Você está na página 1de 12

BAB I PENDAHULUAN I.

DEFINISI Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak. Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.1,2 II. EPIDEMIOLOGI Sebelum era antibiotik, penyakit susunan saraf pusat (SSP) karena TB sering ditemukan terutama pada anak-anak. Ditemukan 1000 anak dengan TB aktif di kota New York diantara tahun 1930 sampai tahun 1940. Hampir 15% diantaranya menderita meningitis TB dan meninggal. Setelah perang dunia kedua, terutama pada negara berkembang, terdapat prevalensi yang luas infeksi TB. Pada awal tahun 2003, WHO memperkirakan terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB aktif dan 70.000 diantaranya meningitis TB.2,3 III. PATOLOGI Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat gelatinous. Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear (PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin. Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral karena iskemia. Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau foramen luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang akan semakin menyumbat. Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan karakteristik dari menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB. Efek yang ditimbulkan dari kemoterapi meningoensefalitis memiliki peran yang sangat penting karena akan menekan angka kematian dan kecacatan. Setelah 2 tahun, eksudat akan berubah menjadi jaringan ikat hialin dan lapisan intima akan mengalami fibrosis. 4 IV. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Infeksi TB pada SSP disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis, bakteri obligat aerob yang secara alamiah reservoirnya manusia. Organisme ini tumbuh perlahan, membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 20 jam untuk berkembang biak dan menyebar. Seperti semua jenis infeksi TB, infeksi SSP dimulai dari inhalasi partikel infektif. Tiap droplet mengandung beberapa organisme yang dapat mencapai alveoli dan bereplikasi dalam makrofag yang ada dalam ruang alveolar dan makrofag dari sirkulasi. Pada 2 4 minggu pertama tak ada respons imun untuk menghambat replikasi mikobakteri, maka basil akan menyebar ke seluruh tubuh menembus paru, hepar, lien, sumsum tulang. Sekitar 2 sampai 4 minggu kemudian akan dibentuk respons imun diperantarai sel yang akan menghancurkan makrofag yang mengandung basil TB dengan bantuan limfokin. Kumpulan organisme yang telah dibunuh, limfosit, dan sel sel yang mengelilingnya membentuk

suatu fokus perkejuan. Fokus ini akan diresorpsi oleh makrofag disekitarnya dan meninggalkan bekas infeksi. Bila fokus terlalu besar maka akan dibentuk kapsul fibrosa yang akan mengelilingi fokus tersebut, namun mikorobakteria yang masih hidup didalamnya dapat mengalami reaktivasi kembali. Jika pertahanan tubuh rendah maka fokus tersebut akan semakin membesar dan encer karena terjadi proliferasi mikrobakterium. Pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah, fokus infeksi primer tersebut akan mudah ruptur dan menyebabkan TB ekstra paru yang dapat menjadi TB milier dan dapat menyerang meningen.4-9 V. MANIFESTASI KLINIS Stadium meningitis TB telah diperkenalkan sejak tahun 1947 dan sejak itu banyak kalangan yang menerapkannya untuk penanganan awal sekaligus menentukan prognosis. Penderita dengan stadium pertama hanya memiliki manifestasi klinis yang tidak khas karena tanpa disertai dengan gejala dan tanda neurologis. Sedangkan penderita dengan stadium kedua (intermediet) telah menunjukkan gejala iritasi meningeal disertai dengan kelumpuhan saraf kranial namun tak ada defek kerusakan lain serta tidak ada penurunan kesadaran. Pada stadium tiga, penderita mengalami kerusakan neurologis yang besar, stupor, dan koma. Penyakit ini lebih samar pada penderita dewasa, anamnesis tentang riwayat pernah mengalami penyakit TB biasanya jarang. Lamanya gejala biasanya tidak berhubungan dengan derajat klinis. Sakit kepala biasanya menonjol pada penderita dewasa, perubahan tingkah laku seperti apatis, bingung sering ditemukan. Kejang biasanya tak terjadi pada tahap awal penyakit, hanya pada 10% sampai 15% pasien. 9

VI. DIAGNOSIS Dari gejala klinis biasanya penderita mengalami panas tinggi dan sakit kepala yang hebat yang diikuti dengan mual dan muntah. Gejala ensefalitis adalah demam, sakit kepala, muntah, penglihatan sensitif terhadap cahaya, kaku kuduk dan punggung, pusing, cara berjalan tak stabil, iritabilitas kehilangan kesadaran, kurang berespons, kejang, kelemahan otot, demensia berat mendadak dan kehilangan memori juga dapat ditemukan. Jika gejala dan tanda (kaku kuduk, tanda kernig dan tanda laseque) ditemukan maka dianjurkan untuk pemeriksaan Computer

Tomography beserta pungsi lumbal (bila tidak ada tanda edema otak). Kemungkinan ensefalitis harus dipikirkan pada penderita dengan panas dan disertai dengan perubahan status mental, gejala neurologis fokal dan pola kebiasaan yang tiba tiba menjadi abnormal. Dilihat dari patologinya, inflamasi akut pada pia arahnoid menyebabkan pelebaran ruangan subarakhnoid karena eksudat yang dihasilkan dari inflamasi tersebut. Selanjutnya saat korteks subpia dan jaringan ependim yang menyelimuti ventrikel juga ikut meradang maka akan menyebabkan terjadinya serebritis dan atau ventrikulitis. Pembuluh darah yang terpapar dengan dengan eksudat inflamasi subarakhnoid mengalami spasme dan atau trombosis yang selanjutnya akan menyebabkan iskemia dan akhirnya infark. Pada CT scan kepala penderita dengan meningitis kronik yang berat akan ditemukan gambaran hiperdensitas ruangan subarakhnoid yang lebih terlihat pada fisura hemisfer serebri. Selanjutnya gambaran CT tanpa kontras akan menunjukkan peningkatan densitas pada sisterna basalis dan fisura hemisfer serebri, serta menghilangnya kecembungan sulkus. Pada pemeriksaan foto roentgen dada, jarang ditemukan pembesaran hilus, adenopati dan bayangan inflitrat. Gambaran radiologi dapat berkisar dari bayangan samar pada apeks sampai adanya kalsifikasi. Tes tuberkulin tidak bermanfaat pada penderita dewasa karena jarang menunjukkan hasil yang positif, sekitar 35% sampai 60% penderita meningitis TB tidak bereaksi pada tes tuberkulin, faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah karena adanya malnutrisi, imunosupresi, debilitasi, dan imunosupresi umum karena penyakit sistemik. 5,6 Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis meningoensefalitis. Pungsi lumbal tidak perlu dilakukan bila penderita dengan meningitis bakterialis beresons baik terhadap pengobatan. Pungsi lumbal dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke dalam kanalis spinalis. Dinamakan pungsi lumbal karena jarum memasuki daerah lumbal (tulang punggung bagian bawah). Dalam pemeriksaan serebrospinal. Dalam pemeriksaan biokimia dan sitologi maka CSS pada penderita dengan meningoensefalitis akan ditemukan cairan yang jernih dan agak pekat, jaringan protein akan terlihat setelah proses pengendapan. CSS hemoragik dapat ditemukan pada meningitis TB yang mengalami vaskulitis. Adanya gambaran yang khas yang disebut dengan pelikel , yakni hasil dari tingginya konsentrasi fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel sel proinflamatori. Tekanan pembuka pada waktu memasukkan jarum spinal meningkat sampai 50%, pada meningitis TB kadar glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein yang tinggi nilai glukosa mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200 mg/dl.3,4

VII. PENANGANAN Prinsip penanganan meningitis TB mirip dengan penanganan TB lain dengan syarat obat harus dapat mencapai sawar darah otak dengan konsentrasi yang cukup untuk mengeliminasi basil intraselular maupun ekstraselular. Untuk dapat menembus cairan serebrospinal maka tergantung pada tingkat kelarutannya dalam lemak, ukuran molekul, kemampuan berikatan dengan protein, dan keadaan meningitisnya. Keterlambatan dalam pemberian terapi pada penderita dengan meningitis bakterial dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Selain itu perlu dilakukan pengawasan terhadap toksisitas obat selama terapi (pengawasan terhadap hitung jenis darah dan fungsi hati dan ginjal). Penderita yang dicurigai meningitis pada gambaran CT scan kepala sebelum dilakukan pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pemeriksan kultur CSS dan pemberian terapi antibiotik dan kortikosteroid. Panduat obat antituberkulosis dapat diberikan selama 9 12 bulan, panduan tersebut adalah 2RHZE / 7-10 RH. Pemberian kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 6 minggu untuk menurunkan gejala sisa neurologis. 4,8 Tabel 2. Penetrasi obat antimikobakterium dalam CSS 9 Kisaran konsentrasi puncak rata rata (microgram/ml)

VIII. KOMPLIKASI Komplikasi meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet dan kronis. Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi intrakranial, SIADH (syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Release), Kejang, ventrikulitis. meningkatnya tekanan intrakrania (TIK). Patofisiologi dari TIK rumit dan melibatkan banyak peran molekul proinflamatorik. Edema intersisial merupakan akibat sekunder dari obstruksi aliran serebrospinal seperti pada hidrosefalus, edema sitotoksik (pembengkakan elemen selular otak) disebabkan oleh pelepasan toksin bakteri dan neutrofil, dan edema vasogenik (peningkatan permeabilitas sawar darah otak). 4 Komplikasi intermediet terdiri atas efusi subdural, demam, abses otak, hidrosefalus. Sedangkan komplikasi kronik adalah memburuknya fungsi kognitif, ketulian, kecacatan motorik. 5,7 BAB 2 LAPORAN KASUS IDENTITAS Nama : A.P. Umur : 16 tahun Jenis kelamin : laki-laki Pendidikan : tamat SMP Agama : Kristen protestan Pekerjaan : tidak bekerja MRS : 31 Agustus 2008 Tanggal periksa : 3 September 2009 ANAMNESIS (Anamnesis diberikan oleh orangtua penderita) Keluhan utama: Penurunan kesadaran RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Penurunan kesadaran disertai dialami penderita sejak 2 hari sejak masuk rumah sakit, terjadi tiba-tiba setelah penderita kejang. Saat kejang kaki dan tangan penderita menyentak nyentak, mata mendelik ke atas, mulut keluar air liur berbusa, kejang berlangsung selama kurang lebih 5

menit, setelah kejang berhenti penderita tidak sadar, selama kurang lebih 10 menit kemudian penderita kejang lagi dan seterusnya sampai kira-kira 7 kali dan diantara kejang penderita tetap tidak sadar. Kejang awalnya hanya pada tangan dan kaki kiri dan kemudian kejang pada kedua tangan dan kaki penderita. Panas dialami penderita sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi pada perabaan, panas terus menerus, turun dengan obat penurun panas namun tidak sampai normal lalu naik kembali, sebelumnya pernah mengalami panas namun tidak terlalu tinggi. muntah tidak ada. Riwayat sakit kepala dialami penderita sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu, sakit pada bagian depan menjalar sampai ke tengkuk hingga terasa tegang, seperti ditusuk tusuk, hilang timbul, sedikit membaik dengan istirahat. Dalam 3 bulan terakhir penderita mengeluhkan hal yang sama namun lebih berat sampai penderita berteriak kesakitan dan ingin muntah, muntah tidak ada. Pusing tidak ada. Penglihatan kabur atau ganda tidak ada. Tidak ada kebiasaan minum alkohol. tidak ada kebiasaan minum atau suntik obat obatan. Riwayat trauma : jatuh dari tangga 8 bulan yang lalu, penderita tetap sadar. Saat ini kejang masih ada, terakhir tadi pagi sebanyak 1x. BAB : lancar, tidak mencret, tidak ada darah BAK : terpasang kateter RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Penderita pernah mengalami kejang pada 5 bulan yang lalu saat masih tinggal di Papua. Kejang 2x. Pada saat kejang, anggota gerak bagian kiri lurus dan kaku, mata mendelik ke atas, tidak keluar air liur berbusa dari mulut, lama kejang kurang lebih 3 menit, setelah kejang penderita tidak sadar selama 10 menit dan kembali sadar terutama bila diberikan kapas dengan alkohol atau minyak kayu putih di hidungnya. Setelah penderita sadar, ibunya kemudian membawa penderita ke puskesmas terdekat dan diberi obat kejang (ibu penderita lupa nama obatnya) dan diberikan rujukan ke RS, karena tidak ada sanak keluarga dan tidak memiliki biaya maka ibu penderita tidak bisa langsung membawa penderita ke RS dan menunggu 3 bulan baru bisa pergi ke RS setelah penderita mengalami kejang sebanyak 5 kali. Riwayat penurunan berat badan dialami penderita. Riwayat batuk batuk lama dialami penderita (Nenek penderita menderita batuk batuk lama dan berobat 6 bulan), diare lebih dari 1 bulan disangkal, berkeringat malam disangkal, pengobatan selama 6 bulan disangkal, penyakit jantung, liver, ginjal, disangkal oleh penderita. RIWAYAT KEBIASAAN Penderita tidak memiliki kebiasaan minum alkohol RIWAYAT KELUARGA Hanya penderita yang sakit seperti ini. PEMERIKSAAN FISIK UMUM Keadaan Umum : Tampak sakit berat Kesadaran : Semi Koma Tanda vital : TD 120/70 mmHg, N 100 x/m, R 18 x/m, SB 38,9C Warna kulit : Semi Koma Edema : (-)

Pupil kanan/kiri : Bulat, isokor, diameter 4 mm. RC /, RCTL / Kepala : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/Lidah : Beslag (-) Gigi : Karies dentis (-) Kerongkongan : Trakea letak tengah Leher : Pembesaran KGB (+) Dada : Simetris kiri = kanan Jantung : Bunyi jantung I dan II normal, bising (-) Paru-paru : Ronkhi -/-, wheezing -/Perut : Datar, lemas, BU (+) normal Hati : Tidak teraba Lien : Tidak teraba Kelamin : Inflamasi (-) Tangan : Akral hangat Kaki : Akral hangat Status Neurologis GCS : E3M4V1 Pupil kanan/kiri : Bulat, isokor, diameter 4 mm, RC /, RCTL / TRM : Kaku kuduk (+), Laseque (+), Kernig (+) Saraf saraf Kranialis: Kesan hemiparesis (-) Status motorik : Kekuatan Otot : kesan hemiparesis kanan (-) Tonus Otot : n+1/ n+1 Refleks Fisiologis: : +/+ Refleks Patologis: Babinski -/-, Oppenheimer -/-, chaddock -/Status sensorik : Sensibilitas sulit di evaluasi Status otonom : BAB biasa, BAK terpasang kateter Pemeriksaan Penunjang: 3-9-2008 Hemoglobin : 14,7 gr/dL Leukosit : 14.900 /mm3 Trombosit : 178.000 /mm3 GDS : 80 mg/dl 4-9-2008 Hb : 13,91 gr/dL PCV : 41,9 /mm3 Eritrosit : 4. 8. 106 /mm3 MCHC : 33,19 /mm3 Leukosit : 8.240 /mm3 PLT : 149.000 /mm3 Ureum : 19,2 mg/dl Kreatinin : 0,6 mg/dl GDS : 186 mg/dl SGOT : 29,3 U/l SGOT : 22,8 U/l Albumin : 3,68 gr/dl 11 9 2008 Hemoglobin : 11,6 gr/dL PCV : 36,2 /mm3 Eritrosit : 4.35. 106 /mm3

Leukosit : 8.600 /mm3 Trombosit : 222.000 /mm3 Ureum : 36 mg/dl Kreatinin : 0,6 mg/dl Asam Urat : 3.4 mg/dl Bilirubin tot : 0,4 mg/dl Bilirubin direk : 0,1 mg/dl SGOT/SGPT : 54/55 U/l Hasil Brain CT : Kesan iskemik serebral daerah genu dan krus posterior kapsula interna sinistra serta basal ganglia didekatnya dan nukleus kaudatus sinistra. Hasil Foto toraks : Jantung dan paru kesan normal Hasil kimia darah : Na : 133 meq/l K : 4,0 meq/l Cl : 112 meq/l GDS : 90 mg/dl LED : 80/110 granulosit : 76% Pemeriksaan BTA 3x : (-) Urinalisis : Epitel 1-2/lbp Kristal : Eritrosit : - bilirubuin : Leukosit : + glukosa : Analisis Feses Tidak ditemukan kelainan Konsul Rehabilitasi Medik Lumbal Pungsi : Keluarga belum setuju dilakukan lumbal pungsi Diagnosis Klinis : Penurunan kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal Diagnosis Etiologis : Suspek Tuberkulosis Diagnosis Topis : Meningoensefalitis Diagnosis Patologi : Terapi Pasang O2 2-4 L/m IVFD RL : NaCl 0,9 % : D5% 1 : 1 : 1 sebanyak 14 gtt/menit Diazepam 10 mg IV jika kejang Fenitoin 1 ampul + NaCl 0,9 % 15 cc bolus selama 15 menit Cefoperazone 2 x 1 gr IV (Skin Test) o Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg (sampai 2 bulan fase intensif dan 7 bulan fase intermiten). o Rifampisin tab 1 x 600 mg (sampai 2 bulan fase intensif dan 7 bulan fase intermiten) o Pirazinamid tab 4 x 250 mg (sampai 2 bulan) o Etambutol tab 2 x 500 mg (sampai 2 bulan) o Metilprednisolon 3 x 125 mg (selama 3 minggu, tapering off) Citicolin 2 x 250 mg IV Sistenol 3 x 1 tablet via NGT bila panas Ranitidin 21 amp IV Diet Tinggi kalori tinggi protein Pasang NGT, kateter, Takar urin, Balance cairan FOLLOW UP

5 8 September 2008 S : Penurunan kesadaran (+), Panas (+), Kejang (-) O : TD : 110/60 mmHg, N : 104x/m, R : 22 x/m, SB : 38,6C GCS : E3M4V2, pupil bulat isokor, diameter 4 mm, RC /, RCTL / TRM : kaku kuduk (+), laseque (+), kernig (+) Saraf Kranialis : Kesan hemiparesis (-) Kekuatan Otot : Kesan hemiparesis dekstra Tonus Otot : n+1/n+1 Refleks Fisiologis : +/+ Refleks Patologis : -/A : Penurunan Kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal et kausa meningoensefalitis suspek TB P : O2 100% 2-4 L/m IVFD RL : NaCl 0,9 % : D5% 1: 1 : 1 sebanyak 14 gtt/menit Fenitoin 1 ampul + NaCl 0,9 % 15 cc bolus selama 15 menit Cefoperazone 2 x 1 gr IV Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg Pirazinamid tab 4 x 250 mg Etambutol tab 2 x 500 mg Rifampisin tab 1 x 600 mg Metilprednisolon 3 x 125 mg Citicolin 2 x 250 mg IV Metilprednisolon 3 x 125 mg Sistenol 1 tablet via NGT bila panas Ranitidin 2150 mg IV 9 September 2008 S : Penurunan kesadaran, Panas Menurun, Kejang (-) O : TD : 130/90 mmHg, N : 104x/m, R : 26 x/m, SB : 37,7C GCS : E3M4V2, pupil bulat isokor, diameter 3 mm, RC +/+, RCTL +/+ TRM : kaku kuduk (+), laseque (+), kernig (+) Saraf Kranialis : kesan hemiparesis (-) Kekuatan Otot : kesan hemiparesis (-) Tonus Otot : n+1 / n+1 Refleks Fisiologis : +/+ Refleks Patologis : -/A : Penurunan Kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal et kausa meningoensefalitis suspek TB P : O2 2-4 L/m IVFD RL : NaCl 0,9 % : D5% 1: 1 : 1 sebanyak 14 gtt/menit Fenitoin 1 ampul + NaCl 0,9 % 15 cc bolus selama 15 menit Cefoperazone 2 x 1 gr IV Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg Pirazinamid tab 4 x 250 mg Etambutol tab 2 x 500 mg Rifampisin tab 1 x 600 mg Metilprednisolon 3 x 125 mg Citicolin 2 x 250 mg IV

Metilprednisolon 3 x 125 mg Ranitidin 2150 mg IV Sistenol 1 tablet bila panas 10 11 September 2008 S : Penurunan kesadaran, panas (-), kejang (-) O : TD : 130/80 mmHg, N : 92x/m, R : 22 x/m, SB : 37,1C GCS : E3M4V2, pupil bulat isokor, diameter 4 mm, RC /, RCTL / TRM : kaku kuduk (+), laseque (+), kernig (+) Saraf-saraf Kranialis : kesan hemiparesis (-) Kekuatan Otot : kesan hemiparesis dekstra Tonus Otot : n+1 / n+1 Refleks Fisiologis : +/+ Refleks Patologis : -/A : Penurunan Kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal et kausa meningoensefalitis suspek TB P : O2 100% 2-4 Liter / m IVFD RL : NaCl 0,9% : D5% : 1 : 1 : 1 14 gtt/mIVFD Clivimix Fenitoin 1 ampul dalam NaCl 0,9 % 50 cc drips Cefoperazone 2 x 1 gr IV Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg Pirazinamid tab 4 x 250 mg Etambutol tab 2 x 500 mg Rifampisin tab 1 x 600 mg Metilprednisolon 3 x 125 mg Citicolin 2 x 250 mg IV Metilprednisolon 3 x 125 mg Ranitidin 2150 mg IV BAB III DISKUSI Diagnosis meningoensefalitis didapatkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan penderita mengalami panas, penurunan kesadaran, kejang. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pada penderita meningoensefalitis mengalami suatu gejala kombinasi dari gejala meningitis dan ensefalitis seperti panas, kejang, penurunan kesadaran. 1 Diketahui penyebab tuberkulosis karena penderita memiliki riwayat batuk batuk lama, penurunan berat badan, dan memiliki riwayat kontak dengan penderita TB. Gejala gejala yang dialami penderita telah terjadi sejak lama (kronis). Meningoensefalitis kronis dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, penyebab yang sering ditemukan adalah TB.9 Pada pemeriksaan fisik penderita ditemukan adanya tanda rangsangan meningeal seperti kaku kuduk, pemeriksaan laseque dan kernig yang positif. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pada meningitis akan ditemukan tanda rangsangan meningeal yang disebabkan oleh peregangan membran yang

membungkus otak dan korda spinalis (meningen) yang terinflamasi.4 Pada hasil laboratorium penderita didapatkan peningkatan LED. Menurut kepustakaan, LED sering meningkat pada TB namun LED yang normal tidak menyingkirkan TB, namun pemeriksaan LED kurang spesifik sebagai indikator adanya TB.10 Peradangan pada meningitis TB mengenai pembuluh darah sekitarnya yang kemudian ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan iskemia serebral.9 Pada penderita ini, gambaran CT scan ditemukan kesan iskemik serebral daerah genu dan krus posterior kapsula interna sinistra serta basal ganglia didekatnya dan nukleus kaudatus sinistra. Pada kasus meningitis TB, foto roentgen dada jarang ditemukan pembesaran hilus, adenopati dan bayangan inflitrat. Gambaran radiologi dapat berkisar dari bayangan samar pada apeks sampai adanya kalsifikasi.5,6 Pada penderita ini, gambaran jantung dan paru kesan normal. Namun gambaran CT scan kepala dan foto toraks saja belum bisa dijadikan pedoman untuk menegakkan diagnosis TB, diagnosis TB ditegakkan dengan melakukan analisis cairan serebrospinal dengan cara pungsi lumbal.3,4 Sebenarnya pada penderita telah dilakukan edukasi untuk analisis cairan serebrospinal dengan pungsi spinal namun keluarga belum setuju dikarenakan ibu penderita menunggu persetujuan suaminya yang sedang dalam perjalanan. Penanganan darurat pada penderita ini adalah mencegah kerusakan neuron dengan mempertahankan jalan napas dan pemberian oksigen saturasi 100% disertai dengan pemberian obat anti kejang. Tindakan selanjutnya yang harus kita lakukan adalah pemeriksaan tekanan darah, monitoring EKG dan pernafasan, pemeriksaan secara teratur suhu tubuh, selanjutnya baru dilakukan anamnesa dan pemeriksaan neurologis. Obat anti epilepsi ada beberapa macam seperti golongan benzodiazepin, fenitoin/ fosfofenitoin, barbiturat, propofol dan lain lain. Bila penderita kejang maka diberikan diazepam dan untuk maintenance cukup diberikan fenitoin drips. Pemberian infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat untuk mencegah edema serebri karena lonjakan kadar natrium yang terlalu cepat 4, pada penderita ini infus NaCl 0,9% 14 tetes/menit, pemberian 50 ml glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia pada penderita ini GDS : 80 mg/l sehingga cukup dengan pemberian D5% drips. Selanjutnya dimulai rencana pengobatan untuk TB, yakni dengan menggunakan INH (isoniazid), rifampisin, pirazinamid, etambutol dan streptomisin selama 2 bulan (fase intensif) dan 7 10 bulan selanjutnya diberikan rifampisin dan isoniazid, disertai dengan pemberian kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 6 minggu tapering off untuk mengurangi gejala sisa neurologis. 10 Jika penderita tersangka tuberkulosis mengalami sakit berat dengan sputum BTA 3x negatif dan foto toraks tidak mungkin, maka dilakukan terapi dengan antibiotik untuk penyebab bakterial dan ditambah dengan anti TB. Sesudah 3 4 minggu dilakukan pemeriksaan ulang sputum BTA, bila positif maka diterapi sebagai tuberkulosis, namun jika negatif maka perlu dilihat perkembangan penderita, jika penderita tidak membaik atau memburuk maka harus dicari diagnosis lain, jika penderita membaik tapi keluhan menetap maka selesaikan terapi TB, jika penderita menjadi sehat, hentikan pengobatan.11 Pada penderita ini, diagnosis tuberkulosis sulit ditegakkan karena belum dilakukan analisis CSS, dengan BTA 3x negatif dan foto toraks kesan normal, diberikan terapi awal antibiotik sefoperazone (sulbactam) disertai dengan obat anti tuberkulosis. Dalam perjalanan penyakitnya penderita mengalami perbaikan gejala (panas menurun, kejang tidak ada,jumlah leukosit yang menjadi normal) sehingga pengobatan dengan anti tuberkulosis diselesaikan. Prognosis penderita tergantung pada usia, tahapan klinis, adanya defisit neurologis saraf kranial,

adanya SIADH, EEG abnormal, GCS. saat penderita didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya.10 Pada penderita ini datang berobat dalam keadaan stadium lanjut (akhir) dimana prognosis adalah dubia et malam. Sekitar 50% penderita dengan menigoensefalitis TB meninggal dan 15% masih bisa hidup dengan gangguan neurologis yang permanen, sementara 35% sembuh dengan gejala sisa neurologis yang minimal.12 DAFTAR PUSTAKA 1. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2000. h.11 2. Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available in : www.emedicine.com 3. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. Clinical Infectious Disease. Infectious Disease Society of America. Phyladelpia. 2004. 4. Razonable, R. Meningitis Overview. Mayo Clinic College of Medicine. 2009. available in : www.medscapeemedicine.com/meningitis. 5. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag. Philladelphia, Pennsylvania. 2006. 6. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001. 7. Anonyme. Meningitis. 2010. Available in : www.wikipedia.com 8. Van de beek, D. Clinical Features and Prognostic Factors in Adult with Bacterial Meningitis. NEJM.2004. 9. Scheld, M. Infection of the Central Nervous System third edition. Lippincot William and Wilkins. 2004.h.443. 10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta. 2006. h. 53. 11. Crofton, J., Horne, N., Miller, F et all. Clinical Tuberculosis 2th edition. IUATLD. MacMillan Education Ltd. London. 2002. h. 160. 12. Ravighone M, OBrien R. Tuberculosis. Dalam : Harrisons Principles of Internal Medicine Edisi 16. New York: McGraw-Hill. 1998. h. 1004 1014.

Você também pode gostar