Você está na página 1de 12

Artefak atau artifact merupakan benda arkeologi atau peningalan benda-benda bersejarah, yaitu semua benda yang dibuat

atau dimodifikasi olehmanusia yang dapat dipindahkan. Contoh artefak adalah alat-alat batu, logam dan tulang, gerabah, prasasti lempeng dan kertas, senjata-senjata logam (anak panah, mata panah, dll), terracottadan tanduk binatang. barang yang bersejarah ini sangatlah penting untuk diletakkan di museum sehingga semua orang dapat melihat dan mempelajarinya. Artefak dalam arkeologi mengandung pengertian benda (atau bahan alam) yang jelas dibuat oleh (tangan) manusia atau jelas menampakkan (observable) adanya jejak-jejak buatan manusia padanya (bukan benda alamiah semata) melalui teknologi pengurangan maupun teknologi penambahan pada benda alam tersebut. Ciri penting dalam konsep artefak adalah bahwa benda ini dapat bergerak atau dapat dipindahkan (movable) oleh tangan manusia dengan mudah (relatif) tanpa merusak atau menghancurkan bentuknya. Artikel bertopik arkeologi ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

Kapak Lonjong

Kapak lonjong merupakan hasil kebudayaan zaman neolitikum, yang terbuat dari batu kali dan nefrit. Kebudayaan zaman neolitikum jauh lebih maju dibandingkan dengan zaman sebelumnya, karena pada masa itu sudah senjata seperti kapak lonjong sudah menggunakan pegangan yang terbuat dari kayu, dan bambu. Kapak Lonjong adalah kapak yang pada umumnya berbentuk lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah dari dua arah dengan menghasilkan tajaman yang simetris. Bahan yang dipakai untuk membuat kapak lonjong pada umumnya batu kali yang berwarna kehitaman, seperti kapak-kapak batu yang sampai sekarang masih digunakan di Papua. Kapak lonjong juga dibuat dari jenis nefrit berwarna hijau tua. Bahan baku yang diperoleh langsung dari kerakal yang sudah sesuai bentuknya, permukaan batu diratakan dengan teknik pukulan beruntun. Selain menghasilkan kapak lonjong yang berukuran besar atau kapak lonjong untuk pekakas, mereka juga ternyata menghasilakan kapak lonjong kecil yang diperkirakan berguna sebagai benda wasiat atau benda pusaka yang mengandung unsur magis. Kapak yang berukuran kecil ini tidak digunakan sebagai pekakas atau senjata. Apabila pada zaman paleolitikum penggunaan kapak dari batu ini langsung dipenggang dengan menggunakan tangan, tampa menggunakan alat bantu lain atau pegangan. Lain halnya dengan zamanneolitikum, mereka pada masa itu sudah mengenal tangkai sebagai bahan yang digunakan untuk mengikat kapak dan digunakan sebagai pegangan. Cara memasangkan mata kapak lonjong pada tangkai ialah dengan memasukkan bendanya langsung dalam lubang yang khusus dibuat pada ujung tangkai atau memasangkan mata kapak pada gagang tambahan yang kemudian diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Tangkai kapak atau gagang kemungkinan berbahan dasar dari kayu dan sejenisnya. Kayu-kayu tersebut mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk memasang mata kapak atau kapak lonjong dan mudah dalam memegangnya. Daerah penemuan kapak lonjong di Indonesia, hanya terbatas di daerah bagian timur, yaitu Sulawesi, Sangihe Talaud, Flores, Maluku, Leh, Tanimbar, dan Papua. Di Serawak, yaitu di Gua Niah, kapak lonjong juga ditemukan. Dari tempat-tempat yang disebutkan itu, hanya sedikit yang diperoleh dari penggalian arkeologi, kecuali dari Serawak dan Kalumpang di Sulawesi Tengah. Suatu hal yang agak menyulitkan tentang penelitian kepurbakalaan kapak lonjong ini adalah karena alat semacam

ini masih dibuat di pedalaman Pulau Papua. Tidaklah mustahil temuan-temuan lepas di beberapa tempat di bagian timur Indonesia itu adalah hasil pengaruh dari Papua yang mencapai tempat-tempat tersebut pada waktu yang tidak begitu tua. Di luar Indonesia, kapak lonjong ditemukan tersebar luas meliputi Myanmar, Cina, Manchuria, Taiwan, Jepang, Filipina, dan juga di India. Di India unsur kapak lonjong ini sering dihubungkan dengan orang-orang Dravida sebagai pendukungnya. Di Kepulauan Mikronesia dan Melanesia kapak bulat juga ditemukan. Atas dasar tempat-tempat penemuan tersebut, agaknya jalan persebaran kapak lonjong itu dapat diikuti dan ternyata pernah melintasi bagian utara dan timur Kepulauan Indonesia dan seterusnya bertahan dengan kuat dalam waktu yang lama di Pulau Irian atau Papua.

Gerabah

Gerabah adalah perkakas yang terbuat dari tanah liat yang dibentuk kemudian dibakar untuk kemudian dijadikan alat-alat yang berguna membantu kehidupan. berdasarkan hasil penelitian, gerabah prasejarah diperkirakan sejaman dengan masa bercocok tanam. Gerabah sendiri dipergunakan sebagai peralatan rumah tangga. Istilah gerabah biasanya untuk menunjukkan barang pecah belah yang terbuat dari tanah liat. Selain dengan sebutan di atas, ada pula sebagian orang menyebutnya dengan tembikar dan sebagian lagi keramik lokal, untuk membedakannya dari istilah keramik asing. Gerabah digunakan sebagai alat rumah tangga dan sebagai bagian mas kawin pada upacara pernikahan. Agar gerabah yang dibuat menarik, maka pembuat memberikan motif hias pada gerabah. Gerabah yang digunakan untuk kepentingan rumah tangga biasanya bermotif sederhana atau polos, sedangkan gerabah untuk kepentingan lain tentunya memerlukan motif yang lebih baik, sebagai contoh motif hias untuk gerabah pernikahan ditentukan oleh martabat pengantin, semakin tinggi martabatnya maka hiasan pada gerabahnya pun semakin banyak dan sulit. Penemuan gerabah merupakan suatu bukti adanya kemampuan manusia dalam menciptakan teknologi pembuatan gerabah. Hal ini dikarenakan fungsi gerabah diantaranya sebagai tempat menyimpan makanan. Dalam perkembangan berikutnya gerabah tidak hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan makanan, tetapi beraneka ragam, bahkan menjadi salah satu barang yang memiliki nilai tinggi. Berdasarkan hasil penyelidikan arkeologi, membuktikan bahwa benda gerabah mulai di kenal pada masa bercocok tanam. Bukti-bukti tersebut berasal dari Kadenglebu (Banyuwangi), Kalapadua (Bogor), Serpong (Tangerang), Kalumpang dan Minanga Sepakka (Sulawesi), sekitar bekas danau Bandung, Timur Leste dan Poso (Minahasa). Dari temuan-temuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa teknik pembuatan gerabah dari masa bercocok tanam masih sederhana. Segala sesuatunya dikerjakan dengan tangan, sedangkan penggunaan tatap batu dan roda pemutar pada umumnya dikenal masa perundagian tingkat permulaan, ini belum banyak bukti-buktinya kecuali beberapa temuan dari Tangerang dan di sekitar danau Bandung. Temuan yang berasal dari Tengerang dan sekitar danau Bandung mendekati sebuah hipotesis masyarakat petani di Indonesia cendrung untuk menggabungkan teknik tatap batu dengan teknik tangan pada tingkat permulaan. Penelitian terhadap situs Kadenglembu dilakukan oleh Heekeren pada tahun 1941 dan Soejono pada tahun 1969 menemukan sejumlah kereweng tidak berhias, di antaranya ada yang memperlihatkan warna merah yang dipoleskan pada permukaan luarnya. Bentuk gerabah yang ditemukan di Kedenglembu masih sederhana, karena sebagian besar temuan berupa fragmen tepian dan badan dari periuk yang pada umumnya bentuknya membulat. Dari data yang terkumpul, di ketahui bahwa bentuk periuk umumnya kebulat-bulatan dengan tepian melipat ke luar. Gerabah seperti itu dibuat oleh kelompok masyarakat petani yang selalu terikat dalam hubungan sosial-ekonomi dan kegiatan ritual.

Dari daerah Kalapadua, ditemukan gerabah yang lebih banyak daripada yang ditemukan di Kadenglembu. Dari hasil pengkajian ternyata gerabah yang ditemukan di Kalapadua lebih baik dalam pembuatannya, akan tetapi memiliki kekurangan dalam hal pembakaran, dimana pembakarannya kurang sempurna sehingga mengakibatkan gerabah yang ada di Klapadua tidak bisa bertahan lama. Gerabah ditemukan dalam keadaan rapuh dan mudah pecah. Hampir sebagian gerabah yang ditemukan di Klapadua telah terkikis sehingga mengakibatkan pola hias yang tidak bisa diketahui. Gerabah yang ditemukan di Kalapadua berasal dari masa bercocok tanam. Hal ini diperkuat oleh beberapa temuan lain yang berkaitan dengan masa bercocok tanam, seperti; pecahan beliung, batu asahan, gelang dan alat-alat logam. Gerabah dari Bandung umumnya tebal-tebal (antara 5-20 mm), dan berwarna merah. Tanda-tanda hiasan masih tampak, yaitu berupa goresan-goresan pola sisir dan pola tali, tetapi pada umumnya polos dipoles dengan warna merah pada permukaan luarnya. Dari fragmen-fragmen yang ditemukan dapat diperkirakan bentuk gerabah Dago Timur. Peninggalan gerabah yang ditemukan di Sulawesi Tengah diperkirakan berasal dari masa bercocok tanam, karena ditemukan bersama unsur-unsur beliung dan kapak yang diupam. Situs penemun yang ada di Sulawesi Tenggara yaitu di daerah Minanga Sipakka yang terletak di pinggir Sungai Karama.

Alat Tulang Prasejarah

Di daerah Asia Tenggara, alat-alat tulang banyak ditemukan di daerah Tonkin, gua-gua di daerah Honbin, dan di bukit kerang Da But (Vietnam Utara) temuan-temuan itu menunjukan persamaan dengan alat-alat tulang dari Gua Sampung. Tradisi pembuatan alat tulang dan tanduk nampaknya merupakan hal yang bersifat universal. Di Kawasan Eropa Barat pernah mengalami perkembangan yang menonjol dalam penggunaan alat-alat dari tulang pada tingkat paleolitik akhir di situs Magdaleine (Dordogne, Prancis) yang kemudian disebut kebudayaan Magdalenian. Ciri-ciri kebudayaan ini juga nampak di situs Creswell Crags yang kemudian disebut dengan Kebudayaan Creswellian. Di kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, khususnya Indonesia perkembangan peralatan yang terbuat dari batu dan tulang sementara ini diketahui dari kebudayaan dalam konteks Pithecanthropus dan alat-alat lain yang dibuat dari tanduk, serpih, serta batu-batu bundar. Di gua Sampung ditemukan sejumlah besar sudip tulang, dan alat-alat tanduk yang diupam. Pekakas tanduk digunakan sebagai pencukil atau belati. Sejauh yang diketahui, persebaran alat tulang dan tanduk di Nusantara kemudian tersebar kebeberapa wilayah seperti Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Di Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali dan Nusa TenggaraTimur.

Nekara tipe Pejeng ditemukan di Pejeng, Bali

Nekara merupakan hasil kebudayaan zaman Perundagian. Nekara adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengah dan sisi atasnya tertutup, jadi dapatlah kita kira-kira seperti dandang yang ditelungkupkan. Secara proporsional dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu bagian atas, tengah dan bawah. Nekara adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengah dan sisi atasnya tertutup, jadi dapatlah kita kira-kira seperti dandang yang ditelungkupkan. Di antara nekara-nekara yang ditemukan di Indonesia hanya beberapa saja yang utuh, selainnya ditemukan dalam keadaan tidak utuh atau pecahan saja. Nekara merupakan hasil kebudayaan zaman Perundagian. Perundagian berasal dari istilah undagi dari bahasa Bali. Undagi ialah seorang atau kelompok atau golongan masyarakat yang memunyai kepandaian atau keterampilan jenis usaha tertentu, misalnya pembuatan gerabah, perhiasan kayu, sampan, dan batu. Nama nekara terdapat dalam berbagai bahasa mulai, dari kettledrum sebagai nama yang sering digunakan. Nama lokal di Indonesia, seperti bulan (sasih) untuk menyebut nekara dari Pejeng (Bali), tifa guntur (Maluku), makalamau (Sangeang), sarisatangi, bo so napi, untuk menyebut nekara tipe Heger I. Untuk menyebut nekara tipe Pejeng di Pulau Alor digunakan nama moko, di Pulau Pantar disebut kuang, dan di Kabupaten Flores Timur dinamakan wulu. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, nekara adalah gendang perunggu berbentuk seperti dandang, berpinggang pada bagian tengah dengan selaput suara berupa logam atau perunggu. Nekara secara proporsional dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu bagian atas, tengah dan bawah. Pertama, bagian atas dibagi menjadi bidang pukul dan bahu. Istilah bidang-pukul diberikan pada bagian atas yang berarti tempat atau bagian yang dipukul. Bagian bahu adalah bagian yang terletak tepat di bawah bagian bagian pukul. Pegangan atau telinga terdapat antara bagian bahu dan tengah. Kedua, bagian tengah atau sering juga disebut bagian pinggang. Ketiga, bagian bawah atau juga sering disebut kaki adalah bagian bagian yang paling bawah berongga tidak tertutup. Pada nekara terdapat hiasan-hiasan yang pada umumnya terbagi dalam kelompok-kelompok besar, kemudian terbagi lagi ke dalam kelompok kecil. Ada pun pola hiasan yang ada dalam nekara antara lain adalah pola-pola geometris seperti: garis sejajar horizontal; lingkaran tangent, berupa lingkaran kecil dengan garis miring untuk menyambungkan dengan lingkaran berikutnya; meander berupa garis-garis miring yang terkadang distilir sebegitu rupa sehingga sulit dikenali bentuk aslinya. Secara garis besar nekara digolongkan kedala dua tipe yaitu tipe Pejeng dan tipe Heger. Nekara tipe Pejeng ditemukan di Pejeng, Bali. Nekara Pejeng berbentuk langsing bidang pukulnya yang menjorok keluar dari bagian bahunya. Bagian bahu berbentuk silinder atau lurus yang sama bentuknya pada bagian kaki. Nekara tipe Pejeng banyak ditemukan di wilayah Indonesia, seperti Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Frores Timur, dan Kabupaten Alor. Penemuan-penemuan nekara tipe Pejeng nampaknya tersebar dari wilayah Pulau Jawa sampai ke wilayah Indonesia bagian timur. Nekara tipe Heger ditemukan dari penggalian tidak sengaja atau penggalian secara sistematis oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Nekara tipe Heger tersebar di wilayah-wilayah Indonesia seperti, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Lombok, Pulau Songeang, Pulau Sumbawa, Pulau Rote, Pulau Alor, Pulau Kalimantan, Pulau Selayar, Kepulauan Maluku, dan Papua.

Nekara yang ditemukan di pulau-pulau kecil Indonesia bagian timur dianggap sebagai pusaka desa. Masyarakat memberikan sesaji berupa makanan dan bunga di dekat nekara. Mereka juga menempatkan nekara di suatu tempat khusus, yang bahkan mengakibatkan rusaknya nekara itu. Bagi penduduk Pulau Sangeang nekara dipercaya dapat mendatangkan hujan dengan meletakkan nekara secara terbalik, yaitu bidang pukul berada di bawah. Posisi seperti inilah yang selalu didapati pada waktu nekara ditemukan dalam penggalian, baik oleh penduduk maupun peneliti.

Alat Serpih

Tinggalan alat serpih di Indonesia dan daerah-daerah lainnya di sekitar Asia Tenggara sering kali ditemukan bersama-sama dengan kapak perimbas atau alat batu masif lainnya. Alat serpih termasuk pada peninggalan masapalaeolithikum atau zaman batu tua Bahan batuan yang digunakan untuk membuat alat ini adalah jenis batuan tufa dan gamping kersikan serta batuan endap. Sesuai dengan bentuk-bentuknya, alat-alat tersebut digunakan sebagai penggaruk atau serut, gurdi, penusuk, pisau. Sebagian alat dan bilah menunjukan teknik pembuatan yang telah maju, dengan penyiapan bentuk-bentuk alat secara teliti sebelum dilepaskan dari batu intinya sehingga pada sejumlah alat tampak faset-faset dari dataran pukulnya (teknik pseudo Levallois). Tempat penemuan yang sangat penting di Indonesia mengenai alat serpih adalah Punung, Sangiran, dan Ngandong di Jawa; Cabbenge di Sulawesi Selatan; Mengeruda di Flores, serta Gassi Liu dan Sagadat di Timor. Selain itu alat ini ditemukan di Lahat (Sumatra Selatan), Gombong (Jawa Tengah) dan beberapa tempat di Timor sebagai unsur minor dalam satu konteks dengan kapak-kapak perimbas. Alat serpih yang ditemukan bersama-sama pekakas masif dilembah kali Baksoko, Gede, Sunglon, dan Sirikan di dekat Punung merupakan unsur yang penting pula dari Budaya Pacitan, terbukti dari kehadiran jenis perkakas ini yang melebihi separuh dari jumlah alat-alat batu yang ditemukan. Alat serpih dan bilah berukuran kecil dan besar (antara 4-10 cm), dan rata-rata menunjukan kerucut pukul yang jelas. Dilihat dari letak persebarannya, alat serpih ternyata tidak jauh berbeda dengan persebaran alat zaman paleolitikum lainnya, dimana semua alat itu tersebar di Asia Tenggara dan Asia Timur. Ciri utama dari zaman ini, adalah alat-alat dibuat sangat sederhana, kasar dan belum diperhalus. Manusia pendukung kebudayaan ini diperkirakan adalah pithecantrhopus. Di dalam konteks tradisi alat serpih tingkat Plestosen di Indonesia, sebagian alat serpih-bilah dari penemuan di sekitar Punung dapat dikategorikan tergolong maju.

Kapak Perunggu

Secara tipologis kepak perunggu dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu kapak corong (kapak sepatu) dan kapak upacara. Kapak perunggu memiliki macam-macam bentuk dan ukuran. Masyarakat Nusantara mengenal logam skitar 3000-200 SM, bertepatan dengan zaman perundagian. Pada zaman itu masyarakat nusantara membuat kapak yang terbuat dari perungu, atau yang lebih dikenal dengan Kapak Perunggu. Kapak perunggu memiliki macam-macam bentuk dan ukuran. Dilihat dari penggunaannya, maka kapak perunggu dapat berfungsi dua macam yaitu: 1. 2. Sebagai alat upacara atau benda pusaka Sebagai perkakas atau alat untuk bekerja

Keterangan pertama tentang kapak perunggu diberitakan Ramphius pada awal abad ke-18. Sejak sertengahan abah ke-19 mulai dilakukan pengumpulan dan pencatatan asal-usulnya oleh Koninklijk Bataviaasch Genootschap. Kemudian penelitian ditingkatkan ke arah tipologi dan uraian tentang distribusi dan konsep religious mulai dicoba berdsarkan bentuk dan pola hiasannya. Secara tipologis kepak perunggu dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu kapak corong (kapak sepatu) dan kapak upacara. Kemudian Heekeren mengklasifikasikan kapak ini menjadi kapak corong, kapak upacara dan tembilang atau tajak. Pembagian ini diperluas lagi oleh Soejono dengan mengadakan penelitian lebih cermat tentang bentuk-bentuk kapak dan membagi kapak perunggu menjadi delapan tipe pokok dengan menentukan daerah persebarannya. Tipe I atau tipe umum merupakan tipe dasar. Kapak jenis ini lebar dengan penampang lonjong, garis puncak (pangkal) tangkainya cekung atau kadang-kadang lurus, dan bagian tajaman cembung. Tipe II atau tipe ekor burung seriti mempunyai bentuk tanggai dengan ujung yang membelah seperti ekor seriti. Ujung tajaman biasanya berbentuk cembung atau seperti kipas. Belahan pada ujung tangkai ada yang dalam, dan ada yang dangkal. Kapak-kapak tipe ini ada yang dihias, ada pula yang tidak memperlihatkan hiasan. Tipe III atau tipe pahat memiliki tangkai yang pada umumnya lebih panjang daripada tajamannya. Bentuk tangkai ini ada yang menyempit dan lurus, ada yang pendek dan lebar. Bentuk tajaman cembuk atau lurus (datar). Tipe IV atau tipe tembilang berbentuk seperti tembilang zaman sekarang; tangkai pendek, mata kapak gepeng, bagian bahu lurus kea rah sisi-sisinya. Mata kapak berbentuk trapesioda atau setengah lingkaran. Tipe V atau tipe bulan sabit memiliki mata kapak berbentuk bulan sabit, bagian tengahnya lebar yang kemudian menyempit ke kedua sisi, serta sudut-sudut tajamannya membulat. Tangkai lebar di pangkal kemudian menyempit di bagian tajamannya. Tipe VI atau tipe jantung memiliki mata kapak seperti jantung, tangkainya panjang dengan pangkal yang cekung, bagian bahu melengkung, pada ujungnya. Tipe VII atau tipe candrasa bertangkai pendek dan melebar pada pangkalnya. Mata kapak tipis dengan kedua ujungnya melebar dan melengkung ke arah dalam. Pelebaran ini tidak sama sehingga membentuk bidang mata yang asimetris. Tipe VIII atau tipe kapak Rote berbentuk khusus dan hanya ada tiga buah ditemukan di Rote. Tangkai kapak yang lengkung serta panjang dituang menjadi satu dengan kapaknya. Keseluruhannya gepeng dan berukuran panjang lebih kurang 90 cm. Puncak (pangkal) tangkai berbentuk cakram, tempat perletakan kapaknya. Cakram ini dihias dengan pola roda atau pusaran. Pola hias utama pada mata kapak adalah topeng dengan tutup kepala yang menyerupai kipas. Sebuah fragmen kapak

perunggu yang memperlihatkan mata kapak berbentuk bulat dengan pola hias semacam pusaran yang disederhanakan mungkin sekali merupakan bagian dari jenis kapak upacara tipe kapak Rote ini. Setelah ditemukannya peralatan dari logam, peran peralatan dari batu berangsur-angsur ditinggalkan. Beberapa peralatan logam yang ditemukan di Indonesia menunjukan persamaan dengan temuan-temuan di Dong Son (Vietnam), hal ini menunjukan bahwa telah terjadi hubungan baik antara wilayah kepulauan Indonesia dengan Daratan Asia Tenggara.

Sebagian dari temuan mata panah di Nusantara

Di Nusantara, ada dua tempat penemuan yang penting berhubungan dengan mata panah pada masa prasejarah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Para peneliti menganggap bahwa mata panah yang ditemukan di Nusantara banyak menunjukan persamaan dengan penemuan mata panah yang ditemukan di Jepang. Tempat penemuan mata panah dari Jawa Timur, yaitu Sampung (Gua Lawa), Daerah Tuban (Gua Gede dan Kandang), dan gua-gua kecil di bukit dekat Tuban, di Besuki (Gua Petpuruh), Bojonegoro (Gua Keramat dan Lawang), Punung (tersebar di permukaan bukit bukit kecil di Song, Agung, Sambungan, Gunung Galuh) dan lain-lain. Gua-gua yang disebutkan di atas merupakan tempat penting pada masa berburu tingkat lanjut yang menggunakan peralatan dari tulang. Keberadaan alat mata panah ini ternyata setelah di selidiki tidak menunjukan secara kronologis. Contohnya di Gua Lawa, lapisan tanah yang menghasilkan mata panah berada di lapisan yang menghasilkan alat-alat dari tulang dan tanduk, sedangkan lapisan teratas menampilkan lapisan beliung bercampur dengan alat-alat dari logam. Bersama dengan ditemukannya mata panah, juga ditemukian beberapa pecahan gerabah perhiasan pola tali. Contoh lain adalah Gua yang ada di Bojonegoro, Tuban, dan besuki menghasilkan mata panah yang letaknya selapis dengan alat-alat tulang tipe sampung. Bentuk mata panah yang ditemukan di Jawa Timur pada umumnya segitiga dengan bagian basis bersayap dan cekung. Ada pula yang cembung atau kadang-kadang rata tidak bersayap. Ukuran panjang dari mata panah yang ditemukan antara 3-6 cm, lebar basis 2-3 cm, dengan ketebalan rata-rata 1 cm. Bahan yang digunakan untuk pembuatan mata panah ini adalah dari batu gamping. Pekerjaan pembuatan mata panah dilakukan dengan sangat teliti. Pada bagian ujung tajaman dari mata panah ditarah dari dua arah sehingga menghasilkan tajaman yang bergerigi atau berliku-liku dan tajam. Untuk kawasan Sulawesi Selatan, mata panah ditemukan pada lapisan Budaya Toala dan tersebar di beberapa gua di pegunungan kapur Bone, yaitu gua-gua Cakondo, Tomatoa kacicang, Ara, Bola Batu, Saripa, Burung, PattaE, Batu Ejaya, Panganreang Tudea, dan lain-lain. Dari hasil ekskvasi dapat diketahui bahwa pada umumnya lapisan mata panah ditemukan pada lapisan teratas bersama dengan gerabah, alat-alat serpih dan alat-alat dari kulit kerang.

Kapak Perimbas

Kapak perimbas merupakan pekakas yang terbuat dari batu jenis kapak yang digenggam dan berbentuk masif. Keberadaan kapak perimbas tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, khususnya berkembang di tempat-tempat yang banyak mengandung bahan batuan yang sesuai untuk pembuatan perkakas-perkakas batu. Kapak perimbas merupakan pekakas yang terbuat dari batu jenis kapak yang digenggam dan berbentuk masif. Kapak perimbas memiliki tajaman yang berbentuk konveks (cembung) atau kadang-kadang lurus diperoleh melalui pemangkasan pada salah satu sisi pinggiran batu. Kulit batu masihmelekat pada sebagian besar permukaan batunya. Keberadaan kapak perimbas tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, khususnya berkembang di tempat-tempat yang banyak mengandung bahan batuan yang sesuai untuk pembuatan perkakas-perkakas batu. Kapak perimbas banyak ditemukan di Sumatra Selatan (lahat), Lampung (Kalianda), Kalimantan Selatan (Awangbangkal), Sulawesi Selatan (Cabbege), Bali (Sembiran, Trunyan), Sumbawa (Batutring), Flores (Wangka, Maumere, Ruteng), dan Timor (Atambua, Kefanmanu, Noelbaki). Daerah Punung ternyata daerah terkaya akan kapak perimbas sehingga sekarang merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia. Selain di Indonesia, kapak perimbas banyak ditemukan di wilayah luar Indonesia, khususnya kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Ada pun tempat persebaran kapak perimbas adalah Thailand, Pakistan, Myanmar, Malaysia, Cina, dan Indonesia. Kalau dilihat dari sudut teknologinya, ternyata kapak perimbas yang ditemukan di Indonesia memiliki kesamaan dengan yang ditemukan di negara-negara lain. Movius berpendapat bahwa di Asia Tenggara dan Asia Timur berkembang suatu budaya Paleolitik yang berbeda dengan corak yang berkembang di daerah sebelah barat seperti Eropa, Afrika, Asia Barat, dan sebagian India, khususnya mengenai bentuk dan teknik alat-alat batunya. Hasil penemuan menunjukkan kalau teknik pembuatan yang ada di Asia Timur dan Asia Tenggara adalah monofasial, yaitu pengasahan alat-alat batu dilakukan pada salah satu permukaan saja. Kegiatan hidup sehari-hari manusia pendukung kebudayaan kapak perimbas (zaman Paleolitikum) adalah mengumpulkan bahan makanan atau food gathering. Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba yang hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus erectus, Homo wajakensis,Meganthropus paleojavanicus, dan Homo soloensis. Fosil ini ditemukan di aliran Sungai Bengawan Solo.

Kapang Genggam

Kapak genggam dibuat dari gamping kersikan dan berbentuk lonjong. Dinamakan kapak genggam karena digunukan dengan cara menggenggam, mirip dengan kapak tetapi tidak bertangkai, yang kemudian sering disebut dengan kapak genggam, chopper (alat penetak), atau kapak perimbas. Tradisi kapak genggam berlangsung pada zaman Paleolitikum. Kapak genggam digunakan untuk menumbuk biji-bijian, membuat serat-serat dari pepohonan, membunuh binatang buruan, atau sebagai senjata menyerang lawannya. Dinamakan kapak genggam karena digunukan dengan cara menggenggam, mirip dengan kapak tetapi tidak bertangkai, yang kemudian sering disebut dengan kapak genggam,chopper (alat penetak), atau kapak perimbas. Alat ini merupakan sebuah simbol dari keberadaan mereka, baik dari segi pengetahuannya maupun dari segi tingkat peradabanya. Kapak genggam pernah ditemukan oleh Von Koeningswald pada 1935 di Pacitan, Jawa Timur. Hasil penyelidikan menunjukkan kapak jenis ini berasal dari lapisan Trinil, yaitu pada masa Pleistosen Tengah, sehingga disimpulkan bahwa pendukung kebudayaan kapak genggam adalah manusiaPithecanthropus erectus. Daerah penemuan kapak genggam selain di Punung (Pacitan) Jawa Timur juga ditemukan di daerah Jampang Kulon, Parigi (Jawa Timur), Tambang Sawah, Lahat, dan Kal iAnda (Sumatra), Awangbangkal (Kalimantan), Cabenge (Sulawesi), Sembiran dan Terunyan (Bali). Selain di Indonesia kapak genggam juga ditemukan diPeking (Tiongkok) pada goa-goa di Choukoutien, serta sejumlah fosil yang mirip Pithecantropus erectus, yang disebut dengan Sinanthropus pekinensis, di mana alat-alat bantu yang ditemukan mirip dengan alat-alat di Pacitan (Soekmono,1973: 32). Kapak genggam dibuat dari gamping kersikan dan berbentuk lonjong. Pemangkasan dilakukan memanjang ke arah ujungnya yang meruncing, meliputi hampir seluruh permukaan batu dengan meninggalkan sebagian kecil kulit batu pada sebuah sisi permukaan. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam, dan membiarkan sisi yang lainnya apa adanya sebagai tempat memegang. Pada umumnya kapak gengam dipahat kasar secara memanjang, yaitu suatu teknik yang ada pada budaya kapak perimbas, tetapi ada juga beberapa buah yang diserpih dengan teliti dan dibentuk teratur (lonjong, bundar). Bentuk-bentuk yang khusus ini ditemukan baik di lembah Baksoko maupun di daerah Tabuhan, dan dapat digolongkan sebagai contoh-contoh yang mirip dengan alat-alat tingkat Acheulean awal, suatu tingkat budaya Paleolitik di Eropa dan Afrika. Pembuatan dengan cara seperti ini, mereka pelajari dari alam dan pengalaman hidup. Setelah menemukan alat-alat seperti ini, mereka terus berusaha untuk mengembangkannya dengan tujuan mendapatkan yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan banyak temuan yang lebih baik dari kapak ganggam dalam kurun waktu berikkutnya. Kapak genggam termasuk ke dalam awal kebudayaan manusia dalam menciptakan peralatan hidup. Kapak genggam merupakan hasil dari kebudayaan zaman Batu Tua atau Paleolitikum, di mana salah satu manusia pendukungnya adalah Pithecanthropus erectus. Mereka hidup secara berkelompok dan tinggal secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Alam merupakan tempat mereka untuk hidup dan mencari makan. Semua itu mereka lakukan demi kelangsungan hidupnya dalam kelompok (keluarga. Pada masa itu mereka melakukan belajar dari alam dan dari orang yang lebih tua. Anak laki-laki yang dianggap sudah cukup usia biasanya dibawa berburu, dengan tujuan memperkenalkan pengetahuan berburu; dengan begitu apabila sudah besar dia bisa berburu sendiri. Belajar dari alam langsung (praktik di lapangan) menjadi pendidikan utama pada masa itu.

Kapak Persegi

Nama kapak persegi berasal dari Von Heine Goldern berdasarkan penampang dari alat-alatnya yang berbentuk persegi panjang atau trapezium. Tempat penemuan kapak persegi di Indonesia adalah Sumatra, Jawa, Bali, Nusan Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi dan di Kalimantan. Pembuatan kapak-kapak ini diperkirakan terpusat di beberapa tempat, dari dari sini menyebar ke tempat-tempat lain. Nama kapak persegi berasal dari Von Heine Goldern berdasarkan penampang dari alat-alatnya yang berbentuk persegi panjang atau trapezium. Kapak ini berbentuk persegi panjang dengan bagian pangkal yang tidak tajam untuk mengikat tangkai, sedangkan pada bagian lainnya (ujung) diberi tajaman dengan cara di asah. Selain berfungsi sebagai kapak, kapak persegi juga digunakan untuk keperluan lainnya tergantuk pada ukurannya. Kapak persegi yang ukurannya kecil dipergunakan untuk memotong kayu sedangkan kapak yang lebih besar bisa digunakan sebagai cangkul. Kapak persegi dibuat dari bahan batu api dan batu chalsedon. Tempat penemuan kapak persegi di Indonesia adalah Sumatra, Jawa, Bali, Nusan Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi dan di Kalimantan. Pembuatan kapakkapak ini diperkirakan terpusat di beberapa tempat, dari dari sini menyebar ke tempat-tempat lain. Pada tempat penemuan kapak persegi di beberapa tempat yang tidak memiliki bahan batu api, yang digunakan sebagai bahan pembuatannya, sedangkan di pusat pembuatannya banyak sekali ditemukan kapak persegi yang semunya telah diberi bentuk namun masih kasar atau belum dihaluskan. Hal ini menandakan kalau kapak persegi dihaluskan oleh

pemakainya bukan pembuatnya. Adapun perkiraan pusat-pusat dari pembuatan kapak persegi antara lain di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya (Jawa Barat), di daerah Pacitan (Madiun) dan lereng selatan Gunung Ijen (Jawa Timur). Di luar Indonesia kapak persegi ditemukan juga di Malaysia, Thailand, Vietnam, Khmer, Cina, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Polinesia. Pada umumnya kapak persegi berbentuk memanjang dengan penampang lintang persegi. Seluruh bagiannya diupam halus-halus, kecuali pada bagian pangkalnya sebagai tempat ikatan tangkai. Tajamannya dibuat dengan mengasah bagian ujung permukaan, bagian bawah landai ke arah pinggir ujung permukaan atas. Dengan cara demikian diperoleh bentuk tajaman yang miring seperti terlihat pada tajaman pahat buatan masa kini. Variasi yang paling umum dari kapak persegi adalah kapak yang ditemukan di Jawa, Sumatra, dan Bali. Selain itu, ada pula variasi-variasi lain seperti kapak bahu, kapak tangga, kapak atap, kapak bentuk biola, dan kapak penarah. Bentuk-bentuk variasi ini ditemukan di beberapa daerah saja dan jumlahnya pun sangat terbatas. Tempat-tempat penemuannya terutama di daerah utara dan daerah timur kepulauan Indonesia. Variasi-variasi kapak persegi menunjukkan persamaan dengan bentuk-bentuk di daerah luar Indonesia yang menyebar dari Cina melalui kepulauan-kepulauan di utara Indonesia ke arah Polinesia Timur. Apabila pada zaman paleolitikum penggunaan kapak batu langsung dipenggang dengan menggunakan tangan, tanpa menggunakan alat lain. Pada zaman neolitikum, sudah mengenal tangkai sebagai bahan yang digunakan untuk mengikat kapak dan digunakan sebagai pegangan. Cara memasangkan mata kapak pada tangkai ialah dengan memasukkan bendanya langsung dalam lubang yang khusus dibuat pada ujung tangkai atau memasangkan mata kapak pada gagang tambahan yang kemudian diikatkan menyiku pada gagang pokoknya. Pada kedua cara ini, mata kapak dipasangkan vertikal. Penambahan alat dalam menggunakan kapak dari batu ini merupakan sebuah inovasi yang mampu dikembangkan oleh manusia pada zaman prasejarah. Mereka terus berinovasi untuk menghasilkan yang lebih baik dan efisien, termasuk kenyamanan dalam menggunakannya. Tangkai kapak atau gagang kemungkinan berbahan dasar dari kayu dan sejenisnya. Kayu-kayu tersebut mereka bentuk sedemikian rupa sehingga mudah untuk memasang mata kapak atau kapak persegi dan mudah dalam memegangnya.

Dolmen

Dolmen merupakan sebuah meja batu hasil kebudayaan zaman Megalitikum yang berfungsi untuk menyimpan sesaji. Tradisi Dolmen tidak hanya ditemukan di Indonesia, namun Dolmen telah ditemukan di Eropa, Asia, dan Afrika, terutama di sepanjang pesisir pantai. Dolmen adalah sebuah meja yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas. Masyarakat pada masa itu meyakini akan adanya sebuah hubungan antara yang sudah meninggal dengan yang masih hidup, mereka percaya bahwa apabila terjadi hubungan yang baik akan menghasilkan keharmonisan dan keselarasan bagi kedua belah pihak. Menurut pengamatan Hoop, dolmen yang paling baik terdapat di Batucawang. Papan batunya yang berukuran 3 x 3 meter dengan tebal 7 cm, terletak di atas empat buah batu penunjang. Salah satu dolmen yang digali di Tegurwangi diduga berisi tulang-tulang manusia. Tetapi benda-benda lain yang dianggap sebagai bekal kubur tidak ditemukan. Selain dolmen, di daerah ini banyak ditemukan patung-patung batu, yang diduga merupakan patung nenek moyang. Di antara dolmen-dolmen tersebut terdapat juga dolmen yang papan batunya ditunjang oleh enam batu tegak. Tradisi setempat menyatakan bahwa tempat ini merupakan pusat kegiatan upacara pemujaan nenek moyang dan tempat tempat untuk penguburan. Di daerah ini ditemukan pula domen bersama-sama menhir. Temuan dolmen-dolmen lainnya terdapat di Pamatang dan pulau Panggung. Daerah temuan lain ialah Nanding, Tanjungara, Pajarbulan (di sini dolmen ditemukan bersama-sama dengan lesung batu), Gunungmegang, Tanjungsakti, Pagerdewa, Lampung Barat dan Sumbawa. Dolmen diperkirakan mulai dikenal dalam masyarakat Indonesia pada zaman bercocok tanam. Tradisi Dolmen ternyata tidak hanya ditemukan di Indonesia, namun Dolmen telah ditemukan di Eropa, Asia, dan Afrika, terutama di sepanjang pesisir pantai. Mereka berasal dari periode Neolithikum awal, sekitar 10.000 tahun sebelum Masehi. Masyarakat masa bercocok tanam memiliki ciri khas yang sesuai dengan perkembangan penemuan-penemuan barunya. Sebagai masyarakat petani, penduduk sudah dapat memproduksi makanan sehari-hari. Salah satu ciri yang menonjol dalam masyarakat masa bercocok tanam adalah sikap terhadap kehidupan yang sudah mati. Mereka percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal mempunyai kehidupan tersendiri sesudah orang meninggal. Dolmen-dolmen yang masih dapat disaksikan sampai sekarang mempunyai bentuk-bentuk luar biasa besarnya sehingga kadang-kadang sulit dibayangkan bagaimana batu besar dan dengan berat berton-ton itu dapat diangkut. Pengangkutan batu sampai setinggi dua meter lebih tentu mempunyai teknik tersendiri di dalam cara pengangkutannya. Besar tiang-tiang penyangga biasanya disesuaikan dengan besar batu datarnya. Semakin besar batu datar maka semakin besar tiang penyangganya.

Lukisan Anoa pada dinding Gua Sumpangbita, Pangkep, Sulawesi Selatan

Lukisan gua di Indonesia diketahui berkembang pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (Kosasih, 1983). Menurut H.R. Van Hekeren (1972, dalam Permana 2008) kemungkinan besar kehidupan gua di Sulawesi Selatan berlangsung sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Lukisan gua di Indonesia tersebar di wilayah Sulawesi Selatan, Kepulauan Maluku, Papua, dan Kalimantan. Pada tahun 1950 .H.M. Heeren-Palm menemukan lukisan gua di Sulawesi Selatan tepatnya di Leang Pattae. Di gua ini ditemukan cap-cap tangan dengan latar belakang cat merah, barangkali ini merupakan cap tangan kiri perempuan. Ada pun cap-cap tangan ini dibuat dengan cara merentangkan jari-jari tangan itu di dinding gua kemudian ditaburi dengan cat merah. Selain cap tangan ditemukan juga lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah di bagian jantungnya. Lukisan semacam ini dimaksudkan sebagai suatu harapan agar mereka berhasil berburu di dalam hutan. Lukisan babi dan rusa tadi digambarkan dengan garis-garis horizontal bewarna merah (Poespoenegoro, 2008: 187). Berdasarkan data geografi dan data arkeologi, ada dua wilayah di Sulawesi Selatan yang memiliki gua berlukis yaitu wilayah Kabupaten Maros (Kompleks Maros) dan Kabupaten Pangkajene (Kompleks Pangkajene). 1. 2. Kompleks Maros, merupakan objek arkeologi yang sering diteliti, bahkan paling banyak diteliti oleh dalam dan luar negeri serta paling lama diteliti, yaitu sejak zaman Belanda sampai sekarang. Kompleks Pangkajene, merupakan wilayah yang memiliki lukisan gua yang paling banyak jumlahnya, antara lain Garunggung, Lasitae, Bulu Ballang, Lompoa, Kassi, Sapiria, Sakapao, Akarasaka, Sumpangbita, Bulusumi, Bulu Sipong, Camingkana, Patenungan, Bulu Ribba, Salluka, dan Cumi Lantang. Gua-gua yang ada di Sulawesi Selatan memiliki lukisan yang sangat bervariasi, tidak hanya teknik penggambarannya tetapi juga perihal keragaman polanya. Warna merah sebagai warna dominan walapun ada beberapa gua yang menampilkan pola manusia dengan warna hitam, yaitu gua Lompoa, Kassi, dan Sapiria. Adapun gambar pola yang dimaksud antara lain gambar cap kaki, anoa, dan sampan hanya terdapat di Gua Sumpang Bita. Pola ikan ditemukan di gua Lasitae, Bulu Ballang, Akarassaka, Bulu Sippong, dan Bulu Ribba. Di gua Bulu Ballang terdapat juga pola kura-kura, sedangkan gua Bulu Ribba hanya tertela seekor ikan jenis lumba-lumba. Secara umum gua-gua tersebut memunyai pola cap tangan dan babi, sedangkan pola perahu hanya terdapat pada Gua Bulu Sippong. Satu-satunya pola babi yang memiliki pola religi-magis, yang dibuktikan dengan adanya semacam tatu atau bekas luka di punggungnya, terdapat di gua Sakapao (Poesponegoro, 2008: 198). Pada dinding gua Sakapao tertela pola lukisan bewarna merah yang terdiri dari cap tangan dan babi. Untuk beberapa cap tangan, ada yang hanya digambar tangan bagian bawahnya. Gambar pola babi yang terdapat dalam lukisan ini nampaknya memiliki sebuah keunikan. Pertama, memperlihatkan suatu goresan pada tubuh seekor babi yang menyerupai bekas luka, mungkin akibat dari terkena sabetan senjata tajam atau tusukan tombak. Dari lukisan ini banyak orang yang mengartikan atau menghubungkannya dengan kekuatan magis, seperti makna lukisan yang terdapat dalam gua Pattakere I. Selain bermakna magis gambar ini juga dapat ditafsirkan sebagai simbol dalam perburuan, di mana masyarakat pada masa itu sudah mengenal perburuan babi, baik untuk bahan makanan maupun keperluan upacara. Kedua, menampilkan gambar babi yang tumpang-tindih, keduanya menghadap ke kanan. Kalau kita cermati lebih jeli nampak bahwa gambar babi memperlihatkan babi berkelamin. Adegan ini cenderung memiliki maksud memperlihatkan atau berhubungan dengan masalah kesuburan.

Perhiasan zaman prasejarah

Pada masa bercocok tanam ternyata manusia sudah mengenal perhiasan seperti gelang dari batu dan kulit kerang. Perhiasan seperti ini ditemukan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penemuan, kita dapat mengetahui ketahui bagaimana cara pembuatan perhiasan zaman prasejarah. Manusia dalam kehidupannya tidak terlepas dari yang namanya keindahan. Pehiasan merupakan salah satu benda yang dipergunakan untuk memperhias atau memperindah tubuh manusia. Pada masa bercocok tanam ternyata manusia sudah mengenal perhiasan seperti gelang dari batu dan kulit kerang. Perhiasan seperti ini ditemukan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penemuan, kita dapat mengetahui ketahui bagaimana cara pembuatan perhiasan zaman prasejarah. Untuk membuat gelang, pertamatama bahan dari batu dipukul-pukul sehingga diperoleh bentuk bulatan gepeng. Permukaan bawah dan alas yang rata kemudian dicekungkan itu bertemu menjadi sebuah lubang. Dengan jalan menggosok dan mengasah, diperoleh gelang yang dikehendaki. Pengupaman lebih lanjut dari sisi-sisi gelang dilakukan dengan batu asah yang berbentuk lonjong meruncing dan yang dibuat dari batuan fosil kayu. Pembuatan gelang seperti ini terbukti dari temuan-temuan di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang menunjukkan tahap-tahap pengerjaannya. Laporan dari Tasikmalaya memberikan keterangan bahwa bahan gelang itu terdiri atas batu pilihan seperti agat, kalsedon, dan jaspis bewarna putih, kuning, coklat, merah, dan hijau (Poesponegoro, 2008: 235). Setelah dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang gelang hasil penemuan dari zaman prasejarah. Diperoleh keterangan bermacam-macam ukuran, yaitu yang bergaris tengah antara 24-54 mm dengan tebal 6-17 mm. Dilihat dari ukuran tersebut, diperoleh dugaan tentang kemungkinan adanya ukuran yang lebih kecil, yang dipergunakan sebagai benda zimat yang mengandung kekuatan magis atau bisa digunakan sebagai anting-anting. Daerah lain di Jawa Barat di mana berhasil ditemukan perhiasan adalah Cirebon Timur dan Bandung bagian barat. Temuan dari tempat-tempat ini hanya berupa gelang-gelang yang sudah jadi. Koenigswald melakukan penelitian di Surakarta tentang gelang-gelang dari kulit kerang, bersama-sama dengan sejumlah temuan lain seperti manik-manik dari kulit kerang dan beliung-beliung persegi. Untuk mengetahui bagaimana cara pembuatannya kita bisa membandingkannya dengan kerajinan tradisional yang sama pada masa sekarang. Studi perbandingan ini akan menghasilkan gambaran mengenai kehidupan pada masa lalu, walau itu memang bukan representasi dari yang sebenarnya. Sebagai contoh, pembuatan gelang dari kulit kerang yang di temukan di Surakarta diperkirakan dengan mengurdi seperti yang dikenal di Luzon Utara sekarang. Bahan kulit kerang yang digunakan ternyata tidak semua kulit kerang bisa digunakan. Jenis kulit kerang yang banyak digunakan adalah jenis Tridacna, digurdi dengan gurdi bambu dari kedua belah permukaan. Gurdi itu diputar dengan bantuan seutas tali di bagian yang terlebih dahulu diberi air dan pasir. Cara menggurdi ini juga dipergunakan untuk mengerjakan gelang-gelang batu yang ditemukan di Malaysia dan Thailand seperti yang di paparkan oleh M.W.F. Tweedie. Tempat-tempat penemuan gelang di wilayah Indonesia adalah Limbasari, Kabupaten Purbalingga. Selain di Indonesia, gelang-gelang juga ditemukan di Szechwan, Fongtien, Siberia, Jepang, Korea, Jehor, Chahor, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Honan, Pulau Lamma, dan Taiwan.

Você também pode gostar