Você está na página 1de 20

BAB I PENDAHULUAN I.

1 Latar Belakang Narkoba ( singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif

berbahaya lainnya ) adalah bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis. Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika, psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Menurut WHO penyalahgunaan zat adalah pemakaian terus-menerus atau jarang tetapi berlebihan terhadap suatu zat atau obat yag sama sekali tidak ada kaitannya dengan terapi medis. Zat yang dimaksud adalalah zat psikoaktif yang berpengaruh pada sistem saraf pusat (otak) dan dapat mempengaruhi kesadaran, perilaku, pikiran, dan perasaan. Sedangkan Ketergantungan NAPZA adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal symptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara normal. 1

Didunia kedokteran dikenal adanya obat-obat tertentu yang dapat menghilangkan penyakit atau rasa sakit ditubuh, ada pula obat tertentu yang dapat mempengaruhi sistem saraf yang seringkali menimbulkan perasaan yang menyenangkan seperti perasaan nikmat yang disebut dengan melayang, aktivitas luar biasa, rasa mengatuk yang berat sehingga ingin tidur saja, atau bayangan yang memberi rasa nikmat (Halusinasi). Obat-obat semacam itu disebut dengan Zat-Zat Psikoaktif yang bermanfaat bagi ilmu kedokteran jiwa untuk mengobati penyakit mental dan saraf. Akan tetapi bila disalahgunakan dapat menyebabkan terjadinya masalah serius karena mempengaruhi otak atau pikiran serta tingkah laku pemakainya, dan biasanya mempengaruhi bagian tubuh yang lain. Selain itu, penyalahgunaan Zat-Zat Psikoaktif juga menyebabkan ketergantungan fisik yang lazim disebut dengan ketagihan (adiksi). Seringkali Zat-Zat Psikoaktif tersebut juga menimbulkan kebiasaan psikologis, yaitu orang akan mengalami kesukaran tanpa Zat-Zat Psikoaktif tersebut dan jika dia mengkonsumsi Zat-Zat Psikoaktif biasanya dosis yang diperlukan semakin lama semakin besar. Hal ini disebabkan karena tubuh seseorang telah menjadi dosis kebal yang terhadap Zat-Zat tinggi dapat Psikoaktif tersebut (toleransi zat). Penggunaan Zat-Zat Psikoaktif dalam menyebabkan kerusakan pada otak dan tubuh serta dapat menimbulkan kematian. Zat-Zat Psikoaktif masuk kedalam tubuh melalui : a. Mulut (merokok dengan pipa atau sigaret) b. Hidung (menghisap zat dalam bentuk uap atau bubuk, misal : kokain) c. Kulit (menyuntiknya kedalam otot ataupun pembuluh darah) Cara yang paling langsung dan keras adalah dengan menyuntikkan kedalam vena karena hasil yang didapatkan cepat dan dramatis. Zat-Zat Psikoaktif diklasifikasikan pemakainya, yaitu : 1. Stimulan (menstimulasi kegiatan sistem saraf) 2. Depresan (mengurangi kegiatan sistem saraf) menurut cara obat itu mempengaruhi

3. Halusinogen (memberikan efek halusinasi) 4. Euforia (memberikan rasa gembira dan bergairah) Salah satu contoh dari Zat-Zat Psikoaktif yang menyebabkan ketagihan misalnya adalah Amfetamin. Amfetamin merupakan satu jenis narkoba yang dibuat secara sintetis dan kini terkenal di wilayah Asia Tenggara. Amfetamin dapat berupa bubuk putih, kuning, maupun coklat, atau bubuk putih kristal kecil. Dengan amfetamin, para atlet olahraga dapat meningkatkan penampilannya, misalnya berlari dengan kecepatan yang luar biasa. Amfetamin juga mempengaruhi organ-organ tubuh lain yang berhubungan dengan hipotalamus, seperti peningkatan rasa haus, ngantuk ataupun lapar. 1.2 Tujuan Penulisan Penulisan Meet the Expert (MTE) ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Amfetamin.

1.3 Batasan Masalah Pada Meet The Expert (MTE) ini akan dibahas tentang Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Amfetamin

1.4 Metode Penulisan Penulisan MTE ini menggunakan berbagai sumber kepustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1 DEFINISI Amfetamin adalah suatu stimulan dan menekan nafsu makan. Amfetamin menstimulasi sistem saraf pusat melalui peningkatan zat-zat kimia tertentu di dalam tubuh. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, menekan nafsu makan serta berbagai efek yang lain. Penggunaan amfetamin dengan suatu kelainan psikiatri berhubungan dengan ketergantungan dan penyalahgunaannya. Amfetamin adalah kelompok narkoba yang dibuat secara sintetis dan akhir-akhir ini menjadi populer di Asia Tenggara. Amfetamin biasanya berbentuk bubuk putih, kuning atau coklat dan kristal kecil berwarna putih. Cara memakai amfetamin yang paling umum adalah dengan menghirup asapnya. Termasuk dalam kelainan yang disebabkan oleh amfetamin atau zat yang mirip amfetamin antara lain intoksikasi amfetamin, gangguan akibat penghentian penggunaan amfetamin, kelainan psikosis dengan delusi dan halusinasinyang disebabkan oleh amfetamin, delirium karena intoksikasi amfetamin, kelainan mood yang disebabkan oleh amfetamin, gangguan cemas karena penggunaan amfetamin, gangguan tidur, dan disfungsi seksual. II. 2 EPIDEMIOLOGI Pada banyak Negara, penggunaan obat terlarang lebih sering terjadai pada orang yang berusia muda, laki-laki lebih sering dari npada perempuan, dan pada orang dengan social ekonomi yang rendah, pada daerah dengan rata-rata masalah social yang lebih tinggi. Dilaporkan pada masa anak usia SMA (senior high school) penggunaan stimulan lebih tinggi dari pada penggunaan kokain. National Household Survey and Drug Abuse (NHSDA) melporkan

pada tahun 1997 terdapat 4,5% dari orang yang berusia 12 tahun atau lebih menggunakan stimulan bukan atas indikasi medis, hal ini menunjukkan peningkatan yang drastis dari pada tahun sebelumnya. Persentasi yang paling tinggi setelah penggunaan dalam 1 tahun (1,5%) antara umur 18-25 tahun, kemudian diikuti oleh umur 12-17 tahun. Sample ini tidak cukup luas untuk mendeteksi peningkatan dalam penggunaan amfetamin ini disesuaikan dengan data dari ruang emergensi untuk keracunan yang berkaitan dengan amfetamin atau program tes panghentian obat. Survei dua populasi digunakan sebagai kriteria dianostik yang dapat diterima untuk mengukur besernya penyalahgunaan dan ketergantungan yaitu studi Epidemiologic Catchment Area (ECA). ECA melaporkan kombinasi kategori antara ketergantungan dan penyalahgunaan amfetamin dan obat yang mirip amfetamin, yaitu: prevalensi 1 bulan, 6 bulan, dan seumur hidup berturut-turut 0,1; 0,2; dan 1,7 persen. Rata-rata ketergantungan seumur hidup untuk umur 15-54 tahun yaitu 1,7%; 15% responden memiliki kebiasaan penggunaan stimulant tanpa indikasi medis. Diantara yang dilaporkan tanpa indikasi medis 11% ditemukan kriteria ketergantungan.

II.3 ETIOLOGI Ketergantungan obat, termasuk amfetamin dan zat yang mirip anfetamin dipandang sebagai suatu hasil dari sebuah proses interaksi dari banyak faktor (sosial, psikologi, kultural, dan biologi) yang mempengaruhi kebiasaan penggunaan obat. Proses ini pada beberapa kasus, kehilangan fleksibilitas yang berkaitan dengan penggunaan obat merupakan tanda ketergantungan obat. Tetapi, tidak semua orang sama, tergantung bagaimana biasanya efek dari obat yang diberikan apakah sama atau dari kesamaan faktor yang dipengaruhi. Faktor farmakologi diyakini sangat penting dalam kelanjutan penggunaan dan menuju ke arah ketergantungan dari obat tersebut. Amfetamin memiliki potensi untuk meningkatkan mood dan efek euforigenik

pada

manusia

dan

efek

menguatkan

pada

hewan

percobaan.

Faktor sosial, kultural, dan ekonomi merupakan faktor penentu yang sangat berpengaruh terhadap alasan pemakaian, pemakaian yang berkelanjutan, dan relaps. Pemakaian yang berlebihan lebih jauh berkaitan dengan ketersediaan amfetamin atau obat yang mirip amfetamin. Metabolisme amfetamin dan metamfetamin terutama oleh hati, tapi banyak yang dihirup diekskresikan tanpa diubah dahulu melalui urin. Waktu paruh amfetamin dan metamfetamin akan sangat dipersingkat jika urin dalam keadaan asam. Waktu paruh amfetamin pada dosis terapi berkisar antara 7-19 jam dan untuk metamfetamin sedikit lebih panjang. Setelah dosis toksik, perbaikan dari gejala mungkin akan lebih lama (sampai beberapa hari) dengan amfetamin dibandingkan kokain, tergantung pada pH urine. Toleransi dan sensitisasi dari kebanyakan pengguna amfetamin untuk terapi memerlukan dosis yang semakin tinggi untuk memperoleh efek euforik yamg sama, pada mereka terjadi peningkatan toleransi. Sebagian toleransi meningkatkan efek kardiovaskular amfetamin. Penggunaan amfetamin yang kronik yang memiliki status paranoid dan psikosis toksik biasanya meningkat yang diyakini sebagai fenomena akibat peningkatan sentisisasi. Bagi yang memiliki riwayat psikosis mugkin akan sangat cepat untuk mendapatkan serangan berikutnya. Mekanisme perubahan kronik SSP terhadap pengaruh amfetamin terlihat dalam beberapa perubahan adaptif dari otak. Sebagai contoh, stimulasi reseptor dopamine mengaktifkan cAMP pada neuron di dalam nucleus dan striatum. Aktivasi ini menginisiasi suatu rantai intraseluler menghasilkan perubahan ekspresi dari gen, sebagian dimediasi oleh fosforilasi dari faktor transkripsi cAMP Response Element Binding Protein (CREB). Salah satu kerja dari CREB adalah meningkatkan tarnskripsi dari dynorphin dalam RNA. Fungsi ini sangat penting karena dynorphin adalah suatu agonis selektif k-opioid, agonis k-resetor menghambat pelepasan dopamine. Akson kolateral dari neuron pada nucleus melepaskan dynorphin pada k-reseptor yang berada pada dopaminergik terminal, dengan begitu menghambat aktivitas dopaminergik. Tetapi apabila

penggunaan amfetamin dihentikan dan pelepasan dopamine belebihan terhenti, kompensasinya level yang tinggi dari dynorphin menetap dan kemudian akan menghilangkan efek dopaminergik, ini menyebabkan terjadinya anhedonia dan disforia akibat withdrawal amfetamin. Apalagi neuron dari nukleus memperlihatkan penurunan konsentrasi dari protein Gi (dengan menghambat adenil siklase) dan peningkatan dari cAMPdependent protein kinase. Kedua perubahan ini dapat bertahan beberapa minggu dan akan terjadi peningkatan regulasi jalur cAMP. Perubahan yang menetap dari jalur cAMP tampak untuk menyajikan suatu mekanisme untuk efek pertahanan dari stimulant. Pemberian berulang amfetamin menyebabkan induksi dan akumulasi protein mirip Fos, antigen kronik yang terkat pada Fos (FRAs)(dimediasi oleh fosforilasi dari CREB). Kronik FRAs ini dapat bertahan lama dan berbeda dari protein yang mirip dengan Fos yang tampak setelah pemakaian obat sekali. Selain itu perubahan persisten dari transkripsi gen merubah morfologi neuron. Transmisi glutamate, yang berfungsi penting untuk siklus modulasi dan efek sensitisasi sikap terhadap kokain, tidak tampak untuk menolak amfetamin pada keadaan ini. Perbedaan ini mungkin penting, pembeda perubahan adaptif diinduksi oleh dua kelas stimulant. Obat yang mirip amfetamin melepaskan norepinefrin dan serotonin. Beberapa diantara efeknyanya yang sama dengan toksisitas amfetamin, khususnya toksisitas kardiovaskular. II. 4 MEKANISME KERJA Amfetamin bekerja merangsang susunan saraf pusat melepaskan katekolamin (epineprin, norepineprin, dan dopamin) dalam sinaps pusat. Sehingga neurotransmiter tetap berada dalam sinaps dengan konsentrasi lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya. Semua sistem saraf akan berpengaruh terhadap perangsangan yang diberikan. Efek klinis amfetamin akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah penggunaan. Senyawa ini memiliki waktu paruh 4-24 jam dan dieksresikan melalui urin sebanyak 30% dalam bentuk metabolit. Metabolit amfetamin

terdiri dari p-hidroksiamfetamin, p-hidroksinorepedrin, dan penilaseton. Karena waktu paruhnya yang pendek menyebabkan efek dari obat ini relatif cepat dan dapat segera terekskresikan, hal ini menjadi salah satu kesulitan tersendiri untuk pengujian terhadap pengguna, bila pengujian dilakukan lebih dari 24 jam jumlah metabolit sekunder yang di terdapat pada urin menjadi sangat sedikit dan tidak dapat lagi dideteksi dengan KIT.

II. 5 GAMBARAN KLINIK Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin, jumlah yang digunakan, dan cara menggunakannya. Dosis kecil semua jenis amfetamin akan meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut nadi, melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euforia, menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa lapar, meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat. Dosis sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi pernafasan, menimbulkan tromor ringan, gelisah, meningkatkan aktivitas montorik, insomnia, agitasi, mencegah lelah, menekan nafsu makan, menghilangkan kantuk, dan mengurangi tidur. Penggunaan amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan perilaku stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang terus-menerus tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba agresif, melakukan tindakan kekerasan, waham curiga, dan anoneksia yang berat.

Efek Samping Fisik. Penyalahgunaan amfetamin dapat menyebabkan efek samping, yang paling serius mencakup efek serebrovaskular, kardiak, dan gastrointestinal. Di antara kondisi spesifik yang mengancam nyawa adalah infark miokardium, hipertensi berat, penyakit serebrovaskular, dan kolitis

iskemia. Gejala neurologis yang berkepanjangan, dari kedutan, tetani, kejang, sampai koma dan kematian, dikaitkan dengan amfetamin dosis tinggi yang terus meningkat. Penggunaan amfetamin intravena dapat menularkan human immunodeficiency virus dan hepatitis serta menyebabkan perkembangan abses paru, endokarditis, dan angiitis nekrotikans lebih lanjut. Efek samping yang tidak mengancam nyawa mencakup semburat merah, pucat, sianosis, demam, sakit kepala, takikardia, palpitasi, mual, muntah, bruksisme (gigi gemeretuk), sesak nafas, tremor, dan ataksia. Wanita hamil yang menggunakan amfetamin sering melahirkan bayi dengan berat lahir rendah, lingkar kepala kecil, usia kehamilan dini, dan retardasi pertumbuhan. Psikologis. Efek simpang psikologis yang disebabkan oleh penggunaan amfetamin mencakup kegelisahan, disforia, insomnia, iritabilitas, sikap bermusuhan, dan kebingungan Konsumsi amfetamin juga dapat menginduksi gejala gangguan ansietas seperti gangguan ansietas menyeluruh dan gangguan panik serta ide rujukan, waham paranoid, dan halusinasi. II. 6 DIAGNOSIS DSM-IV-TR mencantumkan banyak gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin) (Tabel 9.3-l) namun hanya merinci kriteria diagnosis intoksikasi amfetamin (Tabel 9.3-2), keadaan putus amfetamin (Tabel 9.3-3), dan gangguan terkait amfetamin yang tak-tergolongkan (Tabel 9.3-4) pada bagian gangguan terkait amfetamin (atau lir-arnfetamin). Kriteria diagnosis gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin) lain tercantum dalam bagian DSM-IV-TR yang berhubungan dengan gejala fenomenologis primer (contohnya psikosis). Ketergantungan Amfetamin dan Penyalahgunaan Amfetamin Kriteria DSM-IV-TR untuk ketergantungan dan penyalahgunaan dapat diterapkan pada amfetamin dan zat terkait. Ketergantungan amfetamin dapat mengakibatkan penurunan spiral yang cepat dari kemampuan seseorang untuk menghadapi kewajiban dan stres yang berkaitan dengan keluarga dan

pekerjaan. Seseorang yang menyalahgunakan amfetamin membutuhkan dosis tinggi amfetamin yang semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi (high) yang biasa, dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan berat badan dan ide paranoid) hampir selalu timbul dengan diteruskannya penyalahgunaan. lntoksikasi Amfetamin Sindrom intoksikasi kokain (menghalangi reuptake dopamin) dan amfetamin (menyebabkan pelepasan dopamin) sifatnya serupa. Oleh karena penelitian tentang penyalahgunaan dan intoksikasi kokain dilakukan lebih teliti dan mendalam dibanding pada amfetamin, literatur klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi temuan klinis pada penyalahgunaan kokain. Pada DSM-IV-TR, kriteria diagnosis intoksikasi amfetamin dan intoksikasi kokain terpisah namun hampir sama. DSM-IV-TR merinci gangguan persepsi sebagai gejala intoksikasi amfetamin. Bila tidak ada uji realitas yang intak, dipikirkan diagnosis gangguan psikotik terinduksi amfetamin dengan awitan saat intoksikasi. Gejala intoksikasi amfetamin sebagian besar pulih setelah 24 jam dan umumnya akan hilang sepenuhnya setelah 48 jam. Keadaan Putus Amfetamin Setelah intoksikasi amfetamin, terjadi uash dengan gejala ansietas, gemetar, mood disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk disertai tidur dengan rapid eye moventent yang berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot, kram perut, dan rasa lapar yang tak terpuaskan. Gejala putus zat biasanya memuncak dalam 2 sampai 4 hari dan hilang dalam I minggu. Gejala putus zat yang paling serius adalah depresii yang terutama dapat menjadi berat setelah penggunaan amfetamin dosis tinggi terus-menerus dan dapat dikaitkan dengan ide atau perilaku bunuh diri. Kriteria diagnosis DSMIV-TR untuk keadaan putus amfetamin (Tabel 9.3-3) merinci bahwa mood disforik dan perubahan fisiologis diperlukan untuk diagnosis tersebut.

10

Delirium pada lntoksikasi Amfetamin Delirium yang disebabkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat amfetamin penggunaan dosis tinggi atau terus-menerus sehingga deprivasi tidur memengaruhi tampilan klinis. Kombinasi amfetamin dengan zat lain serta penggunaan amfetamin oleh orang dengan kerusakan otak yang,telah ada sebelumnya juga dapat menyebabkan timbulnya de lirium. Tidak jarang mahasiswa universitas yang menggunakan amfetamin untuk belajar kilat menghadapi uiian menunjukkan delirium jenis ini. Gangguan Psikotik Terinduksi Amfetamin Kemiripan klinis psikosis terinduksi amfetamin dengan skizofrenia paranoid telah memicu penelitian intensif tentang neurokimiawi psikosis terinduksi amfetamin untuk menguraikan patofisiologi skizofrenia paranoid. Tanda gangguan psikotik terinduksi amfetamin adalah adanya paranoia. Gangguan psikotik terinduksi amfetamin dapat dibedakan dengan skizofrenia paranoid dengan sejumlah karakteristik pembeda yang ditemukan pada gangguan psikotik terinduksi amfetamin, yaitu adanya predominasi halusinasi visual, afek yang secara umum serasi, hiperaktivitas, hiperseksualitas, kebingungan dan inkoherensi, serta sedikit bukti gangguan proses pikir (seperti asosiasi longgar). Pada beberapa studi, peneliti juga mencatat bahwa meski gejala positilgangguan psikotik terinduksi amfetamin dan skizofrenia mirip, gangguan psikotik terinduksi amfetamin biasanya tidak memiliki af'ek mendatar dan alogia seperti pada skizofrenia. Namun, secara klinis, gangguan psikotik terinduksi amf'etamin yang akut mungkin tidak dapat dibedakan dengan skizofrenia, dan hanya resolusi gejala. dalam beberapa hari atau temuan positif pada uji tapis zat dalam urin yang akhirnya akan menunjukkan diagnosis yang tepat. Terapi pilihan untuk gangguan psikotik terinduksi amfetamin adalah penggunaan .jangka pendek obat antipsikotik seperti haloperidol (Haldol). Gangguan Mood Terinduksi Amfetamin

11

Awitan gangguan mood terinduksi amfetarnin dapat terjadi saat intoksikasi atau putus zat. Umumnya, intoksikasi rnenimbulkan gambaran manik atau mood campuran, sementara keadaan putus zat menimbulkan gambaran mood depresif. Gangguan Ansietas Terinduksi Amfetamin Amfetamin, seperti kokain, clapat menginduksi gejala yang serupa dengan yang terlihat pada gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, dan terutama, gangguan tbbia. Awitan gangguan ansietas terinduksi amfetamin juga dapat terjadi saat inloksikasi atau putus zat. Disfungsi Seksual Terinduksi Amfetamin Amfetamin sering digunakan untuk meningkatkan pengalaman seksual; namun, dosis tinggi dan penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan gangguan ereksi dan disfungsi seksual lain. Disfungsi ini diklasifikasikan dalam DSM-IV-TR sebagai disfungsi seksual terinduksi amletamin. Gangguan Tidur Terinduksi Amfetamin Intoksikasi amfetamin dapat mer.rimbulkan insomnia dan deprivasi tidur, sementara orang yang sedang mengalami keadaan putus amfetamin dapat mengalami hipersomnolen dan mimpi buruk.

Gangguan yang Tak-Tergolongkan Jika suatu gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin) tidak memenuhi kriteria satu atau lebih kategori yang didiskusikan di atas, gangguan tersebut dapat didiagnosis sebagai gangguan terkait amfetamin yang tak-tergolongkan (Tabel 9.3-4).

12

II. 7 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium :

Elektrolit : akut bisa memberikan gambaran hipokalemi sedangkan pada intoksikasi amfetamin yang berat memberikan gambaran hiperkalemi. Glukosa darah : pada pemeriksaan gula darah memberikan gambaran

13

hipoglikemi

Fungsi ginjal : gagal ginjal berhubungan dengan rhabdomyolisis dan trombosis arteri ginjal pernah dilaporkan pada penyalahgunaan amfetamin. Urinalisis untuk skrining amfetamin atau zat adiktif lain yang digunakan bersama-sama, Tes kehamilan : semua wanita yang berada dalam usia subur sbaiknya dilakukan tes kehamilan Fungsi hati : kerusakan hati mungkin terjadi pada intoksikasi akut. Sebagai tambahan, pasien yang menggunakan amfetamin beresiko untuk terinfeksi hepatitis, yang pada akhirnya bias menyebabkan perubahan mental.

Jumlah sel darah : anemia, lekositosis, dan leukopenia Toksikologi : Urine drug screens : Benzoylecogonine (bentuk metabolic kokain) bisa ditemukan pada urin 22 hari. 60 jam setelah menggunakan amfetamin. Pada pengguna amfetamin yang berat bisa ditemukan sampai

Enzim jantung : pada pengguna amfetamin terdapat angka prevalensi yang tinggi untuk terjadinya myocardial infection, pasien yang dating dengan nyeri dada dan riwayat penggunaan amfetamin bisa dipikirkan untuk melakukan pemeriksaan enzim jantung.

2. Gambaran Radiologi :

Chest x-Ray CT-Scan.

3. Tes lain : Analisa gas darah, ECG

II. 8 PENATALAKSANAAN

14

Penatalaksanaan intoksikasi amfetamin: a.


b.

Bila suhu badan naik, berikan kompres dingin, minum air dingin, Bila kejang, berikan diazepam 10-30 mg per oral atau parenteral;

atau selimut hipotermik. atau klordiazepoksid 10-25 mg per oral secara perlahan-lahan dan dapat diulang setiap 15-20 menit. c.
d.

Bila tekanan darah naik, berikan obat anti hipertensi. Bila terjadi takikardma, berikan beta-blocker, seperti propanolol, Untuk mempercepat ekskresi amfetamin, lakukan asidifikasi air Bilatimbul gejala psikosis atau agitasi, beri halopendol 3 kali 2-5

yang sekaligus juga untuk menurunkan tekanan darah. e. f. mg. Penatalaksanaan putus amfetamin: a. b. c. Rawat di tempat yang tenang dan biarkan pasien tidur dan makan Waspada terhadap kemungkinan timbulnya depresi dengan ide Dapat diberikan anti depresi. seni dengan memberi amonium klorida 500 mg per oral setiap 3-4 jam.

sepuasnya. bunuh diri.

Terapi pada Psikosis Akibat Penggunaan Amfetamin Psikosis akibat penggunaan amfetamin sangat mirip dengan skizofrenia paranoid. Pada psikosis akibat penggunaan amfetamin dapat diberikan klorpromazin tiga kali 50-I 50 mg per oral atau 25-50 mg intra muskular yang dapat diulang setiap empat jam. Dapat juga dipakai halopenidol tiga kali 1-5 mg.

15

II. 9 KOMPLIKASI Penyalahgunaan amfetamin dalam kurun waktu yang cukup lama atau dengan dosis yang tinggi dapat mengakibatkan timbul banyak masalah diantaranya.
Psychosis Kelainan

(pikiran menjadi tidak nyata, jauh dari realitas)

psikologis dan tingkah laku mood atau mental nutrisi

Pusing-pusing Perubahan Kesulitan

bernapas jiwa

Kekurangan Gangguan

Dalam keadaan keracunan akut, pengguna amfetamin pada umumnya merasakan euforia, keresahan, agitasi, dan cemas berlebihan. Kira-kira 5 12% pengguna mengalami halusinasi, keinginan untuk bunuh diri, dan kebingungan. Sebanyak 3% pengguna amfetamin mengalami kejang-kejang.

16

BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan Amfetamin adalah kelompok obat psikoaktif sintetis yang disebut stimulan sistem saraf pusat (SSP). Amfetamin merupakan satu jenis narkoba yang dibuat secara sintetis dan kini terkenal di wilayah Asia Tenggara. Amfetamin dapat berupa bubuk putih, kuning, maupun coklat, atau bubuk putih kristal kecil. Senyawa ini memiliki nama kimia methylphenethylamine merupakan suatu senyawa yang telah digunakan secara terapetik untuk mengatasi obesitas, attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan narkolepsi Amphetamine menyebabkan efek-efek perilaku karena efeknya pada neurotransmitter diotak termasuk dopamin , serotonin dan norepinefrin. Ketika seseorang menggunakan upper, zat tersebut akan merangsang sistem saraf pusat penggunanya. Zat bekerja pada sistem neurotransmiter norepinefrin dan dopamin otak. Menggunakan amfetamin dapat menyebabkan otak untuk menghasilkan tingkat dopamin yang lebih tinggi. Jumlah dopamin yang berlebih di dalam otak akan menghasilkan perasaan euforia dan kesenangan yang biasa dikenal sebagai high. Begitu seseorang telah kecanduan amfetamin, maka orang tersebut harus kembali menggunakan amfetamin untuk mencegah sakaw (withdrawal). Karena efek yang ditimbulkan amfetamin bisa boosting energi pada

17

penggunanya, maka efek withdrawal yang paling sering muncul adalah kelelahan. Pengaruh amfetamin pada fisik dan perilaku akibat intoksikasi amfetamin memerlukan tindakan segera. Intoksikasi amfetamin adalah sindrom mental organik yang terjadi beberapa menit sampai jam setelah menggunakan amfetamin. Pengobatan psikofarmaka pasien pengguna amfetamin tergantung dari gejala-gejala yang timbul, intoksikasi ataupun putus amfetamin, juga dibutuhkan pengobatan lain seperti terapi kelompok, terapi keluarga atau rujuk ke kelompok-kelompok bantuan yang mendukung upaya penyembuhan.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Sadock. 2010. Sinopsis psikiatri. Ilmu pengetahuan perilaku

psikitri klinis edisi 10. Alih bahasa: Widjaja kusuma. Jawa barat: Binarupa aksara
2. Departemen Kesehatan R I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi ke III. Jakarta.


3. Kusminarno, Ketut. 2002. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika,

psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Cermin dunia kedokteran no. 135 hal 17-20. Jakarta.
4. Adams. 2009. Gangguan Mental dan Perilaku akibat penggunaan

Amfetamin (atau mirip Amfetamin). Available at :


http://adamelsoin.blogspot.com/2009/04/gangguan-mentaldanperilakuakibat.html

Diakses tanggal 5 Februari 2013.

5. Meme Sadudulur. 2011. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat

Penggunaan Zat Psikoaktif. Available at :


http://amaliayudha.blogspot.com/2011/12/jiwa.html. Diakses tanggal

5 Februari 2013.
6. Wahyuni, Amilia. 2011.

Gangguan Mental dan Perilaku akibat Samarinda. Fakultas Kedokteran

Penggunaan Stimulansia (Amfetamin). Universitas Mulawarman.

7. Thomb, David A. 2006. Buku Saku PSIKIATRI. Edisi ke 6. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC 19

8. Amphetamine Use Disorders in : Diagnostic and Statitical Manual of

Mental Disorders. Edisi ke IV. Washington DC : Penerbit American Psychiatric Association

20

Você também pode gostar