Você está na página 1de 10

A. Angina Pektoris Stabil Angina pektoris (AP) merupakan rasa nyeri yang timbul karena iskemia miokardium.

Biasanya mempunyai karakteristik tertentu: 1 Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya dengan penjalaran ke leher, rahang, gigi, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggung atau pundak kiri2 Kualitas nyeri merupakan nyeri yang tumpul, seperti rasa tertindih atau berat di dada, rasa desakan yang kuat, seperti diremas-remas atau dada mau pecah dan biasanya pada keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak napas. Tidak jarang keluhan hanya berupa rasa tidak enak di dada1. Nyeri berhubungan dengan aktivitas (seperti olahraga, terburu-buru)2, hilang dengan istirahat. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stress fisik, stress emosional, kemarahan, ketakutan, atau frustasi2. Kuantitas nyeri. Nyeri yang pertama kali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit sampai kurang dari 20 menit. Menurut ESC Guideline 2006, nyeri dada ini biasanya terjadi singkat, yaitu dari 1-10 menit5. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka harus dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable angina pectoris = UAP) dan dimasukkan kedalam sindrom koroner akut. Nyeri dapat dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik sampai beberapa menit. Nyeri tidak terus menerus tetapi hilang timbul dengan intensitas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai terkontrol1. Nyeri dada yang mempunyai ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap disebut sebagai nyeri dada (angina) tipikal, sedangkan nyeri yang meragukan tidak mempunyai cirri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan hati-hati disebut angina atipik. Nyeri dada lain yang jelas bukan berasal dari jantung disebut nyeri non kardiak. Untuk membantu menentukan nyeri tipikal atau bukan maka perlu diketahui faktor risiko lainnya seperti kebiasaan makan/kolesterol, DM, hipertensi, rokok, strok, penyakit vaskuler perifer, obesitas, kurangnya latihan olahraga, dan lain-lain.1 Ambang nyeri untuk angina pektoris dapat bervariasi tergantung dari waktu dan status emosional. Banyak pasien yang mengalami angina yang dapat diprediksi pada tingkat aktivitas tertentu. Pada pasien ini, stenosis koroner dan pencukupan oksigen miokardial tetap dan iskemia dipicu oleh peningkatan kebutuhan oksigen

miokardial. Terdapat juga pasien dengan ambang nyeri yang sangat bervariasi pada suatu waktu atau hari ke hari. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan tonus vaskuler koroner. Angina juga dapat disebabkan oleh makan berat dan kedinginan.2 Gradasi beratnya nyeri dada berdasarkan Canadian Cardiovaskuler Society sebagai berikut 1,2: Klas I Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2 lantai dan lain-lain tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang berat, berjalan cepat serta terburu-buru waktu kerja atau berpergian Klas II Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul bila melakukan aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak atau melawan angin dan lain-lain Klas III Aktivitas sehari-hari nyata terbatas. AP timbul bila berjalan 1-2 blok, naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa Klas IV AP bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua aktivitas dapat menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu, dan lain-lain

Pada sebagian pasien, nyeri dada dapat berkurang terus dan bahkan dapat menghilang, yaitu menjadi asimtomatik walaupun sebenarnya tetap ada iskemia dan dapat dilihat pada EKG istirahatnya. Keadaan ini disebut sebagai silent ischemia.1 Iskemi sunyi ini sering terjadi pada dini hari dan menyebabkan disfungsi kontraksi miokardial. Mekanisme dari iskemi ini belum diketahui. Kemungkinan karena adanya ambang rangsang nyeri yang tinggi pada beberapa orang atau karena produksi banyak endorphin.3 Iskemi miokardial terjadi ketika aliran darah koroner tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen miokardium. Hal ini menyebabkan sel otot jantung beralih ke metabolisme anaerobic, dengan perubahan progresif pada fungsis metabolic, mekanik, dan elektrik. Angina pektoris terjadi karena stimulasi kimia dan mekanik dari saraf sensoris aferen pada pembuluh darah koroner dan miokardium. Serabut saraf ini terletak memanjang dari saraf spinal torakal 1-4, kemudian naik melalui sumsun tulang belakang ke thalamus dan ke korteks serebri. Hasil penelitian menunjukkan adenosine sebagai mediator kimia utama penyebab nyeri angina. Selama iskemi, ATP

didegradasi menjadi adenosine, yang kemudian berdifusi ke ruangan ekstraseluler, dan menyebabkan dilatasi arteriolar dan nyeri angina. Adenosine menginduksi angina dengan menstimulasi reseptor A1 pada ujung saraf afferent jantung. Peningkatan pada detak jantung, status kontraktil miokardial, dan tekanan dinding miokardial dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Maka dari itu, dibutuhkan peningkatan aliran darah koroner yang proporsional untuk mencukupi peningkatan kebutuhan oksigen. Kemampuan arteri koroner untuk meningkatkan aliran darah disebut seabgai coronary flow reserve (CFR). Pada orang normal, aliran darah koroner maksimal setelah dilatasi penuh dapat sampai 4-6 kali aliran darah koroner istirahat. CFR dipengaruhi oleh resistensi arteri koroner, resistensi ekstravaskuler (miokardial dan interstisial), dan komposisi darah. Iskemi miokardial dapat terjadi karena adanya reeduksi dari aliran darah koroner karena stenosis arteri koroner epicardial, konstriksi abnormal atau relaksasi yang tidak sempurna dari mikrosirkulasi koroner, atau penurunan kapasitas darah mengangkut oksigen (HB < 8 g/dl). Penyebab tersering dari stenosis arteri koroner epikardial yang kemudian menyebabkan angina pektoris adalah atherosclerosis. Spasme koroner juga dapat menurunkan CFR dengan menyebabkan stenosis dinamis pada arteri koroner. Prinzmetal angina merupakan angina resting dimana terjadi elevasi segmen ST akibat spasme arteri koroner fokal. Beberapa penyakit seperti hipertensi, DM, dan penyakit vaskuler sistemik kolagen (Seperti SLE) diyakini menyebabkan abnormalitas mikrovaskular dan menurunkan CFR. Tekanan ekstravaskuler akibat kontraksi dari miokardium dan tekanan intravaskuler juga dapat meningkatkan resistensi mikrosirkulasi koroner dan menurunkan CFR. Tekanan kompresi ekstravaskuler paling tinggi pada

subendokardium dan menurun pada subepicerdium. Hipertrofi left ventrikel (LV) bersama dengan kebutuhan oksigen otot jantung yang tinggi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya iskemi pada lapisan subendokardial.3 Pada pemeriksaan fisik tidak ditemui hal-hal yang khusus, bahkan pada kebanyakan pasien menunjukkan hasil normal. Mungkin pemeriksaan fisik yang dilakukan waktu nyeri dada dapat menemukan adanya aritmia, gallop bahkan murmur, ronki basah dibagian basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri berhenti.1Ketika serangan datang, ventrikel kiri gagal dan dapat terdengan suara jantung ketiga dan/atau keempat, apeks kardiak diskinetik (pada palpasi terdapat

pembesaran kardiak dan kontraksi abdominal saat jantung berdenyut), mitral regurgitasi, dan bahkan edema paru.2 Penemuan adanya tanda-tanda aterosklerosis umumnya seperti sklerosis arteri karotis, aneurisma abdominal, nadi dorsum pedis/tibialis posterior tidak teraba, hipertensi, kelainan fundus mata juga dapat membantu.1,2 Beberapa pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah hemoglobin, hematokrit, trombosit dan pemeriksaan terhadap faktor risiko koroner seperti gula darah, profil lipid, dan penanda inflamasi akut jika nyeri dada cukup berat dan lama (enzim CK, CKMB, CRP/hs CRP, troponin).Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan misalnya adalah foto toraks untuk melihat adanya kalsifikasi koroner ataupun katup jantung atau tanda lain1. EKG pada waktu istirahat terekam normal pada sekitar 50% pasien dengan AP. Tes yang sering digunakan untuk diagnosis adalah dengan EKG 12-leads sebelum, ketika, dan sesudah latihan, biasanya pada treadmill. Tes dihentikan jika terdapat nyeri dada, napas tersengal-sengal, pusing, dan berkunang-kunang, depresi segmen ST > 0.2 mV, penurunan tekanan darah sistolik >10mmHg, atau adanya takiaritmia ventricular. Tes ini digunakan untuk mengetahui keterbatasan dari performa dalam latihan, mendeteksi tipikal tanda EKG untuk iskemi miokardial, dan hubungannya dengan nyeri dada. Respon segmen ST iskemik umumnya terlihat sebagai depresi rata pada segmen ST >0,1mV dibawah garis dasar dan menetap lebih dari 0.08 detik. Kontraindikasi dari pengukuran stress testing ini adalah angina dalam 48 jam, ritma yang tidak stabil, stenosis aorta yang parah, akut miokarditis, gagal jantung yang tidak terkontrol, dan endokarditis infektif aktif.2 Selain itu, pada pasien dengan hipertensi >200/100 mmHg, serta gangguan fisik yang menyulitkan untuk melakukan tes juga merupakan kontraindikasi. Treadmill exercise test(TCT) ini memiliki sensitivitas dan spesifitas masing-masing sebesar 68% +/-16% dan 77%+/-17%.1 Ekokardiografi dilakukan untuk menentukan adanya stenosis aorta, luasnya iskemia saat nyeri dada berlangsung, menganalisis fungsi miokardium segmental. Bila ekokardiografi dilakukan dalam waktu sampai 30 menit setelah serangan angina, dapat terlihat adanya segmen miokardium yang mengalami disfungsi. Segmen ini akan pulih kembali setelah hilangnya iskemia akut.1 Indikator prognostic utama pada pasien dengan gangguan jantung iskemi adalah status fungsional dari ventrikel kiri, lokasi dan keparahan dari penyempitan arteri koroner, dan keparahan dari iskemi miokardial. Pasien dengan nyeri dada tetapi

memiliki fungsi ventrikel kiri normal dan arteri koroner normal memiliki prognosis yang baik. Pasien dengan fungsi ventrikel kiri normal dan angina ringan tetapi stenosis kritis (>= 70% diameter lumen) pada1,2, atau 3 arteri koroner memiliki angka kematian 5 tahun sebesar 2, 8, dan 11 %. Obstruksi pada arteri koroner descending anterior kiri proksimal pada septal arteri pertama biasanya memiliki resiko lebih besar daripada lesi pada arteri koroner kanan atau sirkumfleksi kiri karena memperdarahi lebih banyak miokardium. Stenosis (>50% diameter lumen) dari arteri koroner kiri utama berhubungan dengan angka mortalitas 15% per tahun.2 Peningkatan tekanan diastolic akhir LV dan volume dengan penurunan fraksi ejeksi LV (<40%) menyebabkan prognosis penyakit ini sangat buruk. Komplikasi dari APS adalah UAP, Infark miokard dan kematian.3 Tujuan pengobatan terutama adalah mencegah kematian dan terjadinya serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol serangan angina sehingga memperbaiki kualitas hidup. Pengobatan terdiri dari farmakologi dan nonfarmakologis seperti penurunan BB dan lain-lain. Kebanyakan terapi

farmakologis adalah untuk mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup, tetapi belakangan terbukti adanya terapi yang bisa mencegah serangan jantung dan kematian, misalnya statin sebagai obat penurun lemak darah.1 Obat yang dapat diberikan adalah: Aspirin : dapat mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatalnonfatal Beta blocker : menurunkan kebutuhan oksigen melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium Angiotensin converting enzyme, terutama bila disertai dengan hipertensi atau disfungsi LV. Pemakaian obat-obat penurun LDL pada pasien dengan LdL lebih dari 130mg/dl Nitrogliserin semprot atau sublingual untuk mengontrol angina, menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Antagonis kalsium atau nitrat jangka panjang : Klopidogrel untuk pengganti aspirin jika kontraindikasi Antagonis Ca nondihidropiridin long acting untuk pengganti beta blocker pada terapi permulaan

Terapi terhadap faktor risiko, seperti penurunan LDL dengan perubahan gaya hidup atau dengan obat-obatan, penurunan berat badan dan peningkatan latihan, pemakaian asam nikotinat atau asam fibrat untuk peninggian trigliserid atau HDL yang rendah

Penurunan berat badan pada obesitas meskipun pasien tidak menderita hipertensi, dislipidemia, ataupun DM Tujuan utama dari terapi APS adalah pencegahan serangan jantung dan

kematian, setelah itu baru menghilangkan simtom dan perbaikan kualitas hidup. Maka diantara obat-obat tersebut yang berguna untuk mengurangi angka kematian dan serangan jantung adalah aspirin, penurunan kolesterol darah terutama dengan statin, beta blocker dan ACE-I. Obat lainnya berguna untuk mengurangi angina dan memperbaiki kualitas hidup. Di samping pemberian oksigen dan istirahat pada waktu datangnya serangan angina, terapi non farmakologis yang dianjurkan adalah perubahan gaya hidup seperi berhenti merokok, penurunan BB, penyesuaian diet, olahraga teratur sesuai dengan yang mampu dilakukan tubuh. Selain itu perlu edukasi seperti pemakaian obat terus menerus sesuai anjuran dokter, mengontrol faktor resiko, serta bila perlu mengikutsertakan keluarga dalam pengobatan pasien. Reperfusi miokardium dapat dilakukan untuk menurunkan mortalitas serta mengurangi serangan jantung akut. Sebaiknya pasien dengan kelainan pembuluh left main (LM) sebaiknya langsung dilakukan reperfusi karena terbukti menurunkan mortalitas. Reperfusi dapat dilakukan dengan intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai operasi CABG. Reperfusi yang dapat dilakukan adalah dengan coronary artery bypass graft (CABG) atau percutaneous coronary intervention.1 Dalam penatalaksanaan lanjutan pasien-pasien APS mungkin diperlukan lagi tes-tes noninvasif seperti: 1. Foto toraks 2. Penilaian kembali fungsi sistolis LV ataupun analisa segmental LV dengan ekokardiografi 3. Ekokardiografi pada pasien-pasien dengan tanda-tanda kelainan katup yangbaru atau perburukan kelainan katup yang ada.1

B. Angina Pektoris Tidak Stabil4 Termasuk dalam angina tak stabil yaitu pasien dengan angina yang baru 2 bulan dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering lebih dari 3 kali per hari, pasien dengan angina stabil yang makin bertambah berat, sering, dan lebih berat sakit dadanya sedangkan faktor presipitasi makin ringan, dan pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat. Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik. Beratnya angina : Kelas I : Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada. Kelas II : Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir. Kelas III : adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir. Keadaan klinis : Kelas A : Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain Kelas B : Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstrakardiak Kelas C : Angina yang timbul setelah serangan infark jantung

Intensitas pengobatan : Tak ada pengobatan atau hanya mendapat pengobatan minimal Timbul keluhan walaupun telah dapat terapi yang standar Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang maksimum Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan EKG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negative. Perbedaan angina tak stabil (UAP) dengan infark

tanpa elevasi segmen ST adalah iskemi yang timbul apakah cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan miokardium. Rupture plak aterosklerotik merupakan penyebab terpenting UAP, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya menyempit minimal.Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic. Biasanya rupture terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadangkadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak. Terjadinya rupture menyebabkan aktivas, adhesi, dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST dan jika thrombus tidak menyumbat 100% maka akan terjadi stenosis yang berat dan terjadi angina tak stabil. Agregasi platelet dan pembentukan thrombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya thrombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan thrombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhhadap gangguan faal endotel, terhadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan thrombus. Disfungsi endotel dan produksi bahan vasoaktif oleh platelet berperan menyebabkan perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme memepunyai peran dalam pembentukan thrombus. Penyempitan juga dapat disebabkan karena proliferasi dan migrasi otot polos sebagai reaksi karena kerusakan endotel. Hal ini dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah dengan cepat dan keluhan iskemia. Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah berat dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa hanya lebih berat, lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual sampai muntah, kadang-kadang keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani sering kali tidak ada yang khas.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah EKG. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negative juga salah satu tanda iskemia akut. Pada UAP, 4% mempunyai EKG normal. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi ST kurang dari 0.5mm dan gelombang T negative kurang dari 2 mm tidak spesifik untuk iskemia. Hasil negative pada TCT menunjukkan prognosis baik, sedangkan hasil positif dan depresi segmen ST yang dalam menunjukkan perlunya pemeriksaan angiografi koroner untuk menilai keadaan pembuluh darah koronernya. Bila pada ekodardiografi tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, insufisiensi mitral ddan abrnomalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan prognosis kurang baik. Hasil pemeriksaan laboratorium dianggap ada mionekrosis jika terdapat troponin T atau I positif dalam 24 jam. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin. Pertanda paling penting dakan diagnosis Sindrom Koroner Akut adalah troponin T dan I dan CK-MB. Pasien perlu dirawat di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner. Pasien perlu diistirahatkan, diberi penenang, dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu untuk pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin. Obat yang dapat diberikan adalah nitrat, beta bloker, antagonis kalsium, aspirin, tiklopidin, klopidogrel, dan obat-obatan antitrombin. Sebagian besar pasien dengan UAP dapat distabilkan dalam 48 jam setelah diberi terapi medikamentosa secara agresif. Pasien ini kemudian membutuhkan Treadmill test atau ekokardiografi untuk menentukan apakah cukup dengan hanya medikamentosa atau perlu tindakan revaskularisasi. Pasien yang termasuk risiko rendah adalah pasien yang tidak punya angina sebelumnya, sudah tidak ada serangan angina, tidak memakai obat antiangina, EKG normal, enzim jantung tidak meningkat, usia masih muda. Risiko sedang bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat, tak ada perubahan segmen ST, dan enzim jantung tidak meningkat. Risiko tinggi bila pasien mempunyai angina pada waktu istiirahat, angina berlangsung lama atau angina pasca infark, sebelumnya sudah mendapat terapi intensif, usia lanjut, ada perubahan segmen ST baru, kenaikan troponin, hemodinamik tidak stabil. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasive segera, dengan kemungkinan tindakan revaskularisasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahman AM. Angina Pektoris Stabil, In : Buku Ajar Penyakit Dalam, ed.5, jilid II. Editors; Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p.1735-9 2. Selwyn AP, Braunwald E. Ischemic Heart Disease, In Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th ed. Editors; Kasper DL, Fauci AS, et al. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1435-8 3. Alaeddini J. Angina Pectoris. eMedicine Cardiology. 8 Jan 2010. [ cited 2013 Feb 20]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/150215overview 4. Trisnohadi HB. Angina Pektoris Tak Stabil, In : Buku Ajar Penyakit Dalam, ed.5, jilid II. Editors; Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p.1728-32 5. Kim Fox, Chairperson, et al., Guidelines on The Management of Stable Angina Pectoris. European Heart Journal 2006. doi:10.1093/eurheartj/ehl002

10

Você também pode gostar