Você está na página 1de 11

Dispnea dan Edema Paru

11 Agustus 2010 kesehatanvegan Tinggalkan Komentar Go to comments http://kesehatanvegan.com/2010/08/11/dispnea-dan-edema-paru/

DISPNEA Pasien dengan penyakit jantung paru umumnya memiliki gejala dispnea. Dispnea didefinisikan sebagai sensasi benapas yang tidak nyaman (an uncomfortable sensation of breathing) atau sensasi bernapas yang tidak nyaman dan disadari bahwa hal tersebut merupakan suatu kelainan (abnormally uncomfortable awareness of breathing). 1,2,3 Anamnesis yang lengkap sangat penting untuk memperoleh kepastian apakah pasien benar-benar menderita dispnea. Apabila dispnea telah ditegakkan, maka sangat penting untuk memperoleh data-data mengenai penyebab dispnea dan menilai gejala dan tanda lain yang berhubungan dengan dispnea. Pada beberapa situasi, pasien terkadang tampak kesulitan bernapas namun tidak mengeluhkan dispnea. Hal ini tampak pada keadaan hiperventilasi akibat asidosis metabolik dimana jarang ditemukan bersamaan dengan dispnea. Pada keadaan lain, pasien dengan pola napas yang normal dapat mengeluhkan dispnea. 1 KUANTITAS DISPNEA Derajat dispnea didasarkan atas seberapa besar kegiatan/aktivitas fisik yang dibutuhkan untuk menimbulkan sensasi. Dalam menilai derajat dispnea, dibutuhkan data-data mengenai kondisi fisik umum pasien, riwayat pekerjaan, dan kebiasaan pasien. Sebagai contoh, dispnea yang terjadi pada seorang pelari terlatih yang berlari sejauh 2 mi menunjukkan gangguan yang lebih serius dibandingkan dengan dispnea pada seorang pejalan kaki yang berlari dengan jarak yang sama. Variasi antarindividu dalam persepsi juga patut dipertimbangkan. Beberapa pasien dengan penyakit berat mungkin hanya mengeluh dispnea ringan, sedangkan pada pasien dengan penyakit ringan dapat mengeluhkan dispnea berat. 1 Beberapa pola dispnea tidak berhubungan langsung dengan aktivitas fisik. Dispnea saat istirahat yang terjadi tiba-tiba dapat berkaitan dengan emboli paru, pneumotoraks spontan, hiperkapnia sekunder terhadap penahanan napas, atau keadaan cemas. Episode nokturnal dispnea paroksismal berat merupakan karakteristik dari gagal jantung ventrikel kiri. Dispnea saat posisi berbaring, atau orthopnea, walaupun merupakan gejala utama gagal jantung kongestif namun dapat pula ditemukan pada asma, obstruksi kronik saluran napas dan paralisis diafragma bilateral. Trepopnea adalah dispnea yang terjadi hanya pada posisi lateral dekubitus, yang sering pada pasien dengan penyakit jantung. Platypnea adalah dispnea yang terjadi hanya pada posisi tegak. Hal yang mendasari yaitu bahwa perubahan posisi berhubungan dengan ventilasi-perfusi. 1 American Thoracic Society membuat skala yang dapat digunakan untuk menentukan derajat dispnea.

Tabel 1. American Thoracic Society Scale of Dyspnea 2 DESCRIPTIONS GRADE Not troubled by shortness of breath when hurrying on the level 0 or walking up a slight hill 1 Troubled by shortness of breath when hurrying on the level or walking up a slight hill 2 Walks more slowly than people of the same age on the level 3 because of breathlessness or has to stop for breath when walking at own pace on the level 4 Stops for breath after walking about 100 yards or after a few minutes on the level Too breahtless to leave the house; breathless on dressing or undressing MEKANISME DISPNEA Dispnea dipicu oleh stimulus terhadap reseptor yang terdapat dalam saluran napas atas, paru, otot-otot pernapasan, dinding dada, atau kombinasi dari reseptor-reseptor tersebut. Dispnea ditandai oleh aktivasi pusat pernapasan yang abnormal atau berlebihan dalam batang otak. Aktivasi ini berasal dari stimulus yang ditransmisikan dari atau melalui : 1,3 1. reseptor intratoraks melalui nervus vagus 2. saraf somatic aferen, terutama dari otot pernapasan dan dinding dada, selain itu juga dari otot rangka dan sendi lain 3. kemoreseptor di dalam otak, aorta dan badan karotis, serta semua tempat dalam sirkulasi 4. pusat kortikal yang lebih tinggi 5. serat aferen dalam nervus phrenikus Gambar 1. Mekanisme dispnea DIAGNOSIS BANDING Obstruksi saluran napas 1 Obstruksi saluran napas dapat ditemukan pada setiap bagian mulai dari saluran napas ekstratorakal hingga saluran napas kecil di perifer paru. Obstruksi saluran napas ekstratorakal yang besar dapat terjadi akut seperti aspirasi makanan atau benda asing atau angioedema glotis. Obstruksi saluran napas atas akut merupakan keadaan emergensi. Obstruksi kronik dapat ditemukan tumor atau stenosis fibrotik pasca trakeostomi atau pasca intubasi endotrakeal yang lama. Obstruksi akut dan kronik memiliki gejala utama berupa dispnea dengan tanda khas yaitu adanya stridor dan retraksi fosa supraklavikula saat inspirasi. DEGREE None Mild Moderate Severe Very severe

Obstruksi saluran napas intratorakal dapat terjadi secara akut dan intermiten atau dapat dijumpai secara kronik dan semakin parah jika terdapat infeksi. Obstruksi intermiten akut dengan wheezing merupakan ciri khas serangan asma. Batuk kronik dengan ekspektorasi merupakan ciri khas bronkhitis kronik dan bronkiektasis. Paling sering ditemukan adalah ekspirasi memanjang serta suara ronkhi kasar, terdapat menyeluruh pada bronchitis kronik, dan dapat terlokalisir pada bronkiektasis. Infeksi mengakibatkan gejala batuk semakin bertambah parah, peningkatan pengeluaran sputum yang purulen dan dispnea yang lebih berat. Selama serangan ini, pasien dapat mengeluhkan paroksismal nokturnal dispnea dengan wheezing yang akan berkurang dengan batuk dan pengeluaran sputum. Emfisema ditandai oleh gejala dispnea deffort selama bertahun-tahun yang kemudian berkembang menjadi gejala dispnea saat istirahat. Meskipun berdasarkan definisinya emfisema adalah penyakit parenkim paru, emfisema selalu disertai dengan obstruksi saluran napas. Penyakit Paru Parenkimal Difus 1 Kelompok penyakit ini mencakup penyakit yang berkisar dari pneumonia akut hingga kelainan kronik seperti sarkoidosis dan berbagai bentuk pneumokoniosis. Riwayat penyakit, hasil pemeriksaan jasmani dan kelainan radiologi memberikan petunjuk untuk menegakkan diagnosis. Pasien sering terlihat takipnea dengan PCO2 dan PO2 arterial dibawah nilai normal. Volume paru menurun dan paru-paru menjadi lebih kaku yaitu penurunan compliance dibandingkan dengan paru-paru normal. Penyakit Vaskular Paru Oklusif 1 Dispnea berulang saat istirahat sering terjadi akibat emboli paru yang berulang. Adanya sumber emboli seperti phlebitis pada ekstremitas bagian bawah atau pelvis sangat membantu dalam mendiagnosis. Pemeriksaan gas darah arteri umumnya abnormal, tetapi volume paru seringkali normal atau hanya didapat kelainan minimal. Penyakit Dinding Dada atau Otot Respirasi 1 Pemeriksaan fisik dapat menegakkan keberadaan penyakit dinding dada seperti kifoskoliosis berat, pectus ekskavatum dan spondilitis. Walaupun secara keseluruhan tiga deformitas ini dapat disertai dengan gejala dispnea, hanya kifoskoliosis berat yang selalu mengganggu respirasi dengan intensitas cukup berat hingga terjadi cor pulmonale kronik dan gagal napas. Kelemahan dan paralisis otot-otot pernapasan dapat menimbulkan dispnea dan gagal napas. Penyakit Jantung 1 Pada penyakit jantung, dispnea deffort terjadi sebagai akibat dari peningkatan tekanan kapiler paru yang dapat disebabkan oleh penurunan compliance ventrikel kiri dan stenosis mitral. Kenaikan tekanan hidrostatik pada pulmonary vascular bed mengganggu keseimbangan Starling sehingga terjadi transudasi cairan ke dalam rongga interstisial, mengurangi compliance paru dan merangsang reseptor J (jukstakapilaris) dalam rongga interstisial alveoli. Jika terjadi dalam jangka waktu lama, hipertensi vena paru akan mengakibatkan penebalan dinding pembuluh darah

kecil paru, meningkatkan sel perivaskular dan jaringan ikat sehingga mengakibatkan penurunan compliance paru lebih lanjut. Kompetisi antara pembuluh darah, saluran napas, dan peningkatan cairan dalam ruang interstitial akan meningkatkan resistensi saluran napas. Penurunan compliance dan peningkatan resistensi saluran napas meningkatkan kerja pernapasan. Pada gagal jantung kongestif lanjut, umumnya melibatkan tekanan vena paru dan vena sistemik, sehingga dapat timbul hidrotoraks yang akan memperberat dispnea. Pada pasien dengan gagal jantung dan curah jantung yang sangat menurun, dispnea dapat juga dikaitkan dengan kelelahan otot respirasi sebagai akibat perfusi yang menurun Ortopnea, yaitu dispnea pada posisi berbaring, terjadi akibat perubahan gaya gravitasi ketika pasien berbaring sehingga akan meningkatkan tekanan vena dan kapiler paru. Ortopnea mengakibatkan redistribusi cairan dari abdomen dan ekstremitas bawah ke toraks sehingga meningkatkan tekanan kapiler paru, dikombinasikan juga dengan elevasi diafragma. Paroksismal nocturnal dyspnea, dikenal dengan asma kardiak, ditandai dengan serangan sesak napas yang berat yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur. Serangan tersebut dicetuskan oleh stimulus yang memperburuk kongesti paru yang telah ada sebelumnya. Volume total darah menjadi lebih besar di malam hari karena reabsorbsi edema dari ekstremitas ketika pasien berbaring. Dua bentuk nokturnal dispnea yang harus dibedakan dari gagal jantung adalah bronkitis kronik dan asma. Bronkitis kronik dikarakterisasikan dengan hipersekresi mukus. Setelah tidur beberapa jam, terjadi akumulasi sekret, timbul dispnea dan wheezing, dan akan membaik dengan batuk dan pengeluaran sputum. Pasien asma dapat membangunkan pasien dengan sensasi dispnea berat dan wheezing. Inhalasi bronkodilator umumnya memperbaiki gejala dengan cepat. g vPada dispnea kardiak dapat ditemukan riwayat infark miokard, suara jantung ketiga serta keempat dan atau terdapat bukti yang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri, distensi vena jugularis leher serta edema perifer. Pada foto thoraks terdapat tanda gagal jantung yang menunjukkan edema interstisial, redistribusi vaskuler pulmonalis dan penumpukan cairan di daerah septal serta kavitas pleura. Ekokardiografi terutama berguna untuk menegakkan diagnosis anatomi penyakit jantung yang dapat menjadi penyebab terjadinya dispnea. Perbedaan antara Dispnea Kardiak dengan Dispnea Pulmonal 1 Pada sebagian besar pasien dispnea terbukti klinis adanya penyakit jantung atau pada paru.. Seperti halnya dispnea kardiak, PPOK juga dapat terbangun di malam hari karena sesak napas, tetapi gejala ini biasanya disertai dengan produksi sputum dan gejala dispnea akan mereda setelah pasien berhasil mengeluarkan sputumnya. Pada pasien dengan etiologi dispnea yang tidak jelas, sebaiknya dilakukan tes faal paru karena tes ini dapat membantu menentukan apakah dispnea tersebut ditimbulkan oleh penyakit jantung, penyakit paru, kelainan dinding dada ataukah oleh kecemasan. Pengukuran fraksi ejeksi pada saat istirahat dan sewaktu melakukan latihan jasmani melalui pemeriksaan ekokardiografi atau radionukletida ventrikulography amat membantu dalam menentukan etiologi. Fraksi ejeksi ventrikel kiri akan menurun pada gagal ventrikel kiri, sedangkan pada penyakit paru yang berat

fraksi ejeksi ventrikel kanan dapat rendah pada saat istirahat atau menurun sewaktu melakukan latihan jasmani. Pada dispnea akibat cemas atau malingering, kedua fraksi ejeksi tersebut normal saat istirahat dan sewaktu melakukan latihan jasmani. Observasi yang cermat selama tes treadmill membantu mengidentifikasi pasien cemas dan malingering. Pada kedua keadaan ini, pasien biasanya mengeluh sesak napas, tetapi tampak bernapas irregular atau tanpa tenaga. Pemeriksaan jantung paru meliputi penilaian kapasitas fungsional maksimal exercise pasien saat dilakukan pengukuran elektrokardiogram, tekanan darah, konsumsi oksigen, saturasi arteri (oksimetri), dan ventilasi, membantu dalam membedakan dispnea kardiak dan pulmonal. Tabel 2. Kelainan pada uji exercise jantung paru 1 Kelainan kardiovaskular Kelainan respirasi - denyut jantung > 85% prediksi maksimum - tidak mencapai 85% denyut jantung prediksi maksimal - ambang anaerobik rendah - stabil atau peningkatan rasio dead space terhadap volume tidal - penurunan konsumsi oksigen maksimal - penurunan tekanan darah dengan latihan - bronkospasme dengan penurunan FEV1 (exercise) - tidak ada perubahan iskemik pada EKG - aritmia atau perubahan iskemi pada EKG - mencapai / melebihi prediksi ventilasi - tidak mencapai ventilasi prediksi maksimal maksimal - tidak memiliki desaturasi bermakna Ansietas1 Dispnea yang dialami oleh seseorang dengan ansietas merupakan gejala yang sulit untuk dievaluasi. Keluhan dan gejala hiperventilasi akut serta kronik tidak dapat dipakai untuk membedakan antara ansietas dan proses lainnya. Situasi lain yang dapat membingungkan terlihat ketika nyeri dada dan perubahan gambaran EKG menyertai sindroma hiperventilasi. Jika ditemukan dan ada kaitannya dengan kondisi ini, yang sering disebut astenia neurosirkulatorik, gejala nyeri dada yang dikeluhkan acapkali terasa menusuk, berpindah-pindah di berbagai lokasi dan perubahan gambaran EKG paling sering terlihat selama repolarisasi. Respirasi yang sering disertai dengan tarikan napas panjang dan pola pernapasan yang tidak beraturan merupakan petunjuk yang membantu penegakkan diagnosis. Seringkali pola pernapasan tersebut akan kembali normal sewatu pasien tidur. Cemas dan depresi yang berhubungan dengan penyakit paru atau jantung dapat menambah berat gejala sesak napas. EDEMA PARU - desaturasi bermakna (<90%)

Edema paru terjadi akibat adanya akumulasi cairan di paru-paru. Edema paru dapat diakibatkan oleh kelainan pada jantung (edema paru kardiogenik) atau kelainan di luar jantung (edema paru non kardiogenik) Mekanisme Edema Paru Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru : 1,4,5 1.Membran kapiler alveoli Edema paru terjadi jika perpindahan cairan dari darah ke ruang interstitial atau ke alveoli melampaui pengembalian cairan ke dalam darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan dari pembuluh darah ke ruang interstitial. 2. Sistem limfe Sistem limfe berperan dalam pemindahan cairan dari ruang interstitial. Bila kapasitas saluran limfe dilampaui, akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg pada keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan, didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema. Sedangkan bila terjadi peningkatan tekanan kapiler paru yang tibatiba dapat berakibat fatal pada pasien yang tidak mengalami penambahan aliran limfe sebelumnya. Studi ekperimental membuktikan bahwa mekanisme edema paru menerapkan pula hukum Starling. Q (iv-int) = Kf {(Piv Pint) t(IIiv IIint)}- Qlimf Q = kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitial Piv = tekanan hidrostatik intravaskular Pint = tekanan hidrostatik interstitial IIiv = tekanan osmotik koloid intravaskular IIint = tekanan osmotik koloid interstitial t = koefesien refleksi protein / makromolekul Kf = konduktans hidrolik (berbanding lurus dengan area permukaan membran dan berbanding terbalik dengan ketebalan membran)

Qlimf = aliran limfe Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetusnya 1,4 I. Gangguan keseimbangan gaya Starling 1. Peningkatan tekanan kapiler pulmonalis 1. Peningkatan tekanan vena pulmonalis tanpa gagal ventrikel kiri (misalnya pada stenosis mitral) 2. Peningkatan tekanan vena pulmonalis yang terjadi sekunder akibat gagal ventrikel kiri 3. Peningkatan tekanan tekanan kapilerpulmonalis yang terjadi sekunder akibat peningkatan tekanan arterial pulmonalis (keadaan ini disebut sebagai edema paru karena overperfusi) 2. Penurunan tekanan osmotik 1. Hipoalbuminemia 3. Peningkatan negativitas pada tekanan interstisial 1. Pengosongan pnemotoraks yang cepat dengan diberikan tekanan negatif yang besar (unilateral) 2. Tekanan pleura negatif yang besar akibat obstruksi saluran napas saja dengan peningkatan volume akhir-ekspirasi (asma) II. Berubahnya permeabilitas membran alveoli-kapiler (acute respiratory distress syndrome) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pneumonia infeksius bakterial, viral, parasit Toksin yang terinhalasi (fosgen,ozon,klorin, asap teflon,nitrogen dioksida, asap api) Zat asing yang beredar dalam darah (racun ular, endotoksin bakteri) Aspirasi isi lambung Pneuminitis radiasi akut Zat-zat vasoaktif endogen (misalnya histamin, kinin) Koagulasi intravaskular diseminata Immunologi pneumonitis hipersensitivitas, obat-obatan (nitrofurantoin), leukoglutinin 9. Syok paru yang berkaitan dengan trauma nontorakal 10. Pankreatitis hemoragik akut III. Insufisiensi limfatik 1. Setelah transplantasi paru 2. Karsinomatosis limfangitik 3. Limfangitis fibrosing (misalnya, silikosis) IV. Tidak diketahui atau hanya dipahami sebagian

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Edema paru di tempat tinggi Edema paru neurogenik Overdosis narkotika Emboli paru Eklamsia Setelah kardioversi Setelah anastesi Setelah operasi pintas (bypass) kardiopulmoner

Edema Paru Kardiogenik Peningkatan tekanan vena paru yang akan menimbulkan kongesti pada pembuluh darah paru, sering ditemukan pada sebagian besar kasus dispnea yang menyertai gagal jantung kongestif. Paru menjadi kurang compliance, tahanan pada pembuluh napas yang kecil meningkat, dan terdapat kenaikan aliran limfe yang berfungsi mempertahankan volume cairan ektravaskular paru yang konstan. Pada keadaan ini biasanya terdapat takipnea ringan. Bila keadaan ini berlanjut maka peningkatan intravaskular akan mengakibatkan penumpukan cairan di ruangan ekstravaskular sehingga timbul edema interstitial. Pada saat ini maka gejala memburuk, takipneu meningkat, penurunan pertukaran gas lebih lanjut, dan terdapat perubahan radiologi seperti garis Kerley B dan hilangnya batas vaskular yang jelas. Pada stadium ini, taut antarsel endotel kapiler melebar dan dapat dilewati makromolekul ke interstisium. Kenaikan lebih lanjut tekanan intravaskular mengakibatkan disrupsi hubungan antara sel-sel lapisan alveoli, sehingga timbul edema alveoli dengan cairan yang mengandung sel darah merah dan makro molekul. Dengan disrupsi membrana alveoli kapiler yang semakin hebat, cairan edematous akan menggenangi alveoli dan saluran napas. Pada saat ini akan terjadi edema paru yang full blown, secara klinis pasien tampak cemas dan mengeluarkan keringat dingin, sputumnya berbuih dan mengandung bercak darah, terdengar ronki basah bilateral sedangkan pada foto thoraks tampak gambaran paru yang berkabut dengan peningkatan densitas pada hilus proksimal. Gangguan pertukaran gas semakin bertambah berat dengan keadaan hipoksia yang memburuk. Tanpa penanganan yang efektif akan terjadi asidemia progresif, hiperkapnia dan henti pernapasan. Urutan akumulasi cairan yang diuraikan diatas mengkuti hukum Starling, dimana aliran limfe (Qlimf ) juga turut berperan dalam mengurangi edema yaitu mengikuti rumus akumulasi cairan = Kf {(Piv Pint) t(IIiv IIint)}- Qlimf . 1,4 Edema Paru NonKardiogenik Beberapa keadaan klinis yang disertai edema paru terjadi karena ketidakseimbangan gaya Starling dan bukan terutama melalui peningkatan tekanan pulmonalis. Meskipun berkurangnya tekanan onkotik plasma pada keadaan hipoalbuminemia (misalnya penyakit hepar yang berat, sindroma nefrotik, protein losing enteropathy) diperkirakan menimbulkan edema paru, namun keseimbangan berbagai tekanan biasanya sangat mendukung resobsi cairan sehingga pada keadaan ini diperlukan peningkatan tekanan kapiler sebelum terjadi edema interstisial. Peningkatan negativitas tekanan interstisial terjadi pada edema paru unilateral sesudah

pengeluaran secara cepat pada pneumotoraks. Dalam situasi ini, temuan tersebut mungkin hanya terlihat pada pemeriksaan radiografi, tetapi terkadang pasien mengalami dispnea dengan kelainan jasmani yang terlokalisir pada paru yang edema. Timbulnya tekanan intrapleura negatif yang besar selama serangan asma berat yang akut dapat disertai dengan timbulnya edema interstisial. Hambatan aliran cairan limfe yang terjadi sekunder akibat penyakit fibrotik dan inflamatorik atau karsinomatosis limfangitik dapat menimbulkan edema interstisial. Pada kasus semacam itu, baik manifestasi klinis maupun radiologik didominasi oleh proses penyakit yang mendasarinya. Keadaan lain yang juga ditandai adanya peningkatan cairan interstisial di dalam paru namun dimulai bukan dengan terjadinya gangguan keseimbangan tekanan kapiler ataupun oleh perubahan dalam aliran cairan limfe, tetapi timbul karena adanya disrupsi membran alveolikapiler. Keadaan ini timbul pada keadaan toksis karena faktor lingkungan ataupun terjadi spontan, termasuk infeksi paru difus, aspirasi dan syok. Edema paru yang terjadi difus dan tidak disebabkan karena hemodinamik. Keadaan ini dapat menimbulkan acute respiratory distress syndrome (ARDS). 1,4 Table 2. Perbedaan edema paru kardiogenik dan edema paru non kardiogenik1,4 Edema paru kardiogenik (+) low flow state (dingin) (+) meningkat basah umumnya tidak ada iskemia/infark Edema paru nonkardiogenik Jarang Penyakit dasar tabel I B-C,II, IV high flow state (hangat, nadi kuat) (-) tidak meningkat kering ada biasanya normal distribusi perifer biasanya normal < 18 mmHg hebat > 0,7

Anamnesis Acute cardiac event Pemeriksaan fisik Perifer S3 gallop / kardiomegali JVP Ronki

Penyakit dasar nonkardiak distribusi perihiler (misal peritonitis) bisa meningkat

Pemeriksaan penunjang >18 mm Hg EKG Foto thoraks Enzim kardiak sedikit < 0,5

Tekanan kapiler paru Shunt intrapulmonal Protein cairan edema Bentuk Edema Paru lainnya 1,4 Ada tiga bentuk edema paru yang belum jelas berhubungan dengan peningkatan permeabilitas, aliran limfe yang tidak adekuat atau pun dengan gangguan keseimbangan Starling sehingga dengan demikian mekanisme terjadinya edema masih belum diketahui. Bentuk edema tersebut yaitu pada overdosis narkotika, pemajanan tempat yang tinggi (high altitude pulmonary edema / HAPE), dan edema paru neurogenik. Pada overdosis narkotika diperkirakan tejadi perubahan permeabilitas alveolus dan membran kapiler. Mekanisme timbulnya edema pada high altitude masih belum jelas, dan studi yang ada masih kontroversi antara terjadinya konstriksi vena pulmonal dan konstriksi arteriolar paru. Hipoksia sendiri tidak mengubah permeabilitas membran alveolar-kapiler. Peningkatan curah jantung dan tekanan arterial paru pada exercise dikombinasikan dengan konstriksi arteriolar paru akibat hipoksia dipikirkan menjadi sebab timbulnya edema paru. Edema paru neurogenik ditemukan pada pasien dengan kelainan sistem saraf pusat dan tanpa diawali disfungsi ventrikel. Peningkatan masif aktivitas saraf adrenergik mencetuskan vasokonstriksi perifer dengan peningkatan tekanan darah dan perpindahan darah ke sirkulasi sentral. Kemungkinan dapat pula disebabkan adanya penurunan compliance ventrikel kiri yang mengakibatkan perubahan hemodinamik sehingga terjadi edema paru. Beberapa penelitian memperkirakan bahwa stimulasi reseptor adrenergik meningkatkan permeabilitas kapiler secara langsung, namun efek ini mempengaruhi relatif sedikit bila dibandingkan dengan ketidakseimbangan hukum Starling. Pengobatan Edema Paru 1 Edema paru akut merupakan suatu keadaan yang emergensi. Tindakan yang dapat diberikan berupa : 1. Morfin diberikan secara intravena dan berulang-ulang sesuai kebutuhan, dengan dosis 24 mg. Obat ini dapat menurunkan kecemasan, stimulus vasokontriktor adrenergik membrane artelior dan vena. Naloxone harus tersedia untuk antisipasi terjadinya depresi pernapasan 2. Pemberian O2 100%, dan lebih dianjurkan dengan tekanan yang positif. Hal ini meningkatkan tekanan intraalveolar, mengurangi transudasi cairan dari kapiler alveoli, mengurangi venous return ke toraks, dan mengurangi tekanan kapiler paru. 3. Posisi pasien dipertahankan pada posisi duduk dengan posisi kaki menggelantung pada sisi tempat tidur, diharapkan terjadi penurunan venous return 4. Diuretik intravena seperti furosemide bertujuan untuk meningkatkan diuresis, mengurangi volumer darah sirkulasi, sehingga gejala edema paru dapat berkurang.

5. Penurunan afterload jantung dengan sodium nitroprusside pada pasien dengan tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg. 6. Pemberian inotropik dengan dopamine atau dobutamine 7. Aminophylline intravena kadangkala cukup efektif untuk mengurangi bronkokonstriksi, meningkatkan aliran darah renal dan ekskresi natrium, dan meningkatkan kontraktilitas miokard. DAFTAR PUSTAKA 1. Ingram RH, Braunwauld JE. Dyspnea and pulmonary edema. In :Kasper, Braunwauld, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th edition. Mc Graw Hill; 2005 : 201-5 2. Braunwauld. Examination of the patient. In : Braunwauld. Heart Disease. A textbook of cardiovascular medicine. 6th edition. WB Saunders; 2001 : 28-30 3. Manning HL, Schwartzstein. Patophysiology of Dyspnea. N Engl J Med. Vol 333; 1995: 1547-53. http://www.nejm.com. Diakses tanggal 20 Oktober 2004 4. Braunwauld. Clinical aspect of heart failure: high output failure; pulmonary edema.. In : Braunwauld. Heart Disease. A textbook of cardiovascular medicine. 6th edition. WB Saunders; 2001 : 553-7 5. Harun S. Edema paru akut. In : Sudoyo A, Markum, Setiati S. Naskah Lengkap Penyakit Dalam PIT 98. Jakarta ; 1998 :97-101 Gambar 2.Algoritma evaluasi pasien dengan dispnea. Keterangan : CHF = congestif heart failure, DVT= deep vein thrombosis, DLCO =diffusing capacity of the lung for carbon monoxide

Você também pode gostar