Você está na página 1de 46

LAPORAN ANALISIS RESEP

DISENTRI Disusun Guna Memenuhi Sebagai Syarat Untuk Mengikuti Ujian Ilmu Farmasi Kedokteran

Oleh : M. Rifqi Farizan A. I1A008003

Pembimbing Dra. Sulistiyaningtyas

Universitas Lambung Mangkurat Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi Banjarbaru

2013 BAB I PENDAHULUAN

Obat berperan penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga diperlukan pertimbangan yang cermat dalam pemilihan obat untuk suatu penyakit, dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan, efek samping, interaksi antar obat dan dari segi ekonomi.1 Prosedur penatalaksanaan seorang pasien dilakukan secara simultan mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Setelah melalui prosedur tersebut, seorang dokter sebagai praktisi medis akan menentukan diagnosis yang tepat berdasarkan keluhan utama dan gejala penyerta lainnya. Selanjutnya akan dilakukan upaya penyembuhan terhadap diagnosis yang telah ditegakkan dengan berbagai cara misalnya melalui upaya pembedahan, fisioterapi, penyinaran, dengan obat dan lain-lain. Namun secara umum, terapi awal dilakukan dengan menggunakan obat.1 Obat yang diberikan kepada penderita harus dipesankan dengan menggunakan resep. Satu resep umumnya hanya diperuntukkan bagi satu penderita. Resep selain permintaan tertulis kepada apoteker juga merupakan perwujudan akhir dari kompetensi, pengetahuan keahlian dokter dalam menerapkan pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Selain sifat-

sifat obat yang diberikan dan dikaitkan dengan variabel dari penderita, maka dokter yang menulis resep idealnya perlu pula mengetahui penyerapan dan nasib obat dalam tubuh, ekskresi obat, toksikologi serta penentuan dosis regimen yang rasional bagi setiap penderita secara individual. Resep juga perwujudan hubungan profesi antara dokter, apoteker dan penderita.1,2 Pemberian obat lebih dari satu macam yang lebih dikenal dengan polifarmasi, disamping dapat memperkuat kerja obat (potensiasi) juga dapat berlawanan (antagonis), mengganggu absorbsi, mempengaruhi distribusi,

mempengaruhi metabolisme, dan mengganggu ekskresi obat yang disebabkan oleh terjadinya interaksi obat.3 Untuk dapat menuliskan resep yang tepat dan rasional seorang dokter harus memiliki cukup pengetahuan dasar mengenai ilmu-ilmu farmakologi yaitu tentang farmakodinamik, farmakokinetik, dan sifat-sifat fisiko-kimia obat yang diberikan. Oleh karena itu dokter memainkan peranan penting dalam proses pelayanan kesehatan khususnya dalam melaksanakan pengobatan melalui

pemberian obat kepada pasien. Kejadian penulisan resep yang tidak rasional dapat disebabkan oleh penulisan resep yang tidak esensial, dalam suatu survey mengenai polifarmasi pada pasien di rumah sakit dilaporkan terjadi insidens efek samping, karena adanya kemungkinan interaksi obat.3 Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah. Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian

medication error adalah kejadian yang merugikan. pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase dispensing dan fase administration oleh pasien. Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan resep. Fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai. Pada fase transcribing, error terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas. Error pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh petugas apotek. Sedangkan error pada fase administration adalah error yang terjadi pada proses penggunaan obat. Medication error yang terjadi pada fase apapun tentu merugikan pasien dan dapat menyebabkan kegagalan terapi, bahkan dapat timbul efek obat yang tidak diharapkan. Berdasarkan laporan dari USP Medication Error Reporting Program, hal yang dapat dilakukan ketika dokter menulis resep untuk mencegah salah interpretasi terhadap penulisan resep adalah menulis resep dengan benar dan rasional.4 1.1. Definisi Resep Resep dalam arti yang sempit ialah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk tertentu dan menyerahkannya kepada penderita.2

Menurut Permenkes RI No.244 menyebutkan bahwa resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku.1 1.2. Arti Resep1 1. Dari definisi tersebut maka resep bisa diartikan/merupakan sarana komunikasi profesional antara dokter (penulis resep), APA (apoteker penyedia/pembuat obat), dan penderita (yang menggunakan obat). 2. Resep ditulis dalam rangka memesan obat untuk pengobatan penderita, maka isi resep merupakan refleksi/pengejawantahan proses pengobatan. Agar pengobatan berhasil, resepnya harus benar dan rasional. 1.3. Fungsi Resep Berdasarkan pengertian diatas, dapat diketahui bahwa sebuah resep mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:5 1. Sebagai perwujudan cara terapi Dari sebuah resep dapat dinilai apakah seorang dokter rasional atau tidak dalam memberikan terapi kepada pasiennya. Dari obat-obat yang dberikan akan memberrikan gambaran terhadap terapi yang diberikan seorang dokter tersebut. 2. Merupakan dokumen legal

Sebuah resep merupakan sebuah dokumen yang diakui keabsahannya untuk mendapatkan obat-obat yang diinginkan seorang dokter. Baik obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras maupun obat narkotik dan psikotropik. Jadi seorang pasien akan dengan mudah mendapatkan obat keras bahkan narkotik dan psikotropika dengan sebuah resep, karena obat-obat tersebut tidak bisa di dapatkan tanpa adanya resep yang menyatakan bahwa pasien tersebut harus mendapatkan terapi dengan obat tersebut. 3. Merupakan media komunikasi

Sebuah resep merupakan sarana komunikasi antara dokter-apoteker-pasien. Apoteker akan tahu seorang pasien akan diberi obat apa saja, berapa jumlahnya, apa bentuk sediannnya, berapa kali sehari digunakan dan kapan penggunaannya dari tulisan seorang dokter yang diwujudkan dalam sebuah resep. 4. Sebagai catatan terapi

Idealnya, seorang dokter seharusnya menuliskan resep dua rangkap, dimana yang pertama diberikan kepada pasien untuk menebus obat diapotik, sedangkan yang kedua sebagai arsip dan catatan bahwa pasien tersebut sudah mendapatkan terapi dengan obat-obatn tertentu tersebut. Sehingga

memudahkan bila pasien tersebut mendapatkan terapi lanjutan, kontrol, atau ada obat yang tidak cocok bagi pasien tersebut. 1.4. Kertas Resep Resep dituliskan di atas suatu kertas resep. Ukuran yang ideal ialah lebar 10-12 cm dan panjang 15-18 cm. Untuk dokumentasi, pemberian obat kepada

penderita memang seharusnya dengan resep; permintaan obat melalui telepon hendaknya dihindarkan.2 Blanko kertas resep hendaknya oleh dokter disimpan di tempat yang aman untuk menghindarkan dicuri atau disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, antara lain dengan menuliskan resep palsu meminta obat bius.2 Kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut pembuatan serta disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Setelah lewat tiga tahun, resep-resep oleh apotek boleh dimusnahkan dengan membuat berita acara pemusnahan seperti diatur dalam SK.Menkes RI

no.270/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan resep di apotek.2 1.5. Model Resep yang Lengkap Resep harus ditulis dengan lengkap, supaya dapat memenuhi syarat untuk dibuatkan obatnya di Apotek. Resep yang lengkap terdiri atas:2 Nama dan alamat dokter serta nomor surat izin praktek, dan dapat

pula dilengkapi dengan nomor telepon, jam, dan hari praktek. Nama kota serta tanggal resep itu ditulis oleh dokter. Tanda R/, singkatan dari recipe yang berarti harap diambil

(superscriptio). (inscriptio) a) Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari : Nama setiap jenis atau bahan obat yang diberikan serta jumlahnya

1)

Remedium cardinale atau obat pokok yang mutlak harus ada. Obat pokok ini dapat berupa bahan tunggal, tetapi juga dapat terdiri dari beberapa bahan.

2)

Remedium adjuvans, yaitu bahan yang membantu kerja obat pokok; adjuvans tidak mutlak perlu ada dalam tiap resep.

3)

Corrigens,

hanya

kalau

diperlukan

untuk

memperbaiki rasa, warna atau bau obat (corrigens saporis, coloris dan odoris) 4) Constituens atau vehikulum, seringkali perlu,

terutama kalau resep berupa komposisi dokter sendiri dan bukan obat jadi. Misalnya konstituens obat minum air. b) Jumlah bahan obat dalam resep dinyatakan dalam suatu

berat untuk bahan padat (mikrogram, miligram, gram) dan satuan isi untuk cairan (tetes, milimeter, liter). Perlu diingat bahwa dengan menuliskan angka tanpa keterangan lain, yang dimaksud ialah gram. Cara pembuatan atau bentuk sediaan yang dikehendaki

(subscriptio) misalnya f.l.a. pulv = fac lege artis pulveres = buatlah sesuai aturan obat berupa puyer. Aturan pemakaian obat oleh penderita umumnya ditulis dengan

singkatan bahasa Latin. Aturan pakai ditandai dengan signatura, biasanya disingkat S.

Nama penderita di belakang kata Pro : merupakan identifikasi

penderita, dan sebaiknya dilengkapi dengan alamatnya yang akan memudahkan penelusuran bila terjadi sesuatu dengan obat pada penderita. Tanda tangan atau paraf dari dokter/dokter gigi/dokter hewan yang

menuliskan resep tersebut yang menjadikan resep tersebut otentik. Resep obat suntik dari golongan narkotika harus dibubuhi tanda tangan lengkap oleh dokter/dokter gigi/dokter hewan yang menulis resep, dan tidak cukup dengan paraf saja.

1.6. Seni & Keahlian Menulis Resep yang Tepat dan Rasional Penulisan resep yang tepat dan rasional merupakan penerapan berbagai ilmu, karena begitu banyak variabel-variabel yang harus diperhatikan, maupun variabel unsur obat dan kemungkinan kombinasi obat, ataupun variabel penderitanya secara individual.1,2 Resep yang tepat, aman, dan rasional adalah resep yang memenuhi lima tepat, ialah sebagai berikut : 1. Tepat obat; obat dipilih dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko, rasio antara manfaat dan harga, dan rasio terapi. 2. Tepat dosis; dosis ditentukan oleh faktor obat (sifat kimia, fisika, dan toksisitas), cara pemberian obat (oral, parenteral, rektal, lokal), faktor penderita (umur, berat badan, jenis kelamin, ras, toleransi, obesitas, sensitivitas individu dan patofisiologi).

3.

Tepat bentuk sediaan obat; menetukan bentuk sediaan berdasarkan efek terapi maksimal, efek samping minimal, aman dan cocok, mudah, praktis, dan harga murah.

4.

Tepat cara dan waktu penggunaan obat; obat dipilih berdasarkan daya kerja obat, bioavaibilitas, serta pola hidup pasien (pola makan, tidur, defekasi, dan lain-lain).

5.

Tepat penderita; obat disesuaikan dengam keadaan penderita yaitu bayi, anak-anak, dewasa dan orang tua, ibu menyusui, obesitas, dan malnutrisi.

Kekurangan pengetahuan dari ilmu mengenai obat dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut: 2 1. 2. 3. 4. 5. Bertambahnya toksisitas obat yang diberikan, Terjadi interaksi antara obat satu dengan obat lain, Terjadi interaksi antara obat dengan makanan atau minuman tertentu, Tidak tercapai efektivitas obat yang dikehendaki, dan Meningkatnya ongkos pengobatan bagi penderita yang sebetulnya dapat dihindarkan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penulisan resep adalah:1 1. Resep harus ditulis dengan tinta 2. Penulisan nama obat, jumlah, cara pemakain harus terbaca oleh apoteker atau asisten apoteker. 3. Menulis nama obat harus dengan huruf latin untuk zat kimianya atau nama generiknya.

10

4. Hindarkan penulisan singkatan yang meragukan. 5. Dalam pemilihan obat perlu juga memperhatikan tingkat ekonomi penderita. Resep dikatakan sah bila mencantumkan hal-hal berikut: 1. Untuk resep dokter swasta terdapat nama, izin kerja, alamat praktek dan rumah, serta paraf dokter pada setiap signatura. 2. Resep dokter rumah sakit/klinik/poli klinik terdapat nama dan alamat rumah sakit/klinik/poliklinik, nama dan tanda tangan/paraf dokter penulis resep tersebut serta bagian/unit di rumah sakit. 3. 4. Pemberian tanda tangan untuk golongan narkotik dan psikotropik. Pemakaian singkatan bahasa latin dalam penulisan resep harus baku. Cara penulisan resep ada 3 macam, yaitu:1 1. Formula magistralis dimana obat ini merupakan racikan, sesuai dengan formula yang ditulis oleh dokter yang membuat resep tersebut. 2. Formula officinalis dimana obat ini merupakan racikan yang formulanya sudah standar dan dibakukan dalam formularium Indonesia dan diracik oleh apotek apabila diminta oleh dokter pembuat resep. 3. Formula spesialistis dimana obat ini sudah jadi, diracik oleh pembuatnya, dikemas dan diberi nama oleh pabrik pembuatnya serta bentuk sediaannya lebih kompleks. Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan mempengaruhi mutu pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara luas mempunyai pengaruh terhadap upaya penurunan mortalitas dan morbiditas

11

penyakit-penyakit tertentu, misalnya kebiasaan selalu memberikan antibiotik akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas dari setiap kasus diare dengan penanganan tersebut.6 Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas merupakan pemborosan dipandang dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Penulis resep mungkin kurang memperhatikan dampak ekonomi ini, tetapi hal ini akan menimbulkan kerugian dari segi ekonomi dan psikososial pasien.6 Apa yang dapat dijadikan alat untuk mengukur apakah pemberian resep secara umum dalam sebuah lingkungan kesehatan sudah rasional atau belum? Tim inti WHO yang mengurus soal obat-obatan (WHO Core Drug) menggunakan beberapa indikator untuk menyelidikan penggunaan obat-obatan pada berbagai fasilitas kesehatan. WHO telah membuat seperangkat parameter sebagai berikut yaitu indikator pemberian resep:7 1. Jumlah rata-rata kunjungan tanpa pemberian obat (yang direkomendasikan adalah kurang dari dua kali kunjungan tanpa pemberian obat. 2. Presentase obat generik yang diresepkan. 3. Presentase kunjungan dengan pemberian resep yang di dalamnya terdapat satu jenis antibiotik. 4. Presentase kunjungan dengan pemberian suntikan. 5. Presentasi obat yang ada di dalam daftar obat-obatan atau formula dasar yang diresepkan. Indikator pasien:7 1. Waktu Rata-rata untuk konsultasi.

12

2. Waktu yang diperlukan untuk memberikan obat. 3. Presentase obat yang akhirnya diberikan. 4. Presentase obat yang diberikan label secara memadai 5. Pengetahuan pasien akan dosis obat yang tepat. Indikator fasilitas:7 1. Ketersediaan kopi resep 2. Ketersediaan obat-obatan

BAB II ANALISA RESEP

2.1.

Resep Contoh Resep dari Poliklinik Penyakit Dalam

13

Keterangan Resep Klinik Tanggal Nama Pasien Umur : Poli Penyakit Dalam : 06 November 2012 : Tn. Tatang : 34 tahun

14

Jenis Kelamin Berat badan No. RMK Agama Alamat Pendidikan Pekerjaan Status Keluhan

: Laki-laki : 66 kg : 1-01-93-36 : Islam : Jl. Veteran No. 54 Banjarmasin : SLTA : Pegawai Negeri : Menikah : demam, sejak 2 hari ini, menggigil, perut sakit, pusing, BAB cair 4 kali, ampas (+), lendir (+), darah (-), BAK normal

Tekanan Darah Diagnosa 2.2.

: 120/80 mmHg : Disentri

Analisa Resep

1. Penulisan Resep a. Resep pada penulisan sudah ditulis dengan menggunakan tinta; resep jika ditulis dengan pensil, ada kemungkinan satu dua tahun tidak dapat terbaca lagi, padahal kertas resep harus disimpan di apotek selama minimal 3 tahun, sesuai peraturan pemerintah. Secara umum resep cukup jelas terbaca, suatu resep harus jelas dibaca sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam pemberian obatobatan. b. Pada resep ini ukuran kertas yang digunakan panjangnya 21 cm dan lebarnya 28 cm. Ukuran kertas resep yang ideal adalah panjang 1015

12 cm dan lebar 15-18 cm. Berdasarkan ketentuan tersebut, ukuran kertas yang digunakan pada resep ini masih belum ideal. c. Penulisan nama obat sudah menggunakan penulisan nama baku, sehingga dapat dibaca oleh semua apotek, dan tidak hanya apotek tertentu saja yang dapat membacanya. Ada satu nama obat yang disingkat dengan PCT (paracetamol), singkatan tersebut sudah banyak digunakan dan ditemukan dalam jurnal ilmiah sehingga dianggap sudah baku dan tidak menimbulkan salah persepsi. 2. Kelengkapan Resep Resep kali ini kurang lengkap karena : 1. Identitas Dokter Pada resep ini identitas dokter berupa nama, spesialisasi, NIP dan Instansi Rumah Sakit sudah dicantumkan. Sehingga apabila apoteker ingin menanyakan sesuatu seperti tulisan yang tidak jelas, atau hal-hal lain yang tidak jelas, apoteker akan mudah menghubungi dokter tersebut.

2. Nama kota dan tanggal resep dibuat Nama kota dan tanggal penulisan resep telah tertulis. Hal ini memudahkan untuk mengetahui dimana resep ini ditulis. 3. Superscriptio

16

Tanda R/ sudah dicantumkan di setiap menuliskan nama atau jenis obat. Pada resep ini jumlah tanda R/ adalah empat buah. 4. Inscriptio

Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari Remedium Cardinale, yaitu; Metronidazol dan Sanprima F (Kotrimoksazol) sebagai obat pokok. Remedium Adjuvans pada resep ini yaitu Paracetamol dan Ranitidin. Untuk resep yang rasional, obat-obat yang tergolong remedium cardinale disusun lebih dahulu dari remedium adjuvan. Pada resep ini pengurutannya belum tepat, karena seharusnya Metronidazol dan Sanprima F ditulis terlebih dahulu kemudian dilanjutkan penulisan Paracetamol dan Ranitidin. Inscriptio dalam resep ini dinilai kurang lengkap karena: a. b. Bentuk sediaan obat tidak dituliskan, Satuan kekuatan obat yang diminta ada yang dituliskan ada yang tidak dituliskan sehingga dapat mengakibatkan salah penafsiran resep. 5. Subscriptio Resep ini tidak memiliki bagian subscriptio karena resep di atas bukan merupakan formula magistralis. 6. Signatura/Transcriptio a. Aturan pemakaian obat oleh penderita umumnya ditulis dengan singkatan bahasa latin. Aturan pakai ditandai dengan signatura, disingkat dengan S, namun pada resep ini tidak jelas dituliskan.

17

b. Pada resep ini frekuensi pemberian obat telah dituliskan, namun tidak menggunakan angka romawi. c. Penulisan aturan pakai pada resep ini belum lengkap, karena pada pemberian semua obat tidak dicantumkannya waktu pemakaian. Seharusnya tetap dicantumkan keterangan waktu pemakaian misalnya sebelum makan (ac), sesudah makan (pc), sehingga memperoleh efek obat yang optimal. d. Untuk obat simptomatis seharusnya menggunakan p.r.n (kalau perlu). e. Untuk obat antibiotik seharusnya dituliskan tiap berapa jam harus diminum, agar kepatuhan pasien dalam meminum antibiotik baik. 7. Identitas Pasien

Pada resep ini hanya dicantumkannya nama penderita sedangkan umur, berat badan dan alamat penderita tidak dicantumkan. Penulisan identifikasi penderita harus dilengkapi dengan alamatnya, untuk memudahkan penelusuran bila terjadi kesalahan dengan obat penderita. Selain itu resep akan mudah diberikan pada penderita tanpa khawatir tertukar dengan resep penderita lainnya. Tetapi pada resep ini telah dituliskan nomor telepon pasien. 8. Tidak terdapat tanda penutup resep, walaupun tempat untuk

penulisannya tidak cukup luas. 3. Keabsahan Resep

18

Pada resep tersebut sudah tercantum nama jelas dokter, tanda tangan dokter yang menulis resep, instansi dan alamat, nama kota serta propinsi Rumah Sakit/klinik/poliklinik yang mengeluarkan resep tersebut. 4. Dosis, frekuensi, lama dan waktu pemberian a. Metronidazole Metronidazol terutama digunakan untuk amubiasis dan giardiasis intestinal, abses hati amebik, trichomoniasis simptomatik setelah dipastikan oleh pemeriksaan laboratorium, trichomoniasis asimptomatik disertai endoservisitis, servisitis, atau erosi servikal; dan infeksi bakteri anaerob.8 Metronidazol efektif untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal. Namun efeknya lebih jelas pada jaringan, sebab sebagian besar metronidazol mengalami penyerapan di usus halus. Pada abses hati dosis yang digunakan sama besar dengan dosis yang digunakan untuk disentri amuba. Untuk pembawa (carrier) amuba, efektivitasnya paling rendah.8,9 Selain untuk amubiasis dan trikomoniasis, metronidazol juga diindikasikan untuk drakunkuliasis sebagai alternatif niridazol dan untuk giardiasis.

Metronidazol digunakan untuk profilaksis infeksi anaerob pascabedah daerah abdomen, infeksi pelvik dan pengobatan endokarditis yang disebabkan oleh B. fragilis. Untuk maksud ini metronidazol merupakan pilihan utama.10 Metronidazol juga dapat digunakan untuk kolitis pseudomembranosa yang disebabkan Clostridium difficile. Penelitian baru-baru ini memperlihatkan metronidazol bermanfaat bagi beberapa pasien ulkus peptikum yang terinfeksi Helicobacter pylori.10

19

Metronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung. Pada biakan E. histolytica dengan kadar metronidazol 1-2 g/ml, semua parasit musnah dalam 24 jam. Pada biakan Trichomonas vaginalis, kadar metronidazol 2,5 g/ml dapat menghancurkan 99% parasit dalam waktu 24 jam. Trofozoit Giardia lamblia juga dipengaruhi langsung pada kadar antara 1-50 g/ml.8,10 Absorpsi metronidazol berlangsung dengan baik sesudah pemberian oral. Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar plasma kira-kira 10 g/ml. umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri yang sensitif, rata-rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8 g/ml. Pada absorbsi topikal, konsentrasi yang dicapai secara sistemik setelah penggunaan 1 g secara topikal 10 kali lebih kecil dari pada penggunaan dengan 250 mg peroral.10 Setelah berdifusi ke dalam organisme, di dalam sel atau mikroorganisme metronidazole mengalami reduksi menjadi produk polar. Hasil reduksi ini menyebabkan hilangnya struktur helix DNA dan kerusakan untaian DNA. Hal ini lebih jauh menyebabkan hambatan pada sintesis protein dan kematian sel organisme.11 Untuk amubiasis intestinal dan abses hati, dosis oral yang digunakan untuk dewasa adalah 3 x 750 mg/hari selama 5-10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 3050 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis selama 10 hari.12 Efek Samping obat ini adalah:13,14 No. Sistem Efek samping 1 Susunan saraf pusat sakit kepala, pusing, vertigo, inkoordinasi, ataxia, . dan neurologi serangan kejang, kebingungan, emosional, depresi, kelemahan, insomnia, neuropati perifer, transient epilepsi-form seizure 2 Dermatologi erupsi eritematik, urtikaria, flushing, pruritus, 20

angioedema, anafilaksis 3 Hematologi . 4 Saluran kencing . 5 Saluran pencernaan . 6 Lain-lain . b. Kotrimoksazol Kotrimoksazol adalah bakterisid yang merupakan kombinasi leukopenia (reversible), abnormalitas tes fungsi hati, hepatitis, jaundice, trombositopenia, anemia aplastic disuria, sistitis, dispareunia, poliuria, inkontinensia, penurunan libido, piuria, warna kencing gelap, kering vagina dan vulva, panggul rasa berat mual, anorexia, muntah, diare, keluhan epigastrik, kejang abdominal, konstipasi, rasa seperti logam, lidah tebal, glossitis, stomatitis, mulut kering nyeri sendi, penymbatan hidung, demam, proktitis, pendatran gelombang T pada EKG

sulfametoksazol dan trimetoprim dengan perbandingan 5:1. Sebagai contoh, kotrimoksazol 480 mg berarti terdiri atas 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetroprim dan kotrimoksazol 960 mg berarti terdiri atas 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim. Kombinasi ini merupakan golongan antibiotik broad sprectum dan penghambat sintesis asam folat.15 Sulfametoksazol dan trimetoprim sangat baik diabsorbsi di dalam saluran gastrointestinal. Tanpa adanya makanan dan obat lain, sekitar 85% obat dapat diserap dan mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 2-4 jam setelah pemberian secara oral. Keseimbangan akan tercapai pada hari ketiga terapi. Konsentrasi puncak dalam darah juga dicapai 1-2 jam setelah pemberian secara intravena.15 Selama 3 dekade terakhir, kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim memiliki peranaan penting dalam penatalaksanaan infeksi yang umum 21 dan

keadaan kondisi klinik spesifik. Penggunaan kombinasi

sulfametoksazol dan

trimetoprim berdasarkan konsep kombinasi keduanya dapat menghambat reaksi enzimatik obligat dalam pembentukan asam folat pada mikroba, sehingga

memberikan efek yang sinergis.16 Kuman memerlukan PABA (p-aminobenzoic acid) untuk membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan asam-asam nukleat. Pada bakteri asam folat berguna untuk metabolisme sel. Berbeda dengan sel-sel mamalia yang mendapatkan asam folat dari asupan makanan, bakteri patogen harus mensisntesis sendiri asam folat untuk kebutuhan hidupnya. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi pemindahan satu atom C seperti pembentukan basa purin (adenin, guanin dan timidin) dan beberapa asam amino (metionin, glisisn).17 Aktivitas antibakteri kotrimoksazol (gambar 1) berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam tetrahidrofolat. Sulfonamid menghambat masuknya PABA ke dalam molekul asam folat dan trimetoprim menghambat trejadinya reaksi reduksi dari dihidroflat menjadi tetrahidrofolat. Trimetoprim bekerja sebagai inhibitor kompetitif dihydrofolate reduktase yang berperan dalam pembentukan tetrahydrofolic acid (ganiswara, master Philip). Trimetropim menghambat enzim Dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel manusia.15

22

Gambar 1. Mekanisme Kerja Kotrimoksazol15 Spektrum antibakteri trimetoprim sama dengan sulfametoksazol, meskipun daya antibakterinya 20-100 kali lebih kuat dari pada sulfametoksazol. Mikroba yang peka terhadap kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol ialah: Str.

Pneumoniae, C. diphtheriae dan N. meningitis, 50-95% strain S. aureus, S. epidermidis, Str. Pyogenes, Str. Viridans, Str. Faecalis, E. coli, Pr. Mirabilis, Pr. Morganii, Pr. Rettgerl, Enterobakter, Aerobcter spesies, Salmonella, Shigella, Serratia dan Alcaligenes spesies dan Klebsiella spesies. Juga beberapa strain stafilokokus yang resisten terhadap metisilin, trimetoprim atau sulfametoksazol sendiri, peka terhadap kombinasi tersebut. Kedua komponen memperlihatkan interaksi sinergistik. Kombinasi ini mungkin efektif walaupun mikroba telah resisiten terhadap sulfametoksazol dan agak resisten terhadap trimetoprim. 23

Sinergisme maksimum akan terjadi bila mikroba peka terhadap kedua komponen.18 Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksazol lebih rendah dari pada terhadap masing-masing obat, karena mikroba yang resisten terhadap salah satu komponen masih peka terhadap kompenen yang lainnya. Resistensi yang terjadi pada gram negatif disebabkan oleh adanya plasmid yang membawa sifat menghambat kerja obat terhadap enzim dihidrofolat reduktase. Resistensi S. Aureus terhadap trimetoprim ditentukan oleh gen kromosom, bukan oleh plasmid. Resistensi terhadap bentuk kombinasi juga terjadi in vivo. Prevalensi resistensi E. coli dan S. aureus meningkat dari 0,4% menjadi 12,6%. Dilaporkan pula terjadinya resistensi pada beberapa jenis mikroba gram negatif.15 Sedian kombinasi berguna untuk pengobatan Shigellosis karena beberapa strain mikroba penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin. Namun demikian akhir-akhir ini dilaporkan terjadinya resistensi mikroba terhadap kotrimoksazol.17 Dosis yang dianjurkan pada infeksi saluran cerna adalah Dosis dewasa : 960 mg (160 mg trimetroprim dan 800mg sulfametoksazol) setiap 12 jam selama tiga bulan, tetapi dengan dosis ini masih dapat kambuh.19

24

Tabel 1. Indikasi Penggunaan Kotrimoksazol dalam Beberapa Penyakit20

Efek samping kotrimoksazol adalah sebagai berikut:19 Hematologi Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bahwa kotrimoksazol menimbulkan defisiensi folat pada orang normal. Pada keadaan sel tubuh mengalami mengalami defisiensi asam folat, batas antara toksisitas untuk bakteri dan untuk manusia relatif sempit sehingga dapat menimbulkan megaloblastosis, leukopenia, atau trombositopenia. Reaksi hematologik berupa berbagai macam anemia (aplastik, hemolitik dan makrositik),

25

gangguan koagulasi, granulositopenia, agranulositosis, purpura HenochSchonlein dan sulfhemoglobinemi juga dapat terjadi. Pemberian diuretik sebelumnya atau bersamaan dengan kotrimoksazol dapat mempermudah timbulnya trombositopenia terutama pada penderita usia lanjut dengan payah jantung; kematian dapat terjadi. Pada penderita AIDS (acquired immuno deficiency syndrome) yang diberi pengobatan kotrimoksazol untuk infeksi oleh Pneumocystis carinii, sering terjadi efek samping demam, lemah, erupsi kulit dan/atau pansitopenia. Dermatologi Reaksi kulit terjadi pada 3-4% populasi yang mendapatkan pengobtan kortimoksazol. Efek samping yang terjadi berupa dermatitis eksfoliatif, rash makulopapular, urtikaria, eritema difus, purpura dan fotosensitivitas. Selain itu, juga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis, tetapi jarang terjadi. Erupsi juga dapat terjadi pada penderita AIDS yang diberi pengobatan kotrimoksazol untuk infeksi oleh Pneumocystis carinii. Kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol dilaporkan dapat menimbulkan reaksi kulit sampai tiga kali lebih sering dibandingkan dengan sulfisoksazol pada pemberian tunggal (5,9% vs 1,7 %). Gastrointestinal Efek samping gastrointestinal terjadi pada 3-8% pada pasien yang menggunakan kotrimoksazol. Efek samping yang muncul antara lain mual

26

muntah dan anoreksia. Selain itu, dapat menyebabkan diare, glositis dan stomatitis, tetapi sangat jarang terjadi. Ikterus juga dapat terjadi terutama pada penderita yang sebelumnya mengalami hepatitis kolestatik alergik. Susunan Saraf Pusat Sulfonamid dapat menyebabkan reaksi sususnan saraf pusat berupa sakit kepala, depresi dan halusinasi. Ginjal Pada ginjal biasanya berefek menurunkan sekresi kreatini sehingga serum kreatinin akan sedikit meningkat. c. Paracetamol Parasetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesik. Paracetamol utamanya digunakan untuk menurunkan panas badan yang disebabkan oleh karena infeksi atau sebab yang lainnya. Disamping itu, paracetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.8 Sifat antipiretik yang dimiliki parasetamol disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para. Senyawa ini dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofenol direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat.18 27

Parasetamol termasuk ke dalam kategori NSAID sebagai obat anti demam, anti pegel linu dan anti-inflammatory. Inflamasi adalah kondisi pada darah pada saat luka pada bagian tubuh (luar atau dalam) terinfeksi, sebuah imun yang bekerja pada darah putih (leukosit). Contoh pada bagian luar tubuh jika kita terluka hingga timbul nanah itu tandanya leukosit sedang bekerja, gejala inflamasi lainnya adalah iritasi kulit.9 Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim siklooksigenase (COX:cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktivitas antipiretik dan analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah karena dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya kadar peroksida dapat lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya pada COX-2, sehingga obat ini tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan darah.18 Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, memengaruhi koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun, pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun 2010, parasetamol dipercaya aman untuk digunakan selama masa kehamilan.8 Untuk indikasi demam dosis paracetamol adalah PO/Rectal 0.5-1 gram, tiap 4-6 jam bila perlu. Dosis maximal: 4 gram/hari. IV >50 kg: 1 gram tiap 4-6 jam (Max: 4 g/hari); <50 kg: 15 mg/kg tiap 4-6 jam (Max: 60 mg/kg/hari). Dapat diberikan disertai makanan ataupun tidak.8

28

d. Ranitidin Ranitidin diunakan secara oral dalam terapi ulkus duodenum dan ulkus lambung yang aktif, gasthroesophageal reflux desease (GERD), esofagitis erosif dengan endoskopi, dan sebagai terapi pemeliharaan pada ulkus duodenum dan ulkus lambung. Ranitidin oral juga digunakan dalam manajemen kondisi hipersekresi gastrointestinal (GI) patologis dan sebagai terapi pemeliharaan untuk mencegah kambuhnya esofagitis erosif. Ranitidin juga dapat digunakan secara parenteral pada pasien rawat inap dengan kondisi hipersekresi patologis pada saluran GI, atau sebagai terapi jangka pendek jika terapi oral belum memberikan respon yang optimum.8 Ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung srhingga pada pemberian Cimetidin dan ranitidine sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi cimetidin dan ranitidine terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu

penting.walaupun tidak lengkap cimetidin dan ranitidine dapat menghambat sekresi cairan lembung akibat rangsangan obat muskarinik atau gastrin. Cimetidin dan ranitidine mengurangi volume dan kadar ion hydrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin menurun.18 Dosis ranitidin untuk dispepsia yang digunakan adalah 150mg, 2 kali sehari. Dosis penunjang dapat diberikan 150mg pada malam hari.11

2.2.5. Bentuk Sediaan Obat

29

Bentuk sediaan yang diberikan dalam bentuk tablet, sudah sesuai karena pasien dewasa dan tidak ada gangguan menelan. Pada resep ini, tidak ditulis bentuk sediaan dari obat yang digunakan. Seharusnya ditulis agar memperjelas informasi resep itu sendiri. Metronidazol Tersedia dalam bentuk tablet 250 dan 500 mg; suspensi 125mg/5 ml, dan supositoria 500 mg dan 1 g, larutan infuse 0,5% 100 ml.8 Kotrimoksazol tersedia dalam beberapa bentuk, antara lain: Sediaan oral: 1. Tablet 960 mg (800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim) 2. Tablet 480 mg (400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim) 3. Tablet pediatrik 120 mg (100mg sulfametoksazol dan 20 mg trimetoprim) 4. Kaptabs 960 mg (800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim) 5. Suspensi oral mengandung 200 mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim/5 ml Sediaan intravena atau injeksi 1. Infus yang mengandung 400mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim dalam 5 ml. 2. Cairan injeksi intravena 96 mg/ml 3. Cairan injeksi intramuscular 320 mg/ml

30

Paracetamol tersedia dalam bentuk tablet 100mg dan 500mg; oral solution 120mg/5ml. Ranitidin tersedia dalam bentuk Kapsul 75, 150 dan 300 mg; Tablet 150 dan 300 mg; Sirup 15 mg/mL; Injeksi 25 mg/mL.8

2.2.6. Interaksi Obat Paracetamol dan metronidazol memiliki interaksi berupa: metronidazol akan meningkatkan efek dari paracetamol dengan mempengaruhi metabolismi enzim hepar CYP2E1. Ini merupakan efek minor atau interaksi yang tidak signifikan.19 Ranitidin dan kotrimoksazol (sulfamethoxazole + trimethoprim) memiliki interaksi berupa: sulfamethoxazole dan trimethoprim akan meningkatkan jumlah atau efek dari ranitidin sebagai kompetisi cationic obat pada tubular clearance ginjal. Ini merupakan efek minor atau interaksi yang tidak signifikan.19 Metronidazol dan sulfamethoxazole memiliki interaksi berupa mengurangi metabolisme masing-masing, sehingga pengawasan harus lebih ketat. Jika serius akan terjadi Disulfiram like reaction. Reaksi ini ditandai dengan mual, muntah, pusing, muka merah, napas pendek, sakit kepala hebat, gangguan penglihatan, palpitasi jantung, dan mungkin juga pingsan.19 2.2.8. Analisa Diagnosis Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik pasien tanggal 06 November 2012, didapatkan hasil pemeriksaan tanda vital yaitu tekanan darah 120/80 mmHg, dengan berat badan 66 kg. dan didapatkan anamnesa: demam, sejak 2 hari ini, menggigil, perut sakit, pusing, BAB cair 4 kali, ampas (+), lendir

31

(+), darah (-), BAK normal. Penelusuran riwayat penyakit dahulu pasien baru pertama kali berobat. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak ada. Diagnosa yang ditegakkan pada kasus ini adalah Disentri. Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali

menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba). Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir dan darah.11 Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang disebut sebagai sindroma disentri, yakni: 1) sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus, 2) berak-berak, dan 3) tinja mengandung darah dan lendir.9 I. Etiologi dari disentri ada 2, yaitu :21,22

1. Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp. Shigella adalah basil non motil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4 spesies Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang mempunyai serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik, maka seseorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang berbeda. Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103 organisme. Penyakit ini kadangkadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang

32

jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit dan tenesmus. 2. Amoeba (Disentri amoeba) Disebabkan Entamoeba hystolitica. E.histolytica merupakan

protozoacusus, sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu 1. trofozoit komensal (berukuran < 10 mm) dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. 2. trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat

mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai 50mm) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan trofozoit patogen sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia.

33

Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa. Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung jawab terhadap terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar tubuh manusia serta tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di dalam sistem air minum. Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang usus besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista.

II.

Patogenesis dan Patofisiologi:11,21 a. Disentri basiler Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang

ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai eksudat inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah. Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak didalamnya. Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel

34

limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus bergaung. S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai 1,5cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum. b. Disentri Amuba Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar dapat berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya mempunyai peran. Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi di

35

semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks dan ileum terminalis. III. Gejala Klinis: a. Disentri Basiler22 Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan. Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara

36

perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama. Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada kasus yang ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda dengan kasus yang menahun, terdapat serangan seperti kasus akut secara menahun. Kejadian ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik. b. Disentri Amuba21 Carrier (Cyst Passer) Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding usus. Disentri amoeba ringan Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga tinja bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan. Disentri amoeba sedang Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai

37

lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai hepatomegali yang nyeri ringan. Disentri amoeba berat Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (40 0C-40,50C) disertai mual dan anemia. Disentri amoeba kronik Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam atau makanan yang sulit dicerna. IV. Diagnosis11,21,22

a. Disentri basiler Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak bermanfaat. Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulserosa. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang adekuat.

38

b. Disentri amuba Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi ditemukannya amoeba bukan berarti meyingkirkan kemungkinan penyakit lain karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Oleh karena itu, apabila penderita amebiasis yang telah menjalani pengobatan spesifik masih tetap mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema atau biakan tinja. Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan neoplasma. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang ditemukannya echinococcus dapat membedakannya dengan abses piogenik. Salah satu caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi abses. V. Pengobatan

a. Disentri basiler Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat, mencegah atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika.22 Cairan dan elektrolit Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan berat badan penderita turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui infus untuk menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan melalui minuman atau

39

pemberian air kaldu atau oralit. Bila penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai dapat diberikan.21 Diet Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan. Pengobatan spesifik.21 Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis yang lain.23

40

b. Disentri amuba11,21 Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga kali perhari selama 20 hari. Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5 hari. atau Metonidazol 3 x 750 mg/hari selama 5-10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 30-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis selama 10 hari. Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5 hari, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari. Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari

41

2.3.

Usulan Penulisan Resep

PROPINSI PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I KALIMANTAN SELATAN RUMAH SAKIT UMUM ULIN BANJARMASIN Tanda Tangan Nama Dokter: dr. M. Rifqi Farizan A. NIP : 123 456 789 UPF/Bagian : Penyakit Dalam Kelas I/II/III/Utama Banjarmasin, 06 November 2012 R/ Metronidazole tab 500 mg S t.d.d. tab 11/2 d.c. (0.8.h) No. XXIII

R/ Paracetamol tab 500 mg No. X S p.r.n. t.d.d. tab I a.c. (febris)

Pro : Tn. Tatang (66 kg) 1-01-93-36 Umur : 34 tahun Alamat : Jl. Veteran No. 54 Banjarmasin

42

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan analisa resep diatas dapat diambil kesimpulan bahwa resep yang dibuat belum rasional, dan berdasarkan 5 tepat pada resep rasional, maka : 1. Tepat obat Pemberian dua jenis antibiotika pada pasien ini kurang tepat. Untuk pasien yang pertama kali datang dengan keluhan tersebut, sebaiknya ditentukan diagnosis yang lebih lengkap apakah disentri basiler ataukah disentri amuba atau mendakati keduanya. Sehingga dalam pemilihan obat antibiotika akan lebih tepat. Kombinasi antara metronidazol dan kotrimoksazol ternyata memiliki interaksi obat yang cukup merugikan. Pemberian ranitidin pada pasien ini juga tidak tepat karena sakit perut yang pasien keluhkan bukan lah berasal dari peningkatan asam lambung, tetapi merupkan gejala dari disentri yang dengan ranitidin tidak dapat membantu. Pemberian paracetamol telah tepat, karena pasien mengeluhkan demam. 2. Tepat dosis Pada resep ini pemberian metronidazol kurang tepat dosis sesuai ketentuan untuk diagnosis pasien. Pemberian paracetamol sudah tepat dosis, frekuensi, dan jumlah obat yang diberikan. 3. Tepat bentuk sediaan

43

Bentuk sediaan yang diberikan sudah tepat sesuai dengan keadaan pasien yaitu berupa tablet. 4. Tepat waktu penggunaan obat

Pada resep ini sudah dituliskan kapan obat seharusnya diminum tetapi kurang lengkap. 5. Tepat penderita

Penggunaan obat kurang sesuai dengan keadaan penderita. Kelengkapan lain yang perlu ditulis adalah identitas pasien seperti umur, berat badan dan alamat.

44

DAFTAR PUSTAKA

1. Lestari, CS. Seni Menulis Resep Teori dan Praktek. PT Pertja. Jakarta, 2001 2. Joenoes, Nanizar Zaman. Ars PrescribendiPenulisan Resep yang Rasional 1. Airlangga University Press. Surabaya, 1995. 3. Harianto, Kurnia Ridwan, Siregar. Hubungan antara kualifikasi dokter dengan kerasionalan penulisan resep obat oral kardiovaskuler pasien dewasa ditinjau dari sudut interaksi obat (studi kasus di apotek x jakarta timur). Majalah Ilmu Kefarmasian. 2006: 3; 66 77. 4. Th. B. Titien Siwi Hartayu, Aris Widayati. Kajian kelengkapan resep pediatri yang berpotensi menimbulkan medication error di 2 rumah sakit dan 10 apotek di Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2005. 5. Bagian Farmakologi FK UNLAM. Diktat Kuliah Farmasi Buku 3. Banjarbaru: Laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran Unlam, 2009. 6. Azril Kimin. 2009. Dampak Negatif Pengobatan Tidak Rasional. Diunduh dari www. Apotekputer.com. 7. P. Vandana. 2007. Rational Prescription In Children; Ethics And Economics. Diunduh dari: http://phm-india. org/issues/ drugpolicy/ children_ prescription. Html. 8. S.L. Purwanto Hardjosaputra, Listyawati P, Tresni K, Loecke Kunardi, Indriyantoro, Nawanti Indriyani. Data Obat di Indonesia Ed.ke-11. Jakarta: PT. Muliapurna Jayaterbit, 2008. 9. Dorland, WA Newman. Kamus Kedokteran Dorland Ed.ke-29. Jakarta: EGC, 2002. 10. Tjay, Tan Hoan, Kirana Raharja. Obat-Obat Amebiasis dan Trichomoniasis dalam Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efekefek Sampingnya Ed.ke-5. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002.

45

11. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Ed.ke-3. Jakarta: Media Aesculapius, 2000. 12. Junita A, H Widita, S Soemohardjo Beberapa kasus abses hati Amuba. JPenyDalam 2006;7(2):121-8. 13. Eppy. Diare Akut. MEDICINUS 2009; 22(3):91-8. 14. Sacher RA, Richard AMcP. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Ed.ke-11. Jakarta, EGC,2004. 15. Masters Philip, OBryan Thomas, Zurlo John, Miller Debra, Joshi Nirmal. Trimethoprim-sulfamethoxazole revisited. Arch Intern Med. 2003; 163: 402-410 16. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI, 1995 17. Karpanoja Pauliina, Nyberg Solja T, Bergman Miika,Voipio Tinna, Paakkari Pirkko, Huovinen Pentti et all. Connection between Trimethoprim-Sulfamethoxazole Use and Resistance in Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, and Moraxella catarrhalis. American Society for Microbiology . 2008;24802485 Vol. 52, No. 7 18. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik buku 3. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 2004. 19. Pocket companion, Stockleys drug interaction. 2010. Editor: Karen Baxter. 20. Hamel M J, Greene C, Chiller T, et al. Does Cotrimoxazole Prophylaxis for the Prevention of HIV-Associated Opportunistic Infections Select for Resistant Pathogens in Kenyan Adults. Am.J.Trop.Med.Hyg. 79(3), 2008, pp.320330 21. Oesman, Nizam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. Jakarta: Fakultas kedokteran UI. 2006. 22. Syaroni A. Hoesadha Y. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas kedokteran UI. 2006. 23. World Health Organization (WHO). Guidelines for the control of shigellosis, including epidemics due to Shigella dysenteriae. Geneva (Switzerland): World Health Organization (WHO); 2005.

46

Você também pode gostar