Você está na página 1de 10

KRITIK SOSIAL DALAM NOVEL SANG PENCERAH DAN POTENSI UNTUK BAHAN AJAR BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER SISWA

SMP Reza Fajri, Roekhan Universitas Negeri Malang E-mail: Ichreza@gmail.com Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) kritik pengarang terhadap kemiskinan, (2) kritik pengarang terhadap prasangka sosial, dan (3) potensi bahan ajar berbasis pendidikan karakter untuk siswa SMP. Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan analisis dokumen dengan metode telaah teks diperoleh data berupa potongan kalimat dialog, monolog, dan narasi. Hasil penelitian adalah: (1) kritik sosial dalam novel Sang Pencerah merefleksikan permasalahan sosial, dan (2) novel Sang Pencerah memiliki potensi sebagai bahan ajar sastra berbasis pendidikan karakter. Kata kunci: kritik sosial, bahan ajar sastra, pendidikan karakter, pembelajaran sastra. Abstract : This research is describe: (1) author criticism to poverty, (2) author criticism to social prejudice, and (3) potency of material teaching based on characterised education for Junior High School student. This research use qualitative descriptive method. Data gathered by analysis document with method text studies acquired data as fragment dialogue, monologue, and narration sentence.. Observational result is: (1) social criticisms in novel Sang Pencerah reflect about problem social, and (2) novel Sang Pencerah has potencies as material teach of literature based on character education. Key word : social criticism, material teaches of literature, character education, literature learning. Karya sastra menyajikan gambaran kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Relevansi atau keterkaitan antara sosiologi dan sastra terletak pada aspek kemasyarakatan, latar historis munculnya karya sastra. Ritzer mengatakan bahwa fiksi sastra tidak mengubah fakta sosial (dalam Faruk, 1999:2). Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, Pertama, karya sastra mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah. Ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

Pembelajaran sastra termasuk pembelajaran yang sudah tua umurnya dan hingga sekarang tetap bertahan dalam kurikulum sekolah. Pengajaran sastra memiliki peranan dalam pencapaian berbagai aspek dari tujuan pendidikan dan pembelajaran, seperti aspek pendidikan susila, sosial, perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan (Rusyana, 1982:6). Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat maka pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat (Rahmanto, 1996:15). Melalui hal tersebut, sastra memberi pengaruh terhadap pembaca. Sastra membentuk pola pikiran dan respons pembaca terhadap apa yang dibacanya dengan aktivitas kesehariannya yang saling berkaitan. Penelitian yang sejenis dengan penelitian penulis telah dilakukan oleh Zainul Fuadi (2009) dengan judul Kritik Sosial dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo yang mengungkap maraknya praktek korupsi pejabat, pelanggaran hak rakyat, penyalahgunaan kekuasaan, tindak diskriminatif terhadap kerabat eks tapol G30S. Dari dasar pemikiran tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk meneliti Kritik sosial dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral, karena penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Penelitian tersebut memiliki perbedaan yang cukup jelas dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini lebih menitikberatkan kritik terhadap kemiskinan, kritik terhadap prasangka sosial, dan potensi bahan ajar sastra berbasis pendidikan karakter. Sedangkan pada penelitian sebelumnya lebih menekanka pada kritik terhadap kebijakan pemerintah, kritik terhadap kebijakan penguasa, kritik terhadap kebijakan penegak hukum, kritik terhadap kebijakan pimpinan militer, dan kritik terhadap kehidupan rakyat jelata saja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kritik sosial dalam novel Sang Pencerah dan potensi bahan ajar sastra berbasis pendidikan karakter untuk siswa SMP. Lebih khusus lagi tujuan penelitian ini adalah mendekripsikan: (1) kritik pengarang terhadap kemiskinan yang terdapat dalam novel Sang Pencerah, (2) kritik pengarang terhadap prasangka sosial yang terdapat dalam novel Sang Pencerah, dan (3) potensi novel Sang Pencerah sebagai bahan ajar berbasis pendidikan karakter untuk siswa SMP. METODE Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Berdasarkan fokus penelitian, maka penelitian ini tergolong sebagai penelitian deskriptif interpretatif. Interpretatif dalam arti memberikan makna terhadap karya sastra. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi karya sastra untuk mendeskripsikan kritik sosial yang terdapat dalam novel Sang Pencerah dan potensi bahan ajar berbasis pendidikan karakter dalam novel tersebut berdasarkan asumsi bahwa dalam novel tersebut terdapat kritik terhadap kehidupan sosial dan potensi bahan ajar sastra. Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti bertindak sebagai instrumen utama. Data dalam penelitian ini terdiri atas paparan bahasa berupa potongan kalimat dialog, monolog, dan narasi dalam novel Sang Pencerah yang merefleksikan kritik sosial terhadap kemiskinan, prasangka sosial dan potensi bahan ajar berbasis pendidikan karakter. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral yang diterbitkan oleh penerbit Mizan Pustaka pada Juni 2010 dengan tebal buku 462 halaman.

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi dokumentasi. Dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki teks tertulis berupa novel sehingga diperoleh kutipan kalimat monolog, dialog, dan narasi. Instrumen pendukung dalam penelitian ini berupa tabel indikator yang memaparkan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Indikator tersebut dapat digunakan untuk membantu menguji dan menafsirkan data yang diperoleh. Ada beberapa bentuk instrumen pendukung yang digunakan untuk mendapatkan data sebagai penjawab rumusan masalah. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui tabel spesifikasi instrumen. Pada saat membuat instrumen identifikasi data, peneliti membutuhkan panduan untuk mempermudah mengidentifikasi data dan tematik yang di teliti. Teknik yang digunakan dalam menganalisis data dengan menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan data dengan menganalisis dan menelaah paparan bahasa berupa dialog, monolog dan narasi dalam novel Sang Pencerah mengenai kritik sosial dan potensi bahan ajar berbasis pendidikan karakter. Pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik trianggulasi. Data yang diperoleh dalam penelitian harus absah. Oleh karena itu, memerlukan teknik pengecekan keabsahan berupa ketekunan pengamatan. HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) terdapat tujuh satuan narasi, monolog, dan dialog tertulis yang mewakili deskripsi kritik pengarang terhadap kemiskinan, (2) terdapat dua puluh tiga satuan narasi, monolog, dan dialog tertulis yang mewakili deskripsi kritik pengarang terhadap prasangka sosial, dan (3) terdapat sebelas satuan narasi, monolog, dan dialog tertulis yang mewakili deskripsi potensi bahan ajar sastra berbasis pendidikan karakter siswa SMP. Kritik Pengarang terhadap Kemiskinan Deskripsi ini membahas tentang kritik pengarang terhadap realitas kemiskinan di masyarakat yang terdiri dari (a) kritik pengarang terhadap realitas kemiskinan, (b) kritik pengarang terhadap praktik rentenir, dan (c) kritik pengarang terhadap pelaksanaan ibadah yang dipandang memberatkan masyarakat miskin. Permasalahan tersebut diamati dari peristiwa peristiwa sosial yang terjadi. Kemiskinan di Indonesia sudah bermula sejak zaman sebelum kolonial Belanda masuk ke Indonesia. Faktor penyebab kemiskinan di Indonesia menjadi sebuah hal yang complicated akibat begitu banyaknya masalah dan semrawutnya benang-benang yang merangkai kemiskinan. Akar kemiskinan bangsa sudah dimulai sejak zaman Belanda dan kemiskinan bersifat mewabah dan turuntemurun, banyak masyarakat kala itu yang sampai menggadaikan keimanannya hanya demi menghapus sebuah kemiskinan. Dalam sistem hukum positif Indonesia, perjanjian pinjam-meminjam yang disertai bunga merupakan suatu bentuk perjanjian yang lahir berdasarkan atas kepakatan antara pemilik uang dan pihak peminjam memang seringkali terjadi tanpa kita sadari. riba (rente) dalam hukum Islam adalah usaha orang kaya menambahkan kekayaannya dari orang miskin dan di semua agama, sangat melarang keras perbuatan ini, namun dalam praktiknya masih seringkali terjadi di dalam masyarakat tanpa kita sadari.

Dalam masyarakat Islam kita ada suatu tradisi yang sangat melekat terutama bagi mereka-mereka yang berkecukupan harta benda. Yaitu tradisi yasinan dengan menyuguhkan berbagai makanan oleh keluarga orang yang meninggal untuk orang yang hadir dalam ritual tersebut pasca meninggalnya seseorang yang biasanya bisa sampai 100 hari. Namun tradisi tersebut begitu memberatkan di mata orang yang tidak mampu. tradisi yang dianggap sebagai ritual ibadah belum tentu bisa dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat miskin. Oleh sebab itu harus ada pemisahan antara tradisi dan ibadah sehingga tidak terlalu memberatkan bagi kalangan yang tidak mampu. Kritik Pengarang terhadap Prasangka Sosial Kritik pengarang terhadap prasangka sosial dalam novel Sang Pencerah ini membahas (a) kritik pengarang terhadap diskiriminasi pemerintah kolonial terhadap masyarakat jajahan, (b) kritik pengarang terhadap tradisi yang keliru, (c) kritik masyarakat terhadap penistaan agama dan keyakinan, dan (d) kritik pengarang terhadap kekurangmampuan dalam beradaptasi. Permasalahan tersebut diamati dari peristiwa peristiwa sosial yang terjadi. Pemaparan tentang kritik tersebut diperoleh dari dialog antar tokoh dalam novel, monolog, dan narasi yang dituliskan pengarang. Masyarakat Indonesia pada masa Kolonial Eropa dibedakan dalam beberapa kelas sosial. Pemerintah kolonial Belanda membagi golongan sosial di Indonesia berdasarkan kepada hukum dan keturunan atau status sosial. Berdasarkan golongan sosial yang telah dibagi, orang-orang Eropa dianggap sebagai ras tertinggi, kedua orang-orang Indo (turunan pribumi dan Eropa), ketiga orang-orang keturunan Timur Asing (Cina), dan terakhir orang-orang pribumi (Indonesia). Posisi Indonesia yang berada pada urutan paling bawah masih juga dibedakan. Diskriminasi bisa terjadi di semua lini baik itu status sosial, ras maupun golongan. Diskriminasi yang diceritakan dalam novel ini termasuk diskriminasi tidak langsung dilaksanakan melalui penciptaan kebijakan-kebijakan yang menghalangi kelompok tertentu untuk berhubungan secara bebas dengan kelompok lainnya yang mana aturan dan prosedur yang mereka jalani mengandung bias diskriminasi yang tidak tampak dan mengakibatkan kerugian sistematis bagi komunitas atau kelompok masyarakat yang didiskriminasi pemerintah kolonial cenderung melihat Islam sebagai ancaman langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini. Setiap aktivitas yang berhubungan dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap sebagai langkah untuk melawan penguasa, maka dari itu diciptakan sebuah regulasi yang diskiriminasi bagi umat Islam. Menghadapi masalah praktik-praktik ibadah yang bercampur dengan tradisi masyarakat setempat, Islam menggunakan metode yang selalu mengedepankan berbuat amar makruf, nahi mungkar mengajak dengan bijaksana untuk mencari solusi dan menghindari tradisi yang bathil. Namun tindakan dahlan tersebut masih mendapatkan tekanan dari sejumlah pihak. tidak semua pihak menganggap tradisi yang memberatkan masyarakat itu keliru, dikarenakan tradisi yang bermula dari kebiasaan tersebut terlanjur mengakar kuat selama ratusan tahun dan berkaitan erat dengan pola pikir masyarakat saat itu. Memahami situasi di Indonesia bukanlah hal mudah, Indonesia memiliki keaneka ragaman sejarah, budaya, suku, dan agama yang begitu komplek.

Problematika masyarakat bisa diamati, tetapi tidak bisa diperlakukan sebagaimana obyek yang mati. Kasus-kasus yang terjadi beberapa tahun ini seperti aliran-aliran yang atas nama Islam yang berujung pada perusakan bangunan ibadah. perusakan tempat ibadah adalah salah satu bentuk dari penistaan agama. Agama dan perbedaan keyakinan seringkali disebut sebagai biang keladi dari konflik dan permusuhan, namun demikian penistaan agama tidak akan terjadi jika kedua belah pihak yang saling bermusuhan dapat menahan diri. Dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak dapat begitu saja untuk melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya, karena individu tersebut mempunyai lingkungan diluar dirinya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Dan lingkungan ini mempunyai aturan dan norma-norma yang membatasi tingkah laku individu tersebut. Penyesuaian diri terhadap lingkungan sering disebut dengan istilah adaptasi sosial. Adaptasi sangat diperlukan dalam masyarakat untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk dalam melangsungkan kehidupan. Potensi Bahan Ajar Sastra Berbasis Pendidikan Karakter Berdasarkan paparan data di atas, terdapat temuan penelitian yang sesuai dengan aspek yang dikaji dan memiliki sebagai bahan ajar sastra berbasis pendidikan karakter. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa novel Sang Pencerah mengandung nilai-nilai pendidikan karakter. Data-data tersebut ditemukan sebanyak sebelas data tertulis berupa monolog, dialog, dan narasi yang terdiri atas empat data tentang karakter kepedulian sosial, dua data tentang karakter religius, tiga data tentang karakter demokratis, dua data tentang karakter toleransi. PEMBAHASAN Kritik Pengarang terhadap Kemiskinan Dalam A Short Review of the Historical Critique of Usury (Visser, 1998 : 175 189) dijelaskan bahwa konsep riba (rente) merujuk pada praktek pengisian kepentingan finansial yang sangat tinggi melebihi nilai pokok pinjaman. Jangka waktu pengembalian pinjamannya pun relatif pendek. Hanya dalam hitungan beberapa minggu. Praktek rentenir tumbuh subur dan menjerat masyarakat miskin sehingga mengakibatkan masyarakat tergerus pinjaman berbunga tinggi. Orang yang terlanjur miskin tidak punya pilihan lain untuk pembiayaan mereka selain meminjam uang dari rentenir, hal itu tidak bisa dicegah karena mereka selalu menutup hutang dengan hutang. Dalam kondisi susah dan miskin, seseorang dapat dengan mudah ditekan oleh orang lain untuk berbagai kepentingan. Praktik tersebut jelas bertentangan dengan jelas bertentangan dengan BW (Burgerlijk Wetboek) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sampai saat ini masih berlaku tentang perjanjian pinjam-meminjam uang yakni Pasal 1754 KUH Perdata yang berbunyi pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (Rendusara:2012).

Realitas kemiskinan lainnya yang dibahas dalam novel sang pencerah adalah kemiskinan yang ditimbulkan akibat tanam paksa. Masa cultuurstelsel (Tanam paksa) merupakan masa yang paling eksploitatif dalam periode sejarah Indonesia. Masa eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah kolonial ini adalah imbas dari peperangan-peperangan yang terjadi di Jawa dan luar Jawa, serta kebangkrutan VOC tentunya, sehingga sebagai solusi diberlakukanlah kebijakan cultuurstelsel di Nusantara (Wikipedia:2012). Faktor utama diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah adanya kesulitan keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang Diponegoro merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden (Simbolon, 2006: 123). Akibat sistem tanam paksa ini bagi rakyat Indonesia, tenaga rakyat diperas dan tidak mendapatkan imbalan yang setimpal. Rakyat mengalami berbagai penderitaan dan menderita berbagai penyakit. Dampak lain dari penerapan kebijakan cultuurstelsel ini adalah bertambahnya angka kemiskinan di Nusantara (khususnya di Jawa). Hal ini sebagai akibat wabah penyakit dan kelaparan yang melanda Jawa sebagai hasil dari tiadanya penanaman komoditas pangan (Sulistyo:2012). Kritik Pengarang terhadap Prasangka Sosial Prasangka adalah bentuk sikap negatif terhadap anggota kelompok tertentu yang dapat menimbulkan perilaku diskriminasi hingga kekerasan. Penilaian ini didasarkan hanya pada keanggotaan seseorang (individu) dalam kelompok bukan karena karakteristik individu maupun perilaku aktualnya. Fulthoni (2009:8) mendefinisikan diskriminasi adalah sebagai pembedaan perlakuan. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorial, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Menurut Doob diskriminasi merupakan perilaku yang ditujukan untuk mencegah suatu kelompok, atau membatasi kelompok lain yang berusaha memiliki atau mendapatkan sumber daya ( dalam Liliweri, 2005:218). Diskriminasi dalam novel Sang Pencerah jelas bertentangan dengan Pasal 28 I Ayat 2 UUD NKRI 1945 yang telah menegaskan bahwa Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu (Budhivensius:2010). Sementara itu Pasal 3 ayat 1 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM Telah menegaskan bahwa Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan (Kominfo:2012). Bentuk prasangka sosial lainnya dalam novel Sang Pencerah adalah penindasan terhadap kaum pribumi. Penindasan ini dilakukan oleh kolonial Belanda maupun kaum elit priyayi. Dalam konteks Indonesia, ketika bangsa ini dijajah oleh kolonialis Belanda, bangsa pribumi adalah bangsa yang paling sengsara dan tertindas. Bangsa pribumi selalu dijadikan obyek eksploitasi kaum penjajah (Wibiono: 2007).

Prasangka adalah sebuah sikap terhadap anggota kelompok sosial tertentu hanya berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (biasanya dengan cara negatif) semata karena mereka anggota kelompok tersebut (Robert, 2004:213). Sebagai sebuah sikap, prasangka juga melibatkan prasangka negatif atau emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya dengan memikirkan anggota kelompok yang tidak mereka sukai (Robert, 2004:214). Prasangka merupakan evaluasi kelompok atau seseorang yang mendasarkan diri pada keanggotaan seseorang, prasangka merupakan evaluasi negatif terhadap outgroup (Walgito, 2003:95). Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan , ras, atau kebudayaan yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial yang terdiri dari attitude-attitude social yang negatif terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Awal mulanya prasangka hanya berupa sikap-sikap perasaan negatif tetapi lambat laun akan dinyatakan dalam bentuk tindakan yang diskriminatif terhadap orang yang diprasangkai itu tanpa alasan yang objektif pada orang yang dikenai tindakan-tindakan yang diskriminatif (Gerungan, 2002:166). Prasangka sangat berkaitan dengan persepsi seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Prasangka terhadap anggota suatu kelompok ternyata sangat merusak. Dari prasangka sosial tersebut keduanya sama-sama melahirkan tindakan-tindakan diskriminatif terhadap masing-masing pihak yang diprasangkai (Gerungan, 2002:168). Adaptasi sosial merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dalam lingkungan sosial. Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan. Penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, jadi dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan pribadi (Gerungan,2002). Potensi Bahan Ajar Sastra Berbasis Pendidikan Karakter Untuk Siswa SMP Bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan, keterampilan, sikap atau nilai (Haryati, 2007:9). Prinsip dasar dalam pemilihan bahan pembelajaran adalah bahan pembelajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya pada suatu tahapan pengajaran tertentu (Rahmanto, 1993:26). Pendidikan karakter mengemban dua tugas, yaitu mengembangkan kemampuan intelektual dan mengembangkan kemampuan moral. Pengembangan kemampuan intelektual berorientasi pada terciptanya siswa yang memiliki kecerdassan dan ketajaman intelektual, sedangkan pengembangan kemampuan moral berorientasi pada terciptanya siswa yang memiliki integritas diri dan karakter kuat (Koesoema, 2007:118). Pada pembahasan ini dijelaskan potensi bahan ajar sastra berbasis pendidikan karakter dalam novel Sang Pencerah dikaji menurut tema serta penokohannya. Sebuah tema dan penokohan dapat menjadi inspirasi dalam membentuk pribadi yang berkarakter, artinya, dalam diri para tokoh dalam sebuah novel akan mempunyai karakter atau watak selayaknya dalam kehidupan nyata. Dalam pembahasan ini disajikan beberapa contoh kutipan novel Sang Pencerah

yang sekiranya mampu dijadikan pedoman ataupun panutan. Dalam pembahasan ini dijelaskan novel Sang Pencerah yang memiliki sifat dan watak sekaligus tema yang sangat kuat untuk membentuk kepribadian yang selama ini dibutuhkan siswa. Peduli Sosial Peduli sosial merupakan suatu sikap dan tindakan yang menunjukkan rasa empati terhadap penderitaan orang lain dan selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Dalam novel Sang Pencerah terdapat empat kutipan yang menunjukkan sikap peduli sosial. Toleransi Toleransi adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang mempengaruhinya, baik kondisi ruang, waktu, prasangka, keinginan, dan kepentingan yang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya. Toleransi merupakan kemampuan seseorang untuk menghormati sifat dasar, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh orang lain. Karakter toleransi dapat ditunjukkan dengan sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya, menghargai adanya perbedaan pendapat, bergaul dan bersahabat dengan orang lain tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, dan status sosial. Dalam novel Sang Pencerah terdapat dua kutipan yang menunjukkan sikap toleransi. Religius Religius merupakan sikap dan perilaku yang menunjukkan kepatuhan dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. Tanda yang paling tampak bagi seseorang yang beragama dengan baik adalah mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu berupa hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya. Dalam novel Sang Pencerah terdapat dua kutipan yang menunjukkan sikap religius Demokratis Di antara nilai-nilai demokratis yang dibawa oleh Islam adalah syura (musyawarah). Makna syura adalah bahwa hendaknya seseorang tidak menyendiri pendapatnya dan dalam persoalan-persoalan yang memerlukan kebersamaan fikiran dengan orang lain. Karena pendapat dua orang atau lebih dalam masyarakat itu dianggap lebih mendekati kebenaran daripada pendapat seorang saja. Ini karena dalam musyawarah dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang memiliki sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan pribadi atau golongan, dan dilaksanakan sewajarnya agar disepakati bersama. Memang, apabila pembicaraan berlarut tanpa menemukan mufakat, dan tidak ada jalan lain kecuali memilih pandangan mayoritas, saat itu dapat dikatakan bahwa kedua pandangan masing-masing baik, tetapi yang satu jauh lebih baik. Di dalam kaidah agama diajarkan apabila terdapat dua pilihan yang sama-sama baik, maka dipilih yang lebih banyak sisi baiknya, dan yang paling sedikit keburukannya. Musyawarah adalah cara efektif melahirkan kemenangan bersama, cara paling bijak untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang tepat. Dalam

novel ini pun banyak terdapat anjuran untuk melaksanakan musyawarah. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam musyawarah adalah sebagai sarana mencari solusi terbaik. Musyawarah harus membawa manfaat dan menjadi solusi terbaik untuk bersama. Novel Sang Pencerah merupakan contoh kecil dari ke sekian banyak novel lain yang bisa dikaji tentang penokohan serta tema yang bisa diambil manfaatnya untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Namun, yang sangat urgent adalah pendidikan karakter yang sekarang ini belum dipahami benar oleh siswa-siswa, jika mereka menyelaraskan kedua unsur tersebut dan mengambil contohnya melalui penokohan dan tema dalam novel, sehingga siswa tersebut akan memperoleh banyak pelajaran tentang penokohan dan tema yang ada di dalamnya. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa novel Sang Pencerah memiliki potensi sebagai bahan ajar sastra berbasis pendidikan karakter untuk siswa SMP. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan kritik sosial dalam novel Sang Pencerah yang telah diuraikan di atas dapat diambil simpulan sebagai berikut. (1) Kritik sosial dalam novel Sang Pencerah merefleksikan permasalahan sosial dengan deskripsi kritik pengarang terhadap kemiskinan, dan kritik pengarang terhadap prasangka sosial, (2) dalam novel Sang Pencerah terdapat kritik pengarang terhadap kemiskinan terdiri dari (a) kritik sosial terhadap praktek rentenir, dan (b) kemiskinan akibat penjajahan dan tanam paksa. Sedangkan kritik pengarang terhadap prasangka sosial terdiri atas: (a) kritik sosial terhadap perilaku diskriminasi, (b) kritik sosial terhadap bentuk penindasan, dan (c) kritik sosial terhadap prasangka masyarakat, dan (3) novel Sang Pencerah memiliki potensi sebagai bahan ajar sastra berbasis pendidikan karakter khususnya untuk menanamkan sikap peduli sosial, religius, demokratis dan toleransi untuk siswa SMP. Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka saran dan rekomendasi dirumuskan sebagai berikut. Penelitian mengenai kritik sosial ini dapat lebih dikembangkan sebagai dasar kajian mengingat perkembangan karya sastra di Indonesia yang cukup pesat dan membanggakan, sehingga referensi terhadap wawasan keilmuan dalam memahami karya sastra pun semakin bertambah. DAFTAR RUJUKAN Budhivensius. 2010. Penjelasan dari Isi UUD 1945 (Online), (http://budhivensius.blogspot.com/2010/02/penjelasan-dari-isi-uud-1945pasal-28.html) diakses tanggal 20/11/2012. Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fuadi, Z. 2009. Kritik Sosial dalam Novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Sastra UM.

Fulthoni A.M., Aminah.S., Sihombing U.P., Arianingtyas A. & Yasin, M. 2009. Jaminan Hukum dan HAM Kebebasan Beragama. Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center (ILRC). Gerungan, W.A. 2002. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama. Haryati, M. 2007. Model dan Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press. Koesoema, D. 2007. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:Grasindo. Liliwery, A. 2005. Prasangka & Konflik. Yogyakarta: LKIS. Simbolon, P.T. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Grasindo. Rahmanto, B. 1996. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Rendusara, R. 2012. Rentenir dan Lemahnya Hukum Perbankan Indonesia. (Online), (http://www.hukum.kompasiana.com/2012/07/20/rentenir-danlemahnya-hukum-perbankan-indonesia-472787.html), diakses pada tanggal 20 November 2012. Robert, A.B. & Donn B. 2004. Psikologi Sosial Edisi kesepuluh Jilid 1. Jakarta : Erlangga. Rusyana, Y. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. Sulistyo, A. 2012. Sistem Tanam Paksa. (Online), (www.sejarah.kompasiana.com/2012/04/01/sistem-tanam-paksa), diakses pada tanggal 20 November 2012. UU No 39 Tentang HAM. Komisi Informasi Republik Indonesia. (Online), (http://www.komisiinformasi.go.id/assets/data/arsip/UU_Nomor_39_tent ang_HAM.pdf), diakses pada tanggal 20 November 2012. Visser., Wayne, A.M. & Alastair, M. 1998. A Short Review of the Historical Critique of Usury. London: Routledge. Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Andi. Wibiono, B. 2007. Kolonialisme Cultural Studies dan Perubahan Sosial. (Online), (http://w3b3.wordpress.com/2007/12/26/kolonialisme-cultural-studiesdan-perubahan-sosial/), diakses pada tanggal 20 November 2012. Wikipedia. Tanam Paksa. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_Paksa), diakses pada tanggal 20 November 2012.

Você também pode gostar