Você está na página 1de 17

Muhammadiyah adalah suatu persyarikatan yang merupakan "Gerakan Islam".

Maksud gerakannya ialah "da'wah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar", yang ditujukan pada dua bidang: perseorangan dan masyarakat. Da'wah dan amar ma'ruf nahi munkar pada bidang pertama terbagi pada dua golongan, yakni: 1. kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran yang asli-murni. 2. kepada yang belum Islam merupakan seruan dan ajakan untuk memeluk ajaran Islam. Adapun da'wah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar bidang kedua adalah kepada masyarakat, bersifat bimbingan, ajakan,dan peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan bersama dengan musyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-mata. Dengan melaksanakan da'wah Islam amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammaddiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah "Mewujudkan masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu Wata'ala". Dasar Perjuangan Muhammadiyah Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT, yang dicerminkan oleh kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan yang luas dan merata, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak amal usahanya atas prinsip yang tersimpul dalam muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu: 1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah dan taat kepada Allah. 2. Hidup manusia bermasyarakat. 3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa Islam itu satu-satunya landasan dan ketertiban untuk kebahagiaan dunia akherat. 4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada manusia. 5. "Ittiba" kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW. 6. Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.

Pedoman Perjuangan Muhammadiyah Menilik dasar prinsip tersebut di atas, maka apapun yang diusahakan dan bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan tunggalnya, harus berpedoman pada: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasulnya, bergerak membangun di segala bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridhai Allah subhanahu Wata'ala." Sifat Muhammadiyah Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya, terutama: 1. 2. 3. 4. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah. Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.

5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan serta dasar dan falsafah negara yang sah. 6. Amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan sesuai dengan ajaran Islam. 7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam. 8. Bekerjasama dengan golongan Islam manapun dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingan-nya. 9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat yang adli dan makmur yang diridhai Allah. 10. Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.

NU Nahdlatul Ulama adl organisasi sosial keagamaan {jamiyah diniyah islamiah} yg berhaluan Ahli Sunnah wal-Jamaah . Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asyari beserta para tokoh ulama tradisional dan usahawan di Jawa Timur. Sejak awal K.H. Hasyim Asyari duduk sebagai pimpinan dan tokoh agama terkemuka di dalam NU. Tetapi tidak diragukan bahwa penggerak di balik berdirinya organisasi NU adl Kiai Wahab Chasbullah putra Kiai Chasbullah dari Tambakberas Jombang. Pada tahun 1924 Kiai Wahab Chasbullah mendesak gurunya K.H. Hasyim Asyari agar mendirikan sebuah organisasi yg mewakili kepentingan-kepentingan dunia pesantren. Namun ketika itu pendiri pondok pesantren Tebu Ireng ini K.H. Hasyim Asyari tidak menyetujuinya. Beliau menilai bahwa utk mendirikan organisasi semacam itu belum diperlukan. Baru setelah adanya peristiwa penyerbuan Ibn Saud atas Mekah beliau berubah pikiran dan menyetujui perlunya dibentuk sebuah organisasi baru. Semangat utk merdeka dari penjajahan Belanda pada waktu itu dan sebagai reaksi defensif maraknya gerakan kaum modernis {Muhammadiyah dan kelompok modernis moderat yg aktif dalam kegiatan politik Sarekat Islam} di kalangan umat Islam yg mengancam kelangsungan tradisi ritual keagamaan khas umat islam tradisional adl yg melatarbelakangi berdirinya NU. Rapat pembentukan NU diadakan di kediaman Kiai Wahab dan dipimpin oleh Kiai Hasyim. September 1926 diadakanlah muktamar NU yg untuk pertama kalinya yg diikuti oleh beberapa tokoh. Muktamar kedua 1927 dihadiri oleh 36 cabang. Kaum muslim reformis dan modernis berlawanan dgn praktik keagamaan kaum tradisional yg kental dgn budaya lokal. Kaum puritan yg lbh ketat di antara mereka mengerahkan segala daya dan upaya utk memberantas praktik ibadah yang dicampur dgn kebudayaan lokal atau yg lbh dikenal dgn praktik ibadah yg bidah. Kaum reformis mempertanyakan relevansinya bertaklid kepada kitab-kitab fiqh klasik salah satu mazhab. Kaum reformis menolak taklid dan menganjurkan kembali kepada sumber yg aslinya yaitu Alquran dan hadis yaitu dgn ijtihad para ulama yg memenuhi syarat dan sesuai dgn perkembangan zaman. Kaum reformis juga menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional yg dalam formatnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani pemikiran agama dan kepercayaan lainnya. Bagi banyak kalangan ulama tradisional kritikan dan serangan dari kaum reformis itu tampaknya dipandang sebagai serangan terhadap inti ajaran Islam. Pembelaan kalangan ulama tradisional terhadap tradisi-tradisi menjadi semakin ketat sebagai sebuah ciri kepribadian. Mazhab Imam Syafii merupakan inti dari tradisionalisme ini . Ulama tradisional memilih salah satu mazhab dan mewajibkan kepada pengikutnya krn di zaman sekarang ini tidak ada orang yg mampu menerjemahkan dan menafsirkan ajaran-ajaran yg terkandung di dalam Alquran dan sunah secara menyeluruh. Di sisi lain berdirinya NU dapat dikatakan sebagai ujung perjalanan dari perkembangan gagasangagasan yg muncul di kalangan ulama di perempat abad ke-20. Berdirinya NU diawali dgn lahirnya Nahdlatul Tujjar yg muncul sebagai lambing gerakan ekonomi pedesaan disusul dgn munculnya Taswirul Afkar sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan dan Nahdlatul Wathon sebagai gerakan politik dalam bentuk pendidikan. Dengan demikian bangunan NU didukung oleh tiga pilar utama yg bertumpu pada kesadaran keagamaan. Tiga pilar pilar tersebut adl wawasan ekonomi kerakyatan; wawasan keilmuan dan sosial budaya; dan wawasan kebangsaan. NU menarik massa dgn sangat cepat bertambah banyak. Kedekatan antara kiai panutan umat dgn masyarakatnya dan tetap memelihara

tradisi di dalam masyarakat inilah yg membuat organisasi ini berkembang sangat cepat lbh cepat daripada organisasi-organisasi keagamaan yg ada di Indonesia. Setiap kiai membawa pengikutnya masing-masing yg terdiri dari keluarga-keluarga para santrinya dan penduduk desa yg biasa didatangi utk berbagai kegiatan keagamaan. Dan para santri yg telah kembali pulang ke desanya setelah belajar agama di pondok pesantren juga memiliki andil besar dalam perkembangan organisasi ini atau paling tidak memiliki andil di dalam penyebaran dakwah Islam dgn pemahaman khas NU. Pada tahun 1938 organisasi ini sudah mencapai 99 cabang di berbagai daerah. Pada tahun 1930-an anggota Nu sudah mencapai ke wilayah Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan dan Sumatra Selatan. Kini organisasi NU menjadi organisasi terbesar di Indonesia yg tersebar di seluruh Provinsi bahkan sekarang telah berdiri cabang-cabang NU di negara-negara lain. Hubungan dgn kaum pembaru yg sangat tegang pada tahun-tahun awal berdirinya NU secara bertahap diperbaiki. Sekitar tahun 1930-an berkali-kali terlihat tanda-tanda kemauan baik dari kedua belah pihak. Pada muktamar ke-11 di Banjarmasin Kiai Hasyim Asyari mengajak umat Islam Indonesia agar menahan diri dari saling melontarkan kritik sektarian dan mengingatkan bahwa satu-satunya perbedaan yg sebenarnya hanyalah antara mereka yg beriman dan yg kafir. Apa yg dikatakan oleh Kiai Hasyim Asyari adl tepat dan hal itu setidaknya dapat menumbuhkan rasa persatuan di kalangan umat Islam. Karena perbedaan di antara umat Islam itu sudah pasti terjadi. Yang penting perbedaan itu tidaklah menyangkut hal-hal yg mendasar . Meskipun ajakan ini ditujukan bagi kalangan sendiri tetapi mendapat respon yg positif dari kalangan pembaru. Sehingga hubungan antara kedua belah pihak semakin lama semakin baik. Akan tetapi dalam beberapa kasus tetap saja terjadi bahkan hingga era reformasi sekarang ini. Ketegangan yg cukup besar terlihat menjelang jatuhnya pemerintahan Abdul Rahman Wahid tahun 2001. Warga NU yg mendukung Gus Dur bersitegang dgn warga Muhammadiyah yg mendukung Amin Rais. Kejadian ini sempat membuat beberapa masjid Muhammadiyah diserang oleh pendukung fanatik Gus Dur di kantong-kantong NU. Yang lbh unik lagi adl bahwa perbedaan yg selama ini terjadi telah mengakibatkan tempat ibadah keduanya tidak bisa bersatu. Kristalisasi nilai-nilai ini menjadikan masjid NU berbeda dgn masjid Muhammadiyah. Perbedaan yg dimaksud dalam arti bahwa masjid NU tidak ditempati atau digunakan oleh warga Muhammadiyah dan sebaliknya. Jika di suatu masjid terlihat tidak ada zikiran yg panjang dan seru serta tidak ada kunut orang NU akan mengatakan bahwa itu masjid Muhammadiyah. Nampaknya kelompok reformis itu terwakili oleh organisasi Muhammadiyah. Padahal kelompok pembaru sesungguhnya tidak hanya dari kalangan Muhammadiyah masih banyak dari organisasi lain seperti Persatuan Islam Al-Irsyad dan lain-lain sejenisnya mereka termasuk dalam kelompok pembaru. Namun warga NU pada umumnya lbh mengenal Muhammadiyah. Karena organisasi tersebut memang yg lbh besar dan terbesar kedua setelah NU. Dalam perjalanannya NU pernah melibatkan diri dalam politik praktis yaitu menjadi partai politik sejak tahun 1954 . Ini sebuah kesalahan besar bagi NU. Keberadaanya di kancah perpolitikan tidak membuatnya semakin maju justru menjadi semacam komoditas politik murahan bagi kalangan politikus. Dengan

pengalamannya yg pahit ini di masa Orde Baru NU memutuskan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan dgn semangat kembali ke Khittah 26 . Sejak kembalinya orientasi NU kepada Khittah NU pada muktamar ke-27 di Situbondo Jawa Timur tahun 1984 NU berhasil melaksanakan mabadi khaira ummah melalui pendekatan sosial budaya bukan pendekatan kekuasaan-politik dgn diperhatikannya NU sebagai jamiyyah. Keberhasilan mempertahankan NU sebagai jamiyyah telah memberi andil besar kepapa perkembangan pluralisme politik di kalangan NU khususnya dan di masyarakat Indonesia pada umumnya yg berarti telah menyumbang kepada praktik dasar-dasar kehidupan demokratis. Keberhasilan ini telah membangun citra NU sebagai organisasi yg cukup independent dalam menghadapi gempuran-gempuran politik dari penguasa sebagai perekat bangsa dan pengayom kelompok minoritas. Di masa reformasi ketika kran kebebasan mendirikan organisasi politik terbuka muncul desakan dari warga NU sendiri utk kembali menjadi parpol. Tetapi belajar dari pengalaman masa lalu NU berketetapan utk mempertahankan diri sebagai organisasi sosial keagamaan konsisten dgn Khittah 1926. Masyarakat Pendukung NU Masyarakat pendukung NU sangat beragam. Di satu pihak ada kelompok ulama intelektual birokrasi politisi professional seniman dan budayawan. Tokoh-tokoh elite merupakan tokoh-tokoh masyarakat yg sering menjadi panutan bagi masyarakat baik di desa maupun di perkotaan. Nasihat-nasihat dan saran-saran biasanya didengarkan oleh masyarakat secara umum. Kelompok inilah yang banyak memegang tampuk kepemimpinan NU di berbagai tingkatan. Selain itu yg termasuk pendukung NU bahkan pendukung terbesar adl petani buruh nelayan pengusaha kecil yg biasanya digolongkan sebagai kelompok masyarakat akar rumput yg sebagian besar di daerah pedesaan. Ciri Khas NU Ciri khas NU yg membuatnya berbeda dgn organisasi sejenis lainnya adl ajaran keagamaan NU tidak membunuh tradisi masyarakat bahkan tetap memeliharanya yg dalam bentuknya yg sekarang merupakan asimilasi antara ajaran Islam dan budaya setempat. Ciri khas yg satu ini juga lbh unik bagi warga nahdliyyin ulama merupakan maqam tertinggi krn diyakini sebagai waratsatul anbiya. Ulama tidak saja sebagai panutan bagi masyarakat dalam hal kehidupan keagamaan tetapi juga diikuti tindak tanduk keduniannya. Untuk sampai ke tingkat itu selain menguasai kitab-kitab salaf Alquran dan hadis harus ada pengakuan dari masyarakat secara luas. Ulama dgn kedudukan seperti itu dipandang bisa mendatangkan barakah. Kedudukan yg demikian tingginya ditandai dengan kepatuhan dan penghormatan anggota masyarakat kepada para kiai NU. Persaudaraan di kalangan nahdliyyin sangat menonjol. Catatan sejarah menunjukkan bahwa dgn nilai persaudaraan itu NU ikut secara aktif dalam membangun visi kebangsaan Indonesia yg berkarakter keindonesiaan. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan NU bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bentuk final dari perjuangan kebangsaan masyarakat Indonesia. Komitmen yang selalu dikembangkan adl komitmen kebangsaan yg religius dan berbasis Islam yg inklusif. Ciri menonjol lainnya adl bahwa komunikasi di dalam NU lbh bersifat personal dan tentu sangat informal. Implikasi yg sudah berjalan lama menunjukkan bahwa performance fisik terlihat santai dan komunikasi organisasional kurang efektif. Dengan demikian kebijakan-kebijakan organisasi seringkali sulit mengikat kepada jamaah. Jamaah seringkali lbh taat kepada kiai panutannya daripada taat kepada organisasi. Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama

Untuk mengetahui lbh detail tentang organisasi keagamaan ini lbh baiknya dilihat dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU

Muhammadiyah dan NU adalah organisasi, bukan masalah fiqh. Hanya dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah dan NU adalah mewakili 2 golongan besar umat Islam secara fiqh juga. Muhammadiyah mewakili kelompok "modernis" (begitu ilmuwan menyebut), yang sebenarnya ada beberapa organisasi yang memiliki pandangan mirip seperti Persis (Persatuan Islam), Al-Irsyad, Sumatra Tawalib. Sedang NU (Nahdhatul Ulama) mewakili kelompok "tradisional", selain Nahdhatul Wathan, Jami'atul Washliyah, Perti, dll. Kedua organisasi memiliki berbagai perbedaan pandangan. Dalam masyarakat perbedaan paling nyata adalah dalam berbagai masalah furu' (cabang). Misalnya Muhamadiyah melarang (bahkan membid'ahkan) bacaan Qunut di waktu Shubuh, sedang NU mensunahkan, bahkan masuk dalam ab'ad yang kalau tidak dilakukan harus melakukan sujud syahwi, dan berbagai masalah lain. (kunjungi masalah khilafiah) Alhamdulillah, perbedaan pandangan ini sudah tidak menjadikan pertentangan lagi, karena kedewasaan dan toleransi yang besar dari keduanya.

Pandangan antara keduanya memang berasal dari "madrasah" (school of thought) berbeda, yang sesungguhnya sudah terjadi sangat lama. Muhammadiyah (lahir 1914, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikirpemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat rasional) sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperti Ibn Taymiah, Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnya membuka pintu ijtihad, kembali kepada Quran dan Sunah, tidak boleh taqlid, menghidupkan kembali pemikiran Islam. Sedang wacana salaf adalah bebaskan takhayul, bid'ah dan khurafat (TBC). Tetapi dalam perkembangan yang dominan --terutama di grass rootnya-- adalah wacana salaf. Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi masalah, banyak dari kategori TBC tersebut justru diamalkan di kalangan NU, bahkan dianggap sebagai sunah. Karena sifatnya yang dinamis, praktis dan rasional, Muhammadiyah banyak diikuti oleh kalangan terdidik dan masyarakat kota. Di sisi lain NU (Nahdhatul Ulama, didirikan antara lain oleh KH Hasyim Asy'ari, 1926), lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. Sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Berbeda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU sangat nampak di kalangan pedesaan. Sebenarnya KH A Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari sama-sama pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Katib Minangkabawi, ulama besar madzhab Syafi'i di Makkah. Ketika bergaung pemikiran Abduh dan muridnya Rasyid Ridha di Mesir, KH A Dahlan sangat tertarik dan mengembangkannya di Indonesia. Sedang KH Hasyim Asy'ari justru kritis terhadap pemikiran mereka... Berikut secara ringkas perbedaan pandangan di antara keduanya: Masalah Aqidah (Keduanya masih dalam bingkai Ahlu Sunah) Fiqh NU Mengikuti paham Asy'ariah/Maturidiah Keharusan mengikuti salah satu madzhab (terutama Syafi'i) Muhammadiyah Mengikuti paham salaf/Wahabi* (Ibn Taymiah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibn Qayyim) Langsung kepada Al-Quran dan Sunah, dan tarjih (memilih pendapat yang

terkuat) Menolak tasauf dan tariqah Tasauf/tarikat Menerima tasauf, dan tariqah yang mu'tabar (diakui) (tetapi banyak yang apresitif secara individual dan selektif, misal HAMKA dengan tasauf modern-nya) Ibn Taymiah, Muhammad bin Pemikiran yang dominan Pemikir klasik : Asy'ari, Al- Abdul Wahab, Ibn Qayyim, Ghazali, Nawawi, dll Muhammad Abduh, Rasyid

Ridha * Istilah Wahabi diberikan oleh kelompok lain, mereka sendiri lebih menyukai disebut muwahidin (orang yang mengesakan)

Bedanya Apa???
Memperbincangkan tentang ranah perbedaan antara kedua organisasi sosial keagaan, yakni NU dan Muhammadiyah, bukan untuk menambah problem yang timbul sebagai akibat perbedaan itu, melainkan justru sebaliknya, agar semakin mendekatkannya. Sebab ternyata dengan perbedaan itu, selain ada untungnya, dalam hal-hal tertentu, ternyata merugikan kedua belah pihak dan bahkan semuanya. Salah satu contoh kecil kerugian itu adalah misalnya mengganggu silaturrahmi. Orang NU tidak begitu mudah diterima bekerja di lembaga Muhammadiyah, dan sebaliknya. Orang Muhammadiyah tidak mudah diterima di sebuah departemen, jika pimpinan departemen itu orang NU, dan juga sebaliknya. Padahal mencari tenaga professional kadang sangat sulit, namun masih dipersulit lagi oleh adanya perbedaan kultur atau organisasi keagamaan itu. Jika hal demikian itu benar-benar terjadi, maka organisasi sosial keagamaan tidak terlalu menguntungkan. Ukuran kualitas seseorang menjadi bertambah dengan variabel yang tidak mudah dipenuhi. Misalnya, disebut berkualitas jika berasal dari paham keagamaan yang sama. Dengan begitu maka, organisasi sosial keagamaan justru menjadi sebab

terjadinya keputusan rasional tidak dijalankan. Akhirnya keadaannya menjadi aneh, mencari calon tukang potong rambut saja bisa dilakukan secara obyektif, -----> mencari yang ahli; sementara, mencari calon rektor misalnya, harus memilih yang sealiran. Padahal yang terpilih akhirnya belum tentu kualitasnya lebih baik. Contoh seperti itu, ternyata di mana-mana terjadi dan cukup banyak jumlahnya. Sebagai akibatnya, organisasi tidak berhasil dijalankan secara obyektif, rasional , dan terbuka, sebagaimana tuntutan organisasi modern. Organisasi menjadi tidak dinamis atau apalagi maju. Selain itu, pelayanan masyarakat menjadi tidak maksimal. Dampak negative itu akan dialami oleh masing-masing anggota organisasi yang bersangkutan, menjadi serba terbatas. Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah jika diperhatikan secara saksama, sebenarnya hanya berada pada ranah ritual saja. Lagi pula, aspek ritual itu juga tidak berada pada wilayah yang mendasar. Orang menyebutnya hanya pada aspek yang sifatnya cabang atau furu. Perbedaan itu hanya di seputar bagaimana ritual itu dijalankan. Misalnya, jamah NU ketika shalat subuh melengkapi dengan qunut, sedangkan Muhammadiyah tidak. Selain itu, NU ketika shalat jumt, adzannya dua kali, sedangkan Muhammadiyah hanya sekali saja. NU setelah shalat fardhu berdzikir bersama, sedangkan Muhajmmadiyah tidak. NU membiasakan membaca puji-pujian menjelang shalat berjamah, sedangkan Muhammdiyah tidak. Untuk menentuikan awal puasa atau mengakhirnya, Muhammadiyah lewat pendekatan hisab, sedangkan NU menggunakan rukyat. Hasilnya kadang sama, tetapi sekali-kali berbeda. Persoalan ritual dalam Islam, sebenarnya adalah merupakan bagian kecil dari keseluruhan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, atau dalam al Qurn itu sendiri. Dalam hal yang lebih luas, Islam mengajak umatnya menjalani kehidupan ini secara sempurna, mengembangkan semua aspek dalam dirinya. Islam mengajarkan bagaimana menggunakan akal pikirannya secara benar. Islam juga mengajarkan agar jiwa dan raganya menjadi sehat. Islam mengajarkan bagaimana agar ucapan, pikiran, hati, dan anggota badannya selalu dijaga agar bersih dan bahkan suci. Dalam Islam diajarkan tentang tazkiyatun nafs. Sedangkan kegiatan ritual, sekalipun sungguh amat penting, namun hanyalah merupakan bagian kecil dari ajaran Islam.

Apa saja

yang terkait dengan ritual mestinya bukan diperdebatkan, melainkan

seharusnya segera dijalankan. Berdedat soal ritual tidak akan membawa hasil, dalam arti diketemukan mana yang paling duluan diterima dan yang ditolak oleh Tuhan. Tidak akan ada seorang pun yang tahu bahwa ritualnya diterima atau ditolak. Penerimaan dan atau penolakan kegiatan ritual adalah hak prerogative Tuhan sendiri. Seseorang mungkin menang dalam berdebat, maka sebenarnya belum tentu benar-benar menang di hadapan Allah. Bisa saja yang terjadi justru sebaliknya, bahwa mereka yang kalah, karena ritualnya dilakukan secara lebih khusuk dan ikhlas justru diterima. Sebaliknya, pihak yang menang hanya akan mendapatkan kemenangannya di hadapan orang. Ajaran Islam sedemikian luas, yaitu mengajarkan agar para umatnya kaya ilmu pengetahuan, menjadi manusia unggul dalam arti bertauhid, berhasil bisa dipercaya, dan selalu menjaga kesucian dalam semua aspek kehidupannya. Selain itu, Islam mengajarkan tentang tatanan sosial yang adil dan juga agar menjalankan semua pekerjaan atau amalnya dunia maupun di akherat. Sebenarnya boleh saja di mana-mana terjadi perbedaan atau bahkan berdebat. Tetapi hendaknya perdebatan itu dalam soal yang terkait dengan ilmu pengetahuan, membangun keadilan dan mencari cara yang tepat dalam beramal saleh. Sebab berbeda dalam ilmu pengetahuan dan lainnya itu akan melahirkan rakhmat. Artinya dengan perbedaan dan perdebatan itu justru pengetahuan dan pengalaman seseorang akan semakin bertambah. Akan tetapi, perbedaan dalam ritual secara berkepanjangan, yang didapat sebaliknya, yaitu umat akan terpecah dan bercerai berai sebagaimana yang tampak selama ini. Perbedaan dalam beritual sebenarnya sudah terjadi sejak zaman nabi. Banyak kisah tentang itu, misalnya menyangkut tentang pelaksanaan shalat dan bahkan juga haji. Setiap ada perbedaan di antara para sahabat segera dikonsultasikan langsung kepada Nabi. Maka, jika ada pengaduan seperti itu, selalu saja Nabi membenarkan semuanya. Artinya semua yang telah dilakukan oleh sahabat dalam menjalankan ritual dibolehkan secara professional atau beramal saleh. Dalam al Qurn disebutkan bahwa siapa yang beriman dan beramal saleh akan selamat hidupnya, baik di

dan atau dibenarkan. Oleh karena itu, maka dengan perbedaan ritual itu sebenarnya tidak perlu masing-masing mengklaim, bahwa diri atau kelompoknya yang paling benar. Dalam soal ritual, asalkan masih berada pada frame atau kerangka pokoknya, semua dibolehkan. Sedangkan menyangkut diperdebatkan. Kalaupun harus ada cara yang detail-detail tidak perlu yang dipersoalkan adalah harus menyangkut

kekhusukannya. Sebab Nabi dalam suatu riwayat,

pernah menyuruh salah seorang

untuk mengulangi shalatnya, karena dinilai kurang khusu. Ternyata, bukan terkait dengan persoalan yang sering diperdebatkan selama ini. Akhirnya, jika hal seperti itu dipahami dan dihayati bersama, maka kewajiban agar supaya umat Islam selalu menjaga persatuan akan berhasil dijalankan. Wallahu alam.

, , ,

Shalat Tarawih 20 Rakaat Shalat Tarawih bagi umat Islam Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap muslim pernah menjalankannya. Pada awal Ramadhan, biasanya masjid atau mushala penuh dengan kaum muslimin dan muslimat yang menjalankan shalat jamaah isya` sekaligus tarawih. Ada yang menjalankan 8 rakaat, dan ada yang 20 rakaat. Yang terakhir ini termasuk ciri orang NU (Nahdliyyin). Sedang shalat Witir yang diletakkan di akhir biasanya sarna-sarna 3 rakaat, orang NU maupun bukan. 20 rakaat itu serempak dilaksanakan dengan cara dua rakaat salam. Begitu shalat sunnah rawatib setelah isya` (ba'diyah) usai dikerjakan, bilal mengumumkan tibanya shalat Tarawih dikerjakan, Marilah shalat Tarawih berjama'ah! Imam pun maju ke depan, dan sudah dapat ditebak surat yang dibaca setelah al-Fatihah ialah surat at-Takatsur. Bacaan seperti ini sudah menjadi ciri khusus masjid-masjid atau mushala-mushala NU. Juga sudah dapat ditebak bahwa rakaat kedua setelah al-Fatihah tentu sura Al-Ikhlash. Setelah usai 2 rakaat, ada sela-sela lantunan shalawat yang diserukan bilal dan dijawab oleh segenap kaum muslimin. Begitu shalat tarawih sampai rakaat kedua puluh, bacaan surat sesudah al-Fatihah tentu sudah sampai ke surat al-Lahab dan alIkhlash. Tinggal shalat witirnya yang biasa dilakukan 2 rakaat, dan yang kedua satu rakaat, imam biasanya memilih surat al-Ala dan alKafirun. Para imam Tarawih NU umumnya memilih shalat yang tidak perlu bertele-tele. Sebab ada hadits berbunyi: "Di belakang Anda ada orang tua yang punya kepentingan.. Maka, 23 rakaat umumnya shalat Tarawih lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit. Lain halnya shalat di Masjidil Haram, Makah. Di sana, 23 rakaat diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci Al-Quran dari awal, terus berurutan menuju akhir Al-Quran. Setiap malam harus diselesaikan kira-kira 1 juz lebih, dengan diperkirakan pada tanggal 29 Ramadhan (dulu setiap tanggal 27 Ramadhan) sudah khatam. Pada malam ke 29 Ramadhan itulah ada tradisi khataman Al-Qur'an dalam shalat Tarawih di Masjidil Haram. Bahkan, di rakaat terakhir imam memanjatkan doa yang menurut ukuran orang Indonesia sangat panjang sebab doa itu bisa

sampai 15 menit, doa yang langka dilakukan seorang kiai dengan waktu sepanjang itu, meski di luar shalat sekalipun. Dan terpapar di kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram bahwa shalat Tarawih di Masjidil Haram sejak masa Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Usman, dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 rakaat dan 3 rakaat Witir. Warga Nahdliyyin yang memilih Tarawih 20 rakaat ini berdasar pada beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II, hlm 54 disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat dengan riwayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar, Utsman dan Ali sebanyak 20 rakaat. Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW shalat Tarawih di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Rakaat ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani). Ibnu Hajar menyatakan bahwa Rasulullah shalat bersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam Ramadhan. Ketiga tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun rasulullah tidak keluar. Kemudian paginya beliau bersabda:


Aku takut kalau-kalau tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu melaksanakannya. Hadits ini disepakati kesahihannya dan tanpa mengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan rakaatnya. (Dalam hamsy Muhibah, Juz II, hlm.466-467) Shalat Tarawih dan Jumlah Rakaatnya Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para sahabat dan ulama. Ada beberapa pendapat tentang rakaat shalat Tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 20 (dua puluh) raka'at, 8 (delapan), atau 36 (tiga puluh enam) raka'at; ada pula yang mengatakan 8 rakaat; 20 rakaat; dan ada pula yang mengatakan 36 rakaat. Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah rakaat shalat Tarawih adalah pada sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat Tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri? Mereka yang menganggap keduanya adalah sama, biasanya akan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat Tawarih dan Witir

itu 11 rakaat. Dalam wacana mereka, di malam-malam Ramadhan, namanya menjadi Tarawih dan di luar malam-malam Ramadhan namanya menjadi shalat malam / qiyamullail. Dasar mereka adalah hadits Nabi SAW:

.
Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat. (HR. Al-Bukhari) Sedangkan mereka yang membedakan antara keduanya (shalat malam dan shalat tarawih), akan cenderung mengatakan bahwa shalat Tarawih itu menjadi 36 rakaat karena mengikuti ijtihad Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang ingin menyamai pahala shalat Tarawih Ahli Makkah yang menyelingi setiap empat rakaat dengan ibadah Thawaf. Lalu Umar bin Abdul Aziz menambah rakaat shalat Tarawih menjadi 36 rakaat bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawih ahli makkah; Atau shalat Tarawih 20 rakaat dan Witir 3 rakaat menjadi 23 rakaat. Sebab 11 rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalat malamnya Rasulullah saw bersama sahabat dan setelah itu Beliau menyempurnakan shalat malam di rumahnya. Sebagaimana Hadits Nabi SAW.:

, : , , , , , .
Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk shalat bersama umat di masjid, Rasulullah saw. shalat delapan rakaat, dan kemudian mereka menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim). Sedangkan menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 rakaat, jumlah 11 rakaat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah rakaat shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di rumah. Bagaimana mungkin Aisyah RA meriwayatkan hadits tentang shalat Tarawih Nabi SAW? Lagi pula, istilah shalat Tarawih juga belum dikenal di masa Nabi SAW. Shalat tarawih bermula pada masa Umar bin Khattab RA karena pada bulan Ramadlan orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar menyuruh agar umat Islam berjamaah di masjid dengan imamnya Ubay bin Ka'b. Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 rakaat dengan dua salam.

Dan Umar RA. berkata: "Inilah sebaik-baik bidah". Bagi para ulama pendukung shalat Tarawih 20 rakaat+witir 3= 23, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah rakaat shalat Tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah rakaat shalat malam Nabi SAW., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan. Ijtihad Umar bin Khoththab RA tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw, karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 rakaat (ijma ash-shahabat as-sukuti). Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa Posisi Sahabat Nabi SAW sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam Hadits Nabi SAW:

,
"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' alRasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal). Ulama Syafiayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari dalam kitab Fathul Muin menyimpulkan bahwa shalat Tarawhi hukumnya sunnah yang jumlahnya 20 rakaat:

.
Shalat Tarawih hukumnya sunnah, 20- rakaat dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadlan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua rakaat haru salam. Jika shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah. (Zainuddin al Malibari, Fathul Muin, Bairut: Dar al Fikr, juz I, h. 360). Pada kesimpilannya, bahwa pendapat yang unggul tentang jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat + rakaat witir jumlahnya 23 rakaat. Akan tetapi jika ada yang melaksanakan shalat tarawih 8 rakaat + 3 withir jumlahnya 11 rakaat tidak berarti menyalahi Islam. Sebab perbedaan ini hanya masalah furuiyyah bukan masalah aqidah tidak perla dipertentangkan. Wallahu alam bi al-shawab.

Você também pode gostar