Você está na página 1de 2

go e nawanm o ham ad.

co m

http://go enawanmo hamad.co m/2009/09/15/allah/#mo re-213

Allah
caping Selasa, 15 September 2009 @ 23:55 diunggah o leh zen

Pada akhirnya Ia hanya Ilahi yang ditinggalkan.

ORANG sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Maka berabad-abad yang lalu, di kota-kota yang berbataskan gurun, di mana langit luas dan malam dihuni cerita dan rahasia, para rasul datang memperingatkan. Mereka mengecam berhala. Mereka mengecam doa yang membayangkan Tuhan sebagai jika kita pakai kiasan hari iniseraut pohon bonsai. Berhala atau bonsai: sesuatu yang memikat justru karena diletakkan di sebuah kotak yang tetap, seakanakan hidup, tapi sebenarnya hanya Tuhan yang diperkecil oleh manusia, sesembahan yang jauh dari hakikat Dia yang maha-agung. Orang-orang muslim punya sebuah cerita dari Quran. Di hadapan Firaun, begitulah dikisahkan, Musa memberi jawab yang tak diharapkan ketika raja Mesir itu bertanya, Dan apakah Tuhan alam dunia itu? Pertanyaan itu, Ma rabbu al-alamina?, cenderung menantikan sebuah def inisi. Tapi jawaban Musa berbeda, dan sangat kena. Nabi itu hanya mengatakan bahwa Tuhan adalah Tuhan dari Timur dan dari Barat, dan dari segala yang ada di antaranya.

Musa tak memberikan sebuah def inisi, sebab Tuhan yang didef inisikan sama halnya dengan Tuhan yang dibatasi, rapat-rapat, dalam bahasa. Jawaban Musa sebenarnya sebuah deskripsiatau lebih tepat, sebuah penggambaran yang tak berakhir di satu kesimpulan. Kita bisa menaf sirkannya sebagai usaha untuk menunjukkan, dengan kiasan, bahwa Tuhan adalah keagungan yang hadir di uf uk Timur, di mana cahaya bersinar, dan juga di arah Barat, tempat gelap berangkat. Dengan kata lain: Tuhan adalah Rabb-i pemilik, tuan, dan pengasuhdari segalanya, dari yang tampak dan tak tampak, dari yang bersama terang dan yang menemui kelam. Itu sebabnya Ia esa. Di sini, esayang dalam bahasa Indonesia ditambahi dengan kata maha berbeda dari satu. Satu adalah sebuah bilangan, sementara yang ilahiah tak dapat dihitung. Ia bukan seperti bulan dan matahari. Ia bukan juga Tuhan dalam Also Sprach Zarathustra: Tuhan yang digambarkan Nietzsche sebagai sosok tua berjanggut muram yang cemburu dan berkata, Hanya ada satu Tuhan! Kalian tak boleh punya tuhan lain selain aku! Dalam Z arathustra, setelah pernyataan itu diucapkan, tuhan-tuhan lain pun mati bukan karena dibinasakan, tapi karena tertawa geli. Bagi saya, karikatur Nietzsche ini tak bisa menangkap sikap mereka yang hanif , yang percaya bahwa Ilahi adalah tunggal. Kaum monotheis tak datang untuk mengurangi jumlah. Mereka tak hendak meringkas persoalan. Justru sebaliknya. Yang Maha-agung adalah tunggal karena Ia begitu akbar dan sulit diutarakan. Ia adalah dasar dan juga sumber dari sebuah daya yang menggetarkansebuah daya yang menyebabkan segala hal muncul ke dalam terang, ada. Siapa saja yang tergetar oleh daya itu, dan mencoba menyebut sumber yang ada di baliknya dengan sebuah nama, dengan sebuah kata, ia akan merasa tak sanggup. Chairil Anwar mengeluh dalam sebuah sajak yang ia beri nama Doa: Betapa susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh. Kau yang penuh seluruh itu tak mungkin Tuhan yang diperkecil. Ibn Arabi, suf i dan pemikir besar Spanyol pada abad ke-12, menyebutnya sebagai Yang Mutlak (haqq). Artinya, yang paling tak dapat

ditentukan dari semua yang tak dapat ditentukan, ankar al-nakirat. Ia gaib segaib-gaibnya, Ia yang paling tak dapat diketahui dari semua yang tak diketahui. Ia tak dapat diketahui karena Ia melampaui semua kualif ikasi yang berlaku di dunia manusia. Tapi manusia sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Kadang-kadang mereka perlakukan Tuhan sebagai penguasa dalam sebuah wilayah, raja dengan batas tegar. Kini banyak yang mengira bahwa ketika Quran turun dan menyebut nama itu, Allah, Islam hendak memperkenalkan sesosok tuhan lagi ke dalam pantheon yang telah sesak. Seakan-akan Allah bukanlah nama yang dipakai oleh orang Arab di zaman pra-Islam, baik yang jahiliah maupun yang hanif , baik yang politheistis maupun yang Kristen. Seakan-akan Allah semata-mata Tuhan-orang-Islam yang bertakhta di sebuah kerajaan yang beradat-istiadat tersendiri. Tuhan mereka berbeda dengan Tuhan kami, kata kaum Fundamentalis Kristen yang melihat dunia Islam dengan waswas. Seakan-akan Tuhan-orang-Kristen, Tuhan-orang-Yahudi, dan sederet tuhan yang lain, bersaingpersis seperti Tuhan yang cemburu dalam sajak Z arathustra. Mungkin sebab itu para rasul perlu datang lagi. Tapi bisakah? Saya coba renungkan lagi Fusus al-Hikam (ditulis pada tahun 1229), melalui Sufism and Taoism, uraian yang tekun dan terang dari Toshihiko Izutsu, ilmuwan Jepang yang jadi penaf sir utama Ibn Arabi. Saya kini kian tahu kenapa Tuhan adalah Yang Mutlak. Tapi kita agaknya hidup di dunia yang dikuasai oleh ahl aql wa-taqyid wa-hasr, mereka yang mendekati Yang Gaib seraya mengikat, membatasi, dan mengekang. Tuhan pun diperkecil. Pada akhirnya Ia hanya Ilahi yang ditinggalkan. Tuhan yang seperti itu hadir di mana-mana, tapi seakan-akan variasi dari sebuah patung polisi lalu lintas: sesosok berhala di tepi jalan, untuk mengingatkan, menakut-nakuti, mengawasi. Tuhan bukan lagi sumber dari rahmah al-imtinan yang dilukiskan Ibn Arabi: rahmat yang menjangkau siapa saja dan apa saja tanpa mengharapkan apa sajarahmat yang bahkan bukan sebagai pahala bagi mereka yang berbuat baik. Dengan Tuhan yang tanpa rahmat seperti itu, kita pun hidup di masa yang ditandai Fehl Gottes: gagalnya Tuhan datang, kata Heidegger. Meskipun nama-Nya disebut terus-menerus, dunia telah menjadi tanpa penyembuhan, tak suci. Sebaris sajak Chairil mungkin mengungkapkan hal itu: Caya-Mu panas suci/tinggal kerlip lilin di malam hari. Adakah di sini kita berbicara tentang sekularisme? Saya kira tidak. Mungkin kita justru berbicara tentang suasana ketika yang suci telah jadi banal, ketika yang kudus diletakkan sebagai rutin hidup sehari-hari, dan mengurus tetek-bengeknya. Pada saat itu memang Tuhan ramai-ramai dipasarkan dan dipamerkan. Tapi ia diletakkan di sebuah kotak, seperti seraut pohon bonsai. 2 November 2003

Você também pode gostar