Você está na página 1de 36

Warna Urin seperti Air Teh Pada kasus ini, seorang pria usia 40 tahun datang ke klinik dokter

kita dengan keluhan nafsu makan menurun dan mual sudah 1 minggu. Riwayat penyakit sekarang: 2 minggu yang lalu penderita merasakan tubuhnya panas nglemeng, rasa ingin muntah, setelah 1 minggu nafsu makan menurun, dan timbul rasa tidak enak di perut kanan atas, warna feses normal, warna urin seperti air teh (merah kecoklatan). Pemeriksaan fisik ditemukan: suhu 37.8C, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/mnt. Warna mata kekuningan, nyeri tekan pada perut kanan atas. Lalu dokter memberikan obat dan menyarankan istirahat total. Kasus kali ini kita akan membahas banyak mengenai ikterus dan penyakit yang mengenai hati. Hal ini bisa terlihat dari keluhan pasien diatas. Pada 2 minggu yang lalu penderita merasakan tubuhnya panas nglemeng, rasa ingin muntah, setelah 1 minggu nafsu makan menurun, dan timbul rasa tidak enak di perut kanan atas. Salah satu fungsi hati yang penting adalah biosintesis bilirubin. Bilirubin, pigmen empedu utama, merupakan hasil akhir metabolisme pemecahan eritrosit yang sudah tua; biirubin mengalami konjugasi dalam hati dan diekskresi dalam empedu. Metabolisme bilirubin normal Metabolisme bilirubin dalam tubuh berlangsung 5 langkah: 1. Fase Prahepatik: Pembentukan bilirubin dan Transpor Plasma 2. Fase Intrahepatik: Liver Uptake dan Konjugasi 3. Fase pasca hepatik: Ekskresi Bilirubin Pembentukan Bilirubin. Sekitar 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua (rata-rata berumur 120 hari) dalam sistem monosit makrofag. Tiap hari 50 ml darah dihancurkan, menghasilkan 250-350 mg bilirubin atau 4 mg/kgBB/hari. Sedangkan 15% bilirubin berasal dari destruksi eritrosit matang dalam sumsum tulang (hematopoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain, terutama dari hati. Pada katabolisme bilirubin (terutama terjadi dalam limpa, sebagai sistem retikuloendotelial), hemoglobin dipecah menjadi heme dan globulin, setelah itu heme diubah menjadi biliverdin. Dengan enzim biliverdin reduktase, biliverdin diubah menjadi biirubin tak terkonjugasi (B). Transpor Plasma. Dalam pembuluh darah, B berikatan dengan albumin (karena sifat B yang tak larut air) untuk dibawa ke hati. B juga tidak dapat melewati membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan B- albumin melemah pada keadaan asidosis, dan seperti antibiotic, salisilat, berlomba pada temapat ikatan dengan albumin. Liver Uptake. Pengambilan B oleh hepatosit memerlukan protein sitoplasma (protein penerima ) protein Y dan protein Z. Konjugasi. Konjugasi bilirubin berlangsung dalam reticulum endoplasma sel hati dengan asam glukuronat (dengan bantuan enzim glukuronil transferase) sehingga menjadi bilirubin terkonjugasi (B). Reaksi katalisis ini, mengubah sifat B yang larut lemak, tak dapat diekskresi dalam kemih menjadi B yang larut air, dan dapat diekskresi dalam kemih. Ekskresi Bilirubin. Transport B melalui membran sel dan sekresi ke dalam kanalikuli empedu oleh proses aktif yamg merupakan langkah akhir metabolisme bilirubin dalam hati. Agar dapat diekskresi dalam empedu, bilirubin

harus dikonjugasi. B kemudian diekskresi melalui saluran empedu ke usus halus. B tidak diekskresikan dalam empedu kecuali setelah proses fotooksidasi. Bakteri usus mereduksi B menjadi urobilinogen dan sterkobilinogen. Sterkobilinogen mengalami proses oksidasi menjadi sterkobilin yang menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10%-20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam kemih. Mekanisme Patofisiologik Kondisi Ikterik 1. Pembentukan bilirubin secara berlebih

2. Gangguan pengambilan B oleh hati


3. Gangguan konjugasi bilirubin 4. Penurunan ekskresi B dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstahepatik (obstruktif fungsional atau mekanik) Pembentukan bilirubin secara berlebih Hal ini karena pemecahan eritrosit yang meningkat, sehingga terbentuk bilirubin berlebih. Sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tapi suplai B melampaui kemampuan hati sehingga kadar B dalam darah meningkat. Karena B tidak larut air, maka tidak dapat disalurkan dalam kemih. Tapi pembentukan urobilinogen menjadi meningkat (akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi dan ekskresi), yang selanjutnya peningkatan ekskresi dalam feses dan kemih (berwarna gelap). Gangguan pengambilan B oleh hati Pengambilan B yang terikat albumin dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Gangguan terjadi ketika terganggunya ikatan antara B-albumin, misal karena obat (sulfonamide, salisilat), selain itu juga asam flavaspidat, novobiosin, beberapa zat warna kolesistografik. Namun bisa juga ditemukan defisiensi glukuronil tranferase. Gangguan konjugasi bilirubin Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi mulai terjadi pada hari kelima lahir, karena kurangnya enzim glukuronil transferase (pematangan sampai minggu ke 3). Pada keadaan yang parah bisa terjadi kernikterus (bilirubin ensefalopati), akibat penimbunan B di jaringan lemak ganglia basalis. Penurunan ekskresi B dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstahepatik (obstruktif fungsional atau mekanik) Defek bagian ini meningkatkan kadar B, karena sifatnya yang larut air, maka bilirubin ini dapat dieksresikan lewat kemih (bilrubinuria, dan urin gelap). Karena adanya penyumbatan, misal kolestasis (baik intra-ekstrahepatik), kejadian tersering berkurangnya urobilinogen feses (feses pucat). Peningkatan garam empedu dalam darah menimbulkan gatal pada ikterus. Pigmen empedu di urin pada penyakit Bilirubin. Pada urin normal tak ada bilirubin yang dapat dideteksi. B tak dapat diekskresikan pada ginjal yang sehat karena kelarutannya yang rendah dan karena terikat kuat pada protein (albumin), sehingga pada ikterus hemolitik, kadar B meningkat, tak ada yang dapat dideteksi lewat urin. B yang larut air dan sejumlah kecil yang terikat lemah dengan protein, bisa diekskresikan lewat urin: dan bilirubin yang ditemukan dalam urin selalu dalam bentuk dikonjugasi. Bila B plasma tinggi, kemudian dapat dideteksi dalam urin sewaktu kadar bilirubin plasma >30 mol/L dan busa urin dikocok (Karena kelebihan garam empedu) berwarna kuning bila kadar bilirubin plasma >50 mol/L (walaupun ambangnya bervariasi) Urobilinogen. Sejumlah kecil urobilinogen dapat dideteksi dalam urin normal yang segar. Ekskresi ke urin normal 24 jam adalah 0.5-5.0 mol. Pada ikterus hemolitik, banyak bilirubin berlebih dalam plasma masuk ke dalam urin yang mana meningkatkan jumlah urobilinogen yang terbentuk (baca penjelasan Pembentukan Bilirubin Secara Berlebih). Banyak urobilinogen yang diabsorbsi dan urobilinogen yang

berlebih diekskresikan dalam urin. Pada ikterus obstruktif atau hepatoseluler yang berat, bilirubin hanya mencapai usus dalam jumlah kecil, sedikit urobilinogen yang terbentuk dan urobilinogen tak ditemukan dalam urin. Timbulnya kembali urobilinogen dalam urin, merupakan tanda pemulihan kolestasis. Pasien diatas mengalami pewarnaan feses normal, tapi warna urin seperti air teh (merah kecoklatan) dan warna mata kekuningan, menurut hipotesis penulis, warna feses yang normal menunjukkan adanya ekskresi bilirubin yang normal karena tak adanya obstruksi Sedangkan warna urin seperti air teh (merah kecoklatan) bisa karena adanya peningkatan bilirubin dan urobilinogen. Adanya bilirubin menunjukkan kerusakan (sumbatan) pada saluran kanalikuli biliaris sehingga bilirubin tak bisa keluar, yang akhirnya mengalir masuk ke pembuluh darah menuju ginjal. Adanya urobilinogen dalam urin menunjukkan urin normal tapi karena kadarnya yang meningkat sehingga terjadi oksidasi berlebih yang akhirnya urin menjadi merah kecoklatan. Sedangkan warna mata yang kuning terjadi karena adanya B yang meningkat dan larut dalam mukosa di sklera mata (dinding sel tersusun atas lemak) atau kadar B yang berlebih sehingga akhirnya keluar dari pembuluh darah masuk ke ekstrasel (jaringan ikat dan jaringan longgar mata). (penjelasan berikutnya mengenai hepatitis virus, pada kasus Warna Urin seperti Air Teh, buka di halaman Modul Enterohepatik Hepatitis Virus) Referensi Baron D. N., 1995. Kapita Selekta Patologi Klinik Edisi 4. Jakarta : EGC Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC Price S. A., Wilson L. M., 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4.Jakarta : EGC

Hepatitis virus
Merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Disebabkan Virus Hepatitis A (HAV), HBV, HCV, HDV, HEV, virus lain akibat pascatransfusi HGV, virus TT. Walaupun kelima agen ini dapat dibedakan melalui tanda antigeniknya, tapi kesemuanya punya kemiripan klinis. Bentuk hepatitis yang paling dikenal adalah HAV (istilah dulu: hepatitis infeksiosa) dan HBV (istilah dulu: hepatitis serum). Hepatitis yang tidak dapat digolongkan sebagai HAV dan HBV melalui pemeriksaan serologi disebut sebagai hepatitis non-A non-B (NANBH) yang saat ini disebut hepatitis C. selanjutnya ditemukan bahwa jenis hepatitis ini ada 2 macam, virus PT-NANBH (parenteral transmitted) dan virus ET-NANBH (enterically transmitted). Lalu dibuat tata nama baru pada PT-NANBH sebagai HCV dan ET-NANBH sebagai HEV. HDV, suatu partikel virus yang menyebabkan infeksi bila sebelumnya telah ada infeksi HBV. HDV dapat timbul sebagai infeksi bersamaan dengan HBV (koinfeksi) atau suprainfeksi pada pembawa HBV Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap: 1. Fase Inkubasi. Waktu masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda untuk tiap virus dan tergantung dosis inokulum yang dikeluarkan dan jalur penularannya. 2. Fase prodromal (Pra Ikterik). Timbulnya keluhan dan ikterus, awitan singkat, adanya anoreksia, malaise, mialgia, atralgia, mudah lelah, nyeri kepala, demam rendah (umumnya pada HAV), nyeri abdomen kuadran kanan atas. Terutama pada HBV, mengalami serum sickness (demam, ruam, atralgia; dikaitkan adanya kompleks imun dalam darah; meningkatnay aminotransferase) 3. Fase Ikterus. Muncul setelah 5-10 hari, tapi dapat muncul bersamaan adanya gejala. 4. Fase Konvalesen (penyembuhan). Diawali hilangnya ikterus dan keluhan lain, tapi tetap hepatomegali, dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.

Agen Penyebab hepatitis virus 1. Hepatitis dengan transmisi secara enterik 2. Hepatitis dengan transmisi melalui darah Hepatitis dengan transmisi secara enterik. Terdiri atas HAV dan HEV. 1. Virus tanpa selubung 2. Tahan terhadap cairan empedu 3. Ditemukan di tinja 4. Tidak bersifat kronik 5. Tidak terjadi viremia yang berkepanjangan Hepatitis dengan transmisi melalui darah. Terdiri atas HBV, HDV, HCV 1. Virus dengan selubung 2. Rusak ketika terpajan empedu/ detergen 3. Tidak terdapat dalam tinja 4. Dihubungkan dengan penyakit kronik 5. Dihubungkan dengan viremia resisten Epidemiologi dan Faktor Risiko HAV 1. Masa inkubasi 15-50 hari (30 hari) 2. Distribusi di seluruh dunia; endemisitas di daerah tinggi 3. HAV dapat dideteksi pada feses pada akhir masa inkubasi dan fase praikterik. Sewaktu timbul ikterik, antibodi anti-HAV dapat diukur dalam serum, adanya IgM anti-HAV meningkat tajam menunjukkan infeksi akut. Setelah masa akut, IgG anti-HAV naik dan mendominasi, menunjukkan infeksi HAV lampau dan penderita pernah mengalami infeksi HAV (yang akhirnya kebal terhadap HAV). HAV diekskresi di tinja oleh orang yang terinfeksi selama 1-2 minggu dan 1 minggu setelah awitan penyakit 4. Viremia muncul singkat (<3 minggu) kadang sampai 3 bulan pada infeksi membandel 5. Ekskresi feses yang memanjang (bulanan) dilaporkan pada neonatus yang terinfeksi 6. Transmisi enteric (fekal-oral) predominan diantara anggota keluarga. Sering terjadi pada anak. Prevalensi berkorelasi dengan standar sanitasi dan rumah tinggal berukuran besar. Faktor risiko, meliputi paparan pada: pusat perawatan sehari pada bayi, bepergian ke negara berkembang, perilaku seks-anal, pemakaian IVDU bersama 7. Tak terbukti adanya penularan maternal-neonatal. Transmisi melalui transfusi darah sangat jarang HEV 1. Masa inkubasi 40 hari 2. Distribusi luas, dalam bentuk epidemik dan endemik 3. HEV tinja ditemukan di serum (adanya anti HEV dan RNA HEV) dan tinja (dengan mikroskop electron) selama fase akut

4. Hepatitis sporadik sering pada dewasa muda di negara sedang berkembang, dan wanita hamil. Di negara maju sering berasal dari orang bepergian ke daerah endemik, atau imigran baru dari daerah endemik 5. Penyakit epidemik dengan sumber penularan melalui air 6. Intrafamilial, kasus sekunder jarang. Dilaporkan adanya transmisi maternal-neonatal 7. Zoonosis: babi dan binatang lain HBV 1. Masa inkubasi 15-180 hari ( 60-90 hari) 2. Distribusi di seluruh dunia: prevalensi karier di USA < 1%, di asia 5-15% 3. HEV ditemukan di darah, semen, sekret servikovaginal, saliva, air mata 4. Viremia berlangsung beberapa minggu-bulan setelah infeksi akut 5. Cara transmisi: melalui darah (resipien produk darah, IVDU, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah), melalui seksual, penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa (tertusuk jarum), penggunaan ulang peralatan medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau cukur, sikat gigi dan silet, akupuntur, tato 6. Transmisi maternal-neonatal, maternal-infant 7. Tak ada bukti penyebaran fekal oral Resipien produk darah tak perlu khawatir lagi tertular HBV, karena sekarang sudah dilakukan pemeriksaan pada semua darah sebelum di transfusikan. HDV 1. Masa inkubasi 4-7 minggu 2. Endemis di mediterania, semenanjung Balkan, bagian eropa bekas rusia 3. Insidensi berkurang dengan adanya peningkatan pemakaian vaksin 4. Viremia singkat (infeksi akut) atau memanjang (infeksi kronik) 5. Infeksi HDV hanya terjadi pada risiko infeksi HBV (koinfeksi dan superinfeksi) 6. Cara penularan: melalui darah, transmisi seksual, penyebaran maternal-neonatal HCV 1. Masa inkubasi 15-160 hari ( 50 hari) 2. Viremia yang berkepanjangan dan infeksi yang persisten. Distribusi geografik luas 3. Infeksi yang menetap dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis dan kanker hati 4. Cara transmisi: darah (predominan), IVDU dan penetrasi jaringan, resipien produk darah, transmisi seksual dan maternal neonatal: efisiensi rendah, frekuensi rendah, tak ada bukti transmisi fekal-oral Patologi Hepatitis Virus Pada kasus Warna Urin seperti Air Teh, hipotesis penulis cenderung kea rah hepatitis akut, hal ini didasari adanya keluhan yang terlihat. Dan kasus diatas sudah sampai fase ikterik, gejala prodromal (panas nglemeng, rasa ingin muntah, nafsu makan menurun, rasa tidak enak di perut kanan atas), Ikterik (warna mata kekuningan).

Perubahan morfologik pada bakteri seringkali serupa untuk berbagai virus yang berlainan. Pada kasus klasik, ukuran dan warna hati tampak normal, tapi kadang sedikit edema, membesar, warna seperti empedu. Secara histologik, susunan hepatoseluler menjadi kacau, cedera dan nekrosis sel hati, dan peradangan perifer. Perubahan ini reversible sempurna, bila fase akut mereda. Pada beberapa kasus, nekrosis submasif atau masif dapat mengakibatkan gagal hati yang berat dan kematian Gambaran Klinis 1. Spektrum penyakit mulai dari asimptomatik, infeksi tidak nyata sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut 2. Sindrom klinis mulai dari gejala prodromal yang non spesifik dan gejala gastrointestinal: malaise, anoreksia, mual-muntah, gejala flu, faringitis, batuk, coryza, fotofobia, sakit kepala, dan mialgia, hilangnya nafsu merokok. 3. Awitan gejala cenderung mendadak pada HAV dan HEV.

4. Demam derajat rendah dan jarang ditemukan, kecuali pada HAV


5. Gejala prodromal menghilang saat timbul kuning, tapi anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap. Fase prodromal diikuti fase ikterik dan awitan ikterus, Fase ini biasanya berlangsung 4-6 minggu. Selama fase ini penderita tampak sehat, nafsu makan meningkat, dan demam mereda, sementara kemih menjadi lebih gelap dan feses memucat, hati sedikit membesar dan ditemukan limfadenopati.

6. Kelainan biokimia yang paling dini adalah peningkatan kadar AST dan ALT,mendahului awitan
ikterus 1-2 minggu. Pemeriksaan kemih pada saat awitan akan mengungkap adanya bilirubin dan kelebihan urobilinogen. Bilirubinuria menetap selama penyakit berlangsung, namun urobilinogen kemih akan menghilang untuk sementara waktu (bila ada fase obtruktif karena kolestasis), pada perjalanan penyakit selanjutnya dapat timbul kenaikan urobilinogen sekunder.

7. Fase ikterik dikaitkan dengan hiperbilirubinemia (baik B dan b) yang biasanya kurang dari
10mg/100ml. Kadar fosfatase alkali serum biasanya normal / sedikit naik.Leukositosis ringan lazim ditemukan pada hepatitis virus, waktu protrombin memanjang,HBsAg ditemukan dalam serum selama fase prodromal (memastikan adanya HBV). Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus (ringan, sementara) dapat muncul ketika ikterus meningkat 8. Pemeriksaan fisik menunjukkan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati 9. Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15%-20% pasien. 10. Pada kasus yang tidak berkomplikasi, penyembuhan dimulai 1 atau 2 minggu setelah awitan ikterus, dan berlangsung selama 2-6 minggu. Keluhan sering mudah lelah, feses kembali normal, ikterus berkurang dan warna kemih menjadi lebih muda. Bila splenomegali, maka akan segera mengecil. Tapi hepatomegali kembali normal setelah beberapa minggu. Temuan laboratorium dan hasil tes fungsi hati yang abnormal dapat menetap selama 3-6 bulan Pengobatan 1.Infeksi yang sembuh spontan 1. Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan menyebabkan dehidrasi 2. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat. Tak ada rekomendasi yang khusus, makan pagi dengan porsi cukup besar. 3. Hindari alcohol dan aktivitas berlebih

4. Tidak ada pengobatan spesifik untuk HAV, HEV, HAD. Pemberian interferon-alfa pada HCV akut
dapat menurunkan infeksi kronik. Lamivudin atau adefovir pada HBV akut masih belum jelas. Kortikosteroid tidak bermanfaat.

5. Obat-obat yang tidak perlu harus dihentikan 2.Gagal Hati Akut 1. Rawat di RS: diagnosis segera dan penanganan terbaik dengan program transplantasi hati 2. Belum ada terapi yang terbukti efektif 3. Tujuan: (1)Tunggu perbaikan infeksi spontan dan perbaikan fungsi hati dilakukan dengan monitoring kontinu dan terapi suportif; (2) Pengenalan dini dan terapi terhadap komplikasi yang mengancam; (3) Mempertahankan fungsi vital; (4)Persiapan transplantasi bila terjadi perburukan 4. Angka survival mencapai 65-75% bila dilakukan dengan transplantasi dini 3.Hepatitis Kolestasis

1. Perjalanan penyakit dapat dipersingkat dengan terapi prednisone atau asam ursodioksikolat. Hasil
penelitian masih belum tersedia. 2. Pruritus dapat dikontrol dengan kolestiramin 4.Hepatitis Relaps Penanganan serupa dengan hepatitis yang sembuh spontan Pencegahan Pencegahan terhadap Infeksi Hepatitis pada Penularan Enterik pada HAV Pencegahan dengan Imunoprofilaksis vaksin HAV (sebelum paparan) a.Vaksin HAV yang dilemahkan: 1. efektivitas tinggi (94-100%) 2. Sangat imunogenik (hampir 100% pada subyek sehat) 3. Antibodi protektif setelah 15 hari 4. Aman dan toleransi baik 5. Efektivitas proteksi selama 20-50 th 6. Efek samping: nyeri pada daerah suntikan b.Dosis dan jadwal vaksin HAV:

1. >19 tahun. 2 dosis, interval 6-12 bln 2. Anak >2 tahun. 3 dosis 0,1 dan 6 atau 12 bulan atau 2 dosis 0, 6 atau 12 bulan c.Indikasi vaksin
1. Pengunjung ke daerah risiko tinggi 2. Homoseksual dan biseksual, IVDU 3. Tinggal di daerah endemis 4. Pasien rentan 5. Pekerja laboratorium yang menangani HAV, pramusaji, pekerja pembuang air Pencegahan dengan Imunoprofilaksis vaksin HAV (setelah paparan) a.Keberhasilan vaksin HAV belum jelas b.Keberhasilan Ig sudah nyata tapi tidak sempurna c.Dosis & jadwal imunoglobulin: diberikan segera setelah paparan; toleransi baik, nyeri daerah suntikan, indikasi: kontak erat dan kontak dalam rumah tangga dengan infeksi HAV akut Pencegahan terhadap Infeksi Hepatitis pada Penularan Enterik pada HEV

Kemunculan IgG anti HEV pada kontak dengan pasien HEV dapat bersifat proteksi, tapi efektivitas dari Ig anti HEV masih belum jelas Pencegahan terhadap Infeksi Hepatitis pada Penularan Parenteral pada HBV Pencegahan dengan Imunoprofilaksis vaksin HBV (sebelum paparan) a. Vaksin rekombinan ragi: 1. Mengandung HbsAg sebagai immunogen 2. Sangat imunogenik, kadar proteksi anti HBsAg pada >95% pasien dewasa muda sehat setelah pemberian komplit 3 dosis 3. Efektivitas 85-95% mencegah infeksi HBV 4. Efek samping: nyeri daerah suntikan dan demam ringan 5. Booster (pengulangan vaksin) tidak direkomendasikan walaupun >15 tahun imunisasi awal 6. Booster hanya untuk imunokompromise jika titer <10mU/mL 7. Peran imunoterapi HBV kronik masih dalam penelitian b.Dosis dan jadwal vaksin HBV: Untuk dewasa, untuk bayi, anak sampai umur 19 tahun dengan dosis anak ( dewasa): 0.1.6 atau 0.1.2 c.Indikasi 1. Imunisasi universal bayi baru lahir 2. Vaksin catch up utk anak sampai umur 19 tahun (bila belum divaksin) 3. Grup risiko tinggi Pencegahan dengan Imunoprofilaksi vaksin HBV dan Immunoglobulin HBV (HBIg) (setelah paparan) Indikasi : kontak seksual dan neonatus dari ibu HBsAg (+) Vaksin kombinasi untuk Perlindungan dari HAV dan HBV Proteksi dengan pemberian 3 x berjarak 0.1.6 bulan

Rekomendasi Umum 1. Pasien dapat rawat jalan apabila hidrasi & intake cukup 2. Tirah baring tidak lagi disarankan kecuali kelelahan berat 3. Tidak ada diet spesifik & suplemen yang efektif 4. Protein dibatasi hanya pada pasien enchepalopati hepatikum 5. Selama masa rekovalesensi diet tinggi protein diperlukan untuk proses penyembuhan 6. Alkohol dihindari & obat-obatan dibatasi 7. Obat yang dimetabolisme di hati harus dihindari, jika diperlukan perlu penyesuaian dosis 8. Pasien diperiksa tiap minggu dan dievaluasi sampai sembuh 9. Harus dimonitor terhadap kejadian ensefalopati seperti somnolen, mengantuk dan asterisk 10. Masa protrombin serum merupakan petanda baik untuk menilai dekompensasi hati dan menentukan saat yang tepat untuk dikirim ke pusat transplantasi

11. Memonitor kadar transaminasi serum tidak tidak membantu dalam hal menilai fungsi hati pada hepatitis fulminan, karena kadarnya akan turun pada kerusakan sel hati massif 12. 13. 14. 15. dan air Pasien dengan gejala hepatitis fulminan harus segera dikirim ke pusat transplantasi Anti mual dapat membantu menghilangkan keluhan mual Pasien hepatitis akut tidak memerlukan perawatan isolasi Tenaga kesehatan yang merawat pasien HAV dan HEV harus cuci tangan dengan sabun

16. Orang kontak erat dengan pasien HBV akut harus menerima vaksin HBV (penjelasan berikutnya mengenai hepatitis dengan penyebab lain, pada kasus Warna Urin seperti Air Teh, buka di halaman Modul Enterohepatik Abses Hati) Referensi Kumar V., Cotran R. S., Robbins S. L. 2007. Buku ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC Price S. A., Wilson L. M., 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4.Jakarta : EGC

Abses Hati
Pada kasus kita yang pertama, selain hepatitis akibat virus, bisa juga infeksi hati disebabkan bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem GIT dan alkohol. Tapi pada pembahasan kita kali ini, kita tidak membahas alkohol karena pada kasus diatas, pasien tidak terdapat riwayat konsumsi alkohol. Abses hati merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit, jamur, maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem GIT; ditandai dengan proses supurasi dengan pembentukan pus, terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel inflamasi, sel darah dalam parenkim hati. Organisme mencapai hati melalui satu jalur berikut: 1) infeksi asendens di saluran empedu (kolangitis asendens); 2) melalui pembuluh darah, baik porta atau arteri; 3) infeksi langsung ke hati dari sumber disekitar; 4)luka tembus. Abses hati timbul pada keadaan defisiensi imun (lanjut usia, imunosupresi, kemoterapi kanker disertai kegagalan sumsum tulang). Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amebic (AHA) dan abses hati piogenik(AHP/ Hepatic Abcess, Bacterial Liver Abcess). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal, paling sering terjadi di daerah tropis/subtropik. AHA lebih sering terjadi endemic di negara berkembang dibanding AHP. AHAterutama disebabkan oleh E. Histolytica. AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan sanitasi kurang. EtiologiAHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumonia, bacteroides, fusobacterium, S. aureus, S. milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, S. typhi, brucella militensis,dan fungal. Pada era preantibiotik, AHP terjadi akibat komplikasi apendisitis bersamaan dengan fileflebitis. Bakteri patogen melalui a. hepatica atau sirkulasi vena portal masuk ke dalam hati, sehingga terjadi bakterimia sistemik, atau menyebabkan komplikasi infeksi intraabdominal (diverticulitis, peritonitis, dan infeksi post operasi). Sedangkan saat era antibiotik, terjadi peningkatan insidensi AHP akibat komplikasi dari sistem biliaris (kolangitis, kolesistitis). Hal ini karena makin tinggi angka harapan hidup dan makin banyak pula orang lanjut usia dikenai penyakit sistem biliaris ini. AHP juga bisa akibat trauma, luka tusuk / tumpul, dan kriptogenik Patogenesis

Hati adalah organ paling banyak yang dikenai abses. Abses hati dapat berbentuk soliter atau multiple. AHP dapat berupa lesi tunggal dan jamak, dengan garis tengah milimeter hingga masif. Abses terjadi melalui penyebaran hematogen atau infeksi rongga peritoneum. Hati menerima darah sistemik dan melalui sirkulasi portal, sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang, tapi adanya sel kupffer bisa melindungi terjadinya infeksi hati. Adanya sistem biliaris, memungkinkan terjadinya obstruksi aliran empedu dan akibatnya terjadi proliferasi bakteri (abses empedu biasanya multiple yang mengandung bahan purulen). Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang vena portal dan limfatik sehingga terbentuk formasi abses fileflebitis. Penyebaran secara hematogen menimbulkan mikroabses dan multiple sehingga terjadi bakteri sistemik. Sedangkan penyebaran langsung dari trauma biasanya menyebabkan abses besar dan tunggal. Penetrasi akibat luka tusuk menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadiAHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadi kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan kanalikuli. Kerusakan kanalikuli akan memudahkan bakteri masuk, dan proliferasi melalui proses supurasi. AHP lebih sering terjadi pada lobus kanan hepar. Hal ini berdasarkan perbedaan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari a. mesenterika superior dan vena portal sedang lobus kiri menerima darah dari a. mesenterika inferior dan aliran limfatik. Manifestasi Klinis Manifestasi sistemik AHP biasanya lebih berat dari pada AHA. Sindrom klinis klasik AHPberupa nyeri spontan perut kanan atas, ditandai jalan membungkuk ke depan dengan dua tangan ditaruh diatasnya. Selain itu, demam tinggi (keluhan utama) disertai keadaan syok. Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat, gejala dan manifestasi AHP adalah malaise, demam tidak terlalu tinggi dan nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila AHP letaknya dekat diafragma, akan timbul iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri bahu kanan, batuk, ataupun atelektasis (terutama akibat AHA). Gejala lain, mual, muntah, anoreksia, berat badan turun yang unintentional, badan lemah, ikterus, berak seperti kapur, dan urin berwarna gelap. Pemeriksaan Penunjang Pada laboratorium didapatkan leukositosis dengan pergeseran ke kiri, anemia; laju endap darah, alkali fosfatase, transaminase dan serum bilirubin meningkat; konsentrasialbumin serum menurun dan waktu protrombin yang memanjang. Tes serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Kultur darahmemperlihatkan bacterial penyebab menjadi standar emas penegakan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan Penunjang Lain Pemeriksaan foto thoraks dan foto polos abdomen: diafragma kanan meninggi, efusi pleura, atelektasis basiler, empiema atau abses paru Pada foto thoraks PA: sudut kardiofrenikus tertutup; foto thoraks lateral: sudut kostofrenikus anterior tertutup. Di bawah diafragma terlihat air fluid level. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura minor. Secara angiografik, abses merupakan daerah avaskular. Abdominal CT-Scan atau MRI, USG abdominal, sdan Biopsi Hati memiliki sensitivitas yang tinggi. Diagnosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan penunjang. Kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis yang tidak spefisik. CT-scan dan tes serologis sangat membantu. Diagnosis berdasarkan penemuan bakteri penyebab dengan kultur darah hasil aspirasi (merupakan standar emas). Dengan diagnosis dini, akan memperlihatkan prognosis yang baik. Penatalaksaan Secara konvensional dengan drainase terbuka secara operasi dan antibiotik spektrum luas.

10

Penatalaksanaan saat ini, dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi computer, komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, perforasi organ intraabdominal, infeksi, atau kesalahan penempatan kateter untuk drainase. Kadang pada AHP multiple dilakukan reseksi hati. Penatalaksanaan dengan antibiotik, pada terapi awal digunakan penisilin. Selanjutnya dikombinasikan dengan antara ampisilin, aminoglikosida, atau sefalosporin generasi III dan klindamisin atau metronidazol. Jika dalam waktu 48-72 jam, belum ada perbaikan klinis dan laboratoris, maka antibiotik diganti dengan antibiotik sesuai hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati. Pengobatan secara perenteral dapat dirubah menjadi oral setelah 10-14 hari, dan kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu kemudian. Pengelolaan dengan dekompresi saluran biliaris dilakukan jika terjadi obstruksi sistem bilaris yaitu dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi. (penjelasan berikutnya mengenai Hepatotoksisitas Imbas Obat, pada kasus Warna Urin seperti Air Teh, buka di halaman Modul Enterohepatik Hepatotoksisitas Imbas Obat) Istilah sulit: Aminoglikosida : salah satu antibiotic (e.g. amikacin, gentamicin, streptomycin) dengan menghambat sintesis protein. Inokulasi : pemasukan mikroorganisme, agen infektif ke individu Kriptogenik : idiopatik Referensi Kumar V., Cotran R. S., Robbins S. L., 2007. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta : EGC Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC

Hepatotoksisitas Imbas Obat


Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim sitokrom P-450. Mekanisme Hepatotoksisitas Cedera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen). Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab). Implikasi Klinis

11

Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologist, sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui perbedaannya. Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Pada kerusakan hepatosit, ditunjukkan adanya peningkatan aminotransferase dapat meningkat lima kali normal. Sedangkan pada kolestasis, alkali fosfatase dan bilirubin lebih menonjol Diagnosis Dapat ditegakkan berdasarkan keterkaitan kerusakan hati dan pemberian obat serta, diharapkan, pemulihan setelah obat dihentikan, dikombinasi dengan penyingkiran penyebab lain yang mungkin. Pajanan ke suatu toksin atau obat harus selalu dimasukkan dalam diagnosis banding setiap bentuk penyakit hati. Diagnosis berdasarkan International Consensus Criteria, yaitu:

1. Waktu mulai dari minum dan berhentinya minum obat sampai awitan reaksi nyata
adalahsugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel ( <5 hari atau >90 hari sejak mulai minum obat dan <15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan <30 hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestasis) dengan hepatotoksisitas obat.

2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (enzim hati turun 50% dari
konsentrasi diatas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (enzim hati turun 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat 3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biosi hati 4. Adanya respon positif pada paparan ulang obat yang sama paling tidak kenaikan 2 x lipat enzim hati. Diagnosis Drug Related jika 3 kriteria pertama atau 2 dari 3 kriteria pertama dengan paparan ulang obat positif Hepatotoksisitas Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 1. Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik)

2. Factor risiko hepatotoksisitas: Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol,
punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor Genetik 3. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. 4. Pada pasien TBC dengan karier HBsAg (+) dan HBeAg (-) yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek (R, H, E dan/atau Z) dengan syarat pengawasan tes fungsi hati dilakukan tiap bulan

5. Sekitar 10% pasien TBC yang mendapat (H) mengalami kenaikan aminotransferase dalam minggu
pertama terapi menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. (H) dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya 1% berkembang menjadi hepatitis virus; 50% kasus terjadi pada bulan pertama dan sisanya muncul dalam beberapa bulan kemudian. Hepatotoksisitas Obat Kemoterapi Jejas hati yang timbul selama kemoterapi kanker tidak selalu akibat kemoterapi itu sendiri. Harus diperhatikan pula seperti reaksi terhadap antibiotic, analgesic, antiemetic, dal lainnya. Selain itu, tumor, imunosupresi, infeksi mungkin mempengaruhi kerentanan hospes terhadap terjadinya jejas hati. Sebagian besar reaksi hepatotoksisitas bersifat idiosinkrasi, melalui meaknisme imunologik atau respon pada metabolic pejamu. Hal ini perlu penyesuaian dosis bagi obat-obat kemoterapi tertentu. Hepatotoksisitas Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

12

1. Obat yang banyak diresepkan tapi tidak selalu tepat sasaran 2. Risiko epidemiologic hepatotoksisitas rendah (1-8 kasus per 100000 pasien pengguna OAIN) 3. Hepatotoksisitas OAINS dapat terjadi kapan saja setelah obat diminum, tapi efek samping berat sangat sering terjadi dalam 6-12 minggu dari awal pengobatan.

4. Terdapat 2 pola klinis utama pada hepatotoksisitas OAINS. (a) hepatitis akut dengan ikterus,
demam, mual, kadar transaminase tinggi, (kadang) eosinofilia. (b) gambaran serologic (Anti Nuclear Factor /ANF-positif) dan histologik (inflamasi periportal dengan infiltrasi plasma dan limfosit serta fibrosis yang meluas ke dalam lobus hepatic) dari hepatitis kronik aktif 5. Tes funsi hati dapat kembali normal dalam 4-8 minggu sejak penghentian obat penyebab.

6. Dua mekanisme utama yang berperan dalam hepatotoksisitas OAINS, yaitu


(a)Hipersensitivitas, yang sering mengalami titer ANF atau antibodi anti-smooth muscle, limfadenopati,eosinofilia dan (b) Aberasi metabolic, karena polimorfisisme genetic yang dapat mengubah kerentanan terhadap bermacam-macam obat) 7. Pasien yang mengalami hepatotoksisitas OAINS harus dianjurkan tidak minum OAINS lagi selamanya.

8. Parasetamol merupakan oabat pilihan untuk analgesic. Aspirin dapat digunakan sebagai pengganti
OAINS (karena toksisitas OAINS berhubungan dengan struktur molecular cincindiphenylamine yang tidak dimiliki aspirin) Pengobatan Reaksi Obat 1. N acetyl cystein merupakan antidotum asetaminofen (Paracetamol) 2. Tidak ada antidotum lain yang spesifik terhadap setiap obat 3. Terapi efek hepatotoksik dengan penghentian obat yang dicurigai 4. Kortikosteroid dapat digunakan pada alergi berat , meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan control 5. Prognosis gagal hati akut karena idiosinkratik obat buruk, angka mortalitas > 80% (penjelasan berikutnya mengenai transplantasi hati sebagai penanganan akibat kerusakan hati yang parah, pada kasus Warna Urin seperti Air Teh, buka di halaman Modul Enterohepatik Transplantasi Hati) Referensi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC

Transplantasi Hati
Kriteria umum resipien yang akan dilakukan transplantasi hati, yaitu: 1) Tidak ada tindakan operasi maupun pengobatan medik yang dapat memperpanjang harapan hidup pasien, 2) Tidak ada komplikasi penyakit hati kronik yang menyebabkan peningkatan resiko atau kontra-indikasi dilakukannya transplantasi hati, 3) adanya pengertian dari pasien dan keluarga tentang konsekuensi transplantasi hati, meliputi resiko, keuntungan, dan biaya. Ada empat macam kategori penyakit hati yang diindikasikan untuk transplantasi hati yaitu: 1) Penyakit hati kronik irreversible, 2) Keganasan hati nonmetastatik, 3) Gagal hati fulminan, 4) Gangguan metabolisme sekunder. Seleksi Donor Usia 2 bulan- 65 tahun, trauma otak yang menyebabkan kematian batang otak, adanya kecocokan ABO dan HLA, kesediaan keluarga donor dengan bukti informed with consent, tak ada penyakit berbahaya pada donor.

13

Komplikasi (selama dan setelah operasi) 1. Komplikasi akibat procedural 2. Kegagalan graft perioperatif 3. Komplikasi non teknis Penolakan Graft Rejeksi hiperakut sangat jarang terjadi dan ini biasanya disebabkan oleh presensitasi terhadap antigen donor. Rejeksi akut umunya reversible dan sebaliknya pada rejeksi kronik Immunosupresan Obat-obat ini banyak digunakan untuk mempertahankan jaringan graft hati. Seperti:

1. 1. Kortikosteroid. Diberikan setelah revaskularisasi jaringan hati donor. Turunkan secara tapering
dosis obat ini sampai mencapai baseline yang dapat mempertahankan jaringan hati donor

2. 2. Siklosporin dan Takrolimus.diberikan sebelum memulai dan setelah tindakan transplantasi. Jika
tidak dapat mentoleransi obat ini dapat ditambahkan azatioprin untuk mencapai efek imunosupresi yang adekuat. Beberapa bulan setelah kondisi jaringan hati donor stabil, turunkan dosis obat secara gradual.

3. Imunosupresan lainnya. Dapat digunakan mycophenolat mofetil, serolimus, antilymphocyte


antibody, dan specific monoclonal antibody sebagai alternative kombinasi atau jika terdapat kontraindikasi pemberian obat diatas. Kualitas Hidup Proses transplantasi akan memperpanjang daya tahan hidup dan produktivitas pasien. Sampai saat ini perpanjangan usia 1 tahun yang dicapai dengan transplantasi hati mengalami peningkatan (50%), bahkan perpanjangan usia mencapai 3-8 tahun. Hal ini tergantung dari banyak factor, terutama perawatan dan manajemen sebelum, salama, maupun sesudah transplantasi hati oleh tim ahli hepatologi dan ganstroenterologis. Referensi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC I. pengertian

Hepatitis adalah inflamasi hati yang dapat terjadi karena invasi bakteri, cidera oleh agen fisik atau kimia (nonviral) atau infeksi virus (Hepatitis A, B, C, D, E). (Doengoes, 1994 ; 534).
Hepatitis virus adalah infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis & inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan kimia, biokimia serta seluler yang khas. (Suzanne C. Smeltzer, 2001 ; 1169). Hepatitis virus akut adalah penyakit infeksi yang penyebarannya luas didalam tubuh. Walaupun efek yang menyolok terjadi pada hati. (Price, 1995 ; 439). Hepatitis akut adalah penyakit infeksi akut dengan gejala utama berhubungan erat dengan adanya nekrosis pada hati. (Mansjoer, 1999 ; 513). Hepatitis adalah inflamasi hati yang dapat terjadi karena invasi bakteri, cedera oleh agen fisik atau kimia (non vital), atau infeksi virus (hepatitis A, P, C, D, E). (Doengoes, 1999 ; 534).

14

II. Klasifikasi dan Etiologi Beberapa virus diketahui dapat menginfersikan hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, hepatitis E. 1. Hepatitis A/ hepatitis infeksiosa merupakan penyakit yang ditularkan melalui kontaminasi oralpekal akibat hygiene yang buruk/makanan yang tercemar. 2. Hepatitis B/ hepatitis serum merupakan penyakit yang bersifat serius & biasanya menular melalui kontak dengan darah yang mengandung virus. Penyakit ini juga ditularkan melalui hubungan kelamin & dapat ditemukan oleh semen cairan tubuh lainnya. 3. Hepatitis C/ hepatitis non-A non-B. Virus ini merupakan penyebab tersering infeksi kepada yang ditularkan melalui supali darah komersial. Hepatitis C ditularkan sama dengan hepatitis B terutama melalui transfusi darah. 4. Hepatitis D/ hepatitis delta & sebenarnya adalah suatu virus defektif yang ia sendiri tidak dapat menginfeksi hipatosit untuk menimbulkan hepatitis. Hepatitis D ditularkan seperti hepatitis B. Antigen & antibody hepatitis D dapat diperiksa pada donor darah. 5. Hepatitis E diidentifikasikan tahun 1990. Virus ini adalah suatu virus yang ditularkan melalui ingesti air yang tercemar. Sebagian besar kasus yang dilaporkan ditemukan di negara yang sedang berkembang. (Corwin, 2000 ; 579) Penyebab Type A Metode transmisi Fekal-oral melalui orang lain Tak ikterik dan asimtomatik Darah, feces, saliva Type B Parenteral seksual, perinatal Type C Parenteral jarang seksual, orang ke orang, perinatal Menyebar luas, dapat berkembang sampai kronis Terutama melalui darah Type D Parenteral perinatal, memerlukan koinfeksi dengan type B Peningkatan insiden kronis dan gagal hepar akut Melalui darah Type E Fekal-oral

Keparahan Sumber virus

Parah Darah, saliva, semen, sekresi vagina

Sama dengan D Darah, feces, saliva

Alkohol Menyebabkan alkohol hepatitis dan selanjutnya menjadi alkohol sirosis. Obat-obatan Menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis toksik dan hepatitis akut

IV.Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dapat berkisar dari asimtomatik sampai penyakit yang mencolok, kegagalan hati & kemakan. Terdapat 3 stadium pada semua jenis hepatitis yaitu : a. Stadium prodomal/periode praikterus, dimulai setelah periode masa tunas virus selesai dan pasien mulai memperlihatkan tanda-tanda penyakit. Disebut stadium praikterus karena ikterus

15

belum muncul. Individu akan sangat infeksius pada stadium ini. Antibodi terhadap virus biasanya belum di jumpai. Stadium ini berlangsung 1-2 minggu dan ditandai oleh : Malaise umum Rasa lelah Gejala-gejala infeksi saluran nafas atas Miolgia (nyeri otot) Keengganan terhadap sebagian besar makanan b. Stadium inkerus adalah stadium kedua hepatitis virus dapat berlangsung 2-3 minggu/lebih : Memburuknya segala/semua gejala yang ada pada stadium prodoral Pembesaran & nyeri hati Splenomegali Mungkin gatal (pruritus) c. Stadium pemulihan adalah stadium ketiga hepatitis virus, biasanya timbul dalam 4 bulan untuk hepatitis B & C dalam 2-3 bulan untuk hepatitis A, selama periode ini : Gejala-gejala mereda, termasuk interus Nafsu makan pulih (Corwin, 2000 ; 581) III. Patofisiologi Pada klien dengan hepatitis gejala-gejala prodomal (malaise, rasa mulas, anoreksia, sakit kepala.

16

V. Pemeriksaan Diagnostik Tes fungsi hati : abnormal (4-10 kali dalam normal) catatan : merupakan batasan nilai untuk membedakan hepatitis virus & non virus. AST (SGOT) ALT (SGFT) : awalnya meningkat, dapat meningkat 102 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun. Darah lengkap : SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan. Leokopenia : trombositopenia mungkin ada (splenomegah) Diferensiasi darah lengkap : leukositosis, monositasi, limfosit atipikel, & sel plasma : Alkali fostosme lengkap : leukositosis, monositosis => agak meningkat (kecuali ada leukstasis berat). Feses : Warna tanah liat, steahorea (penurunan fungsi hati). Albumin serum : menurun. Gula darah, , hiperglikemia transfer /hipoglikemia (gangguan fungsi hati). Anti HAV lgM : Positif pada tipe A. Hbs AG : Dpt Positif (tipe B) atau negative (tipe A) catatan : merupakan diagnostic sebelum terjadi gejala klinis. Masa protombin : mungkin memanjang (disfungsi hati)

17

Silirobin serum : Diatas 2.5 mg /100 ml bila diatas 200 mg /ml prognosis buruk mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis sekunder. Ter eksfesi ESP : kadar darah rah meningkat. Hobsi hati : menunjukan diagnosis & luasnya nekrosis. Scan hati, membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenium. Urinalisa : Peninggian kadar bilirobin dan protein /Hematurita seperti terjadi (Doengoes, 1999 ; 535). VI. Komplikasi Hepatitis Foliminan. Hepatitis kronik persisten. Hepatitis Agresif Karsinoma Hepatoseluler. Sirosis Hepatitis. VII. Penatalaksanaan Pengobatan hepatitis virus terutama bersifat suporsif & mencakup : Istirahat sesuai kebutuhan. Penkes mengenai menghindari pemakaian alcohol /obat-obatan. Penkes mengenai cara penularan kepada mitra seksual dan anggota keluarga. Keluraga dari pasien hepatitis ditawarkan untuk menerima gema globulin murni yang spesifik terhadap hepatitis virus A /hepatitis virus B, yang dapat memberikan imunitas pasif terhadap infeksi, namun bersifat sementara. Vaksin hepatitis B virus melalui IM sebanyak 3 kali pada interval yang ditentukan, dosis I & II diberikan terpisah satu bulan, dosis IV diberikan 6 bulan setelah dosis ke V. DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall, 1997, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 6, Jakarta ; EGC. Corwin, Elizabeth, S, 2000, Patofisiologi, Jakarta ; EGC. Doengoes, Marilyne, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta ; EGC. Mansjoer, Arif, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid I, FKUI ; Media Aesculapius. Noer, Sjarifoellah, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, Jakarta ; EGC. Gangguan fungsi hati Cirrhosis Kematian karena gagal fungsi hati

18

Suzanne, C, Smeltzer, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Alih Bahasa, Kuncana Y Hartono Andry, Ester, Yasin, Jakarta ; EGC. DIAGNOSIS a. Anamnesis Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan demam. Dalam beberapa hariminggu timbul ikterus, tinja pucat dan urin yang berwarna gelap. Saat ini, gejala prodromal berkurang. Perlu ditanyakan riwayat kontak dengan penderita hepatitis sebelumnya dan riwayat pemakaian obatobat hepatotoksik. b. Pemeriksaan fisis Keadaan umum: sebagian besar sakit ringan. Kulit, sklera ikterik, nyeri tekan di daerah hati, hepatomegali; perhatikan tepi, permukaan, dan konsistensinya. c. Pemeriksaan penunjang 1. Darah tepi : dapat ditemukan pansitopenia: infeksi virus, eosinofilia : infestasi cacing, leukositosis : infeksi bakteri. 2. Urin : bilirubin urin 3. Biokimia : a. Serum bilirubin direk dan indirek b. ALT (SGPT) dan AST (SGOT) c. Albumin, globulin d. Glukosa darah e. Koagulasi : faal hemostasis terutama waktu protrombin 4. Petanda serologis : a. IgM antiHAV, HbsAg, IgM anti HBc, Anti HDV, Anti HCV, IgM Leptospira, kultur urin untuk leptospira, kultur darah-empedu (Gal) 5. USG hati dan saluran empedu : Apakah terdapat kista duktus koledokus, batu saluran empedu, kolesistitis ; parenkim hati, besar limpa. DIAGNOSIS BANDING Jaundice fisiologis, penyakit hemolitik, sepsis Carotenemi Hemolytic-uremic syndrome Reye syndrome Malaria, leptospira, brucellosis, infeksi berat Batu empedu Wilsons disease, Cystic fibrosis, Systemic Lupus Erythremotasus (SLE). Keracunan obat seperti acetaminofean, asam valproat, kombinasi obat anti tuberkulosa. PATOGENESIS Hepatitis A Seringkali infeksi hepatitis A pada anak-anak tidak menimbulkan gejala, sedangkan pada orang dewasa menyebabkan gejala mirip flu, rasa lelah, demam, diare, mual, nyeri perut, mata kuning dan hilangnya nafsu makan. Gejala hilang sama sekali setelah 6-12 minggu. Orang yang terinfeksi hepatitis A akan kebal terhadap penyakit tersebut. Berbeda dengan hepatitis B dan C, infeksi hepatitis A tidak berlanjut ke hepatitis kronik. Masa inkubasi 30 hari.Penularan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi feces pasien, misalnya makan buah-buahan, sayur yang tidak dimasak atau makan kerang yang setengah matang.Saat ini sudah ada vaksin hepatitis A, memberikan kekebalan selama 4 minggu setelah suntikan pertama, untuk kekebalan yang panjang diperlukan suntikan vaksin beberapa kali. Pecandu narkotika dan hubungan seks anal, termasuk homoseks merupakan risiko tinggi tertular hepatitis A.[2][7] Hepatitis B Proses perjalanan infeksi VHB tergantung pada aktivitas terpadu sistem pertahanan tubuh yang terdiri dari :

19

Interferon Respon imun Kalau aktivitas sistem pertahanan ini baik, infeksi HVB akut akan terjadi penyembuhan, sebaliknya kalau salah satu sistem pertahanan ini terganggu akan terjadi proses infeksi HVB kronik. Mekanisme terjadinya HVB akut : Pada infeksi HVB akut reaksi imunologi di dalam tubuh dapat bersifat humoral maupun seluler. Reaksi humural dapat dilihat dengan timbulnya anti HBc dan anti HBe. Reaksi seluler ditandai dengan aktivasi sel sitotoksi yang dapat menghancurkan HBcAg atau HBsAg yang terdapat pada dinding sel hati yang telah dikenal dengan bantuan MHC kelas I ( Mayor Histo Comtability ) Pada infeksi akut, sel hati memproduksi MHC dalam jumlah banyak bersamaan dengan produksi alfa interform ( IFN) Interform dapat mengaktifkan ensim 2-5 asam oligoadenilat yang mempunyai peran menghambat sintesa protein, virus dan diduga melindungi sel hati yang masih sehat terhadap VHB. Sel hati yang terinfeksi VHB memproduksi protein LSP ( Liver Specific Protein ) yang bersifat antigenik. LSP menempel pada dinding sel hati dan dapat berperan sebagai antigen sasaran (target antigen ) oleh sel Tsitotoksik.[4][5] Gambar 3 : Patogenesis Hepatitis B Akut (Gambar dikutip dari kepustakaan 4) Hepatitis C Cara penularan - Parenteral : transfusi darah (darah, komponen darah), hemodialisa, obat-obat i.v , pekerja medis. - Kontak personal (belum jelas) : sikat gigi, alat cukur - Seksual - Neonatal - Saliva KOMPLIKASI Hepatitis A - Obstruksi biliari - Hepatitis Fulminant (jarang) Hepatitis B - Hepatitis kronis - Sirosis - Kanker hepar - Gagal hepar - Infeksi hepatitis D - Gangguan ginjal - Vasculitis Hepatitis C - Sirosis hepatis - Liver cancer - Gagal hepar [6]

Kolelitiasis
Kolelitiasis merupakan adanya batu empedu dalam kandung empedu. Biasanya disertaikolesistitis (peradangan pada dinding kandung empedu). Kolelitiasis dan kolesistitis. Walaupun begitu, dua kejadian ini dapat timbul sendiri atau bersamaan. Etiologi dan patogenesis Empedu sebagai satu-satunya jalur signifikan untuk mengeluarkan kelebihan kolesterol dalam tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam empedu. Sifat kolesterol yang larut lemak dibuat menjadi larut air dengan cara agregasi melalui garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama kedalam empedu. Jika konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi empedu (supersatusasi), kolesterol tidak lagi tidak terdispersi sehingga terjadi penggumpalan menjadi kristal kolesterol monohidrat padat.

20

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang bermigrasi ke duktus sistikus atau duktus koledokus (batu empedu saluran sekunder). Bahkan dapat terjadi di saluran intra- atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu (batu empedu saluran primer).Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya. Kondisi klinis yang ikut berperan dalam insidensi batu empedu seperti diabetes, sirosis hati, pankreatitis kanker kandung empedu, dan reseksi ileum. Tapi faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan perubahan susunan empedu (kasus terbanyak), stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu. Terdapat 3 faktor yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol, yaitu: 1) hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu, 2) percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol, 3) gangguan motilitas kandung empedu dan usus. Hati mensekresi empedu dengan kolesterol jenuh sehingga kolesterol mengendap dalam kandung empedu. Stasis empedu. Akibat gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter oddi atau keduanya. Faktor hormonal, misal selama kehamilan, dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu. Semua ini bisa mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur komponen empedu. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan betu empedu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas, dan unsur seluler. Akan tetapi infeksi lebih sering terjadi akibat pembentukan batu empedu daripada sebagai penyebab. Pada patogenesis batu pigmen melibatkan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Kelebihan aktivitas -glucosidase bakteri (enzim hasil E. coli dan kuman lain di saluran empedu) dan manusia (endogen) juga ikut berperan (lihat penjelasan bawah). Hidrolisis bilirubin enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate. Enzim ini dapat dihambat oleh glucarolactone yang konsentrasinya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah lemak. Faktor Risiko

1. Usia lanjut, jenis kelamin kebanyakan wanita kulit putih 2. Etnik dan geografik cenderung di negara industri barat 3. Lingkungan. Faktor estrogen baik kontrasepsi oral dan kehamilan meningkatkan penyerapan
dan sintesis kolesterol sehingga terjadi peningkatan ekskresi kolesterol dalam empedu. Kejadian juga meningkat pada kegemukan, penurunan berat yang cepat, terapi dengan obat antikolesterolemia

4. Penyakit didapat 5. Hereditas Patofisiologi


Kolesterol (Ch), normalnya tidak akan mengendap di empedu karena empedu mengandunggaram empedu (BS) terkonjugasi dan fosfatidilkolin (Pch, lesitin) yang dalam jumlah cukup agar kolesterol berada dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi [Ch]/[BS+Pch] naik, Kolesterol dalam kisaran yang kecil akan tetap berada dalam larutan misel yang sangat jenuh. Kondisi sangat jenuh ini mungkin karena hati juga menyekresi kolesterol dalam bentuk konsentrasi tinggi dalam nukleus vesikel unilamelar di kandung empedu dengan cara tertentu sehingga fosfatidilkolin membuat larutan menguliti vesikel berdiameter 50100 nm ini. Jika kandungan Kolesterol semakin naik, akan dibentuk vesikel multimisel (1000 nm). Zat ini kurang stabil dan akan melepaskan Kolesterol yang kemudian diendapkan pada lingkungan cairan dalam bentuk kristal Kolesterol. Kristal ini merupakan prekursor batu empedu. Penyebab peningkatan rasio [Ch]/[BS+Pch] adalah:

1. Peningkatan sekresi Kolesterol. Karena peningkatan sintesis kolesterol (peningkatan aktivitas 3hidroksi-3-metilglutaril [HMG]-KoA-kolesterol reduktase) atau penghambatan esterifikasi kolesterol, misal oleh progesteron selama kehamilan (penghambatan asetil-Koa-kolesterol-asetil transferase [ACAT]). Rasio [Ch]/[BS+Pch] juga meningkat akibat pengaruh estrogen.

21

2. Penurunan sekresi garam empedu. Karena penurunan simpanan garam empedu (pada penyakit
Crohn, setelah reseksi usus, atau karena sekuestrasi garam empedu yang memanjang di kandung empedu pada puasa, pada pemberian parenteral.

3. Penurunan sekresi fosfatidilkolin. Karena hanya konsumsi sayur-sayuran berlebih. Batu Pigmen, sebagian besar terdiri dari kalsium bilirubinat, yang memberi warna coklat atauhitam. batu coklat mengandung stearat, palmitat, dan kolesterol sedangkan Batu hitam juga mengandung kalsium karbonat dan fosfat. Peningkatan jumlah bilirubin tak terkonjugasi (B) dalam empedu, yang hanya larut dalam misel, merupakan penyebab pembentukan batu empedu. Peningkatan B karena: 1. Peningkatan pelepasan Hb, misal anemia hemolitik. Karena jumlah berlebih B yang banyak,
proses konjugasi oleh glukuronidase di hati tak dapat memenuhi kebutuhan.

2. Penurunan kemampuan konjugasi di hati, misal sirosis hati 3. Dekonjugasi bilirubin non-enzimatik (terutama monoglukuronat) di empedu 4. Dekonjugasi enzimatik (-glukosidase) oleh bakteri. Hal ini penyebab batu pigmen
coklat dengan mekanisme enzim tersebut menurunkan pembentukan misel sehingga kolesterol mengendap dan melepaskannya melalui fosfolipase A, palmitat, dan stearat (dari fosfatidilkolin) yang akan mengendap sebagai garam kalsium. Sedangkan pembentukan batu pigmen hitam akibat 3 mekanisme pertama. Kandung Empedu sebagai tempat pemekatan kompenen empedu: kolesterol, garam empedu, fosfatidilkolin. Pemekatan ini berlangsung beberapa kali disertai penarikan air. Adanyagangguan pengosongan kandung empedu, bisa akibat insufisiensi pelepasan CCK(kurangnya pelepasan FFA) sehingga kontraksi kandung empedu melemah atau karena vagotominonselektif (tidak hadirnya asetilkolin). Kontraksi kandung empedu juga melemah saat kehamilan. Bisa juga akibat lamanya empedu menetap dalam kandung empedu, membuat kristal memliki kesempatan membentuk konkremen besar. Peningkatan sekresi mucus (dirangsang prostaglandin) juga meningkatkan jumlah kristalisasi.

Morfologi Batu empedu merupakan endapan 1 komponen empedu: kolesterol, bilirubin, garam empedu,calcium, dan protein. Secara makroskopik, batu empedu dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori: 1) batu kolesterol (komposisi 50-100%), 2) batu pigmen coklat atau batucalcium bilirubinate, 3) batu pigmen hitam, kaya akan residu hitam tak terekstrasi, terutama mengandung bilirubin tak terkonjugasi. Batu kolesterol murni terbentuk dalam kandung empedu, biasanya besar, soliter, kuning pucat, bulat atau oval, padat, sering mengandung kalsium dan pigmen. Batu kolesterol campuran (campuran kolesterol dan pigmen) paling sering ditemukan, majemuk, coklat tua.Sebagian besar batu kolesterol bersifat radiolusen (hitam), meski hampir 20% mengandung kalsium karbonat sehingga tampak radioopak (putih) Batu pigmen bisa terbentuk dimana saja dalam saluran empedu dan secara sederhana diklasifikasikan sebagai batu coklat dan batu hitam. Terdiri atas garam kalsium dan mengandung salah satu dari: bilirubinat, karbonat, fosfat, atau asam lemak rantai panjang. Berukuran kecil, multipel, dan hitam kecoklatan (hitam akibat hemolisis kronis). Batu coklat. Ditemukan di saluran intra- atau ekstrahati yang terinfeksi. Cenderung tunggal/sedikit, lunak, konsistensi berminyak seperti sabun karena adanya garam asam lemak yang dibebaskan oleh kerja fosfolipase bakteri pada lesitin empedu. Batu coklat, yang mengandung sabun kalsium, bersifat radiolusen. Batu hitam. Ditemukan di empedu steril dalam kandung empedu. Biasanya kecil, banyak, mudah remuk. Karena adanya kalsium karbonat dan fosfat, 50-70% bersifat radioopak. Terdapat pula batu bilirubin (jarang ditemukan) murni, biasanya kecil, majemuk, hitam, dikaitkan dengan kelainan hemolitik.

22

Batu empedu campuran sering terlihat dengan pemeriksaan radiografi, sedangkan batu murni tidak terlihat. Gambaran Klinis Dapat dibagi 3 kelompok: 1) pasien dengan batu asimtomatik, 2) pasien dengan batu simtomatik, 3) pasien dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, pankreatitis) Dominannya, asimtomatik bahkan sampai puluhan tahun tidak bergejala. Gajala yang mencolok dengan nyeri yang hebat, baik menetap atau kolik (spasmodic) diakibatkan obstruksi kandung empedu atau saat kandung empedu bergerak ke hilir dan tersangkut di saluran empedu. Sering mempunyai gejala kolesistitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama epigastrium, bisa juga di kiri dan prekordial; menyebar ke punggung dan bahu kanan; berkeringat banyak, atau berjalan mondar-mandir atau berguling ke kanan-kiri di tempat tidur; mual dapat berlangsung berjam-jam atau dapat kambuh kembali setelah remisi parsial atau kombinasi mual, muntah dan panas. Bila penyakit reda, nyeri dapat ditemukan di atas kandung empedu. Kolesistitis akut juga sering disertai sumbatan batu dalam duktus sistikus (kolik bilier). Gejala kolik bilier merupakan gejala yang dipercaya, nyeri visera di perut atas yang terjadi >30 menit dan <12 jam. Bentuk kronik mirip dengan bentuk akut, tapi berat nyeri dan tanda fisik kurang nyata. Sering terdapat riwayat dyspepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat diam dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Setelah batu membesar, makin kecil kemungkinannya batu tersebut masuk ke duktus sistikus atau duktus koledokus untuk menimbulkan obstruksi (batu kecil/kerikil, malah lebih berbahaya). Kadang, batu besar dapat menimbulkan erosi langsung terhadap lengkung usus halus didekatnya, menimbulkan obstruksi usus (ileus batu empedu). Komplikasi paling sering seperti kolesistitis dan obstruksi duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi dapat bersifat sementara, intermiten, atau permanen. Kadang, batu dapat menembus dinding kandung empedu yang menyebakan peradangan hebat, menimbulkan peritonitis, atau ruptur dinding kandung empedu. Jadi pada awalnya terjadi peradangan steril dan diakhiri superinfeksi bakteri. komplikasi lain seperti ikterus, kolangitis, dan pankreatitis.

1. Definisi Kolelitiasis

Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus,batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu


empedu di dalam kandung empedu (vesika felea) yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu : obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik. 2. Patologi kolelitiasis Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu, yang terdiri dari : kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, fosfolipid (lesitin) dan elektrolit. Batu empedu memiliki komposisi yang terutama terbagi atas 3 jenis : 1. batu pigmen 2. batu kolesterol 3. batu campuran (kolesterol dan pigmen) 3. Etiologi kolelitiasis Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti,adapun faktor predisposisi terpenting, yaitu : gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu. Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-insur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau

23

spasme spingter oddi, atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin ) dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus meningkatakn viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan.Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu ,dibanding panyebab terbentuknya batu. 4. Patofisiologi kolelitiasis 1. Batu pigmen Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karna adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi. Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase Presipitasi / pengendapan Berbentuk batu empedu Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi Batu kolesterol Kolesterol merupakan unsur normal pembentukan empedu dan berpengaruh dalam pembentukan empedu. Kolesterol bersifat tidak larut dalam air, kelarutan kolesterol sangat tergantung dari asam empedu dan lesitin (fosfolipid). Proses degenerasi dan adanya penyakit hati Penurunan fungsi hati Penyakit gastrointestinal Gangguan metabolisme Mal absorpsi garam empedu Penurunan sintesis (pembentukan) asam empedu Peningkatan sintesis kolesterol Berperan sebagai penunjang iritan pada kandung empedu Supersaturasi (kejenuhan) getah empedu oleh kolesterol Peradangan dalam Peningkatan sekresi kolesterol kandung empedu Kemudian kolesterol keluar dari getah empedu Penyakit kandung empedu (kolesistitis) Pengendapan kolesterol Batu empedu 5. Manifestasi klinis kolelitiasis Gejala kolelitiasis dapat terjadi akut atau kronis dan terjadinya gangguan pada epigastrium jika makan

24

makanan berlemak, seperti: rasa penuh diperut, distensi abdomen, dan nyeri samar pada kuadran kanan atas. Rasa nyeri hebat dan kolik bilier Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada kuadran I yang menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan bahu kanan sehingga menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman. Nyeri akan dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika habis makan makanan berlemak yang disertai rasa mual dan ingin muntah dan pada pagi hari karena metabolisme di kandung empedu akan meningkat. Mekanisme nyeri dan kolik bilier Batu empedu Aliran empedu tersumbat (saluran duktus sistikus) Distensi kandung empedu Bagian fundus (atas) kandung empedu menyentuh bagian abdomen pada kartilago kosta IX dan X bagian kanan Merangsang ujung-ujung saraf sekitar untuk mengeluarkan bradikinin dan serotonin Impuls disampaikan ke serat saraf aferen simpatis Menghasilkan substansi P (di medula spinalis) Thalamus

Korteks somatis sensori Bekerjasama dengan pormatio retikularis (untuk lokalisasi nyeri) Serat saraf eferen Hipotalamus

Nyeri hebat pada kuadran kanan atas dan nyeri tekan daerah epigastrium terutama saat inspirasi dalam

Penurunan pengembangan thorak Menjalar ke tulang belikat (sampai ke bahu kanan) Nyeri meningkat pada pagi hari Karena metabolisme meningkat di kandung empedu Mekanisme mual dan muntah

25

Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran empedu sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan disekitar hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT, menyebabkan peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran cerna sehingga merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan muntah. Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka terjadilah kembung. Obstruksi saluran empedu Alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu, kolesterol) Proses peradangan disekitar hepatobiliar Pengeluaran enzim-enzim SGOT dan SGPT Peningkatan SGOT dan SGPT Bersifat iritatif di saluran cerna Merangsang nervus vagal (N.X Vagus) Menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis

Penurunan peristaltik sistem Akumulasi gas usus pencernaan (usus dan lambung) di sistem pencernaan Makanan tertahan di lambung Rasa penuh dengan gas Peningkatan rasa mual Kembung Pengaktifan pusat muntah (medula oblongata) Pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan, serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma Muntah Mekanisme ikterik, BAK berwarna kuning Akibat adanya obstuksi saluran empedu menyebabkan eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) menurun sehingga feses tidak diwarnai oleh pigmen empedu dan feses akan berwarna pucat kelabu dan lengket seperti dempul yang disebut Clay Colored. Selain mengakibatkan peningkatan alkali fospat serum, eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) juga mengakibatkan peningkatan bilirubin serum yang diserap oleh darah dan masuk ke sirkulasi sistem sehingga terjadi filtrasi oleh ginjal yang menyebabkan bilirubin dieksresikan oleh ginjal sehingga urin berwarna kuning bahkan kecoklatan. Obstuksi saluran empedu

26

Ekresi cairan empedu ke duodenum (saluan cerna) menurun

Feses tidak diwarnai Peningkatan alkali fosfat serum Peningkatan bilirubin serum oleh pigmen empedu Diserap oleh darah Feses pucat/ berwarna kelabu Masuk ke dan lengket (seperti dempul) sirkulasi sistem Disebut Clay Coroled Filtrasi oleh ginjal Bilirubin dieksresikan oleh gi Warna urin kuning/ kecoklatan F. Patofisiologi Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen pada dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehingga patofisiologi batu empedu terbagi atas:17 1. Patofisiologi batu kolesterol Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan: Supersaturasi kolesterol empedu Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk dibagian dalam misel. Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel.Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal.Small dkk (1968) menggambarkan batas solubilitas kolesterol empedu sebagai faktor yang terkait dengan kadar fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram segitiga keseimbangan fase.17 Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu. Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan litogenisitas empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk: a.Hipersekresi kolesterol, b.Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu, c. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid17 a. Hipersekresi kolesterol. Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:

27

i. ii. iii.

peningkatan uptake kolesterol hepatik peningkatan sintesis kolesterol penurunan sintesis garam empedu hepatik

iv. penurunan sintesis ester kolestril hepatik Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas koenzim A reduktase 3hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding kontrol. Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu. Konsentrasi kolesterol yang tinggi dalam empedu supersaturasi kolesterol pembentukan kristal kolesterol.17 b. Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu. Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok asam empedu utama yakni: i. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik. ii. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik. iii. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik. Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu. Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik yang lebih besar.Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.17 c. Defek sekresi dan hiposinstesis fosfolipid 95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin.Sebagai komponen utama fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa muda.17 Hipomotilitas kantung empedu Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik.Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus proses absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu peningkatan konsentrasi empedu proses litogenesis empedu.17 Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat. a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:
Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin

dan estrogen. Perubahan kontrol neural (tonus vagus).

28

b. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal. Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih besar.Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu.Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi.Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.17 Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol.Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam -1. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu.Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik.Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal.Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis empedu.10 Hipersekresi mukus di kantung empedu Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.17 2. Patofisiologi batu berpigmen Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.17

29

Patofisiologi batu berpigmen hitam Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu.Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal.Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase- endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas buffering asam sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan ph yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.17 Patofisiologi batu berpigmen coklat Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen.17 Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase-, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketigatiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:10 i. Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan pembentukan bilirubin tak terkonjugat. ii. iii. Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam palmitik). Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.

Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin endogenik.17

K. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:3 1. Obstruksi duktus sistikus 2. Kolik bilier 3. Kolesistitis akut 4. Perikolesistitis 5. Peradangan pankreas (pankreatitis) 6. Perforasi 7. Kolesistitis kronis 8. Hidrop kandung empedu 9. Empiema kandung empedu 10. Fistel kolesistoenterik 11. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu muncul lagi)

Kolesistitis Akut
Merupakan radang dinding kandung empedu akut yang disertai nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam.

30

Terbagi atas kolesistitis akut kalkulus dan kolesistitis akut akalkulus. Etiologi dan Patogenesis Faktor yang berperan adalah adanya stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Adanya stasis akibat batu yang menyumbat duktus sistikus, mungkin akibat kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu. Morfologi Pada kolesistitis akut, kandung empedu biasanya membesar (2-3 x lipat), tegang, merah terang atau memperlihatkan bercak keunguan-hijau hitam (akibat perdarahan subserosa), lumen biasanya berisi darah, fibrin (keruh), atau pus. Jika mengandung pus disebut empiema kandung empedu. Pada kasus yang berat kandung empedu berubah menjadi organ nekrotik hijau-hitam (kolesistitis gangrenosa) Kolesistitis Akut Kalkulus 1. Akibat peradangan akut dinding kandung empedu yang mengandung batu, selain itu adanya obstruksi leher kandung empedu atau duktus sistikus.

2. Merupakan penyulit utama tersering pada batu empedu dan penyebab tersering
dilakukannya kolesistektomi darurat

3. Gejala mungkin timbul mendadak dan merupakan kejadian darurat bedah akut. Bisa juga, gejala
mungkin ringan dan mereda tanpa intervensi medis

4. Awalnya adalah akibat iritasi kimiawi dan peradangan dinding kandung empedu yang berkaitan
dengan obstruksi saluran empedu. Fosfolipase mukosa menghidolisis lesitin empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik bagi mukosa. (baca penjelasan patofisiologi kolelitiasis mengenai lesitin). Lapisan mukosa glikoprotein yang secara normal bersifat protektif rusak , sehingga epitel mukosa terpajan langsung ke efek detergen garam empedu. Prostaglandin yang dibebaskan didalam dinding kandung empedu yang teregang ikut berperan dalam peradangan mukosa dan mural. Peregangan dan peningkatan tekanan intralumen juga mengganggu aliran darah ke mukosa. Proses ini terjadi tanpa infeksi bakteri; baru setelah proses berlangsung cukup lama terjadi kontaminasi oleh bakteri Kolesistitis Akut Akalkulus

1. Sebagian kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus), yang timbul pada:
a) pasien rawat inap lama dan mendapat nutrisi secara parenteral; b) pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu di saluran empedu; c) akibat komplikasi penyakit seperti demam tifoid dan diabetes mellitus; d) trauma berat dan luka bakar luas; e) sepsis, dehidrasi, stasis empedu dan gangguan pembuluh darah, dan kontaminasi bakteri juga ikut berperan Gejala Klinik

1. Kolik perut di kanan atas epigastrium dan nyeri tekan disertai kenaikan suhu tubuh 2. Kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsungsampai 60
menit tanpa reda

3. Berat ringannya keluhan tergantung tingkat inflamasi sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu

4. Ikterus (20% kasus), umumnya derajat ringan (bilirubin <4 mg/dL). Apabila konsentrasi bilirubin
tinggi, pikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.

5. Pada pemeriksaan fisik, teraba masa kandung empedu, nyeri tekan dan tanda peritonitis lokal
(Murphys sign)

31

6. Pemeriksaan laboratorium, adanya leukositosis, kemungkinan peningkatan transaminase dan


fosfatase alkali. 7. Bila nyeri makin berat, suhu tinggi dan menggigil, disertai leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu

Kolesistitis Kronik
Mungkin merupakan kelanjutan dari kolesistitis akut berulang, tapi pada umumnya keadaan ini timbul tanpa riwayat serangan akut. Sama seperti kolesistitis akut, kolesistitis kronik juga berhubungan erat dengan batu empedu. Namun batu empedu tampaknya tidak berperan langsung dalam inisiasi peradangan atau nyeri. Supersaturasi empedu mempermudah terjadinya peradangan kronik dan terutama pembentukan batu. Mikroorganisme (E. coli dan enterokokus) dapat dibiak dari empedu pada 1/3 kasus. Tidak seperti kolesistitis akut kalkulus, obstruksi pada saluran empedu tidak harus menjadi syarat pada kolesistitis kronik. Gejala Klinis Sulit ditegakkan karena gejala yang minimal dan tidak menonjol seperti dyspepsia, rasa penuh di epigastrium, dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi, yang kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri local didaerah kandung empedu disertai Murphys sign (+). Morfologi Perubahan morfologik pada kolesistitis kronis sangat bervariasi dan kadang minimal. Keberadaan batu empedu dalam kandung empedu, bahkan tanpa adanya peradangan akut, sudah bisa ditegakkan diagnosis. Kandung empedu mungkin mengalami kontraksi, berukuran normal/membesar. Ulserasi mukosa jarang terjadi; submukosa dan subserosa sering menebal akibat fibrosis. Tanpa adanya kolesistitis akut, limfosit di dalam lumen adalah satu-satumya tanda peradangan C. Patofisiologi - Kolesistitis akut (AC) merupakan suatu peradangan akut dari kandung empedu (GB), disebabkan oleh banyak hal oleh terhalangnya saluran kistik, menyebabkan inflamasi akut dari dinding GB; yang biasa penyebab obstruksi adalah batu empedu. AC adalah salah satu komplikasi utama cholelithiasis. Proses peradangan diawali dengan terhalang calculous di duktus cystikus dan colum GB. Mekanisme yang tepat mulainya peradangan GB tidak diketahui. - Mikroorganisme diidentifikasi dalam 80% kasus awal dalam perjalanan penyakit; Escherichia coli merupakan organisme utama yang ditemukan; organisme lain meliputi batang aerobik gram negatif, enterococci, dan sejumlah Anaerob. Invasi bakteri tidak dianggap sebagai acara utama, karena dalam 20% dari pasien, tidak ada pertumbuhan bakteri terjadi pada spesimen bedah. 2 konsensus umum bahwa infeksi bakteri sekunder adalah peristiwa, bukan memulai satu. - Faktor-faktor yang dapat memulai proses peradangan meliputi pembentukan mediator peradangan (misalnya, lysolecithin dan prostaglandin); peningkatan tekanan intralumen kompromi berkaitan dengan suplai darah dan iritasi kimia oleh asam empedu. - Resolusi spontan AC dapat terjadi dalam waktu 5-7 hari setelah onset gejala, karena pembentukan kembali dari paten saluran kistik. Pada sebagian besar kasus seperti itu, terjadi penebalan dinding fibrotic GB; ini adalah karakteristik dari kolesistitis kronis. Di lebih dari 90% dari spesimen kolesistektomi, maka pola histologis adalah satu di mana AC adalah kolesistitis kronis. Jika patency duktus cystikus tidak dibangun kembali, infiltrasi sel inflamasi dari dinding GB berkaitan dengan mural dan hemoragik nekrosis mukosa berikut. Gangren kolesistitis dapat dilihat dalam sebanyak 21% kasus. - Acalculous kolesistitis terjadi dalam pengaturan klinis yang berbeda. Hal ini terjadi lebih sering pada lakilaki (biasanya anak-anak) dan orang yang lebih tua dari 65 tahun. Patofisiologi kolesistitis acalculous belum dipahami dengan baik tetapi mungkin multifaktor. Ini mungkin bahwa kolesistitis acalculous terjadi melalui efek gabungan dari reaksi mediator inflamasi sistemik; lokal atau iskemia jaringan umum; dan stasis empedu.

32

- Sering kali, faktor predisposisi tempat orang-orang yang beresiko stasis empedu; faktor-faktor tersebut mencakup kelaparan; penggunaan nutrisi parenteral; penggunaan analgesik narkotika dan kurangnya mobilitas di negara-negara pasca-operasi. Hipovolemia dan syok prediposisi pasien untuk iskemia jaringan. Iskemia, seperti terjadi dalam hubungan dengan vaskulitis pembuluh darah kecil, mungkin menjadi penyebab utama acalculous AC; iskemia dapat juga terjadi sebagai komplikasi chemoembolization hepatik. Sering kali, obstruksi duktus kistikus fungsional hadir; halangan tersebut berhubungan dengan peradangan dan viskos empedu. Kompresi ekstrinsik mungkin memainkan peran dalam pengembangan stasis empedu. - Pada sebagian besar pasien dengan colesistitis akut acalculous, terjadi infeksi sekunder oleh flora enteric gram negative, namun pada pasien dengan demam tifoid, infeksi oleh organisme Salmonella telah diidentifikasi sebagai acara utama. Kolesistitis terkait AIDS dan cholangiopathy dapat terjadi infeksi sekunder oleh sitomegalovirus (CMV) dan infeksi organisme Cryptosporidium. - Pada pasien kolesistitis emphysematous, iskemia dari dinding GB diikuti oleh infeksi dengan pembentukan gas oleh organisme yang memproduksi gas dalam lumen GB, di dinding GB, atau keduanya. Pada 30-50% pasien, diabetes melitus sudah ada sebelumnya hadir; laki-laki-wanita rasio 5:1. Gas mungkin akan terbatas pada GB, namun, dalam 20% kasus, gas juga terlihat di seluruh dari cabang bilier. Batu empedu tidak terdapat dalam 30-50% kasus, dan angka kematian adalah 15%. Ada kecenderungan untuk pembentukan gangren dan perforasi, namun gejala klinis ringan; gejala-gejala tersebut dapat menipu. Emphysematous cholecystitis may occur after chemoembolization performed as palliation for hepatocellular carcinoma; after atheromatous embolism during aortography; and after GB hypoperfusion during cardiorespiratory resuscitation. Kolesistitis emphysematous bisa terjadi setelah dilakukan chemoembolization sebagai terapi paliatif untuk karsinoma hepatocellular; setelah emboli atheromatous selama aortography; dan setelah hypoperfusi GB selama resusitasi cardiorespirasi (Nawaz Khan, 2009). D. Gejala dan tanda Tanda awal dari peradangan kandung empedu biasanya berupa nyeri di perut kanan bagian atas. Nyeri bertambah hebat bila penderita menarik nafas dalam dan sering menjalar ke bahu kanan. Biasanya terdapat mual dan muntah. Jika menekan perut kanan sebelah atas, penderita akan merasakan nyeri tajam. Dalam beberapa jam, otototot perut sebelah kanan menjadi kaku. Pada mulanya, timbul demam ringan, yang semakin lama cenderung meninggi. Biasanya serangan nyeri berkurang dalam 2-3 hari dan kemudian menghilang dalam 1 minggu. Gejala lain yang mungkin terjadi meliputi: Perut kepenuhan Feses seperti dempul Demam Mual dan muntah Ikterus ( Elsevier, 2007) F. Komplikasi Demam tinggi, menggigil, peningkatan jumlah leukosit dan berhentinya gerakan usus (ileus) dapat menunjukkan terjadinya abses, gangren atau perforasi kandung empedu. Serangan yang disertai jaundice (sakit kuning) atau arus balik dari empedu ke dalam hati menunjukkan bahwa saluran empedu telah tersumbat sebagian oleh batu empedu atau oleh peradangan. Jika pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan kadar enzim amilase, mungkin telah terjadi peradangan pankreas (pankreatitis) yang disebabkan oleh penyumbatan batu empedu pada saluran pankreas (duktus pankreatikus).

Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal.

33

ETIOLOGI Plasmodium adalah parasit yang termasuk vilum Protozoa, kelas sporozoa. Terdapat empat spesies Plasmodium pada manusia yaitu :Plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax (malaria tertiana ringan).Plasmodium falcifarum menimbulkan malaria falsifarum (malaria tertiana berat), malaria pernisiosa dan Blackwater faver. Plasmodium malariae menimbulkan malaria kuartana, dan Plasmodium ovalemenimbulkan malaria ovale. Keempat spesies plasmodium tersebut dapat dibedakan morfologinya dengan membandingkan bentuk skizon, bentuk trofozoit, bentuk gametosit yang terdapat di dalam darah perifer maupun bentuk preeritrositik dari skizon yang terdapat di dalam sel parenkim hati. MANIFESTASI KLINIK Manifestasi klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam yang yang intermiten, anemia sekunder dan spenomegali. Penyakit ini cenderung untuk beralih dari keadaan akut ke keadaan menahun. Selama stadium akut terdapat masa demam yang intermiten. Selama stadium menahun berikutnya, terdapat masa laten yang diselingi oleh relaps beberapa kali. Relaps ini sangat mirip dengan serangan pertama. Masa tunas dapat berbeda beda, antara 9 sampai 40 hari, dan ini menggambarkan waktu antara gigitan nyamuk yang mengandung sporozoit dan permulaan gejala klinis. Selain itu, masa tunas infeksi P. vivax dapat lebih panjang dari 6 sampai 12 bulan atau lebih. Infeksi P. malariae dan P. ovale sampai bertahun tahun. Karena itu di daerah beriklim dingin infeksi P. vivax yang didapati pada musim panas atau musim gugur, mungkin tidak menimbulkan penyakit akut sampai musim semi berikutnya. Malaria klinis dapat terjadi berbulan bulan setelah obat obatan supresif dihentikan. Serangan pertama pada malaria akut terdiri atas beberapa serangan dalam waktu 2 minggu atau lebih yang diikuti oleh masa laten yang panjang, dan diselingi oleh relaps pada malaria menahun. Serangan demam ini berhubungan dengan penghancuran sel darah merah yang progresif, badan menjadi lemah , dan limpa membesar. Tipe jinak biasanya disebabkan oleh P. vivax, P. malariae atau P. ovale. Tipe ganas terutama disebabkan oleh P. falcifarum. Dalam periode prodromal yang berlangsung satu minggu atau lebih, yaitu bila jumlah parasit di dalam darah sedang bertambah selama permulaan siklus aseksual, tidak tampak manifestasi klinis yang dapat menentukan diagnosis. Gejala dapat berupa perasaan lemas, tidak nafsu makan, sakit pada tulang dan sendi. Demam tiap hari atau tidak teratur, mungkin sudah ada. Di daerah non-endemi diagnosis pertama seringkali ialah influenza. Serangan permulaan atau pertama sangat khas oleh karena adanya serangan demam intermiten yang berulang ulang pada waktu berlainan : 48 jam untuk P. vivax, P. ovale, P falcifarum dan 72 jam untuk P. malariae. Waktu yang sebenarnya pada berbagai strain P. vivax berbeda beda dari 43,6 jam sampai 45,1 jam. Serangan mulai dengan stadium dingin atau rigor yang berlangsung selama kurang lebih satu jam. Pada waktu itu penderita menggigil, walaupun suhu badannya lebih tinggi dari normal. Kemudian menyusul stadium panas yang berlangsung lebih lama dan kulit penderita manjadi kering serta panas, muka menjadi merah, suhu mencapai 39o 41oC, nadi cepat dan penuh, kepala pusing, mual, kadang kadang muntah, dan pada anak kecil timbul kejang kejang. Kemudian penderita berkeringat banyak, suhu badan turun, sakit kepala hilang, dan dalam waktu beberapa jam penderita menjadi lelah. Serangan demam biasanya berlangsung 8 sampai 12 jam, dan pada infeksi P. falcifarum berlangsung lebih lama. Serangan ini sering dianggap disebabkan oleh hemolisis sel darah merah atau disebabkan oleh syok karena adanya hemoglobin bebas atau adanya hasil metabolisme. Virulensi sering berhubungan dengan intensitas parasitemia. Periodisitas serangan berhubungan dengan berakhirnya skizogoni, bilamana skizon matang kemudian pecah, merozoit bersama dengan pigmen dan benda residu keluar dari sel darah merah memasuki aliran darah. Ini sebenarnya merupakan suatu infeksi protein asing. Pada infeksi akut terdapat leukositosis sedang dangan granulositosis, tetapi dengan turunnya suhu badan maka timbul leukopenia dengan monositosis

34

relatif dan limfositosis. Jumlah sel darah putih sebesar 3000 sampai 45.000 pernah dilaporkan. Pada permulaan infeksi dapat terjadi trombositopenia jelas, tetapi hal ini bersifat sementara. Hanya pada beberapa penderita malaria tampak ada ikterus; hemoglobinuria hanya tampak bila kadar hemoglobin dalam plasma melampaui ambang ginjal. Pembesaran limpa akut terdapat pada kurang lebih seperempat jumlah penderita dengan malaria akut. Nyeri di kuadran kiri atas dan epigastrium mungkin disebabkan oleh meregangnya simpai limpa, atau infark kecil yang pecah, atau perdarahan dibawah simpai. Fungsi ginjal biasanya tidak terganggu pada penderita malaria biasa. Sebaliknya nefritis dengan oliguria, albuminuria hebat, torak noktah, sembab pada seluruh tubuh, protein darah berkurang, hipertensi sedang, hematuria yang dapat dilihat dengan mata biasa atau dengan mikroskop dapat terjadi dan dapat menyulitkan diagnosis malaria. Albumin terdapat pada dalam urin pada kurang lebih 2 persen penderita malaria akut. Kelainan pada mata yang hebat jarang ditemukan pada infeksi malaria, tetapi pada serangan akut komplikasi yang sering terjadi ialah sakit kepala dan sakit di sekitar mata, keratitis dendritika atau herpetika dengan gangguan berupa fotofobia dan lakrimasi. Pada infeksi P. falcifarum terdapat perdarahan, uveitis alergik dan sering terjadi herpes labialis. PATOGENESIS Terjadinya infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui dua cara yaitu : 1. Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung parasit malaria 2. Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia, misalnya melalui transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (congenital).

Patofisiologi malaria sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut : 1. Penghancuran eritrosit yang terjadi oleh karena : -Pecahnya eritrosit yang mengandung parasit -Fagositosis eritrosit yang mengandung dan tidak mengandung parasit Akibatnya terjadi anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis intravaskuler 2. Pelepasan mediator Endotoksin-makrofag

35

Pada proses skizoni yang melepaskan endotoksin, makrofag melepaskan berbagai mediator endotoksin. 3. Pelepasan TNF Merupakan suatu monokin yang dilepas oleh adanya parasit malaria. TNF ini bertanggung jawab terhadap demam, hipoglikemia, ARDS. 4. Sekuetrasi eritrosit Eritrosit yang terinfeksi dapat membentuk knob di permukaannya. Knob ini mengandung antigen malaria yang kemudian akan bereaksi dengan antibody. Eritrosit yang terinfeksi akan menempel pada endotel kapiler alat dalam dan membentuk gumpalan sehingga terjadi bendungan. Malaria : Patofisiologi Patofisiologi pada malaria belum diketahui dengan pasti. Berbagai macam teori dan hipotesis telah dikemukakan. Perubahan patofisiologi pada malaria terutama berhubungan dengan gangguan aliran darah setempat sebagai akibat melekatnya eritrosit yang mengandung parasit pada endotelium kapiler. Perubahan ini cepat reversibel pada mereka yang dapat tetap hidup (survive). Peran beberapa mediator humoral masih belum pasti, tetapi mungkin terlibat dalam patogenesis terjadinya demam dan peradangan. Skizogoni eksoeritrositik mungkin dapat menyebabkan reaski leukosit dan fagosit, sedangkan sporozoit dan gametosit tidak menimbulkan perubahan patofisiologik. Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut : a. Penghancuran eritrosit. Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal. b. Mediator endotoksin-makrofag. Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam perubahan patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri dapat melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin , ditemukan dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglimeia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory distress syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan plasmodium falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit. c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung plasmodium falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat dalam. Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P. falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada empat macam protein untuk sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium P. falciparum.

36

Você também pode gostar