terus akan terjadi karena sulit diharapkan adanya kesadaran si pelaku terhadap kesalahannya selama credo and belief semacam itu masih tetap bersemayam dalam sanubari pimpinan-pimpinan korporasi. Budaya korporasi yang bersifat negatif menampakkan diri berupa penekanan prioritas keuntungan dalam bentuk pertumbuhan, pengendalian pasar sebagai tujuan organisasional, ambisi pribadi dari pimpinan korporasi yang tanpa batas, penegakan hukum yang lemah, pengawasan yang kendur, subkultur tidak bermoral yang melanda masyarakat, merupakan serangkaian gejala yang akan menambah maraknya kejahatan korporasi di masyarakat modern. (Box, 1983) Berdasarkan hasil riset terhadap perilaku top management, sederet pemicu kejahatan korporasi masih dapat disebut di sini, misalnya kompetisi dan kerakusan, tipe industri dengan margin keuntungan 145

yang rendah atau tipe industri yang sangat kompetitif, riwayat sosial korporasi, praktek dagang yang tidak jujur dari perusahaan saingan, budaya korporasi, adalah faktor-faktor kriminogen dari kejahatan korporasi. (Clinard, 1983) Jika hendak dikaji lebih jauh, apa yang dinamakan kejahatan kerah putih pada umumnya, dan kejahatan korporasi pada khususnya, biasanya melukiskan karakteristik sebagai berikut: tingkat kelayakan yang rendah, kompleks, difusi tanggungjawab, difusi viktimisasi, sulit untuk mendeteksi dan mengusut, sanksi yang lemah, hukum yang mendua, dan status pidana yang ambivalen (Croal, 1992). Khusus yang disebut difusi viktimisasi, penting dicermati karena menunjukkan perbedaannya dengan korban kejahatan konvensional yang biasanya dengan mudah dapat diidentifikasikan. Pada kejahatan korporasi seringkali sosok korban bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi, seperti pemerintah, perusahaan, atau konsumen yang jumlahnya banyak sedangkan secara individual kerugiannya mungkin sangat sedikit. Para korban kejahatan korporasi, demikian kata Clinard dan Yeager, acap tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban, seperti pada contoh pemegang saham yang menerima balance sheet palsu, konsumen yang membayar tinggi sebuah produk karena kolusi anti trust, atau kerugian yang ditanggung konsumen (biaya, kesehatan) karena sebuah iklan produk yang menyesatkan. Kompleksitas masalah yang berkaitan dengan pelaku, korban dan kejahatan korporasi tersebut tidak boleh menyurutkan langkah atau kebijakan kriminal dalam rangka menanggulangi kejahatan korporasi yang dampaknya sangat luas. Secara internasional hal ini juga diwaspadai, seperti tercermin pada Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a new International Economic Order yang kemudian diadopsi oleh Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku ke VII di Milan (1985), yang antara lain menegaskan sebagai berikut:
Due consideration should be given by Member States to making criminally responsible not only those persons who have acted on behalf of an institution, corporation or enterprise, or who are in a policy-making or executive capacity, but also the institution, corporation or enterprise itself, by devising appropriate measures that would prevent or sanction the furtherance of criminal activities.

Perhatian masyarakat internasional terhadap kejahatan korporasi, secara jelas nampak pula dari usaha dunia internasional untuk menangkal perilaku negatif dari perusahaan-perusahaan 146

multinasional. Usaha tersebut merupakan hasil kerjasama internasional dalam bentuk Code of Conduct of Transnational Corporations (UN, Ecosoc, 1979), yang antara lain mengatur : (1) Aktivitas kerjasama transnasional; 2) Treatment kerjasama transnasional; dan (3) Kerjasama antar pemerintah (Horn, 1980). Dari uraian di atas semakin disadari bahwa persoalan kejahatan korporasi tidak sekedar merupakan masalah hukum belaka (pidana, perdata, administrasi), tetapi juga masalah etika berbangsa dan bernegara dan hubungan antar bangsa. Secara ideal, di dalam masyarakat modern, kegiatan bisnis yang diharapkan oleh masyarakat seharusnya memenuhi harapan-harapan sebagai berikut: 1. Tempat yang baik bagi kegiatan investasi; 2. Tempat yang baik untuk bekerja; 3. Dukungan yang kuat bagi etika yang luhur; 4. Perusahaan yang baik untuk menjual; 5. Perusahaan yang baik untuk membeli; 6. Pembayar pajak yang baik dan pendukung pemerintah; 7. Tetangga yang baik di dalam masyarakat; 8. Penyumbang yang baik bagi kebutuhan-kebutuhasn sosial, kepentingan publik dan kemajuan manusia. (Blomstrom, 1985). Penanganan yang fragmentaris, setengah-setengah dan tidak sistematis terhadap kejahatan korporasi dengan dampak yang sangat luas dapat dinilai sebagai kedunguan (collective ignorance) yang tak termaafkan. Seperti diungkapkan Box (1983):
.... by corporate crime, and amongs the knowledgeable minority, majority of those interviewed were not familiar with the extent of, or damaged caused, few were able to define it with any precision. Public awareness of corporate crimes has certainly increased recently, but none the less there is still more misinformation and mystification about this type of crime than conventional crime.

Dalam kondisi semacam itu, korban tindak pidana korporasi tidak lagi dapat dikualifikasikan sebagai korban yang tidak ada kaitannya dengan pelaku, tetapi dapat diidentifikasi sebagai korban yang berpartisipasi (participating victims) terhadap terjadinya kejahatan korporasi dengan sifat perilaku yang pasif (collective ignorance); atau dapat disebut pula sebagai precititative victims, yakni karena perilakunya yang sembrono dan pasif mendorong terjadinya kejahatan korporasi. Dalam kondisi semacam ini terjadi apa yang 147

dinamakan keterbagian tanggungjawab (shared responsibility) antara pelaku dengan korban baik individual maupun kolektif. (Karmen, 1984, Separovic, 1985). Pemahaman terhadap spektrum korban tindak pidana korporasi dapat dikaji langsung dari pihak-pihak yang mempunyai tujuan dan kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan korporasi yang bersifat menyimpang, yakni tujuan dan kepentingan organisasional berupa prioritization of profit. Sebab dari kontradiksi kepentingan inilah muncul jenis-jenis tindak pidana yang sangat kompleks (Box, 1983 ). Pihak-pihak tersebut adalah : 1. Perusahaan saingan (competitors) sebagai akibat kejahatan dari kejahatan spionase industri yang melanggar hak milik intelektual, kompetisi yang tidak sehat, praktek-praktek monopoli. Tindakan merugikan perusahaan lain tersebut akan menjadi semakin parah dengan berkembangnya pemikiran untuk menerapkan strategi perang dalam persaingan korporasi (corporate conflict) yang berintikan ciri-ciri seperti, menyerang musuh (pesaing), unsur kejutan, melakukan manuver, dan ciri-ciri lainya sebagai yang biasa dijumpai dalam peperangan. (Ramsey, 1987 ) 2. Negara (State) sebagai akibat kejahatan korporasi seperti informasi palsu terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi. 3. Karyawan (Employees), sebagai akibat kejahatan korporasi berupa lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan hak untuk membentuk organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah minimum, PHK yang melanggar hukum. 4. Konsumen (Consumers), sebagai akibat advertensi yang menyesatkan menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya. 5. Masyarakat (Public), sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, penggelapan, dan penghindaran pajak. Kerugian-kerugian dalam kaitannya dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup ini dapat bersifat penderitaan fisik sampai kematian. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran definisi kejahatan ekonomi atau kejahatan kerah putih dan termasuk kejahatan korporasi. Unsur non violent menjadi sama sekali kabur pengertiannya. Demikian pula dalam hal keamanan dan kesehatan kerja ini semua dikenal dengan apa yang dinamakan 148

corporate violence yang oleh Clinard dan Yeager (1980) dirumuskan sebagai: behavior producing an unreasonable risk of physical harm to consumers, employees, or other persons as a result of deliberate decision making by corporate executives or culpable negligence on their part Apabila proses viktimisasi di atas bersifat langsung (direct victimization) maka terdapat pula proses viktimisasi yang bersifat tidak langsung ( indirect victimization) dalam bentuk, (1) Kerugian negara berupa biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan peradilan pidana (cost of criminal justice) terhadap kejahatan korporasi yang sangat kompleks lebih besar daripada biaya peradilan pidana kejahatan konvensional; (2) Kerugian sosial (social damages) dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dalam hal ini Conklin menggambarkan, such offenses are the most threatening of all - not just because they are so expensive, but because of their corrosive effect on the moral standards by which business is conducted. ( Box, 1983). Sebagai catatan, di Australia, korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan dapat dijatuhi pidana untuk mengganti biaya-biaya penyidikan. Ringkasnya, terdapat perbedaan antara kejahatan biasa dengan kejahatan ekonomi. Kejahatan ekonomi selalu berkaitan dengan sistem ekonomi yang dianut oleh suatu bangsa dan karena itu kejahatan ekonomi dianggap menyerang secara langsung ekonomi nasional. Akibat lebih lanjut pada akhirnya akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap korporasi dan kehidupan bisnis. Atas dasar kerugian-kerugian baik fisik, sosial maupun ekonomi dari kejahatan korporasi, maka sangat sangat beralasan jika kebijakan kriminal (criminal policy) diorganisasikan secara sistematis guna penanggulangan kejahatan korporasi. Kebijakan tersebut harus menggunakan secara berpasangan baik langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkahlangkah non-yuridis, yakni dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan dalam rangka mengatasi kendala-kendala di atas. Dalam kerangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada umumnya pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan primum remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium, namun diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan halhal sebagai berikut : 149

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

Tingkat kerugian yang diderita publik; Tingkat keterlibatan corporate managers; Lamanya masa pelanggaran; Frekuensi pelanggaran oleh korporasi; Bukti-bukti kesengajaan tindak pidana; Bukti telah terjadinya penyuapan; Reaksi negatif dari media massa; Preseden dalam hukum; Riwayat kejahatan serius yang dilakukan korporasi; Kemungkinan pengaruh pencegahan; Tingkat kerjasama yang ditunjukkan oleh korporasi (Clinard and Yeager, 1980).

Dalam hal hukum pidana yang dipilih, sepanjang hukum positif memungkinkan, maka sanksi-sanksi yang dapat dimanfaatkan adalah sebagai berikut: (1) denda; (2) pidana bersyarat/pidana pengawasan; (3) pidana kerja sosial; (4) pengumuman keputusan hakim (5) ganti rugi; dan (6) pelbagai sistem tindakan tata tertib. n

150

Penanggulangan Kejahatan Ekonomi dan Kejahatan Profesi dalam Mengantisipasi Era Globalisasi
Untuk dapat memahami hakekat kejahatan ekonomi (economic crime) dikenal pelbagai pendekatan. Apabila yang digunakan adalah pendekatan teknis (technical approach), maka batasan sebagaimana dirumuskan oleh Pengadilan Khusus tentang kejahatan ekonomi di Jerman (Gerichtsverfassungsgesetz) akan terasa relevan. Pelbagai perundang-undangan yang mengatur hal ini menyebutkan beberapa jenis tindak pidana yang tercakup di dalamnya, seperti: kejahatan kepailitan (bankruptcy crime), pelanggaran pajak, pelanggaran statuta tentang perusahaan, penipuan, pencurian, serta kejahatan-kejahatan tradisional lain yang menyangkut harta benda yang sejauh terkait dengan kehidupan bisnis. Perumusan yang lebih menonjolkan istilah business crime daripada economic crime tersebut juga secara lebih luas dilakukan oleh American Bar Association yang menyatakan bahwa: kejahatan ekonomi adalah bentuk kegiatan ilegal dan tanpa kekerasan yang pada dasarnya melibatkan unsur penipuan, misrepresentasi, penyembunyian, manipulasi, pelanggaran kepercayaan, pengingkaran atau dalih tidak sah. Definisi ini mirip dengan definisi kejahatan kerah putih (white collar crime) sebagaimana dirumuskan dalam Handbook on White Colar Crime. Yang perlu ditegaskan dalam hal ini adalah, bahwa istilah economic crime lebih banyak digunakan untuk menghindari konotasi politik yang melekat pada white collar crime. Kejahatan ini antara lain adalah korupsi, penipuan dan pemalsuan, kejahatan komputer, penggelapan pajak, kejahatan terhadap konsumen, kejahatan yang menyangkut persaingan jujur, polusi, keamanan kerja, dan insider trading di Bursa Efek. 151

Pendekatan lain yang bisa digunakan adalah pendekatan moral atau politik (moral and political approach). Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada kepentingan kejahatan, yakni melanggar kepentingan negara atau masyarakat secara umum, tidak hanya individu saja yang menjadi korbannya. Di samping dua pendekatan di atas, ada pula yang memperluas elemen kejahatan ekonomi dengan memasukkan kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam kehidupan bisnis terhadap perusahaan atau perorangan yang lain, misalnya penipuan terhadap masyarakat dengan menggunakan prospektus yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian dalam merumuskan kejahatan ekonomi paling tidak harus memperhatikan elemen-elemen sebagai berikut: a. Kejahatan ekonomi dilakukan dalam rangka aktivitas ekonomi yang pada dasarnya merupakan aktivitas bisnis normal dan sah; b. Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang melanggar kepentingan negara dan masyarakat secara umum, tidak hanya korban individual; c. Termasuk pula dalam hal ini kejahatan di lingkungan bisnis terhadap perusahaan lain atau terhadap perorangan. Dibandingkan dengan kejahatan tradisional yang lain, khususnya yang menyangkut kejahatan terhadap harta benda, kejahatan ekonomi mempunyai karakteristik khusus. Kejahatan ekonomi lebih banyak bergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat. Baik sistem ekonomi kapitalis yang lebih menekankan kompetisi bebas dan campur tangan minimum dari negara, maupun sistem ekonomi sosialis yang mengatur bahwa semua perusahaan merupakan milik negara, atau model gabungan antara keduanya, akan memiliki pengaturan tersendiri tentang apa yang dinamakan kejahatan. Tipologi kejahatan ekonomi akan berkaitan dengan dua hal: tujuan pengaturan, dan struktur motivasi dilakukannya kejahatan. Dalam hal yang pertama (tujuan pengaturan), dapat dibedakan empat hal sebagai berikut: 1). Pengaturan tidak dimaksudkan untuk mencampuri ekonomi pasar, tetapi mencoba menjadikan kompetisi jujur dan efektif serta mencegah penyalahgunaan, seperti UU anti monopoli, perlindungan konsumen, perlindungan lingkungan hidup dan buruh; 2). Pengaturan yang mencampuri ekonomi pasar, seperti pengawasan harga, pengawasan uang, dan pengawasan impor ekspor; 3). Kejahatan fiskal; dan 4). Korupsi, misalnya suap menyuap. 152

Dalam hal yang kedua (struktur motivasi) terdapat kategorikategori sebagai berikut: Kajahatan atas dasar basis individual, misalnya penipuan kartu kredit, pelanggaran pajak pendapatan; Kajahatan jabatan yang menghianati kepercayaan seperti, pelanggaran perbankan, pemalsuan biaya perjalanan; Kejahatan insidental dalam bisnis, tetapi tidak berkaitan dengan tujuan utama bisnis, misalnya korupsi, pencemaran lingkungan; Kejahatan ekonomi sebagai bisnis atau sebagai aktivitas sentral, contohnya penipuan asuransi, penyelundupan. Kejahatan ekonomi atau white collar crime mencakup pula kejahatan korporasi, yakni setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam sanksi, baik itu hukum administrasi, hukum perdata atau hukum pidana. Kejahatan korporasi tersebut dapat berupa crimes for corporations atau corporate criminal. Sedangkan crimes against corporations lebih bersifat kejahatan okupasional untuk kepentingan pribadi, misalnya penggelapan uang perusahaan. Kejahatan okupasioanal ini bisa pula dilakukan oleh lebih dari satu orang. Bisa pula terjadi kejahatan korporasi dilakukan dengan kombinasi okupasional. Yang menarik adalah bahwa dalam kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas, ilegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan mala in se. Pelaku sering merasakan dirinya bukan sungguh-sungguh jahat tetapi lebih karena kesialan ( unfortunate mistake) atau secara teknis tidak berbuat apa yang diharuskan (technical omission). Perumusan tindak pidana cenderung dianggap sebagai campur tangan pemerintah yang terlalu luas dalam perdagangan bebas, pendekatannya tidak komprehensif, dan pengaturan yang terlalu ketat memperberat beban perusahaan. Ringkasnya adalah terjadi overkriminalisasi atau kriminalisasi yang berlebihan. Kejahatan ekonomi, khususnya kejahatan korporasi, telah menjadi perhatian nasional maupun internasional karena dimensinya cukup luas dilihat dari sudut korban yang menanggung akibatnya (viktimologi), seperti perusahaan saingan, negara, karyawan, konsumen, masyarakat, dan pemegang saham. Belum lagi kerugian tidak langsung seperti biaya sistem peradilan yang mahal, karena biasanya kasus dan sasaran korbannya juga sangat kompleks. Bahkan 153

beberapa kejahatan ekonomi telah dikategorikan sebagai kejahatan internasional, seperti kejahatan lingkungan, pemalsuan dan penipuan, penyuapan di luar negeri, sehingga tunduk pada universal jurisdiction. Faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya kejahatan ekonomi karena ciri-ciri sebagai berikut: kompleks, difusi tanggung jawab, difusi korban, sulit dideteksi, sanksi kurang berat serta hukum dan status pelaku yang mendua. Hakekat Kejahatan Profesional Di dalam kriminologi apabila kita berbicara tentang kejahatan di bidang ekonomi dan bisnis, di samping white collar crime seperti disinggung di atas, terdapat jenis kejahatan lain yang tak kalah berbahayanya (victimizing), yakni kejahatan di lingkungan profesional (the professional fringe violator). Profesional di bidang ekonomi dapat mencakup akuntan dalam kasus pencucian uang atau bersekongkol dengan wajib pajak, notaris yang melakukan penipuan, lawyer dalam kejahatan yang terorganisasi, ahli komputer dalam cyber crimes dan kejahatan perbankan, korupsi, dan sebagainya. Jenis-jenis kejahatan ini sangat menarik karena beberapa cirinya yang khas, seperti; pelaku kejahatan merupakan anggota profesi yang sah; oleh anggota lain perbuatan tersebut dianggap tidak dapat diterima; perbuatan dilakukan dengan bersekongkol dengan kalangan profesional lain; pelaku menganggap dirinya melakukan pelayanan kepentingan umum; dan sanksi organisasinya bersifat ambivalen demi alasan kesetiakawanan. Dari sudut pandang viktimologi, korban dari kejahatan profesional tidak hanya terbatas pada klien, tetapi juga masyarakat (kepercayaan), negara (kebijakan publik) dan organisasi profesi itu sendiri. Seorang profesional yang melakukan kejahatan pada dasarnya melakukan professional malpractice yang harus ditangani, baik dari segi hukum disiplin, kode etik, maupun hukum (legal responsibility), baik hukum pidana, perdata maupun administratif. Seorang professional mempunyai karakteristik; 1) adanya persyaratan latihan yang ekstensif sehingga menghasilkan kemampuan yang didasari pengetahuan teoritik yang baik; 2) latihan tersebut menghasilkan segisegi intelektual yang signifikan; 3) semangat mengabdi masyarakat (altruistic service); dan 4) tunduk kepada kode etik profesi. Karena itu malpraktek profesional harus dibuktikan dalam bentuk: duty, breach of duty damage/harm/injury and causation. 154

Sebagaimana pelaku kejahatan ekonomi, penjahat profesional melakukan perbuatannya atas dasar tujuan keuntungan baik pribadi maupun organisasi atas dasar karakteristik individual yang semuanya menciptakan subkultur immoral, tidak bertanggungjawab, dan merasa bahwa segalanya bisa diselesaikan dengan uang (crimes of the powerful). Kejahatan jenis ini muncul karena beberapa sebab, seperti lemahnya law enforcement akibat korbannya tidak peduli, pidana yang ringan, ketiadaan stigma, reaksi sosial yang lemah, dan lemahnya pengawasan. Hakekat Globalisasi dan Perkembangan Kejahatan Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi akibat ditemukannya alat-alat komunikasi, transportasi dan informatika modern, hal ini menuntut nilai-nilai dan norma-norma baru dalam kehidupan nasional dan antar bangsa. Di bidang ekonomi pendorong utama globalisasi adalah meningkatnya arus informasi, uang dan barang serta komunikasi dan konsumerisme melalui perusahaanperusahaan multinasional yang bergerak cepat melalui pasar bebas, arus modal dan penanaman modal dari luar negeri. Yang jelas dapat dikatakan bahwa globalisasi tidak bersifat fakultatif (change is not optional). Globalisasi bukan lagi merupakan sebuah fenomena yang ada di seberang sana tetapi sudah merupakan fenomena di seberang sini yang mempengaruhi identitas personal manusia. Orang tentu lebih mengenal Ronaldo, pemain bola kesohor asal Brazil daripada tetangganya sendiri. Globalisasi mengandung implikasi makna yang dalam di segala aspek kehidupan. Dalam dunia bisnis, globalisasi tidak hanya sekedar berdagang di beberapa negara di dunia, tetapi berdagang dengan cara yang sama sekali baru, yang menjaga keseimbangan antara kualitas global dengan kebutuhan khas lokal. Saling ketergantungan antar bangsa meningkat. Standar-standar baku antar bangsa diberlakukan. Peran perusahaan-perusahaan swasta (MNC) semakin meningkat ikatan-ikatan ethnosentrik, nasional mengalami pelemahan dan muncul ikatan regional atau global. Informasi muncul sebagai kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Maka, dapat dibayangkan globalisasi tanpa rule of law?. Globalisasi di samping membawa manfaat bagi umat manusia, juga membawa masalah serius baru, antara lain dalam bentuk 155

kejahatan-kejahatan ekonomi yang lebih canggih. Mobilitas sosial yang cepat menimbulkan masalah sistem pengamanan, kompleksitas dalam pemasaran dan distribusi. Kemakmuran yang melimpah membuat orang semakin ingin melindungi hartanya, karena kemajuan teknologi juga berakibat munculnya kejahatan berbasis teknologi tinggi, seperti cyber crimes, pemalsuan uang, pemalsuan kartu kredit dan sebagainya, penyelundupan dan pencurian pasir laut dengan kapal canggih, money laundering, dan pelbagai jenis kejahatan-kejahatan canggih lainnya yang belum pernah ada presedennya. Belum lagi pengaturan yang kompleks dan birokratis di banyak negara, mengundang suap dan perbuatan menyimpang. Pelbagai kejahatan canggih tersebut tidak mungkin terjadi tanpa bantuan dari mereka yang memiliki profesionalisme yang tinggi. Politik Kriminal Apapun bentuknya, politik kriminal yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan baik sarana penal maupun sarana non penal (prevention without punishment). Sarana penal berarti penggunaan sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi sampai dengan pelaksanaan pidana. Sedangkan sarana non penal pada dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode etik sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi. Klasifikasi pencegahan kejahatan biasanya dibedakan dalam kategori berikut: 1. Primary prevention; suatu strategi yang dilakukan melalui kebijakan publik, khususnya untuk mempengaruhi sebab dan akar kejahatan, dengan target masyarakat umum. 2. Secondary prevention; targetnya adalah calon-calon pelaku. 3. Tertiary prevention; targetnya mereka yang telah melakukan kejahatan. Mengingat dalam era globalisasi jenis-jenis kejahatan memiliki dimensi internasional dan transnasional, maka untuk menanggulanginya diperlukan kerjasama internasional yang intensif. Kerjasama internasional tersebut bisa dalam bentuk pelatihan teknis, ekstradisi, mutual legal assistance, transfer of proceeding, transfer of prisoners, penyidikan bersama, dan sebagainya. n

156

Penerapan Tanggungjawab Korporasi Dalam Hukum Pidana


Pada saat dirumuskan, para penyusun KUHP (1886) menerima asas apa yang disebut societas/universitas delinquere non potest yang artinya badan hukum/perkumpulan tidak dapat melakukan tindak pidana. Hal ini merupakan reaksi terhadap praktek-praktek kekuasaan yang absolut sebelum Revolusi Perancis 1789, yang memungkinkan terjadinya collective responsibility terhadap kesalahan seseorang. Dengan demikian menurut konsep dasar KUHP, bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah (natuurlijke persoon). Dalam hal ini terkandung dua hal: pertama, menyangkut apakah korporasi dapat melakukan tindak pidana; kedua, menyangkut dapat dipertanggungjawabkannya korporasi dalam hukum pidana dan dapat dijatuhi sanksi, apakah pidana dan/atau tindakan (Sudarto,1981). Prinsip di atas secara tersurat dan tersirat tercantum dalam Pasal 51 (lama) WvS Belanda atau Pasal 59 KUHP yang berbunyi: Jika ditentukan pidana karena pelanggaran bagi pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris, maka pidana itu tidaklah dijatuhkan atas anggota pengurus atau komisaris, jika terang bahwa pelanggaran itu terjadi bukan karena kesalahannya. Baik Aliran Klasik (DaadStrafrecht), Aliran Modern (Dader-Strafrecht), maupun Aliran NeoKlasik (Daad-daderstrafrecht) melihat individu sebagai pelaku atau subyek hukum sentral (Muladi,1984). Dalam perkembangannya kemudian timbul kesulitan dalam praktek, sebab di dalam pelbagai tindak pidana khusus timbul perkembangan yang pada dasarnya menganggap bahwa tindak pidana juga dapat dilakukan oleh korporasi, mengingat kualitas 157

keadaan yang hanya dimiliki oleh badan hukum atau korporasi tersebut. Hal ini dimungkinkan atas dasar Pasal 91 KUHP Belanda atau Pasal 103 KUHP Indonesia yang memungkinkan peraturan di luar kodifikasi menyimpang dari Ketentuan Umum Buku I. Pasal 15 ayat (1) Wet Economische Delicten (WED) 1950 Belanda (kemudian ditiru Indonesia melalui UU No.7 Drt. Tahun 1955) mengatur bahwa dalam tindak pidana ekonomi, korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipidana. Prof.BVA. Roling pada tahun itu juga mendesak untuk memperluas sistem tersebut agar berlaku untuk semua tindak pidana, sehubungan dengan fungsi sosial korporasi dalam masyarakat (theorie van het functioneel daderschap). RAV van Haersolte dalam bukunya Personifikatie van Sociale Systemen (1971) menyatakan bahwa setelah beberapa individu hidup bersama, bekerja bersama, dan berjuang bersama demi kepentingan tertentu atau untuk memenuhi beberapa keinginan tertentu untuk bertahan dalam penghidupan, dengan sendirinya lahir sistem kerjasama dan sebagainya (misalnya keluarga, marga, suku, bangsa, dsb.) yang dapat melaksanakan dengan bersama tindakan tertentu, dan juga dapat dilakukan oleh individu sendirian dan kepadanya hukum menghubungkannya dengan konsekuensi menurut peraturan-peraturan hukum tertentu. Karena para individu bertindak bersama dalam berbagai perikatan dan korporasi, mereka merasakan hubungan itu sebagai suatu kesatuan khusus, dalam wujud personifikasi dari sistem yang kemudian juga memasuki bidang hukum (van Bammelen, 1983). Kelompok yang menentang (misal Remmelink) mengajukan argumentasi yang melekat pada sifat dasar manusia alamiah, seperti kesengajaan dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan. Argumentasi yang lain adalah kemungkinan pemidanaan korporasi dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan kesulitan menentukan batas antara pengurus dan korporasi. Alasan-alasan lain berkaitan dengan pendapat bahwa teori hukum pidana dibangun atas dasar manusia alamiah sebagai pembuat tindak pidana hanya sebagian sistem pemidanaan yang dapat diterapkan, terjadi pergeseran tanggung akibat orang ke korporasi, melanggar asas ne bis in idem, dan membahayakan para pegawai korporasi. Baru pada tahun 1976 melalui UU tanggal 23 Juni 1976, Stb.377 yang disahkan tanggal 1 September 1976, muncul perumusan baru Pasal 51 Sr.Bld. yang berbunyi: 158

1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum; 2. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap: badan hukum atau terhadap yang memerintahkan melakukan perbuatan itu; terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu; atau terhadap badan hukum dan yang memerintahkan melakukan perbuatan di atas bersama-sama. 3. Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum: perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan. Dengan diundangkanya undang-undang di atas, semua peraturan dalam undang-undang khusus mengenai dapat dipidananya korporasi dan pengurusnya (misalnya Pasal 15 WED Belanda), dihapus karena dipandang tidak perlu lagi (overbodig vervallen). Menurut Prof.Dr. S. Schaffmehter, UU. tahun 1976 disebut sebagai telah menghentikan pertumbuhan secara liar dari peraturanperaturan yang timbul dalam tahap-tahap sebelumnya (sesudah PD I 1976). Hal ini merupakan sumbangan nyata dalam memajukan kesatuan hukum (Schaffmether dkk., 1985). Persoalan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana juga terjadi di negara-negara yang menganut sistem Common Law. Di pelbagai negara tersebut aspek viktimologis yang besar (misalnya kerugian terhadap negara, masyarakat, konsumen, perusahaan saingan, karyawan, pemegang saham, dan penegakan hukum yang sangat mahal) mendorong penguasa untuk mengatur apa yang disebut criminal liability of corporation. Kejahatan korporasi baik dalam bentuk kejahatan bagi korporasi maupun kejahatan korporasi mengandung korban potensial yang luas seperti tersebut di atas. Perkembangan hukum posistif di Indonesia menampakkan halhal yang sama, yaitu melalui 3 (tiga) tahap perkembangan yang berkisar pada: hal dapat dipidananya perbuatan oleh korporasi; hal dapat dipertanggungjawabkannya korporasi; dan kemungkinan dapat dipidananya korporasi. Perkembangan pada tahap pertama menunjukkan bahwa keduanya hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah. Pada tahap kedua, korporasi dapat melakukan tindak pidana, 159

tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya manusia alamiah. Dan dalam tahap ketiga, baik manusia alamiah maupun korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan serta dipidana. Hal yang terakhir nampak antara lain dalam UU No. 11 PNPS 1963, UU No. 7 Drt th. 1955, dan UU No. 31 th. 1999. Sebenarnya (menurut penulis) terdapat perkembangan tahap ke empat, seperti juga di Belanda, yaitu melembagakan perkembangan yang ada di luar KUHP, dengan mengatur pertanggungjawaban korporasi secara umum dalam Buku I KUHP, sehingga berlaku untuk semua tindak pidana. Pembicara korporasi sebagai subyek hukum (Normadressat) akan menyentuh persoalan utama, yaitu kapan dan apa ukurannya untuk dapat mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Sekalipun ada pendapat bahwa hal yang demikian harus dilihat secara kasus per kasus, sesuai dengan sifat kekhasan delik tertentu (misalnya delik fungsional yang lebih bersifat administratif dan delik non fungsional yang lebih bersifat fisik), namun sebagai pedoman dapat dikemukakan pelbagai pemikiran sebagai berikut: 1. Perbuatan dari perorangan dapat dibebankan pada badan hukum, apabila perbuatan-perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan-perbuatan badan hukum. 2. Apabila sifat dan tujuan dari pengaturan telah menunjukkan indikasi untuk perbuatan pidana, untuk pembuktian akhir pembuat pidana, di samping apakah perbuatan tersebut sesuai dengan tujuan statuta dari badan hukum dan atau sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan, maka yang terpenting adalah apabila tindakan tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari badan hukum. 3. Badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana bilamana perbuatan yang terlarang yang untuk pertanggungjawabannya dibebankan atas badan hukum dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuantujuan badan hukum tersebut. 4. Badan hukum baru dapat diberlakukan sebagai pelaku tindak pidana apabila badan tersebut berwenang untuk melakukannya terlepas dari terjadi atau tidak terjadinya tindakan, dan di mana tindakan dilakukan atau terjadi dalam operasi usaha pada umumnya dan diterima atau biasanya diterima secara demikian oleh badan hukum (Ijzerdraad-arrest HR. 1954). Syarat kekuasaan 160

5.

6.

7. 8.

(machtsvereiste) mencakup: wewenang mengatur/menguasai dan/ atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindakan terlarang tersebut; mampu melaksanakan kewenangannya dan pada dasarnya mampu mengambil keputusan-keputusan tentang hal yang bersangkutan; dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindakan terlarang; Selanjutnya syarat penerimaan (aanvaardingsvereiste), hal ini terjadi apabila ada kaitan erat antara proses pengambilan atau pembentukan keputusan di dalam badan hukum dengan tindakan terlarang tersebut. Juga apabila ada kemampuan untuk mengawasi secara cukup. Kesengajaan badan hukum terjadi apabila kesengajaan itu pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari perusahaan tertentu. Dalam kejadiankejadian lain penyelesaian harus dilakukan dengan konstruksi pertanggungjawaban, kesengajaan dari perorangan (natuurlijk persoon) yang berbuat atas nama korporasi sehingga dianggap juga dapat menimbulkan kesengajaan badan hukum; Kesengajaan suatu organ dari badan hukum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Dalam hal-hal tertentu, kesengajaan dari seorang bawahan, bahkan dari orang ketiga, dapat mengakibatkan kesengajaan badan hukum; Pertanggungjawaban juga bergantung dari organisasi internal dalam korporasi dan cara bagaimana tanggungjawab dibagi; demikian pula apabila berkaitan dengan kealpaan; Pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum; bahkan sampai pada kesengajaan kemungkinan.

Di Amerika Serikat, Model Penal Code menentukan syarat bahwa untuk adanya corporate liability maka the commission of the offense was authorized, requested, commanded, performed or recklessly tolerated by board of directors or by a high managerial agent acting in behalf of the corporations within the scope of his office or employment. Di dalam hal ini berlaku doktrin respondent superior rule: let the master answer. Hal ini bisa bersifat vicarious liability apabila dilakukan oleh pegawai yang bertindak dalam kerangka kewenangannya dan atas nama 161

korporasi, tetapi bisa juga bersifat non-vicarious liability apabila pelakunya adalah directors and managers who represent the directing mind and will of the company and control what it does. Limitasi didasarkan atas doktrin ultra virez, yakni apabila perbuatan dilakukan di luar ruang lingkup kekuasaan korporasi. Ada pula istilah statutory liability of officers, apabila tindak pidana tersebut terjadi/dilakukan dengan persetujuan atau kerjasama atau diakibatkan oleh keteledoran seorang manajer, direktur atau pejabat lain yang sederajat, sehingga orang-orang tersebut dan korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Termasuk di sini failure to supervise the subordinate appropriately and an omission to discharge a specific duty of affirmative performance imposed on corporations by law. Di dalam Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption (1999) ditegaskan bahwa:
legal persons can be held liable for the criminal offence.committed for their benefit by any natural person, acting either individually or as part of an organ of the legal person, who has a leading position within the legal person, based on: a power of representation; or an authority to take decisions on behalf of the legal person; or an authority to exercise control within the legal person as well as for involvement of such a natural person as accessory or instigator in the above-mentioned offence.

Dalam rangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada umumnya pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan primum remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium, namun diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan halhal yang dikemukakan Clinard dan Yeager (1980) sebagai berikut: 1. the degree of loss to the public; 2. the level of complicity by high corporate managers; 3. the duration of the violation; 4. the frequency of the violation by the corporations; 5. Evidence of intent to violate; 6. Evidence of extortion, as in bribery cases; 7. the degree of notoriety engendered by the media; 8. Prcedent in law; 9. the history of serious violation by the corporation; 10. Deterrence potential; 11. the degree of cooperation evinced by the corporation. 162

Sering dikatakan bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan kepada korporasi hanyalah pidana denda (fine), tetapi apabila dijatuhkan sanksi berupa penutupan seluruh korporasi, maka pada dasarnya merupakan corporate death penalty. Sedangkan sanksi berupa segala bentuk pembatasan terhadap aktivitas korporasi, maka sebenarnya mempunyai hakekat yang sama dengan pidana penjara atau kurungan, sehingga ada istilah corporate imprisonment. Pidana tambahan dalam hal ini tetap bisa dijatuhkan. Bahkan pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim, merupakan sanksi yang sangat ditakuti oleh korporasi. (Brickey, 1995). Prospek pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana di Indonesia nampaknya cukup positif. Dalam RUU KUHP th. 1999/2000 yang dipublikasikan oleh Departemen Kumdang, pertanggungjawaban tersebut akan diintegrasikan dalam Buku I KUHP (Ketentuan Umum) sebagaimana yang telah terjadi di Belanda pada than 1976. Dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49 berturutturut dirumuskan bahwa: 1. Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana (Pasal 44); 2. Jika tindak pidana dilakukan oleh atau untuk korporasi, penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya (Pasal 45); 3. Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi, apabila perbuatan tersebut tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan (Pasal 46); 4. Pertanggungjawaban pidana korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi (Pasal 47); 5. Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi (Pasal 48, ayat (1)); 6. Pertimbangan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim (Pasal 48 ayat (2)); 7. Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh 163

pembuat yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan pada korporasi (Pasal 49). (Dalam Pasal 161 ditegaskan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi. Sedangkan dalam Pasal 162 disebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum). n

164

Hakekat Terorisme dan Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi


Pendahuluan Wacana dan praktek pengaturan untuk mencegah dan memerangi terorisme baik secara internasional, regional maupun negara per negara tidak hanya terjadi setelah peristiwa 11 September 2001 yang meluluhlantakkan World Trade Centre. Jauh sebelum peristiwa itu, baik masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha untuk melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme. Usaha untuk melakukan kebijakan kriminal dan kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif tersebut didasari oleh kenyataan terjadinya proses viktimisasi perbuatan terorisme, yang secara faktual dan potensial sangat besar dan bahkan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah, termasuk wanita dan anak-anak sebagai kelompok yang paling rentan. Persyaratan kriminalisasi yang lain sudah cukup memadai, seperti; kedudukan hukum pidana sebagai ultimum remedium (ultima ratio principle) terpenuhi mengingat alternatif usaha lain yang tidak memadai; analisa biaya dan hasil yang didapat; dukungan publik yang kuat baik nasional maupun internasional; prediksi penegakan hukum yang memadai (enforceability) mengingat jaringan kerjasama internasional dan sifat terorisame yang dapat dikategorikan mengandung bahaya terhadap demokrasi, supremasi hukum, HAM dan stabilitas. (Kofi Anan, 2001). Dalam SAARC Regional Convention on Suppression of Terrorism (1988), terorisme bahkan dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat menimbulkan dampak yang merugikan 165

terhadap perdamaian, kerjasama, persahabatan, hubungan baik bertetangga, dan dapat mencederai kedaulatan dan integritas suatu negara. Yang patut menjadi pertimbangan kriminalisasi yang lain adalah pertimbangan yang ditegaskan dalam Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism (1999) yang menyatakan Recoqnizing the growing links between terrorism and organized crime, including illicit trafficking in arms, narcotics, human beings and money laundering. Dari sisi kebijakan kriminal, dengan mengingat kompleksitas dan hakekat terorisme yang bersifat multidimensional, maka istilah memerangi terorisme, membasmi terorisme dan eliminasi terorisme yang bersifat represif harus disertai dengan langkah-langkah pencegahan yang memadai seperti pengamanan wilayah teritorial dari pemanfaatan praktek terorisme, kerjasama antar negara, menyempurnakan sistem deteksi terhadap sarana terorisme, memperkuat sistem dan prosedur pengawasan, memperkuat mekanisme pengamanan orang-orang penting dan instalasi vital, peningkatan perlindungan diplomat dan konsul atau misi internasional yang lain, peningkatan sistem koordinasi dan pengamanan serta informasi, dan sebagainya. Langkah-langkah preventif atas dasar kenyataan sosial di bawah ini juga perlu diperhatikan. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan hubungan antara hak asasi manusia, kewajiban asasi manusia (human responsibility) dan keamanan asasi manusia (human security). Dikatakan bahwa penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar serta martabat manusia merupakan landasan terciptanya kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia. Namun demikian HAM dan kebebasan dasar yang bersifat relatif (derogable), dapat dibatasi dengan undang-undang demi penghormatan HAM orang lain, ketertiban umum, keamanan nasional dan kesejahteraan umum di dalam masyarakat demokratis. Namun demikian realisasi penuh dan keseimbangan antara HAM dan kewajiban asasi memerlukan prakondisi yang disebut keamanan asasi manusia, yang harus dipertimbangkan sebagai sasaran antara. Keamanan asasi merupakan segala usaha dan langkah-langkah yang sistematik dan sungguh-sungguh untuk mengeliminasi pelanggaran HAM yang secara nyata masih banyak terjadi, baik yang bersifat individual maupun kolektif, dan bahkan dapat saja pelanggaran itu 166

dilakukan oleh suatu bangsa atau negara terhadap bangsa yang lain. Diskriminasi, rasialisme, kolonialisme, dominasi dan pendudukan asing, agresi, campur tangan asing, ancaman terhadap kedaulatan, kesatuan, dan integritas nasional, ancaman perang dan penolakan terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri akan menyebabkan tidak hanya tragedi perorangan, tetapi juga dapat memicu keresahan sosial dan politik, kekerasan serta konflik di dalam dan antar masyarakat dan bangsa. Apabila hal-hal semacam ini masih terjadi, maka dalam pengertian keadilan yang bersifat universal, dalam halhal tertentu dapat dipahami bahwa pengertian teroris dan terorisme tetap merupakan pengertian yang subyektif dan relatif. Pemikiran seperti di atas tidak jarang menumbuhkan sikap ambivalen dan standar ganda. Bagi suatu negara yang berdaulat, apakah pemerintahan bersifat fasis atau demokratis, akan memandang kombatan melawan pemerintah cenderung sebagai teroris (crime against government). Sebaliknya, dari sudut pandangan kombatan yang menentang pemerintah yang rasial, tindakan represif dari penguasa akan dilihat sebagai kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah (crime by government or state crime or state-organized crime). Penting untuk diperhatikan bahwa pada tahun 1973 Majelis Umum PBB menyetujui suatu asas yang melindungi HAM para pejuang kebebasan yang menjadi kombatan terhadap pemerintahan kolonial dan rezim yang fasis. Kombatan yang tertangkap harus diberi status sebagai tawanan perang atas dasar Konvensi Jenewa Ketiga (1949). Dalam hal ini, maka tidak heran bahwa seseorang, bagi suatu negara tertentu disebut teroris tetapi bagi negara lain ia dianggap sebagai pahlawan. Suicide bomber Palestina bagi Israel adalah teroris, tetapi bagi orang Palestina mereka adalah pahlawan. Beberapa waktu yang lalu, Presiden Libanon Emile Lahoud menolak keras daftar yang dipublikasikan Washington yang memasukkan Hezbollah sebagai kelompok teroris dan aset globalnya harus dibekukan di AS. Hezbollah dan yang lain dianggap sangat berjasa membebaskan wilayah Libanon yang diduduki Israel. (Lembah Bekka, Arab News, 18 November 2001). Fenomena berupa kasus-kasus terorisme yang terjadi di dunia membenarkan pendapat bahwa terorisme tidak identik dengan aktivitas agama tertentu (Islam). Di samping kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai teroris yang berbau agama, maka terdapat 167

pula kelompok teroris yang bersifat non agama seperti African National Congress (Afrika Selatan) yang semula berjuang di dalam sistem untuk memperjuangkan hak-hak kulit hitam, tetapi akhirnya menempuh jalan teror; Armed Forces for National Liberation (FALN:US) yang memperjuangkan lepasnya Puerto Rico dari US dominion; Armed Revulutionary Forces of Columbia (FARC:Columbia) yang merupakan sayap militer partai komunis; Armed Revolutionary Nuclear (NAR: Italy) yang berjuang untuk mengembalikan fasisme di Itali; Basque Fatherland and Liberty (ETA) gerilya marxist untuk memerdekakan Basque dari Spanyol; IRA (Irish Republican Army) yang merupakan refleksi konflik berdarah antara Katolik dan Protestan; Japanese Red Army (JRA) yang merupakan kelompok teroris internasional yang memperjuangkan revolusi dunia dan meruntuhkan monarki Jepang. Dari pelbagai instrumen yang berkaitan dengan pencegahan dan perang terhadap terorisme, terbukti bahwa dunia Islam juga sangat konsisten mengutuk terorisme. The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (Cairo, 1998) dan Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism (Ougadougou, 1999), merupakan dua peristiwa penting untuk membuktikan kepedulian dunia Islam wilayah yang kerap mendapat stigma sebagai sarang atau sekurangnya acuh dalam masalah terorisme terhadap masalah terorisme. Dalam perkembangannya, terorisme memang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat, sehingga dikategorikan juga sebagai kejahatan internasional dan bahkan transnasional. Dalam diskusi-diskusi pembentukan the International Criminal Court (ICC, Statuta Roma 1998), setelah tujuh tahun berlaku efektif, dalam Review Conference, banyak negara yang mengusulkan agar kejahatan terorisme dimasukkan sebagai salah satu yurisdiksi materi ICC, di samping kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi. Terorisme merupakan kejahatan internasional di antara 22 kejahatan yang masuk kategori tersebut karena dinilai dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia, menggoncangkan hati nurani manusia, mempengaruhi lebih dari suatu negara atau warga negara lebih dari satu negara, alat dan caranya melalui batas negara, dan memerlukan kerjasama antar negara untuk mengatasinya (Bassiouni, 1985). 168

Dalam Konvensi Palermo, 2000, tentang kejahatan transnasional yang terorganisasi dinyatakan, bahwa suatu kejahatan dapat disebut bersifat transnasional apabila memiliki karakteristik; (1) dilakukan di lebih dari satu negara; (2) dilakukan di satu negara tetapi persiapan, perencanaan dan pengendaliannya mengambil tempat di negara lain; (3) dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisasi yang memiliki jaringan kegiatan di banyak negara, atau; (4) dilakukan di satu negara tetapi secara substansial efeknya mengimbas sampai ke negara lain. Di samping terorisme yang bersifat internasional dan transnasional, terdapat pula terorisme yang bersifat nasional atau domestik, termasuk di dalamnya apa yang dinamakan single issue terrorist, yang menunjuk pada kelompok yang menggunakan taktik ekstrimis untuk mendukung satu isu tertentu. Contohnya adalah the unabomber di Amerika Serikat (1995), yang menempatkan Universitas dan Airlines sebagai target sasaran dengan motif ketidaksenangan terhadap teknologi. Di samping itu, ada pula yang dinamakan hate crime, yaitu serangan terhadap sasaran berupa orang atau kekayaannya atas dasar ras korban, warna kulit, agama, asal usul nasional, etnik, jenis kelamin atau orientasi seksual, seperti skinheads dan Neo Nazi. Sejarah dan Tipologi Terorisme Sebelum Perang Dunia II, hampir semua tindakan terorisme (bentuk pertama) terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair di tahun limapuluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan serangan yang bersifat acak terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang mereka (Algerian nationalist) sebut sebagai terorisme negara. Menurut mereka, pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang tidak berdosa. Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan istilah terorisme media, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. The Bush Commission (Wakil Presiden AS, 1986) menyebutnya sebagai teater politik, contoh dari propaganda by deed. Dalam masyarakat yang 169

sebagian besar buta huruf dan apatis, seruan atau perjuangan melalui huruf-huruf tertulis dampaknya sangat kecil, sehingga lebih efektif menerapkan filsafat bom, yakni bersifat eksplosif dan sangat sulit untuk mengabaikannya. Seorang Brazilia, Carlos Marighela, menulis buku tentang teori modern tentang teror yang berjudul Minimanual of the Urban Guerilla yang kemudian dijadikan buku pegangan gerakan teror di seluruh dunia. Dia mengatakan bahwa untuk memberikan informasi tentang aksi-aksi revolusioner cukup dengan menjadikan media massa modern sebagai sarana penting untuk propaganda. Bahwa perang psikologis, lanjut Carlos, merupakan suatu teknik untuk berjuang atas dasar penggunaan langsung atau tidak langsung media massa. Bentuk ketiga (terorisme media) ini berkembang melalui tiga sumber; pertama, kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM; kedua, pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalisme agama, radikalisasi setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota; dan ketiga, kemajuan teknologi seperti satelit, peningkatan lalu lintas udara dan penemuan senjatasenjata canggih. Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejumlah versi penjelasan, diantaranya tipologi yang dirumuskan oleh National Advisory Committee dalam The Report of the Task Force on Disorders and Terrrorism (1996), yang mengemukakan sebagai berikut: 1. Terorisme politik; mencakup perilaku kriminal yang dilakukan dengan kekerasan yang didisain terutama untuk menimbulkan ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis. 2. Terorisme non politik; dilakukan untuk tujuan-tujuan keuntungan pribadi, termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi. 3. Quasi terorisme; menggambarkan aktivitas yang bersifat insidental untuk melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya menyerupai terorisme, tetapi tidak mempunyai unsur esensialnya. Dalam kasus pembajakan udara atau penyanderaan misalnya, para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan daripada motivasi ideologis. 4. Terorisme politik terbatas; menunjuk kepada perbuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan atau motif politik, tetapi tidak merupakan bagian dari suatu kampanye bersama untuk 170

menguasai pengendalian negara. Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam (vendetta-type executions). 5. Terorisme pejabat atau negara (official or state terrorism); terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan. Yang terakhir ini (official or state terrorism) harus dibedakan dengan state-sponsored terrorism yang dapat diartikan bahwa negara mendukung terorisme sebagai bagian atau taktik war on the cheap, seperti dituduhkan Amerika kepada Irak, Suriah, Afganistan (Taliban) Libia, Kuba, Korea Utara, Sudan dan sebagainya (tetapi ironisnya bahwa mereka yang dituduh sebagai teroris adalah mereka yang semasa perang dingin mendapatkan latihan counterinsurgency skills di Fort Benning, Georgia Amerika yang terkenal sebagai school for dictators. Pada saat itu Amerika banyak mendukung rezim yang represif karena mereka anti komunis). Dalam hal ini perlu diperhatikan UN Resolution 2625 (XXV) yang antara lain mengharuskan setiap negara untuk menahan diri dari perbuatan mengorganisasi, menggerakkan, membantu atau berperanserta dalam perbuatan perang saudara, atau perbuatan teroris di negara lain, atau secara diam-diam terlibat dalam aktivitas terorganisasi di dalam wilayahnya ditujukan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini ditegaskan kembali di dalam Declaration on Measures to Eliminate International Terrorsim, 1994. Definisi dan Unsur Tindak Pidana Terorism Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (mala per se) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala prohibita). Kriminalisasi tindak pidana terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti; (a) melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasalpasal KUHP; (b)melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya; dan (c) sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme. Untuk memahami makna terorisme, kiranya perlu dikaji terlebih dulu makna atau definisi terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa penulis, yaitu: 171

1. US Central Intelligence Agency (CIA). Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintahan asing 2. US Federal Bureau of Investigation (FBI). Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik. 3. US Departments of State and Defense. Terorisme adalah kekerasan yang bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara. 4. Blacks Law Dictionary. Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan. 5. States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism. a. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil, ditandatangani di Hague pada 16 Dsember 1970; b. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Penerbangan Sipil, ditandatangani di Montreal pada tanggal 23 September 1971; c. Kejahatan dalam lingkup Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman atas Tindak Pidana Terhadap Orang-orang yang Secara Internasional Dilindungi, termasuk Agen-agen Diplomatik, ditandatangani di Newyork, 14 Desember 1973; d. Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negaranegara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan angota-anggotanya untuk menuntut atau melakukan ekstradisi; 172

e. Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika digunakan untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka yang serius atau kerusakan berat pada harta milik; f. Usaha untuk melakukan kejahatan, atau turut sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan tersebut; g. Usaha atau konspirasi untuk melakukan kejahatan (yang dijabarkan pada bagian (f) membantu, memudahkan atau menganjurkan kejahatan tersebut atau berpartisipasi sebagai kaki tangan dalam kejahatan yang digambarkan. 6. The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (1998) Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, atau mengancm kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional. Disebut juga bahwa tindak kejahatan terorisme adalah tindak kejahatan dalam rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara yang menjalin kontak, atau melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya, yang diancam hukuman dengan hukuman domestik. Tindak kejahatan yang ditetapkan dalam konvensikonvensi berikut, kecuali yang belum diratifikasi oleh negaranegara yang menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan tersebut dikecualikan oleh perundang-undangan mereka, juga dianggap sebagai tindak kejahatan teroris: a. Konvensi Tokyo tentang Tindak Kejahatan dan Tindakan-Tindakan tertentu Lain yang Dilakukan di Kabin Pesawat, September 1963; b. Konvensi Hague untuk Pembasmian Perampasan Pesawat Tidak Sah, pada 16 Desember 1970; c. Konvensi Montreal untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil, pada tanggal 23 September 1971, dan Protokolnya pada 10 Mei 1984; 173

d. Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman Tindak Kejahatan terhadap Orang-Orang yang Dilindungi Secara Internasional, termasuk Agen-Agen Diplomatik, pada 14 Desember 1973; e. Konvensi Internasional terhadap Penyanderaan, pada Desember 1979; f. Ketetapan-Ketetapan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, tahun 1982, yang berhubungan dengan pembajakan di atas laut; g. Serangan atas Raja, Kepala Negara atau Penguasa Negaranegara yang Menjalin Kontrak atau atas Pasangan dan Keluarganya; h. Serangan atas Pangeran, Wakil Presiden, Perdana Menteri di Negara yang Menjalin Kontrak; i. Serangan atas orang-orang yang memiliki kekebalan diplomatik, termasuk duta besar dan diplomat yang bertugas di negara-negara yang menjalin kontrak; j. Pembunuhan atau pencurian yang direncanakan yang diikuti dengan penggunaan kekerasan yang ditujukan kepada individu, otoritas atau alat-alat transportasi dan komunikasi; k. Tindakan sabotase dan perusakan harta publik dan harta yang diperuntukan bagi pelayanan publik, bahkan jika dimiliki oleh negara yang menjalin kontrak; l. Pembuatan, penjualan ilegal atau kepemilikan senjata, amunisi atau bahan peledak, atau bahan-bahan lain yang bisa digunakan untuk melakukan tindak kejahatan teroris. 7. Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan ilegal yang diancam hukuman di bawah hukum pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau menteror penduduk, dan mengambil bentuk: a. kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum; b. menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain; c. menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat; 174

d. mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut; e. menyerang perwakilan Negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang dilindungi secara internasional, begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara internasional; f. tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris di bawah perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme (Catatan: (1) Dalam rangka ekstradisi, negara-negara pihak tidak akan memperlakukan perbuatan tersebut, selain sebagai kriminal; (2) Muncul istilah baru yaitu technological terrorism yakni penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir, radiologi, bahan kimia atau bakteri dalam rangka perbuatan terorisme) 8. Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999. Terorisme berarti tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas teritorial, kesatuan politis atau kedaulatan negaranegara yang merdeka. Tindak kejahatan teroris berarti tindak kejahatan yang dilakukan, dimulai atau dilibatkan untuk mewujudkan tujuan teroris di negara yang menandatangani kontrak atau kepada warga negara, aset atau kepentingan atau fasilitas asing dan warga negara yang tinggal di wilayahnya yang diancam hukuman oleh hukum internnya. Kejahatan-kejahatan sebagai berikut juga dikategorikan sebagai kejahatan teroris kecuali yang dikeluarkan oleh undang175

undang negara yang bersangkutan atau yang belum diratifikasi : a. Konvensi tentang Kejahatan dan Tindakan lain yang Dilakukan di Kabin Pesawat Terbang (Tokyo, 14.9.1963); b. Konvensi tentang Pembasmian Perampasan Pesawat Terbang Yang Menyalahi Hukum (The Hague, 16.12.1970); c. Konvensi tentang Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum Terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil yang ditandatangani di Montreal pada 23.9.1971 dan Protokolnya (Montreal 10.12.1984); d. Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman Tindak Kejahatan Terhadap Orang-Orang Yang Memiliki Imunitas Internasional, Termasuk Agen-Agen Diplomatik (New York, 14.12. 1973); e. Konvensi Internasioanal Terhadap Penyanderaan (New York, 1979); f. Hukum Konvensi Laut PBB tahun 1988 dan pasal-pasalnya yang berkaitan dengan pembajakan di laut.; g. Konvensi tentang Perlindungan Fisik Bahan Nuklir (Vienna, 1979); h. Protokol Pembasmian Tindak Kekerasan Menyalahi Hukum di Bandara Yang Melayani Penerbangan Sipil Internasional Suplemen bagi Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum Terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil (Montreal 1988); i. Protokol untuk Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum Terhadap Keselamatan Platform Tetap tentang Dasar Kontinental (Roma, 1988); j. Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum Terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Roma, 1987); k. Konvensi Internasional untuk Pembasmian Pemboman Teroris (New York, 1997); l. Konvensi tentang Plastic Exsplosive untuk Tujuan Deteksi (Montreal, 1991); m. Agresi terhadap para raja dan kepala negara negara-negara yang menandatangani kontrak atau terhadap pasangan, tanggungan atau keturunan mereka; n. Agresi terhadap pangeran atau wakil presiden atau wakil kepala pemerintahan atau para menteri di negara-negara yang menandatangani kontrak; 176

o. Agresi terhadap orang-orang yang memiliki imunitas internasional termasuk para duta besar dan diplomat di negara-negara yang Menandatangani Kontrak atau di negaranegara yang diakui; p. Pembunuhan atau perampokan dengan kekerasan terhadap individu atau otoritas atau alat-alat transport dan komunikasi; q. Tindakan sabotase dan perusakan harta publik dan harta yang diperuntukkan bagi pelayanan publik, bahkan meskipun milik negara-negara yang menandatangani kontrak.; r. Tindak kejahatan pembuatan, penyelundupan atau pemilikan senjata dan amunisi atau bahan-bahan peledak atau bendabenda lain yang disiapkan untuk tindak kejahatan teroris; s. Semua bentuk kejahatan internasional, termasuk perdagangan ilegal narkotika dan manusia serta pencucian uang yang bertujuan membiayai tujuan-tujuan teroris harus dianggap sebagai tindak kejahatan teroris. (Catatan: (1) Perjuangan bersenjata melawan pendudukan, agresi, kolonialisme dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dianggap sebagai kejahatan terorisme; (2) Pelbagai tindak pidana terorisme di atas tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik; (3) Tindak pidana butir xiii-xviii tidak dapat dianggap sebagai kejahatan politik sekalipun bermotif politik; (4) Dalam definisi terorisme motif politik). 9. Organisation of African Unity (OAU), 1999 Tindakan teroris merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana negara anggota dan bisa membahayakan kehidupan, integritas fisik atau kebebasan, atau menyebabkan luka serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau sekelompok orang atau menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian bagi harta, sumber alam atau lingkungan atau warisan budaya seseorang atau publik dan diperhitungkan atau dimaksudkan untuk: (a) mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menekan atau mempengaruhi pemerintah, badan, institusi, publik secara umum atau lapisan masyarakat, untuk melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan, atau untuk mengadopsi atau meninggalkan pendirian tertentu, atau untuk bertindak menurut prinsip-prinsip tertentu; atau 177

(b) menggangu pelayanan publik, pemberian pelayanan esensial kepada publik atau untuk menciptakan darurat publik; atau (c) menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara; (d) promosi, sponsor, kontribusi, perintah, bantuan, gerakan, dorongan, usaha, ancaman, konspirasi, pengorganisasian, atau perekrutan seseorang, dengan niat untuk melakukan tindakan yang disebutkan pada paragraf (a) sampai (c) (Catatan: (1) Perjuangan bersenjata sesuai dengan hukum internasional dalam rangka kemerdekaan atau menentukan nasib sendiri, terhadap agresi, pendudukan, kolonialisme dan dominasi asing dikecualikan dari perbuatan terorisme. (2) Motif politik, filosofis, ideologis, rasial, ethnik, agama atau motif lain tidak dapat digunakan untuk pembenaran terhadap perbuatan terorisme). 10. Terrorism Act 2000, UK. Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri: (a) aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan risiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik; (b) penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; (c) penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi; (d) penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi (a) yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak. Catatan: Di UK mereka yang dalam aktivitas organisasi terlarang dapat dipidana keterlibatan -- bisa dalam bentuk keanggotaan, membantu dalam bentuk uang atau kekayaan atau mempersiapkan rapat organisasi terlarang, memakai seragam organisasi terlarang di muka umum dan membantu pengumpulan dana. Suatu organisasi dianggap terlibat dalam terorisme apabila berpartisipasi dalam terorisme, mempersiapkan terorisme, menggalakkan dan mempromosikan terorisme.

178

11. European Convention on the Suppression of Terrorism (1977) a. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Pesawat Terbang, ditandatangani di Hague pada Desember 1970; b. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil, ditandatangani di Montreal pada 23 September 1971; c. Kejahatan berat yang melibatkan serangan atas integritas fisik dan kehidupan atau kebebasan orang-orang yang dilindungi secara internasional, termasuk agen-agen diplomatik; d. Kejahatan yang melibatkan penculikan, penyanderaan atau penahanan berat yang tidak sah; e. Kejahatan yang melibatkan penggunaan bom, granat, roket, senjata otomatis atau surat atau paket bom jika penggunaannya membahayakan orang lain; f. Usaha untuk melakukan kejahatan atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan tersebut; g. Kejahatan serius yang melibatkan tindak kekerasan, selain dari yang tercakup dalam Artikel 1 (a-f), atas integritas fisik dan kehidupan atau kebebasan seseorang; h. Kejahatan serius yang melibatkan tindakan atas harta, selain dari yang tercakup dalam Artikel 1 (a-f), jika tindakan menimbulkan bahaya kolektif bagi orang lain; i. Usaha untuk melakukan kejahatan yang tersebut sebelumnya atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut. Catatan: (1) Terhadap pelbagai tindak pidana terorisme tersebut ditegaskan bahwa untuk tujuan ekstradisi pelbagai tindak pidana tersebut tidak boleh dianggap sebagai tindak pidana politik atau sebagai suatu tindak pidana yang berkaitan dengan suatu tindak pidana politik atau sebagai suatu tindak pidana yang diilhami oleh motif politik. Dengan demikian menurut penulis tidak dapat dikategorikan sebagai non-extraditable crimes; (2) Bentuk tindak pidana terorisme antara lain selalu dikaitkan dengan salah satu atau beberapa Konvensi internasional (international treaties) dari kurang lebih 12 konvensi internasional tentang terorisme yang sudah ada (mestinya yang sudah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan). 179

Menurut penulis, UU No. 2 Th. 1976 yang telah meratifikasi 3 Konvensi internasional tentang kejahatan penerbangan (Den Haag, Montreal dan Tokyo) yang kemudian disusul dengan keluarnya UU No. 4 Th 1976 berupa penambahan Bab XXIXA KUHP tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana Penerbangan dapat dijadikan contoh untuk dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme; (3) Percobaan disamakan dengan delik selesai dan pembantuan disamakan kualifikasinya dengan si pelaku. Pengaturan Tindak Pidana Terorisme Baik konsiderans maupun penjelasan umum harus menggambarkan secara komprehensif legal spirit yang dapat memberikan pembenaran keberadaan UU pemberantasan terorisme; termasuk di sini alasan kriminalisasi seperti timbulnya korban yang tidak bersalah, besarnya dukungan publik nasional dan internasional, bahaya bagi demokrasi, HAM, supremasi hukum dan stabilitas, bahaya terhadap perdamaian, persahabatan, kerjasama antar bangsa mengingat sifatnya yang bisa internasional dan transnasional, bahaya terhadap kedaulatan dan integritas negara dan perlunya kerjasama internasional. Demikian pula kaitannya dengan kejahatan berat yang lain seperti pencucian uang, perdagangan senjata, kejahatan narkoba, dan kejahatan terorganisasi. Dasar pertimbangannya adalah: (a) Agar Tidak menimbulkan subyektivitas penafsiran dan menimbulkan permasalahan dalam ekstradisi, maka pemikiran yang berkembang pada Anglo-American Law yang tidak membedakan antara kejahatan politik yang dilakukan atas dasar tujuan ideologis dengan kejahatan tradisional dapat dipertimbangkan. Hukum pidana hanya memperhatikan sikap batinnya (intent) bukan motif, sebab apakah motifnya baik atau buruk tidak menentukan kesalahan. (b) Pelbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan terorisme yang telah diratifikasi perlu dicantumkan dan ditegaskan sebagai kejahatan terorisme; (c) Mengingat pelaku (perpetrator) kejahatan bisa individual atau kelompok, perlu diatur tentang corporate liability; (d) Perlu diatur tentang skema perlindungan terhadap para saksi dan korban kejahatan; (e) Perlu diatur tentang kejahatan obstruction of justice; sebab soal 180

ini lebih luas daripada ketentuan tentang perlindungan bagi penyelidik dan penyidik. (f) Perlu diatur ketentuan bahwa perjuangan bersenjata (freedom fighters) melawan kolonialisme, pendudukan, dominasi dan agresi asing tidak merupakan tindak pidana terorisme; ini penting nantinya dalam hubungan dengan ekstradisi dan kemungkinan dimasukkannya kejahatan terorisme sebagai kejahatan internasional (asas universalitas); (g) Kepentingan hukum yang dibahayakan oleh terorisme jangan hanya dibatasi terhadap nyawa, harta benda, kebebasan pribadi dan rasa takut masyarakat. Sesuai dengan perkembangan internasional perlu dipertimbangkan perlindungan terhadap: integritas nasional dan kedaulatan, fasilitas internasional, diplomat asing, kepala negara dan wakil kepala negara, instalasi publik, lingkungan hidup, sumber daya alam nasional dan transportasi serta komunikasi. (h) Sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, maka dalam merumuskan tindak pidana harus memegang teguh asas legalitas dan asas lex certa (perumusan hukum harus jelas dan tajam serta dapat dipercaya); Penyimpangan terhadap hukum acara yang berlaku sejauh mungkin dihindari. (i) Di samping langkah-langkah represif, perlu diatur tentang langkah-langkah preventif (counter-terrorism measures) yang komprehensif, seperti pencegahan infiltrasi elemen teroris dari negara lain, kerjasama dan koordinasi dengan negara-negara sahabat, pengembangan sistem seleksi dan manajemen senjata api dan bahan peledak, pengawasan perbatasan dan tempat masuk orang asing, pengembangan sistem pengawasan, peningkatan pengamanan instalasi vital, perlindungan orangorang penting dan diplomat, penyempurnaan organisasi intelijen, penciptaan database dari elemen dan jaringan teroris. (j) Menegaskan perlunya keterlibatan perguruan tinggi untuk mengkaji masalah-masalah terorisme (semacam the Terrorism Research Center); (k) Pengaturan tentang keterlibatan dalam organisasi terlarang yang terlibat terorisme perlu dijajagi (seperti di Inggris). n

181

Aspek Internasional dari Kebijakan Kriminal Non Penal


Kebijakan kriminal adalah usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal di samping dapat dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana (pendekatan penal) dapat pula dilakukan dengan sarana non penal melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan hukum, pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi, dan sebagainya. Pendekatan dengan menggunakan sarana penal terus menerus dilakukan melalui pelbagai usaha untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana, baik dari aspek legislasi (kriminalisasi, dekriminalisasi dan depenalisasi), perbaikan sarana-prasarana sistem, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Secara sistemik, sistem peradilan pidana ini mencakup suatu jaringan sistem peradilan (dengan sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan) yang mendayagunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya. Hukum pidana dalam hal ini mencakup hukum pidana materiil, formil dan hukum pelaksanaan pidana. Pendekatan dengan cara non penal mencakup area pencegahan kejahatan (crime prevention) yang sangat luas dan mencakup baik kebijakan maupun praktek. Kebijakan tersebut bervariasi antara negara yang satu dengan negara yang lain sesuai dengan latar belakang kultural, politik dan intelektual yang ada pada masing-masing masyarakat. Di satu negara tertentu kewenangan untuk merencanakan dan mengkoordinasikan biasanya berada pada forum interdepartemen 182

(semacam National Crime Prevention Councils) yang beranggotakan luas, baik yang berasal dari badan publik atau privat. Sedangkan di negara lain pencegahan kejahtan merupakan tanggungjawab departemen atau lembaga tertentu, seperti kepolisian atau kejaksaan. Dalam perkembangannya, kebijakan kriminal berkembang ke arah tindakan-tindakan proaktif yang ternyata, selain terbukti lebih murah (dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan polisi, pengadilan dan penjara), juga menjanjikan hasil yang lebih baik dalam memerangi kejahatan. Tanggungjawab pencegahan kejahatan diperluas mencakup lembaga-lembaga dan individu di luar sistem peradilan pidana. Kejahatan dianggap permasalahan masyarakat (common public concern) dan pencegahannya tidak lagi dianggap wilayah eksklusif dari spesialis, sekalipun hubungan antara pencegahan kejahatan dan peradilan pidana cukup erat. Di beberapa negara Eropa Timur, pencegahan kejahatan terkait satu sama lain. Pengadilan tidak hanya berfungsi yudikatif tetapi juga mengidentifikasi dan memutuskan penyebab terjadinya kejahatan. Dalam kasus pencurian di tempat kerja misalnya, pimpinan instansi dapat diperintahkan untuk mencegah terjadinya pengulangan kejahatan. Apabila tidak diindahkan maka yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi. Contoh lain keterlibatan masyarakat adalah keberadaan semacam informal tribunal yang dapat menyelesaikan kasus-kasus di sekolah, tempat kerja atau di lingkungan tetangga. Kasus-kasus seperti ini cenderung diselesaikan oleh anggota masyarakat biasa, sehingga ada kaitan antara sistem pencegahan kejahatan yang formal dengan kontrol sosial masyarakat. Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama dari kebijakan kriminal. Sekalipun demikian harus diakui bahwa konsep dan definisinya masih terlalu lemah, sehingga orang cenderung untuk membicarakan pencegahan kajahatan dalam kerangka pendekatan dan model. Secara tradisional, tujuan sistem peradilan pidana bersifat represif dan berkaiatan erat dengan pencegahan kejahatan setelah suatu kejahatan telah terjadi. Konsep pencegahan kejahatan sendiri memfokuskan diri pada campur tangan sosial, ekonomi dan pelbagai area kebijakan publik dengan maksud mencegah kejahatan sebelum kejahatan dilakukan. Dengan demikian pencegahan kejahatan pada dasarnya adalah segala tindakan yang tujuan khususnya adalah untuk membatasi meluasnya kekerasan dan 183

kejahatan, apakah melalui pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan atau dengan cara mempengaruhi pelaku potensial dan masyarakat umum. Umumnya strategi preventif terdiri atas tiga kategori yang mendasarkan diri pada public health model yakni; (a) pencegahan kejahatan primer (primary prevention); (b) pencegahaan sekunder (secondary prevention); dan (c) dan pencegahan tersier (tertiary prevention) . Pencegahan primer adalah strategi yang dilakukan melalui kebijakan sosial, ekonomi dan kebijakan sosial yang lain yang diorientasikan untuk mempengaruhi situasi kriminogenik dan akar kejahatan (pre-offence intervention), seperti kebijakan di bidang pendidikan, perumahan, lapangan kerja, rekreasi, dan sebagainya. Sasaran utama dari model kebijakan ini adalah masyarakat luas. Pencegahan sekunder dapat ditemukan di dalam sistem peradilan pidana dan penerapannya bersifat praktis, seperti yang biasa dapat disaksikan pada peranan polisi dalam pencegahan kejahatan. Sasarannya ditujukan kepada mereka yang dianggap cenderung melanggar. Sedangkan pencegahan tersier terutama diarahkan pada residivisme (oleh polisi atau lembaga-lembaga lain sistem peradilan pidana) dan sasaran utamanya adalah mereka yang telah melakukan kejahatan. Di lain pihak dibedakan pula antara pencegahan sosial (social crime prevention) yang diarahkan pada akar kejahatan, pencegahan situasional (situational crime prevention), yang diarahkan pada pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan, dan pencegahan masyarakat (community based prevention ), yakni tindakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengurangi kejahatan dengan cara meningkatkan kemampuan mereka untuk menggunakan kontrol sosial. Pelbagai pendekatan tersebut bukan merupakan pemisahan yang tegas, namun saling mengisi dan berkaitan satu sama lain. Terdapat kecenderungan untuk meningkatkan keseimbangan antara pencegahan kejahatan yang berorientasi pada pelaku (offendercentered crime prevention) dan yang berorientasi pada korban (victim centered crime prevention) . Internasionalisasi Kejahatan Saat ini sulit sekali untuk membedakan antara kejahatan yang terjadi di negara-negara maju dan kejahatan yang terjadi di negara-negara 184

berkembang. Aspek-aspek kultural, politik dan sosial yang pada masa lalu biasa dijadikan faktor pembeda, kini hampir tidak mungkin dilakukan. Dalam era globalisasi hubungan antara bangsa menjadi sangat mudah sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang transportasi, komunikasi dan jaringan komputer, dan hal ini sangat mempengaruhi gejala internasionalisasi kejahatan. Munculnya istilah shared characteristics adalah menggambarkan meningkatnya kejahatankejahatan kekerasan dan pembunuhan yang merata di kota-kota besar di dunia. Contoh yang paling nyata dan sekaligus amat merisaukan adalah kejahatan obat bius. Dengan demikian nampak bahwa mobilitas besarbesaran individu dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju atau sebaliknya merupakan faktor kriminogin, yang pada perkembangannya memunculkan gejala baru berupa bentuk-bentuk kejahatan terorganisasi. Dari pelbagai pertemuan internasional dapat dirasakan keprihatinan pelbagai negara di dunia akibat eskalasi peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah bentuk-bentuk organisasi kejahatan transnasional yang melampaui batas-batas negara dan menunjukkan kerjasama yang bersifat regional dan internasional. Persoalan yang dimunculkan oleh kejahatan transnasional terorganisasi semakin diwaspadai, karena pelbagai penelitian menunjukkan adanya kaitan erat antara terorisme dengan kejahatan terorganisasi, khususnya dengan sifat-sifatnya yang transnasional dan di luar hukum, seperti penggunaan kekerasan fisik, perdagangan senjata dan obat bius, money laundering, transaksi gelap, penculikan, penggelapan, pemalsuan, perampasan dan pemerasan. Tindak pidana tersebut dapat pula berupa perdagangan wanita, imigran gelap, perjudian, tindak pidana lingkungan dan pencurian benda-benda budaya, bahkan muncul indikasi mulai dilakukannya perdagangan unsur-unsur nuklir (uranium). PBB bahkan menganggap fenomena itu sebagai kejahatan yang dapat membahayakan keamanan dan stabilitas nasional dan internasional, demokrasi, tertib hukum, HAM dan pembangunan ekonomi serta sosial. Sidang Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana di Wina, (21-31 Mei 1996), juga memberikan penegasan bahwa kejahatankejahatan yang harus diwaspadai saat ini meliputi kejahatan transnasional (terorganisasi), kejahatan ekonomi termasuk pemutihan uang, kejahatan lingkungan hidup, kejahatan perkotaan, kejahatan kekerasan, kejahatan yang dilakukan remaja, perdagangan senjata 185

api, kekerasan terhadap wanita, anak-anak, penyelundupan imigran gelap dan tindak pidana korupsi. Sepanjang pembahasan tentang kemungkinan hubungan antara kejahatan transnasional terorganisasi dan terorisme, terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu; pertama negara-negara yang berpendapat keduanya memiliki kesamaan elemen, metode, aktivitas, dan kemungkinan hubungan yang langsung terjadi antara keduanya. Kedua, negara-negara yang menyatakan bahwa walaupun bentuk terorisme dapat dimasukkan dalam definisi kejahatan transnasional yang terorganisasi, namun terdapat perbedaan yang jelas dalam tujuannya, yaitu terorisme mempunyai motif dan tujuan politik sedangkan kejahatan terorganisasi hanya mempunyai tujuan ekonomi semata. Diskusi mengenai terorisme berulangkali menekankan adanya ancaman yang kuat terhadap perdamaian dan pembangunan. Hampir semua negara peserta pada prinsipnya mengutuk kejahatan terorisme dalam segala bentuknya, walaupun beberapa negara lainnya, khususnya Iran, Suriah, Libanon dan Libia, menekankan perlunya pembedaan antara kejahatan tersebut dengan perjuangan rakyat untuk membebaskan wilayahnya dari pendudukan. Strategi Kebijakan Kriminal Internasional Dari perkembangan-perkembangan kejahatan aktual di atas Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana ECOSOC menekankan betapa pentingnya hal-hal sebagai berikut: a. Perlunya peningkatan efisiensi, kejujuran dan peningkatan manajemen dan administrasi peradilan pidana dan sistem yang terkait, dengan menekankan pada usaha memperkuat kemampuan nasional di negara-negara berkembang dalam rangka koleksi, kolasi (pemeriksaan), analisis dan penggunaan data kriminal guna pengembangan dan implementasi kebijakan kriminal yang tepat. b. Perlunya disusun suatu daftar dari inisiatif nasional yang berhasil dalam upaya mencegah kejahatan perkotaan, kenakalan remaja dan kejahatan kekerasan. c. Perlunya segera disusun langkah-langkah, strategi dan kegiatan yang praktis di bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana untuk menghapuskan tindak kekerasan terhadap wanita. d. Peningkatan upaya intensif berupa pelatihan dan pendidikan manajemen peradilan pidana. 186

e. Perlu upaya konkrit internasional untuk memerangi korupsi guna meningkatkan citra pejabat pemerintah yang bersih dan berwibawa. f. Sehubungan dengan semakin meningkatnya pemakaian senjata api dalam kegiatan kejahatan, diusulkan pelbagai hal sebagai berikut: Perlunya pertemuan-pertemuan informal para penegak hukum dan pejabat bea cukai negara-negara untuk membahas usaha menyeragamkan atau harmonisasi hukum mengenai pengaturan penggunaan senjata. Perlu ditingkatkan perundang-undangan nasional di bidang pengaturan senjata api yang lebih komprehensif dan dapat diimplementasikan secara efektif. Perlu ditingkatkannya kerjasama bilateral, regional dan internasional untuk mencegah lalu lintas gelap senjata api, yang cenderung meningkat akibat kurang harmonisnya perundangundangan nasional, peraturan dan kebijaksanaan. Perlunya upaya meningkatkan informasi dan perbaikan statistik penggunaan senjata api serta upaya untuk melakukan tinjauan yang komprehensif perkembangan peraturan penggunaan senjata api di dunia. g. Menggarisbawahi peningkatan kerjasama teknik di bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana sebagai bagian dari proses pembangunan secara menyeluruh dari suatu negara. Untuk ini harus dibentuk kelompok kerja. h. Pemberian prioritas utama pada edvisory services sebagai tanggapan terhadap permintaan internasional, khususnya dari negara-negara berkembang atau negara dengan ekonomi transisi. i. Perlu ditingkatkannya kerjasama dengan badan-badan lain seperti Department for Development Support and Management Services, United Nations International Drug Control Program, Centre for Human Rights, United Nations dan badan-badan regional dan internasional terkait. j. Negara-negara menekankan pentingnya standar-standar dan aturan-aturan PBB di bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dan implementasinya dalam praktek. Beberapa instrumen diusulkan untuk ditinjau kembali mengingat perbedaan sistem hukum sering dianggap sebagai kendala. k. Sehubungan dengan kejahatan transnasional, negara-negara memandang perlu adanya jaringan yang efektif untuk penegakan 187

hukum dan untuk meyakinkan bahwa tidak ada pelaku kejahatan yang dapat menghindari proses peradilan. l. Diperlukan peningkatan mekanisme pertukaran informasi dan pengalaman, evaluasi dan pengembangan langkah-langkah legislatif serta kerjasama teknik. Dalam hal ini pertemuan kelompok ahli antar pemerintah dapat menjadi forum yang diharapkan. m. Perlu segera dibentuk suatu pusat repository informasi internasional mengenai langkah-langkah yang telah diambil oleh negara anggota dan organisasi dalam rangka memerangi kejahatan transnasional terorganisasi. Untuk itu diperlukan adanya United Nations Crime and Justice Information Network. Dalam hal ini perlu dihindari adanya tumpang tindih dengan repository yang sudah ada dari Commonwealth dan the International Criminal Police Organization (ICPO/Interpol). n. Khusus mengenai kekerasan terhadap wanita dan anak-anak ditegaskan perlunya: Pencapaian gender quality dan peningkatan status wanita. Pembaharuan hukum terhadap perlindungan wanita. Pelatihan khusus bagi praktisi, pusat bantuan dan pemberian nasehat untuk membantu korban. Bantuan media massa sangat diperlukan untuk menghindari gender stereotyping. Diperlukan langkah-langkah untuk membantu kelompokkelompok wanita yang rentan. o. Khusus mengenai anak sebagai korban dan pelaku tindak pidana diusulkan antara lain: Perlunya konvensi internasional khusus yang mengacu pada the Inter American Convention on International Traffic in Minors. Ratifikasi terhadap instrumen peradilan remaja. p. Perlu dilanjutkan pengembangan UN Crime and Justice Information Network (UNCJIN) yang berkaitan dengan UN On-Line Crime and Justice Clearing House (UNOJUST) dalam rangka meningkatkan pelaksanaan sistem peradilan pidana yang efektif. q. Negara-negara perlu mendukung 15 resolusi sebagai berikut: Peranan hukum pidana dalam perlindungan lingkungan hidup. Tindakan untuk mengatur senjata api. Deklarasi tentang pembentukan kelompok ahli di bidang korban kejahatan. Pembinaan para pelaku. 188

Administrasi peradilan remaja. Tindakan untuk melawan korupsi, sebagaimana telah diadopsinya The International Code of Conduct for Public Officials. Kerjasama teknik dan layanan antar regional. Dalam hal ini diperlukan kontribusi terhadap UN Crime Prevention and Criminal Justice Fund. Eliminasi terhadap kekerasan terhadap wanita. Kekerasan internasional dan bantuan manajemen sistem peradilan pidana. Tindakan pencegahan terhadap perdagangan gelap anak. Kejahatan dan keamanan publik. Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Manajemen strategis dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Pidana mati. Implementasi dari The Naples Political Declaration and Global Action Plan Against Organized Transnational Crime. n

189

Beberapa Catatan Tentang Hukum Pidana Internasional


Dampak modernisasi dan globalisasi yang melanda dunia karena kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan informatika, tidak hanya membawa manfaat dalam kehidupan umat manusia tetapi juga menimbulkan mudarat yang tidak sederhana. Sebagian ini diakibatkan oleh ulah manusia yang seringkali memanfaatkan perkembangan teknologi untuk memudahkan perilaku jahat yang tidak dikendalikan oleh akal dan hati nurani. Sebaliknya, tidak jarang orang justru menggunakan alat-alat teknologi modern untuk melakukan kejahatan yang bahkan kerap disertai dengan kekerasan yang bertentangan dengan peradaban umat manusia. Contohnya adalah kejahatan perang, agresi, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, pembajakan udara, dan lain-lain. Bahkan di antara kejahatan-kejahatan tersebut tidak jarang pula mengandung karakteristik sebagai kekerasan yang didukung negara (state-sponsored violence). Hukum pidana internasional yang membahas kejahatan internasional dan kejahatan transnasional semakin penting untuk dibahas secara akademis. Problem jenis kejahatan seperti ini bahkan cenderung tumbuh sebagai disiplin hukum tersendiri mengingat eskalasi peningkatannya baik dari segi jumlah, intensitas maupun ancaman yang ditimbulkannya terhadap perdamaian dunia serta keselamatan individu seluruh dunia, cenderung meningkat. Bahaya ini bisa berasal dari negaranegara, perseorangan, atau dari kelompok dengan alasan dan motifnya yang bervariasi, seperti motif politik, ekonomi, etnis dan sebagainya. Tuntutan yang semakin meningkat untuk mengadakan kodifikasi kejahatan-kejahatan internasional tersebut disertai dengan kebutuhan untuk mengadakan kerjasama internasional dalam aspek prosedural 190

sebagai sarana penegakan hukum. Melalui kerjasama tersebut diharapkan dapat diciptakan mekanisme internasional dan yurisdiksi pidana internasional untuk diterapkan (langsung atau tidak langsung) terhadap kejahatan-kejahatan di atas guna melindungi hak-hak fundamental (baik individual maupun kolektif) terhadap segala bentuk ancaman dan pelanggaran dari segala sumber kejahatan, baik publik maupun privat. Belum lagi harus menghadapi corak kejahatan lain yang direstui negara atau state sponsored violations. Berkembangnya pelbagai bentuk kejahatan internasional dan transnasional (misalnya kejahatan komputer dan cybercrimes, kejahatan finansial dan ekonomi, kejahatan lingkungan dan terorisme) harus diimbangi pula dengan perkembangan sistem pengaturan dan pengendalian. Mengingat dimensi bahayanya, saat ini hukum pidana internasional dengan komponen HAM-nya merupakan disiplin yang cukup banyak menarik perhatian sejumlah kalangan, baik pakar, pengajar hukum, pemerintah, organisasi serta lembaga-lembaga baik internasional maupun regional. Orang-orang tersebut terus mendiskusikan teori, doktrin, kerangka, kebijakan untuk melakukan kriminalisasi, teknik dan persyaratan formal kodifikasi, dan aspekaspek prosedural dalam penegakan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pelbagai pendapat yang bersifat adhoc yang seringkali menimbulkan inkonsistensi, ketidakpastian, sulit diprediksi, dan pertentangan dalam menggunakan konsep hukum dan terminologi serta drafting dalam merumuskan konvensi internasional. Dengan demikian pembicaraan tentang hukum pidana internasional hampir pasti akan menyentuh tiga substansi pokok yaitu: (1) kejahatan; (2) prosedur hukum; dan (3) penegakan hukum pidana internasional itu sendiri. Sepanjang mengenai kejahatan, atas dasar perkembangan konvensi internasional dan hukum kebiasaan internasional serta paling tidak satu dari 10 karakteristik, dapat diidentifikasikan 22 kejahatan internasional dan kejahatan transnasional. Kejahatan-kejahatan tersebut meliputi; agresi, kejahatan perang, penggunaan senjata ilegal, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, diskriminasi ras dan apartheid, perbudakan dan kejahatankejahatan sejenis, penyiksaan, eksperimentasi tidak sah atas manusia, perompakan, pembajakan, ancaman dan penggunaan kekerasan terhadap orang-orang yang secara internasional dilindungi, menjadikan warga sipil sebagai sandera, kejahatan obat bius 191

penghancuran atau pencurian atas hazanah warisan nasional, pencurian benda-benda nuklir, penggunaan email secara tidak sah, intervensi terhadap kawat bawah laut, pemalsuan, penipuan dan penyuapan pegawai publik asing. Asas-asas umum dan opini para juri juga merupakan sumber, tetapi harus dirumuskan dalam konvensi internasional. Yang jelas basis doktrinal untuk mengelompokkan kejahatan dalam kategori kejahatan internasional lebih bersifat empiris dan atas dasar konvensi atau kebiasaan internasional. Dalam hal ini paling tidak terdapat tiga persyaratan, yaitu harus berisi baik elemen internasional atau transnasional, atau sebagian dari keduanya, dan disertai dengan elemen kebutuhan (necessity) untuk mengkategorikan sebagai kejahatan internasional. Jadi merupakan perpaduan antara kejahatan terhadap masyarakat internasional (delicto jus gentium) dan pengaruhnya menjangkau kepentingan lebih dari satu negara. Elemen internasional terdiri atas ancaman baik langsung maupun tidak langsung terhadap kedamaian dan keamanan dunia; dan menimbulkan perasaan tergumcang terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan elemen transnasional, mengandung ciri-ciri; menimbulkan pengaruh bagi lebih dari satu negara; menimbulkan pengaruh terhadap warga negara lebih dari satu negara; dan memiliki metode yang melampaui batas-batas bangsa atau negara. Merujuk pada konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi di Palermo, tahun 2000, kejahatan transnasional mencakup empat karakteristik sebagai berikut; 1) dilakukan di lebih dari satu negara; 2) dilakukan di satu negara tetapi bagian substansial dari persiapan, perencanaan, petunjuk atau pengendaliannya dilakukan di negara lain; 3) dilakukan di sebuah negara tetapi melibatkan organisasi kejahatan yang terlibat dalam tindak kejahatan di lebih dari satu negara; atau 3) dilakukan di satu negara tetapi menimbulkan efek substansial bagi negara-negara lain. Selebihnya, elemen necessity lebih berkaitan dengan kebutuhan untuk kerjasama antar negara. Sehubungan dengan konvensi internasional dapat dikatakan bahwa kejahatan internasional adalah tindakan yang dianggap sebagai kejahatan dalam konvensi-konvensi multilateral yang diakui negaranegara dalam jumlah yang signifikan, asalkan instrumennya mencakup satu dari sepuluh karakteristik pidana sebagaimana digambarkan di bawah ini; 192

1)

pengakuan secara eksplisit bahwa perbuatan terlarang tersebut merupakan kejahatan internasional, atau kejahatan di bawah hukum internasional atau suatu kejahatan; 2) pengakuan implisit tentang hakekat perbuatan dengan melakukan larangan, pencegahan, penuntutan, pemidanaan atau sebangsanya; 3) melakukan kriminalisasi perbuatan yang dilarang tersebut; 4) kewajiban dan hak untuk menuntut; 5) kewajiban dan hak untuk memidana; 6) kewajiban dan hak untuk mengekstradisi; 7) kewajiban dan hak untuk bekerjasama di dalam penuntutan, pemidanaan (termasuk bantuan yudisial di dalam proses peradilan pidana); 8) pengaturan tentang landasan yurisdiksi pidana, baik teoritis maupun praktis; 9) rekomendasi untuk membentuk sebuah pengadilan pidana internasional atau mahkamah internasional dengan karakteristik khusus; 10) eliminasi pembelaan diri atas perintah atasan. Dalam kaitannya dengan aspek prosedural dari hukum pidana internasional, terkait di sini tidak hanya yang diterapkan terhadap kejahatan internasional dan kejahatan transnasional, tetapi juga kejahatan nasional murni dengan syarat bahwa di dalam penuntutan dan penegakan hukumnya diperlukan kerjasama internasional sebagaimana yang berlaku bagi kedua yang lain. Dalam hal ini dikenal istilah indirect enforcement methods yang menunjuk pada bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan internasional harus berdasarkan konvensi dan dipercayakan kepada negara-negara pendukung konvensi tersebut untuk melakukan kriminalisasi penuntutan, pemidanaan, ekstradisi dan menyediakan bantuan yudisial dan kerjasama dengan negara pihak yang lain untuk menuntut atau memidana si pelaku. Maka yang harus ditegaskan tidak hanya memidana (Hugo grotius, aut dadere aut punire) sebagai salah satu konsekuensi saja, tetapi juga cara-cara yuridis yang harus dilalui atas dasar asas praduga tidak bersalah (aut dadere aut judicare) mencakup yurisdiksi dan pengecualiannya, bantuan yudisial, pengakuan terhadap keputusan hakim negara lain, transfer dokumen proses pengadilan, transfer terpidana, memperoleh bukti dari negara lain, dan ekstradisi. 193

Selanjutnya, sepanjang menyangkut penegakan hukum, ia harus merujuk pada apa yang dinamakan direct enforcement model. Apabila yang disebut terakhir ini (direct enforcement model) bersifat ganda (dual nature) karena kaitannya dengan kejahatan nasional (melalui ratifikasi), maka indirect enforcement secara eksplisit hanya diterapkan terhadap kejahatan internasional. Sebagai contoh adalah pengadilan pasca Perang Dunia I dan pengadilan pasca Perang Dunia II yang terjadi di Nuremberg dan Tokyo, yang semuanya bersifat adhoc. Dapat disebutkan pula di sini Mahkamah Internasional untuk Rwanda dan negara-negara bekas Yugoslavia. Bahkan saat ini masyarakat internasional telah berhasil merumuskan Statuta Roma 1998 tentang International Criminal Court yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kasus-kasus kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi serta gangguan terhadap pengadilan yang kemungkinan terjadi. Dapat pula dicatat di sini bahwa saat ini berkembang pula pelbagai norma yang diarahkan untuk melindungi HAM individual di dalam konteks proses peradilan pidana. Hal ini dapat berupa konvensi, standar aturan minimum, kode etik, resolusi, dan sebagainya. Dari uraian di atas nampak bahwa hukum pidana internasional pada dasarnya merupakan perpaduan (convergence) antara dua disiplin hukum yang berbeda yang pada akhirnya harus mengembangkan sikap saling mengisi (complementary). Dua disiplin hukum tersebut terdiri dari aspek hukum pidana dari hukum internasional seperti kriminalisasi pelbagai kejahatan internasional atau transnasional dan aspek internasional dari hukum pidana nasional. n

194

Tindak Pidana Perlindungan Terhadap Konsumen Sebagai Mala Per Se


Pembangunan nasional yang semakin meningkat tidak selalu membawa kebahagiaan. Tanpa disertai dengan peningkatan pembangunan kualitas sumber daya manusia maka pembangunan justru akan memunculkan hasil sampingan (by-product) berupa kejahatan atau perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya. Sebagai contoh adalah tindak pidana perlindungan terhadap konsumen. Tindak pidana perlindungan terhadap konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha, baik yang bersifat individual maupun kolektif dalam bentuk kejahatan korporasi (corporate crime) jelas merupakan tindak pidana ekonomi untuk mengganti istilah kejahatan kerah putih yang sering berkonotasi politik (political overtones) sebagaimana pada saat dicetuskan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939. Yang jelas hal ini terkait dengan status si pelaku yang terhormat dan karakter okupasional dari tindak pidana (the occupational charter of the offence). Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang dilakukan tanpa kekerasan (nonviolent), disertai dengan kecurangan (deceit), penyesatan (misprecentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akalakalan (subterfuge) atau pengelakan terhadap peraturan (illegal circumvention) (Muladi, 1977). Di balik itu semua, apa yang terjadi sebenarnya merupakan praktek bisnis yang tidak jujur. Dalam hal perlindungan konsumen, sebenarnya istilah non violence terlalu kabur, kalau tidak disebut menyesatkan, mengingat dalam prakteknya konsumen seringkali terancam bahaya jiwa dan badannya karena produk-produk tertentu yang tidak dijamin segi keamanannya, misalnya produk makanan yang beracun. 195

Hukum Perlindungan Konsumen memang merupakan peraturan yang relatif baru, tetapi tidak berarti bahwa tindak pidana pelaku usaha yang dikategorikan sebagai kejahatan korporasi ini merupakan mala prohibta (menjadi tindak pidana karena dilarang undang-undang). Tindak pidana lingkungan tetap jelas merupakan mal per se (crimes against conscience) yang sepenuhnya tak bisa dibenarkan, karena hakekat perlindungan konsumen adalah perlindungan konsumen terhadap praktek bisnis yang mengandung sifat penyalahgunaan, tidak jujur dan memperdayakan. Hal ini didasarkan atas asas bahwa transaksi penjualan harus didasarkan pada prinsip caveat emptor yang artinya: biarkan pembeli sadar!. Tuntutan pidana, sanksi administratif dan gugatan perdata dilandasi oleh pelbagai konsep dan teori hukum, seperti konsep corporate liability, breach of warranty, negligence dan strict liability. (Cheeseman, 2000). Kriminalisasi tindak pidana perlindungan terhadap konsumen memiliki cukup alasan karena di samping sifatnya sebagai mala per se, juga karena viktimisasinya yang cukup besar, dukungan publik yang kuat, tidak bersifat ad hoc, tetapi terpadu dengan hukum perdata dan hukum administrasi serta etika bisnis. Yang harus dituntut sekarang adalah bukti sekaligus juga merupakan syarat kriminalisasi yang lain adalah law enforcement. Salah satu Pasal yang menarik untuk diberi perhatian adalah Pasal 19 ayat (4) yang menegaskan bahwa: pemberian ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian kesalahan. Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum administrasi tidak menjadikan ne bis in idem proses peradilan pidana. Dengan demikian sifat primum remedium hukum pidana mulai kelihatan. Bahkan sistem pembuktian kesalahan dilakukan secara terbalik (reverse burden of proof). Hal menarik lainnya adalah kecenderungan penerapan strict liability dalam perumusan delik, sehingga unsur kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) tidak tercantum dalam rumusan delik. Demikian pula unsur sifat melawan hukum. Pasal 63 sebenarnya berisi tindakan tata tertib yang juga terkait dengan corporate penalty dalam kerangka corporate criminal liability. Contohnya adalah pencabutan ijin usaha, perintah penghentian kegiatan tertentu yang merugikan konsumen, dan penarikan barang dari peredaran. 196

Kejahatan korporasi, seperti tindak pidana terhadap perlindungan konsumen, terjadi akibat adanya kontradiksi antara tujuan korporasi yang menyimpang berupa prioritas yang berlebihan pada keuntungan melalui pertumbuhan dan pengendalian pasar ditopang oleh karakteristik individual yang bersifat serakah dengan kebutuhan konsumen. Di pelbagai negara kejahatan korporasi terhadap konsumen antara lain bisa berupa produk-produk yang mengandung bahaya, penetapan harga, iklan yang menyesatkan konsumen, dan sebagainya (Box, 1983). Mengingat tindak pidana tersebut biasanya dilakukan oleh orang-orang yang cukup pandai, maka pengungkapan kejahatankejahatan yang terkait menjadi tidak mudah. Jenis kejahatan seperti ini biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Kejahatan tersebut sulit diamati, karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan keahlian profesional dan sistem organisasi yang kompleks; b. Kejahatan tersebut sangat kompleks karena selalu berkaitan dengan kebohongan, kecurangan, penipuan dan seringkali juga berkaitan dengan sesuatu yang ilmiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasikan, melibatkan banyak orang, serta berjalan sudah lama; c. Terjadinya penyebaran tanggungjawab (diffusion of responsibility) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi; d. Penyebaran korban (dalam hal ini konsumen) yang luas dan secara individual seringkali tidak menyadari atau masa bodoh bahwa dirinya merupakan korban tindak pidana (unware crime victim); e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara penegak hukum dan pelaku tindak pidana. Seringkali penegakan hukum ini juga menjadi mahal; f. Peraturan yang tidak jelas, sehingga menimbulkan keraguan dalam penegakan hukum; g. Ambiguitas status pelaku tindak pidana. Dalam tindak pidana ekonomi para pelaku seringkali merasa bahwa perbuatannya secara moral tidak salah (mala prohibita), karena telah melanggar peraturan yang dibuat negara untuk melindungi ketertiban kehidupan modern (Weston, 1987); mereka merasa telah menjalankan prinsip ekonomi dan negara sebenarnya telah terlalu banyak melakukan campur tangan dalam pasar bebas (Silk and Vogel, 1986). 197

Kejahatan ekonomi, baik yang bersifat pribadi (occupational crime) maupun yang bersifat korporatif, tidak semata-mata hanya berkaitan dengan hukum (hukum pidana, perdata dan hukum administratif), tetapi juga bersentuhan dengan etika bisnis. Secara ideal, di dalam masyarakat modern, lembaga dan kegiatan bisnis selalu diharapkan untuk menjadi: tempat yang menyenangkan bagi investasi; enak untuk bekerja; ditopang oleh etika yang luhur; baik untuk membeli maupun menjual; memperhatikan kepentingan publik; pembayar pajak; dan sebagainya (Blomstrom, 1995). Khusus mengenai tindak pidana perlindungan konsumen, pertama kali yang menanggung langsung kerugian adalah konsumen, termasuk perusahaan saingan (competitors ) yang menjalankan usahanya dengan jujur. Tetapi lebih dari itu, sebenarnya terjadi pula proses kerugian secara tidak langsung (indirect victimization) berupa: a. Kerugian negara dalam bentuk waktu dan biaya-biaya penegakan hukum ekonomi (termasuk kejahatan korporasi) yang lebih lama dan lebih mahal dibandingkan dengan penegakan hukum tindak pidana konvensional, mengingat kompleksitasnya baik dalam penyelidikan, penyidikan penuntutan maupun persidangan di pengadilan; b. Kerugian sosial (social damage) dalam kehidupan bisnis yang menopang perekonomian negara, dalam bentuk efek merusak terhadap standar moral bisnis (Box, 1983). Menjalankan bisnis, bekerja, meningkatkan standar hidup termasuk di dalamnya penggunaan dan peningkatan penggunaan teknologi canggih merupakan hak asasi manusia setiap orang di bidang ekonomi dan sosial. Namun demikian, pada saat yang sama pelaksanaan HAM harus pula mempertimbangkan atau tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain, seperti ketertiban umum, rasa aman, moral, dan sebagainya. Untuk itu sangat tepat apabila dalam UU No.8 Tahun 1999 diatur secara terperinci hak-hak dan kewajiban serta tanggungjawab baik berkaitan dengan pelaku usaha maupun konsumen. Bersama-sama dengan sistem pembinaan dan pengawasan, ketentuan pencantuman klausul baku, keberadaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Badan penyelesaian Konsumen dan adanya ancaman pidana, semuanya menggambarkan kebijakan kriminal 198

(criminal policy) yang komprehensif baik yang bersifat preventif maupun represif, bahkan rehabilitatif melalui proses alternatif penyelesaian sengketa atau gugatan perdata. Dengan adanya PERMA tentang Class Action tahun 2002 baru-baru ini, maka ketentuan ini dapat dimanfaatkan masyarakat atas dasar Pasal 46 ayat (1) huruf b, UU No. 8 Tahun 1999. Di masa depan kita harus lebih waspada karena era globalisasi yang ditunjang alat komunikasi, transportasi dan informatika modern, pasti akan dimanfaatkan oleh pelaku bisnis yang jahat untuk memanipulasi budaya konsumerisme dengan cara-cara yang melawan hukum. Globalisasi tidak hanya akan mempermudah dan menyejahterakan kehidupan manusia, tetapi pada saat yang bersamaan, terutama bagi sebagian besar masyarakat yang belum siap, globalisasi juga akan mendatangkan banyak kemudaratan. Dengan demikian globalisasi harus diartikan dalam konteks menciptakan keamanan bersama (Habibie, 2002). Akhirnya perlu diingatkan bahwa efektivitas perundangundangan tidak hanya tergantung pada kualitas perundang-undangan positif yang ada, tetapi juga tergantung pula pada sarana-prasarana pendukung, partisipasi masyarakat, kualitas penegak hukum (termasuk PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No.8 tahun 1999) baik moral, mental maupun intelektualitas, kualitas kepemimpinan, kehendak politik penguasa, dan kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat. Yang terakhir ini penting menjadi perhatian semua pihak, terutama para elite, bahwa dalam kondisi ekonomi yang buruk orang mudah tergoda untuk melakukan tindakan-tindakan melawan hukum. Ini sudah menyerupai hukum besi masyarakat yang terjadi di manapun. n

199

Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime


Persoalan cyberlaw/internet/cyberspace law dalam dekade terakhir menjadi semakin marak dibicarakan banyak kalangan. Sebagai gambaran, dalam Annual Meeting American Business Law Association tahun 2000, hampir separuh kertas kerja yang dikemukakan membahas atau sekurangnya berkaitan dengan masalah cyberlaw. Padahal sebelumnya yang mengemukakan banyak berkaitan dengan persoalan employment law. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cyberlaw telah menjadi medan hukum yang hangat belakangan ini. Hal ini dimungkinkan mengingat dampak dari perkembangan komputer/ internet sebagai basis dari cyberspace dan cyberlaw menjangkau hampir semua segi kehidupan, seperti di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Sebenarnya berbicara tentang kebijakan kriminal sebagai science of response bukanlah perkara yang sederhana sebab akan mencakup disiplin yang luas. Hal ini disebabkan oleh luasnya kausa dan motif berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis komputer dewasa ini (cybercrime/computer crime/computer misuse/computer abuse/computer related crime). Karena itu cybercrime bukan melulu persoalan yuridis belaka, sebab di dalamnya terkait unsur-unsur seperti, kultur tidak bertanggungjawab si pelaku, kecongkakan intelektual si pelaku, anomie of success, sikap tertutup si korban, di samping lemahnya hukum dan pengawasan. Dengan demikian akan nampak nanti bahwa hukum, khususnya hukum pidana, hanya merupakan salah satu saja sarana kebijakan kriminal. Yang akan tampak dalam kebijakan kriminal adalah penonjolan dari kepentingan hukum yang harus dilindungi dalam arti kepentingan hukum yang sah (legitimate 200

interests) baik dari negara, masyarakat maupun kepentingan pribadi, khususnya dalam kaitannya dengan kerahasiaan, integritas dan ketersediaan baik berupa sistem komputer, sistem jaringan, maupun data komputer sendiri. Berbicara tentang kebijakan kriminal (criminal policy) yang mencakup pendekatan penal melalui sistem peradilan pidana, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi yang mengatur ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi yang dapat dijatuhkan, baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment) . Kriminalisasi tentu harus dilakukan secara ekstra hati-hati, jangan sampai justru menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimum remedium (ultima ratio principle) dan menjadi bumerang dalam kehidupan sosial, yaitu berupa krimininalisasi yang berlebihan yang justru mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana formil untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. Kriminalisasi harus memenuhi pelbagai syarat, antara lain bahwa perbuatan tersebut benar-benar menampakkan korban (victimizing) baik aktual maupun potensial, konsistensi penerapan asas ultimum remedium, dukungan publik yang kuat, bersifat komprehensif, dan tidak bersifat ad hoc. Di era demokratisasi seperti saat ini, merumuskan peraturan hukum harus mempertimbangkan secara komprehensif beragam dimensi persoalan. Semua aspirasi (suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional) dan pelbagai kepentingan harus diselaraskan dan diserasikan. Persoalan komunikasi massa menempati posisi yang strategis dalam kehidupan demokrasi, dan ini akan bersentuhan secara langsung tidak hanya dengan persoalan supremasi hukum yang bersifat top down misalnya untuk kepentingan keamanan negara, persatuan dan kesatuan nasional tetapi juga sebaliknya, bottom up, sebab orang cenderung akan melemparkan banyak pertanyaan kritis dan tidak begitu saja menerima suatu produk hukum. Di sini orang akan mempersoalkan hak-hak warga seperti kebebasan berekspresi, kebebasan media, dan masalah-masalah HAM yang lain: persoalan privasi, hak untuk memperoleh informasi, dan sebagainya yang saat ini sangat diperhatikan dalam legislasi positif nasional. Di sinilah relevansi persoalan hak dan kewajiban manjadi penting. 201

Orang masih mencoba menggunakan soft law dalam bentuk code of conduct atau code od ethics seperti misalnya di Jepang (1996) dan di Singapura dalam bentuk Internet Code of Conduct. Bisa juga dalam bentuk hukum administratif yang bersifat semi hard law berupa code of practice seperti yang dirumuskan oleh the Australian Internet Industry Association, 1999. Sarana terakhir adalah kriminalisai berupa penerapan hard law seperti di Singapura dalam bentuk Computer Misuse Act (CMA), 1993 dan di Malaysia dalam bentuk Computer Crimes Act, 1997. Code of conduct, code of ethics dan code of practice sudah masuk wilayah kebijakan kriminal yang kedua yakni penggunaan sarana non penal (prevention without punishment), di samping langkah-langkah yeng bernuansa teknologis yang kompleks (techno-prevention) . Mengingat sifat kejahatan telekomunikasi/internet yang cenderung bersifat lintas negara maka langkah kebijakan kriminal, baik yang bersifat penal maupun non-penal, memerlukan kerjasama internasional; apakah berupa mutual assistance, ekstradisi, maupun bentuk-bentuk kerjasama lainnya. Karena itu dibutuhkan langkahlangkah harmonisasi hukum antar bangsa sebagai bagian dari kerjasama internasional dalam kaitannya double criminality principle. Hukum yang mengatur komunikasi massa mencakup area yang luas, mulai dari media cetak, media penyiaran maupun media telekomunikasi/internet. Uraian di bawah ini akan difokuskan pada kebijakan kriminal yang berkaitan dengan jenis kejahatan yang berbasis pada media terakhir tersebut (cyber media). Pengaturan komunikasi massa termasuk cyberlaw dan cybercrime sangat penting, karena baik korban aktual maupun korban potensialnya sangat luas. Demikian pula jangkauannya, sangat luas dan heterogen dengan kualitas dan persepsi yang berbeda. Substansinya pun beragam, meliputi segala aspek kehidupan baik yang bersifat positif maupun negatif. Ia juga bersifat lintas negara. Penyebarannya cepat dan berlipat ganda, dan informasi muatannya ada yang masih berupa konsep, isu, data, fakta gagasan yang bisa bersifat obyektif dan bisa pula bersifat subyektif. Ada yang bersifat mengajak dan tidak jarang bersifat provokatif. Kepentingan yang terkait bisa kepentingan negara, kepentingan umum, dan bisa pula kepentingan kelompok atau bahkan pribadi.

202

Beberapa Model Regulasi Pengaturan tentang cybercrime pada hakekatnya merupakan pengaturan aspek hukum pidana dari cyberlaw. Boleh dikatakan bahwa sampai saat ini tidak ada definisi yang seragam tentang cybercrime, baik nasional maupun global. Sekalipun demikian, kita bisa mengidentifikasi beberapa karakteristik tertentu dan merumuskan suatu definisi. Cybercrime merupakan suatu istilah umum yang pengertiannya mencakup pelbagai tindak pidana yang dapat diketemukan dalam KUHP atau perundang-undangan pidana lain yang menggunakan teknologi komputer sebagai suatu komponen sentral. Dengan demikian cybercrime bisa berupa: tindakan sengaja merusak properti, masuk tanpa ijin, pencurian hak milik intelektual, perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak, pencurian, dan beberapa tindak pidana lainnya. Cybercrime pada hakekatnya merupakan sisi negatif dari teknologi komputer, dalam arti bahwa ternyata ia juga rentan terhadap perilaku kriminal. Sebagai contoh adalah praktek-praktek implantasi virus yang mencederai komputer di seluruh dunia. Beberapa virus hanya bersifat mengganggu, tetapi jenis virus lain dapat menimbulkan kerusakan yang sangat signifikan terhadap data, program dan hardware. Bank-bank dan pelbagai lembaga keuangan telah kehilangan uang dalam jumlah besar; ada yang melaporkan perbuatan tersebut tetapi ada pula yang merahasiakannya dengan alasan reputasi. Beberapa kejadian di negara maju, data tentang keamanan nasional dan rahasia dagang perusahaan secara melawan hukum telah didownload oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab dan dijual kepada dinas intelijen asing. Yang sangat dirugikan juga para pemilik hak atas kekayaan intelektual yang karyanya diakses tanpa membayar royalti. Belum lagi pelbagai tindak pidana lain, yang melalui pelbagai sarana teknologi canggih para pelakunya dapat menghindarkan diri dari penuntutan dan melakukannya dari negara-negara yang belum memiliki hukum yang mengatur cyberlaw atau cybercrime. Istilah yang digunakan untuk melukiskan jenis kejahatan maya ini bermacam-macam. Singapura dalam UU-nya menggunakan istilah computer misuse, sedangkan Malaysia dalam UU-nya secara tegas menggunakan istilah computer crimes. Persoalan juga timbul apakah kedua istilah tersebut diarahkan kepada kejahatan terhadap komputer (crimes directed at computers), kejahatan yang mendayagunakan 203

komputer (crimes utilizing computers), atau semata-mata kejahatan yang berkaitan dengan komputer (crimes related to computers) . Semuanya terbukti selalu memberikan gambaran yang tidak pas. Tetapi, istilah apapun yang dipakai, pelbagai pihak telah berusaha membuat definisi kerjanya sendiri. The OECD misalnya merumuskan bahwa: Computer abuse (use in the same fashion as computer related crimes) is considered as any illegal, unethical or unauthorized behaviour relating to the automatic processing and the transmission of data. Di Amerika Serikat terdapat pelbagai perundang-undangan yang mengatur cybercrime dalam kaitannya dengan internet, seperti : 1. Access Device Fraud Act of 1984 (18 USC Section 1029); 2. Computer Fraud and Abuse Act of 1986 (18 USC Section 1030); 3. Wire Fraud Statute of 1952 (18 USC Section 1343); 4. Criminal Infringement of a Copyright (the Copyright Act of 1976) (18 USC Section 506 (a)); 5. Counterfeit Trademarks (the Trademark Counterfeit Act of 1984) (USC Section 2320); 6. Mail Fraud (18 USC Section 1341); 7. Conspiracy to Defraud the US Government (18 USC 371); 8. False Statements (18 USC Section 1001); 9. Identity Theft and Assumption Deterrence Act of 1998 (18 USC Section 1028); 10. The Racketeer Influenced and Corrupt Organizations Act (RICO) (18 USC Section 2511); Di samping itu terdapat perundang-undangan lain, di antaranya sebagai berikut: 1. Wire and Electronic Communications Interception of Oral Communications (18 USC Section 2511); 2. Unlawful Access to Stored Communications (18 USC 2701); 3. Transportation of Stolen Goods, Securities, Moneys (18 USC Section 2314); 4. Trafficking in Counterfeit Goods and Services (18 USC Section 2320); 5. Extortion and Threats (18 USC Section 875); Mengenai perjudian melalui internet, ini merupakan persoalan tersendiri. Di satu pihak Pemerintah Federal bisa menerapkan The Wire Act, The Travel Act, The Professional and Amateur Sports Protection Act 204

dan the Interstate Transportation of Wagering Paraphernalia Act, namun di lain pihak merupakan kenyataan bahwa pelbagai negara bagian mengaturnya sendiri-sendiri. Bahkan di lingkungan reservasi Indian dikecualikan dari pengaturan negara bagian atau Federal. Jadi persoalan yang timbul bersifat yurisdiksional; apalagi kalau si penjudi melakukan perbuatannya melalui desktop dari rumah yang relatif sulit diketahui dan bahkan privasinya dilindungi konstitusi. Lebih sulit lagi apabila pusat perjudian terjadi di luar yurisdiksi (offshore betting) yang justru mengijinkan dan menggalakkan perjudian. Corak perjudian ini merupakan rival kasino, khususnya yang berkaitan dengan pajak (revenue). Diperkirakan saat ini di AS terdapat 14 juta online gamblers yang perkiraan revenue-nya kurang lebih 1 milliar dollar US. Perhatian juga banyak ditujukan pada persoalan perbuatan cabul (obscenity) dan adult entertainment and cyberporn, khususnya pornografi anak. Dalam hal ini bisa disebutkan adanya ketentuan tentang Federal Obscenity Law, berupa Transportation of Obscene Matters for Sale or Distribution (18 USC Section 1465) dan Communications Decency Act of 1996. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menganut sistem terbuka dalam regulasi internet, sehingga regulasi yang bersifat sensor represif sangat menonjol. Di Jerman pada tahun 1997 diundangkan the Information and Communications Services Act. Undang-undang ini memungkinkan sensor terhadap propaganda neo-Nazi, pornografi dan kekerasan. Convention on Cybercrime dari Council of Europe terbuka untuk ditandatangani mulai tanggal 23 November tahun 2001 di Budapest. Konvensi ini akan berlaku secara efektif dengan kondisi 5 ratifikasi termasuk paling tidak 3 negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi dan globalisasi yang berkelanjutan dari jaringan komputer. Jaringan komputer dan informasi elektronik menurut pengalaman dapat juga dimanfaatkan untuk melakukan tindak pidana (bersifat kriminogin). Melihat sifat lintas negara dari jaringan komputer dan informasi elektronik, maka diperlukan peningkatan yang efektif, cepat, 205

fungsional dan dapat dipercaya dari kerjasama internasional. Tak terkecuali, termasuk kalangan industri harus secara bersama-sama memerangi cybercrime. Dengan demikian kepentingan yang sah dalam memanfaatkan dan mengembangkan teknologi informasi dapat terlindungi. Lebih dari itu kerjasama internasional ini dipandang sangat penting tidak hanya untuk memerangi cybercrime, tetapi juga untuk meningkatkan pemahaman internasional tentang hal tersebut. Pemahaman bersama ini penting dan diperlukan untuk merumuskan reaksi bersama (common responses) terhadap perkembangan teknologi baru informatika atas dasar standar dan nilai yang sama. Kriminalisasi terhadap pelbagai perbuatan yang masuk kategori cybercrime dan keberadaan pelbagai institusi yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan penyelidikan, investigasi dan penuntutan (baik domestik maupun internasional) sangat diperlukan dan diyakini dapat merupakan langkah pencegahan dan perlindungan terhadap confidentiality, integrity dan availability dari sistem komputer. Pengembangan kerjasama internasional di bidang pidana sangat bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas investigasi dan proses peradilan terhadap pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan sistem komputer (computer related crime) dan memungkinkan pengumpulan alat bukti tindak pidana dalam bentuk elektronik. Kriminalisasi atas dasar konvensi antar negara juga relevan untuk mendekatkan satu sama lain pelbagai hukum pidana domestik, sehingga memudahkan kerjasama internasional. Dalam pengaturan tentang cybercrime hendaknya selalu dijaga keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dan penghormatan terhadap HAM yang fundamental sebagaimana diatur dalam pelbagai instrumen internasional, seperti penegasan hak setiap orang untuk mengemukakan pendapat tanpa tekanan, hak untuk berekspresi, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi, dan hak-hak yang berkaitan dengan penghormatan privasi. Dalam Konvensi tentang Cybercrime, Council of Europe ini, sepanjang berkaitan dengan jenis-jenis kejahatan sebagaimana diatur dalam hukum pidana substantif adalah sebagai berikut : 1. Tindak pidana yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer: a. Akses yang tidak sah (illegal access); b. Intersepsi secara tidak sah (illegal interception); 206

c. Gangguan pada data (data interference); d. Gangguan pada sistem (system interference); e. Salah penggunaan alat (misuse of devices). 2. Tindak pidana yang berkaitan dengan komputer (computer-related offences) : a. Pemalsuan melalui komputer (computer-related forgery); b. Penipuan melalui komputer (computer related fraud); 3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pornografi anak (offences related to child pornography). 4. Tindak pidana yang melanggar hak cipta dan hak-hak yang terkait (Offences related to infringements of copyright and related rights). Dalam Konvensi juga direkomendasikan agar pemidanaan dilakukan terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja dan termasuk di dalamnya bentuk-bentuk tindak pidana pembantuan (aiding or abetting) dan percobaan (attempt). Khusus mengenai kerjasama internasional, hal ini mencakup antara lain: perjanjian ekstradisi, mutual assistance in criminal matters, pemberian informasi secara spontan, dan pembentukan jaringan yang dikelola oleh tenaga-tenaga profesional dalam rangka menjamin terselenggaranya bantuan segera untuk kepentingan investigasi dan peradilan atau untuk kepentingan pengumpulan alat bukti elektronik. Bantuan tersebut meliputi pula pemberian fasilitas atau bantuan lain sepanjang diijinkan oleh hukum nasional masing-masing. Dalam hal ini diatur pula tentang pertangungjawaban korporasi (corporate liability) baik dalam hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi. Ditekankan pula kemungkinan penjatuhan sanksi yang bersifat efektif, proporsional dan dissuasive, termasuk perampasan kemerdekaan. Sedangkan mengenai perbuatan melawan hukum berupa ancaman atau serangan terhadap sistem informasi, sebuah komisi yang dibentuk oleh Masyarakat Eropa menggambarkan beberapa spesifikasi perbuatan sebagai berikut: 1. Akses secara tidak sah dalam sistem informasi (unauthorized access to information systems); 2. Gangguan terhadap sistem (misalnya serangan memutus pelayanan); 3. Memasukkan perangkat lunak jahat yang merubah atau merusak data misalnya memasukkan virus seperti virus I Love You, Mellisa dan Kournikova; 207

4. Intersepsi terhadap komunikasi atau pengupingan. Hal ini bisa membahayakan kerahasiaan dan integrita users ; 5. Penyajian yang keliru dan atau pemalsuan identitas misalnya. Untuk mengatasi hal-hal seperti di atas, komisi berpendapat bahwa di samping diperlukannya informasi dan statistik yang akurat tentang fenomena kejahatan komputer, dipertimbangkan betapa pentingnya rencana aksi untuk memperkuat jaringan pengaman dan menciptakan suatu pendekatan koordinasi untuk menghadapi cybercrime (The Feira Summit of the European Council, June 2000). Di dalam publikasi yang diterbitkan Komisi yang berjudul Creating a Safer Information Society by Improving the Security of Information Infrastructures and Combating Computer-related Crime dikemukakan betapa pentingnya hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya pendekatan yang seimbang untuk mengatasi cybercrime dengan memperhitungkan pandangan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk lembaga penegak hukum, service providers, operator jaringan, kelompok-kelompok industri dan konsumen, dan sebagainya, khususnya dalam rangka merumuskan langkah-langkah legislatif dan non-legislatif; 2. Kebijakan keamanan bersama dan penerapan suatu jaringan yang aman untuk pertukaran informasi administratif; 3. Langkah-langkah efektif untuk menghadapi ancaman terhadap authenticity, integrity, confidentiality dan availability sistem dan jaringan informasi; 4. Sistem hukum yang mampu melindungi sistem informasi dalam bentuk pengaturan yang antara lain mengharuskan agar providers dapat menjamin keamanan dan kerahasiaan pelayanan melalui tindakan teknis dan organisasional yang tepat; 5. Pentingnya keberadaan, pengembangan, penyebaran dan penggunaan yang efektif dari teknologi pencegahan serta pendidikan yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko yang ditimbulkan oleh kejahatan komputer, meningkatkan promosi keamanan teknologi informasi, pengembangan sarana dan tata cara efektif untuk memerangi kejahatan komputer, dan menggalakkan pengembangan lebih lanjut dari mekanisme peringatan dini;

208

6. Pentingnya kebutuhan apa yang dinamakan approximation of substantive criminal law. Approximasi tersebut mencakup kemungkinkan keberadaan pengaturan hukum pidana nasional yang relatif komprehensif untuk menghadapi segala bentuk serangan terhadap sistem informasi. Kesenjangan dan perbedaan yang signifikan pengaturan hukum pidana di pelbagai negara dapat merintangi perjuangan untuk melawan kejahatan. Pengaturan yang seragam antar negara dengan definisi cybercrime yang relatif tepat dapat menjamin prinsip dual criminality dalam kerangka mutual assistance dan ekstradisi, mengingat kejahatan terhadap sistem informasi cenderung bersifat transnasional. Dalam hal yang terakhir ini perlu pula dipikirkan kemungkinan polisi internasional dan kerjasama yudisial (terorisme berupa perusakan fasilitas infrastruktur vital, tidak mustahil pula berupa perusakan sistem informasi yang dapat membahayakan nyawa atau menimbulkan kerugian ekonomi yang besar). Di Singapura, terdapat perkembangan yang menarik. Atas dasar The Computer Misuse Act 1993, terdapat 4 tipe utama tindak pidana, sebagaimana tersurat dan tersirat pada Bab (Section) 3 - 7 yang intinya adalah sebagai berikut: 1. Hacking, yang mengakibatkan suatu komputer menghasilkan suatu fungsi dengan maksud untuk menjamin akses tanpa hak terhadap suatu program atau data yang disimpan oleh di suatu komputer; 2. Unauthorized access dengan maksud untuk melakukan atau memudahkan pelaksanaan suatu kejahatan yang berkaitan dengan harta kekayaan, penipuan, ketidakjujuran atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian/kerusakan jasmaniah; 3. Modifikasi secara sengaja dan tidak sah muatan/kandungan/isi suatu komputer (data, program perangkat lunak komputer, dan databases dengan cara misalnya, memasukkan virus ke dalam sistem komputer; 4. Menggunakan atau memintas (intercepting) suatu pelayanan komputer tanpa hak; ini semacam mencuri pelayanan komputer atau waktu (theft of a computer service or time); 5. Membantu atau mencoba melakukan perbuatan di atas;

209

(Yang dipidana tidak hanya tindak pidana yang dilakukan terhadap komputer dari dalam Singapura, tetapi juga dari luar Singapura dan tindak-tindak pidana yang dilakukan terhadap komputer di luar negeri. Polisi bahkan diijinkan untuk menahan tanpa surat perintah terhadap tersangka yang kuat diduga melakukan tindak pidana). Pada tahun 1998 CMA mengalami amandemen, yang melalui pemberatan pidana dan penciptaan tindak pidana baru berusaha untuk memperkuat perlindungan terhadap sistem komputer yang diatur CMA 1993. Tindak pidana baru tersebut meliputi: 1. Mengganggu atau menggunakan komputer atau secara tidak sah mangungkap access codes atau dengan sarana lain guna memperoleh keuntungan atau tujuan yang tidak sah; 2. Membuka/mengungkap password, kode akses atau dengan cara lain memperoleh akses terhadap program atau data yang disimpan di suatu komputer. Dalam hal ini pemikiran sampai pada confidentiality law; 3. Tindak pidana yang melanggar protected computers untuk kepentingan pertahanan, keamanan, hubungan internasional, eksistensi dan identitas rahasia tentang sumber informasi dalam rangka penegakan hukum pidana, pengaturan tentang infrastruktur komunikasi, perbankan dan pelayanan keuangan dan keamanan publik. (Di pelbagai negara di Asia Pacific sudah terdapat pengaturan yang maju tentang E-commerce Law. Bahkan UNCITRAL: United Nations Commission on International Trade telah mengeluarkan UNCITRALs Model Law on Electronic Commerce). Beberapa Bentuk Kebijakan Kriminal Sekalipun pelbagai negara sudah menunjukkan usaha untuk menuntut dan memidana pelaku tindak pidana cybercrime, pelbagai organisasi dan institusi internasional, dalam rangka kerjasama internasional memandang perlu juga untuk memberikan rekomendasi guna mengatasi perkembangan baru kejahatan tersebut. The G-8 dalam suatu Communique tertanggal 9-10 Desember 1997, dalam rangka the Meeting of Justice and Interior Ministers of the Eight, menyampaikan 10 butir rencana tentang asas-asas dan aksi sebagai berikut:

210

Tidak akan ada tempat perlindungan yang aman bagi mereka yang menyalahgunakan teknologi informasi; Penyidikan dan penuntutan terhadap high-tech crimes internasional harus dikoordinasikan di antara negara-negara yang menaruh perhatian, tanpa melihat di mana akibat yang merugikan terjadi; Aparat penegak hukum harus dilatih dan dilengkapi dalam menghadapi high-tech crimes; Sistem hukum harus melindungi kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem dari perbuatan yang tidak sah dan menjamin bahwa penyalahgunaan yang serius harus dipidana; Sistem hukum harus mengijinkan perlindungan dan akses cepat terhadap data elektronik, yang seringkali kritis bagi suksesnya penyidikan kejahatan; Pengaturan mutual assistance harus dapat menjamin pengumpulan dan pertukaran alat bukti tepat pada waktunya, dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan high-tech crime; Akses elektronik lintas batas oleh penegak hukum terhadap keberadaan informasi yang bersifat umum tidak memerlukan pengesahan dari negara di mana data tersebut berada; Standar forensik untuk mendapatkan dan membuktikan keaslian data elektronik dalam rangka penyidikan tindak pidana dan penuntutan harus dikembangkan dan digunakan; Untuk kepentingan praktis, sistem informasi dan telekomunikasi harus didesain untuk membantu mencegah dan mendeteksi penyalahgunaan jaringan, dan harus juga memfasilitasi pencarian penjahat dan pengumpulan alat bukti; Bekerja di lingkungan ini harus berkoordinasi dengan pekerjaan lain di era informasi yang relevan untuk menghindari duplikasi kebijakan. Rencana Aksi yang dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan jaringan personil yang berpengetahuan tinggi untuk menjamin ketepatan waktu, reaksi efektif terhadap kasus-kasus high-tech transnasional dan mendesain point of contact yang siap selama 24 jam; 2. Mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa personil penegak hukum yang terlatih dan dilengkapi cukup jumlahnya untuk menjalankan tugas memerangi high-tech crime dan membantu badan penegak hukum di negara lain; 211

3. Meninjau sistem hukum yang ada untuk menjamin bahwa telah terjadi kriminalisasi yang memadai terhadap penyalahgunaan sistem telekomunikasi dan komputer serta mempromosikan penyidikan terhadap high-tech crimes; 4. Mempertimbangkan pelbagai isu yang ditimbulkan oleh high-tech crimes sepanjang relevan saat bernegosiasi tentang perjanjian mutual assistance; 5. Melanjutkan untuk memeriksa dan mengembangkan solusi yang dapat dilakukan sehubungan dengan pengamanan bukti-bukti sebelum melaksanakan dan memenuhi permintaan mutual assistance, penyelidikan lintas batas, dan penelusuran data komputer di mana lokasi data tidak diketahui; 6. Mengembangkan prosedur cepat untuk memperoleh lalu lintas data dari seluruh jaringan dan mata rantai komunikasi dan mengkaji jalan untuk secara cepat menyampaikan data tersebut secara internasional; 7. Bekerjasama dengan industri untuk menjamin bahwa teknologi baru dapat memfasilitasi usaha untuk memerangi high-tech crimes dengan cara melindungi dan mengumpulkan bukti yang berbahaya; 8. Menjamin bahwa dalam kasus-kasus penting dan cocok, menerima dan menanggapi untuk saling membantu, permintaan yang berkaitan dengan high-tech crime melalui sarana komunikasi yang cepat dan dipercaya, termasuk voice, fax, atau e-mail, dengan konfirmasi tertulis sebagai tindak lanjut bilamana diperlukan; 9. Menggalakkan lembaga-lembaga internasional yang diakui di bidang telekomunikasi dan teknologi informasi untuk melanjutkan penyediaan di lingkungan sektor publik dan privat, standar bagi teknologi komunikasi dan proses data yang aman dan dapat dipercaya; 10.Mengembangkan dan menggunakan standar forensik yang cocok guna mendapatkan dan membuktikan keaslian data elektronik yang digunakan untuk penyidikan dan penuntutan. Hal yang sama dilakukan oleh Council of Europe yang pada tahun 1995 memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Penggeledahan dan penyitaan (Search and Seizure). Dalam hal ini dewan menekankan bahwa perbedaan dilakukan antara the search of computer systems dan seizure of stored data dan the interception of 212

2.

3.

4.

5. 6. 7.

data. Hukum acara pidana harus mengijinkan lembaga pemerintah yang berwenang untuk memeriksa dan menyita data tersebut sepanjang dimungkinkan oleh hukum nasional; hak tersebut tunduk pada ketentuan perlindungan yang pantas; Pengawasan teknis (technical surveillance). Direkomendasikan bahwa hukum tentang pengawasan teknis agar ditinjau kembali dan bahwa hal ini harus memungkinkan penyidik untuk mengambil tindakan untuk mengumpulkan lalu lintas data dalam penyidikan kejahatan; Kewajiban untuk bekerjasama dengan lembaga. Penyelenggara pelayanan internet diharuskan untuk memungkinkan penyidik memperoleh informasi berkenaan dengan identitas users; petugas sistem komputer yang menyampaikan data jelas-jelas di bawah kontrol mereka; dan jaringan telekomunikasi harus menyediakan peralatan teknologi yang memungkinkan mereka untuk melakukan intersepsi terhadap komunikasi; Bukti elektronik (Electronic evidence). Prosedur pengumpulan, pengamanan dan presentasi bukti-bukti elektronik diatur dalam hukum acara pidana; Use of encryption. Dewan menekankan kebutuhan untuk membatasi penggunaan secara tidak sah dari bahasa sandi (cryptography) berkaitan dengan penyidikan tindak pidana; Riset, statistik dan pelatihan. Lembaga pemerintah harus menyelenggarakan riset, mengumpulkan statistik dan melakukan pelatihan yang tepat; Kerjasama internasional. Dewan mendesak negara-negara untuk ikut dalam persetujuan mengenai bagaimana, kapan dan dalam rangka apa pemeriksaan dan perampasan sistem komputer asing dilakukan. Kerjasama hendaknya merupakan pertukaran bukti yang cepat apabila dibutuhkan oleh negara lain.

Pada tahun 1983 OECD telah mengkaji harmonisasi hukum pidana dan pada tahun 1986 mempublikasikan laporan tentang ComputerRelated Crime: Analysis of Legal Policy yang mengkaji hukum tentang internet dan merekomendasikan kepada anggota-anggotanya agar mengatur hal-hal tertentu secara minimal. Pada tahun 1992 diadopsi Guidelines for the Security of Information Systems dalam hukum pidana tentang cyberabuses. Pada tanggal 27 Maret 1997 diterbitkan Guidelines for Cryptography Policy. 213

Kemudian, dalam manual tentang pencegahan dan pengendalian kejahatan yang berkaitan dengan komputer, PBB menekankan kebutuhan adanya usaha internasional baik di negara maju maupun negara berkembang. Dalam studi dikemukakan bahwa ada dugaan keras bahwa kejahatan komputer telah banyak ditutupi oleh para korban, khususnya korporasi-korporasi tidak berniat untuk mengungkap kerentanan mereka terhadap cyberhackers. Tipe-tipe kejahatan komputer utama yang terjadi adalah fraud, computer forgery, damage to or modifications of computer data or programs, unauthorized access to computer systems and service, and unauthorized reproduction of legally protected computer programs. Prospek Kebijakan Kriminal di Indonesia Pengaturan di Indonesia tentang komunikasi massa yang mencakup media cetak, media penyiaran dan telekomunikasi/internet masih bersifat terfragmentasi. Sebelum ketiga hal tersebut diatur secara sistematis diperlukan semacam umbrella Act yang komprehensif dan dapat menjamin kepentingan yang multidimensional. Sebagai contoh bisa dikaji UU No. 36 Tahun 1999, dalam mengatur tindak pidana terhadap telekomunikasi yang intinya adalah cybercrime nampak sangat sumir dan kurang sistematis serta menimbulkan keengganan dalam penerapannya. Yang diancam pidana adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut; penyelenggarakan telekomunikasi tanpa ijin; penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak menjamin kebebasan pengguna memilih jaringan telekomunikasi lain; penyelenggaran telekomuniukasi tidak memberikan prioritas pengiriman, penyaluran dan penyampaian informasi yang penting; tanpa hak, tidak sah atau memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi atau akses ke jasa telekomunikasi dan atau akses ke jaringan telekomunikasi khusus; penyambungan telekomunikasi khusus ke jaringan lain; memperdagangkan, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi tidak sesuai dengan persyaratan teknis; penggunaan spektrum radio dan orbit satelit tanpa ijin; penggunaan spektrum radio dan orbit satelit tidak sesuai dengan peruntukannya dan saling mengganggu; kapal berbendera asing dan pesawat udara asing menggunakan frekuensi radio di luar peruntukannya; gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi; penyadapan informasi yang 214

disalurkan melalui jaringan telekomunikasi; penyelenggara jasa telekomunikasi atau diterima pelanggan; tidak menjaga kerahasiaan informasi yang dikirim. Sekalipun demikian, dengan melihat sifatnya yang lintas negara dan dimensinya yang luas, secara futuristik Indonesia harus mulai mengkaji kebijakan kriminal untuk menghadapi cybercrimes di atas. Secara umum, uraian di atas dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut: 1. Pendekatan Penal (Menggunakan Sistem Peradilan Pidana): a. Merumuskan sistem peradilan pidana yang tepat, mulai dari kriminalisasi yang rasional sampai dengan merumuskan elemen-elemen hukum acara yang kondusif; Sebagai contoh adalah pengaturan yurisdiksi sebagaimana tercantum dalam Council of Europe Convention, di samping penerapan asas teritorialitas, juga menerapkan yurisdiksi terhadap warga negara yang melakukan tindak pidana di tempat di mana perbuatan tersebut juga diancam pidana dan di luar teritorial negara dan juga sama sekali di luar teritorial negara lain. Di Singapura bahkan berlaku bagi mereka yang dari luar Singapura melakukan perbuatan yang merugikan komputer di Singapura dan pelaku di Singapura yang merugikan komputer luar negeri; b. Sejauh mungkin dihindari kemungkinan terjadinya over kriminalisasi; c. Perumusan kriminalisasi harus dilakukan secara komprehensif sehingga menggambarkan approximasi hukum pidana sebagai safeguard yang sesuai dengan standar antar bangsa; d. Dalam kriminalisasi harus diperhitungkan keselarasan antara HAM dan Kewajiban Asasi; e. Perlu dikaji tentang corporate criminal responsibility dan perluasan yurisdiksi. 2. Pendekatan Non-penal (Prevention Without Punishment): a. Perlu dirumuskan terlebih dahulu Umbrella Act yang mengatur kebijakan tentang komunikasi massa, baik yang bersifat cetak, penyiaran maupun cyber; a. Perlu dirumuskan secara profesional penyusunan Kode Etik, Code of Conduct and Code of Practice tentang penggunaan teknologi informatika; b. Perlu kerjasama antar segala pihak yang terkait termasuk kalangan industri untuk mengembangkan preventive technology 215

4.

5.

menghadapi cybercrime. Sebagai contoh adalah dikembangkannya cyber patrol software yang dapat digunakan oleh Internet Service Provider (ISP) atau Internet Content Provider (ICP) untuk menyaring atau memblok akses ke situs tertentu secara otomatik apabila situs tersebut telah masuk black list. Internet memang bukan jaringan yang aman. Kerjasama Internasional. Mengingat sifat cybercrime yang transnasional, maka diperlukan kerjasama internasional yang intensif, baik dalam penegakan hukum pidana maupun dalam bidang teknologi berupa jaringan informasi yang kuat (mis. 24 hours point of contact) untuk menghadapi kejahatan cybercrime, pelatihan personil yang memadai, harmonisasi hukum dan penyebarluasan kesepakatankesepakatan internasional; Sebagai contoh adalah apa yang dinamakan spontaneous information yakni suatu komitmen untuk tanpa diminta segera menyebarluaskan informasi bilamana ditemukan hal-hal negatif yang dapat dijadikan bahan investigasi, pembuktian, proses peradilan tentang cybercrime bagi negara lain. Secara nasional perlu disusun suatu Rencana Aksi Nasional (National Plan of Action) untuk menanggulangi cybercrime mengingat luasnya proses viktimisasi kejahatan tersebut dan sifatnya yang transnasional. n

216

bagian 3
SISI-SISI PROBLEMATIK HUKUM DI I N D O N E S I A

217

218

Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Bertanggungjawab


Prinsip kemandirian kehakiman yang terbebas dari campur tangan eksekutif merupakan landasan bagi banyak hal dalam kehidupan kita. Hakim tidak hanya menegakkan keadilan antara orang perorang tetapi juga antara warga dan negara. Ia juga harus menjamin bahwa administrasi sesuai dengan hukum dan untuk menjatuhkan vonis atas legalitas penggunaan kekuasaan bagi pihak eksekutif (W. Gurchill). Pelbagai hak dan kebebasan asasi dapat dengan baik dipelihara dalam masyarakat dimana profesi hukum dan sistem yuridis terbebas dari campur tangan dan tekanan (Louis Joinet, UN Rapporteur on the Independence of the Judiciary). Pendahuluan Analisis terhadap topik bahasan di atas tidak mungkin dilakukan secara segmental, mengingat begitu banyak variabel yang terkait di dalamnya dan satu sama lain saling berhubungan. Karena itu analisis tidak bisa lain harus dilakukan secara sistemik, komprehensif dan integral. Pendekatan dan metode bahasan sistemik dan komprehensif integral mengandung keharusan untuk memperhatikan elemenelemen dasar sistem yaitu; orientasi pada tujuan (purposive behavior), bersifat menyeluruh (wholism), keterbukaan (openness), transformasi (transformation), saling keterkaitan (interrelatedness) dan mekanisme pengendalian. Pertama-tama harus disadari bahwa membicarakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab tidak mungkin 219

dilepaskan dari (bahkan merupakan salah satu sub sistem) kondisi umum, visi dan misi pembangunan hukum di era reformasi saat ini, yang secara keseluruhan merupakan bagian integral dari visi dan misi pembangunan nasional. Dalam GBHN 1999-2004 (TAP MPR NO. IV/MPR 1999) digambarkan betapa parahnya kondisi umum bidang hukum, khususnya menyangkut integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian hukum dan keadilan hukum, sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum terwujud. Demikian pula masih kuat dirasakan belum mantapnya langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah, khususnya aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Gejala campur tangan dalam proses peradilan dan tumpang tindih serta kerancuan hukum yang acap masih banyak dijumpai, telah mengakibatkan terjadinya krisis hukum yang berkepanjangan. Salah satu elemen pendukung bagi terwujudnya visi pembangunan nasional berupa terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan RI, adalah manusia Indonesia yang berkesadaran hukum. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang digariskan dalam GBHN juga melihat betapa pentingnya perwujudan sistem hukum nasional, yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM berlandaskan keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini salah satu Arah Kebijakan Hukum yang harus dicapai adalah mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, di samping kebijakan lain baik yang berkaitan dengan aspek institusional, instrumental maupun kultural. Para pendiri Republik Indonesia jauh-jauh sudah menyadari betapa strategisnya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab. Dalam penjelasan pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 ditegaskan bahwa: kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undangundang tentang kedudukan para hakim. Persepsi dari para pendiri Republik tersebut tepat, karena ternyata bahwa persoalan kekuasaan kehakiman yang merdeka juga dianggap sebagai salah satu persoalan hak asasi manusia yang bersifat universal, khususnya di bidang hak sipil dan politik. Baik Piagam PBB (The 220

Charter of the UN)1945, Piagam HAM PBB (The Universal Declaration of Human Rights) 1948 maupun The International Convenant on Civil and Political Rights, 1966, menggambarkan secara tersurat dan tersirat betapa kekuasaan kehakiman yang merdeka penting sekali untuk mencapai sistem keadilan dan perdamaian, pemeliharaan kehormatan individu dan tertib sosial, perlindungan hukum yang setara; bahwa tertuduh harus dianggap tidak bersalah hingga dapat dibuktikan, dalam pemeriksaan yang jujur dan terbuka oleh pengadilan yang kompeten, mandiri, dan adil yang diatur oleh undang-undang; dan bahwa tidak seorangpun menderita karena penangkapan, penahanan atau pembuangan sewenang-wenang. Bahkan seringkali dikatakan bahwa hak-hak yudisial manusia seperti peradilan dan pemeriksaan yang jujur, bebas dari penahanan yang sewenang-wenang, tidak hanya merupakan asas tetapi sudah merupakan hukum (judicial rights as a matter of law, not just principle). Di dalam Beijing Statement of Principles of the Independence the Lawasia region of the Judiciary di Manila, 28 Agustus 1997, dinyatakan antara lain: 1. Kehakiman merupakan institusi nilai yang tertinggi pada setiap masyarakat. 2. Kemerdekaan hakim mempersyaratkan bahwa; hakim memutuskan sebuah perkara sepenuhnya atas dasar pemahaman undang-undang dan terbebas dari pengaruh dari manapun, baik langsung ataupun tidak langsung; hakim memiliki yurisdiksi, langsung maupun tidak langsung, atas segala segala isu yang memerlukan keadilan. 3. Mempertahankan kemandirian kehakiman adalah sesuatu yang esensial untuk mencapat tujuan dan melaksanakan fungsinya yang tepat dalam masyarakat yang bebas dan menghormati hukum. Kemandirian tersebut harus dijamin oleh negara melalui konstitusi dan undang-undang. Selanjutnya untuk memahami ruang lingkup kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikaji UN Basic Principles of Judiciary (1985). Dalam hal ini diuraikan bahwa hal-hal yang terkait di sini adalah sebagai berikut: a. Kemerdekaan hakim (antara lain harus dijamin negara dan diabadikan dalam konstitusi, dihargai oleh pemerintah dan 221

b.

c. d.

e.

lembaga lain, sikap tidak memihak dan bebas dari segala pengaruh, pembatasan, tekanan langsung atau tak langsung, mempunyai yurisdiksi atas segala persoalan dan kewenangan eksklusif untuk memutus berdasarkan hukum yang berlaku, hak stake holder harus dihormati dan proses peradilan harus dilakukan secara jujur, negara harus menyediakan pelbagai sumber daya secara memadai yang memungkinkan peradilan melaksanakan fungsinya); Kebebasan meneyatakan pendapat dan berkumpul (seperti anggota masyarakat lain mempunyai kebebasan untuk berekspresi, berkeyakinan/kepercayaan, berserikat dan berkumpul, hakim bebas untuk membentuk dan ikut dalam asosiasi hakim atau organisasi lain untuk menyalurkan kepentingan, meningkatkan kemampuan dan melindungi kebebasan yudisialnya); Kwalifikasi, seleksi, dan training (harus didasarkan atas integritas dan kemampuan serta bebas dari diskriminasi); Profesionalisme dan imunitas (imunitas personal dalam arti imunitas dari gugatan perdata atas kerugian finansial akibat perbuatan tidak benar atau perbuatan omisi dalam melaksanakan fungsi yudisial); Disiplin, penskorsan, pemindahan/pemotongan (harus didasarkan atas prosedur dan standar yang jujur, adil dan tepat serta dilakukan atas dasar tinjauan yang independen).

Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka Dalam hal sistem pemerintahan negara, dalam penjelasan UUD 1945 antara lain ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Sepanjang berkaitan dengan kebebasan kekuasaan kehakiman, doktrin konstitusional tersebut dalam sejarah kekuasaan kehakiman Indonesia selalu mengalami pasang surut, tergantung kondisi sosial politik yang merupakan super sistem yang melingkupi sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman. Dr. Pompe secara komprehensif telah menggambarkan sejarah Mahkamah Agung Republik Indonesia selama 50 tahun. Digambarkan bahwa kooptasi politik terhadap kehakiman telah dimulai semenjak kemerdekaan sebagai akibat semangat revolusioner di era baru kemerdekaan. Begitu pula pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang ditandai oleh UU no. 19/1964 yang memungkinkan campur 222

tangan eksekutif terhadap peradilan demi kepentingan revolusi. Demikian pula dengan UU no. 13/1965 yang mewajibkan hakim untuk memihak pada kebenaran sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila dan Manipol/Usdek. Selanjutnya di era Orde Baru, pada tahun 1970 muncul UU no. 14/1970 yang menempatkan kekuasaan kehakiman dalam posisi ambigu: segi judicial power berada di bawah MA, namun dalam kerangka administrasi peradilan, kewenangan finansial, administratif dan personalia, berada di bawah Departemen Kehakiman, Departemen Hankam, dan Departemen Agama. Hal ini membuka peluang bagi terjadinya kooptasi politis terhadap kekuasaan kehakiman. Di era reformasi, pada tahun 1999 atas dasar UU no. 35/ 1999 dualisme ini diakhiri, namun sampai saat ini UU tersebut belum diimplementasikan dengan alasan yang tidak jelas. Kondisi tersebut tidak mustahil terjadi karena sistem sosial dan sistem politik akan cenderung mempengaruhi sistem hukum yang berlaku. Selain itu pengertian negara hukum harus diartikan secara dinamis dalam kerangka komparasi dengan konsep Supremacy of General Law yang berkembang di Eropa Kontinental. Di dalam sistem Anglo Saxon, asas stare decisis memungkinkan hakim untuk membentuk hukum (judge made law). Di lain pihak prinsip Rechsstaat lebih dekat pada prinsip Supremacy of General Law di dalam sistem kontinental, yang pada dasarnya tidak memungkinkan hakim untuk menciptakan hukum. Namun demikian pandangan seperti itu sebenarnya sudah berubah. Pandangan bahwa masyarakat dilindungi hukum tidak lagi berlaku, karena masyarakat juga meminta perlindungan terhadap hukum. Hukum tidak lagi semata-mata difungsikan sebagai kekuasaan yang berdaulat, tetapi harus pula dipertanyakan hakekat dan substansi dari hukum tersebut. Dengan demikian hakim harus difungsikan pula peranannya sebagai deputy legislators atau pseudo legislators. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan hak asasi manusia, namun simultan dengan kemerdekaan tersebut manusia juga mempertanyakan sampai seberapa jauh kemerdekaan tersebut juga mengandung tanggung jawab kekuasaan kehakiman. Tanggung jawab yudisial pada dasarnya merupakan value laden concept yang merefleksikan hubungan tertentu antara subyek khususnya hakim dengan nilai-nilai sosial. Dalam hal ini terkandung dua hal penting: 223

kekuasaan kehakiman dan akuntabilitas dalam penggunaan kekuasaan tersebut. Kekuasaan kehakiman mengandung pengertian tidak hanya otoritas hukum tetapi juga kewajiban hukum yang merupakan kekuasaan yang melekat pada hakim dan pengadilan untuk melaksanakan fungsi pemerintahan berupa mengadili dan memutus. Adjudikasi tersebut secara luas mencakup tiga hal: tanggungjawab administratif (manajemen perkara), tanggungjawab prosedural (manajemen peradilan atas dasar hukum acara yang berlaku) dan tanggungjawab substantif (yang berkaitan dengan pengkaitan antara fakta dengan hukum yang berlaku). Sedangkan akuntabilitas yudisial dapat diperinci dalam empat hal sebagai berikut: (a) akuntabilitas politik baik dari hakim secara pribadi maupun kelompok dalam kerangka konstitusi; (b) akuntabilitas sosial atau publik dari hakim, baik pribadi maupun kelompok; (c) akuntabilitas hukum sebagai wakil (vicarious) negara; dan akuntabilitas hukum (personal) dari hakim baik kriminal, sipil maupun disiplin. Kedudukan hakim dan kekuasaan kehakiman di Indonesia menjadi semakin berat sebab mencakup tanggungjawab horizontal dan vertikal sekaligus. Hal ini tersurat dan tersirat dalam irah-irah putusan hakim: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4 ayat (1) UU no. 14/1970), disamping sumpah atau janji menurut agamanya sebelum memangku jabatan, untuk setia kepada Dasar Negara, Konstitusi dan perundang-undangan serta jujur, seksama, tidak diskriminatif dan adil. (Pasal 9 ayat (1) UU no. 14/ 1985). Kekuasaan Kehakiman dan Demokrasi Usaha untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjwab menjadi semakin membesar dalam era reformasi mengingat reformasi sendiri harus diartikan sebagai usaha rasional dan sistematik dari seluruh bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi. Beetham dalam hal ini berpendapat bahwa masyarakat yang demokratis menyerupai bentuk piramid yang ditopang oleh 3 (tiga) pilar utama yaitu, sistem pemilihan umum yang jujur dan adil; jaminan terhadap hak-hak dan kebebasan sipil serta politik; dan sistem pemerintahan yang terbuka, 224

akuntabel dan responsif. Tiga pilar tersebut oleh Beetham dioperasionalkan dalam bentuk 30 indeks demokrasi, dan apa yang disebutnya independence of judiciary from the executive and from all forms of interference masuk dalam kategori indeks pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif. Elemen lain dari pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif yang relevan adalah seberapa jauh eksekutif tunduk pada rule of law, transparasi peraturan dalam menjalankan kekuasaan, peranan kontrol masyarakat dalam administrasi hukum dan akses masyarakat untuk memperoleh keadilan melalui pengadilan, ombudsman dan lembaga peradilan lain apabila terjadi maladministrasi. Dalam pendekatan sistem, suasana reformasi baik nasional maupun global dipandang sebagai masukan lingkungan strategis yang harus diperhitungkan dengan seksama. Di samping masukan lingkungan strategis nasional dan global tersebut harus selalu diperhatikan sistem kendali nasional dalam bentuk perundangundangan positif yang kondusif. Yang harus dikaji pertama-tama adalah keberadaan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 beserta penjelasannya sebagaimana telah diuraikan di atas. Selanjutnya bisa disebutkan di sini TAP MPR RI Nomor X/ MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, yang antara lain memerintahkan adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif yang pada akhirnya menghasilkan UU no. 35/1999 yang akan menjadikan kekuasaan mengadili dan administrasi peradilan dalam kekuasaan satu atap Mahkamah Agung. Selanjutnya harus diperhatikan pula TAP MPR No. VIII/MPR/ 2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000. Penting pula diperhatikan Rekomendasi MPR terhadap Mahkamah Agung : Mahkamah Agung perlu segera melaksanakan UU no. 35/1999 tentang Perubahan atas UU No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung perlu memantapkan kemandiriannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta menjadikan Mahkamah Agung bebas dari KKN. Keprihatinan dunia internasional terhadap kondisi hukum 225

Indonesia termasuk terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman, nampak antara lain dari suatu buku yang berjudul The Rulers Law yang merupakan laporan dari the International Commission of Jurist tentang Indonesia (Oktober 1999). Dalam kaitannya dengan kebebasan kekuasaan kehakiman antara lain disoroti Pasal 11 UU 14/1970 (sebelum diubah oleh UU no. 35/1999), usulan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, usulan dibentuknya komisi yudisial, kedudukan hakim sebagai pegawai negeri sipil, usulan keberadaan hakim non karir, pemberantasan korupsi di pengadilan dan sebagainya. Kerusakan Sistemik dan Usaha Perbaikan Data awal tentang kondisi kekuasaan kehakiman yang dilakukan Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman nampak dari pendapat dan rekomendasi MPR-RI terhadap Laporan Tahunan Mahkamah Agung-RI dalam Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000. Dalam hal ini MPR berpendapat bahwa laporan Mahkamah Agung masih bersifat normatif dan secara umum kurang mengungkapkan daya dan penegakan supremasi hukum. Di sampimg itu terjadinya penumpukan perkara disebabkan karena kinerja Mahkamah Agung yang lamban, kecenderungan pengajuan proses hukum di tingkat kasasi, kurang profesionalnya penanganan perkara di MA, terdapatnya indikasi KKN dan pengaruh pihak-pihak lain di luar MA. Selanjutnya MPR memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Mahkamah Agung, untuk meningkat kan kinerjanya dalam penegakan hukum, perlu segera melakukan pembenahan, misalnya; a. Mahkamah Agung perlu secara terus menerus meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi seluruh jajaran hakim di semua tingkatan agar integritas, moralitas, wawasan, profesionalisme dan keterampilannya mendukung pelaksanaan tugasnya; b. Mahkamah Agung perlu segera menyelesaikan tunggakantunggakan perkara dengan meningkatkan jumlah dan kualitas putusan; c. Mahkamah Agung perlu segera menerapkan asas-asas sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system); d. Mahkamah Agung perlu membuat peraturan untuk membatasi masuknya perkara kasasi. 226

2. Mahkamah Agung perlu segera melaksanakan UU no. 35/1999 tentang perubahan atas UU no. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. 3. Mahkamah Agung perlu memantapkan kemandiriannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta menjadikan Mahkamah Agung bebas dari KKN. Melihat pendapat dan rekomendasi MPR terhadap kinerja Mahkamah Agung di atas, sebenarnya dengan jujur harus diakui bahwa telah terjadi kerusakan sistemik (systemic damage) atas kekuasaan kehakiman di Indonesia baik yang berkaitan dengan aspek struktural institusional, aspek substantif-instrumental maupun aspek kultural. Pelbagai kerusakan tersebut pada akhirnya akan mengganggu sistem peradilan secara keseluruhan dan semuanya akan merupakan penyebab terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab. Prinsip ini baru bisa tegak apabila didukung oleh struktur, substansi dan kultur hukum yang kondusif. Dalam rangka membangun kembali citra positif kekuasaan kehakiman pada umumnya, dan Mahkamah Agung pada khususnya, terapi yang harus dilakukan juga harus bersifat sistemik dan bersifat komprehensif. Hal ini mencakup aspek-aspek sebagai berikut : 1. Aspek Struktural Institusional. a. Perlu dibentuknya dewan pakar (board of experts) di Mahkamah Agung yang dapat memberikan saran kebijakan kepada Ketua MA, diminta atau tidak diminta; b. Perlu segera direalisasikan terbentuknya Komisi Yudisial dengan kenggotaan yang komprehensif dan independen, yang mengawasi perilaku hakim dan pejabat lain di lingkungan kekuasaan kehakiman; c. Perlu segera dibentuk badan independen dengan keanggotaan yang komprehensif yang menangani rekrutmen, promosi dan mutasi hakim dan pejabat lain di lingkungan kekuasaan kehakiman; d. Perlu diaktualisasikan mekanisme institusional yang menangani eksaminasi keputusan hakim; e. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas sistem jaringan informasi dan dokumentasi hukum, pusat pendidikan dan latihan hakim dan pusat pengolahan data di MA; 227

2.

3.

4. 5. 6.

f. Perlu ditingkatkan peranan public relation yang dengan cepat dan profesional dapat menjawab keluhan-keluhan masyarakat terhadap badan-badan peradilan; Aspek Substantif-Instrumental. a. Perlu segera diimplementasikannya UU no. 35 tahun 1999; b. Perlu segera dibuat UU tentang Contempt of Court; c. Perlu segera dilaksanakan revisi perundang-undangan yang mengatur badan-badan peradilan; d. Perlu segera dibuat UU payung (umbrella act) yang mengatur integrated judiciary system, semacam wet R.O. di masa lalu; e. Mendorong segera terbentuknya UU Advokat yang baru; Aspek Kultural. a. Mendorong semangat reformasi dan spirit perubahan yang positif di Mahkamah Agung; b. Menggalakkan semangat profesionalisme yang bertumpu pada ekspertif, tanggungjawab sosial, kesejawatan, ketaatan pada kode etik dan ekonomi; c. Menggalang semangat kebanggaan korps; d. Memerangi secara preventif dan represif KKN di lingkungan kekuasaan kehakiman dan melakukan kampanye anti KKN secara berkesinambungan (sustainable clean hand campaign); Aspek Kepemimpinan; dilakukan dengan membenahi struktur dan personalia kepemimpinan di lingkungan kekuasaan kehakiman atas dasar reward and punishment principle (merit system). Aspek Partisipasi Masyarakat; membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengawasi kinerja badan-badan di lingkungan kekuasaan kehakiman; Peningkatan Kesejahteraan Hakim dan Tenaga Administrasi; peningkatan kesejahteraan di lingkungan kekuasaan kehakiman perlu dilakukan melalui cara dan dari sumber-sumber yang sah.

Penutup 1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab merupakan bagian dari pilar demokrasi yaitu pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif; 2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab tidak mungkin terwujud tanpa dukungan yang kondusif dan memadai dari aspek-aspek struktural-institusional, substantif228

instrumental, kultural, kepemimpinan yang baik dan partisipasi masyarakat serta kesejahteraan yang memadai dari hakim dan pejabat-pejabat lain di lingkungan kekuasaan kehakiman; 3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab harus dipahami dan dihormati oleh siapa saja, baik internal kekuasaan kehakiman maupun eksternal kekuasaan kehakiman yang secara potensial biasa mengganggu/mempengaruhi kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab. 4. Dalam membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab, perlu dilakukan usaha untuk mencapai standar internasional yang sudah diadopsi PBB (UN Basic Principles on the Independence of Judiciary, 1985). n

229

Refleksi dan Rekonstruksi Wajah Hukum Indonesia


Pendahuluan Sebenarnya obsesi bangsa dan negara Indonesia untuk menjadi negara bangsa yang modern dan demokratis sudah nampak pada saat UUD 1945 dirumuskan. Prinsip kedaulatan rakyat di tangan MPR dan prinsip negara hukum merupakan beberapa contoh dari sekian keinginan tersebut. Namun faktor-faktor obyektif dan subyektif yang ada ternyata memberikan warna yang sama sekali berbeda dari yang dicita-citakan sejak semula. Faktor-faktor obyektif pada masa pra-kemerdekaan antara lain tercermin dalam keinginan untuk membentuk negara kesatuan, yang dalam praktek sering dihadapkan dengan fakta-fakta yang tak terelakkan, seperti gerakan separatisme dan primordialisme, situasi perekonomian yang sangat lemah dan sukar bersaing, mental bangsa terjajah yang rendah diri dan terbelakang, euforia kemerdekaan yang seringkali diwarnai dengan kebanggaan apabila bisa melanggar hukum yang diciptakan penjajah, perjuangan fisik untuk merebut Irian Barat, konsep pembangunan politik yang masih bersifat trial and error mulai dari penerapan demokrasi liberal sampai dengan demokrasi terpimpin, konsepsi revolusi belum selesai yang menempatkan kekuasaan eksekutif bersifat dominan terhadap kekuasaan yang lain, ambisi untuk menjadi pelopor dari negara-negara berkembang, dan lain lain perbuatan dalam kerangka nation and character building. Faktor subyektif terletak pada karakter figur pimpinan nasional yang penuh heroisme dan semangat revolusioner ingin menempatkan bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa maju yang lain di dunia, meski dengan taruhan biaya yang sangat mahal. 230

Apabila hal-hal di atas dapat dikategorikan sebagai faktor-faktor internal bangsa dan negara Indonesia, maka faktor eksternal juga berpengaruh besar untuk membentuk kepribadian sistem politik. Faktor eksternal tersebut berupa dahsyatnya situasi perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur untuk menanamkan pengaruhnya di pelbagai negara berkembang, yang ternyata juga sangat mewarnai perkembangan nasional. Dalam situasi demikian, pelbagai kebijakan harus secara simultan dilakukan, dan dengan alasan menerapkan prinsip negara hukum maka pelbagai kebijakan tersebut diterjemahkan dalam bentuk produk hukum. Agar produk-produk hukum tersebut sesuai dengan selera kekuasaan, maka dimulailah kooptasi kekuasaan terhadap hukum, yang memungkinkan terjadinya instrumentalisasi hukum dan politisasi hukum dalam kehidupan sosial. Instrumentalisasi dan politisasi hukum yang menempatkan hukum tidak hanya sebagai dependent variable tetapi juga sebagai independent variable merupakan hal yang wajar baik di negara demokratis maupun di negara otoriter, (pen: pemerintah di negara paling otoriterpun akan mengaku dirinya sebagai negara demokratis), sebab hukum pada dasarnya merupakan hasil dari proses interaksi politik. Namun harus tetap disadari bahwa instrumentalisasi dan politisasi hukum hanya sah apabila dikendalikan oleh asas-asas hukum demokratis yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Instrumentalisasi hukum dan politisasi hukum dapat dilakukan baik melalui proses pembentukan undang-undang (law making process) , proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses penanaman kesadaran hukum (legal awareness process) . Instrumentalisasi hukum yang sehat harus mendasari ketiga proses tersebut dengan asas-asas yang bersifat universal. Pada era Soekarno (Orde Lama), karena pengaruh faktor obyektif dan subyektif serta faktor internal dan eksternal di atas, telah terjadi langkah-langkah praktis dan pragmatis dengan menerapkan konsep instrumentalisasi dan politisasi hukum secara tidak sehat yang pada akhirnya menampilkan sosok wajah hukum yang represif. Salah satu alasan utama yang mendasarinya, adalah mengamankan kepentingan revolusi, yang saat itu menjadi tesis perjuangan politik Soekarno. Sebagai contoh, di dalam UU No. 19 tahun 1964 diatur bahwa demi kepentingan revolusi Presiden dapat mencampuri urusan pengadilan; 231

Ketua Mahkamah Agung merupakan anggota kabinet; dan munculnya Penpres 11 tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversif yang sangat represif dan inkonstitusional. Belajar dari pengalaman di era Soekarno, maka pada era Soeharto (Orde Baru), terutama pada masa-masa awal kekuasaannya, ada itikad untuk menampilkan wajah hukum yang lebih demokratis. Masyarakat hukum pasca 1966, dengan penuh optimisme mengumandangkan gagasan supremasi hukum yang tak jarang pula diliputi nuansa promosi dan perlindungan HAM. Misalnya, pada saat itu sudah muncul Konsep TAP MPRS tentang HAM; lalu UU No. 14 Th. 1970 yang menggantikan UU No. 19 Th. 1964 (tentang Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman) telah mengatur Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan sebagainya. Namun demikian kondisi sosial ekonomi internal yang moratmarit dan faktor-faktor subyektif kepemimpinan nasional yang ingin berkuasa terus menerus, pada akhirnya menumbuhkan sikap-sikap kekuasaan yang hampir selalu bersifat ambivalen, sepert; Undangundang Pemberantasan Kegiatan Subversi tetap dipertahankan; meningkatnya jumlah napol dan tapol, TAP MPRS tentang HAM tidak pernah terselesaikan; pendekatan represif semakin meningkat; kooptasi terhadap kekuasaan kehakiman demi kepentingan politik semakin besar. Dengan dalih pembangunan ekonomi yang membutuhkan ketertiban, hak-hak sipil dan politik diberangus. Instrumentalisasi hukum dan politisasi hukum semakin meningkat tanpa terkendali. Semua langkahlangkah negatif ini dapat digambarkan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM, dan KKN isu yang kelak justru menjadi tema perjuangan mahasiswa dan masyarakat paling dominan untuk menjatuhkannya dari kekuasaan. Era Reformasi Di era reformasi, kejatuhan Orde Baru pada penghujung tahun 1998, memberikan landasan pengalaman bagi sebuah kesepakatan baru bahwa proses demokratisasi harus berjalan di bawah payung supremasi hukum. Dengan kata lain, hukum haruslah memberikan jaminan bagi terselenggaranya sistem yang lebih demokratis. Karena itu aspek perundang-undangan di bidang sosial politik, HAM, pemberantasan KKN, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, penyesuaian terhadap standar-standar baku internasional, perangkat 232

hukum menghadapi pasar bebas, terus dilakukan untuk sesegera mungkin mengatasi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM dan memberantas KKN agar dapat menumbuhkan kepercayaan di dalam dan di luar negeri sebagai pra-kondisi untuk masuk secara terhormat dalam pergaulan internasional. Instrumentalisasi dan politisasi hukum diusahakan untuk selalu mematuhi asas-asas hukum, dengan keyakinan bahwa suatu sistem politik yang baik akan menghasilkan produk hukum yang baik pula. Namun demikian penting dikemukakan, bahwa keinginan ideal seperti di atas, dalam prakteknya terlebih di tengah euforia politik yang tak kunjung mereda bukan perkara yang mudah ditegakan mengingat berbagai hambatan yang dijumpai di lapangan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Prediksi Kehidupan Hukum Apa yang akan terjadi di bidang hukum pada tahun-tahun mendatang tidak akan terlepas dari wajah hukum masa lalu dan masa kini yang tengah kita jalani. Indikator-indikator yang dapat digeneralisasai untuk menggambarkan telah terjadinya kerusakan sistemik di dalam kehidupan hukum sebagai warisan Orde Baru masih nampak jelas kelihatan. Indikator-indikator tersebut antara lain belum terciptanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, karena kesan instrumentalisasi dan politisasi hukum yang menyimpang dari asas hukum masih saja terjadi. Ada kesan yang muncul di tengah masyarakat bahwa hukum masih pilih kasih. Independensi penegakan hukum dari kekuasaan eksekutif masih terus dipertanyakan. Tekanan politis baik terhadap proses pembuatan undang-undang dan penegakan hukum dilakukan secara tidak profesional dan seringkali mengabaikan asas-asas hukum dengan alasan perlunya penerapan transitional justice dalam era reformasi yang sebenarnya lebih mengesankan layman justice. Yang lebih memprihatinkan lagi, para ahli hukum, baik teoritisi maupun praktisi kurang memberikan reaksi secara proporsional dan profesional; semacam keacuhan kolektif, yang pada gilirannya memicu krisis terhadap asas-asas hukum. Sinyalemen masih terjadinya mafia peradilan muncul sebagai sinisme yang meluas di tengah masyarakat tanpa ada langkahlangkah yang signifikan untuk mengatasinya. Ini dapat berakibat 233

munculnya reaksi untuk menentang usaha pengaturan tentang contempt of court yang sebenarnya sangat penting di negara demokrasi, yang selalu mengandalkan adanya dukungan wibawa dan martabat lembaga peradilan yang bersih. Kesadaran hukum baik di lingkungan para penegak hukum maupun masyarakat masih terasa sangat lemah. Kegagalan menciptakan keadilan oleh penegak hukum masih sering terjadi, dibarengi dengan masih banyaknya terjadi tindakan anomis serta perbuatan main hakim sendiri (eigen richting ) di lingkungan masyarakat. Yang terakhir ini, sebagian menggambarkan sikap umum masyarakat yang semakin luruh kepercayaannya terhadap aparat penegak hukum. Sistem peradilan yang terpadu, juga tidak kunjung dapat ditegakkan, yang ujungnya selalu menimbulkan ketidakpuasan bagi pencari keadilan di satu sisi, dan rusaknya citra penegak hukum di sisi yang lain. Masih langkanya panutan dan idola kepemimpinan di bidang penegakan hukum yang diharapkan dapat menjadi prime mover, adalah sisi kelemahan yang lain lagi. Perjalanan sejarah bangsa menunjukkan bahwa efektivitas suatu sistem masih banyak ditentukan oleh kualitas kepemimpinan sebagai pemegang peran utama sistem tersebut. Kehidupan civil society di bidang hukum, cenderung lebih melahirkan sikap memusuhi aparat penegak hukum ketimbang sikap komplementer yang diperlukan. Fungsi legislatif DPR yang secara konstitusional semakin kuat, tetapi karena kurang didukung dengan profesionalisme yang cukup telah mengakibatkan peranan eksekutif tetap saja dominan. Keterlambatan dalam hal ini tidak hanya menimbulkan kesulitan dalam penegakan hukum, tetapi juga mengurangi wibawa hukum, baik di mata bangsanya sendiri maupun bangsa-bangsa lain. Sebagai contoh aktual, tudingan sementara pihak di luar negeri bahwa Indonesia dianggap sebagai negara yang tidak koperatif karena belum mempunyai UU tentang money laundering, terasa merendahkan kalau bukan menyakitkan. Lalu tindakan represif dan koersif yang dilakukan sering tidak berimbang dengan tindakan preventif, misalnya dalam kasus penanganan pelanggaran tata tertib perkotaan. Sikap pemberitaan sejumlah media massa juga terkesan mengembangkan character assasination, stigmatisasi, dan mengabaikan prinsip praduga tidak bersalah, dan bahkan sebaliknya menggunakan pendekatan praduga 234

bersalah. Sementara itu, harmonisasi hukum terhadap standarstandar baku universal di bidang HAM, baik menyangkut hak-hak sipil, politik, sosial, ekonomi, budaya dan hak atas pembangunan, masih jauh dari memadai. Ratifikasi terhadap konvensi internasional lebih mengesankan sebagai langkah windowdressing, ketimbang sebagai langkah-langkah sistematis yang serius. Atas dasar fakta-fakta tersebut, hal-hal yang harus dikembangkan dan dilakukan di masa datang, di samping memperbaiki secara ad hoc kelemahan-kelemahan di atas, secara sistemis harus dilembagakan pemikiran-pemikiran sebagai berikut ; 1. Hukum dalam kehidupan modern harus mendayagunakan peranannya sebagai mekanisme pengintegrasi. Dalam hal ini hukum selain bisa bersifat defensif melembagakan perubahan sosial (dependent variable), juga bisa bersifat aktif bahkan sebagai alat perubahan sosial (independent variable) atas dasar asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab; mencakup proses pembuatan hukum, proses penegakan hukum, dan proses penanaman kesadaran hukum; 2. Hukum tetap harus dipandang dan difungsikan secara konsisten sebagai salah satu unsur utama demokrasi dalam kerangka pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif, di samping adanya sistem pemilihan umum yang jujur dan adil, perlindungan terhadap HAM dan keberadaan masyarakat yang demokratis dan percaya diri. Dalam hal ini hukum harus bisa memberikan landasan hukum yang memadai bagi elemen-elemen demokrasi tersebut; 3. Sebagai unsur utama demokrasi hukum harus menjamin bahwa para penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya secara transparan tunduk pada prinsip rule of law; 4. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pelbagai pengaruh baik internal maupun eksternal, khususnya pengaruh eksekutif harus ditegakkan; 5. Administrasi hukum dan peradilan harus transparan terhadap pengawasan masyarakat yang efektif; 6. Akses yang terbuka bagi masyarakat untuk mencari dan memperoleh keadilan melalui pengadilan, ombudsman dan lembaga-lembaga lain, khususnya terhadap maladministrasi dan kegagalan badan publik dalam menjalankan tanggungjawab hukumnya. 235

Yang sangat memprihatinkan saat ini adalah masih belum tuntasnya proses amandemen terhadap UUD 1945 dan proses pembentukan Mahkamah Konstitusi yang keduanya akan merupakan batu penguji mantap atau tidaknya sistem hukum nasional. Penegakan Hukum Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan kebijakan penerapan substansi hukum oleh penguasa atau rezim sesuai dengan kebijakan sosial yang telah digariskan. Sesuai dengan konteks uraian di atas, maka penegakan hukum pada dasarnya merupakan instrumentalisasi hukum atau politisasi hukum, sebab apapun warna kekuasaan dan corak rezim yang berlaku, hukum selamanya merupakan instrumen yang efektif untuk mengamankan kebijakan sosial yang digariskan. Dalam hal ini istilah supremasi hukum yang merupakan salah satu simbol demokrasi selalu dimanfaatkan untuk menjaga citra ke dalam maupun ke luar negeri. Padahal baik buruknya masih tergantung pada kualitas demokrasi yang dianut oleh penguasa atau rezim yang bersangkutan. Rezim yang baik pasti akan menghasilkan penegakan hukum yang baik pula. Rezim paling otoriterpun akan mendayagunakan hukum sebagai instrumen dengan dalih supremasi hukum dan demokratisasi. Sejarah kehidupan hukum yang terurai di atas menggambarkan dengan jelas pelbagai manipulasi proses instrumentalisasi hukum. Proses instrumentalisasi hukum tidak hanya bersifat nasional untuk percepatan pencapaian tujuan-tujuan politik penguasa atau untuk memberikan pembenaran terhadap kebijakan-kebijakan penguasa atau untuk melindungi kepentingan penguasa baik pribadi maupun kolektif. Penjajah Belanda di masa lalu, mempengaruhi sistem hukum yang berlaku di Indonesia (sekaligus mendukung kebijakan sosialnya), melalui asas konkordansi, yurisprudensi dan doktrin hukum yang diajarkan oleh para sarjana hukum Belanda. Pengaruh tersebut sampai saat ini masih terasa akibatnya. Selain berdimensi nasional, instrumentalisasi atau politisasi hukum dapat pula bersifat internasional sehubungan dengan proses globalisasi yang sarat dengan kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya. Proses globalisasi yang menggeser orientasi konsep kepentingan dan kesejahteraan nasional menjadi konsep kepentingan dan kesejahteraan regional dan global, jelas didominasi atau bias kepentingan negara236

negara kuatdi bidang ekonomi. Standar-standar baku yang lebih menguntungkan kepentingan mereka secara sistematis diterapkan ke seluruh dunia. Standar baku tersebut tidak hanya berkaitan dengan kehidupan ekonomi, tetapi juga di bidang politik sebagai kerangka dasarnya. Sebagai contoh, pasar bebas hanya mungkin terjadi di dalam kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi promosi dan perlindungan HAM, pemerintahan yang transparan dan akuntabel serta kehidupan masyarakat madani yang sehat. Untuk itu, secara sistematis pelbagai negara dunia pada akhirnya harus meratifikasi konvensi internasional yang mengatur standarstandar baku tersebut serta mendayagunakan dispute settlement bodies yang tersedia guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul, tentu dengan pelbagai konsekuensi bagi yang tidak mentaatinya. Tidak begitu peduli apakah suatu bangsa sudah siap atau belum. Sebagai contoh adalah stigma negara non koperatif bagi negara-negara yang tidak segera mengatur money laundering yang sebenarnya membutuhkan persiapan-persiapan yang matang dengan sendirinya menanggung konsekuensi akibat beban stigma tadi. Contoh lain adalah betapa tergopoh-gopohnya Indonesia mengatur Pengadilan HAM sekalipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998 hanya karena tekanan internasional untuk menggelar Pengadilan Internasional apabila Indonesia dinilai tidak mampu dan tidak mau untuk mengadili pelanggaran HAM berat. Instrumentalisasi hukum secara internasional bisa dalam bentuk direct enforcement seperti pengadilan HAM internasional ad hoc (Pengadilan ini mempunyai sifat pimacy terhadap pengadilan nasional, sedangkan Statuta Roma 1998-ICC- menggunakan istilah complementary), bisa juga dalam bentuk indirect enforcement melalui ratifikasi konvensi internasional, hukum kebiasaan internasional, penerapan asas-asas umum, keputusan hakim dan pandangan para hakim. Atau bisa juga melalui keterpaksaan untuk melakukan harmonisasi hukum internasional. Kemudian, instrumentalisasi hukum bisa melalui hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi. Bahkan bisa pula melalui kebijakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispure resolution) atau kebijakan yang bersifat ad hoc. Yang penting adalah sampai seberapa jauh instrumentalisasi hukum atau politisasi hukum tidak menimbulkan kesan telah terjadinya kegagalan penguasa untuk 237

menciptakan keadilan (miscariage of justice) yang bertentangan dengan keadilan yang menjunjung tinggi prinsip fairness dan mutual respect. Batas-batas Instrumentalisasi Hukum Di atas telah diuraikan bahwa instrumentalisasi hukum atau politisasi hukum sulit terhindarkan, mengingat hukum hanya dapat operasional melalui kekuasaan. Hanya saja harus diusahakan agar hukum dan kekuasaan menyatu, dalam arti tidak terpisah dari dan tidak di bawah (subordinated) kekuasaan politik. Kedudukan yang demikian berperan sebagai sarana pengintegrasi pelbagai kepentingan agar secara proporsional hukum dapat mengendalikan sistem check and balances secara sehat. Untuk menghindarkan diri dari penyalahgunaan hukum sebagai instrumen politik, hanya pemikiran dan asas-asas hukum yang bersifat universal yang dapat dijadikan pedoman atau pengendali. Pemikiranpemikiran dan asas-asas hukum tersebut meliputi; (1) keberadan substansi hukum baik materiil maupun formil yang aspiratif (suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan internasional); (2) kekuasaan kehakiman yang merdeka dan akuntabel, selain perlu pula dikembangkan apa yang dinamakan administrasi peradilan dan penegakan hukum yang merdeka dan akuntabel; (3) promosi dan perlindungan HAM; (4) keterpaduan sistem peradilan; (5) perpaduan tindakan preventif dan represif; (6) perpaduan proses litigasi dan non-litigasi; (7) asas non-retroaktif (misalnya evaluasi Amdal Pantai Indah Kapuk, jangan sampai merugikan konsumen. Kalau ada yang salah, pengembangnya yang harus diberi sanksi restoratif; (8) sistemik dan menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc; (9) pembudayaan saksi ahli; (10) persamaan di muka hukum dan menghindari pilih kasih; (11) legitimasi harus diimbangi oleh kompetensi, akuntabilitas dan keadilan; (12) pendidikan hukum masyarakat harus menjaga keseimbangan antara kesadaran hukum yang bersifat top down dan perasaan hukum spontan masyarakat yang bersifat bottom up; (13) secara proporsional melihat sumber-sumber hukum internasional sebagai bagian hukum nasional; (14) menghindarkan diri dari miscarriage of justice dan selalu menjaga konsistensi dan keseragaman dalam pengambilan keputusan terhadap peristiwa hukum yang mempunyai karakter yang sama; (15) lingkungan sosial yang kondusif dan demokratis; (16) kepemimpinan hukum di semua lini yang 238

profesional, berkualitas baik moral maupun intelektual; (17) keberadaan elemen-elemen civil society yang secara komplementer berjuang bersama penguasa untuk merealisasikan supremasi hukum; (18) keberadaan sistem pendidikan hukum dan pelatihan hukum yang terpadu dan dapat menjamin kualitas pengetahuan, keterampilan dan kepekaan sosial lulusannya serta sikap-sikap profesional yang otonom, ahli, penuh rasa tanggungjawab sosial, taat kepada kode etik dan menghormati kesejawatan; (19) keberadaan pakar hukum yang selalu menyerukan kritik dan kebenaran atas dasar kebebasan akademik dan budaya akademik. Instrumentalisasi hukum yang taat asas akan menimbulkan kepercayaan bagi pencari keadilan baik dari dalam maupun luar negeri, dan pada gilirannya dapat memberikan sumbangan dalam reformasi.Tidak dipenuhinya pelbagai standar di atas akan mengakibatkan bahwa total enforcement yang kemudian berkembang menjadi full enforcement setelah dibatasi oleh hukum akan cenderung memunculkan actual enforcement yang penuh dengan diskresi yang legal. Sistem Sosial Hal lain yang perlu dikaji adalah kenyataan bahwa sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan subsistem sosial. Dalam instrumentalisasi hukum diharapkan agar hukum sebagai sarana pengintegrasi dapat mempengaruhi perkembangan sosial. Namun kenyataannya, efektivikasi hukum justru lebih sering dipengaruhi secara signifikan oleh perkembangan sosial, persis seperti yang kita rarasakan saat ini di Indonesia. Dalam kasus Bulogate II misalnya, unsur permainan politik sangat transparan dalam tarik ulur pembentukan Panitia Khusus. Praktek lobbi-lobbi politik dalam penegakan hukum, inkonsistensi dalam penegakan hukum (misalnya tersangka yang kasusnya lebih ringan ditahan, yang sangat berat tidak ditahan) hampir menjadi berita sehari-hari. Demikian pula ributribut tentang KPP HAM Trisakti, akibat DPR terlanjur (atau kebablasan) menetapkan tidak adanya pelangaran HAM berat, padahal substansinya menyangkut wewenang penyidik. Selama Polri sebagai penegak hukum, dan Jaksa Agung masih menjadi bagian eksekutif di bawah Presiden maka kemungkinan timbulnya kesan intervensi eksekutif terhadap administrasi peradilan tetap akan terjadi. Contohnya adalah bantuan beberapa mobil dari suami Presiden 239

kepada Polri melalui Presiden telah dikhawatirkan akan mempengaruhi independensi Polri terhadap eksekutif dan keluarga Presiden. Pengaruh politik saat ini sangat kuat dengan semakin kuatnya Badan Legislatif (DPR) sebagai representasi partai-partai yang mempunyai fungsi-fungsi pengawasan, budget dan legislasi. Seperti diuraikan di atas, fungsi legislasi merupakan salah satu kendaraan yang kuat untuk melakukan politisasi hukum. Di bidang sosial budaya muncul rupa-rupa gejala yang terasa mencemaskan, seperti menguatnya ikatan primordial yang diwarnai oleh kerusuhan-kerusuhan etnis, antar pemeluk agama, separatisme, penafsiran otonomi yang sempit, kecemburuan sosial karena kesenjangan ekonomi, yang seluruhnya sering memunculkan sikapsikap anomis. Penegakan hukum sering kelihatan ragu-ragu, dan dalam banyak kasus karena dipandang membawa dampak politik cenderung diselesaikan di luar pengadilan. Belum lagi masalah pornografi dan narkoba yang merajalela di lingkungn pergaulan anak muda, yang penegakan hukumnya terasa kurang disemangati kerjasama yang baik. Usul untuk membentuk semacam Drug Enforcement Administration (DEA) dengan kewenangan yang luas seperti di USA mungkin dapat dipertimbangkan. Sikap feodalistik dan paternalistik di lingkungan birokrasi juga masih sangat berpengaruh. Contohnya ada Rektor sebuah PTN yang enggan atau malu untuk melaksanakan keputusan PTUN yang memenangkan mahasiswanya. Dia tidak sadar bahwa penyepelean keputusan pengadilan sebenarnya merupakan contempt of court juga. Di bidang ekonomi kondisinya jauh lebih gawat lagi, bahkan dapat dikatakan bahwa krisis multidimensional sebenarnya pertama kali justru dipicu oleh krisis ekonomi yang berkelanjutan. Pengangguran yang mencapai 40 juta orang jelas sangat eksplosif dan dapat mendorong kenekatan yang membabi buta untuk melakukan tindak pidana. Selanjutnya krisis BLBI dengan perlakuan yang sangat lunak (perpanjangan PKPS) jelas akan menimbulkan reaksi sosial terhadap lemahnya penegakan hukum, sebab para ahli hukum beranggapan bahwa secara selektif kasus tersebut dapat dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dan pelanggaran BMPK. Soal keamanan tidak kalah seriusnya. Saat ini aparat keamanan dalam banyak hal terlihat menjadi semakin bingung dan gamang. Penjelasan apa yang bisa diberikan jika tewasnya seorang panglima 240

gerakan separatis bersenjata dalam kontak senjata justru menimbulkan simpati dan menyalahkan aparat keamanan? Sistem pendidikan hukum dan pelatihan hukum dituduh turut andil dalam kekacauan penegakan hukum saat ini. Persoalan standardisasi dan disparitas kualitas masih menonjol antara PTN dan PTS, antara PT di Jawa dan luar Jawa. Sulitnya mencari dana penataran nasional, tidak berkembangnya asosiasi-asosiasi profesi dosen, terbatasnya dana beasiswa untuk pendidikan lanjut sangat dirasakan. Belum lagi kelangkaan dana riset, sudah menjadi cerita lama yang terus berulang. Tuntutan adanya one roof training bagi penegak hukum termasuk pengacara agaknya perlu mulai dipikirkan secara lebih serius. Dengan demikian mereka mempunyai visi, misi dan persepsi yang sama tentang sistem hukum di Indonesia, sedangkan di pengadilan hanya terjadi kompetisi pembuktian untuk mencapai kebenaran materiil. Untuk menutup bagian akhir tulisan ini, penulis merasa perlu mengemukakan beberapa catatan sebagai berikut: (1)Pendapat tentang perlunya diadakan Indonesian Law Summit harus ditanggapi secara positif, sekalipun hal tersebut bukan merupakan ide yang baru. Seminar Hukum Nasional yang sudah diselenggarakan beberapa kali juga dicatat telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang strategis. Apapun namanya pertemuan tersebut, harus dapat menghasilkan Rencana Aksi Nasional di bidang hukum yang operatif dalam suasana reformasi hukum. (2)Pemberantasan KKN yang efektif hanya dapat terjadi bilamana (a) adanya kemauan politik yang kuat; (b) adanya perencanaan strategis yang baik dan komprehensif; (c) adanya kepemimpinan yang profesional dan bermoral di semua lini; dan (d) adanya tekanan sosial yang terus menerus. Salah satu langkah strategis yang dapat diterapkan adalah ditanamkannya agen-agen anti korupsi secara rahasia di instansi-instansi dan lembaga-lembaga yang rawan korupsi. Di samping itu keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi, semoga saja dapat membawa harapan baru. n

241

Kontroversi Seputar Sistem Pembuktian Terbalik


Pendahuluan Semangat untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan bagian tak terpisahkan dari tuntutan reformasi yang harus dilakukan secara menyeluruh pasca runtuhnya sistem kekuasaan otoriter Orde Baru. Setiap orang tentu memiliki tafsir dan pengertiannya sendiri tentang reformasi, termasuk makna praksisnya dalam konteks Indonesia saat ini. Tetapi penulis sendiri cenderung lebih memahaminya sebagai tekad yang dibarengi dengan segenap usaha sistematis dan mendasar dari bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan secara simultan nilai-nilai dasar demokrasi, yang pada ujungnya bermuara pada empat nilai dasar yaitu; (a) asas-asas umum masyarakat demokratis; (b) pemilihan umum yang jujur dan adil; (c) pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan otonom; dan (d) promosi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dalam butir ketiga, terkait semangat untuk menciptakan good governance, yang antara lain berupa gerakan untuk pemberantasan KKN. Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru, segenap upaya untuk menekan bentuk-bentuk penyimpangan kekuasaan yang di era Orde Baru lazim dilakukan, telah diupayakan dan diharapkan sedapat mungkin memberikan kerangka bagi tindakan-tindakan pencegahan baik secara substantif, struktural, maupun kultural. Secara substantif perubahan dimulai dengan terbitnya TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih dan Bebas KKN yang ditindaklanjuti dengan UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Selanjutnya diundangkan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 242

Sebagai pelengkap diterbitkan PP No.65 Tahun 1999 dan PP No.66 Tahun 1999 yang keduanya mengatur tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa dan Keppres tentang Pengangkatan Anggota Komisi tersebut. Secara substantif, saat ini juga sedang disiapkan RUU tentang Money Laundering dan RUU tentang perlindungan saksi, semacam Whistleblower Act atau Protection of Informers di beberapa negara. Dalam hal ini usaha-usaha untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dan mutual legal assistance dengan negara-negara lain harus terus diusahakan, mengingat korupsi dapat pula bersifat transnasional, sebagaimana nampak dari rekomendasi yang dikemukakan oleh pelbagai pertemuan internasional (Anti-Corruption Summit Conference) termasuk apa yang telah dirumuskan oleh OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) berupa OECD Anti Corruption Convention, 1999. Secara struktural, di samping dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang saat ini sudah mulai melaksanakan tugasnya, dibentuk pula Komisi Ombudsman Nasional dengan Keppres No.44 Tahun 2000, yang melalui peran serta masyarakat akan membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan KKN dan meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik. Pada dasarnya lembaga ini berusaha untuk mempromosikan administrative fairness dalam rangka mencapai birokrasi yang bersih dan transparan. Dalam kaitannya dengan aspek struktural atas dasar Pasal 43 ayat (4) UU No.31 Tahun 1999 sudah semestinya harus segera dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat independen, yang pada hakekatnya merupakan koordinator seluruh penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam batas-batas wewenang yang ditentukan dalam UU (RUU tentang Pembentukan Komisi ini sedang disiapkan oleh suatu tim yang dikoordinasikan oleh Departemen Kehakiman dan HAM). Komisi semacam ini sudah dikenal di beberapa negara seperti Hongkong (Independence Commission Against Corruption), Malaysia (Anti Corruption Agency), Singapura (Singapores Corruption Prevention and Investigation Bureau), Thailand (Thailands National Counter 243

Corruption Commission) dan sebagainya. Fungsi lembaga-lembaga ini tidak terbatas pada fungsi investigasi dan penuntutan tetapi juga mencakup fungsi-fungsi seperti pendidikan dan peningkatan kesadaran, fungsi preventif, dan fungsi legislatif. Secara kultural, kampanye anti korupsi terus dilakukan dan secara sistematis lembaga-lembaga pengawas seperti BPK (Badan Pengawas Keuangan) dan sejenisnya, juga lembaga-lembaga penegak hukum lainnya, terus melakukan langkah-langkah preventif, represif dan kuratif untuk memberantas KKN. Apabila pengertian korupsi secara komprehensif telah diatur dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka perbuatan kolusi dan nepotisme telah dikriminalisasikan melalui UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN. Prospek Pengaturan Pembuktian Terbalik Masalah pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian (omkerinl van bewijalast) suatu ide yang sebenarnya bukan sama sekali baru dapat dinilai sebagai kemauan politik sehubungan dengan pernyataan Presiden RI pada saat menyampaikan pidato pengantar dalam rangka menjawab Memorandum I DPR beberapa waktu yang lalu, yang disusul dengan perintah kepada Menteri Kehakiman dan HAM untuk menyiapkan rancangan perundang-undangannya. Dalam hal ini ada pilihan yang mengandung konsekuensi; apakah akan diatur dengan PERPU atau dalam bentuk Undang-undang. Pengaturan dengan PERPU mengandung resiko, karena atas dasar TAP MPR No. III/MPR/2000 kedudukan PERPU secara hirarkis berada di bawah Undang-undang (Pasal 2). Pengaturan pembuktian terbalik PERPU dengan sendirinya secara vertikal akan bertentangan baik dengan KUHAP yang membebankan pembuktian kepada jaksa penuntut umum, maupun dengan UU No.31 Tahun 1999 yang menganut sistem pembuktian terbalik terbatas, dalam arti terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab jaksa penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya (Penjelasan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999). Di samping itu, penggunaan PERPU memerlukan alasan berupa 244

hal ihwal kegentingan yang memaksa yang sekaligus bersifat debatable dan karenanya dapat diduga kalangan DPR akan memperdebatkannya. Mengingat kedudukan PERPU di bawah Undang-undang, maka Mahkamah Agung tentu dapat mengujinya secara materiil. Tetapi, bagaimanapun juga masalah pembuktian terbalik merupakan sesuatu yang bersifat urgen. Karena itu sebaiknya pengaturannya memang melalui undang-undang yang dipersiapkan secara matang (misalnya melalui draft akademis) sehingga tidak terkesan serampangan atau biasa disebut panic regulation , yang ciri-cirinya berupa tidak sistemik, adhoc, jangkauannya pendek, bersifat semata-mata retributif, dan rawan terhadap pelanggaran asas hukum dan HAM. Pengaturan tentang pembuktian terbalik cenderung untuk diatur sebagai bagian integral dari amandemen terhadap UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang antara lain juga menambahkan pasal tentang Ketentuan Peralihan yang belum diatur oleh Undang-undang tersebut. Terlepas dari debat mengenai bentuk perundang-undangannya, yang harus dihargai adalah filosofi di belakang ide tersebut mengandung semangat untuk memberantas KKN. Dalam konteks ini penting untuk dikemukakan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Transparancy International dan PBRC (Political and Economic Risk Consultancy) yang berkedudukan di Hongkong, Indonesia selalu menempati ranking yang memprihatinkan karena masuk dalam ketegori sebagai negara rawan korupsi. Lepas dari kelemahan-kelemahan metodologis karena itu sempat menimbulkan keberatan sejumlah pihak dari penelitian itu, kita harus mengakui fakta-fakta yang menyakitkan ini bahwa korupsi di Indonesia memang sudah bersifat sistemik dan endemik sehingga memerlukan instrumen-instrumen hukum luar biasa untuk menanganinya, tentu sepanjang tidak menyimpang dari pelbagai standar yang berlaku secara universal. Hakekat Pembuktian Terbalik Dalam sistem peradilan pidana sering dikatakan bahwa sistem pembuktian merupakan titik paling strategis, sebab ia sangat rawan terhadap segala bentuk pelanggaran HAM. Kalau hukum acara pidana secara keseluruhan disebut sebagai filter yang menjaga 245

keseimbangan antara kekuasaan negara dengan perlindungan terhadap hak-hak individu, maka sistem pembuktian merupakan inti filter itu sendiri, sebab melalui proses pembuktian akan ditentukan apakah kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti (tersebut dalam Pasal 184 KUHAP) akan menjadikan seorang terdakwa dibebaskan, dilepaskan dari segala tuntutan, ataukah dipidana. Secara universal atas dasar asas praduga tidak bersalah, beban pembuktian dalam kasus kriminal terletak di tangan jaksa penuntut umum sebagai aparat yang berwenang mewakili pemerintah (kekuasaan publik) untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Setiap unsur tindak pidana harus dibuktikan secara sah dan meyakinkan. Dalam hal ini keterangan terdakwa yang dikemukakan di sidang pengadilan merupakan salah satu alat bukti yang sah. Keterangan tersebut bisa atas inisiatif sendiri atau merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, penuntut umum atau penasehat hukum. Isi keterangan bisa berupa pengakuan bisa pula berupa pengingkaran. Sesuai dengan Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, karena itu harus disertai dengan alat bukti yang lain. Hal ini sesuai dengan asas minimum pembuktian bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, sekurang-kurangnya dibutuhkan dua alat bukti yang sah. (Pasal 183 KUHAP). Persoalan muncul sehubungan dengan tuntutan untuk menerapkan asas pembuktian terbalik yang harus dilakukan oleh seorang terdakwa, yang juga diterapkan di beberapa negara sebagai lex apecialis, mengingat sifat beratnya kejahatan-kejahatan tertentu (seperti korupsi, perpajakan, narkotika, perlindungan konsumen dan sebagainya) yang dianggap sebagai extraordinary crimes sehingga penanganannyapun membutuhkan extraordinary instruments. Dikatakan terdakwa, sebab secara universal tidak dikenal pembuktian terbalik yang bersifat umum, sebab hal ini sangat rawan terhadap pelanggaran HAM. Seseorang tidak dapat dituduh melakukan korupsi di luar proceeding (dalam kedudukan sebagai terdakwa) hanya karena yang bersangkutan tidak dapat membuktikan asal-usul kekayaannya. Dengan demikian sekalipun dalam hal ini berlaku asas praduga bersalah; dalam arti diduga melakukan korupsi tetapi beban 246

pembuktian terbalik tersebut harus dalam kerangka proceeding kasus atau tindak pidana tertentu yang sedang diadili berdasarkan Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku. Tanpa adanya pembatasan semacam ini maka sistem pembuktian terbalik pasti akan menimbulkan miscarriage of justice yang bersifat kriminogin. Hal ini penting untuk diperhatikan, sebab fungsi kekuasaan atau penegakan hukum disamping harus mengendalikan kejahatan juga tetap harus melindungi hak-hak individu. Dalam hal ini terkait dengan penyimpangan terhadap asas praduga tidak bersalah dan asas non self incrimination. Pengaturan hukum pidana tidak boleh mengesankan adanya kepanikan yang menyimpang dari asas-asas hukum tanpa dasar dan tanpa restriksi serta limitasi. Sikap berlebihan justru akan menimbulkan ketidakadilan karena mengesankan terjadinya overkriminalisasi dan pengaturan yang tidak proporsional serta membuka peluang untuk terjadinya ekses, seperti pemerasan (extortion) dan rasa was-was di masyarakat yang cenderung menyimpang dari tujuan hukum, yakni rasa kepastian, keadilan, dan sebagainya. Sebagai pembanding di bawah ini akan digambarkan sistem pembuktian terbalik yang berlaku di Britania Raya, Republik Singapura, dan Malaysia. Di Britania Raya, atas dasar Prevention of Corruption Act 1916 terdapat pengaturan apa yang dinamakan praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu yang bunyinya adalah sebagai berikut:
Jika dalam kasus dakwaan terhadap seseorang karena kejahatan di bawah Undang-undang 1906 tentang Pencegahan Korupsi, atau UU 1889 tentang Pelbagai Praktek Korupsi Badan-badan Publik, terbukti bahwa uang, hadiah, atau upah lain dibayar atau diberikan kepada atau diterima oleh seseorang yang memiliki jabatan di lingkungan Kerajaan atau Departemen Pemerintahan atau Badan Publik dari seseorang, atau suatu agen yang memiliki atau berusaha mendapatkan kontrak dari Raja atau Departemen Pemerintahan atau Badan Publik, maka uang, hadiah atau upah tersebut dianggap sebagai pemberian atau pembayaran dan penerimaan yang bersifat korupsi sebagaimana disebutkan dalam undang-undang, kecuali terbukti sebaliknya.

Di Singapura, atas dasar Prevention of Corruption Act (Chapter 241) ditegaskan sebagai berikut: 247

Jika dalam kasus dakwaan terhadap seseorang karena kejahatan di bawah pasal 5 atau 6 terbukti bahwa iming-iming diberikan kepada atau diterima oleh seseorang yang memiliki jabatan di lingkungan pemerintah atau departemen tertentu atau badan publik atau suatu agen yang berusaha untuk mendapatkan kontrak dari Pemerintah atau Departemen Pemerintahan atau badan publik, maka iming-iming atau pemberian tersebut dianggap sebagai pembayaran dan penerimaan yang bersifat korupsi sebagai pelicin sebagaimana disebutkan sebelumnya kecuali terbukti sebaliknya.

Di Malaysia atas dasar The statutes of Prevention of Corruption (1961) diatur pula apa yang dinamakan Presumption of corruption in certain cases yang bunyinya sebagai berikut:
Jika dalam kasus dakwaan terhadap seseorang karena kejahatan di bawah pasal 3 atau 4 terbukti bahwa iming-iming atau sesuatu dibayar atau diberikan kepada atau diterima oleh seseorang yang memiliki jabatan di lingkungan badan publik, iming-iming atau pemberian tersebut dianggap sebagai pemberian atau pembayaran yang bersifat korupsi sebagai pelicin sebagaimana disebutkan sebelumnya, kecuali terbukti sebaliknya.

Selanjutnya atas dasar Undang-undang Akta Malaysia 575, Akta Pencegahan Rasuah 1997 ada kewajiban bagi pegawai badan awam untuk melaporkan transaksi penyogokan dengan ancaman pidana berat bagi yang melakukannya (maksimum 100,000 ringgit atau penjara maksimum atau kedua-duanya). Di Singapura ada ketentuan apa yang dinamakan Non Acceptance of Gifts yang dikeluarkan oleh suatu lembaga atau badan yang memiliki tugas investigasi terhadap korupsi (Corrupt Practices Investigation Bureau), sebagai berikut:
Para pegawai publik tidak dibenarkan untuk menerima hadiah apapun dalam bentuk uang maupun barang dari orang-orang yang memiliki kontak resmi dengan mereka. Mereka juga tidak dibenarkan untuk menerima perlakukan istimewa yang menempatkan mereka berada di bawah kewajiban yang mengikat. Jika seseorang memberikan hadiah kepada orang yang memiliki hubungan resmi dengannya, ia harus menolaknya. Dalam kondisi yang tidak termasuk kategori ini, pegawai tersebut dapat menerima hadiah dan menyerahkannya kepada kepala departemennya. Tetapi pegawai tersebut dibenarkan memiliki hadiah tersebut jika ia membayarnya dengan harga yang ditentukan oleh akuntan publik.

248

Sebagai catatan perlu dikemukan, yaitu apabila akan diatur sistem pembuktian terbalik hendaknya tidak berlaku surut, sebab akan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 ayat (1), di samping bertentangan dengan instrumen-instrumen HAM internasional. Model sebagaimana diterapkan dalam Peradilan ad hoc yang berlaku surut hendaknya merupakan yang pertama dan terakhir mengingat sifatnya sebagai bagian dari the international customary law. Kesimpulan 1. Pengaturan sistem pembuktian terbalik dapat dilakukan, sebab hal ini juga dikenal di beberapa negara, dan harus dipertimbangkan sebagai lex specialis dengan menerapkan asas praduga bersalah. 2. Pengaturan sistem pembuktian terbalik tidak dapat dilakukan secara umum sebab rawan terhadap pelanggaran HAM, sehingga diperlukan restriksi dan limitasi bahwa seseorang harus dalam kedudukan terdakwa terlebih dahulu dalam kerangka proses peradilan dalam kasus atau tindak pidana tertentu, sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku. 3. Di pelbagai negara ketentuan tentang asas pembuktian terbalik berkaitan tindak pidana korupsi tertentu, khususnya tindak pidana suap atau pemberian lainnya yang terkait dengan jabatan dimilikinya untuk melakukan transaksi dengan si pemberi. 4. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik akan berkaitan dengan sistem kewajiban melapor telah terjadinya suap atau pemberian lainnya yang di pelbagai negara dilakukan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. 6. Dalam kaitannya dengan UU No.31 Tahun 1999, pembuktian tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, keterangan tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (tindak pidana pokok) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 249

UU No. 31 Tahun 1999. Dalam hal ini jaksa penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya. 7. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik cenderung diintegrasikan ke dalam undang-undang yang mengatur perubahan atas UU No.31 Tahun 1999. Pengaturan melalui Perpu hendaknya dihindarkan mengingat kedudukan Perpu berada di bawah Undang- undang, di samping adanya persyaratan hal ihwal kegentingan yang memaksa yang bersifat debatable. 8. Ketentuan tentang sistem pembuktian terbalik hendaknya tidak berlaku surut, sebab akan bertentangan dengan UUD 1945 dan Instrumen HAM nasional maupun internasional. n

250

Politik Hukum Pidana, Dasar Kriminalisasi dan De Kriminalisasi, serta Beberapa Asas Dalam RUU KUHP
Berbicara tentang politik hukum pidana (criminal law politics) pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Dengan demikian terkait di sini proses pengambilan keputusan atau pemilihan melalui seleksi di antara pelbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan dari sistem hukum pidana mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusunlah pelbagai kebijakan yang berorientasi pada pelbagai permasalahan pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/ pertanggungjawaban pidana dan pelbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana maupun tindakan). Dalam kerangka di atas, didengar pelbagai aspirasi yaitu dari sisi suprastruktural, Infrastruktural, akademisi, dan kecenderungan internasional yang sejauh mungkin selalu berorientasi pada tujuan publik (public goals) dan menjauhi tujuan individual yang bersifat subyektif (private goals). Dalam merumuskan pembaharuan hukum pidana (criminal law reform) yang bersifat sistemik, tidak bersifat ad hoc dan tambal sulam, bukanlah pekerjaan yang ringan mengingat sifat multidimensi masyarakat Indonesia, yang di satu pihak ingin terus memperhitungkan aspek-aspek partikularistik yang melekat pada agama, etika, moral bahkan kepercayaan pada kekuatan gaib yang bersifat pluralistik, dan di lain pihak menginginkan keberadaan hukum pidana modern yang memenuhi standar baku pergaulan antar bangsa dalam rangka hubungan internasional dan proses globalisasi. Pemilihan yang didasarkan atas pendapat konseptual keahlian 251

yang berlaku juga tidak mudah mengingat banyaknya aliran dalam hukum pidana, asosiasi profesional hukum pidana yang berkembang, dan perbedaan sistem hukum atau keluarga hukum yang ada. Dengan demikian melalui metode perbandingan hukum dan sistem hukum antar negara yang juga pernah mengalami pembaharuan hukum pidana sejauh mungkin dapat digali common denominators dan pelbagai kecenderungan jangka panjang yang dapat diadopsi setelah melalui adaptasi yang akurat. Sepanjang mengenai perbandingan hukum, pelbagai KUHP negara-negara modern telah dikaji, baik yang masuk dalam kategori keluarga hukum Eropa Continental, Negara-negara Anglo Saxon, Sosialis, Timur Tengah dan Timur Jauh, kecenderungan Internasional diamati melalui pelbagai konvensi internasional, model-law, resolusi PBB, code of conduct, standard minimum rules, deklarasi, asas-asas, rules, safeguards, basic principles, guidelines, model treaty, hasil pelbagai kongres internasional, hasil seminar asosiasi hukum pidana, kriminologi, viktimologi internasional, jurnal-jurnal ilmiah dan hasilhasil riset dari lembaga-lembaga terkemuka. Melakukan pembaharuan terhadap kodifikasi hukum pidana yang telah berumur lebih dari 100 tahun bukanlah pekerjaan yang gampang (Nederlandse Wetboek van Strafrecht lahir berdasarkan UU tanggal 2 Maret 1881 Stb. 35 dan mulai berlaku tanggal 1 September 1886 atas dasar Undang-undang pengesahan (Invoeringswet) tanggal 15 April 1886 Stb. 64). KUHP Belanda ini mempengaruhi hukum pidana Indonesia secara mendasar melalui tiga jalur yaitu; (a) melalui asas konkordansi zaman Hindia Belanda; (b) melalui doktrin hukum yang berkembang pada saat KUHP tersebut disusun (MvT); dan (c) melalui text book hukum pidana yang ditulis oleh para sarjana hukum Belanda serta melalui kajian yurisprudensi. Di samping itu tak dapat dikesampingkan perkembangan dalam suasana kemerdekaan pasca UU No.1 Tahun 1946 dan perkembangan akibat harmonisasi dengan perkembangan internasional. (Di era reformasi criminal law reform mendapat misi baru yaitu melakukan demokratisasi hukum pidana seperti promosi dan perlindungan HAM dan sebagainya). Aliran Hukum Untuk dapat memahami hukum pidana yang berlaku di suatu bangsa 252

(hukum positif) termasuk ius constituendum hukum pidana Indonesia berupa RUU KUHP Indonesia, secara strategis perlu dipahami aliran hukum pidana yang dianut dan tujuan pemidanaan yang diadopsi. Aliran pertama yang tumbuh sebagai reaksi tersebut ancien regime yang arbitrair pada abad ke 18 di Perancis adalah aliran klasik. Karakteristik aliran ini adalah: (a) legal definition of crime; (b) let the punishment fit the crime, (c) doctrine of free will; (d) death penalty for some offense; (e) anecdotal method no empirical research; (f) definite sentence. Aliran ini sangat mewarnai KUHP Belanda pada saat pembentukannya, sebagai pengaruh KUHP Perancis, tentunya dengan beberapa modifikasi sebagai akibat pengaruh Aliran Modern. Hukum pidana dalam kerangka Aliran Klasik disebut Daadstrafrecht atau Tatsstrafrecht yakni hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan (offense-oriented). Aliran yang kedua adalah Aliran Modern yang timbul pada abad 19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat (offender-oriented). Aliran ini sering juga disebut aliran positif, karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh masih dapat diperbaiki. Karakteristik Aliran Modern adalah: (a) rejected legal definition of crime and substituted natural crime; (b) let the punishment fit the criminal; (c) doctrine of determinism; (d) abolition of the death penalty; (e) empirical research: use of inductive method; (f) indeterminate sentence. Sekalipun KUHP secara sistemik didominasi Aliran Klasik, namun secara sporadis juga sudah dipengaruhi Aliran Modern, seperti pengaturan tentang pidana bersyarat, masuknya sistem tindakan, dan sebagainya. Aliran Modern disebut sebagai daderstrafrecht atau taterstrafrecht. Aliran yang ketiga adalah aliran Neo Klasik. Aliran ini berkembang bersamaan dengan aliran modern dan berdasarkan juga pada Doctrine of Free Will dengan modifikasi. Aliran ini berusaha secara simultan untuk memperhatikan baik perbuatan maupun si pelaku (offence-offender oriented). Karakteristiknya adalah: (a) modifikasi dari doctrine of free will yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa, atau keadaan lain; (b) diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating circumstances) baik fisikal, lingkungan maupun mental; (c) modifikasi doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringanan 253

pidana dengan pertanggungjawaban sebagian di dalam hal-hal khusus seperti gila, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada saat terjadinya kejahatan; (d) diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert testimony) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban. Aliran Neo Klasik pada dasarnya merupakan gabungan unsur-unsur positif Aliran Klasik dan Aliran Modern dan banyak dianut pelbagai negara di dunia. Masih bisa dicatat di sini aliran-aliran lain seperti Aliran Perlindungan Masyarakat (de leer van de Defense Sociale), Aliran Perlindungan Masyarakat Baru dan Mazhab Utrecht yang menganggap kejahatan sebagai suatu gejala manusiawi dan pernyataan seluruh kepribadian pelaku. Sesudah diadili dan kemudian dipidana atau diperbaiki, selanjutnya harus dipupuk dan dikembangkan. Kepada para penjahat, Aliran Perlindungan Masyarakat ingin memberikan kekuatan mengekang diri sendiri dan memupuk perasaan tanggungjawab penjahat, sebagai pertanggungjawaban sesama manusia terhadap penjahat (de verantwoordelijkheid van de medemens tegenover de delinquent). Dikaitkan dengan teori tujuan pemidanaan, maka pemahaman akan aliran-aliran tersebut akan membawa pembuat kebijakan kepada cakrawala hukum yang lebih luas sebelum mengambil putusan tentang tujuan pemidanaan yang akan digariskan. Dari Pasal 50 RUU KUHP nampak bahwa secara selektif para perancang ingin mengadopsi teori gabungan dari Teori Absolut yang berorientasi pada pembalasan dan Teori Relatif yang bernuansa kemanfaatan, dengan menyertakan pula pengalaman sistem pemasyarakatan yang telah diterapkan di Indonesia selama bertahun-tahun. Pandangan penyelesaian konflik dalam kerangka ekuilibrium mendapatkan pembenaran dari pandangan adat. Teori Pembalasan tidak nampak secara eksplisit, sebab secara implisit pembalasan dalam arti konstruktif dan positif (yang dibatasi oleh kesalahan si pelaku dan tidak membabi buta) dianggap telah tercakup dalam tujuan pemidanaan yang lain. Tujuan pemidanaan yang pertama berupa mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat merupakan refleksi dari teori Prevensi General (menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma). Di sini sekaligus dimasukkan fungsi perlindungan (de beveiligende 254

werking). Sedangkan tujuan yang kedua berupa memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, mencerminkan Teori Prevensi Spesial, yaitu untuk mendidik dan memperbaiki. Tujuan pemidanaan ketiga (menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat) disamping mendapatkan dukungan kultural hukum adat berupa mengembalikan evenwicht, nampaknya secara konseptual mengadopsi pandangan LHC Hulsam yang menyatakan bahwa dua tujuan penting dari pidana adalah mempengaruhi tingkah laku dan penyelesaian perselisihan (gedragbeinvloeding en conflictoplossing). Hal ini mencakup memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh suatu perbuatan, memperbaiki hubungan yang putus dan mengembalikan kepercayaan terhadap sesama manusia. Tujuan pidana yang keempat (membebaskan rasa bersalah pada terpidana) mengandung makna destigmatisasi, di samping mengadopsi pandangan mereka yang menganut Teori Perlindungan Masyarakat di atas, yakni bagaimana memupuk perasaan tanggungjawab penjahat sebagai pertanggungjawaban sesama manusia. Salah satu tokohnya, Kempe, menyatakan: jika pada si penjahat timbul perasaan bersalah, sehingga dengan menyesal dapat menerima bahwa ia merupakan pelaku perbuatan tersebut (wanner bij de dader schuldbewutszijn onstaat, zodat de dader zichzelf bereouwvol kan aanvaarden als de dader van zijn daad). Kriminalisasi Makna asli dari kriminalisasi (criminalization) adalah proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Dekriminalisasi adalah sebaliknya. Dalam perkembangan selanjutnya kriminalisasi dapat diartikan pula sebagai mengaktualisasikan peraturan hukum pidana agar lebih efektif. Contohnya adalah kalau delik lingkungan pada masa lalu dianggap sebagai ultimatum remedium, tetapi tuntutan internasional menghendaki agar fungsi hukum pidana dalam kejahatan lingkungan menjadi primum remedium. Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai usaha untuk memperluas berlakunya hukum pidana. Sebagai contoh diaturnya corporate criminal liability yang bersifat umum dalam RUU KUHP seperti Pasal 51 KUHP Belanda saat ini. 255

Konsep tindak pidana yang dianut tetap mempertahankan asas legalitas, dengan perkecualian diakuinya secara positif hukum yang hidup atau hukum adat, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1 RUU, dan selanjutnya dalam Pasal 15 RUU, sejauh menyangkut unsur sifat melawan hukum maka dimasukan unsur materiil berupa bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Dan apabila terjadi benturan antara keadilan dan kepastian hukum, hakim sejauh mungkin harus mengutamakan rasa keadilan di atas kepastian hukum, seperti dilukiskan dalam sebuah adagium: Penegakan hukum tanpa moral merupakan kezaliman, sebaliknya penegakan moral tanpa hukum merupakan anarki. Mengenai ukuran kriminalisasi dan deskriminalisasi secara doktrinal harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut: a) kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi yang masuk kategori the misuse of criminal sanction; b) kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc; c) kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing) baik aktual maupun potensial; d) kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimum remedium; e) kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable; f) kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik; g) kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialiteit (mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali); h) kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu. Sepanjang menyangkut dekriminalisasi, di samping pedoman kriminalisasi tersebut yang secara terbalik bisa dimanfaatkan, kiranya perlu diingat bahwa Pasal V UU No. 1 Tahun 1946 yang memberlakukan WvS ke seluruh wilayah Indonesia juga memberikan ukuran sebagai berikut: Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai 256

arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku. Hal-hal lain yang dapat ditonjolkan antara lain adalah: 1. Pengakuan hukum adat; 2. Penonjolan keadilan diatas kepastian hukum; 3. Denda dengan sistem kategoris; 4. Diaturnya vicarious liability dan strict liability dalam hal tertentu; 5. Diaturnya corporate criminal liability secara umum; 6. Dirumuskannya tujuan pemidanaan secara jelas; 7. Dirumuskannya pedoman pemberian pidana (standar guidelines of sentencing); 8. Pengaturan sistem tindakan secara tegas; 9. Diaturnya sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial dan pidana pengawasan serta pidana tutupan (custodia honesta); 10. Pidana tambahan berupa ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat; 11. Pidana minimum khusus untuk tindak pidana tertentu; 12. Pidana mati sebagai pidana perkecualian dan diatur pula pidana mati bersyarat (conditional capital punishment); 13. Ada pengaturan khusus tentang pidana dan tindakan bagi anak; ditentukan pula batas usia bagi tanggungjawab pidana: 12 tahun; sanksi alternatif sangat dikembangkan bagi anak antara 12-18 tahun; 14. Pengertian barang meliputi benda berwujud termasuk air dan uang giral, dan benda tidak berwujud termasuk aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa, jasa telepon, jasa telekomunikasi atau jasa komputer; 15. Surat selain yang tertulis di atas kertas, juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik atau media penyimpan komputer atau media penyimpan data elektronik lain. n

257

Politik, Hukum, dan Politik Hukum (I)


Bad laws are the worst sort of tyranny (Edmund Burke) Hubungan antara tiga variabel di atas (politik, hukum, dan politik hukum), penting untuk diletakkan dalam konteks diskursus proses demokratisasi dan reformasi di Indonesia, karena reformasi sendiri pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dasar (core values) atau indeks demokrasi. Nilai-nilai dasar demokrasi tersebut bertumpu pada lima indeks utama yaitu: sistem pemilihan yang jujur dan adil untuk jabatan-jabatan publik; keberadaan pemerintah yang terbuka, akuntabel dan responsif; promosi dan perlindungan hak asasi manusia (khususnya hak sipil dan politik); keberadaan masyarakat yang penuh percaya diri (civil society); dan eksistensi kepemimpinan yang committed pada nilai-nilai dasar demokrasi. Tanpa adanya komitmen terhadap nilai-nilai universal mudah terjadi political malpractice yang bersifat subyektif, sub-standard, yang semua itu hanya akan merugikan kehidupan bangsa dan negara. Dalam praktek, tanpa adanya standar yang baku dan diakui secara universal, negara yang paling otoriter sekalipun akan menyatakan dirinya sebagai negara demokratis. Secara ideal demokrasi menunjuk lebih dari sekedar mesin politik, tetapi juga mengandung pandangan hidup suatu masyarakat. Tinggi rendahnya standar demokrasi tergantung dari pelbagai faktor pendukung, seperti tingkat kemajuan sosial-ekonomi, kualitas golongan menengah, kualitas kepemimpinan, dan yang penting juga 258

disebut adalah penafsiran tentang makna relativisme kultural. Seperti kata sebuah ungkapan: there is probably no single word which has been more meanings than democracy (Cord. dkk, 1999). Pemahaman tentang demokrasi ini akan membawa kita pada diskursus tentang tiga variabel judul di atas. Istilah politik dapat diartikan sebagai the human interactions involved in the authoritative allocations of values for society. It involves people deciding, or having decided for them, how to distribute material goods and services, or even symbolic values, and it includes the procedures and power plays involved in reaching, those decisions. (Medelros, 1991). Politik dan kekuasaan tak dapat dipisahkan, sebab politik akan selalu melibatkan kelompok-kelompok orang dengan pelbagai konflik kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan. Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa yang membedakan politik negara (politics of the state) dan politik organisasi lain dalam masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya dengan menggunakan atau menerapkan ancaman sanksi dan kekuatan yang sah berdasarkan hukum. Dalam sistem politik para pengambil keputusan selalu mempertimbangkan masukan berupa tuntutan dari kelompokkelompok kepentingan dan dukungan masyarakat yang percaya pada ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi, mereka merumuskan keluaran berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan, antara lain dalam bentuknya yang utama yaitu berupa pelbagai produk hukum dan kebijakan umum. Apabila ingin berkembang maka sebuah sistem politik harus memiliki mekanisme untuk menyerap umpan balik. Kesimpulannya, ingin ditegaskan bahwa hukum dan politik hukum (legal policy) pada dasarnya merupakan produk dari sistem politik. Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang berlaku. Sebagai contoh: haatzaai artikelen warisan kolonial; UU No. 19 tahun 1964 yang memungkinkan Presiden demi kepentingan revolusi mencampuri pengadilan, UU No. 11 PNPS 1963 pada zaman Orde Lama dan diteruskan zaman Orde Baru, digunakan untuk kooptasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif atas dasar Pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 dan lainlain. Ingat pula pengaruh hukum Belanda yang secara sistematis 259

dilakukan melalui asas konkordansi, yurisprudensi, dan doktrin hukum. Politisasi hukum terjadi di semua lini aktivitas hukum, baik proses pembuatan hukum (law making process), proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses penciptaan kesadaran hukum (law awareness process) . Di atas disebutkan bahwa keluaran tidak hanya berupa keputusan hukum, tetapi juga tindakan. Dalam sistem politik atau suatu rezim yang berlaku, maka aparatur pendukung biasanya sudah dibentuk untuk secara konsisten mempertahankan jiwa dan semangat sistem politik tersebut, termasuk para hakim yang mestinya merupakan deputy legislators ikut serta dalam semangat mesin politik. Karena itu tidak heran apabila dalam sistem politik yang buruk muncul malpractice of law atau miscarriage of justice berupa pelanggaran hukum dan HAM, yang dalam istilah politik biasa disebut crimes by government atau political crimes yang bersifat ekstra yudisial. Praktek penyimpangan itu biasanya baru terungkap setelah terjadi pergantian rezim. Yang menarik adalah para penentang rezim otoriter yang sedang berkuasa dinyatakan telah melakukan crimes against government. Uraian di atas menempatkan hukum sebagai dependent variable dan politik sebagai independent variable. Dalam masa transisi dari suatu rezim otoriter menuju rezim demokratis terjadi pergeseran nilai yang mengakibatkan hukum mempunyai fungsi ganda (dual function). Artinya proses politisasi hukum tetap terjadi oleh rezim baru yang reformis dan demokratis, di mana hukum digunakan untuk membongkar dan mempengaruhi agar tatanan sosial menjadi aspiratif dan demokratis. Yang terakhir ini sekaligus memfungsikan hukum sebagai independent variable terhadap kehidupan sosial politik. Dalam hal ini bisa dilihat pelbagai produk perundang-undangan yang muncul setelah TAP MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara. TAP MPR tersebut antara lain memuat politik dan strategi reformasi sistem hukum, baik yang bersifat struktural, substantif, maupun kultural. Nonet (1988) dan McLean (1999) mengidentifikasikan bahwa baik menempatkan hukum sebagai independent variable maupun sebagai dependent variable sama-sama mengundang bahaya dengan konotasi yang berbeda-beda. Dalam rezim yang otoriter yang mempraktekkan model 260

hukum yang represif nampak beberapa karakteristik sebagai berikut: hukum berburu ketertiban dan mengesampingkan keadilan; hukum diciptakan dan digunakan secara ad hoc dengan pendekatan yuridis dogmatis; pengaturan tersubordinasikan pada kekuasaan politik; diskresi bersifat oportunistik; moralitas komunal/institusional lebih ditonjolkan dengan mengorbankan moralitas sipil. Di sini terjadi suatu kondisi yang disebut tirani hukum, how the law is taking away our liberties. Di dalam masyarakat demokratis yang mendayagunakan hukum yang responsif dan otonom, karakteristik hubungan hukum dan kehidupan sosial berusaha digeser, legitimasi dan kompetensi menjadi menonjol; kejujuran prosedural dan keadilan substantif mulai dibicarakan; pendekatan hukum bersifat sistemik, mengacu pada asas dan kebijakan yang terpadu; pendekatan sosial dalam hukum (yuridis sosiologis) dilakukan; diskresi berorientasi pada tujuan; moralitas sipil membatasi kekuasaan negara; dan terjadi integrasi antara aspirasi hukum dan politik. Namun demikian, harus tetap diingat bahwa tindakan yang terlalu bersemangat dalam hal ini juga dapat menimbulkan ekses berupa kondisi overregulasi, dan dalam hukum pidana lebih khusus disebut overcriminalization yakni berupa salah penggunaan sanksi pidana. Hal ini pada dasarnya juga merupakan sisi lain dari tirani hukum, yang karakteristiknya adalah sebagai berikut: hukum dirasakan terlalu membatasi kebebasan manusia; semboyan yang berkembang adalah there is no problem on earth that ca not be solved by legislation; orang menjadi tidak bahagia karena hukum mencampuri aspekaspek yang kecil dan sangat pribadi dalam kehidupan manusia (ingat istilah victimless crimes); hukum positif menjadi semakin banyak dan ada kecenderungan untuk menggunakan hukum pidana sebagai penekan; alasan reformasi dan supremasi hukum sering digunakan sebagai pembenaran; setiap pejabat baru menjadikan produk pengaturan sebagai indikator kinerja; terjadi suasana: banyak sekali hukum tapi sedikit sekali keadilan (more laws but less justice); timbul sikap negatif dan nonkoperatif masyarakat dalam penegakan hukum bahkan menjurus kurang menghargai hukum (wibawa hukum merosot); 261

pelanggaran hukum dan pemidanaan (misalnya dalam tindak pidana ekonomi) sering dihayati sebagai kesialan (unlucky) bahkan si pelaku sering menyebut dirinya sebagai korban dari sebuah sistem hukum yang tidak adil; hukum kehilangan kredibilitasnya; apa yang dikatakan sebagai widespread distrust of the law menggejala; alasan kepentingan umum yang lebih luas dijadikan alasan pengaturan yang merugikan hak-hak individual; (misalnya distorsi terhadap prinsip hak milik mempunyai fungsi sosial); hukum kehilangan moral and social framework, toleransi dan akal manusia dikalahkan oleh the single-minded social engineering instincts; Mana yang legal, mana yang moral menjadi tidak jelas. (dikatakan Austin, bahwa the only behind the law is physical force, not moral and ethical. Selanjutnya Lord Devlin dalam hal ini mengatakan there is no longer a moral obligation to obey the law in all circumstances. ; Ingat dalam hal ini perkembangan konsep strict liability = liability without mens rea dalam administrative criminal law; tujuan hukum menyimpang dari penciptaan kedamaian (keeping the peace), bahkan menuju ke negara polisi; ( McLean:Western countries are sleepwalking to a police state). Sebagai catatan penting dikemukakan bahwa dalam hukum pidana berkembang konsep yang memberikan pedoman tentang syarat kriminalisasi, seperti perbuatan harus victimizing baik aktual maupun potensial, tidak boleh bersifat ad hoc, penerapan prinsip cost and benefit analysis; ultima ratio principle; dukungan masyarakat, tidak semata-mata bersifat retributif, dan memadukan pandangan pragmatis dan akademis serta aspirasi internasional. Politisasi hukum oleh kekuasaan juga terjadi di dunia internasional. Dewan Keamanan PBB melalui instrumen hukum internasional (misalnya resolusi) bisa menekan negara-negara tertentu untuk kepentingan politik negara-negara adi kuasa yang sering tidak konsisten. Contohnya pelbagai pengadilan HAM yang digelar secara selektif. Pengalaman kita di era reformasi, cukup banyak dalam membuat pelbagai perundangundangan, baik di bidang sosial politik, HAM, KKN, ekonomi di bawah tekanan halus IMF melalui Letter of Intent (LOI). Belum lagi tuntutan untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi hukum antar bangsa dalam rangka kerjasama internasional di era globalisasi. n 262

Politik, Hukum, dan Politik Hukum (II)


Politik dan politisasi tidak harus berkonotasi negatif. Politik harus juga dilihat sebagai the process of government, dan politisasi harus dipandang sebagai the giving of a political character to something. Teori politik bahkan penuh dan sarat dengan studi tentang falsafah kenegaraan dan pemerintahan serta pemikiran-pemikiran yang terkait. Istilah politik sering berkaitan dengan pemerintahan dengan lembaga-lembaganya. Di bidang hukum, apapun kedudukan variabel politik, apakah sebagai dependent atau independent variable pada akhirnya sebagai keluaran (output). Hukum sebagai kebijakan merupakan pilihan dari sekian alternatif yang mungkin terjadi, setelah melalui proses interaksi dalam sistem perjuangan politik. Langkah-langkah untuk menghasilkan kebijakan merupakan perjuangan politik yang berat, sebab seperti pernah dibahas politics is the struggle over the allocation of values in society. Terkandung di sini unsur lobbi, tekanan, ancaman, tawar-menawar dan kompromi. Peranan komunitas hukum adalah menjaga agar pelbagai proses tersebut tidak keluar dari prinsip hukum. Sebagai contoh adalah debat tentang berlakunya secara retroaktif UU Pengadilan HAM ad hoc dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu. Seleksi melalui DPR atas dasar political wisdom merupakan jalan tengah. (ada yang mengkritisi sebagai impunity by parliament). Di tingkat internasional pemberlakuan secara retroaktif hukum pidana dalam Tribunal Ad Hoc (Nurmberg, Tokyo, Former Yugoslavia, Rwanda dll) didasarkan atas international customary law dan the principles of justice). Berbicara tentang politik selalu menarik, sebab aspek politik tidak 263

hanya berupa pengambilan keputusan, tetapi juga talk, expression, picture, and image (drama and entertainment). Dan yang lebih menarik lagi adalah pemanfaatan komunikasi massa, baik media cetak, media penyiaran maupun media telekomunikasi/internet untuk kepentingan politik. Dalam hal ini fungsi media massa dalam politik merupakan studi tersendiri yang pada dasarnya mencakup fungsi-fungsi: pembuatan berita, interpretasi, sosialisasi, persuasi, dan perancangan agenda. Pendayagunaan media massa ini secara konseptual harus tetap dilakukan setelah proses politik menghasilkan kebijakan dan tindakan dalam rangka sosialisasi dan diseminasi. Di bidang hukum misalnya, hal ini sangat penting untuk membentuk kesadaran hukum. Betapa kuatnya aroma politik dalam kehidupan hukum terlihat dalam proses pembuatan undang-undang dan pelembagaan sistem checks and balances dalam pemerintahan yang demokratis serta praktek penerapan kekuasaan birokrasi. Di Indonesia proses pembuatan undang-undang menempuh proses dan aktivitas yang kompleks mulai dari penyusunan rancangan akademis yang penuh dengan nuansa academic reasoning seperti idealisme, hasil riset normatif dan empiris; kajian kecenderungan internasional, tanpa mengesampingkan aspirasi supra dan infrastruktural; kajian prinsip-prinsip hukum juga sangat menonjol. (Catatan : Para sarjana hukum saat ini dinilai dilanda legal principles crises). Proses ini akan dilanjutkan dengan proses birokratik untuk menjaga sinkronisasi vertikal dan horizontal perundang-undangan, serta konsistensi model perundang-undangan, termasuk struktur dan terminologi. Proses terakhir yang paling kompleks adalah proses sosial-politik di parlemen. Paling kompleks, karena parlemen sebagai lembaga politik sangat heterogen baik dari segi aspirasi politik (multi partai), latar belakang sosial, aspirasi daerah, maupun disiplin ilmu. Hal ini disertai keharusan untuk selalu melihat skala prioritas (program legislasi) yang juga penuh dengan nuansa politis. Pengalaman di negara demokrasi seperti di Amerika Serikat menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks. Proses pengenalan RUU (introduction of bill) di Congress (House of Representatives and Senate) sampai dengan Rancangan menjadi UU (bill becomes law) melalui persetujuan Presiden setelah dicapai kompromi baik di House maupun di Senat, selalu melalui debat yang panjang dan melelahkan. Sebagai gambaran, setiap tahun Kongres menerima kurang lebih 264

10.000 RUU dan yang menjadi undang-undang kurang lebih hanya 400. Digambarkan bahwa proses tersebut kompleks dan membosankan (complicated and tedious). Lebih-lebih di Senat yang digambarkan bahwa debat tersebut pasti tiada habisnya. Sistem checks and balances dalam kehidupan demokrasi sangat penting dan didisain untuk menjamin bahwa secara konstitusional tiga cabang kekuasaan dari pemerintahan nasional (Legislatif, Eksekutif and Yudikatif) bisa saling membatasi dan mengawasi kekuasaannya satu sama lain, dan mencegah konsentrasi kekuasaan politik di salah satu kekuasaan. Gegap gempita Amandemen UUD 1945 saat ini, pada dasarnya sedang mencari bentuk yang mantap tentang sistem checks and balances tersebut. Sistem masa lalu (Orba) diidentifikasikan sebagai executive heavy, sehingga menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Saat ini ada yang mengkritisi sebagai legislative heavy. Di Amerika Serikat dapat kita lihat praktek penerapan sistem check and balances; bahwa sekalipun suatu RUU (Bill) tidak akan menjadi Undang-undang tanpa persetujuan Kongres (House dan Senate) , namun Presiden dapat mengajukan veto terhadap keputusan Kongres tersebut. Sebaliknya Kongres dapat menolak (override) veto Presiden dengan 2/3 suara di House dan Senat. Di samping iu Presiden juga dapat mengusulkan undang-undang kepada Kongres dan mengundang Kongres untuk melakukan sidang khusus. Selanjutnya dapat dilihat bahwa kekuasaan Presiden untuk menunjuk kabinet dan duta besar harus memperhatikan konfirmasi dari Senat. Presiden juga harus mendengar nasehat dan persetujuan Senat mengenai segala perjanjian (treaties) yang dibuat. Kemudian, sekalipun Presiden harus melaksanakan Undangundang, tetapi yang menyediakan anggaran adalah Kongres. Presiden dan lembaga eksekutif lain dilarang menggunakan uang tanpa persetujuan Kongres. Kongres juga mempunyai wewenang untuk membentuk departemen dan badan-badan eksekutif. Selanjutnya Kongres juga memiliki wewenang untuk melakukan impeachment dan mencopot Presiden dari jabatannya karena telah melakukan kejahatan dan pelanggaran berat. Mahkamah Agung ditunjuk oleh Presiden, dengan konfirmasi Senat. Secara tradisional, Mahkamah Agung memiliki 9 anggota, tetapi Kongres dapat menentukan jumlah hakim. Lebih penting lagi, Kongres 265

dapat membentuk pengadilan federal tingkat bawah maupun pengadilan banding. Kongres harus membentuk pula jumlah hakim dan menentukan yurisdiksi pengadilan federal. Namun demikian yang sangat menarik adalah bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk melakukan Judicial Review. Judicial Review secara spesifik tidak diatur dalam konstitusi. Kekuasaan ini mencakup wewenang untuk menyatakan bahwa Undang-undang yang dibuat Kongres dan kebijakan Presiden melanggar konstitusi. Catatan : Perlu dikaji sampai seberapa jauh sistem checks and balances terjadi pasca sistem bikameral (MPR terdiri atas DPR dan PDP); Bandingkan judicial review dengan wewenang Constitutional Court di Jerman dan hak uji materiil (materiele toetsingsrecht) di Indonesia. Pengadilan khususnya nampak dari penampilan Mahkamah Agung pada dasarnya memiliki status ganda. Status pertama merupakan political body, sebab pengadilan merupakan bagian integral dari sistem pemerintahan, sehingga perdefinisi pengadilan merupakan institusi politik. Begitu pula proses penunjukan hakim agung tidak bisa lepas dari persaingan politik di DPR. Sulit untuk memahami Mahkamah Agung kecuali dalam konteks proses politik. Belum lagi peranannya sebagai pembuat kebijakan melalui interpretasi hukum apakah kebijakan pemerintah bertentangan dengan UUD. Contoh: hak uji materiil dan PTUN. Status kedua sebagai instansi hukum. Sekalipun diusahakan berlakunya the principle of the independence of judiciary, tetapi hakim tidak memutus perkara dalam ruang yang hampa. Pengadilan tetap merupakan sub-sistem sosial. Hukum yang diterapkan juga merupakan hasil dari proses politik. Aroma politik dalam praktek birokrasi berkaitan erat dengan kenyataan bahwa perjuangan politik (political battles) tidak akan berhenti di lembaga parlemen. Hal ini bertentangan dengan teori bahwa democracy is institutionalization of conflicts (Emerson, 1998). Yang dapat dikatakan adalah telah terjadi pergeseran perjuangan politik dari arena politik ke arena administratif. Kepentingankepentingan yang terorganisasi tidak akan puas hanya dengan telah berhasil diundangkannya suatu Undang-undang sebagai hasil proses politik. Mereka mulai mengamati medan perjuangan baru yaitu implementasi hukum dan penggunaan uang oleh aparat birokrasi. Kekuatan birokrasi sangat meyakinkan. Secara politis memang Presiden dan Parlemen menentukan keberadaan Undang-undang, 266

tetapi secara administratif dan implementatif yang berperan adalah birokrasi. Sebagai contoh di Amerika Serikat; dengan 3 juta pegawai pemerintah federal, birokrasi federal setiap tahun mengeluarkan 60.000 halaman peraturan birokrasi (overregulation). Mereka bahkan independen terhadap Kongres, presiden, pengadilan dan rakyat. Bahkan boleh dikatakan bahwa Civil Service bureaucracy is a major base of power in society. Birokrasi tumbuh bersamaan dengan berkembangnya teknologi dan kompleksitas masyarakat. Pengaruh teknokrat sangat dirasakan baik di sektor publik (pemerintahan) dan sektor privat (korporasi). Sektor publik mencakup pengaturan tentang waktu, energi, lingkungan hidup, komunikasi, penerbangan dan sebagainya. Semuanya membutuhkan spesialis. Kekuatan birokrasi lain terletak pada kenyataan bahwa Undang-undang yang dihasilkan oleh Presiden dan parlemen seringkali bersifat samar atau tidak jelas dan mendua (vague and ambiguous). Tegasnya bersifat simbolik. Justru birokrasilah yang mempunyai kesempatan dan kewenangan melalui Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri untuk memutuskan apakah yang seharusnya dilakukan. Dalam kerangka ini sangat mudah bagi para politisi untuk menyalahkan birokrasi. Dalam perkembangannya kemudian birokrasi sendiri semakin besar peranannya dalam lobby-lobby terbentuknya UU termasuk pendanaan. (bureaucracy is self perpetuating). Parlemen sebagai lembaga politik sebenarnya mempunyai senjata atau cara untuk membatasi kewenangan birokrasi, seperti (a) melalui undang-undang yang membatasi kewenangan birokrasi; (b) mengurangi budget birokrasi; (c) melalui dengar pendapat umum dengan pemberitaan media massa luas tentang suatu kebijakan yang dianggap unpopular; dan (d) mendiskusikan keluhan-keluhan yang diarahkan terhadap birokrasi. Terlepas dari motif politik yang diarahkan untuk membatasi kewenangan birokrasi, namun secara obyektif kecenderungan terjadinya overregulasi (contoh di bidang ekonomi dan industri) sebagai poduk birokrasi patut diwaspadai, sebab akan menimbulkan: (1) Peningkatan biaya (terutama di bidang bisnis) baik bagi pelaku bisnis maupun konsumen apabila peraturan ekonomi yang kompleks ditaati; (2) The cost of compliance dengan adanya peraturan baru sulit ditimbang dibandingkan dengan keuntungan masyarakat; (3) 267

Overregulasi menciptakan kendala bagi berkembangnya inovasi dan produktivitas; dan (4) Mengurangi kemampuan untuk berkompetisi secara sehat, sebab birokratisasi hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan yang besar dan kuat. Catatan: Di pelbagai negara termasuk Indonesia pasca 1998 muncul gerakan deregulasi dan debirokratisasi, khususnya di bidang ekonomi. Langkah ini pada dasarnya bertujuan to determine the most cost-effective approach for meeting any regulatory objective and not to issue regulations unless the potential benefits to society outweight the potential costs. (Reagan, 1988). n

268

Politik, Hukum, dan Politik Hukum (III)


Politik hukum (legal policy) dalam arti kebijakan negara (public policy) di bidang hukum harus dipahami sebagai bagian kebijakan sosial yaitu usaha setiap masyarakat/pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan. Hal ini bisa mengandung dua dimensi yang terkait satu sama lain, yaitu kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan perlindungan sosial (social defence policy). Dengan demikian tidak mungkin merumuskan politik hukum yang tepat tanpa mengkaji secara akurat kebijakan sosial; sebab justru akar permasalahan yang akan diatasi dengan politik hukum terdapat dalam masyarakat, berupa kebutuhan-kebutuhan strategis masyarakat yang memerlukan perlindungan dan pengaturan hukum dalam kerangka menciptakan kedamaian masyarakat. Kebutuhan strategis tersebut bisa bersumber dari kehidupan politik, kehidupan budaya, kehidupan sosial atau kehidupan ekonomi, yang seringkali antara satu dengan yang lain terjadi interaksi, interkoneksi dan interdependensi. Dengan demikian tidak berkelebihan untuk menyatakan bahwa hukum mempunyai fungsi strategis dalam masyarakat, yaitu sebagai mekanisme pengintegrasi. Juga tidak berkelebihan apabila ada hipotesis bahwa antar hukum dan ilmu-ilmu sosial harus ada kemitraan yang simbiotik. Kemitraan tersebut harus dibangun atas dasar prinsip saling menghormati (resiprocal influences) dan bukan dalam bentuk peningkatan intra-disciplinary communication dan mengurangi inter-disciplinary exchanges dalam pemikiran. (Chin and Choi, 1998). Hukum dan kebijakan publik mengendalikan dan membentuk pola sampai seberapa jauh masyarakat diatur dan diarahkan. Dengan 269

demikian sangat penting untuk menyadarkan para perancang hukum dan kebijakan publik bahkan para pendidik, bahwa hukum dan kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang luas di bidang sosial, ekonomi dan politik. Sayangnya spesialisasi baik dalam pekerjaan, pendidikan maupun riset yang dilandasi dua disiplin tersebut (hukum dan ilmu sosial), sehingga pelbagai informasi yang bersumber dari keduanya tidak selalu bertemu (converge) bahkan seringkali tidak sama dan sebangun (incongruent). Riset di bidang hukum mempunyai landasan asas-asas dan penerapan hukum, dan dalam hal ini yang tidak menguntungkan adalah ketiadaan pengetahuan untuk menyesuaikan kemanfaatan dan kegunaan hukum dalam masyarakat yang sedang berubah. Di lain pihak ahli-ahli ilmu pengetahuan sosial secara relatif memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat, bahkan cenderung lebih ilmiah dalam mengembangkan dan menguji teori. Sekalipun demikian, yang terakhir ini tidak dalam posisi untuk mengusulkan perubahan hukum dan kebijakan yang konkrit, sehubungan dengan kelemahan teknis di bidang hukum yang menyebabkan kurang percaya untuk mengajukan konsep perubahan. Memang spesialisasi dan independensi telah meningkatkan intra-disciplinary communication, tetapi sekaligus juga memangkas inter-disciplinary exchanges in ideas. Bahkan fakultas hukum dan fakultas ilmu sosial secara eksklusif terpisah dan sebagai hasilnya, para mahasiswa masing-masing fakultas tidak dapat menghormati kebutuhan dan kegunaan untuk menjembatani dua disiplin tersebut. Sebagai contoh adalah perkembangan pemahaman tentang politik reformasi hukum (the politics of law reform). Sebelum era reformasi, pembaharuan hukum selalu diartikan sebagai usaha sistematik untuk menggantikan pelbagai produk hukum kolonial dengan produk hukum nasional. Setelah refomasi, disamping usaha tersebut dilanjutkan muncul dimensi baru dari reformasi hukum, yakni sebagai usaha sistematik untuk melakukan demokratisasi sistem hukum. Hal ini mencakup langkah-langkah mendasar berupa amandemen konstitusi, mengatur sistem politik, menciptakan good governance, melakukan promosi dan perlindungan HAM, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan sebagainya. Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar dalam kerangka sistem hukum yang mencakup elemen-elemen sebagai 270

berikut: Pertama, Elemen struktur hukum yang terdiri atas misalnya jenis-jenis peradilan, yurisdiksinya, proses banding, kasasi, peninjauan kembali, pengorganisasiannya, mekanisme hubungan polisi, dan kejaksaan dan sebagainya. Dengan demikian struktur diartikan sebagai a kind of cross section of the legal system- a kind of still photograph, which freezes the action. (Friedman, 1979). Dengan demikian elemen struktur hukum merupakan semacam mesin. Kedua, Elemen substansi hukum yang dapat diartikan sebagai pelbagai peraturan, norma dan perilaku orang-orang di dalam sistem. Pada intinya merupakan hukum yang mengatur pelbagai norma, nilai dan sanksi dalam bentuk peraturan-peraturan hukum. Termasuk di sini living law yang terjadi dalam praktek hukum yang penuh dengan diskresi. Substansi hukum bisa dipahami dengan melihat misalnya berapa orang yang ditahan karena tindak pidana narkotika per tahun, gambaran statistik kejahatan seksual di suatu daerah, dan sebagainya. Dengan demikian legal substance berkaitan erat dengan apa yang dihasilkan atau dilakukan oleh mesin atau struktur hukum di atas. Ketiga, Elemen kultur hukum (legal culture) yang harus diartikan sebagai peoples attitudes toward law and the legal system their beliefs, values, ideas, and expectations. Dengan kata lain, hal ini merupakan bagian dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum. Misalnya saja pernyataan bahwa masyarakat bawah tidak percaya pada polisi; para pengusaha banyak menyelesaikan perkara di luar pengadilan; untuk menjaga kredibilitas dan reputasi, kejahatan komputer di lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan; hal ini semua merupakan refleksi dari budaya hukum. Dengan demikian legal culture merupakan whatever or whoever decides to turn the machine (the legal structure) on and off, and determines how it will be used. Setiap masyarakat, setiap negara, setiap komunitas mempunyai suatu budaya hukum. Hal ini selalu berupa sikap dan pandangan terhadap hukum (attitudes and opinions about law). Harus dipahami pula berkembangnya pelbagai sub kultur (misalnya di Amerika), sub kultur orang hitam dan putih, tua dan muda, Kristen dan Islam, kaya dan miskin, pengusaha dan pejabat, desa dan kota dan sebagainya. Salah satu subkultur yang penting untuk diperhatikan adalah the legal culture of insiders, misalnya saja kultur yang dihayati oleh hakim dan penasehat hukum yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri. Hal ini akan banyak berarti bagi efektivitas sistem hukum tersebut. 271

Secara operasional ketiga elemen sistem hukum tersebut diterjemahkan sebagai proses pembuatan undang-undang (dalam kerangka substansi hukum), proses penegakan hukum (dalam konteks struktur hukum) dan proses penciptaan kesadaran hukum (dalam kaitannya dengan budaya hukum), baik dalam bidang hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi. Yang perlu dicatat adalah bahwa pembidangan hukum tersebut semakin tidak absolut, karena di negara-negara modern transparansi dan pendayagunaan hukum secara simultan untuk mengatasi perbuatan-perbuatan yang merugikan atau potensial dapat merugikan kepentingan individual, kepentingan sosial dan kepentingan negara, saling kait mengkait, sehingga semua elemen hukum harus didayagunakan untuk mencegah dan mengatasinya. Sebagai contoh adalah didayagunakannya sanksi perdata dalam tindak pidana korupsi dan kejahatan korporasi. Selanjutnya adanya kecenderungan untuk memanfaatkan sanksi hukum pidana dalam hukum administrasi. Demikian pula penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana lingkungan hidup. Unsur sifat melawan hukum dapat digali dari pelanggaran terhadap norma-norma hukum perdata atau hukum administrasi. Teori dan asas hukum merupakan mekanisme pengendali untuk secara relatif menjaga agar supaya distorsi terhadap pendayagunaan hukum sebagai kebijakan dan langkah politik tidak terjadi, dan memfungsikan hukum secara konsisten sebagai salah satu pilar utama demokrasi. Teori, yang merupakan hubungan antar variabel yang telah didukung oleh riset ilmiah, baik yang bersumber pada disiplin ilmu pengetahuan yang baku maupun yang bersumber pada pelbagai ilmu bantu, secara sistemik dan berkelanjutan akan terus memperkaya kebijakan sosial, baik yang berupa kebijakan kesejahteraan maupun kebijakan perlindungan. Fungsi teori tidak hanya menggambarkan, menjelaskan, merenungkan, mengungkap, tetapi juga memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Integritas teori dijamin dari karakteristik intelektual yang menghormati kebebasan akademis dan budaya akademis yang diharapkan selalu memberikan pencerahan atas dasar kebenaran dan bukan pembenaran. Selanjutnya asas-asas hukum merupakan ukuran legitimitas dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum (Sudarto, 1981). Asas-asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari 272

undantg-undang dan penguasa. Asas-asas hukum tidak bersifat transcendental, atau melampaui alam kenyataan yang dapat disaksikan oleh panca indera. Asas-asas ini bersifat open-ended, multiinterpretable, dan Gesellschaftsgebunden dan bukannya bersifat absolut. Hal ini kadang-kadang berkonotasi negatif karena konstelasi politik di suatu saat bisa berpengaruh. Ingat konsep negara integralistik yang mendistorsi asas negara hukum (equaity before the law). Asas-asas hukum adalah tendens-tendens, yang dituntut dari hukum oleh rasa susila kita, yang dapat diketemukan dengan menunjukkan hal-hal yang sama dari peraturan-peraturan yang berjauhan satu sama lain, atau yang merupakan anggapan-anggapan yang memancarkan pengaturan suatu lapangan hukum (Paul Scholten). Asas-asas hukum adalah ungkapan-ungkapan hukum yang sangat umum sifatnya, yang bertumpu pada perasaan , yang hidup di setiap orang, dorongan-dorongan batin dari pembentuk undang-undang, ialah sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang (De Langen). Asas-asas hukum itu untuk sebagian dapat diketemukan dengan menyelidiki pikiran-pikiran yang memberi arah/pimpinan, yang menjadi dasar kepada tata hukum yang ada, sebagaimana dipositifkan dalam perundang-undangan dan yurisprudensi, dan untuk sebagian berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan kita, yang secara langsung dan jelas sekali menonjol kepada kita (Wiarda). n

273

Polisi dan Persepsi Keadilan


Disadari atau tidak, apabila kita berpikir tentang polisi maka yang muncul dalam bayangan kita adalah apa yang dinamakan konsep authoritative intervention dan konsep symbolic justice. Yang pertama , penggambaran usaha setiap saat dari polisi untuk memperbaiki ketertiban, bersifat reaktif (tidak atau kurang antisipatif) serta kadang-kadang saja terjadi. Karena bersifat rutin, tidak terlintas untuk memikirkan kondisi-kondisi yang ada di belakang peristiwa yang mendorong polisi untuk melakukan intervensi dengan menggunakan kewenangannya. Sedangkan yang kedua, pengambaran yang bersifat demonstratif untuk menunjukkan kepada pelaku tindak pidana (baik aktual maupun potensial) dan publik pada umumnya bahwa ada tatanan hukum yang harus dihormati. Hal ini juga cenderung merupakan sikap reaktif yang dicapai melalui penegakan hukum. Langkah-langkah yang bersifat antisipatif juga tidak tergambar secara langsung pada jenis yang kedua ini. Hal di atas menimbulkan kesan bahwa langkah-langkah polisi untuk menanggulangi dan mencegah kejahatan dilakukan dengan cara menimbulkan efek pencegahan (deterrence) terhadap tindak pidana yang telah terjadi melalui sistem peradilan pidana, dan karenanya sangat kurang menyentuh kebijakan kriminal dalam arti luas yang sistemik, baik yang bersifat preventif maupun represif. Hal ini perlu dipikirkan, sebab secara konseptual masyarakat menuntut lebih besar terhadap peranan polisi. Dalam hal pencegahan kejahatan misalnya, masyarakat secara konseptual menginginkan kebijakan yang komprehensif baik dalam bentuk pencegahan primer yang diarahkan kepada masyarakat 274

umum, pencegahan sekunder yang targetnya adalah para pelaku potensial, dan pencegahan tersier yang diarahkan kepada mereka yang terlanjur telah melakukan tindak pidana. Dalam bentuk lain kita semua menghendaki bahwa pencegahan kejahatan dilakukan baik secara sosial yang ditujukan untuk mengatasi akar kejahatan, secara situasional untuk mengurangi kesempatan melakukan tindak pidana dan pencegahan yang bersifat community based, yaitu meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengurangi tindak pidana dengan cara meningkatkan kapasitas mereka untuk mengembangkan kontrol sosial yang bersifat informal. Dalam kehidupan demokratis pelbagai usaha di atas sering membawa konsekuensi yang hampir tak terhindarkan, sebab polisilah sebagai penyidik yang menghadapi langsung tindak pidana di lapangan baik secara faktual maupun secara yuridis. Kedudukannya yang demikian menyebabkan polisi sangat rawan terhadap pelanggaran HAM dan bahkan dapat dikatakan bahwa polisi merupakan potential offender terhadap HAM. Konsekuensi seperti itu tidak perlu harus dilihat sebagai kendala, tetapi harus dipandang sebagi tantangan untuk menjadikan polisi lebih profesional. Disebut sebagai kendala mengingat semakin vokalnya para penasehat hukum dan aktivis LSM dalam menyoroti kinerja para penegak hukum sebagi konsekuensi proses demokratisasi, yang antara lain menuntut adanya pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif. Pergeseran Wacana Sejauh mungkin polisi dalam keadaan apapun juga harus menghindarkan diri dari police misconduct, yang dapat diartikan sebagai penyimpangan prosedur oleh polisi yang kadang-kadang disertai penggunaan kekuasaan secara tidak pada tempatnya. Harus disadari betul bahwa kecenderungan perilaku yang demikian mempunyai dampak yang bersifat luas, seperti merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap polisi, memperburuk keresahan sosial, menghambat efektivitas penuntutan di pengadilan, menjauhkan polisi dari masyarakat, salah menentukan tersangka, menelantarkan korban, merusak konsep dan citra penegakan hukum, membuka kesempatan media untuk terus mengkritik polisi, dan pada akhirnya juga mengkritik atau bahkan menekan pemerintah. 275

Sebaliknya, kredo yang mungkin harus dikembangkan adalah menjadikan polisi bukan sebagai pelanggar HAM, tetapi berada di garis terdepan dalam memperjuangkan HAM. Ini akan menjadi kunci yang menentukan efektivitas lembaga kepolisian, yang dampak positifnya akan segera dapat diukur dan dirasakan, seperti kepercayaan masyarakat meningkat disertai peningkatan sikap kooperatif mereka, penyelesaian konflik dapat dilakukan secara damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil dengan baik. Lalu citra positif polisipun melekat di benak masyarakat, seperti; polisi dilihat sebagai bagian masyarakat dalam melaksanakan fungsi sosial, administrasi peradilan dilakukan secara jujur dan adil, memberi contoh kepada masyarakat untuk menghargai hukum, kebijakan proaktif dapat dikembangkan dengan baik dengan bantuan masyarakat dan dukungan media massa. Di era demokrasi terjadi pergeseran konseptual pelbagai hal secara mendasar. Di era yang tidak demokratis seperti di jaman Orde Baru, kalau kita berbicara tentang kejahatan politik, maka konotasi yang muncul di permukaan adalah konsep kejahatan melawan pemerintah (crimes against government) seperti pembunuhan politik, protes atau demonstrasi menentang pemerintah, makar, spionase dan terorisme. Sebaliknya di era reformasi berkembang konsep kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah (crimes by government) atau state crimes atau political policing atau govermental crimes seperti pelanggaran, aktivitas dari polisi rahasia (penyadapan telpon, pelanggaran privasi, pengawasan illegal). Perubahan wacana tersebut tidak merubah konsep dasarnya yang menggambarkan tentang kejahatan politik, yakni tindak pidana yang dilakukan untuk tujuan ideologis, dan mereka percaya bahwa telah mengikuti nurani yang lebih tinggi, atau moralitas masyarakat yang ada beserta perangkat hukumnya. Pasal 16 RUU tentang KUHP (1999-2000) menegaskan, bahwa dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Subtansi pasal tersebut harus direnungkan dan dihayati secara proaktif oleh seluruh jajaran penegak hukum sebagai bagian dari sistem nilai di lingkungan peradilan. Mengejar kepastian hukum yang dalam kenyataannya bersifat abstrak dan seringkali ketinggalan jaman, hanya akan menghasilkan ketidakadilan. Dalam kerangka ini terdapat suatu konsep yang terus 276

berkembang, yaitu konsep yang menggambarkan pelbagai kemungkinan yang dapat menggagalkan usaha untuk menciptakan keadilan, sebagaimana dikemukakan oleh Walker dan Stamer. Disebutkan bahwa pengertian keadilan (justice) harus dipahami sebagai bentuk distribusi nilai yang disebut fair treatment di dalam menyelenggarakan sistem peradilan dalam negara yang demokratis. Negara harus memperlakukan semua individu atas dasar prinsip kesetaraan. Pemberlakuan hak individu tersebut tidak bersifat absolut, sebab hak-hak tersebut tetap dibatasi untuk kepentingan perlindungan terhadap hak-hak orang lain atau hak-hak yang bersaing. Dalam hal ini setiap penerapan hak harus ditolak bilamana biaya-biaya sosial yang dapat ditimbulkannya jauh lebih besar dibandingkan biaya yang harus dibayar untuk menerapkan hak original. Biaya sosial tersebut bahkan dapat berupa bencana (catastrophic damage) apabila hak individual tersebut diterapkan dalam masyarakat yang damai dan demokratis. Kegagalan Menegakkan Keadilan Dengan semboyan fiat justitia, ruat caelum (tegakkan keadilan meskipun langit akan runtuh) nampak bahwa sistem peradilan pidana merupakan pengendali agar hak-hak individual tidak digunakan secara absolut, dengan konsekuensi bahwa sebenarnya penerapan sistem peradilan pidana tersebut jika dilakukan secara tidak hati-hati, secara potensial dapat memb ahayakan hak-hak individual. Dengan demikian negara dituntut untuk mendayagunakan sistem tersebut secara adil dan jujur. Atas dasar pemikiran tersebut ( individualistics rights-based approach) dikembangankan konsep miscarriage of justice (MoJ), yakni ihwal kegagalan dalam menegakkan keadilan. MoJ dapat terjadi apabila tersangka, terdakwa atau terpidana diperlakukan oleh negara dengan melanggar hak-haknya, khususnya dalam hal-hal sebagai berikut: a. Perlakuan yang tidak adil. Contohnya adalah penangkapan dan penahanan tanpa alasan kuat. Demikian pula perilaku polisi yang tidak adil setelah penahanan, seperti pemaksaan pengakuan, pemalsuan bukti-bukti forensik, dan sebagainya. Hal ini dapat pula terjadi dalam hal penasehat hukum gagal untuk melakukan pembelaan secara efektif karena kurang siap atau penampilan yang dibawah standar profesi, sehingga pemidanaan dirasakan tidak adil. Kegagalan atau kesesatan hakim yang terlanjur membebaskan 277

b. c.

d.

e.

f.

terdakwa bukan karena betul-betul alpa (really innocent ) tetapi karena kesalahan teknis, termasuk dalam kategori perlakukan tidak adil. Peraturan hukum yang tidak adil semata-mata demi kepastian hukum; contohnya hukum apartheid di Afrika Selatan pada masa lalu, atau di Indonesia seperti korban UU subversi sebelum dicabut; Tidak adanya pembenaran faktual dalam penerapan pidana dan tindakan akibat kesalahan identitas atau pemidanaan terhadap orang yang tidak salah akibat kesalahan dalam sistem pembuktian, seperti adanya kesaksian palsu akibat rekayasa dan sebagainya yang semuanya masuk kategori wrongful imprisonment. Perlakuan yang merugikan dan tidak proporsional terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana, dibandingkan dengan kebutuhan untuk melindungi hak-hak orang lain; contohnya adalah tindakan yang keras terhadap perilaku anti sosial yang ringan. Demikian pula pemidanaan yang bersifat eksesif, termasuk disini kondisi penjara yang bersifat mendegradasikan harkat dan martabat manusia; Hak-hak orang lain (baik korban aktual maupun potensial) tidak dilindungi secara efektif dan proporsional oleh negara terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini ditujukan terhadap keamanan umum yang secara preventif menjadi tanggungjawab polisi. Sebagai catatan perlu dikemukakan adanya konsep self responsibility for security bagi penganut neo liberalism. Termasuk di sini ketidaksediaan polisi untuk memproses perkara akibat pengaruh politik atau korupsi (penyuapan), bahkan melakukan intimidasi terhadap korban. Perlakuan tidak adil terhadap korban akibat hukum yang tidak kondusif; ini bisa berkaitan dengan hukum formil maupun materiil.

Apa yang tercantum dalam butir a - f diatas disebut sebagai direct MoJ. Di samping itu ada bentuk ketujuh yang disebut indirect MoJ yang mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini harus diartikan bahwa segala hal yang disebut direct miscarriage of justice tersebut secara tidak langsung merupakan perongrongan terhadap integritas moral sistem peradilan pidana dan pelanggaran terhadap asas legitimasi peradilan. Persoalan yang timbul di pelbagai negara adalah bagaimana usaha 278

untuk mengatasi praktek-praktek MoJ di atas yang berdampak luas seperti konsep indirect MoJ diatas. Salah satu contoh ekstrim adalah apa yang terjadi di Haiti pasca pemerintahan otoriter selama tiga tahun akibat kudeta tahun 1991. Pada masa itu pelanggaran HAM oleh polisi dan militer sangat intensif, sehingga citra polisi di Haiti demikian buruk. Setelah itu pemerintahan demokratis dibantu masyarakat internasional (AS dan PBB) berusaha menciptakan polisi nasional baru melalui Akademi Polisi Nasional dengan seleksi yang ketat. Dalam hal ini pendidikan yang baik ternyata menghasilkan kinerja positif, yang membangkitkan citra positif terhadap polisi. Beberapa materi pendidikan yang sangat memepengaruhi kinerja polisi di Haiti antara lain adalah International Human Rights Law, the Law on Criminal Procedure, Haiti Constitution, Police Work in a Democracy, dan materi-materi teknis kepolisian yang lain. Sebagai standar training, perlu dikaji materi pelatihan HAM untuk polisi dari PBB yang secara lengkap menguraikan betapa pentingnya tugas-tugas polisi berkaitkan dengan masalah HAM internasional, demokrasi, etika profesional, perhatian terhadap remaja dan korban kejahatan, aturan penggunaan kekuatan senjata api dan sebagainya. Hal ini sangat penting mengingat apa yang telah diuraikan di atas, bahwa apa yang dinamakan MoJ didasarkan atas pemahaman justice atas dasar individualistic rights-based approach. n

279

Pertanggungjawaban Komando
Pengantar Diskusi tentang doktrin pertanggungjawaban komando, khususnya dalam hukum pidana, akan selalu menarik mengingat perkembangannya yang penuh perdebatan baik dalam hukum internasional maupun dalam pelbagai hukum nasional yang berkembang. Sekalipun maknanya tidak sesederhana sebagai military commanders are responsible for the acts of their subordinates, sebenarnya hal ini bukan sebagai suatu hal yang baru. Pada kira-kira tahun 500 BC, Sun Tzu menulis dalam the Art of War bahwa: When troops flee, are insubordinate, distressed, collapse in disorder, or are routed, it is the fault of the general. None of these disorders can be attributed to natural causes. Napoleon Bonaparte menegaskan dalam hal ini dengan mengatakan bahwa: There are no bad regiments; they are only bad colonels. Begitu pula King Charles VII of Orleans, mengeluarkan dekrit yang berisi bahwa komandan militer dapat dipertanggungjawabkan bilamana di dalam komandonya terjadi kejahatan terhadap penduduk sipil; tidak peduli apakah komand an tersebut berpartisipasi dalam pelaksanaan kejahatan. Begitu pula Hugo Grotius dalam bukunya yang legendaris De Jure Belli Ac Pacis (1615) menegaskan eksistensi doktrin tersebut: we must accept the principle that he who knows of a crime, and is able and bound to prevent it and fails to do so, himself commits a crime. Dalam periode yang sama (1621) King Gustavus Adolphus dari Swedia mengumumkan Articles of Military Lawwes to be Observed in the Warres. Di situ dinyatakan bahwa No Colonel or Captain shall command his soldiers to do any unlawful thing which who so does, shall be punished according to the discretion of the Judges....... 280

Di Amerika Serikat, the Article of War yang dikeluarkan pada tanggal 30 Juni 1775 mengatur bahwa :
Every Officer commanding, in quarters, or in a march, shall keep good order, and to the utmost of his power, redress all such abuses or disorders which may be committed by any Officer or Soldiers under his command; if upon complaint made to him of Officers or Soldiers beating or otherwise ill-treating any person, or committing any kind of riots to the disquieting of the inhabitants of this continent, he, the said commander, who shall refuse or omit to see Justice done to this offender or offenders, and raparation made to the party or parties injured, as soon as the offenderrs wages shall enable him or them, upon due proof thereof, be punished, as ordered by General Court Martial, in such manner as if he himself had committed the crimes or disorders complained of.

Pada tahun 1863, Amerika Serikat mengumumkan the Instructions for Government of Armies of the US in the Field yang kemudian terkenal sebagai Lieber Code. Prof Albert Lieber adalah seorang Profesor dari Columbia University yang berperan menyusun ketentuan tersebut. Art. 71 menegaskan: Whoever intentionally inflicts additional wounds on an enemy already wholly disabled, or kills such an enemy, or who orders or encourages soldiers to do so, shall suffer death, if duly convicted, whether he belongs to the Army of the ES, or in an enemy captured after having committed his misdeed. Pada akhir abad 19 (1895), dalam tulisannya Military Law and Precedents, Winthrop menulis:
It is indeed the chief duty of the commander of the army of occupation to maintain order and the public safety, as far as practicable without oppression of the population, and as if the district were a part of the domain of his own nation. All officers or soldiers offending against the rule of immunity of noncombatans or private persons in war forfeit their right to be treated as belligerents, and together with civilians similarly offending, become liable to the severest penalties as violators of the laws of war.

Dalam hukum internasional yang bersifat konvensional yang mengatur perilaku konflik bersenjata, Art. 1 dari Konvensi Den Haag 1907 yang kemudian diatur pula dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol 1977, dirumuskan kondisi dalam hal mana kombatan harus menghormati hak-hak hukum dari negara yang berperang. Ditentukan pula syarat adanya tentara yang commanded by a person responsible for his subordinates. Persyaratan ini menegaskan tanggungjawab komando secara terperinci.

281

Hal semacam juga muncul dalam laporan Commission of the Authors of the War and on Enforcement of Penalties (1919) setelah PD I, Treaty of Versaiiles, dan sebagainya. Masalah tanggungjawab komando menjadi sangat aktual seusai PD II dengan diadilinya para penjahat Perang Dunia II melalui Pengadilan Militer Internasional seperti di Nuremberg (IMT) dan di Timur Jauh (IMTFE) yang antara lain mengadili Jenderal Tomoyuki Yamashita, di samping pengadilan pelbagai negara yang mengadili para penjahat perang seperti di Kanada, Israel, Amerika Serikat, Perancis dan sebagainya, yang banyak mengembangkan hukum kebiasaan internasional. Masalah command responsibility jadi menghangat kembali sehubungan dengan pengaturannya dalam Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (1994) dan Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (1993) serta Rome Statute of the International Criminal Court (1998). Dalam kerangka pengaturan tentang Individual Criminal Responsibility Art. 7 Statuta ICFY menegaskan; (i) A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in the art. 2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime; (ii) The official position of any accused person, whether as Head of State or Government official, shall not relieve such person of criminal responsibility nor mitigate punishment; (iii) The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he know or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof; (iv) The fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of superior shall not relieve him of criminal responsibility but may be considered in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice requires. Hal yang sama juga diatur dalam Art. 6 ICTR. Penjelasan yang lebih lengkap dan agak berbeda dengan dua Statuta di atas tersurat dan tersirat dalam Pasal 28 Statuta Roma tentang International Criminal Court. Dalam Pasal 28 tersebut dijelaskan seperti berikut: a. A military commander or person effectively acting as a military commander shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by forces under his or her effective command and control, or effective authority and control as the case may 282

b.

c.

d.

e.

f. g.

be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such forces, where; That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces ere committing or about to commit such crimes; and That military commander or person failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution. With respect to superior and subordinate relationship not described in paragraph (a), a superior shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by sub ordinates under his or her effective authority and control, as a result of his or her failure to exercise control properly over such subordinate, where; The superior either knew, or consciously disregarded information which clearly indicated, that the subordinates were committing or about to commit such crimes; The crimes concerned activities that were within the effective responsibility and control of the superior; and The superior failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.

Dalam hal ini dapat diidentifikasikan elemen utama dari pertanggungjawaban komando yaitu: (1) adanya hubungan antara bawahan-atasan; (2) atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan; dan (3) atasan gagal untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan beralasan untuk mencegah tindak pidana atau menghukum pelaku. Hubungan atasanbawahan bisa de jure, de facto atau kombinasi antara keduanya. Jenderal Arne Willy Dahl (Hakim dari Norwegia) (2001) memberikan basis filosofi dari tanggungjawab komandan, bahwa kagagalan komandan untuk mengendalikan anak buahnya berkaitan erat dengan nama baik dan reputasi serta kehormatan pasukannya; atau bahkan dari negaranya serta berkaitan dengan keprihatinan mendalam dari semua orang yang memiliki kehendak baik. Hal ini juga berkaitan erat dengan kodrat organisasi militer sendiri yang membedakan antara kesatuan militer yang sah dan sekumpulan 283

individu pasukan liar atau gerilyawan (franc-tireurs). Di dalam the US Army Field Manual antara lain disebutkan bahwa ; Command is a specific and legal position unique to the military. Its where the buck stops .Command is a sacred trust. The legal and moral responsibilities of commanders exceed those of any other leader of similar position and authority. Karakter Yuridis Pertanggungjawaban Komando Doktrin bahwa para komandan militer dan orang-orang lain yang menduduki posisi dan kewenangan yang lebih tinggi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum dari anak buahnya, sudah dimantapkan dalam norma hukum kebiasaan dan perjanjian hukum internasional. Melihat pelbagai perumusan di atas nampak bahwa pertanggungjawaban pidana ini bisa bersumber dari actus reus baik berupa perbuatan positif dari komandan atau superior (kadang-kadang disebut sebagai direct command responsibility) maupun atas dasar kelalaian yang bersifat omisionis (culpable omissions). Dengan demikian seorang komandan atau superior tidak hanya bisa dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana karena ordering, instigating or planning tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya, tetapi juga karena kegagalan untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah atau menahan perbuatan melawan hukum bawahan tersebut. Perbedaan antara kedua tipe pertanggungjawaban terletak pada kenyataan bahwa dalam hal perbuatan positif para komandan, mengikuti apa yang dinamakan principles of accomplice liability dalam kerangka teori penyertaan (complicity, deelneming). Sedangkan yang kedua berkaitan dengan apa yang dinamakan the principle responsibility for omissions yang bisa terjadi apabila terdapat suatu kewajiban hukum untuk berbuat (legal obligation to act). Sehubungan dengan hal ini dalam Pasal 87 Additional Protocol I menyatakan bahwa: international law imposes an affirmative duty on superiors to prevent persons under their control from committing violations of international humanitarian law, and it is ultimately this duty that provides the basis for, and defines the contours of, the imputed criminal responsibility under Art 7(3) of the Statute. Doktrin modern tentang command responsibility boleh dikatakan berakar dari Konvensi Den Haag 1907. Baru pada tahun 1919 (Preliminary Peace Conference, Commission on the Responsibility of 284

the Authors of the War and on Enforcement of Penalties) merekomendasikan pembentukan suatu tribunal yang dapat menuntut dan memidana mereka yang: ordered, or with knowledge thereof and with power to intervene, abstained from preventing or taking measures to prevent, putting an end to or repressing violations of the laws or customs of war. Baru setelah PD II doktrin pertanggungjawaban komando yang bersifat culpable ommisions (failure to act) memperoleh pengakuan dalam konteks internasional. Di Perancis (1944) masuk kategori tolerated the criminal acts of their subordinates dalam the Suppression of War Crimes. Selanjutnya Chinese Law (1946) yang mengatur the Trial of War Criminals hal ini masuk kategori Persons who have not fulfilled their duty to prevent crimes from being committed by their subordinates shall be treated as the accomplices of such war criminals. Prof. Bassiouni mengidentifikasi bahwa failure to act depends on knowledge and opportunity to act adalah sebagai berikut: (1) in the prevention of the criminal act; (2) subsequent to the act if the superior failed to supervise, discover and take remedial action as needed under the circumstances; and (3) prosecute and if found guilty, punish the violator. Beberapa Pedoman Konseptual dan Empiris 1. The bottom-line for criminal liability is blameworthiness. Menurut Prof. Nico Keijzer, yang banyak mengkaji pandangan Grotius, dalam hal ini terdapat 3 kondisi pertanggungjawaban pidana komandan atas perbuatan bawahannya: (a) Seseorang mempunyai control atas orang lain; (b) Seseorang hanya bertanggungjawab karena tidak melakukan pencegahan kejahatan yang diketahuinya (knowledge); dan (c) Seseorang tidak hanya harus tahu, tetapi juga harus mampu untuk mencegah. Dengan demikian military subordination is a comprehensive but not conclusive factor in fixing criminal responsibility. Dalam perang modern, banyak langkah-langkah desentralisasi komando, sehingga kemungkinan Komando tinggi tidak dapat selalu memperoleh informasi lengkap dan detail dari operasi militer. Contohnya adalah Presiden Amerika sebagai Commander in Chief sulit dijadikan obyek dari theory of subordination. Dalam hal ini harus terbukti bahwa ia mengetahui atau dapat dikaitkan dengan kejahatan baik atas dasar participation atau persetujuan diam-diam (criminal acquiescene; The High Command Case). Dalam Art. 87 Protocol I ada istilah commensurate with their level of responsibility; 285

2. Berlakunya doktrin atau pendekatan strict liability (liability without mens rea). Hal ini muncul dalam Peradilan Yamashita, di mana jaksa sulit membuktikan bahwa Jenderal Yamashita telah memerintahkan kekejaman terhadap penduduk Philipina dan para tawanan orang-orang Amerika dalam pendudukan Jepang. Namun Yamashita sebagai Commanding General bala tentara Jepang di Philipina sekaligus sebagai gubernur militer harus tahu atas terjadinya kekejaman yang meluas (widespread ) dan besar (enormity), seperti perkosaan, pembunuhan, pembunuhan massal, perusakan harta benda yang meluas baik dalam konteks waktu maupun wilayah. Kejadian tersebut tidak bersifat sporadis dan dalam banyak kasus justru dihadiri dan diawasi oleh perwiraperwira Jepang. Sebagai komandan seharusnya melakukan kontrol efektif, karena kondisi tertentu.Pemikiran rasional menyimpulkan telah terjadinya perencanaan sengaja; Yamashita didakwa telah melakukan unlawfully disregarded and failed to discharge his duty as commander to control the operations of the members of his command, permitting them to commit brutal atrocities and other high crimes; 3. The commanding general of occupied territory has the duty and responsibility for maintaining peace and order, and the prevention of crime. He cannot ignore obvious facts and plead ignorance as a defence; (The High Command Case); 4. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa telah terjadi lebih dari satu kejahatan perang dari kesatuan di bawah komando dan kehadiran seorang perwira atau non commission officer pada saat atau sebelum kejahatan terjadi sangat menentukan pertanggung jawaban komando. Kurt Meyer, di Pengadilan Militer Kanada, dipidana karena anak buahnya telah melakukan pembunuhan terhadap tahanan; 5. Komandan tidak harus melihat sendiri terjadinya kekejaman; cukup apabila dia mengetahui bahwa bawahannya sedang dalam proses melakukan kejahatan atau telah melakukan kejahatan dan yang bersangkutan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan atau beralasan untuk menjamin ditaatinya hukum perang atau memidana para pelaku. Hal ini sesuai pula dengan Art. 86 para. 2 Protocol I; 6. Position of responsibility bisa juga berkaitan dengan civilian authorities. Dalam Rwanda Tribunal, seorang direktur pabrik teh 286

dituntut dan dipidana karena tidak melakukan tindakan campur tangan dan pencegahan kejahatan genosida yang dilakukan bawahannya di luar jam kerja; 7. Pertanggungjawaban komando tidak hanya diterapkan terhadap formal commanders, tetapi juga terhadap orang-orang yang memperoleh suatu posisi informal dalam hal mana dia bisa menggunakan kekuasaannya sebagai seorang komandan. Hal ini bisa terjadi dalam perang saudara (civil war). Dalam Tribunal Yugoslavia, seorang yang bertindak sebagai komandan penjara di Bosnia, sekalipun secara formal tidak pernah ditunjuk dalam jabatan tersebut, tetapi secara de facto dia adalah komandan yang tidak melakukan pencegahan pembunuhan-pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan oleh para penjaga penjara; 8. Atas dasar case law dari dua tribunal dan juga Pasal 28 Statuta ICC, kontrol yang efektif secara umum ditafsirkan sebagai suatu kondisi di mana atasan secara sungguh-sungguh mampu menggunakan kekuasaannya bilamana dia menginginkannya. Dengan demikian istilah tersebut menunjuk kepada material ability untuk mencegah dan menahan tindak pidana. Apakah seseorang berada dalam posisi untuk mengontrol atau tidak akan tergantung pada apakah seseorang mempunyai kekuasaan untuk mengeluarkan perintah yang mengikat bawahannya dan untuk mencegah atau menghukum setiap pelaku tindak pidana yang mungkin dilakukan. Dengan demikian kontrol harus diartikan sebagai sambungan atau akibat komando (sequel of command). Perkecualian bisa terjadi apabila komandan tidak mempunyai kontrol efektif, misalnya karena komunikasi terputus, pemberontakan (mutiny), atau sebab-sebab lain yang sulit dihindari. Kontrol tidak harus berasal dari komando militer, tetapi juga bisa berasal dari orang yang berwenang, misalnya pimpinan politik atau pejabat pemerintah. Tingkatan komando dan kontrol bervariasi; bisa operasional, taktis, administratif, eksekutif dalam teritori di bawah kontrol atasan. Tanggungjawab atasan akan banyak tergantung pada derajat kontrol dan cara pelaksanaannya; 9. Seorang staf sekalipun memiliki pengaruh besar, belum tentu mampu mencegah kejahatan. Sebagai contoh adalah kasus yang diadili Trial Chamber ICTY. Seseorang yang bertindak sebagai co-ordinator of logistic support tetapi tidak dalam posisi sebagai 287

superior authority terhadap pelaku kejahatan, sehingga dibebaskan; Kasus lain yang menarik dalam hal ini adalah apa yang terjadi dalam Tokyo Tribunal yang mengadili Letjen Akira Muto, yang bebas dalam kasus Rape of Nanking, karena kedudukannya sebagai seorang perwira staf dari Jenderal Iwane Matsui. Muto kemudian dipromosikan menjadi Chief of Staff Jenderal Yamashita di Filipina. Dalam kasus kekejaman di Filipina, Muto tidak bebas dari pertanggungjawaban komander (shares responsibility) karena dia dalam posisi yang dapat mempengaruhi kebijakan (in a position to influence policy); 10.Istilah cognitive element mencakup tiga derajat kesadaran : (1) actually knew; (2) deliberately took the risk that this would happen, if not knowing it ; dan (3) he should have known that such crimes were about to occur. Yang pertama mengandung pengertian he must have known seperti dalam kasus Yamashita di mana kejahatan jumlahnya sangat besar. Contoh lain adalah Kasus ICTY tentang pembunuhan di camp penjara. Dalam hal ini ada perbedaan antara perumusan ICTR dan ICTY di satu pihak yang menggunakan istilah had reason to know dan Statuta ICC di lain pihak yang menggunakan istilah owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes. Dalam hal ini Trial Chamber menentukan bahwa had reason to know berlaku dan atasan bertanggungjawab apabila informasi sudah diberikan kepadanya, yang menempatkan dia dalam posisi deliberately taken the risk that the crimes might occcur. Istilah should have known dalam Statuta ICC berkaitan dengan standar komander yang selalu mempunyai kewajiban untuk selalu memiliki informasi tentang kinerja anak buahnya. Dua kriteria deliberately taking a risk dan the should have known test terdapat dalam Statuta Roma Art. 28. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara military superiors dan non military superiors. Non military superiors tidak akan bertanggungjawab secara pidana sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan bawahannya, kecuali mereka consciously disregarded information yang jelas-jelas diberikan bahwa bawahannya melakukan tindak pidana. Dalam hal terdakwa a military superiors, berlaku syarat owing the circumstances at the time, he should have known that the forces were committing or about to commit such crimes. Dalam hal ini seorang komandan militer dapat dituntut karena negligence, 288

sedangkan untuk superior sipil harus menggunakan standar yang lebih tinggi, yaitu dia harus memiliki pengetahuan aktual atau konstruktif bahwa kejahatan sedang dilakukan. 11.Dalam kerangka elemen operasional, terkait suatu persyaratan bahwa atasan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana atas kegagalannya untuk campur tangan mencegah atau menahan kejahatan. Dalam kasus ICTY yang menyangkut pembunuhan di camp penjara, memang bisa dibuktikan bahwa komandan penjara telah mengeluarkan perintah bahwa tidak seorangpun boleh disiksa, namun dia alpa untuk melakukan pengecekan apakah perintahnya dipatuhi. Harus dicatat bahwa hal ini tetap ada batasnya; 12.Untuk mengukur apakah telah terjadi failed in his duty untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah atau menghukum pelaku tindak pidana, yang dijadikan ukuran adalah apakah seseorang telah bertindak sesuai dengan reasonable person dalam posisinya sebagai komandan. Contohnya adalah seorang komandan dalam tentara El Salvador yang telah dianggap berpartisipasi membunuh petugas gereja Amerika, karena gagal memenuhi kewajibannya seperti tersebut di atas. Sebagai komandan ia should have known apa yang harus dilakukan para petugas gereja dan aktivis; 13.Ruang lingkup tanggungjawab individual yang mencakup pula Head(s) of State or Government atau responsible Government official (s) di dalam Art 7(2) mengindikasikan bahwa penerapannya jauh lebih luas daripada sekedar komandan militer dan bisa mencakup pimpinan politik dan atasan sipil lainnya sebagai atasan yang berwenang. Semua di bawah doctrine in certain circumstances. Contohnya adalah apa yang terjadi pada IMTFE yang mengadili kasus rape of Nanking. Dalam hal ini yang dipidana tidak hanya Jenderal Iwane Matsui, tetapi juga Menteri Luar Negeri Jepang Koki Hirota yang dianggap gagal menjalankan tugasnya untuk mengambil langkah-langkah untuk mengamankan dan mencegah pelanggaran terhadap hukum perang, padahal yang bersangkutan telah memperoleh laporan tentang kekejaman yang terjadi waktu tentara Jepang memasuki Nanking. Pengadilan menyatakan bahwa his inaction amounted to criminal negligence. Demikian pula terhadap Perdana Menteri Hideki Tojo dan Menteri Luar Negeri Mamoru Shigemitsu karena dianggap melakukan omissions to prevent or punish the criminal acts dari tentara Jepang; 289

14.Atas dasar pengalaman dua tribunal ad hoc, dalam hal ketiadaan bukti-bukti langsung tentang pengetahuan superior tentang kejahatan yang dilakukan bawahan, pengetahuan tersebut tidak boleh diperkirakan, tetapi harus dikaitkan dengan bukti-bukti tidak langsung (circumstantial evidence) berupa pengetahuan tertentu seperti: the number of illegal acts; the type of illegal acts; the scope of illegal acts; the time during which the illegal acts occurred; the number and type of troops involved; the logistics involved, if any; the geographical locations of the acts; the widespread occurance of the acts; the tactical tempo of operations; the modus operandi of similar illegal acts; the officers and staff involved; theblocations of the commander at the time.; 15.Hubungan sebab akibat antara superiors omission dengan kejahatan yang terjadi tidak perlu dibuktikan sebagai unsur terpisah dari pertanggungjawaban komando. Hal ini dianggap sudah melekat dalam persyaratan atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahan dan kegagalan atasan untuk mengambil tindakan dalam rangka kekuasaannya untuk mencegah. Namun demikian harus dipahami bahwa pertanggungjawaban komando baru bisa dilakukan apabila telah dibuktikan telah terjadinya core crimes, baik dalam bentuk kejahatan perang, kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hal core crimes ini, sepanjang mengenai elemen material dan elemen mental perlu dikaji ketentuan yang berlaku secara universal, misalnya apa yang diatur dalam dokumen the Elements of Crimes, Statuta Roma tentang ICC, 1998. Sekalipun demikian pemahaman mengenai syarat pemidanaan yang berlaku dalam hukum nasional akan sangat membantu, baik yang berkaitan dengan unsur perbuatan maupun unsur kesalahan; 16.Bilamana persyaratan actus reus (elemen material) telah diuraikan dalam bagian II makalah ini, maka prasyarat mens rea (elemen mental) nampak dari hal-hal sebagai berikut: (1) actual knowledge established through direct evidence; or (2) actual knowledge established through circumstancial evidence, with a presumption of knowledge where the crimes of subordinates are a matter of public notoriety, are numerous, occur over a prolonged period, or in a wide geographical area; or (3) wanton disregard of, or failure to obtain information of a general nature within the reasonable access of a commander indicating the likelihood of actual or prospective criminal conduct on the part of his subordinates. 290

Penutup Indonesia telah memiliki UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam merumuskan kejahatan yang termasuk yurisdiksinya tegas-tegas dinyatakan telah mengikuti Statuta Roma th. 1998. Hanya sayangnya, dua dokumen lainnya yang melekat tidak pernah disebutkan yaitu dokumen tentang Elements of Crimes dan dokumen tentang Rules of Procedures and Evidence. Juga sangat disayangkan tidak dimasukkannya ketentuan ICC tentang kejahatan perang dalam yurisdiksi Pengadilan HAM. Di samping itu pelbagai rumusan lain dalam Pengadilan HAM juga mengadopsi apa yang diatur oleh ICC. Contohnya adalah Pasal 42 yang mengatur tentang Pertanggungjawaban Komando. Sebagai suatu norma yang baru, kita harus mengkaji baik secara teoritik maupun empiris apa yang telah terjadi dalam praktek hukum internasional yang cenderung sudah menjadi hukum kebiasaan internasional. Sebenarnya pelbagai diskusi di atas dapat ditempatkan dalam kerangka Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang mengatur tentang Penyertaan (deelneming), sekalipun terdapat hal yang relatif baru yaitu crimes by omission atau culpable omission. Dikatakan relatif baru, karena secara konseptual kejahatan omisionis juga dikenal seperti pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 berupa pembunuhan dengan sengaja dengan cara tidak memberikan bantuan makanan atau kesehatan atau melalaikan hak POW untuk diadili secara adil. Dalam kerangka ini dipertimbangkan betapa pentingnya studi perbandingan hukum antar negara. Dalam hal ini Prof. Nico Kaijzer menyatakan bahwa pelbagai uraian di atas tidak hanya terbatas pada kejahatan perang, tetapi harus dilihat sebagai salah satu bentuk criminal participation atau participation by omission dan dapat berkaitan dengan delik-delik yang lain secara umum. The American Model Penal Code (Section 2.06(3)) menentukan bahwa a person is an accomplice of another in the commission of a criminal offence, inter alia, if he , having a legal duty to prevent the commission of the offence, fails to make proper effort to do so. Dalam Paragraf 13 KUHP Jerman yang mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap mereka yang mengabaikan untuk mencegah kejahatan agar tidak terjadi, padahal yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk melakukannya. Participation by omission juga dikenal dalam 291

yurisprudensi (case law) Belanda sebagai landasan pertanggung jawaban pidana. Sebagai rekomendasi dapat dikemukakan agar antar negara terjadi harmonisasi mengenai military codes dan rule of engagement (semacam British Manual of Military Law atau the US Army Field Manual), mengingat telah terbentuknya ICC yang bersifat permanen dan memungkinkan dibentuknya peradilan pidana ad hoc oleh Dewan Keamanan PBB yang secara komplementer dapat mengambil alih fungsi peradilan pidana nasional apabila diidentifikasikan telah terjadi sham proceeding. n

292

Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Penyuapan Saksi Oleh Pengacara


Dunia profesi hukum akhir-akhir ini mengalami cobaan luar biasa. Indikasi terjadinya kebohongan publik dalam proses peradilan, dibunuhnya hakim agung dengan disertai pelbagai aroma bau yang tidak sedap, hakim yang diadili karena mafia peradilan, dan yang terakhir adalah ditangkapnya seorang hakim yang sedang menjalankan profesinya karena dugaan suap terhadap saksi, adalah serangkaian kisah nyata yang sungguh sangat memprihatinkan masyarakat. Kasus yang disebut terakhir ini bahkan telah menarik perhatian publik yang luas karena disertai dengan dilakukannya peradilan disiplin profesi yang penuh perdebatan dan kontroversi menyangkut eksistensi dan validitasnya. Kasus seorang pengacara yang ditahan karena dugaan melakukan suap terhadap saksi dalam suatu kasus, mengharuskan kita untuk melakukan kontemplasi tentang hakekat perbuatan suap (bribery act). Dan sepanjang berkaitan dengan proses peradilan, jelas kasus tersebut tidak sekedar menyangkut isu suap, tetapi juga berkaitan erat dengan tindak pidana gangguan terhadap proses untuk memperoleh keadilan (obstruction of justice) dan lebih luas lagi merupakan kejahatan terhadap administrasi peradilan pidana. Perbuatan suap merupakan mala per se atau mala in se dan bukan mala prohibita. Konsep mala per se yang dilandasi oleh pemikiran natural wrongs menganggap bahwa kejahatan-kejahatan tertentu merupakan kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela bukan karena peraturan perundang-undangan telah melarangnya. Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah. Contohnya adalah pembunuhan, perkosaan, pencurian dan juga penyuapan (bribery). 293

Sedangkan konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bahwa perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah melarangnya, sehingga disebut sebagai regulatory offenses. Contohnya adalah pelbagai peraturan tata tertib di pelbagai bidang kehidupan yang diperlukan dalam rangka untuk menegakkan tertibnya kehidupan modern. Tindak pidana suap merupakan mal per se karena penyuapan selalu mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi (influencing) agar yang disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Hal ini nampak dari perumusan Pasal 209 KUHP dan Pasal 419 KUHP (penyuapan aktif dan pasif terhadap pejabat) serta Pasal 210 KUHP dan Pasal 420 KUHP (penyuapan aktif dan pasif terhadap hakim). Dengan demikian baik aktor intelektual maupun aktor pelakunya telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum maupun norma-norma sosial yang lain (agama, kesusilaan dan kesopanan). Mengingat tindak pidana suap terhadap pejabat dan terhadap hakim masuk kategori tindak pidana korupsi, maka menurut UU No. 31 Tahun 1999 diatur pula tentang tanggungjawab kejahatan korporasi (corporate criminal responsibility). Dalam kasus ini penyuapan tidak hanya berupa pemberian atau janji untuk memberikan uang atau barang, tetapi juga berupa gratifikasi, kemudahan, entertainment, keuntungan, hadiah, honorarium dan sebagainya. Di dalam sistem Common Law, sepanjang menyangkut pejabat publik, intisari dari kejahatan adalah untuk merusak keadilan (to pervert justice). Dalam Pasal 418 KUHP bahkan segala hadiah atau janji yang diketahui atau sepatutnya harus diduga ada kaitannya dengan kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dilarang. Lima Pasal KUHP tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. (UU Njo. 31 Tahun 1999). Khusus berkaitan dengan Pasal 419 KUHP di Singapura terdapat ketentuan yang lebih keras berupa Non-Acceptance of Gifts yang pada prinsipnya setiap pejabat dilarang menerima hadiah, souvenir dan lain-lain sepanjang dapat menempatkan yang bersangkutan pada suatu kewajiban terhadap orang yang mempunyai hubungan dengan pekerjaannya. Pemberian tersebut harus dilaporkan dan kalau ingin memilikinya, harus membayar setelah ditaksir harganya. 294

Kejahatan penyuapan dianggap merusak integritas kemanusian, kehormatan, demokrasi, kepercayaan, moralitas, keadilan dan kebenaran, dan tidak hanya berkaitan dengan hubungan antara pejabat dan warga negara, tetapi juga antar warga negara yang berkaitan dengan kepentingan umum. Hal ini nampak dari pengembangan kriminalisasi terhadap tindak pidana penyuapan yang berkaitan dengan kepentingan umum (UU No. 11 Tahun 1980), penyuapan dalam pemilihan umum baik supaya orang tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu (Pasal 73 UU No. 3 Tahun 1999). Tindak pidana penyuapan terhadap anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank sebagai lex specialis juga diatur dalam UU No. 10 Tahun 1988 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di dunia internasional, dipelopori oleh OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) telah mendorong agar negaranegara industri segera melakukan kriminalisasi terhadap apa yang disebut korupsi komersial untuk memerangi penyuapan terhadap para pejabat publik di negara lain dalam transaksi bisnis internasional. Dalam hal ini telah diadakan OECDs Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions. Di USA sangat terkenal apa yang dinamakan the Foreign Corrupt Practices Act (FCPA), 1977. Kesemua itudimaksudkan untuk menjawab keprihatinan terhadap masalah politik dan moral dalam kerangka usaha penciptaan pemerintah yang baik, pembangunan ekonomi, dan distorsi kondisi persaingan bisnis internasional yang nampaknya sudah merasakan betapa perlunya kerjasama internasional untuk mengatasinya. Suap-menyuap yang berkaitan dengan pejabat publik, ternyata dapat berkaitan dengan kejahatan yang sangat berat yaitu kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crimes: TOC) . Dalam UN Convention Against Transnational Organized Crimes, Palermo, 2000, TOC meliputi pencegahan, investigasi dan penuntutan terhadap perbuatan berupa partisipasi dalam kelompok kejahatan terorganisasi, kejahatan pencucian uang, kejahatan korupsi khususnya penyuapan terhadap pejabat publik, langsung atau tidak langsung, kejahatan obstruction of justice dan kejahatan berat yang lain yaitu kejahatan yang diancam pidana perampasan kemerdekaan maksimum empat tahun atau lebih. 295

Kasus penyuapan terhadap saksi, apabila benar-benar terjadi sudah merupakan tindak pidana berat, sebab tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana suap di luar ketentuan perundang-undangan yang sudah ada (UU No. 11 Tahun 1980) terhadap seseorang, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya (yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum), tetapi juga berkaitan dengan asas peradilan yang jujur dan dan tindak pidana berupa gangguan terhadap proses memperoleh keadilan yang juga masuk kategori transnational organized crimes (Palermo Convention, 2000). Lebih luas lagi termasuk kategori kejahatan melawan administrasi peradilan. Pengadilan yang Fair Prinsip pengadilan yang fair dapat dikaji tidak hanya melalui hukum nasional (KUHP, KUHAP dan Perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem peradilan, yurisprudensi, hukum kebiasaan), tetapi juga dari instrumen-instrumen (HAM) internasional, hukum kebiasaan internasional, asas-asas hukum umum internasional, doktrin dan keputusan hakim (landmark court decisions). Hal ini bisa berkaitan dengan tahap-tahap; pre-trial seperti, larangan penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, hak untuk mengetahui alasan penangkapan, hak untuk memperoleh bantuan hukum, hak untuk memperoleh kepastian tentang sahnya penangkapan dan penahanan, larangan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, larangan incommunicado detention; tahap hearing berupa persamaan di depan hukum, hak untuk diadili secara terbuka dan secara adil, hak untuk diadili berdasarkan hukum oleh pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak, praduga tidak bersalah, hak untuk segera mengetahui hakekat dari dakwaan, hak untuk diberikan waktu cukup dan fasilitas guna mempersiapkan pembelaan, hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda secara tidak beralasan, hak untuk membela diri baik sendiri maupun oleh penasehat hukum, hak untuk memeriksa saksi-saksi, hak untuk memperoleh penerjemah, larangan self incrimination, larangan pemberlakuan hukum pidana yang berlaku surut, dan ne bis in idem. Kemudian tahap post-trial, mencakup hak untuk naik banding dan hak untuk memperoleh kompensasi apabila terjadi kegagalan dalam menentukan keadilan. 296

Semua tahapan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan integritas pengadilan sebagai unsur demokrasi, khususnya keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif, di samping keharusan terus menerus untuk mempromosikan dan melindungi HAM. Penyuapan terhadap saksi jelas akan merusak integritas pengadilan sebagai unsur demokrasi. Tindak pidana penyuapan terhadap saksi pada dasarnya merupakan tindak pidana gangguan terhadap hak untuk mendapatkan keadilan (obstruction of justice) yang dalam Palermo Convention dirumuskan sebagai berikut: a. The use of physical force, threats or intimidation or the promise, offering or giving of an undue advantage to induce false testimony or to interfere in the giving of testimony or the production of evidence in a proceeding in relation to the commission of offenses covered by this Convention; b. The use of physical force, threats or intimidation to interfere with the exercise of official duties by a justice or law enforcement official in relation to the commission of offenses covered by this convention. Dalam kerangka obstruction of justice ini orang akan selalu teringat pidato Rep. Christopher Cannon (Januari 1999), seorang anggota Kongres dari Utah, di depan Senat AS dalam proses impeachment Presiden Clinton. Dia menyatakan bahwa kejahatan obstruction of justice mencakup; a. design to delay, impede, cover up and conceal the existence of evidence and testimony; b. to use of force or threats, or to otherwise act corruptly, in order to influence, obstruct or impede the due administration of justice; c. witness tampering to influence, delay or prevent the testimony of any person in an official proceeding; or to cause another person to withhold an object from an official proceeding; or to give wrongful testimony. Mengenai kejahatan melawan administrasi peradilan, dapat dikaji sebagai model apa yang telah dirumuskan dalam Statuta Roma, 1998 tentang International Criminal Court. Pada Pasal 70 hal ini mencakup perbuatan yang dengan sengaja: a. Giving false testimony when under an obligation pursuant to Art. 69, to tell the truth; b. Presenting evidence that the party knows is false or forged; c. Corruptly influencing a witness, obstructing or interfering with the attendance or testimony of a witness, retaliating against a witness for 297

giving testimony or destroying, tampering with or interfering with the collection of evidence; d. Impeding, intimidating, or corruptly influencing an official of the court for the purpose of forcing or persuading the official not to perform, or to perform improperly, his or her duties; e. Retaliating against an official of the court on account of duties performed by that or another official; f. Soliciting or accepting a bribe as an official of the court in connection with his or her official duties. Uraian atas dasar instrumen internasional dan negara lain di atas penting untuk menggambarkan bahwa perbuatan penyuapan merupakan mala per se dan dikriminalisasikan secara universal. Sepanjang menyangkut penyuapan terhadap saksi, akan berkaitan dengan delik yang lebih spesifik dan penting yaitu obstruction of justice dan offenses against the administration of justice. Dampak viktimisasinya bersifat multidimensional, sehingga alasan kriminalisasinyapun sangat kuat. Dalam kaitan dengan hukum pidana positif Indonesia, kasus penyuapan terhadap saksi oleh seorang pengacara akan dapat dipidana atas dasar UU No. 11 Tahun 1980 tentang tindak pidana suap yang menyangkut kepentingan umum. Di samping itu dapat pula dikaitkan dengan tindak pidana penganjuran untuk melakukan sumpah palsu (Ps. 55 ayat (1) ke-2 Jo. Pasal 242 KUHP). Yang terakhir ini sesuai dengan Pasal 174 KUHAP memerlukan acara khusus. Sebagai catatan, khusus berkaitan dengan kasus yang dialami pengacara di atas, sehubungan dengan telah dilakukannya peradilan kode etik terhadap tersangka oleh asosiasi profesi dalam bentuk disciplinary proceedings dan dinyatakan salah serta telah dijatuhi sanksi teguran keras, maka sesuai dengan dokumen internasional (Basic Principles on the Role of Lawyers, 1990) tindakan yang demikian sudah benar. Namun karena persoalannya berkaitan dengan pelanggaran etika, dan tidak berkaitan dengan malpraktek maka apa yang telah diputuskan pengadilan disiplin tersebut tidak bersifat interdependen dengan proses peradilan pidana. Hanya saja dari sisi pembuktian unsur sifat melawan hukum, secara komplementer hasil peradilan disiplin tersebut dapat dikaitkan dengan unsur sifat melawan hukum materiil yang dapat memperkuat unsur sifat melawan hukum formil. n 298

Proses Peradilan In Absentia: Konteks dan Permasalahannya


Negara demokratis yang harus selalu berusaha memenuhi indeks demokrasi, para penguasanya akan selalu sadar bahwa keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif serta selalu mempromosikan dan melindungi HAM, merupakan hal-hal yang bersifat imperatif dan bukan fakultatif. (Beetham, 1999). Termasuk dalam pengertian imperatif tadi adalah peradilan yang adil (dalam konteks perlindungan HAM) dalam administrasi peradilan pidana. Pelbagai norma, nilai dan standar terus dikembangkan baik secara universal maupun secara nasional. Menurut pengalaman, perkembangan tersebut melalui tahap-tahap: enunciative, declarative, prescriptive, enforcement and criminalization. (Bassiouni, 1994). Dalam kerangka universal sangat penting untuk diperhatikan pelbagai perjanjian internasional tentang HAM, terutama yang sudah diratifikasi oleh suatu negara dan norma-norma hukum kebiasaan internasional yang sudah diadopsi oleh bangsa-bangsa beradab. Sedangkan dalam kerangka hukum nasional sangat penting untuk diperhatikan dan dikaji terus menerus konstitusi negara, khususnya sepanjang berkaitan dengan HAM, dan sistem peradilan di Indonesia tidak bisa mengabaikan TAP MPR No. XVII/II/MPR/1998 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Selanjutnya pelbagai ketentuan yang tersurat dan tersirat dalam KUHP dan KUHAP serta pelbagai perundang-undangan yang mengatur sistem peradilan pidana, seperti, UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan pelbagai Perundangundangan yang mengatur badan peradilan, selain tidak kalah pentingnya pelbagai yurisprudensi atau landmark court decisions meminjam istilah dari negara-negara yang menganut Common law. 299

Keberadaan peradilan in absentia bisa dikaji dari tiga sisi. Sisi pertama memandang peradilan in absentia sebagai bagian dari asasasas peradilan yang adil. Sisi kedua melihat peradilan in absentia sebagai bagian dari perlindungan HAM dalam sistem Administrasi Peradilan Pidana (The Protection of Human Rights in the Administration of Criminal Justice). Sedangkan sisi ketiga, peradilan in absentia sebagai lembaga hukum akan bersentuhan dengan asas-asas ekstradisi. Hak-hak yang Harus Dilindungi Asas-asas peradilan yang adil membentang mulai dari saat investigasi dilakukan sampai dengan digelarnya peradilan secara terbuka, termasuk proses banding, kasasi serta peninjauan kembali, sehingga keputusan hakim memperoleh kekuatan yang tetap. Hal ini mencakup perlindungan hak pada tahap-tahap pra peradilan ( pre trial stage), tahap proses peradilan (the actual trial stage) dan tahap pasca peradilan (post trial stage). Di bawah ini adalah hak-hak yang harus dilindungi pada masing-masing tahap. 1. Tahap Pra Peradilan: a. larangan penangkapan atau penahanan sewenang-wenang; b. hak untuk mengetahui alasan penahan; c. hak untuk mendapat jasa pengacara; d. hak untuk hadir di hadapan hakim untuk menguji keabsahan penangkapan atau penahanan; e. larangan penyiksaan dan hak untuk mendapatkan perlakukan manusiawi selama masa penahanan pra peradilan; f. larangan penahanan incommunicado (yang memutuskan hubungan dengan orang lain). 2. Tahap Peradilan; a. akses yang sama di hadapan pengadilan; b. hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil (a fair hearing); c. hak untuk mendapatkan pemeriksaan publik (a public hearing); d. hak untuk diadili pada pengadilan yang tidak memihak, independen, dan kompeten sebagaimana diatur dalam undang-undang; e. hak untuk mendapatkan perlakuan praduga tak bersalah; f. hak untuk mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai alasan tuduhan pidana; g. hak untuk mendapatkan waktu dan fasilitas yang memadai untuk persiapan penahanan; 300

h. hak untuk memeriksa para saksi; i. hak untuk mendapatkan penerjemah; j. larangan melibatkan seseorang yang memberatkan; k. larangan penerapan hukum-hukum pidana yang berlaku surut; l. larangan dalam bahaya yang berlipat (double jeopardy) 3. Tahap Pasca Peradilan; a. hak untuk mengajukan peninjauan; b. hak untuk mendapatkan ganti rugi karena kesalahan peradilan. Dalam kerangka tahapan di atas, peradilan in absentia berkaitan erat dengan butir 2 (I) di atas mengenai the right to defend oneself in person or through legal councel . Dalam hal ini terjadi pro dan kontra antara yang menolak peradilan in absentia (NGOs dan Statuta Roma) dan yang mendukung (Human Rights Committee-HRC). Yang terakhir ini menegaskan bahwa peradilan in absentia dibolehkan dalam kondisi tertentu jika negara dipandang telah cukup melakukan usaha untuk menginformasikan terdakwa tentang proses peradilan yang akan berlangsung, sehingga memungkinkan melakukan persiapan pembelaan. Mengenai perlindungan HAM di dalam Administrasi Peradilan Pidana, hal ini mencakup lingkup yang sangat luas dan seringkali juga bersentuhan dengan asas-asas peradilan yang adil di atas. Promosi dan perlindungan HAM mencakup ruang lingkup sebagai berikut: a. pencegahan diskriminasi; b. asas legalitas; c. non wrga negara dan pengungsi; d. hak untuk hidup dan bebas dari hukuman yang kejam dan tidak wajar; e. hak untuk mendapatkan hak dan kebebasan sebagai tahanan; f. hak untuk mendapatkan peradilan yang adil; g. Administrasi peradilan remaja (Administration of Juvenile justice); h. kebijakan peradilan pidana; i. tata tertib; j. hak (korban) untuk mendapatkan pengobatan; k. prosedur untuk menyampaikan keluhan dan laporan (complaints and reporting procedures); l. Derogasi; m. kerjasama internasional dalam hal-hal pidana, termasuk perjanjian-perjanjian (treaties model). 301

Dalam ruang lingkup ini peradilan in absentia berkaitan erat dengan hak untuk mendapatkan peradilan yang fair, khususnya Pasal 14 (3) (d) Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang mengatur jaminan minimum, dalam hal persamaan secara penuh disebutkan:
Untuk diadili dengan kehadiran terdakwa dan untuk membela dirinya sendiri atau melalui bantuan hukum yang dipilihnya sendiri; untuk diberitahukan haknya, jika ia tidak memiliki bantuan hukum; dan untuk mendapatkan bantuan hukum yang ditunjuk untuknya dalam hal di mana peradilan membutuhkannya, tanpa dibayar jika ia tidak mampu membayarnya.

Mengenai hal di atas Human Rights Committee of the International Convenant on Civil and Political Rights memberikan komentar sebagai berikut:
Tertuduh atau pengacaranya harus dibenarkan bertindak sungguhsungguh dan tanpa rasa takut dalam melakukan pembelaan dan hak untuk menguji keabsahan peradilan jika mereka percaya (peradilan) tidak melakukan dengan adil. Jika peradilan in absentia dilakukan karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan, hak-hak pembelaan tertuduh harus tetap diperhatikan.Komisi menetapkan bahwa hak untuk mendapatkan peradilan secara terbuka tidak melarang tuduhantuduhan in absentia. Komisi menyatakan bahwa tuduhan in absentia dibolehkan dalam administrasi peradilan yang tepat, misalnya ketika tertuduh telah diinformasikan mengenai tuduhan-tuduhannya lebih dulu tetapi kemudian menolak penggunaan haknya untuk hadir. Putusan yang sah in absentia mengharuskan pengambilan langkahlangkah untuk menginformasikan tertuduh lebih dahulu mengenai tuduhan-tuduhannya, terutama syarat-syarat pada ps. 14 (3) (a): untuk diberitahukan dengan segera dan rinci dalam bahasa yang bisa dimengerti mengenai alasan tuduhan terhadapnya. Tujuan pemberitahuan adalah untuk memberikan kesempatan kepada tertuduh menggunakan haknya secara efektif di bawah pasal 14. Untuk memenuhi tujuan ini, pemberitahuan harus menginformasikan kepada tertuduh mengenai tanggal dan tempat peradilan, dan meminta kehadirannya.

Dikaitkan dengan masalah ekstradisi, dapat dikaji Model Treaty on Extradition. Di dalam pasal 3 yang mengatur Mandatory Grounds for Refusal huruf (g), ditegaskan hal ini bisa terjadi bila: Keputusan negara yang meminta telah memutuskan in absentia, tertuduh tidak mendapatkan pemberitahuan peradilan yang memadai, atau 302

kesempatan untuk mengatur pembelaannya, dan ia tidak memiliki kesempatan lagi agar kasusnya diadili dengan kehadirannya. Didalam KUHAP, untuk acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan acara singkat, tidak dibenarkan menerapkan peradilan in absentia. Dengan demikian kehadiran terdakwa dalam persidangan merupakan keharusan. Hal ini tersirat dalam Pasal 154 KUHAP yang mengatur tentang proses menghadirkan terdakwa dalam persidangan, dan bila perlu dihadirkan secara paksa (Pasal 154 ayat 6 KUHAP). Persidangan tidak dapat dimulai sampai penuntut umum berhasil menghadirkan terdakwa di persidangan. Sebagai catatan, perkecualian bisa saja terjadi dalam pemeriksaan perkara cepat, misalnya perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Dalam hal ini bisa dilakukan quasi keperdataan dan perkecualian terhadap asas in absentia. Undang-undang tidak mewajibkan terdakwa menghadap in person di sidang pengadilan dan ia dapat menunjuk wakilnya. (Harahap, 2000). Dalam beberapa perundang-undangan di luar KUHP, atas dasar asas lex posteriori derogat legi priori diatur peradilan in absentia, seperti UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi Pasal 23 ayat (1), yang kemudian ditegaskan kembali oleh UU penggantinya yaitu UU No.31 Tahun 1999 Pasal 38 ayat (1). Dalam hal ini dinyatakan bahwa jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan dan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya. Sayangnya pengecualian yang signifikan semacam ini tidak disertai dengan standar hukum dan petunjuk umum tentang tata cara untuk melaksanakan peradilan in absentia. Petunjuk umum semacam ini bisa disusun oleh Mahkamah Agung, misalnya pernyataan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini. Hal ini sama persis dengan apa yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung baru-baru ini melalui PERMA No.1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Pedoman Umum Keberadaan pedoman umum melalui PERMA tentang standar yuridis dan tata cara melaksanakan peradilan in absentia sangat 303

penting, melihat kemungkinan viktimisasi terhadap tiga dimensi kepentingan dalam peradilan in absentia diatas. Pedoman semacam ini harus bisa menjawab: a. Hakekat peradilan in absentia sebagai ex parte hearing dalam konteks sistem peradilan pidana; b. Peradilan in absentia merupakan peradilan perkecualian dengan syarat-syarat yang jelas (reasonable cause sebagai bagian minimum guarantees) ; c. Apakah peradilan in absentia hanya berkaitan dengan sidang pengadilan ataukah bisa juga mencakup ketidakhadiran terdakwa dalam keseluruhan proses sistem peradilan pidana (mulai penyidikan sampai dengan sidang pengadilan). Dengan kata lain apakah dimungkinkan penyidikan in absentia sehingga menghasilkan dakwaan fiktif (fictional indictment); d. Sampai seberapa jauh hakim dapat menolak kehadiran penasehat hukum dalam peradilan in absentia, lebih-lebih apabila terdakwa in absentia diancam dengan pidana berat; e. Sampai seberapa jauh dimungkinkan terjadinya persidangan ulangan, sehingga yang bersangkutan mempunyai kesempatan untuk melakukan pembelaan. Beberapa hal yang bisa dijadikan bahan perumusan standar hukum dan pedoman peradilan in absentia adalah sebagai berikut: a. Dalam tindak pidana tertentu, pada dasarnya setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk diadili (the right to be tried in his presence), kecuali yang bersangkutan secara sukarela melepaskan haknya, atau yang bersangkutan melarikan diri, atau dengan sengaja yang bersangkutan memilih untuk tidak bersedia hadir; b. Persidangan in absentia hanya dapat dilakukan atau diperbolehkan demi kepentingan keadilan, apabila terdakwa yang telah diberi informasi sebelumnya secara patut, tidak mau atau mundur dari haknya untuk hadir; c. Proses pemidanaan pada dasarnya merupakan penghukuman secara formal (formal condemnation) setelah terjadi penyelidikan, seleksi dan evaluasi yang akurat terhadap alat-alat bukti yang mendukung. Sedangkan dakwaan hanya merupakan tuduhan yang belum terbukti (unproved charge) dan bukan merupakan konklusi final tentang kesalahan. Dengan demikian peradilan in absentia 304

d.

e.

f.

g.

harus sudah melalui eksaminasi permulaan yang cukup terhadap alat-alat bukti yang dapat mendukung dakwaan; Peradilan in absentia bisa mensyaratkan bahwa terdakwa pada permulaan pernah hadir (initial presence), tetapi bisa juga tanpa syarat tersebut asal tidak diragukan lagi bahwa terdakwa telah memutuskan secara sukarela dengan kesadaran penuh untuk tidak melaksanakan haknya untuk hadir; Sekalipun peradilan in absentia dilaksanakan, maka terdakwa harus dapat diwakili oleh penasehat hukum yang diberinya kuasa. Dengan alat-alat komunikasi modern memungkinkan penasehat hukun berkomunikasi dengan terdakwa setiap saat; Apabila pelbagai persyaratan peradilan in absentia tidak dipenuhi, maka harus dimungkinkan peradilan ulangan (retried) dengan kehadiran terdakwa, sebab bagaimanapun juga keterangan terdakwa secara pribadi tetap merupakan alat bukti penting; Persyaratan persidangan ulangan harus didasarkan alasan-alasan yang masuk akal seperti: Hambatan terhadap kehadiran kuasa hukum; Panggilan tidak sah atau tidak patut; Ketidakhadiran terdakwa alasannya cukup memadai; Terdakwa sedang melaksanakan kewajiban hukum lain yang setara. n

305

Struktur Kekuasaan Lembaga Pengadilan dan Kejaksaan


Sejak jatuhnya pemerintahan otoriter Orde Baru setelah berkuasa selama lebih dari tiga dasawarsa, pelbagai hal yang berkaitan dengan asas-asas umum dan nilai-nilai dasar demokrasi secara simultan dan mendasar ditinjau kembali, seperti soal transparansi dalam proses pengambilan keputusan politik, kebebasan pers, pemilihan umum yang jujur dan adil, pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN atau good governance, prinsip check and balance, supermasi hukum, dan sebagainya. Dalam kerangka penegakan supermasi hukum, muncul di tengah masyarakat pandangan-pandangan kritis agar sistem perundang-undangan yang dibangun diupayakan seaspiratif mungkin, melakukan promosi dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dan menegakkan kekuasaan kehakiman yang mandiri. Diskursus yang kerap mengemuka tentang struktur dan kekuasaan badan-badan pengadilan dan kejaksaan juga agaknya dimaksudkan dalam kerangka menegakkan supermasi hukum tersebut. Jika kita cermati, pasal 24 dan 25 UUD 1945 beserta penjelasannya, sebenarnya cukup melukiskan kesadaran dan visi jauh ke depan yang dimiliki para founding fathers kita ihwal pentingnya untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dengan cara menempatkannya di bawah Mahkamah Agung. Persoalan sekitar kekuasaan kehakiman yang merdeka itu baru kemudian muncul justru setelah perundang-undangan pelaksanaan dibuat, baik yang berkaitan dengan hakekat kekuasaan kehakiman maupun muatan dan penerapannya. Berkaitan dengan hal di atas, alangkah baiknya apabila hal-hal pokok yang berkaitan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang 306

merdeka yang secara universal telah diakui sebagai instrumen HAM dan sudah diadopsi oleh PBB itu diatur oleh UUD 1945 dan bukan oleh Undang-undang. Sesuai dengan standar universal (UN Basic Principles on the Independence of the Judiciary, 1985) paling tidak diperlukan adanya pengaturan pokok dalam UUD yang berkaitan dengan asas-asas umum kekebasan peradilan, kebebasan menyatakan pendapat dan berasosiasi, kualifikasi, seleksi dan pelatihan hakim, kerahasiaan profesional dan imunitas serta pengaturan tentang tindakan disiplin, suspensi dan pemindahan. Selanjutnya, di bawah ini akan dikemukakan pelbagai pandangan tentang praktek konstitusi di Indonesia yang dianggap tidak lagi sesuai dengan standar-standar demokrasi universal, baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri, seperti the International Commision of Jurist. Penting segera disadari bahwa ambivalensi jika tidak disebut kekacauan dalam menafsirkan kemandirian kekuasaan kehakiman yang sudah diakui tersebut muncul setelah secara emosional para penyelenggara negara mulai mengelaborasi konsep negara integralistik. Konsep ini bertolak dari pandangan dasar bahwa negara merupakan kesatuan organik yang diasosiasikan tentu dengan akibat penyederhanan yang keterlaluan layaknya sebuah kehidupan keluarga: apapun yang dilakukan bapak (penguasa) harus dipahami sebagai bertujuan untuk kepentingan semua anggota keluarga (rakyat). Karena itu dalam konsep negara integralistik, unsur harmoni, kebersamaan, sangat amat ditonjolkan. Sebaliknya, segisegi yang melekat pada hak-hak individual warga negara kemudian dipersepsikan sebagai ancaman terhadap tatanan harmoni, kebersamaan, stabilitas harus ditundukkan dalam kerangka kepentingan negara. Segala tindakan warga negara yang tidak selaras dengan kepentingan negara, mudah ditafsirkan sebagai pembangkangan atau subversif. Konsep di atas juga menimbulkan implikasi yang sangat problematik dalam dunia hukum di Indonesia. Pernyataan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat ), mestinya menempatkan pengadilan dalam posisi strategis, dan bahkan dapat memberikan kepastian bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif pun tak terkecuali harus tegak di atas landasan hukum yang berlaku. Karena itu, di pelbagai negara demokratis berkembang apa yang disebut judicialization of politics atau policy making by judges. Maka, jika suatu 307

ketika misalnya terjadi pertentangan konstitusi (constitutional conflict) pengadilan yang merdekalah yang harus menyelesaikannya, bukan yang lain. Prinsip yang demikian tidak terjadi di era Orde Baru. Kedudukan pengadilan yang mandiri, juga sering dikacaukan dengan cara mengintrodusir istilah-istilah atau pengertian-pengertian yang membingungkan, seperti pernyataan bahwa kita tidak menganut prinsip separation of power tetapi devision of power. Kemudian, ketentuan pasal 4 ayat (3) Undang-undang No 14 Tahun 1970 yang menyebutkan bahwa: Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang (pen: mestinya di sini titik) kecuali dalam hal-hal tersebut dalam UUD, menyediakan alasan bagi pihak penguasa untuk memberikan tafsir menurut visi dan kepentingannya sendiri. Kata kecuali dalam hal-hal tersebut dalam UUD, mudah dimanipulasi, misalnya dikaitkan dengan hak preogratif Presiden (Pasal 14 UUD 1945), untuk melakukan campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman yang mandiri. Demikian pula dengan pernyataan bahwa: penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan sesuai dengan perasaan hukum bangsa Indonesia dan Masyarakat yang kerap kita dengar di sepanjang era kekuasaan Orde Baru, lebih merupakan slogan yang mengaburkan prinsip-prinsip universal tentang kebebasan peradilan. Sepanjang menyangkut pemisahan lembaga eksekutif dan yudikatif sebagaimana dikehendaki TAP MPR (No. X/MPR/1998) sebagai permulaan keberadaan UU No. 35 Tahun 1999, cukup memadai, setidaknya sebagai kehendak politik. Namun demikian ketentuan pengalihan organisasi, administrasi dan finansial yang dijadwalkan paling lama 5 tahun sebaiknya bisa dilaksanakan lebih cepat. Sebab penundaan dengan alasan-alasan yang bersifat teknis justru hanya akan mengaburkan prinsip universal tentang kemandirian kekuasaan kehakiman. Demikian pula dengan usul untuk melakukan perubahan pelbagai perundangundangan tentang kekuasaan kehakiman yang merupakan turunan dari UU No.14 Th. 1970 dan pendayagunaan Dewan Kehormatan Hakim serta pembentukan Sub Komisi Yudikatif Pemeriksa Harta Penyelenggara Negara, harus dapat segera dilakukan. Selain itu, usul untuk membentuk Komisi Yudisial sebagaimana banyak disuarakan masyarakat, khususnya kalangan LSM, dapat saja dipertimbangkan. Dalam usul itu, Komisi Yudisial, yang para anggotanya diangkat oleh DPR, diharapkan dapat mengemban fungsi 308

pokok antara lain untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim Agung dan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Agung. Usul ini sejalan dengan dengan rekomendasi the International Commision of Jurit (1999). Keberadaan lembaga ini penting untuk memberantas judicial corruption yang di negeri ini terasa sudah amat merisaukan bersama-sama dengan lembaga-lembaga lain, seperti Sub Komisi Yudikatif Pemeriksa Harta Penyelenggara Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, Dewan Kehormatan Hakim, Ombudsman. Fungsi lembaga-lembaga seperti ini juga memiliki relevansi dengan kemungkinan akan diaturnya Perlindungan Saksi dan keberadaan Kode Etik yang menegaskan betapa pentingnya kebebasan peradilan, integritas, ketekunan, persamaan, sikap tidak memihak (impunity), dan sebagainya. Mengenai persoalan hak untuk menguji secara materiil dari Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No. 14 Th. 1970, nampaknya harus dirombak secara mendasar karena hanya dibatasi terhadap produk perundang-undangan di bawah UU, sering dengan alasan yang dibuat-buat yang sebenarnya untuk mempertahankan pemerintahan yang arbitrair, seperti alasan tidak sesuai dengan konsep negara integralistik, division of power, kedudukan hakim sebagai pegawai negeri, dan sebagainya. Sebab di dalam prinsip demokrasi hanya mengenal dua alternatif: memperkuat kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan uji materiil terhadap UU dan peraturan perundang-undangan lain, atau membentuk Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Kewenangan yang sangat strategis seperti ini tidak cukup hanya diatur dalam UU tetapi harus diatur dalam UUD. Ada sesuatu celah yang bersumber dari kewenangan pengawasan Mahkamah Agung, yakni kebiasaan Mahkamah Agung untuk memberikan perintah kepada pengadilan bawahan dengan alasan pengawasan untuk menunda atau tidak melaksanakan keputusannya, bahkan juga keputusannya sendiri dengan alasan yang tidak transparan. Dalam hal ini harus ada rambu-rambu untuk mencegah atau membatasi kewenangan mereka. Lalu kedudukan hakim sebagai pegawai negeri harus segera diakhiri, karena jelas-jelas akan menimbulkan conflict of interest bagi hakim dan rentan terhadap manipulasi oleh kekuasaan eksekutif, apalagi jika masih harus menjadi anggota Korpri seperti yang pernah dipraktekkan di jaman Orde Baru. 309

Pendayagunaan hakim adhoc, khususnya di Mahkamah Agung, harus dilakukan mengingat penunjukannya didasarkan atas pertimbangan keahliannya sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi, seperti menyangkut hak cipta, kepailitan, dan sebagainya. Masuknya hakim non karir seperti ini ke dalam Mahkamah Agung sebaiknya dimungkinkan dengan berpedoman pada peraturan yang jelas, baik yang berasal dari kalangan akademisi maupun dari praktisi hukum dengan perimbangan komposisi keanggotaan: 75% hakim karir dan 25% hakim non karir. Untuk menegaskan betapa strategisnya kedudukan Mahkamah Agung dalam kehidupan demokrasi, maka selain fungsi-fungsinya yang sudah diatur dalam UU No. 14 Th. 1985 perlu pula diatur peranan Mahkamah Agung (melalui keputusan yang dibuatnya) menyangkut hal-hal sebagai berikut: memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat; sarana pembaharuan hukum; mempromosikan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman dan hak asasi manusia; mendorong tegaknya demokrasi; dan memberikan solusi final terhadap konflik yang terjadi. Sedangkan dalam kerangka the administration of justice system perlu adanya pengaturan yang dapat menampung dan memberikan pembenaran secara komperhensif atas perkembanganperkembangan baru dalam bentuk pengadilan khusus, seperti Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Hak Cipta, dan sebagainya, yang sering kali memuat unsur penyimpangan baik dari sisi prinsip-prinsip hukum materiilnya maupun hukum acaranya. Dalam kerangka globalisasi perlu adanya pengaturan yang dapat menstimulasi para hakim untuk memperhatikan sumber-sumber hukum internasional baik berupa konvensi internasional yang sudah diratifiksai, hukum kebiasaan internasional (international customary law), asas-asas hukum umum yang sudah diterima oleh bangsabangsa beradab, instrumen-instrumen HAM, dan lain sebagainya, termasuk Perda untuk mengantisipasi berlakunya otonomi daerah (UU No. 22 dan 25 Th. 1999). Hal penting yang lain, perlu diadakan sosialisasi bahwa tidaklah mungkin prinsip-prinsip UN Basic Principles on the Independence of the Judiciary tanpa adanya ketaatan para pengacara terhadap UN Basic Princples on the Role of Lawyers. Bahkan saat ini PBB sedang merancang adanya sebuah deklarasi tentang Independence of Justice Sosialisasi ini juga sebenarnya perlu dilakukan kepada lembaga-lembaga lain yang 310

secara potensial dapat mempengaruhi kebebasan peradilan, seperti lembaga eksekutif, legislatif, pers, NGOs, dan sebagainya. Kemudian, pengaturan yang memungkinkan adanya spesialisasi hakim untuk mengantisipasi penanganan kasus-kasus hukum yang semakin kompleks, khususnya di bidang komersial dan ekonomi yang berkembang demikian cepat, juga perlu mendapatkan pertimbangan. Khusus mengenai kejaksaan, harus segera disadari bahwa lembaga ini merupakan bagian penting dari sistem peradilan pidana. Secara idiil, dalam pengaturan susunan dan kekuasaannya, selain harus memperhatikan aspirasi nasional, juga harus dikaji nilai-nilai universal seperti, Guidelines on the Role of Prosecutors yang diadopsi oleh Kongres ke 8 tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Havana pada tahun 1990. Pengaturan susunan dan kekuasaan kejaksaan haruslah mencakup hal-hal sebagai berikut: - Persyaratan untuk menjadi jaksa harus didasarkan atas integritas dan kemampuan melalui pelatihan kualifikasi; - Kriteria seleksi tidak boleh mengandung unsur diskriminasi, kecuali soal nasional; - Pendidikan harus mengandung unsur etika dan perlindungan terhadap hak-hak asasi terdakwa serta hak korban kejahatan yang diakui oleh hukum nasional dan internasional; - Jaksa adalah salah satu unsur utama dari agent of the administration of justice yang harus menjaga martabat dan profesinya; - Negara harus menjamin keamanan jaksa agar bebas dari pelbagai gangguan dalam menjalankan profesinya; - Promosi terhadap jaksa harus didasarkan atas kriteria yang obyektif; - Sebagai warga negara, jaksa harus diberi hak kebebasan untuk berekspresi, berkumpul, berorganisasi, dengan berpedoman pada hukum dan etika; - Kantor jaksa harus terpisah dari fungsi-fungsi yudisial; - Jaksa harus aktif dalam proses peradilan pidana, termasuk mengawasi pelaksanaan keputusan hakim; - Jaksa harus menghormati martabat HAM dan bertindak adil, konsisten dan cepat; - Jaksa harus menghindarkan diri dari sifat diskriminatif dan tidak boleh memihak; - Menjaga rahasia jabatan, kecuali demi kepentingan keadilan; 311

Memperhatikan hak-hak korban; Jaksa tidak akan melakukan atau meneruskan penuntutan apabila penyidikannya ternyata terbukti tidak netral (memihak) dan tidak berdasar; Jaksa harus memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus yang melibatkan pejabat khususnya yang berkaitan dengan kewenangan yang dimilikinya, apakah sudah ditangani sesuai hukum yang seharusnya atau sebaliknya; Apabila jaksa mengetahui bahwa bukti-bukti diperoleh secara melawan hukum, maka dia harus menolaknya atau memberi informasi kepada pengadilan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membawa yang bertanggungjawab ke pengadilan; Dengan mempertimbangkan hak-hak tersangka dan korban, jaksa harus menjajagi kemungkinan penerapan alternative prosecution atau divesrion; Untuk menjaga kejujuran dan keadilan dan efektivitas penuntutan, jaksa harus kerjasama dengan polisi, pengadilan, pengacara, dan lembaga-lembaga lain yang relevan; Tindakan disiplin terhadap jaksa harus diproses secara adil sesuai dengan prosedur dan ada jaminan untuk ditinjau secara independen.

Salah satu keberatan dalam negara demokrasi adalah adanya pelanggaran terhadap prinsip persamaan di depan hukum. Dalam kaitan dengan tugas kejaksaan, masalah ini berhubungan dengan asas peluang (opportunity) yang memberikan kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan penyimpangan perkara demi kepentingan umum (deponering), sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU No 5 Th. 1991. Dalam era demokrasi, sudah sepantasnya ketentuan semacam ini dihapuskan. Bahkan rekomendasi untuk menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang mandiri dan tidak menjadi bagian dari anggota kabinet, patut didukung. n

312

DAFTAR PUSTAKA Adam, Nabil R., Dogramaci, Oktay, Gangopadhyay, Aryya,Yesha, Yelena, Electronic Commerce, Technical, Business, and Legal Issues, Prentice Hall; PTR, New Jersey, 1999. Barry, Brian, Justice as Impartiality, Oxford University Press, 1995. Bassiouni, M, Cherif, International Criminal Law, Vol I (Crimes), Trans. Inc., New York, 1985. Bassiouni, M. Cherif, Crimes Against Humanity in International Criminal Law, Martinus Nijhof Publ., London, 1992. Baumer, David and Poindexter, J.C., Cyberlaw and E-Commerce, Mc Graw-Hil Company, New York, 2002l. Bayley, David H., Police for the Future, Oxford University Press, New York, 1994. Beetham, David, Democracy and Human Rights, Blackwell Publ. Ltd London, 1999. Bequai, August, Organized Crime, Lexington Books, Toronto, 1989. Bick, Jonathan, 101 Things You Need ton Know About Internet Law, Three Rivers Press, New York, 2000. Birnie, Patricia W. And Boyle, Alan E., International Law the Environment, Clarendon Press, Oxford, 1994. Biro Pusat Statistik, Wanita dan Pria di Indonesia, 1995 Box, Steven, Power, Crime, and Mystification, Tavistock Studies in Sociology, Tavistock publ. London, 1991. Brickey, Kathleen F, Corporate and White Collor Crime, Little, Brown and Company, London, 1995 Brown, Seyom, Internatinal Relations in a Changing Global System, Westview Press, Oxford, 1992 Buergenthal, International Human Rights, West Publ.Co., Minn., 1988 Cappelletti, Mauro, Who Watches the Watches: a Comparative Study on Judicial Responsibility, dalam: Judicial Independence : the Contemporary Debate (Shetreet.s and Deschenes j.), Martinus Nijhoff Publ.,1985. 313

Chaikin, David, Tracking the Proceeds of Organized Crime- the Marcos (Paper), Canberra, 2000. Chester L, Sociology, Fifth International Book Company, Clinnovd, Marshall, B and Yeager, Peter c, Corporate Crime, London, Collor Mc Millan Publ., 1980 Cohen, Cynthia Price, UN Convention on the Rights of the Child Introductory Note, dalam : The Review ICJ, No.44, 1990. Cyber Crime, CDPC, Strasbourg, 2000. Confronting Cross Border Crime, Time Europe, Vol. 1. Daniels, John L. and Daniels, Caroline, Global Vision, McGraw-Hill International Edition, Toronto, 1993. Daniels, John, Global Vision, Mc Graw Hill, Int. Edition, New York, 1994. Departemen Kehakiman, Rancangan KUHP (Baru), 1993 Department of State, USA, International Strategy Against Corruption, 1999. Dias, Clarence J. and Gilles, David, Human Rights, Democracy, and Development, ICHRDD, National Library of Canada, Montreal, 1993. Draft Resolution XVth, International Congress of Penal Law: Crimes Againts the Environment-Application of the General Part, Rio de Janeiro, Brazil 9-10 September 1994. Drucker, Peter F, Managing in Turbulent Times, Harper Business, New York, 1991. Endeshaw, Assafa, Internet and E-Commerce Law, With a Focus on Asia Pacific, Prentice Hall, Montreal, 2001. Estrin, David and Swaigen, John, Environment on Trial, Handbook of Ontario Environmental Law, Revise Edition, Toronto 1988. Ghai, Yash, Human Rights and Governance: The Asia Debate, dalam buku: The Australian Year Book of International Law, Vol. 15, The ANU, Sydney, 1994. Girasa, Roy J, Cyberlaw, National and International Prerspectives, Prentice Hall, New Jersey, 2002. 314

Goldstein, Joseph, Criminal Justice, Law and Politics (George Cole), 1976. Goldwin, Robert A, Schambra, William A, How Does the Constitution Secure Rights?, American Enterprise Inst. for Public Policy Research, Washington DC, 1985. Graham, John, Crime Prevention Strategies in Europe and North America, Heuni, Helsinki 1996. Hagan, Frank E, Political Crime, Ideology and Criminality , Allyn a Bacon, Singapore, 1997. Hagan, Frank E, Political Crime, Allyn and Bacon, Singapore, 1997 Hagan, Frank E., Political Crime, Ideology & Criminality, Allyn and Bacon, Boston, 1997. Handelman, Confronting Cross Border Crime, Time Europe, Vol 1 No. 16, 2000. Heise, Lori L. dkk, Violence Against Woman, Hidden Health Burden, World Bank Discussion paper, WB. Washington DC, 1994. Helmut EPP, Crime by Government, Association Internationale de Droit Penal, 1994. Hendriks, LEM en Woretshofer, J, Milieustrafrecht, WEJ Tjeenk Willink Zwolle, 1995. Holms & Burke, Terrorism, Todays Biggest Threat to Freedom, Kensington Publ. Corp., New York, 1994 Hoogers h.g. and Warmelink h.g., The Compatibility of Rechtsstaatprinciples, 1999. http://www.eur.nl/frg/iacl/papers/warmhoog.html, hal. 13. International Criminal Court, Rome Statute, Rome, 1988. International Review of Penal Law, 3 et 4 trimestres 1994, Crimes Againts Environment, General Part Preparatory Colloqium, Sction 1, Ottawa (Canada), November 2-6, 1992. Ishikawa, Hiroshi, Characteristic Aspect of Jaspanese Criminal Justice System- A Successful of Example of Integrated Approach, Jakarta, 1984.

315

Jorgensen, Nina H.B., The Responsibility of States for International Crimes, Oxford University Press, London, 2000 Kaiser, G dkk., Victims and Criminal Justice Kriminologische Forschungsberichte, Part I, Max-Planck Institute, Freiburg, 1991. Kelompok Kerja Convention Watch, Laporan Seminar: Implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita Dalam Dunia Kerja Serta Usaha Mengantisipasi Situasi Kerja Pada Era Pasar Bebas, Jakarta, 1995 Klip, Andre and Sluiter, Goran, Annotated Leading Cases of International Criminal Tribunals (ICTY 1993-1998), Hart Publ. Vienna, 1999. Komnas HAM, Laporan Lokakarya Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Jakarta, 2002. Kumpulan makalah pada Seminar Calling for Change: International Strategies to End Violence Againt Woman, tanggal 6-9 Juni 1993, Den Haag. Lessig, Lawrence, Code and Other Laws of Cyberspace, Basic Books New York, 1999. Naisbitt, John, Global Paradox, Avon Books, New York, 1995. Nilson, Hans, G, Future Corruption Control in Europe , Fifth International Anti 12. Corruption Conference, Amsterdam, 1992. Ohmae, Kenichi, The End of the Nation State, The Free Press, Singapore, 1955. Hoogers h.g. and Warmelink h.g., The Compability of Rechstaatprinciples. Pompe, S. van Hoeij Schiltouwer, the Indonesian Supreme Court, Fifty Years of Judicial Development, 1996. The Universal Declaration of Human Rights, Art. 10 dan the International Covenant on Civil and Political Rights, Art. 14(1). Pollock, Joycelyn M, Aethics, Crime and Justice, Wadsworth Publ. Company, Washington, 1998. Robertson, Geoffrey, Crimes Against Humanity, Penguin Books, New Delhi, 1999.

316

RUU KUHP, DEPKUMDANG, 1999-2000. RUU tentang KUHP (1999-2000) DEPKUMDANG Schabas, William A, An Introduction to the International Criminal Court, Cambridge University Press, 2001. Schaffmeiter S dkk, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh JE Sahetapy, Konsorsium Ilmu Hukum Dep. P&K, 1995 Schiltz, Michael E., Ethics and Standards in Institutional Research, Jossey-Bass Publ., 1992. Schwartau, Winn, Cybershock, Surviving Hackers, Phreackers, Identity Thieves, Internet Terrorist and Weapons of Mass Disruption , Thunders Mouth Press, New York, 2000. Sheley, F. Joseph, Exploring Crime, Wadsworth Publ.Coy. California, 1987. Shrode, Wiliam A and Voich, Jr, Organization and Management: Basic System Concepts, Irwin Book Company, Malaysia, 1994. Smith, JC and Hogan, Brian, Criminal Law, Fifth Edition, Butterworths, 1997 Statuta ICTY, 1993. Statuta ICTR, 1994. Statuta Roma, 1998. Steiner, Henry J, and Alston Philip, International Human Rights in Context, Law Politics Morals, Clarendon Press Oxford, 1996 Sterling, Bruce, The Hacker Crackdown, Law, Disorder on the Electronic Frontier, Bantam, Auckland, 1992. The Portland Draft, Proposed Model for a Domestic Law or Crimes Againts the Environment, Oregon, USA March 23, 1994. Triffterer, Otto, Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Baden 999. UN Convention Against Terrorism. UN Convention Against Transnational Organized Crimes, United Nations, 2000.

317

UN Decade Against Drug Abuse, Political Declaration and Global Program of Action, 1991-2000. UN Ministerial Meeting, Conference on Organized Transnational Looking at the Present to prepare for the Future, Napels, 1994. UN, Human Rights and Law Enforcement, Profesional Training Series No. 5, Geneve, 1997. UNIFEM, CEDAW and Womens Rights, 1995. UNIFEM, Womens Rights and Children Rights, 1995. United Nations, A Compilation of international Instruments, Human Rights, Volume I (first part), New York, 1993. United Nations, A Compilation of International Instruments, Volume I and II (Second Part), New York, 1993. United Nations, Instruments related to the Prevention and Suppression of International Terrorism, New York, 2001. United Nations, Preliminary Report : Environmental crime sectioning strategies and sustainable development, commission on Crime Prevention and Criminal Justice, Vienna, 21-30 April 1992 (Doc. E/CN 15/1992/CRP4). United Nations, Report of the Fourth World Conference on Woman, Doc. A/CONF.177/20, 17 Oktober 1995. United Nations, Report of the Ninth United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Cairo, 29 April 8 May 1995, (Doc. A/CONF. 169 16, 12 May 1995). United Nations, UN Convention Against Transnational Organized Crime, 2000. United Nations, World Conference on Human Rights , Vienna Declaration and Programme of Action, 1993. United Nations, Ecosoc, Human Rights and the Environment, Doc. E/CN.4/Sub.2 1994 9, 6 July 1994. Universitas Mercu Buana, Aktualisasi Pengamalan Pancasila dan UUD 1945 Dalam Era Globalisasi, Jakarta 1995. UU No. 26 Th. 2000.

318

Van Bemmeien, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian umum, (terjemahan), Binacipta, 1984 Van Dijk, Jan JM, Victim Rights: A Right to Better Service or A Right to The Active Participation, Criminal Law in Action, Gouda Quint bv, Arnhem, 1986. Walker, Clive and Starmer, Keir, Miscarriage of Justice, Blackstone Press Limited, London, 1999. Wallington, Peter & Lee, Robert G., Statutes on Public Law and Human Rights, 2001-2002, 11 th Edition, Blackstones Press. Work Programme to Implement he Asean Plan of Action to Combat International Crime, Asean Secretariat, 2001. Yates, Gayle kondusif Graham, What Woman Want, The Ideas of the Movement, Harvard University Press, London, 1977.

319

Tentang Penulis
Prof. Dr. Muladi S.H. lahir di Solo, Jawa Tengah, 26 Mei 1943. Menyelesaikan gelar doktor dalam bidang Ilmu Hukum di UNPAD Bandung pada 1984. Dalam perjalanan karirnya sebagai ahli hukum pidana, Muladi pernah menjabat sebagai Dekan FH UNDIP (1986-1992); Rektor UNDIP (1994-1998); Anggota Komnas HAM (1993-1998); National Correspondent RI pada Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, ECOSOC UN (1991-1998); Menteri Kehakiman RI (1998-1999); Menteri Sekretaris Negara RI (1999); Hakim Agung (2000-2001). Ia pernah mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Adi Pradana kelas II (1999). Saat ini, selain menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center dan Ketua Dewan Penasehat Indonesian Police Watch, ia juga menjadi Dosen Pasca Sarjana di beberapa Perguruan Tinggi (UNDIP, UNILA, UNSRI, UNISBA, UNPAD, STHM, UNISULA, UBAYA, PTIK). Selain itu, Muladi juga aktif mengikuti pelbagai kegiatan ilmiah (dalam dan luar negri) baik sebagai peserta maupun sebagai narasumber. Beberapa buku yang ditulisnya antara lain: Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana; Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana; dan Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, dan lain-lain.

320

Prof. Dr. Muladi, S.H.

Bahwa hukum baik secara substantif, kelembagaan, maupun kultural sangat dipengaruhi oleh corak sebuah sistem kekuasaan yang melingkupinya, menyerupai aksioma yang hampir tak terbantah. Maka ketika sistem kekuasaan otoriter rezim Orde Baru runtuh, dan sebuah cita-cita sosial baru yang lebih demokratis, berkeadilan dan menghargai hak-hak asasi manusia hendak ditegakkan, tak bisa dihindari bidang hukum harus pula segera direformasi secara mendasar dan terpadu mengingat kerusakannya yang telah demikian sistemik. Secara substantif, pelbagai produk hukum dan undangundang yang tidak kompatibel dengan aspirasi demokrasi dan HAM perlu ditinjau ulang. Secara struktural, seluruh perangkat institusi penegakan hukum harus dibebaskan dari kemungkinan campur tangan kekuasaan. Dan secara kultural, penegakan tradisi taat hukum di lingkungan masyarakat luas harus menjadi komitmen semua pihak. Dalam hal ini, tekad dan fungsi leadership serta keteladanan, terutama dari aparat pemerintah, menjadi keharusan yang tak bisa ditawar-tawar. Selain itu, reformasi hukum juga penting mempertimbangkan tren globalisasi. Kemajuan di bidang teknologi informasi dan transportasi, telah memunculkan ragam jenis-jenis kejahatan baru yang tidak sederhana karena kompleksitas elemen-elemen kejahatan yang ada di dalamnya, baik dari sisi substansi, motif maupun pelaku yang terlibat di dalamnya. Jika tidak diantisipasi, dapat berakibat sangat serius karena perangkat hukum dan undangundang yang dimiliki gagal memenuhi fungsi minimalnya: memberikan kepastian hukum, keadilan, dan mencegah kejahatan.

Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia

Você também pode gostar