Você está na página 1de 5

Makalah Penunjang

274

PERILAKU HIDUP SEHAT MASYARAKAT DESA DI NUSA TENGGARA BARAT: Observasi di Tiga Kabupaten 1 Oleh Dr. Rosiady Husaenie Sayuti Program Studi Penyuluhan dan Kominikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mataram LATAR BELAKANG Persoalan kesehatan masih menjadi persoalan serius di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sampai dengan usianya yang menginjak setengah abad pada tahun 2008 ini. Data terakhir yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada bulan Oktober 2007 menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB berada pada urutan ke 32 dari 33 propinsi se Indonesia (BPS, 2006). Masalah sarana dan prasarana air bersih dan sanitasi lingkungan, khususnya masalah yang berkaitan dengan MCK dan pengelolaan sampah adalah salah satu persoalan yang ditengarai menjadi faktor penyebab rendahnya derajat kesehatan masyarakat di NTB (Krisnandar, 2007; Sayuti, 2005). Dari sisi ketersediaan MCK bagi penduduk, misalnya, ternyata bahwa baru sebagian saja dari rumah tangga di NTB yang memiliki fasilitas MCK pribadi di rumah masing-masing (BPS 2006). Ketiadaan fasilitas sanitasi dasar tersebut diduga bukan saja karena kemampuan masyarakat secara ekonomi untuk membangun fasilitas sendiri, namun karena tingkat kesadaran dan pengetahuan mereka akan arti pentingnya fasilitas tersebut yang relatif rendah (Ali, 2007; Becker, 1995; Sunanti, 2007). Untuk dapat mengetahui secara lebih mendalam mengenai pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang kesehatan tersebutlah maka penelitian ini dilaksanakan. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui secara lebih mendalam perilaku masyarakat di pedesaan dalam melaksanakan pola hidup sehat sehari-hari, khususnya yang terkait dengan sanitasi, sampah, air, dan hygiene. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di 20 Desa di 3 Kabupaten se NTB, yaitu 5 desa di Lombok Tengah, 7 desa di Kabupaten Sumbawa dan 8 desa di Kabupaten Bima. Pemilihan daerah/desa penelitian didasarkan pada daerah endemik dan diduga memiliki resiko tinggi terjangkit penyakit diare, disentri, malaria, ISPA dan penyakit kulit serta cacingan. Disamping itu, dari segi topografi yang menjadi pertimbangan adalah desa-desa yang termasuk desa dataran tinggi (pegunungan), pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan daerah pantai. Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan menerapkan teknik observasi atau pengamatan langsung di lapangan terhadap
1

Makalah ini disarikan dari Laporan Penelitian tentang hal yang sama dengan biaya dari UNICEF Jakarta (Kerjasama UNICEF, Bappeda NTB, dan P3P Unram, Th. 2007)

Seminar Nasional Pulang Kampus Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mataram di Mataram tanggal 23-24 Februari 2008

Makalah Penunjang

275

kondisi sanitasi, air dan perilaku masyarakat tentang pola hidup sehat. Dalam kaitan dengan ini, investigator dilengkapi dengan instrumen khusus yang menjadi acuan bagi peneliti dalam melaksanakan observasi lapangan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis tabulasi sederhana dengan menghitung prosentase dari berbagai indikator yang diamati. PRILAKU HIDUP SEHAT MASYARAKAT Sanitasi Lingkungan Menurut Kusyanto (2007), berdasarkan data dari BPS (2004) ternyata bahwa proporsi rumah tangga di perkotaan di Indonesia yang menggunakan septic tank dan cubluk adalah 80,45 persen dan di perdesaan sebesar 57,26 persen (tidak mempertimbangkan kualitas sarana) dengan tingkat kepemilikan jamban keluarga di perkotaan 73,13 persen dan di perdesaan 53,1 persen. Disamping itu, ternyata bahwa hanya 13,9 persen penduduk yang memiliki akses terhadap pengolah air limbah. Dengan kata lain, hanya sedikit sekali proporsi rumah tangga yang dapat mengolah sampah mereka. Sanitasi, menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai 'pemelihara kesehatan'. Menurut WHO, sanitasi lingkungan (environmental sanitation) adalah upaya pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia (Notoatmojo, 1997). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pemukiman masyarakat belum memenuhi standar sanitasi lingkungan yang sehat. Sanitasi dasar seperti jamban dan tempat pembuangan sampah masih jarang ditemukan di rumah-rumah warga. Hanya sebagian kecil rumah tangga yang berdasarkan pengamatan memiliki jamban sendiri (pribadi) yakni sekitar 39,5 %. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang tidak memiliki jamban pribadi yakni sebesar 60,5%. Keberadaan jamban-jamban pribadi ini juga kondisinya secara fisik tidak terawat dengan baik. Umumnya jamban-jamban yang dimiliki oleh warga dibangun berada disamping rumah tempat tinggal mereka. Bangunannya pun terbuat dari bahan-bahan yang sederhana seperti dinding dari seng atau daun kelapa yang telah dianyam, tidak dibuatkan atap dan banyak juga yang tidak memiliki pintu. Bangunannya yang tidak permanen ini membuat kondisi fisik jamban tersebut nampak tidak terpelihara dengan baik. Namun, kebersihan dalam jamban cukup terjaga. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, hanya sekitar 9,3 % jamban yang berbau. Kotoran atau sampah dijumpai pada sekitar 17% kloset atau jamban. Sebagian besar klosetnya selalu terbuka (95,5 %), hanya sekitar 4,5% jamban yang klosetnya tertutup. Selain itu, yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan jamban ini adalah keterbatasan ketersedian air. Hanya sekitar 34% jamban yang diamati yang memiliki persediaan air di bak air. Selebihnya tidak memiliki air atau airnya sangat sedikit/terbatas. Dari para pemilik jamban diperoleh informasi bahwa mereka mengambil air hanya ketika diperlukan saja.

Seminar Nasional Pulang Kampus Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mataram di Mataram tanggal 23-24 Februari 2008

Makalah Penunjang

276

Sampah Kebersihan lingkungan di pemukiman masyarakat masih sangat buruk. Kondisi ini disebabkan posisi pemukiman penduduk yang terletak di daerah pertanian, perkebunan dan pegunungan. Jika dilihat dari jenis sampah yang mengotori halaman rumah warga, sampah ini masuk kategori sampah alam. Sampah alam ini berasal dari daun-daun pepohonan yang ada di sekitar pemukiman warga, baik yang masih hijau maupun dedaunan yang sudah kering. Sampah-sampah tersebut sebagian dibakar oleh warga (21%), dan sebagian lagi ditimbun ataupun dibuang ke sungai (44,5%) yang ada tidak jauh dari pemukiman. Berdasarkan pengamatan, halaman rumah yang masih terlihat kotor terdapat sekitar 77,5%. Hanya sekitar 17,9 % halaman rumah warga yang terlihat bersih dan rapi. Kesan tidak bersih ini juga disebabkan karena genangan air yang ada pada sebagian halaman rumah. Genangan air ini terjadi karena tidak adanya saluran drainase yang berfungsi sebagai saluran pembuangan air limbah yang berasal dari rumah tangga. Di halaman rumah warga juga ditemukan sampah yang berasal dari hewan ternak, meskipun jumlahnya tergolong kecil hanya sekitar 23,9 %. Keberadaan kotoran hewan ternak yang masih ditemukan di halaman rumah warga di karenakan masyarakat masih ada yang membuat atau mendirikan kandang ternaknya di dekat rumahnya. Jumlah warga yang memiliki kandang ternak yang jaraknya kurang dari 10 meter dari rumahnya mencapai angka 71.8 %. Air Air dan sanitasi adalah hal utama di dalam proses pembangunan. Hal ini berkaitan erat dengan kesehatan, nutrisi, pendidikan, keluarga, peran wanita, dan lingkungan serta pengurangan kemiskinan (Kusyanto, 2007). Peningkatan akses terhadap air bersih dan sanitasi serta promosi higienitas akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, perbaikan kualitas air, dan sanitasi. Berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa sebagian besar masyarakat masih mengambil air di sumur yang ada di sekitar rumahnya. Ada juga masyarakat yang mengkonsumsi air PAM, air kemasan, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Masyarakat yang bisa menikmati air PAM adalah masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah pegunungan masih memanfaatkan sumber mata air atau sungai yang ada di sekitar rumahnya. Dari hasil pengamatan, sumber air minum yang berasal dari sumber yang terlindungi mencapai 20,1 %. Sedangkan sisanya, masyarakat mengambil air berasal dari sumber air yang tidak terlindungi. Hampir semua daerah yang berada di kabupaten Bima dan Sumbawa, masyarakatnya mengambil air dari sumur yang mereka buat di sekitar rumahnya. Keadaan air yang diambil dari sumber air tersebut, ada juga yang berbau dan berasa. Air yang berbau ini banyak ditemukan di desa-desa yang letaknya di pinggir pantai, meskipun jumlahnya atau prosentasenya relatif kecil yakni masing-masing 4,6% dan 3,5%.
Seminar Nasional Pulang Kampus Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mataram di Mataram tanggal 23-24 Februari 2008

Makalah Penunjang

277

Kontaminasi Sumber Air Minum Air minum yang terkontaminasi oleh kotoran, sampah atau limbah cair yang bersumber dari limbah rumah tangga atau letak sumur yang dekat dengan jamban belum mengkhawatirkan. Hal ini tidak terlepas dari masih rendahnya kepemilikan jamban pribadi. Dari hasil pengamatan, hanya 11,8% kemungkinan terjadinya kontaminasi air yang disebabkan oleh tinja yang berasal dari septik tank. Kemungkinan terkontaminasinya air oleh limbah cair juga sangat kecil. Industriindustri besar belum banyak berdiri di Provinsi NTB. Potensi pencemaran oleh limbah cair atau sampah hanya sekitar 5,5%. Justru pencemaran air yang disebabkan oleh kotoran hewan terutama bagi masyarakat yang mengambil air di sungai mencapai 16,5%. Hal ini disebabkan karena masyarakat dalam memelihara hewan ternaknya masih dibiarkan berkeliaran dan dimandikan juga di sungai. Hygiene Prilaku hidup bersih masyarakat bisa dilihat, salah satu indikatornya, dari kondisi dapurnya. Dapur sebagai tempat melakukan aktivitas memasak dan tempat menyimpanan peralatan memasak, air dan bahan-bahan makanan bisa mencerminkan prilaku masyarakat. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di pedesaan menyimpan air dan makanan (nasi, sayur-sayuran) di dapur. Tempat penyimpanan air menggunakan tempayan yang terbuat dari tanah. Masyarakat masih banyak menyimpan airnya ditempat yang terbuka. Data menunjukkan sekitar 62.5%, masyarakat menyimpan airnya di tempat terbuka. Kondisi ini berbeda dengan sikap masyarakat terhadap makanan yang siap untuk dimakan. Mereka umumnya (85,7%) menutup makanan seperti nasi, sayur atau bahan makanan lainnya. KESIMPULAN Dari hasil observasi seperti diuraikan di depan dapat disimpulkan bahwa kepemilikan jamban pribadi pada masyarakat pedesaan did aerah penelitian masih relatif rendah. Kondisi jamban-jamban pribadi tersebut tidak terawat dengan baik. Selain itu, sampah-sampah yang berserakan dihalaman rumah warga berasal dari sampah alami dan belum belum dikelola dengan baik untuk tujuan ekonomis, seperti pembuatan pupuk organik, tetapi dimusnahkan dengan cara dibakar dan ditimbun. Sebagian besar masyarakat mengambil air untuk memenuhi kebutuhan air minum dan kebutuhan sehari-harinya bersumber dari sumur terlindungi. Selain bersumber dari air sumur terlindungi, masyarakat juga menggunakan air dari PAM, sumur tidak terlindungi, air kemasan dan beberapa sumber air lainnya. Jika mencermati data yang diperoleh terkait bagaimana masyarakat menjalani perilaku hidup sehat, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum masyarakat di desadesa penelitian sudah dapat memahami, memiliki pengetahuan untuk itu, dan bahkan pada tingkat tertentu mulai menerapkan perilaku hidup sehat dalam kehidupan sehari-harinya, meskipun belum secara keseluruhan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu masih diperlukan intervensi pendidikan dan pembiasaan hidup sehat secara
Seminar Nasional Pulang Kampus Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mataram di Mataram tanggal 23-24 Februari 2008

Makalah Penunjang

278

berkesinambungan dengan menggunakan berbagai pola pendekatan dan juga perlu penambahan sarana atau fasilitas pendukung yang memadai. Faktor yang paling banyak mempengaruhi program kesehatan dan sanitasi di sebagian besar tempat di Lombok Tengah, Sumbawa dan Bima adalah kemiskinan dan kebiasaan masyarakat. Kedua faktor ini sangat besar pengaruhnya dalam membentuk budaya sehat yang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk mengentaskan kemiskinan hendaknya dilaksanakan secara silmultan dengan upayaupaya peningkatan kesehatan masyarakat. Termasuk di dalamnya bagaimana agar budaya baru, pola hidup sehat, dapat tercipta pada masyarakat, termasuk masyarakat miskin di desa-desa REFERENSI Becker MH, Maiman LA (1995). Model-model perilaku kesehatan. Dalam: Muzaham F, Penyunting. Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. Jakarta:UI-Press. Dadan Krisnandar (2007): Mengelola Sampah Agar Tidak Masih Jadi Sampah. http://bpksdm.pu.go.id/buletin/. Edisi III 2005. Selasa, 30 Januari 2007 Kusyanto, Bambang Agus, 2007. Program Katurnagari dan Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A). Tulisan di Harian Pikiran Rakyat, Bandung, Kamis, 08 Maret 2007 Muhammad Ali, (2007): Pengetahuan, Sikap Dan Prilaku Ibu Bekerja Dan Ibu Tidak Bekerja Tentang Imunisasi; penerbitan berkala bagian Ilmu Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Notoatmodjo S. (1997) Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sayuti, Rosiady H. (2005): Village Autonomy: Theoretical and Historical Perspective, dalam Mitsuda and Sayuti (Eds): Sustainable Lombok From Rich Nature and Rich People in 21st Century. Sunanti Z. Soejoeti (2007). Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

Seminar Nasional Pulang Kampus Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mataram di Mataram tanggal 23-24 Februari 2008

Você também pode gostar