Você está na página 1de 23

SINDROM NEFROTIK

I.

Pendahuluan Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang

ditandai oleh proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia, hiperkoagulabilitas, hipertesi dan kerentanan terhadap infeksi. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan, proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum yang rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Protein juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipidiuria, gangguan keseibangan nitrogen, hiperkoagulobilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respo yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian yang lain dapat berkembang menjadi kronik.
1,2

Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), yang merupakan SN primer umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Sedangkan SN sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes melitus. 3,4

II. Patofisiologi Mekanisme patofisiologi sindrom nefrotik didasarkan pada gejala yang ditimbulkan seperti : a. Proteinuria Dalam keadaan normal, membran basal glomerulus mempunyai

mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindrom nefrotik, kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu. Hilangnya muatan negatif yang

biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.3,5 Proteinuria sendiri dibedakan menjadi selektif dan non-selektif

berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul-molekul kecil seperti albumin, sedangkan pada proteinuria non-selektif yang lolos keluar merupakan protein dengan molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria sendiri ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus.2,6,7 b. Hipoalbuminemia Pada sindrom nefrotik terjadi kehilangan albumin yang banyak melalui urin dan peningkatan katabolisme dari albumin yang difiltrasi di tubulus proksimal. Hipoalbuminemia bisa memperlihatkan pita-pita putih melintang pada kuku (Muerchkes Band). Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal, mengaktifkan sistem renin angiotensin aldosteron, yang merangsang absorbsi natrium di tubulus distal. Rasio sintesis albumin di hati meningkat untuk mengatasi hal ini namun tidak mencapai level yang cukup untuk mencegah hipoalbuminemia. Pada status SN, protein yang hilang biasanya melebihi 2 gram per 24 jam dan terutama terdiri dari albumin. Umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gr/dl.2,5 Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.4 c. Edema Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan

interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadilah hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas system renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya amempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial sehingga edema akan semakin berlanjut.1,3,8 Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga terjadi retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstrseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN.1 d. Hipertensi Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik. Hal ini berhubungan dengan RAA sistem yang diproses dalam ginjal, yang merupakan suatu sistem enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalam hal naiknya tekanan darah, pengaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.2 e. Hiperlipidemia Disebut hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100ml. akhirakhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang meningkat tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah kolesterol, low density lipoprotein (LDL), very low density lipoprotein (VLDL), dan trigliserida. Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat kelainan pada homeostasis lipoprotein yang terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis dan penurunan katabolisme. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis

albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal, VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin.7 f. Hiperkoagulabilitas Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).2 g. Kerentanan terhadap infeksi Penurunan kadar imunoglobulin IgG dan IgA karena kehilangan lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.2,7

III. Etiologi Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik. 1 1. Sindrom nefrotik primer Berdasarkan kelainan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan mikroskop biasa dan mikroskop electron. Churg membagi dalam 4 golongan yaitu : Kelainan minimal, Nefropati membranosa, Glumerulonefritis proliferatif, Glumerulosklerosis fokal segmental.1,4 Sindrom nefrotik paling sering disebabkan oleh glomerulonefritis, yang terdiri glomerulonefritis lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal (GSF), glomerulonefritis membranosa (GNMN), glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP), glomerulonefritis proliferatif lain.1,4

2. Sindrom nefrotik sekunder Disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : akibat infeksi (HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, Malaria, Skistosomiasis, tuberkulosis, lepra) , keganasan (adenokarsinoma paru, limfoma hodgkin, mieloma multiple, karsinoma ginjal) , penyakit jaringan penghubung (lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid) , efek obat dan toksin (NSAID, preparat emas, penisilinamin, probensid, air raksa, captopril, herion) , lain lain (diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, refluks vesikoureter).1,4

IV. MANIFESTASI KLINIK 1. Anamnesis Dari anamnesis dapat ditanyakan adanya bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh, peningkatan berat badan, dan rasa penuh di perut hingga dapat menyebabkan sesak. Tanyakan juga mengenai riwayat buang air kecil, dalam 24 jam sudah berapa yang keluar, adakah oligouria. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan. Kemudian ditanyakan penyakit yang mengarah ke penyebab penyakit ginjal seperti hipertensi.2 2. Pemeriksaan fisik Dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata (puffy eyelids), tungkai atau adanya ascites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang ditemukan., tanda-tanda hipertensi, dan striae pada kulit akibat edema.2

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada urinalisis ditemukan masif proteinuria ( 3+ sampai 4+ ), glukosuria, sel-sel granular, sel hialin, dan sel-sel lemak. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati hematuria mikroskopik ( >20 eritrosit / LPB ) bisa dicurigai adanya lesi glomerular ( misal : sklerosis glomerulus fokal ). Dari makroskopis, urin tampak berbuih. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemi ( < 3 g/dl), hiperkolesterolemia lebih dari 200 mg/dl, selain itu juga dilakukan pemeriksaan darah rutin.2,4

Jika rasio protein urin terhadap kreatinin urin lebih dari 2, pasien dianggap menderita sindrom nefrotik. Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer, untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.2

VI. PENATALAKSANAAN Sindrom nefrotik diobati dengan obat kortikosteroid dan imunosupresif yang langsung berhubungan dengan asal lesi, makanan tinggi protein dan garam yang dibatasi, diuretik, dan membatasi aktivitas selama fase akut. Jika memakai diuretik, harus digunakan dengan hati-hati karena diuresis yang berlebihan akan menyebabkan penurunan volume ECF dan meningkatkan risiko trombosis dan hipoperfusi ginjal. Pemberian inhibitor ACE menjadi pilihan lini pertama untuk mengurangi protenuria dan penanganan hipertesi secara agresif untuk memperlambat proses kerusakan ginjal.9,10 A. Diet Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolism protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBBideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.(3) Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang diasinkan, hanya diperlukan selama anak menderita edema. Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari. Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari.3, 11 Pengukuran berat badan dilakukan setiap hari untuk mengevaluasi edema dan keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.Bila

perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous.11 B. Farmakologi 1. Terapi penyebab SN sekunder Pada SN sekunder, hal yang harus kita tangani adalah penyebab utamanya, diharapkan setelah penyebab dasar ditangani, gejala-gejala SN juga dapat tertangani, misalnya SN karena infeksi ditangani penyebab infeksinya, SN karena DM dengan mengobati DM.11 2. Kortikosteroid Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.2 Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (< 200 mg/m/24 jam) selama 3 hari berturut-turut, albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri 200-350 mg/m/24jam, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.2 3. Diuretik Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium).11

Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, albumin dan plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran dan mencegah overload cairan. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gr/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada, harus dipantau secara berkala.3, 11 4. ACEI atau ARB Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat vasokonstriksi pada arteriol eferen, misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu. ACEI berfungsi untuk menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal.2,4 Angiotensin receptor blocker (ARB) mempunyai efektivitas yang sama dengan ACEI, dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja.2,4 5. Terapi hiperlipidemia Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid pada penderita SN. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat

hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma.2,4 C. Respon Terapi 1. Remisi Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (< 200 mg/m/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri 200-350 mg/m/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Relaps tidak sering : Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.11 2. Relaps Relaps, proteinuria 2+ atau proteinuria > 400 mg/m/24jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi. Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami proteinuria 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps.11 Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan : tidak ada relaps sama sekali (30%), relaps jarang : jumlah relaps <2, relaps frekuen : jumlah relaps 2 kali (40-50%).11 3. Relaps frekuen Relaps frekuen : Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan. Pertahankan steroid alternating 0,1-0,5 mg/kg/hari selama 3-6 bulan, kemudian diturunkan.11

4.

Dependen steroid Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN dependen steroid, yaitu 2 kali

kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/ kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgBB, tetapi < 1,0 >2.11 Cyclophosphamide biasa digunakan untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam setahun (frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi. Chlorambucil digunakan dengan alasan yang sama cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.4 Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian dengan

cyclophosphamide, diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal.4 5. Pengobatan SN resisten steroid Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu, sampai sekarang belum memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat juga diberikan siklosporin, metilprednisolon, dan obat imunosupresif lainnya.11

10

VII.Komplikasi 1. 2. 3. 4. Penyakit Ginjal Kronik (CKD) Infeksi sekunder Tromboemboli Gangguan keseimbangan hormon dan mineral

VIII. Prognosis Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan segera dapat mengurangi kerusakan glomerulus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis minimal lesion lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.3 Prognosis buruk pada glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN), kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik.3

11

LAPORAN KASUS

Nama Penderita Kelamin Umur Tanggal Masuk Nama RS Anamnesis Keluhan Utama

: Tn. S : Laki-laki : 36 tahun : 07/10/12 : Labuang Baji : Autoanamnesis : Bengkak seluruh badan

Anamnesis Terpimpin Dialami sejak 20 hari yang lalu, awalnya pasien hanya merasakan bengkak pada kedua kelopak mata, bengkak terutama pada pagi hari dan berkurang pada siang hari. Kemudian 1 minggu terakhir pasien mulai merasakan bengkak di kedua kaki dan perut. Demam (-) riwayat demam (-). Batuk(-) sesak (+), tidak dipengaruhi oleh posisi dan aktivitas. Mual (-) muntah (-). BAB : biasa BAK : 1 mggu terakhir pasien merasa kencingnya kurang lancar, tidak ada nyeri, BAK berpasir (-), batu (-), riwayat BAK batu (-), darah (-). RPS : Riwayat pernah berobat di PKM dengan keluhan yang sama. Namun tidak ada perubahan, obat yang diberikan tidak diketahui. Riwayat pemakaian obat-obatan yang lama (-) Riwayat HT dan DM (-) Riwayat penyakit ginjal (-)

12

Pemeriksaan Fisis Status Present BB IMT Tanda Vital o Tensi o Nadi o Pernapasan o Suhu Kepala o Ekspresi o Deformitas o Rambut Mata o Eksoftalmus / enoftalmus o Gerakan o Tekanan bola mata o Kelopak mata o Konjungtiva o Kornea o Sclera Telinga o Pendengaran o Tophi o Nyeri tekan di prosessus mastoideus Hidung o Perdarahan o Secret : (-) : (-) : dbn : (-) : (-) : (-) : dbn : dbn : edema +/+ : Anemis (-), : tak : ikterus (-) : biasa o Simetris muka : simetris : (-) : hitam, lurus, sukar dicabut : Sakit Sedang / Gizi kurang / Composmentis : 67 kg, BBK : 41 kg; TB : 165 cm : 15,07 (gizi kurang) : : 120/80 : 72 x/menit : 24x/menit : 36,5

13

Mulut o Bibir o Gigi geligi o Gusi : tak : tak : tak tonsil : tap farings : tak lidah : tak

Leher o Kelenjar getah bening : tap o Kelenjar gondok o DVS o Pembuluh darah o Kaku kuduk o Tumor : tap : R-2 cmH2O : tak : (-) : (-)

Dada o Inspeksi Bentuk Pembuluh darah Buah dada Sela iga Lain lain : normochest, simetris ki=ka : tak : simetris, gynecomasti (-) : dbn : tak

Paru o Palpasi o Perkusi Paru kiri Paru kanan Batas paru hepar : sonor : sonor : ICS V : setinggi CV Th.IX : setinggi CV Th. XI Fremitus raba : vocal fremitus kiri = kanan Nyeri tekan : (-)

Batas paru belakang kanan Batas paru belakang kiri

14

o Auskultasi Jantung o Inspeksi o Palpasi o Perkusi : Iktus Cordis tidak tampak : Ictus Cordis teraba : pekak, batas jantung kiri (Atas: ICS II kiri di linea parastrenalis kiri (pinggang Bunyi pernapasan Bunyi tambahan : vesikuler : Rh -/- Wh -/-

jantung) Bawah: SIC V kiri agak ke medial linea midklavikularis kiri) , kanan (Bawah ICS III-IV kanan,di linea parasternalis kanan, batas atasnya di ICS II linea parasternalis kanan). o Auskultasi Perut o Inspeksi o Auskultasi o Palpasi o Perkusi Punggung o Palpasi o Nyeri ketok o Auskultasi o Gerakan o Lain lain Alat Kelamin Anus dan Rektum Ekstremitas : cembung : peristaltik (+), kesan normal : NT (-), MT (-) Hepar : ttb Lien : ttb : BJ I/II murni regular, bising (-)

Ginjal : ttb : ascites (+), (shifting dullness) : : NT (-), MT (-) : (-) : BP vesicular, Rh -/- Wh -/: dbn : (-) : edema scrotum (+) : tdp : edema dorsum pedis dan pretibial +/+

15

Diagnosis Sementara Penatalaksanaan awal connecta furosemid 1amp/12jam/iv prednison 5mg 8-0-0 Permintaan :

: Sindroma Nefrotik :

DR, LED, Prot. Total, Albumin, GDS, Ur, Cr, GOT, GPT, As. Urat, profil lipid, urinalisa, esbach. CXR, USG Abdomen

Follow Up Harian Tanggal 08/10/12 T : 130/70 N: 60x P: 20x S: 36,5C BBK: 41 kg WBC : 8000 HGB : 12.1 PLT : 359000 LED : 12 Cholesterol : 535 Trigliserida : 318 Albumin : 1.0 Protein : 4.2 Ureum : 108 Kreatinin : 2.29 GOT : 75 GPT : 15 Urinalisa : Protein : +4 1000mg/dl Blood : 3-5 Lekosit : 5-10 Glukosa : neg PH-2 S: O: A: Susp SN SS/GK/CM Anemis( -), ikterus( ) Peristaltik (+) kesan N Ascites (+) Ext : edema dorsum pedis dan pretibial +/+ Edema scrotum (+) Bengkak pada kaki diikuti bengkak seluruh badan Demam (-) Batuk (-) sesak (-) Perjalanan Penyakit P: - Conecta - Furosemide 1amp/12j/iv - Prednison 5mg 8-0-0 - Simvastatin 20mg 0-0-1 Instruksi/terapi yang diberikan

16

USG Abdomen Kesan : - Ascites - Lain-lain normal 09/10/12 T : 140/80 N: 64x/i P: 20x/i S: 36,7C BBK: 41 kg Urinalisa : Protein : +4 Blood : 3-5 Lekosit : 5-10 Glukosa : neg Prot. Esbach : 1.8gr/dl PH-3 S: Bengkak seluruh tubuh terutama pada pagi hari pada kedua kelopak mata Batuk (-) sesak (-) P: - Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0.6gr/KgBB/hr - Conecta - Furosemide 1amp/12j/iv - Prednison 5mg 8-0-0 - Simvastatin 20 mg 0-0-1

BAB : biasa BAK : kurang, dalam sehari 2x warna kuning jernih. O: A: Susp SN Anemis( -), ikterus( ) Peristaltik (+) N Ascites (+) Ext : edema dorsum pedis dan pretibial +/+ Edema scrotum (+)

10/10/12 T : 130/80 N: 64x/i P: 20x/i S: 36,5C BBK: 40 kg

PH-4 S: Bengkak seluruh tubuh terutama pada pagi hari pada kelopak mata Batuk (-) sesak (-)

P: - Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0.6gr/KgBB/hr - Off Conecta - Prednison 5mg 8-0-0

17

O: A : SN 11/10/12 T : 140/70 N: 64x/i P: 20x/i S: 36,5C BB : 38 kg PH-5 S: Bengkak seluruh tubuh berkurang BAB : biasa BAK : lancar, volume kesan banyak dari sebelumnya, warna kuning jernih. Anemis( -), ikterus( ) Peristaltik (+) kesan N Ascites(+) Ext : edema dorsum pedis dan pretibial +/+ Edema scrotum (+)

- Simvastatin 20 mg 0-0-1

P: - Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0.6gr/KgBB/hr. - Prednison 5mg 8-0-0 - Simvastatin 20mg 0-0-1

O: A: Susp SN Anemis( -), ikterus( ) Peristaltik (+) kesan N Ascites (+) Ext : edema dorsum pedis dan pretibial +/+ Edema scrotum (+)

18

RESUME Seorang pasien laki-laki berusia 36 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan bengkak seluruh badan, Dialami sejak 20 hari yang lalu, awalnya pasien hanya merasakan bengkak pada kedua kelopak mata, bengkak terutama pada pagi hari dan berkurang pada siang hari. Kemudian 1 minggu terakhir pasien mulai merasakan bengkak di kedua kaki dan perut.. Batuk (-) sesak (+), tidak dipengaruhi oleh posisi dan aktivitas. BAB : biasa. BAK : 1 mggu terakhir pasien merasa kencingnya kurang lancar, tidak ada nyeri, BAK berpasir (-), batu (-), riw. BAK batu (-), darah (-). Riwayat pernah berobat di PKM dengan keluhan yang sama. Bengkak berkurang, tapi muncul kembali. Obat yang diberikan tidak diketahui. Riwayat pemakaian obat-obatan yang lama (-). Riwayat HT dan DM (-). Riwayat penyakit ginjal (-). Dari pemeriksaan fisis, pasien sakit sedang, gizi kurang, composmentis. Tanda vital: tensi: 120/80 mmHg, nadi: 72x/menit, pernapasan: 24x/menit, suhu: 36,50C. Anemis (-) Ikterus (-) Edema Palpebra (+/+). Thorax: simetris kiri = kanan, massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus kiri = kanan, batas paru hepar setinggi intercosta V dextra, bunyi pernapasan bronkovesikuler. Abdomen cembung, ikut gerak napas, shifting dullness (+). Terdapat edema pada dorsum pedis dan pretibial serta edema scrotum. Dari pemeriksaan hasil laboratorium didapatkan WBC 8.0 x 103/ul, HGB 12,1 g/dl, PLT 359 x 103/ul, Ureum 108, Kreatinin 2.29, SGOT 75, SGPT 15, Protein total 4,2, Albumin 1,0, Kolesterol total 535, Trigliserida 318. Dari pemeriksaan USG didapatkan ascites, sedangkan lain-lain normal. Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya, pasien didiagnosis sementara sebagai Sindrom Nefrotik.

19

DISKUSI Pasien masuk dengan keluhan edema seluruh badan maka kita dapat memikirkan berbagai kemungkinan. Ada beberapa penyakit yang dapat menimbulkan keluhan edema seluruh badan misalnya sindrom nefrotik, Congestive Heart Failure (CHF), CKD dan malnutrisi berat. Dari hasil anamnesis pada pasien, edema yang dirasakan diawali pada kelopak mata, diikuti pada perut dan ekstremitas serta pada alat genital, terjadi secara tiba-tiba. Edema pada palpebra dirasakan saat bangun pagi hari dan kemudian berkurang pada siang hari. Pasien juga merasakan sesak jika duduk, yang kemungkinan besar oleh karena ascites.4 Edema pada wajah terutama dialami pada pagi hari dan berkurang di siang hari. Hal ini berkaitan dengan sifat cairan yang menempati tempat terendah. Pada pagi hari pasien dalam posisi berbaring setelah semalaman tidur sehingga muncul edema pada wajah. Pada siang hari pasien lebih banyak duduk dan berdiri sehingga edema pada wajah menurun.4 Selain itu dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa pasien juga mengalami hiperlipidemia (Kolesterol total 535 mg/dl, Trigliserida 318 mg/dl), proteinuria (protein pada pemeriksaan urine rutin = 1000 mg/dl, dan protein esbach = 1,8 gr/dl), hipoalbuminemia (albumin = 1,0 gr/dl). Hal ini sesuai dengan kriteria diagnosis untuk sindrom nefrotik yaitu:4 1. Edema anasarka 2. Proteinuria massif (3,5 gr/hari) 3. Hipoalbuminemia (< 3,5 gr/dl) 4. Hiperlipidemia Menurut teori, edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme

20

kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema akan semakin berlanjut.1, 3, 8 Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga terjadi retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstrseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN.1 Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus yang diduga disebabkan oleh suatu proses autoimun. Pasien ini juga mengalami hipoalbuminemia yang disebabkan oleh proteinuria massif. Selain itu, pasien juga mengeluhkan mual dan nafsu makan menurun yang diduga disebabkan oleh akibat edema mukosa usus. Hal ini dapat menyebabkan intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia.2,4,6 Pada pasien ini juga terjadi hiperlipidemia. Menurut teori hiperlipidemia terjadi oleh karena peningkatan produksi lipoprotein oleh hati. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyakbanyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN, akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin.7 Pengobatan pada pasien dilakukan dengan terapi umum dan terapi spesifik. Terapi umum antara lain diet rendah garam untuk mengurangi terjadinya retensi cairan oleh natrium yang juga berperan dalam terjadinya edema. Diet cukup protein 0,8 gr/dl oleh karena pemberian protein yang tinggi walaupun dapat meningkatkan sintesis albumin hati namun dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Furosemid sebagai diuretik karena adanya overload cairan. Diet rendah kolesterol karena terjadinya hiperlipidemia serta pemberian

21

simvastatin untuk menurunkan kadar lipid. Sedangkan terapi spesifik adalah dengan pemberian methylprednisolon 0,8 mg/kgBB sebagai imunosupressan karena pada pasien ini sindrom nefrotik diduga disebabkan oleh proses autoimun.2, 4

22

DAFTAR PUSTAKA 1. Prodjosudjadi W. Sindrom nefrotik. Dalam : Sudoyo Aru W. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta : Departement ilmu penyakit dalam Fakultas kedoktera Universitas Indonesia ; 2006. 2. Shafa R. Sindroma Nefrotik. Ilmu penyakit dalam. 20 Februari 2011 3. Salme U. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. oktober 2012. Available from: www.scribd.com. 4. Richard E.Berhman, Robert M. Kligman, Ann M. Arvin. Keadaan-keadaan yang terutama disertai dengan proteinuria. Dalam : Wahab A. Samik. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta : EGC; 2000. 5. Churg J, Grishman E,dkk. idiopathic nephrotic syndrome in adults - a study and classification based on renal biopsies. The New England Journal of Medicine.2012. 6. Karl Tryggvason, Jaakko Patrakka. Hereditary proteinuria syndromes and mechanisms of proteinuria. The New England Journal of Medicine.2012 7. Stephan R. Orth, Eberhard Ritz. The nephrotic syndrome. The New England Journal of Medicine.2012 8. Eric P Cohen. Pathophysiology nephrotic syndrome. Journal [serial on the internet]. oktober 2012. Available from : www.medscape.com 9. Price S, Wilson L. Gagal ginjal kronik. In : Huriawati Hartanto. Patofisiologi konsep klinis Proses-proses penyakit. edisi ke-6. jakarta :EGC; 2006. 10. Davey Patrick. Sindrom nefrotik dan nefritik. In : Safitri Amaliah. At a glance medicine. Jakarta : Erlangga ; 2006 11. Israr Y. Sindrom Nefrotik. Riau: Belibis; 2008 [cited. Available from: www.belibis17.tk.

23

Você também pode gostar