Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Kementerian Pendidikan Nasional Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi 2011
kehidupan setelah mati (akhirat) itu urusan Sang Pencipta, Sang Pembuat Hidup. Yang jelas, saya hanya ingin melakukan apa yang dibisikkan oleh nurani, memanusiakan manusia, memanusiakan alam seiring dengan harmoni kehidupan! Namun, gejolak rasa penasaran akan kehidupan yang sejati itu kembali muncul semenjak saya berada di bangku kuliah, di jurusan sosiologi. Di jurusan ini, mata saya seakan dihadapkan pada berbagai macam pilihan hidup yang masing-masing membawa kebenaran maupun kesesatan tersendiri. Ibarat saya masih merangkak, saya dihadapkan pada banyak pilihan untuk menuju tujuan. Tujuan itu bisa saya capai dengan berjalan, berlari, terbang, ambles bumi, dan lain sebagainya. Dari awalnya bingung, saya dihadapkan pada kebingungan kuadrat. Banyak paham dan aliran yang dibukakan di depan saya, baik di kegiatan perkuliahan maupun kehidupan non formal. Sekuler, positivis, atheis, marxis, sering menghiasi pikiran saya di keseharian. Pedoman agama yang sudah dibekalkan sejak kecil yang memang saya terima dengan kebimbangan semakin memporak-porandakan ideologi saya yang masih rapuh. Di tengah perjalanan, saya menemukan setapak jalan yang mungkin dapat membawa saya kembali pada jati diri saya. Wayang. Dunia pewayangan yang dibumbui dengan nuansa kejawen membuat saya trenyuh, membuat saya seakan menemukan jalan alternatif menuju kesadaran diri. Dalam pewayangan, tidak ada doktrinasi tentang suatu kebenaran. Bahkan kebenaran itu sendiripun tidak mutlak. Kebenaran itu subjektif. Seorang dewa (Batara Guru) dapat diprotes oleh seorang titah (Bimasena, Baladewa, Wisanggeni). Itu menandakan bahwa sesama ciptaan Tuhan, derajat kita sama. Kebenaran bukan hanya milik ciptaan Tuhan yang mengaku- paling mulia derajatnya. Saya sangat setuju dengan pendapat Sujiwo Tejo (budayawan), bahwa agama bukan hanya dipeluk, tapi disetubuhi. Karena jika hanya dipeluk, maka keyakinan kita terhadap agama itu masih dangkal, masih sempat tergoyahkan oleh kebimbangan dan ketidakpercayaan. Namun jika agama itu disetubuhi, maka sudah tidak ada pembatas antara saya dan agama. Tidak ada keraguan maupun kebimbangan sedikitpun akan agama yang disetubuhi itu. Merasuk sepenuh hati, sedalam nurani. Jadi, di usia ini, saya mulai membentuk persepsi bahwa agama yang saya idamkan adalah agama untuk semesta. Agama yang menguatkan saya ketika mengambil keputusan, agama yang tidak ada pemaksaan di dalamnya. Bahkan ketika saya hendak meninggalkan agama itu, maka akan ada kerinduan hebat yang akan membawa saya untuk kembali padanya. Semakin ingin dilepaskan, semakin tumbuh sesuatu di dalamnya. Itulah agama semesta. Agama yang tidak mempunyai syarat apapun bagi umatnya. Agama yang menggugah nurani untuk bangun. Untuk terampil menimbang mana yang harus saya lakukan dan yang tidak. Bukan hanya sekedar agama yang termaktub di kartu identitas.
Saya menyatakan bahwa masyarakat butuh Tuhan. Orang atheis pun sejatinya bertuhan. Tergantung seperti apa Tuhan mereka masing-masing. Tuhan dapat menjelma sebagai uang, wanita, emas, buku, maupun hal lain yang dituhankan oleh setiap individu, yang dipuja-puja, yang diharapkan baik alam sadar maupun alam bawah sadarnya. Namun pada satu titik kejenuhan tertentu, manusia akan kembali mencari Tuhan yang ia tinggalkan, Tuhan yang selama ini tidak ia ketahui dalam kesehariannya, Tuhan yang hakiki, Tuhan yang ingin ia sentuh namun tidak terjangkau, Tuhan yang dalam persepsinya maha mengetahui, maha lemah lembut, maha pengasih, maha penyayang. Ketidakberwujudan Tuhan di panca inderanya itulah yang membuat manusia justru merasa dekat dengan-Nya. Membuat manusia merasa menemukan sesuatu yang lain, yang tidak ia temukan di kesehariannya, yang menjadi tempat mengeluh, memasrahkan diri, maupun tempat di mana ia bisa menemukan cinta.
- Ulil -