Você está na página 1de 28

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Demam Tifoid ini dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepanitraan klinik ilmu penyakit anak RSUD Koja Jakarta. Banyak terima kasih penulis sampaikan kepada pembimbing penulis, dr. Yahya G. Lubis, Sp.A atas segenap waktu, tenaga, dan pikiran telah diberikan selama proses pembuatan referat ini. Juga kepada dr. Bambang H. S., Sp.A., dr. Dewi Iriani, Sp.A. dan dr. Riza Mansyoer., Sp.A, atas bimbingan yang telah diberikan selama kepaniteraan klinik ini berlangsung. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan kepaniteraan klinik ilmu penyakit anak RSUD Koja periode 27 Juni 04 September 2011 atas kebersamaan dan kerja sama yang telah terjalin selama ini. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak sekali perubahan di bidang pengetahuan medis yang mengarah kepada kemajuan dan perbaikan kualitas kesehatan, banyak data, dan fakta yang signifikan perlu diketahui oleh tenaga medis untuk menegakkan diagnosa dengan baik. Sebagai tenaga medis yang berkualitas, diperlukan pengetahuan yang cukup agar dapat memberikan penanganan yang tepat. Untuk itu melalui referat ini penulis mencoba untuk sedikit menjabarkan mengenai demam typhoid. Akhir kata, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun akan sangat diharapkan demi penyempurnaannya. Semoga referat ini dapat memberi informasi yang berguna bagi para pembaca

Jakarta, Agustus 2011 penulis

Referat yang berjudul :

Demam Tifoid
telah diterima dan disetujui pada tanggal Agustus 2011

oleh pembimbing sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu Kesehatan Anak di RSUD Koja

Jakarta,

Agustus 2011

Dr. Yahya G Lubis, Sp.A

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.

TINJAUAN PUSTAKA Definisi 1,2

Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enteric fever, Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.

Sejarah Pada tahun 1829 Pierre Louis ( Perancis) mengeluarkan istilah typhoid yang berarti seperti typhus . Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata Yunani typhos yang artinya berkabut. Terminologi ini dipakai pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 Willliam Word Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus. Pada tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar limfe mesenterial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan Salmonella typhi, dan memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara. 3 Pada tahun 1896 Widal mendapatkan salah satu metode untuk diagnosis penyakit demam tifoid. Pada tahun yang sama Wright dari Inggris dan Pfeifer dari Jerman mencoba vaksinasi terhadap demam tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi kuman hidup yang dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida. Pada tahun 1984 Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa kloramfenikol adalah efektif untuk pengobatan penyakit demam tifoid. 3

Etiologi 1,2,3

Penyakit demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhi yang mana merupakan kuman gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora, bersifat aerob. S. typhi mempunyai tiga macam antigen, yaitu:

Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar) Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil. Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis

Dalam serum penderita terdapat zat anti (agglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob. Kuman ini mati pada suhu 56C dan pada keadaan kering. Di dalam air dapat bertahan hidup selama 4 minggu dan hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu.1

Sumber utama adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan. Pada masa penyembuhan, penderita masih mengandung Salmonella spp di dalam kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara, sedang 2 % yang lain akan menjadi karier yang menahun. Sebagian besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal (intestinal type) sedang yang lain termasuk urinary type. 2

Epidemiologi Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar 16 juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian. Di Indonesia prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Ada dua sumber penularan S.typhi : pasien yang menderita demam tifoid dan yang lebih sering

dari carrier yaitu orang yang telah sembuh dari demam tifoid namun masih mengeksresikan S. typhi dalam tinja selama lebih dari satu tahun.2,3,4

Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin. Sumber penularan penyakit demam tifoid adalah penderita yang aktif, penderita dalam fase konvalesen, dan kronik karier. Pada pria lebih banyak terpapar dengan kuman S. typhi dibandingkan wanita karena aktivitas di luar rumah lebih banyak. Semua kelompok umur dapat tertular penyakit tifoid, tetapi yang banyak adalah golongan umur dewasa tua. Angka kejadian demam tifoid tidak dipengaruhi musim, tetapi pada daerah-daerah yang terjadi endemik demam tifoid, angka kejadian meningkat pada bulan-bulan tertentu. Di Indonesia, angka kejadian demam tifoid meningkat pada musim kemarau panjang atau awal musim hujan. Hal ini banyak dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat pada musim tersebut dan penyediaan air bersih yang kurang memuaskan. 4

Patogenesis dan Patofisiologi 1,5,6

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui fecal-oral transmittion melalui orang ke orang maupun melalui perantaraan makanan dan minuman yang tidak higienis yang terkontaminasi dengan feces atau urine. Sesampainya di lambung sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung, dan sebagian lagi masuk usus halus. Penyakit yang timbul tergantung pada beberapa faktor, antara lain (1) jumlah organisme yang ditelan, (2) kadar keasaman dalam lambung. Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan S. typhi sebanyak 105109 yang tertelan. Sesampainya di lambung sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung. Namun tidak semua bakteri tersebut mati. Jumlah bakteri yang mampu bertahan hidup bergantung pada keasaman lambung tersebut. Bakteri yang mampu bertahan hidup masuk ke dalam lumen usus, lalu mengadakan perlekatan pada mikrovili dan menyerang epitel hingga mencapai lamina propria. Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yang asimptomatis. Kemudian kuman akan masuk kedalam organ organ sistem retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis (menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman tersebut bersama dengan asam empedu di keluarkan dan masuk ke dalam usus halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan tukak yang berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan gejala peritonitis. Pada masa bakteriemia, kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida). Endotoksin sangat berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam. Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.

Peran Endotoksin Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi pemeriksaan limulus.

makrofag di dalam hati, limpa,

folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zatzat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi

sistem imunologik. Respon Imunologik Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di tingkat lokal

(gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T

ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella typhi pada uji hambatan karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya tanpa memasuki epitel pejamu. Bagan Patofisiologi Demam Tifoid
KUMAN S. TYPHI Makanan +Minuman

migrasi lekosit. Pada

dan dikeluarkan dalam tinja,

Lambung

mati

Usus halus

Folikel getah bening intestinum

Multiplikasi Sel PMN

Aliran Getah Bening Mesenterika

Hidup dan Berkembang Biak

Multiplikasi Lokal

Usus

Aliran Darah (Bakteremia Primer)

Aliran Darah ( Bakteremia Sekunder)

RES Hati dan Limpa

10

11

Gejala Klinik1,6,8

Gejala demam tifoid pada anak-anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, nyeri kepala, batuk tidak berdahak, bradikardi. Kemudian menyusul gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 1. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsurangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu III. 2. Gangguan saluran cerna Pada mulut didapatkan nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah (rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda. 3. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa apatis sampai somnolen. Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejalagejala lain: Roseola atau rose spot; pada punggung, perut bagian atas dan dada bagian bawah dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 24 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang berkulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam.

12

Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relatif ditemukan pada awal minggu ke II.

Masa Inkubasi Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa :

Anoreksia Malaise Nyeri kepala bagian depan Nyeri otot Lidah kotor Rasa tidak nyaman pada perut

Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas) Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas demam tifoid adalah sebagai berikut. Minggu Pertama (awal terinfeksi) Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39c hingga 40c, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali per menit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Lidah khas pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejalagejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 13

mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi. Minggu Kedua Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi bradikardi relatif pada pemeriksaan nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain. Minggu ketiga Suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung banyak terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba

14

denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga. Minggu keempat Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. Relaps Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. Komplikasi 2,7,9 Komplikasi tifoid dapat terjadi pada : 1. Intestinal (usus halus) : Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu: a. Perdarahan usus. Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena dan kalau sangat berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda syok: berupa penurunan suhu tubuh dan tekanan darah yang drastis. b. Perforasi usus. Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada distal ileum. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas (free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam posisi tegak. c. Peritonitis Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense muskular) dan nyeri tekan.

15

2. Ekstraintestinal Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminae, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronis yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier). Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3% sedangkan perdarahan usus pada 1-10% kasus demam tifoid pada anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang samar. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defans muskular, hilangnya redup pada perkusi hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas. Dilaporkan pula kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain adalah trombosis serebral, afasia, ataksia serebral akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Gullain-Barre. Dari berbagai penyulit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele). Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intravaskular diseminata, 16

hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi dibeberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian, Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah penghentian antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalens, saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan lebih singkat. 7 Diagnosa kerja 5 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, Dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Pemeriksaan Penunjang 9,10 1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis. Pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif, neutropenia pada permulaan sakit. Mungkin juga terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.Kebanyakan pasien dengan demam tifoid yang cukup anemia, memiliki tingkat sedimentasi tinggi eritrosit (ESR), trombositopenia, dan limfopenia relatif. Kebanyakan juga memiliki sedikit waktu protrombin tinggi (PT) dan diaktifkan waktu tromboplastin parsial (aPTT) dan kadar fibrinogen menurun. Produk degradasi fibrin beredar umumnya naik ke tingkat yang terlihat dalam subklinis koagulasi intravaskuler diseminata (DIC). Transaminase hati dan 17

nilai-nilai bilirubin serum biasanya meningkat dua kali rentang referensi. Hiponatremia mild dan hipokalemia yang umum. Serum alanine amino transferase (ALT) dehidrogenase-ke-laktat (LDH) rasio lebih dari 09:01 tampaknya sangat membantu dalam membedakan tifoid dari hepatitis virus. Sebuah rasio yang lebih besar dari 9:1 mendukung diagnosis hepatitis virus akut, sementara rasio kurang dari 9:1 mendukung tifoid hepatitis. 2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa a. Deteksi S. Typhi Kultur merupakan pemeriksaan baku emas namun sensitifitasnya rendah. Hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hasil negatif palsu dapat terjadi bila jumlah spesimen sedikit, waktu pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan antibiotik. Keterlibatan biakan strain Salmonella biasanya merupakan dasar untuk diagnosis. Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4 Biakan sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif Kultur tinja biasanya positif pada minggu ke-3 sampai ke-5

Pemeriksaan Kultur 5,10 Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella. Standar kriteria untuk diagnosis demam tifoid telah lama kultur organisme. Pemeriksaan kultur secara luas dianggap 100% spesifik. Darah, sekresi usus (atau duodenum aspirasinya muntahan), dan hasil kultur tinja yang positif untuk typhi S pada sekitar 85% -90% pasien dengan demam tifoid yang hadir dalam minggu pertama onset turun menjadi 20% -30% kemudian dalam perjalanan penyakit. Secara khusus, kultur tinja mungkin positif untuk S typhi beberapa hari setelah menelan bakteri sekunder untuk peradangan pada sel-sel dendritik

intraluminal. Kemudian pada penyakit, hasil kultur tinja yang positif karena bakteri gudang melalui kantong empedu.

18

Kultur darah rangkap (> 3) menghasilkan sensitivitas 73% -97%. Besar volume (10-30 mL) kultur bekuan darah dan dapat meningkatkan kemungkinan deteksi. Kultur feses sendiri menghasilkan sensitivitas kurang dari 50%, dan kultur urin saja bahkan kurang sensitif. Kultur sampel biopsi punch-mawar bintik dilaporkan menghasilkan sensitivitas 63% dan dapat menunjukkan hasil yang positif bahkan setelah pemberian antibiotik. Sebuah kultur swab dubur sekaligus pada saat masuk rumah sakit dapat diharapkan untuk mendeteksi typhi S di 30% -40% pasien memiliki. S typhi juga telah diisolasi dari cairan cerebrospinal, cairan peritoneal, kelenjar getah bening mesenterika, resected usus, faring, tonsil, abses , dan tulang, antara lain. Kultur aspirasi tulang sumsum adalah 90% sensitif sampai setidaknya 5 hari setelah dimulainya antibiotik. Namun, teknik ini sangat menyakitkan, yang mungkin lebih besar daripada manfaatnya. Kultur aspirasi sumsum tulang dan darah yang dibudidayakan dalam media selektif (misalnya, 10% oxgall berair) atau media bergizi (misalnya, kaldu kedelai tryptic) dan diinkubasi pada suhu 37 C selama minimal 7 hari. Subkultur dilakukan setiap hari untuk satu media selektif (misalnya, MacConkey agar-agar) dan satu media penghambat (misalnya, Salmonella-Shigella agar-agar).Identifikasi organisme dengan teknik ini budaya konvensional biasanya membutuhkan waktu 48-72 jam dari akuisisi.

Inkubasi

Minggu 1

Minggu 2

Minggu 3

Minggu 4

Sumsum aspirasinya mL)

tulang (0,5-1

90% (dapat menurun setelah 5 hari antibiotik)

Darah (10-30 mL), tinja, atau budaya

40% -80%

~ 20%

Variabel (20% -60%)

aspirasinya duodenal Air seni 25% -30%, waktu tak terduga Tabel : Sensitivitas pemeriksaan Kultur

19

b. Deteksi DNA S.typhi Metode yang digunakan yaitu PCR dimana DNA S.typhi dilipat gandakan. Metode PCR dapat mendeteksi DNA bakteri baik yang hidup maupun mati. Hasil positif tidak selalu menunjukkan adanya infeksi aktif, sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi karena terdapat beberapa zat yang dapat menghambat reaksi. Pemeriksaan Antibodi 5 Antibodi terhadap antigen O merupakan Ig M yang mendominasi, muncul pada awal penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik IgM maupun IgG muncul lebih lambat tetapi bertahan lebih lama. Biasanya antibodi O muncul pada hari ke 6-8 sedangkan antibodi H pada hari ke 10-12 dari onset penyakit. Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifitas tes Widal rendah maka pemeriksaan serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes Widal menuju pelacakan antibody terhadap antigen S.typhi yang lebih spesifik. Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam serum, antigen terhadap S.typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S.typhi dalam darah dan faeces. Polymerase Chain Reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen S.typhi secara spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi widal. Pemeriksaan antibodi yang lebih spesifik itu antara lain : 5 1. Dot EIA (Dot Enzyme Immunosorbent Assay), pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi protein spesifik pada membrane luar atau outer membrane protein (OMP) dimana OMP dengan berat 50kDa ternyata sangat spesifik pada serum pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA mencapai 95-100% jauh lebih baik daripada sensitivitas Widal yang hanya 60%. Pemeriksaan Dot EIA tidak ada reaksi silang dengan salmonelosis non tifoid

20

dibandingkan dengan Widal. Produk komersial pemeriksaan ini dikenal sebagai Typhidot. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu 3 jam. 2. Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk amplifikasi DNA dari tehnik hibridisasi asam nukleat. Pada sistem ini, sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifitasnya (DNA probe) digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA probe memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup spesifik untuk mendeteksi jumlah kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 S.typhi/ml darah dari pasien demam tifoid. Oleh sebab itu target DNA telah dapat diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target DNA dilakukan dengan tehnik PCR menggunakan enzim DNA polymerase. Cara ini dapat melacak DNA S.typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha melacak DNA dari specimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan. 3. IgM dipstick test. Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik S.typhi pada LPS antigen S.typhi. Tes tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana dan cepat (kurang 2 menit) dengan proses pemisahan partikel berwarna dalam larutan untuk meningkatkan resolusi dan sensitivitas. Spesifitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9, sebuah epitop immunodominan yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada salmonella serogrup D. 4. Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan

21

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

c. Tes Widal Tes Widal merupakan pemeriksaan serologis yang pertama kali diperkenalkan dan masih banyak digunakan. Uji widal klasik mengukur antibodi terhadap antigen O dan H S typhi. Diagnosis demam tifoid ditegakkan bila kenaikan titer S. Typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens. Deteksi anti O dan anti H dalam serum tidak selalu menunjukkan adanya infeksi S.typhi. S.typhi memiliki beberapa antigen O dan H yang sama dengan Salmonella lain, sehingga peningkatan titer tidak spesifik untuk S.typhi. Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi. Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.

a)Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu : 1.Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid. 2.Gangguan pembentukan antibodi. 3.Saat pengambilan darah .4.Daerah endemik atau non endemik. 5.Riwayat vaksinasi. 6.Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

b)Faktor teknik, yaitu 1.Akibat aglutinin silang. 2.StrainSalmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. 3.Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

22

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah: 1.Negatif Palsu Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering di negara kita, demam > kasih antibiotika > nggak sembuh dalam 5 hari >tes Widal) menghalangi respon antibodi. Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

2.Positif Palsu Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid). Diagnosa banding 1,5 Stadium dini: 1. Influenza 2. Gastroenteritis 3. Bronkitis 4. Bronkopneumonia

Stadium lanjut (demam tifoid berat): 5. Demam paratifoid 6. Malaria 7. TBC (Tuberkulosis) milier 8. Meningitis 9. Endokarditis bakterial 10. Sepsis 11. Leukemia 12. Limfoma 13. Penyakit Hodgkin 14. Infeksi Rickettsia (penyebab Q fever)

23

Tatalaksana 1,5,11 Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan yang diberikan yaitu: 1. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta 2. Perawatan yang baik untuk hindari komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah dan anoreksia. 3. Pemberian antipiretik bila suhu tubuh > 38,5 C. 4. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. 5. Antibiotika: Kloramfenikol; masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi 4x pemberian selama 10-14 hari. Dosis maksimal 2 g/hari. Hari pertama setengah dosis dulu, selanjutnya diberikan sesuai dosis diatas, karena kalau diberi dalam dosis yang penuh maka kuman akan banyak yang mati dan sebagai akibatnya endotoksin meningkat dan demam akan bertambah tinggi. Kloramfenikol tidak boleh diberikan bila jumlah leukosit < 2000/ ul. Selain itu dapat juga diberikan: Ampislin; dengan dosis 100-200 mg/kgBB/hari dibagi 4 x pemberian secara oral atau suntikan IV selama 14 hari. Amoksilin; dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 x yang memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam yang lebih lama. Kotrimoxazol (trimethoprim 80 mg + sulphametoxazole 400 mg); dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2 x pemberian Pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S.typhi yang resisten terhadap berbagai obat diatas (MDR= multidrug resistance), terdiri atas: Seftriakson; dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari. 24

Sefiksim; dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14 hari. Gol.quinolon; Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis atau ofloksasin, 10-15 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sudah dipakai untuk pengobatan. Demam biasanya turun dalam 5 hari. Lama pengobatan 2-10 hari. 6. Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya: pemberian cairan intravena untuk penderita dehidrasi dan asidosis. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respon imun dan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang dan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan antipiretik. Dianjurkan pemberian bila suhu di atas 38,5C. Pemberian kortikosteroid dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delirium, stupor, koma, ataupun syok. Deksamethason diberikan dengan dosis awal 3 mg/kgBB, diikuti dengan 1 mg/kgBB setiap 6 jam selama 2 hari. Pencegahan 11,12 Secara umum, setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi. Kuman S.typhi akan mati apabila dipanasi dalam air setinggi 57C untuk beberapa menit atau dangan proses iodinasi/ klorinasi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air, pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi, dan pendidikan kesehatan masyarakat. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi. Vaksin yang digunakan adalah vaksin yang berasal dari kuman yang dimatikan atau dilemahkan. Vaksin yang terbuat dari S.typhi yang telah dimatikan ternyata tidak memberikan perlindungan yang baik, sedangkan yang dilemahkan dapat memberikan perlindungan sebesar 87-95% / 36 bulan. Pemberian IM dengan dosis 0,5cc. Vaksin ini terutama diberikan pada daerah endemik tifoid.

Vaksin Demam Tifoid

Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid,yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dariSalmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB Vaccine) telah puluhan 25

tahun digunakandengan cara pemberian suntikan subcutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikanyang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yangdilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2tahun. Pada penelitian dilapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuscular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun Prognosis 5 Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

26

KESIMPULAN

Demam Tifoid atau tifus abdominalis atau demam enterik atau enteric fever adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dcngan 3 demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. Infeksi oleh S typhi and Sparatyphi paling sering terjadi pada negara yang berkembang dimana sanitasi air dan sistem limbahnya terbatas. Demam tifoid disebabkan oleh Salamonella typhii, basil Gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berpora. Mempunyai sekurangnya empat macam antigen, yaitu antigen O (somatik), H (flegela), Vi, dan protein membran hialin. Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan

dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Gejala klinis utama adalah demam, gangguan gastrointestinal dan gangguan ksadaran. Penatalaksanaan dilakukan dengan perawatan/pengobatan suportif, medikamentosa

dan pencegahan. Komplikasi yang muncul dapat terjadi didalam usus maupun d luar usus. Sosialisasi tentang demam tifoid terutama gejala khasnya, dan terapi

pertamanya melalui pusat-pusat pelayanan kesehatan serta media massa perlu lebih digalakkan agar penatalaksanaan dapat dilakukan sedini mungkin sehingga komplikasi dapat ditekankan serendah mungkin.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Poorwo Soodarno, SS., dkk. (Ed.). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Trpois. Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta. 2008 ; 338-345 2. Behrman RE, dkk . Typhoid Fever. Nelson textbook of pediatrics. 17th edition: WB Saunders Co. 2004: 916-919. 3. Current : Medical Diagnosis & Treatment. Forty-third edition. McGraw-Hill . 2004 : 1362-1363 4. Berman RE, dkk. Demam Enterik. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 15. Volume 2. 2005 : 970-973. 5. Garna H, dkk. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi kedua. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2008 :368-375 6. Demam tifoid. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak. RSUP 7. Brusch JL. Typhoid Fever. In: http://www.emedicine.com/JVlED/ pic2331.htm.Akses: Kamis, 3 Agustus 2011, jam 16.00 WIB 8. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid 2. Jakarta:Media Aesculapius FK UI. 2000; 432-3 10. Curtis T. Typhoid Fever. In: http://wwvv.emedicine.com/MED/ topic6S6.htm.Akses: Kamis, 3 Agustus 2011, jam 16.00 WIB 11. Kaspan MF, Soegijanto S. Demam Tifoid In:Pedoman Diagnosis dan

Terapi. Surabaya:Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD Dr.Soetomo. 2004; 264-7

28

Você também pode gostar