Você está na página 1de 4

Agama untuk Semesta

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Sosiologi Agama

Oleh : Nurliana Ulfa (0911210049)

Kementerian Pendidikan Nasional Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi 2011

Agama untuk Semesta


Saya lahir di kalangan keluarga yang Islami. Mulai dari kakek buyut, kakek nenek, ayah ibu, hingga sepupu-sepupu saya orang beragama Islam. Bahkan kata bibi saya, jika diturut melalui garis ibu maupun garis ayah, semua leluhur saya ketika hidupnya pastilah menjabat sebagai seorang Modin (pemuka agama masyarakat). Walhasil, saya dilahirkan di dunia ini tak ada yang berani menyangsikan bahwa saya, Islam. Semenjak kecil saya sudah dihadapkan pada dunia pesantren, dunia madrasah. Belum TK pun saya sudah mengaji iqro. Seingat saya, belum lulus SD saya sudah khatam Al-Quran dua kali, yang dilanjutkan dengan pengkajian kitab-kitab mulai dari ahlaq, fiqih, tauhid, tajwid, tarikh, hingga Bahasa Arab. Keluarga saya menganut Islam NU (Nahdlatul Ulama) mulai dari kakek buyut, bahkan lebih di atasnya lagi, hingga turun-temurun sampai saya, mungkin hingga anak-anak saya kelak. Jadi, budaya tahlilan, yasinan, kenduri, sering diadakan di keluarga saya. Itulah masa kecil saya. Saya yang pada masa itu masih belum mengerti sama sekali mengapa saya beragama, mengapa saya bertuhan Allah. Jawaban itu dengan dangkal saya temukan ketika saya SMP. Saya menyadari, saya beragama Islam karena ayah ibu saya, bahkan keluarga besar saya beragama Islam semua. Saya tak banyak bertanya waktu itu. Saya dengan ikhlas melegitimasi sebagian besar doktrin agama yang disalurkan lewat keluarga saya. Begitu menginjak bangku SMA, saya makin apatis. Sudah tidak ada rasa penasaran lagi. Saya hanya dengan niat menjalani hidup. Saya pun tetap mengaji hingga kelas 3 SMA. Pertanyaan-pertanyaan saya tentang agama dulu sudah tidak pernah muncul lagi karena saya disibukkan dengan beberapa organisasi sekolah maupun luar sekolah. Persepsi saya pada waktu itu adalah, agama merupakan sarana ritual yang wajib saya laksanakan syariat-syariatnya, karena jika tidak, api neraka akan menerkam saya nanti di kehidupan setelah mati, setelah dunia kiamat. Ada segurat rasa kurang puas di hati saya sejak awal. Rasa kurang puas terhadap apa yang selama ini saya dapatkan dari pengkajian agama saya. Saya merasa didoktrin. Saya merasa harus melakukan sesuatu dengan diperintah. Harus melakukan ini dan melakukan itu penuh dengan rasa takut. Takut akan hukuman, takut akan siksaan, takut akan kekuasaan, takut akan kiyai, takut akan Tuhan! Saya ingin agama yang menyejukkan hati. Saya ingin melakukan sesuatu bukan karena ada ancaman, tapi dengan kesadaran saya sendiri. Sebuah agama yang mampu membuat saya sadar bahwa di dunia inilah surga dan neraka yang sesungguhnya. Di saat hidup ini terasa nyaman, damai, di saat kita mampu membuat orang lain tersenyum bahagia, di saat kita merasakan kehangatan keluarga, itulah surga. Dan ketika hidup ini kita rasakan penuh sesak akan musuh, konflik, rasa benci dan membuat orang benci, itulah neraka. Soal ada atau tidaknya surga dan neraka di

kehidupan setelah mati (akhirat) itu urusan Sang Pencipta, Sang Pembuat Hidup. Yang jelas, saya hanya ingin melakukan apa yang dibisikkan oleh nurani, memanusiakan manusia, memanusiakan alam seiring dengan harmoni kehidupan! Namun, gejolak rasa penasaran akan kehidupan yang sejati itu kembali muncul semenjak saya berada di bangku kuliah, di jurusan sosiologi. Di jurusan ini, mata saya seakan dihadapkan pada berbagai macam pilihan hidup yang masing-masing membawa kebenaran maupun kesesatan tersendiri. Ibarat saya masih merangkak, saya dihadapkan pada banyak pilihan untuk menuju tujuan. Tujuan itu bisa saya capai dengan berjalan, berlari, terbang, ambles bumi, dan lain sebagainya. Dari awalnya bingung, saya dihadapkan pada kebingungan kuadrat. Banyak paham dan aliran yang dibukakan di depan saya, baik di kegiatan perkuliahan maupun kehidupan non formal. Sekuler, positivis, atheis, marxis, sering menghiasi pikiran saya di keseharian. Pedoman agama yang sudah dibekalkan sejak kecil yang memang saya terima dengan kebimbangan semakin memporak-porandakan ideologi saya yang masih rapuh. Di tengah perjalanan, saya menemukan setapak jalan yang mungkin dapat membawa saya kembali pada jati diri saya. Wayang. Dunia pewayangan yang dibumbui dengan nuansa kejawen membuat saya trenyuh, membuat saya seakan menemukan jalan alternatif menuju kesadaran diri. Dalam pewayangan, tidak ada doktrinasi tentang suatu kebenaran. Bahkan kebenaran itu sendiripun tidak mutlak. Kebenaran itu subjektif. Seorang dewa (Batara Guru) dapat diprotes oleh seorang titah (Bimasena, Baladewa, Wisanggeni). Itu menandakan bahwa sesama ciptaan Tuhan, derajat kita sama. Kebenaran bukan hanya milik ciptaan Tuhan yang mengaku- paling mulia derajatnya. Saya sangat setuju dengan pendapat Sujiwo Tejo (budayawan), bahwa agama bukan hanya dipeluk, tapi disetubuhi. Karena jika hanya dipeluk, maka keyakinan kita terhadap agama itu masih dangkal, masih sempat tergoyahkan oleh kebimbangan dan ketidakpercayaan. Namun jika agama itu disetubuhi, maka sudah tidak ada pembatas antara saya dan agama. Tidak ada keraguan maupun kebimbangan sedikitpun akan agama yang disetubuhi itu. Merasuk sepenuh hati, sedalam nurani. Jadi, di usia ini, saya mulai membentuk persepsi bahwa agama yang saya idamkan adalah agama untuk semesta. Agama yang menguatkan saya ketika mengambil keputusan, agama yang tidak ada pemaksaan di dalamnya. Bahkan ketika saya hendak meninggalkan agama itu, maka akan ada kerinduan hebat yang akan membawa saya untuk kembali padanya. Semakin ingin dilepaskan, semakin tumbuh sesuatu di dalamnya. Itulah agama semesta. Agama yang tidak mempunyai syarat apapun bagi umatnya. Agama yang menggugah nurani untuk bangun. Untuk terampil menimbang mana yang harus saya lakukan dan yang tidak. Bukan hanya sekedar agama yang termaktub di kartu identitas.

Saya menyatakan bahwa masyarakat butuh Tuhan. Orang atheis pun sejatinya bertuhan. Tergantung seperti apa Tuhan mereka masing-masing. Tuhan dapat menjelma sebagai uang, wanita, emas, buku, maupun hal lain yang dituhankan oleh setiap individu, yang dipuja-puja, yang diharapkan baik alam sadar maupun alam bawah sadarnya. Namun pada satu titik kejenuhan tertentu, manusia akan kembali mencari Tuhan yang ia tinggalkan, Tuhan yang selama ini tidak ia ketahui dalam kesehariannya, Tuhan yang hakiki, Tuhan yang ingin ia sentuh namun tidak terjangkau, Tuhan yang dalam persepsinya maha mengetahui, maha lemah lembut, maha pengasih, maha penyayang. Ketidakberwujudan Tuhan di panca inderanya itulah yang membuat manusia justru merasa dekat dengan-Nya. Membuat manusia merasa menemukan sesuatu yang lain, yang tidak ia temukan di kesehariannya, yang menjadi tempat mengeluh, memasrahkan diri, maupun tempat di mana ia bisa menemukan cinta.

- Ulil -

Você também pode gostar