Você está na página 1de 109

BAB I

AWAL SEBUAH TRAGEDI

UNGKAPAN berbagai peneliti mengenai "Gerakan 30 September 1965" di Indonesia,


berbeda-beda.

Antonie C.A. Dake dalam bukunya "In the Spirit of the Red Banteng",
mengungkapkan tragedi ini dengan banyak mengacu kepada keterlibatan PKI sebagai
perencana, Bung Karno mengetahui dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai
pensuplai senjata untuk persiapan apa yang disebut Angkatan ke-V, yang dituduhkan
akan menjadi kekuatan bersenjata PKI.

Ada 22 juta sukarelawan yang sudah mendaftarkan diri di Front Nasional, memenuhi
seruan Bung Karno mobilisasi kekuatan rakyat untuk mengganyang Malaysia. Mereka
inilah katanya yang akan disaring untuk dimasukkan ke dalam Angkatan ke-V.

Pembentukan Federasi Malaysia dirancang oleh Perdana Menteri Inggeris, Harold


McMillan, dan Perdana Menteri Malaya, Tungku Abdul Rahman, dalam perundingan
di London pada bulan Oktober 1961 dan dilanjutkan bulan Juli 1962, itulah yang
mengawali provokasi politik dan militer meng-contain Indonesia.

Ganis Harsono, jurubicara Departemen Luar Negeri R.l. selama 8 tahun di era
Sukarno, menulis dalam bukunya "Recollections of an Indonesian Diplomat in the
Sukarno Era" yang diterbitkan oleh University of Queensland Press, Australia, tahun
1977 dan kemudian pada tahun 1985 diterbitkan edisi Indonesianya oleh Inti Idayu
Press Jakarta dengan judul "Cakrawala Politik Era Sukarno", menulis bahwa Inggris
memberitahukan kepada Indonesia mengenai rencananya membentuk Federasi
Malaysia. Indonesia tidak menentang, karena dipahami bahwa ide pembentukkannya
ialah untuk memberikan kemerdekaan kepada wilayah-wilayah jajahan Inggeris di
Kalimantan Utara.

Tetapi setelah Presiden Macapagal dari Filipina mengajukan tuntutan supaya dalam
proses pemberian kemerdekaan tersebut, wilayah Sabah dikembalikan kepada
Filipina, karena memang tadinya adalah wilayah kekuasaan Kasultanan Sulu di
Filipina Selatan yang dicaplok oleh Inggeris ketika menjajah Kalimantan Utara, justru
timbul reaksi keras dari Kuala Lumpur, yang disampaikan oleh Duta Besarnya di
Manila, Zaiton Ibrahim, dengan mengatakan kepada Presiden Macapagal bahwa
situasi akan menjadi gawat, apabila Filipina menuntut wilayah Sabah. Malahan
Menteri Pertahanan Malaya, Najib Tun Razak, memberikan reaksi yang lebih keras
lagi: "Kami siap pergi berperang mempertahankan Sabah dalam naungan Malaysia".

Tadinya Sabah hanya disewa oleh Inggeris dari Sultan Sulu, Jamal Alam, yang
akhirnya jatuh ke bawah penguasaan The British North Borneo Company.

Waktu itu Indonesia tidak memberikan reaksi apa-apa, diam saja. Tapi pada tanggal
8 Desember 1962, setelah Azhari yang dituduh memberontak di Brunai dan
memproklamasikan kemerdekaan Kalimantan Utara yang terdiri dari Brunai, Serawak
dan Sabah di Manila, di tempat mana ia melarikan diri bersama teman- temannya,
dan menyatakan dirinya sebagai Perdana Menteri Negara Kalimantan Utara, cepat
sekali Tungku Abdul Rahman menuding Indonesia sebagai biang keladinya.

Padahal duduk persoalannya, Azhari yang memimpin Partai Rakyat Brunai, dalam
Pemilihan Umum Agustus 1962, memenangkan 54 dari 55 kursi di Dewan Distrik dan
16 dari 33 kursi di Dewan Legislatif. 1)

1) JAC Mackie, Konfrontasi, The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966


Oxford University Press, Kuala Lumpur -London, hal. 37

Apa yang dilakukan oleh Azhari setelah partainya ditumpas dan dia dikejar--kejar
sebagai pemberontak, ialah selalu mengadakan kontak dengan Wakil Presiden
merangkap Menteri Luar Negeri Filipina, Immanuel Pelaez, dan sama sekali bukan
dengan Indonesia.

Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI), Ali Sastroamidjojo, memberikan reaksi
menolak tudingan Tungku.

Tungku pun menjadi marah oleh adanya reaksi dari Ali Sastroamidjojo dan langsung
menyerang secara pribadi kepada Bung Karno dengan mengatakan: "Jangan campuri
urusan Kalimantan Utara!"

Serangan ini sebenarnya datang dari Inggeris, tapi Tungku yang menjadi jurubicaranya.

Oleh karena itu, pada bulan April 1963, Bung Karno di hadapan Konperensi Wartawan
Asia Afrika di Jakarta menjawab ancaman Tungku dengan mengatakan: "Perjuangan
rakyat Serawak, Brunai dan Sabah, adalah bagian dari perjuangan negara-negara "the
new emerging forces" yang membenci penghisapan manusia oleh manusia.

Karena Jepang melihat bahwa proses pembentukan Federasi Malaysia sudah


menjurus pada kecurigaan Indonesia sebagai proyek neokolonialisme Inggeris, maka
pada tanggal 3 1 Mei sampai 1 Juni 1963, Tokyo menyediakan tempat pertemuan
antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, untuk
mengusahakan pendekatan. Tujuannya ialah untuk menghilangkan kecurigean
mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia, yang terdiri dari Federasi Malaya
sebagai induknya digabungkan dengan Singapura dan tiga wilayah lainnya di
Kalimantan Utara.

Pertemuan Tokyo menyepakati sebuah prinsip, yaitu tetap memelihara Semangat


Perjanjian Persahabatan Indonesia- Malaya tabun 1959.

Untuk merumuskan lebih lanjut hasil pertemuan Tokyo, diadakan lagi pertemuan para
Menteri Luar Negeri tiga negara, yaitu: Indonesia, Malaya dan Filipina, di Manila dari
tanggal 7 sampai 11 Juni 1963.

Ketiga Menteri Luar Negeri itu, semuanya mempunyai jabatan rangkap, yaitu:
Subandrio di samping Menteri Luar Negeri, juga Wakil Perdana Menteri I, Tun Abdul
Razak, Menteri Luar Negeri dan Deputy Perdana Menteri dan Immanuel Pelaez,
Menteri Luar Negeri dan sekaligus Wakil Presiden.
Dalam pertemuan Manila, Indonesia dan Filipina menyatakan tidak keberatan
dibentuknya Federasi Malaysia, asal hal itu dilakukan atas dasar Hak Menentakan
Nasib Sendiri bagi rakyat di wilayah- wilayah yang hendak digabungkan, dan
ditentukan oleh otoritas yang bebas dan tidak berpihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB.

Pertemuan itu juga mengembangkan pemikiran Presiden Filipina, Macapagal, yaitu


pembentukan Konfederasi tiga negara serumpun Melayu yang disebut MAPHILINDO
(Malaysia-Philipina-lndonesia), gagasan yang langsung ditentang oleh Amerika dan
Inggeris. Ironisnya, dari Peking, Menteri Luar Negeri Chen Yi menuduh MAPHILINDO
sebagai proyek Nekolim.

Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri ini, diperkuat dengan diadakannya Konperensi
Tingkat Tinggi antara Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, Presiden Macapagal
dan Presiden Sukarno yang dilangsungkan di Manila dari tanggal 31 Juli sampai 1
Agustus 1963, yang hakekatnya hanya mengesahkan hasil-hasil yang telah dicapai
dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri sebelumnya.

Dalam perundingan tersendiri antara Presiden Sukarno dan Presiden Macapagal,


disetujui apa yang dikenal dengan Doktrin Sukarno - Macapagal yang menegaskan
bahwa Masalah Asia supaya diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri.

Doktrin ini dengan serta merta ditolak oleh Amerika Serikat dan Inggeris, karena
dinilai dapat menggagalkan tujuan pembentukan Federasi Malaysia yang dirancang di
London yang sebenarnya untuk meng-contain Indonesia.

Hasil KTT Manila ternyata menggelisahkan London dan Kuala Lumpur.

Dengan adanya gagasan Presiden Macapagal yang mengusulkan pembentukan


Konfederasi MAPHILINDO dan doktrin Sukarno- Macapagal yang menghendaki
supaya masalah Asia diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri, maka anasir Inteligen
Inggeris dan Malaysia melansir satu berita bahwa Federasi Malaysia akan dibentuk
pada tanggal 31 Agustus 1963, 2) mendahului pelaksanaan Persetujuan Manila yang
menghendaki supaya pembentukan itu dilakukan atas dasar Hak Penentuan Nasib
Sendiri dari rakyat bersangkutan, yang akan diatur oleh Sekretaris Jenderal PBB,
waktu itu U Thant.

2) Dr. Hidayat Mukmin, TNI dalam politik luar negeri Studi kasus
penyelesaian konfrontasi Indonesia - Malaysia, hal. 95.

Dilansirnya berita itu, makin meyakinkan Indonesia bahwa memang ada udang di
balik batu dengan pembentukan Federasi Malaysia yang dirasakan sebagai sangat
tergesa-gesa.

Oleh karenanya, Sekjen PBB segera mengirimkan Misi PBB ke Serawak dan Sabah
untuk meneliti sejauh mana rakyat Kalimantan Utara bersedia bergabung dalam
Federasi Malaysia, seperti yang dituntut oleh KTT Manila. Tapi Misi sudah distel
demikian rupa, dengan ketuanya diambilkan dari Amerika yaitu Laurence
Michaelmore, dibantu oleh delapan anggota yang diambilkan dari berbagai negara.
Indonesia, Malaya dan Filipina menyertakan juga wakil-wakilnya sebagai peninjau.
Karena Misi sedang bekerja, maka Kuala Lumpur berusaha meredakan kemarahan
Indonesia dan mengumumkan penundaan pembentukan Federasi Malaysia sampai
tanggal 16 September 1963, yaitu tanggal yang diperkirakan Misi PBB sudah
menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang menguntungkan London dan Kuala
Lumpur. Penundaan tanggal, dianggap oleh Indonesia sebagai proforma belaka,
karena hasilnya sudah ditentukan sesuai dengan keinginan Kuala Lumpur dan London.

Memang sebelum itu, Inggeris sudah mengadakan penjajagan di Kalimantan Utara


dengan sebuah komisi yang diketuai oleh Lord Cobbold dan anggotanya terdiri dari:
Sir Anthony Abell, Sir David Watherston, Dato Wong Po Nee dan Enche Gazali bin
Sofie.

Hasil penjajagan ini diumumkan dalam Report of the Commission of Inquiry North
Borneo and Serawak 1962 yang menyebutkan:

1. Sepertiga penduduk menyetujui tanpa syarat, merdeka dalam


Federasi Malaysia.

2. Sepertiga menyetujui dengan syarat supaya kepentingan daerah


mereka terjamin.

3. Sisa yang lain, ingin mendapatkan kemerdekaannya dulu, sebelum


bergabung dalam Federasi Malaysia.

Tapi ini semua adalah versi Komisi Cobbold. Sebelum itu sudah ditentukan supaya
diadakan Pakta Pertahanan antara Inggeris dan Federasi Malaysia.

Dengan demikian, dari segi pertahanan, Federasi Malaysia dianggap oleh Inggeris
lebih sederhana, karena Federasi dapat dikelola bersama sebagai satu unit strategik.
Karena Federasi berada dalam lingkungan Persemakmuran Inggeris, maka Inggeris
berkewajiban tetap memberikan perlindungan militer. Ketika Malaya baru merdeka, di
sana hanya ada 2000 tentara Inggeris dan Australia. Tapi setelah Federasi Malaysia
dibentuk, kekuatan Militer itu cepat ditambah menjadi 50.000. 3)

3) Ibid haL 115.

Strategi pertahanan ini mencemaskan Indonesia, karena perlindungan militer Inggeris


yang begitu besar, merupakan ancaman serius bagi keamanan Indonesia. Apalagi
dalam mempertahankan Malaysia, sudah tersiar berita bahwa Inggeris akan
mendapat dukungan dari Pakta Pertahanan ANZUS (Australia - New Zealand - United
States), untuk menghadapi Sukarno yang sudah lama dicap sebagai "trouble maker"
di Asia, yang kegiatannya harus dicegah jangan sampai merembet mempengaruhi
negara-negara Afrika dan Amerika Latin.

Sebenarnya di Malaysia, Singapura dan British North Borneo (Kalimantan Utara),


terdapat kekuatan-kekuatan politik yang menentang pembentukan Federasi Malaysia
menurut konsep McMillan - Tungku Abdul Rahman, tapi mereka ditindas sehingga
tidak bisa berbuat banyak.

Kekuatan menentang pembentukan Federasi Malaysia di Malaya ialah: Front Sosialis


Malaya yang terdiri dari Partai Rakyat Malaya dan Partai Buruh, serta Partai Islam
se-Malaya. Di Singapura: Barisan Sosialis, Partai Pekerja dan Partai Rakyat. Di
Kalimantan Utara: Partai Rakyat Brunai dan Serawak United People's Party. Partai
Rakyat Brunai sejak 1956 di bawah pimpinan Azhari, sudah mempunyai program
hendak mengusir Inggeris dari Kalimantan Utara. 4)

4) Ibid hal. 115.

Dan apa yang terjadi kemudian?

Misi PBB yang dipimpin oleh Michaelmore, tanpa penyelidikan seksama, langsung
menyatakan bahwa rakyat Kalimantan Utara (Serawak dan Sabah) menyetujui
merdeka dalam Federasi Malaysia. Hasil Kerja Misi PBB ini segera disahkan oleh
Sekjen PBB.

Sebaliknya Indonesia, setelah mendengarkan laporan dari peninjau- peninjaunya yang


menyertai penyelidikan Misi PBB, menuduh adanya kecurangan-kecurangan yang
menyolok, sehingga laporan Misi PBB itu tidak bisa dianggap sah.

Akibatnya, mudah dipahami. Karena Indonesia menolak hasil penyelidikan Misi PBB
yang disahkan oleh Sekjen PBB, ditambah lagi tersiar berita bahwa sesudah
Federasi Malaysia diresmikan pada tanggal 16 September 1963, negara federasi baru
itu segera akan diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, maka
Jakarta langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur.

Oleh perkembangan yang sangat cepat, dan usaha diplomatik untuk mencoba
meredamnya mengalami kegagalan, maka konfrontasi Indonesia - Malaysia tidak
terhindarkan lagi. Dr. Subandrio dalam kedudukannya sebagai Wakil Panglima Besar
KOTI (Komando Tertinggi Indonesia) dan Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI), mulai
menerjunkan gerilyawan di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara, untuk
memberikan tekanan kepada Kuala Lumpur supaya mau merubah sikapnya dengan
mengemukakan aproach baru yang bisa mengatasi deadlock.

Malaysia didirikan tanpa ikut sertanya Brunai, sedang Singapura yang tadinya. ikut
bergabung, kemudian memisahkan diri dan menyatakan dirinya merdeka sendiri.

Tapi tindakan Dr. Subandrio itu, justru memberikan alasan kepada Inggeris dan
sekutunya Pakta ANZUS untuk bersiap - siap menyerang Indonesia, kemungkinan
yang sebenarnya sudah lebih awal disinyalir oleh Bung Karno.

Sebelum itu, dalam bulan Oktober 1963, Presiden Kennedy dari Amerika,
mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno yang menganggap sikap Indonesia
terhadap Malaysia, menempatkannya pada posisi yang amat sulit untuk mewujudkan
keinginannya membantu usaha-usaha Indonesia ke arah pembangunan dan
pemulihan ekonominya.

Setelah menerima surat tersebut, Presiden Sukarno langsung mengadakan


pertemuan dengan 10 orang menteri seniornya, yaitu: Ir. Djuanda, Dr. Subandrio,
Chaerul Saleh, Dr. J. Leimena, Sudibyo, disertai dengan menteri-menteri militer yaitu:
A.H. Nasution, A. Yani, E. Martadinata, Omar Dhani dan Sucipto. Pertemuan
merumuskan jawaban yang paling tepat untuk Surat Presiden Kennedy dengan
sebuah kalimat yang tegas: "Go to hell with American aid". 5)
5) Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, hal. 160 -161

Dengan surat Presiden Kennedy tersebut, makin menjadi jelas bahwa bukan saja
Inggeris, melainkan juga Amerika ikut ambil bagian dalam merekayasa pembentukan
Federasi Malaysia.

Tapi cara mengelola ketegangan akibat pembentukan Federasi Malaysia, akhirnya


menggiring Indonesia terjaring masuk perangkap konfrontasi militer yang sudah
dipasang oleh Inggeris dan Amerika. Bung Karno segera melihat bahaya akan makin
meningkatnya eskalasi konfrontasi, maka berusaha mencari upaya
mengendorkannya dengan mengusulkan segera diselenggarakannya KTT 3 negara
yang terkait.

Upaya Bung Karno terlambat, karena segera sesudah itu, bom waktu yang sudah
lama dipasang oleh persekutuan Nekolim di Indonesia, tidak bisa ditangkal lagi.

Meletuslah "Gerakan 30 September 1965", yang mengundang Amerika makin


terang-terangan berkiprah melaksanakan rencana menghancurkan revolusi Indonesia
dan kepemimpinan Bung Karno yang dijuluki oleh Barat sebagai "Hitler Baru" seusai
Perang Dunia II.

Itulah lihainya Nekolim yang tidak secara dini bisa diantisipasi.

Meski pun demikian, pada bulan Februari 1966 Presiden Sukarno masih menugaskan
Duta Besar Keliling R.l., Supeni, pergi ke Manila membicarakan dengan Presiden
Ferdinand Marcos yang sudah menggantikan Macapagal, mengenai perlunya segera
diadakan KTT MAPHILINDO dan minta supaya Filipina jangan dulu memberikan
pengakuan kepada Federasi Malaysia. Tujuan Bung Karno untuk segera
menyelenggarakan KTT MAPHILINDO, ialah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia
dan menyelesaikan dispute Sabah yang di claim oleh Filipina, atas dasar semangat
MAPHILINDO.

Tapi rencana Bung Karno ini, sebelum bisa dilaksanakan, sudah kedahuluan dicegat
oleh keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR), yang berakibat
kekuasaan berpindah ke tangan Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban
SUPERSEMAR yang segera saja melakukan penahanan terhadap menteri-menteri
yang penting, sehingga Presiden Sukarno kehilangan pembantu- pembantunya dan
Kabinet Baru harus dibentuk bersama Pengemban SUPERSEMAR. Praktis Bung
Karno sudah kehilangan kekuasaannya.

Dr. Suharto, dokter pribadi Bung Karno, dalam bukunya "Saksi Sejarah" memastikan
bahwa konfrontasi dengan Malaysia tidak termasuk dalam calender of event Bung
Karno 6). Barangkali Komando Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia) adalah
imposed (desakan) pihak lain, mungkin musuh dalam selimut yang mengetahui
psycho emosional Bung Karno. Dengan menggunakan metode psycho analisa,
dilakukan berbagai tipu muslihat, yang bertujuan mempengaruhi Bung Karno dalam
mengambil keputusan melakukan suatu tindakan.7)

6) Dr. Suharto, SaksiSejarah, hal. 135.


7) Ibid, hal. 189
Setelah Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB,
Indonesia memberikan reaksi yang sangat keras dan langsung menyatakan keluar
dari keanggotaan PBB, meski pun disadari bahwa putusan ini adalah satu imbalan
yang sangat mahal. Putusan ini diumumkan oleh Bung Karno pada 7 Januari 1965
dalam rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing, di ISTORA Jakarta.

Pada awal Bab ini, sudah disinggung adanya 22 juta sukarelawan yang mendaftarkan
diri untuk melawan serbuan Inggeris dan sekutunya ke Indonesia, jika konfrontasi
mencapai puncaknya. Tujuan seruan Bung Karno mengadakan mobilisasi kekuatan
rakyat, sangat jelas yaitu untuk apa yang dirumuskan secara populer: Ganyang
Malaysia!. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan tuduhan sebagai persiapan untuk
pembentukan Angkatan ke V. Prosedur yang harus dipenuhi untuk pembentukan
Lembaga semacam itu, bukan saja belum pernah ditempuh, bahkan dibicarakan saja
dalam sidang Kabinet sebagai Lembaga kekuasaan eksekutif, DPRGR sebagai
Lembaga kekuasaan Legislatif, maupun dimintakan pertimbangan dari Dewan
Pertimbangan Agung, sebagai Lembaga Tinggi Negara, belum pernah.

Untuk membentuk Angkatan ke-V yang begitu prinsipil, tidak mungkin dilakukan
tanpa disetujui oleh ketiga Lembaga Tinggi Negara seperti yang disebutkan di atas.

Gagasan Angkatan ke-V sebenarnya hanya move politik yang dilontarkan oleh Bung
Karno, yang ide pokoknya bertolak dari ketentuan UUD 1945 pasal 30 tentang bela
negara, dikaitkan dengan gerakan "ganyang Malaysia". Hanya pihak pers tertentu
yang membesarbesarkannya dan meminta reaksi dari Menteri/ Panglima Angkatan
Darat yang tentu saja menentangnya. Dengan demikian, move politik ini segera di
ekspos seolah-olah Bung Karno sudah memerintahkan pembentukan Angkatan ke-V,
yang kemudian dituding sebagai salah satu alasan keterlibatan Bung Karno dalam
G30S/PKI.

Rekayasa lain untuk mencoba membuktikan keterlibatan Bung Karno dalam


G30S/PKI, ialah keterangan Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi, (ajudan Presiden
19481962) yang memberikan pengakuan kepada Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU)
di bawah sumpah, bahwa ia telah berbicara langsung dengan ketua CC PKI, D.N.
Aidit, dan sekretaris CC, Sudisman, pada tanggal 27 September 1965, di mana
kedua tokoh PKI itu katanya memberitahukan kepadanya bahwa PKI akan
melakukan coup d'état atau tindakan untuk membenahi revolusi Indonesia yang
dirongrong oleh "Dewan Jenderal". Rencana itu hendak dilaksanakan dalam tempo
satu- duatiga hari lagi. Sugandhi diajak ikut bergabung, karena kata Aidit, rencana ini
sudah diberitahukan kepada Bung Karno. Sugandhi, katanya menolak ajakan itu.

Dalam pengakuannya, ia mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, yakni


sesudah tiga hari pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, dilaporkannyalah
berita ini kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Menurut pengakuan Sugandhi,
Bung Karno tidak mau percaya pada laporan itu, bahkan Bung Karno menuduhnya
"PKI-phobi".

Dikatakan dalam pengakuan itu, pada tanggal yang sama, ia melaporkan juga
pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, kepada Menteri/Panglima Angkatan
Darat Letnan Jenderal A. Yani. Namun tidak dijelaskan bagaimarra jawaban atau
perintah A. Yani sebagai reaksi atas laporan tersebut.
Menurut Sugandhi, pada tanggal 1 Oktober 1965, ia melaporkan juga kepada Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal A.H. Nasution. Juga tidak dijelaskan
apa reaksi Jenderal Nasution.

Bila diteliti dengan seksama, pengakuan di bawah sumpah Brigadir Jenderal H.R.
Sugandhi tersebut, terasa sangat aneh dan mengandung tanda tanya. Dia diketahui
sebagai seorang prajurit pilihan sehingga diangkat menjadi Jenderal, di samping juga
ia orang terhormat sebagai anggota MPRS/DPRGR.

Mengapa dikatakan sangat aneh dan mengandung tanda tanya, karena pertama,
menurut akal sehat, tidak mungkin seseorang, apalagi seorang ketua CC PKI dan
sekretaris CC, begitu saja membicarakan suatu rencana yang kadar kerahasiaannya
paling tinggi, kepada seseorang, apalagi dari jajaran pihak lawannya. Kedua, sudah
begitu rapuhkah semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dalam diri seorang
prajurit pilihan, sehingga suatu informasi yang kadar nilainya sangat tinggi, serta
diperoleh secara langsung dari pimpinan PKI yang paling kompeten, harus disimpan
sendiri selama tiga kali 24 jam baru disampaikan kepada atasannya, di mana suhu
politik dalam negeri waktu itu sedang panas? Apakah ini suatu kelalaian atau suatu
kesengajaan? Ketiga, makna apa yang tersirat dalam sentuhan hubungan antara
Brigjen Sugandhi dengan Aidit dan Sudisman, yang masingmasing sebagai ketua CC
PKI dan Sekretaris Jenderal CC?

Dapat dimengerti bahwa pada tahun-tahun awal sesudah terjadinya G30S/PKI,


suasana masih dalam serba emosional, sehingga pertimbangan kelayakan satu
informasi kadang-kadang subyektivitasnya lebih menonjol. Apa lagi tidak dibentuk
satu Komisi yang ditugaskan untuk memeriksa benar tidaknya pengakuan Sugandhi
tersebut, yang akhirnya pengakuan ini digunakan untuk memvonis Sukarno terlibat
G30S/PKI. Sebaliknya, Sugandhi mendapat nama baik.

Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967 yang anggotaanggotanya banyak dipecat dan
diganti serta ditambah dengan orang-orang yang menguntungkan, termasuk pimpinan
lama diganti dengan Jenderal A.H. Nasution sebagai ketua baru, itulah yang
mencabut mandat Ir. Sukarno sebagai Presiden, serta melarangnya melakukan
kegiatan politik.

Dan apa yang terbukti kemudian?

Sesudah nasi menjadi bubur, komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden


Sukarno, Letnan kolonel polisi H. Mangil Martowidjojo, baru mengungkapkan dengan
mengemukakan bukti-bukti bahwa keterangan Sugandhi di bawah sumpah itu,
sepenuhnya kebohongan dan fitnah. 8)

8 ) Majalah PETA, edisi September/Oktober 1992, Jakarta, hal. 3-6.


Baca juga: Soegiarso Soerojo, Siapa menabur angin akan menuai
badai, hal. 236-237, yang mengutip dialog antara Sugandhi dengan
Aidit-Sudisman dan dialog antara Bung Kamo dengan Sugandhi
menurut versi yang diceritakan oleh Sugandhi.

Memang sayang sekali Mangil tidak segera menyampaikan kebohongan Sugandhi


kepada Bung Karno, padahal ia sudah mendengar "Geruchten" (desas-desus)nya,
jauh sebelum Sukarno dijatuhkan oleh MPRS.
Mangil mengatakan, karena ia penasaran, maka tanggal yang disebutkan oleh
Sugandhi melaporkan hasil pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman kepada
Presiden, yaitu tanggal 30 September 1965, diperiksanya kembali buku catatan tamu
Istana, apakah betul waktu itu Sugandhi datang. Ternyata tidak ada nama Sugandhi
masuk Istana pada hari itu. Bukan saja Mangil yang selalu mengawal Bung Karno
tidak melihat Sugandhi menemui Presiden hari itu, juga di buku catatan tamu yang
harus diisi oleh setiap tamu yang masuk Istana, baik ia tamu dipanggil atau tamu
yang mendadak datang, nama Sugandhi tidak ada. Di "wachtrooster" (buku jaga)
yang harus diisi oleh setiap tamu sesuai dengan peraturan yang ditentukan oleh
ajudan, mau pun dalam buku Detasemen Kawal Pribadi yang selalu memasukkan
dalam catatan semua tamu yang masuk Istana, tidak ada nama Sugandhi pada 30
September 1965 masuk Istana.

Beberapa hari sesudah meletusnya Gerakan 30 September, melalui Menteri


Penerangan Ahmadi, Bung Karno berpesan supaya Sugandhi datang ke Istana
Bogor, karena Bung Karno memerlukan masukan mengenai gerakan tersebut, tapi ia
tidak mau datang. Bahkan berkata kepada Ahmadi supaya menyampaikan kepada
Bung Karno kalau ia tidak berhasil menemuinya.

Sesudah penolakan Sugandhi atas panggilan Bung Karno, pada suatu hari ia datang
ke Istana Jakarta, saat Bung Karno sedang berolahraga pagi jalan kaki mengelilingi
Istana diikuti oleh beberapa anggota staf Istana dan para pengawal. Sugandhi terus
bergabung dengan rombongan dan dari belakang Bung Karno, ia melaporkan
kehadirannya. Tapi mengetahui kedatangan Sugandhi ini, Bung Karno malah
langsung memerintahkannya supaya keluar. "Deruit, deruit" perintah Bung Karno.
Karena Sugandhi belum juga keluar dan masih terus mengikuti dari belakang, sekali
lagi Bung Karno memerintahkannya supaya keluar. Barulah Sugandhi keluar.

Kata Mangil: Rasanya koq tidak masuk akal dan tidak logis Aidit dan Sudisman
sembarangan begitu saja memberitahukan rencananya yang begitu rahasia kepada
orang yang tidak sepaham. Kecuali kalau Sugandhi itu memang orang PKI".

Meski pun Mangil terlambat mengungkapkan fitnah terhadap Bung Karno ini, tapi
ungkapan itu sama sekali tidak berkurang arti pentingnya, karena ia menambah satu
bukti lagi dari sekian banyak bukti yang sudah ada, bahwa Bung Karno digulingkan
melalui rakayasa yang skenarionya sudah dirancang demikian rupa.

Keterangan lain yang menarik, dikemukakan oleh Prof. Peter Dale Scott, seorang
diplomat Kanada, Guru Besar dan Doctor dalam ilmu politik, ketika ia diundang pada
bulan Desember 1984 untuk mengemukakan makalahnya dalam sebuah forum di
"University of California", Berkeley, yang dihadiri juga oleh tokoh-tokoh terkemuka
antaranya terdapat bekas direktur CIA periode 1962- 1966 untuk bagian Timur Jauh,
di mana ia membahas sebuah judul "The United States and the Overthrow of
Sukarno, 19651967" - Amerika Serikat dan penggulingan Sukarno, 19651 967.

la memulai uraiannya dengan mengatakan bahwa subjek yang akan dibahasnya,


adalah subjek besar tapi menjengkelkan, karena kisah yang lengkap mengenai
periode yang rumit dan kurang dimengerti ini, akan tetap berada di luar jangkauan
analisis tertulis yang paling lengkap sekali pun. Banyak yang telah terjadi, tidak
mungkin bisa didokumentasi, sedang catatan-catatan yang bisa diselamatkan,
banyak hal yang bersifat kontroversial yang tak mungkin diverifikasi.
Namun demikian, setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut dikemukakan, maka
intisari kisah yang rumit dan bermakna ganda itu, mengenai suatu tragedi yang
berdarah. Setelah mempelajari referensi-referensi yang ada, sebenarnya bersifat
sederhana saja dan lebih mudah dimengerti ketimbang keterangan-keterangan
akademis dari sumber-sumber Indonesia mau pun Amerika Serikat. Kesimpulan dari
keterangan-keterangan mereka yang bersifat problematis itu, hanya mengatakan
bahwa pada musim gugur 1965, golongan kiri di Indonesia telah menyerang pihak
kanan yang menyebabkan diadakannya restorasi kekuasaan dan pembantaian
golongan kiri oleh golongan tengah.

Peter Dale Scott memberikan catatan betapa sukarnya melakukan analisis yang
pada pokoknya hanya bersandar pada apa yang dinamakan bukti-bukti yang disajikan
dalam sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) yang bertentangan
dengan studi CIA 1968, yang agak kurang bersifat khayalan. 9)

9) Termuat dalam "Pacific Affair': Summer 1985, hal. 239.

Juga H. W. Brands menulis dalam "Journal of American History" bahwa waktu


pengaruhnya tengah memuncak di Asia Tenggara, Amerika telah ambil bagian dalam
kup yang gagal terhadap Sukarno di tahun 1958. Pemerintah Johnson tidak
menyembunyi- kan kecemasannya bahwa Sukarno dapat mengantar Indonesia pada
suatu posisi yang penting, sementara Amerika Serikat sendiri sedang berusaha
menyelamatkan Vietnam Selatan.

Maka pada waktu Amerika Serikat di tahun 1966 telah memperoleh keyakinan bahwa
Soeharto telah berhasil mengesampingkan Sukarno dan menghancurkan PKI,
pemerintah Amerika secara mencolok memberi selamat kepada penguasa baru,
karena telah melakukan suatu tugas dengan baik sekali.

Meski pun demikian, Brands mengatakan bahwa penggulingan Sukarno, tidak ada
hubungannya dengan Amerika Serikat, padahal diakuinya bahwa selama beberapa
bulan, pejabat-pejabat Amerika Serikat telah mendesak pihak Tentara di Indonesia
supaya bertindak, tapi tidak berhasil. Pada musim panas 1965 (sebelum G30S),
kelihatan Pemerintah Johnson sudah putus asa.

Selama satu dekade lebih, Sukarno dapat mengatasi beberapa tantangan, termasuk
affair 17 Oktober 1952, satu kup yang tidak langsung, di mana A.H. Nasution hendak
memaksa Sukarno mem- bubarkan kekuasaan Eksekutif dengan jalan membubarkan
kekuatan- nya di Parlemen, untuk memberikan peluang bagi Tentara supaya bisa
tampil. Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang
dibantu oleh CIA dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok
Nasionalis, lengkap dengan pesawat udara transport dan Bomber B-26. 10)

10) Baca: H. W. Brands dalam "Journal of American History", The


Organization of Historians, vol. 76, No. 3, Desember 1989.

Geoffrey Robinson (Boston, Massuchusetts) dalam makalahnya (1990) yang berjudul


"Some Arguments Concerning U. S. Influence and Complicity in the Indonesian Coup
of October 1, 1965 - Beberapa argumen mengenai keterlibatan A.S. dalam kudeta 1
Oktober 1965 di Indonesia--, mengatakan bahwa sejak dari awal, "Gerakan 30
September" itu kelihatannya seperti sebuah kup yang direncanakan untuk gagal,
kudeta itu di disain sedemikian rupa sehingga mampu menyimpan sebush dalih
untak mengadakan suatu pameran kekuatan dan meraih kekuasaan.

Kata Geoffrey Robinson, laporan CIA yang menyatakan PKI lah penanggungjawab
tunggal atas kup, adalah hal yang sukar didukung. Tapi logika argumentasi yang
dikemukakannya, tidak membuang sama sekali kemungkinan adanya peran PKI.
Dikatakan, baik strategi yang digunakan maupun bukti dorongan yang membawa PKI
ke dalam peristiwa tersebut, semuanya menunjukkan kecenderungan bahwa
keikut-sertaan PKI, tidak lebih dari sesuatu yang marginal, lebih banyak didorong
oleh kesalahan informasi mengenai rencana coup d'état "Dewan Jenderal". Dengan
mengutip Mortimer, ia menyimpulkan bahwa asal-usul Gerakan 30 September
hendaklah dicari dalam kegiatan kelompok perwira dissident (berpendapat lain) Divisi
Diponegoro. Bukan suatu koinsidensi (kebetulan) bahwa hasil kudeta itu ialah
kehancuran PKI, jatuhnya Sukarno dan tampilnya Angkaran Darat sebagai pelaku
politik kunci, pembukaan kembali pintu Indonesia bagi investasi modal asing dan
reorientasi politik luar negeri Indonesia persis seperti apa yang selama beberapa
tahun direncanakan dalam berbagai macam skenario kebijaksanaan, berbagai
prospektus politik dan berbagai laporan situasi yang disiapkan oleh National
Security Council, State Department dan "country team" Kedutaan Besar
Amerika di Jakarta.

Kekurang-jelian PKI menilai kebenaran informasi yang diterimanya sekitar rencana


coup d'etat "Dewan Jenderal" sehingga langsung mempercayainya dan bertindak
mendahului, itulah yang menghantarkan partai ini ke liang kehancurannya.

Argumentasi yang dikemukakan oleh Geofrey Robinson untuk mendukung


kesimpulan di atas, ialah kenyataan bahwa coup d'etat tampil pada saat titik kritis
polarisasi antara Angkatan Darat di satu pihak dan apa yang disebutnya aliansi
Sukarno-PKI di pihak lain.

Sedang faktor-faktor lain yang dimanipulasi, antaranya intervensi Amerika Serikat di


Vietnam Utara dengan memulai pemboman, dukungan Amerika Serikat kepada
Inggris mengenai konfrontasi Malaysia, serangan terhadap Sukarno oleh
anggota-anggota Kongres dan tulisan-tulisan pers Amerika yang provokatif untuk
memancing kemarahan Sukarno dan PKI agar menyerang balik. Dalam keadaan
demikian, tidak banyak lagi apa yang harus dilakukan oleh Amerika, karena
semuanya sudah dikerjakan dengan terjadinya polarisasi "kanan" dan "kiri" yang
telah ditingkatkan oleh kedua belah pihak.

Pola umum yang tampil dari studi atas periode ini, mempunyai dua dimensi yang
saling berhubungan.

Pertama, kegiatan agen-agen Amerika yang sengaja mengembangkan sejenis politik


tertentu terhadap Indonesia yang sedang berada dalam polarisasi politik yang sudah
serius. Jenis politik itu ialah merupakan tekanantekanan ekonomi dan tekanan-
tekanan lainnya secara selektif dengan tujuan melemahkan yang "kiri" dan
memperkuat yang "kanan" -- yang disebut sebagai sahabat kita".

Kedua, bulan-bulan terakhir menjelang kudeta, para penasehat Amerika Serikat,


sudah sampai pada titik mem- pertimbangkan pembalasan militer langsung terhadap
pemerintah Sukarno, karena cara lain dianggap sudah gagal secara essensial,
termasuk perebutan kekuasaan oleh Tentara, sebuah rencana yang diharap-harap
dan lama direnungkan oleh Amerika; sebagai jawaban atas ancaman "kiri" yang
menghantui.

Ralph McGehee, seorang pensiunan CIA, dalam hubungan ini menyarankan supaya
metode yang dipakai CIA di Indonesia, yang dinilai penuh kepiawaian, dapat
digunakan sebagai satu tipe atau denah untuk operasioperasi terselubung lainnya di
masa yang akan datang. Secara khusus metode ini memang sudah dipraktekkan
dalam kasus keterlibatan CIA menggulingkan Presiden Alende dari Chili. Terbukti
dipakainya rancangan atau denah tipe Jakarta ini, mencapai hasil yang baik. 11)

11) "The CIA and the White Paper on El-Salvador", The Nation April 11,
1981, hal. 423.

Dengan pengakuan-pengakuan yang diuraikan di atas, jelas menunjukkan bahwa


keterlibatan Amerika Serikat dengan ClA-nya dalam peristiwa Gerakan 30 September
1965, dengan sasaran pokoknya menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno,
tidak terbantah lagi.

Bagi kita di Indonesia, tentu lebih mudah memahami peristiwa itu karena ikut
mengalaminya, meski pun pengalaman-pengalaman itu tidak semua bisa
dikemukakan secara terbuka.

Sebagai pelengkap, berbagai referensi berupa bukubuku atau tulisan-tulisan, telah


diterbitkan. Misalnya, buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Kepala
Pusat Sejarah Militer AD), Soegiarso Soerojo (Seorang Intel), Memoir Jenderal Yoga
Sugomo, seorang yang sangat berpengalaman di bidang Intel dan mantan kepala
BAKIN serta banyak buku lainnya yang umumnya menunjuk biang keladi G30S: PKI,
Bung Karno dan RRT. Tidak satu pun yang menyebutkan keterlibatan Amerika
Serikat.

Bahkan sudah di-release film "Pengkhiatan G30S/PKI" yang setiap tanggal 30


September ditayangkan ulang di TVRI, meski pun efeknya seperti angin ribut yang
lekas berlalu.

Sayangnya di Indonesia sendiri, meski pun sudah 30 tahun kejadiannya, belum


pernah diselenggarakan SEMINAR yang dapat mengungkapkan peristiwa itu secara
utuh dan objektif, bahkan terasa masih tabu.

Sebuah analisis yang tajam dikemukakan oleh Bung Karno dalam "Pelengkap
Nawaksara" yang disampaikannya kepada MPRS 10 Januari 1967, sebagai
Pelengkap "Amanat Nawaksara" mengenai terjadinya G30S sebagai berikut:

"Berdasarkan penyelidikanku yang seksama, menunjukkan bahwa peristiwa Gerakan


30 September itu, ditimbulkan oleh pertemuannya tiga sebab, yaitu:

1. Kebelingeran pimpinan PKI


2. Kelihaian subversi Nekolim
3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar".
Ketiga sebab yang disebutkan oleh Bung Karno itu meski pun tidak diperinci, tapi dari
hasil penelitian yang luas di kemudian hari, membuktikan kebenarannya.

Kebelingeran pemimpin-pemipin PKI, diakui oleh tokoh-tokoh PKI sendiri, yang akan
diuraikan pada bab berikut.

Kelihaian subversi Nekolim, dibenarkan oleh begitu banyak pengakuan tokoh-tokoh


Barat dan Amerika, dan dokumen- dokumen resmi yang terungkap mengenai
keterlibatan Amerika Serikat dan CIA di Indonesia.

Terakhir, dalam bulan Desember 1992 di Monash University Melburne, Australia, telah
diseminarkan topik yang bertema "Indonesian Democracy 1950's and 1990's". Prof.
George McT. Kahin dari Cornell University (AS), adalah salah seorang dari 300 pakar
tentang Indonesia yang ambil bagian dalam Seminar itu, mengemukakan terus terang
dalam makalahnya "Impact of US Policy on Indonesian Politics" (Dampak
kebijaksanaan politik Amerika Serikat terhadap Indonesia), betapa jelas campur
tangan pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena
kekhawatiran Washington tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis.

Dengan mengutip catatan mantan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Hugh S.
Cumming Jr, yang tersimpan di Arsip Nasional Amerika, Prof. Kahin mengatakan
bahwa Presiden Dwight Eisenhower meminta Cumming supaya waspada atas
kenyataan sebuah negara seperti Indonesia yang katanya merupakan masalah besar
karena tidak mempunyai tradisi memerintah sendiri, sehingga bisa jatuh ketangan
komunis atau terpecah-pecah menjadi bagian lebih kecil.

Dalam konteks perang dingin, Eisenhower lebih suka memilih Indonesia


terpecah-pecah ketimbang jatuh ke tangan komunis. Maka setelah Cumming
bertugas di Indonesia, Presiden Eisenhower memerintahkan supaya merealisasikan
keinginannya meredam kemajuan komunis dengan memperhatikan dua
perkembangan di lapangan.

Pertama, sikap Sukarno yang dinilai lebih dekat dengan Beijing, lebih-lebih setelah
mengunjungi RRT di tahun 1956, ia mengagumi dan ingin meniru kemajuan Cina
dalam mem- bangun ekonominya.

Kedua, PKI dalam PEMILU 1955 meraih 20,6% suara di Jawa dan malah 27,4%
dalam pemilihan tingkat propinsi bulan Juli dan Agustus 1957.

Perkembangan ini meningkatkan kecemasan Washington tentang kemungkinan Jawa


jatuh ke tangan komunis. Malahan Kahin mengakui, masih banyak arsip Amerika
Serikat mengenai keterlibatan CIA di Indonesia yang sampai sekarang masih
dirahasiakan, meski pun sudah melewati batas waktu kerahasiaan 30 tahun.`

Dengan premis bahwa komunis di Jawa sudah menjadi suatu mayoritas absolut,
maka Badan Keamanan Nasional mendorong CIA membantu memperkuat gerakan
pemberontakan di daerah- daerah. Menurut perhitungan Washington, sekiranya
pemberontak kuat karena mendapat bantuan Amerika Serikat, maka bisa terjadi
perang saudara dan Amerika Serikat pasti memihak kekuatan anti komunis.
Dalam makalahnya sepanjang 31 halaman itu, Kahin mengungkap- kan, CIA
kemudian segera beraksi dengan menghubungi tokoh- tokoh miiiter pembangkang di
daerah. Hanya dalam tempo 1 minggu, seorang agen CIA tiba di Padang untuk
menyerahkan dana kepada Kolonel Simbolon sebagai bantuan bagi pasukannya yang
digulingkan di Sumatera Utara.

Kolonel Simbolon dan beberapa perwira staf Letnan Kolonel Ahmad Husein,
komandan tentara di Sumatera Barat, diundang oleh CIA ke pangkalannya di
Singapura, kemudian diikuti dengan pengiriman senjata dan dana dalam jumiah besar
ke Padang.

Lima bulan kemudian, Amerika Serikat memberikan alat komunikasi dan


persenjataan modern kepada 8000 pemberontak di Sumatera. Bantuan itu diserahkan
secara sembunyi-sembunyi dan pemberontak mengambilnya sendiri dari kapal selam
yang nongkrong di lepas pantai Padang.

CIA juga membawa sejumlah anak buah letnan kolonel Ahmad Husein untuk dilatih
komunikasi dan penguasaan menggunakan senjata- senjata modern di berbagai
fasilitas militer Amerika Serikat di Pasifik Barat.

Amerika Serikat juga memberikan bantuan serupa kepada pem- berontak


PERMESTA di Sulawesi. Tapi bantuan dana dan senjata Amerika Serikat kepada
gerakan pemberontak di Sumatera dan Sulawesi, ternyata tidak cukup kuat untuk
memaksa Sukarno dan Pemerintah Jakarta memenuhi keinginan Washington. 12)

12) Laporan wartawan "KOMPAS' Ratih Hardjono dan Rikard Bagun


yang meliput jalannya Seminar diAustralia, "KOMPAS" 21 Desember 1992, Jakarta.

Uraian Prof. George McT. Kahin sangat menarik para peserta seminar. Campur
tangan Amerika Serikat di Indonesia tidak bisa dibantah lagi, karena yang
mengemukakan tokoh Amerika sendiri dan klimaksnya ialah keterlibatan negara
Uncle Sam ini dalam perencanaan dan pencetusan Gerakan 30 September 1965
yang berhasil mengguling- kan Sukarno dan menghancurkan PKI.

Amerika Serikat yang menjadikan dirinya Polisi Dunia, fungsi yang seharusnya hanya
menjadi milik PBB, di manamana terus mencam- puri urusan dalam negeri negara lain.

Kenyataan bahwa 20 Januari 1993, hanya beberapa jam sebelum Presiden George
Bush melepaskan jabatannya dan menyerahkan tongkat kepresidenan kepada
penggantinya yang menang dalam Pemilihan Umum, Bill Clinton, ia masih
melancarkan aktifitasnya yang terakhir, mendesak pemerintah-pemerintah di seluruh
dunia supaya mendukung usaha yang dirintisnya yaitu menggulingkan Presiden Irak,
Saddam Hussein, membuktikan betapa tradisi Amerika Serikat campur tangan
urusan dalam negeri negara lain, makin melembaga dan tidak lagi dijalankan secara
diam-diam. Pembantu Pusat Keamanan Presiden Bush, Brent Scowcraft, dengan
terang-terangan mengakui bahwa Washington memang telah mendukung usaha coup
d'etat terhadap Saddam Hussein.13)

13) Disiarkan oleh Kantor Berita "Reuter" dan "AFP" pada tanggal 21 Januari 1993
Apa yang dilakukan oleh Bush terhadap Saddam Hussein, itu pula yang telah
dilakukan Amerika Serikat terhadap Sukarno sejak 1956 dan akhirnya sukses pada tahun
1966

BAB II
INSPIRASI DARI ALJAZAIR

DUNIA dikejutkan oleh siaran Radio Aljir 19 Juni 1965 yang mengumumkan bahwa telah
terjadi pengambil-alihan kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella oleh kolonel Houari
Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair. Dunia gempar, terutama negara-
negara Asia-Afrika, karena ketika itu di Aljir, ibukota Aljazair, sedang disiapkan Konperensi
Asia-Afrika II, dengan gedung konperensinya yang baru dan megah dibangun atas bantuan
Uni Sovyet.

Timbul kekhawatiran kalau-kalau penyelenggaraan konperensi akan gagal.


Oleh perkembangan di Aljazair yang mendadak itu, Jakarta pun terlibat dalam kesibukan.
Penentuan Konperensi AA-II diputuskan di Indonesia sewaktu Peringatan Dasawarsa
Konperensi Asia-Afrika (KAA) April 1 965.

Dari Duta Besar Rl di Aljir, Assa Bafagih, segera diterima laporan mengenai perkembangan
politik di Aljazair. Duta Besar melaporkan bahwa perubahan pemerintahan di Aljazair,
dinilainya tidak negatif bagi penyelenggaraan KAA-II.
Tanggal 1 9 Juni 1 965 dinihari, Presiden Ben Bella yang sedang tidur nyenyak di Istananya,
tiba-tiba diserbu sepasukan tentara bersenjata lengkap dan Presiden itu diambil dari tempat
tidurnya. Gerakan militer ini hanya berlangsung 10 menit, tanpa ada perlawanan dari pasukan
pengawal Istana.

Sejak saat itu berakhirlah kekuasaan Ben Bella dan ia digantikan oleh kolonel Houari
Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair yang merencakan semua gerakan
pengambilalihan kekuasaan.
Suasana waktu subuh dinihari yang sepi, sebentar diramaikan oleh suara brondongan senapan
mesin serta deru beberapa panser yang bergerak sepanjang jalan membawa prajurit-prajurit
yang bertugas memutuskan semua kawat telepon yang ada hubungannya ke Istana.
Terasa aneh, karena tidak ada perlawanan sedikit pun, baik dari pasukan Pengawal Istana
mau pun pasukan lainnya. Sesudah semua terjadi, juga tidak ada perlawanan.
Hal ini membuktikan bahwa semua pasukan tentara dikuasai oleh Kolonel Houari
Boumedienne.
Manyadari kekhawatiran negara-negara Asia-Afrika akan nasib Konperensi AA-II di Aljir,
pemimpin coup d‘état Kolonel Houari Boumedienne segera mengeluarkan pengumuman
bahwa penyelenggaraan konperensi dijamin bisa berjalan terus sesuai dengan jadwal.

Presiden Ben Bella digulingkan menurut tuduhan resminya seperti yang disiarkan oleh Radio
Aljir, karena ia selalu bertindak sewenang- wenang selama masa kekuasaannya 641 hari. Ia
dinilai mau kuasa sendiri, seorang diktator yang meninggalkan dasar musyawarah. Menteri-
menteri yang dianggap beroposisi, akan digeser dan pertama- tama hendak disingkirkan ialah
Menteri Luar Negeri Bouteflika.

Rencana tersebut dicegah oleh Kolonel Houari Boumedienne dengan mengemukakan


pertimbangan, supaya jangan mengambil tindakan yang bisa berakibat luas, mengingat waktu
itu Aljir akan menjadi tuan rumah KAA-II, di mana Menteri Luar Negeri sangat penting
perannya. Pertimbangan yang diajukan oleh Boumedienne ditolak, bahkan ia diancam akan
disingkirkan juga. Tapi di luar dugaan Ben Bella, keadaan justru membalik.
Komandan pasukan yang ditugaskan Ben Bella menangkap Kolonel Houari Boumedienne
malah melapor kepadanya. Kemudian perwira itu ditugaskan oleh Boumedienne menangkap
Ben Bella. Tentu Ben Bella tidak pernah memperhitungkan bahwa orang yang begitu
dipercayainya, dengan mudah bisa berbalik haluan.
Dengan berpedoman pada laporan Duta Besar Rl di Aljazair, Kabinet segerabersidang
membicarakan perkembangan yang dilaporkan dan kemudian memutuskan: Rezim Kolonel
Houari Boumedienne diakui.
Pengakuan ini dinilai tepat, karena juga didukung oleh ber- bagai informasi lainnya yang
masuk.
Indonesia adalah negara kedua yang mengakui rezim Kolonel Houari Boumedienne.
Yang pertama memberikan pangakuan ialah Syria dan beberapa jam sesudah pengakuan
Indonesia, menyusul Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara ketiga. Laporan yang
diterima dari Duta Besar Rl di Aljazair mengatakan bahwa politik yang dianut oleh
Boumedienne mengenai gerakan Asia-Afrika, pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang
dianut oleh Ben Bella.

Bagi Indonesia, soal terjadinya coup d‘état, tidak terlalu merisaukan, apalagi setelah diterima
laporan bahwa tidak ada keributan yang terjadi dan juga tidak ada perlawanan. Semua tenang
dan terkendali, pemerintahan berjalan normal dan demontrasi yang terjadi justru mendukung
Boumedienne.

Kontra demontrasi, sama sekali tidak ada.


Oleh karena itu, Kabinet memutuskan, delegasi Indonesia ke KAA-II, segera berangkat
menuju Aljir, yang dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Rombongan bertolak dari Bandar
Udara Kemayoran 23 Juni 1965 pukul 06.00 pagi dengan pesawat Garuda Convair Jet 990-A,
diterbangkan oleh Kapten Pilot Sumedi.
Penerbangan dari Jakarta langsung ke Dacca, yang waktu itu masih masuk wilayah Pakistan
(Timur). Dari sana menuju Karachi. Ketika rombongan Bung Karno singgah di Karachi untuk
mengisi bahan bakar, pejabat- pejabat tinggi Pakistan yang menyambut di airport, segera
melaporkan kepada Presiden Sukarno bahwa baru saja diterima berita dari Aljir, Gedung
Konperensi diledakkan dengan bom dan belum diketahui siapa pelakunya. Presiden Pakisatan
Jenderal Ayyub Khan dan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Buttho, waktu itu sedang ke
London menghadiri konperensi negara-negara Persemakmuran.
Meski pun terjadi malapetaka di Aljir, Presiden Sukarno memutuskan, perjalanan diteruskan
ke Kairo. Di sana telah menunggu Presiden Gamal Abdul Nasser dari Republik Persatuan
Arab (Mesir) dan Perdana Menteri Chou Enlay dari RRT. Ada pun Presiden Ayyub Khan
akan dicegat di Kairo dalam perjalanannya kembali dari London, supaya ikut merundingkan
dengan Presiden Sukarno, Presiden Gamal Abdul Nasser dan Perdana Menteri Chou Enlay,
mengenai sikap bersama yang harus diambil menanggapi kejadian di Aljir. Tapi ternyata
Presiden Ayyub Khan tidak bisa ikut dalam perundingan itu, karena ia sudah ditunggu oleh
tugas yang tidak bisa ditunda di tanah airnya dan sebagai gantinya, menugaskan Menteri Luar
Negeri Zulfikar Ali Buttho mewakilinya dalam pertemuan Kairo.

Pertemuan Kairo yang disebut „Konperensi Tingkat Tinggi Kecil“, menyetujui keputusan
yang telah diambil oleh beberapa delegasi yang sudah berada di Aljir (termasuk delegasi
Aljazair), supaya penyelenggaraan KAA-II ditunda. KTJ kecil di Kairo memutuskan
menundanya untuk kurang lebih 6 bulan dengan memutuskan juga supaya tempatnya tetap di
Aljir.
Setelah terjadi ledakan bom, Menteri Luar Negeri RRT, Chen Yi, yang memimpin delegasi
Cina dan lengkap sudah berada di Aljir, adalah orang pertama yang mengusulkan supaya
konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair bukan untuk dibunuh.
Persiapan akhir KAA-II sendiri sebetulnya belum begitu tuntas. Masalah mengundang atau
tidak Malaysia dan Uni Sovyet, belum ada kesepakatan bulat. Indonesia menolak
mengundang Malaysia karena alasan „konfrontasi“, sedang Cina menolak kehadiran Uni
Sovyet dengan alasan bahwa meski pun Uni Sovyet mempunyai wilayah di Asia, tapi pusat
pemerintahannya berada di Eropa. Jadi, Uni Sovyet tidak bisa dianggap „Asia“, Mesir dan
India mendukung kehadiran Malaysia, sedang Aljazair sebagai tuan rumah, akan
mengundang Uni Sovyet, apalagi Sovyetlah yang membangun gedung konperensi atas
permintaan Aljazair.
Dalam kedudukan saya sebagai Duta Besar Rl di Moskow, mengalami Lobbying yang sulit
mengenai undangan kepada Uni Sovyet, karena Indonesia berat menolak usul RRT yang
tidak menghendaki Uni Sovyet diundang, sebagai imbalan dukungan RRT terhadap Indonesia
yang rnenolak Malaysia.
Kalau KAA-II jadi diselenggarakan, Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Subandrio, sudah
siap dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, yaitu bahwa
Amerika dan Inggris sudah membuat satu komplot (persekongkolan) akan mengadakan
serangan militer terhadap Indonesia dan mengakhiri kekuasaan
Sukarno. Bukti-bukti tentang persekongkolan ini, ada di tangan Subandrio, katanya.
Karena konperensi tidak jadi diadakan, Subandrio hanya memberikan interview kepada
wartawan harian terbesar d Kairo „Al-Ahram“, mengenai rencana Amerika-lnggris tersebut.
Setelah adanya putusan penundaan, Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio ditugaskan oleh
Presiden Sukarno mengunjungi berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika yang dikenal
dengan sebutan „Safari Berdikari“ untuk menjelaskan mengenai penundaan KAA-II serta
berkampanye tentang akan diselenggarakannya „Conference of the New Emerging Forces“
(CONEFO) di Jakarta, sesudah KAA-II usai. Gedung konperensinya sedang dibangun atas
bantuan RRT.

Presiden Sukarno sendiri setelah urusan di Kaira selesai, bersama rombongannya menuju
Paris. Di sana dikumpulkannya semua Duta Besar Rl yang berada di Eropa dan Amerika
Serikat, untuk mendapatkan Briefing mengenai penundaan KAA-II serta persiapan
penyelenggaraan CONEFO.

Dalam delegasi Indonesia yang berunsurkan NASAKOM, ikut juga ketua PKI, D. N. Aidit.
Selama berada di Paris, Aidit diketahui menggunakan kesempatan mengadakan kontak
dengan pimpinan Partai Komunis Perancis. Juga ia berkunjung ke kantor harian „Le
Humanité“ (organ Partai Komunis Perancis), di tempat mana ia berjumpa dengan enam orang
tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris, karena takut ditangkap
Boumedienne.

Sekembalinya dari kunjungan ini, Aidit dicegat oleh wartawan A. Karim D.P., Ketua Umum
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ikut rombongan Presiden, menanyakan apa yang
dibicarakannya dengan kameradkameradnya di Paris. Aidit menerangkan bahwa ia
memberitahukan kepada enam orang tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke
Paris, supaya segera kembali ke negerinya dan memobilisasi massa rakyat untuk memberikan
dukungan kepada Boumedienne.
Tindakan yang diambil oleh Boumedienne, adalah benar dan progresif.„Jika satu coup d‘etat
didukung sedikitnya 30% rakyat, maka coup yang demikian, bisa bermutasi menjadi
revolusi, kata Aidit“. 14}

Ternyata kemudian, teori Aidit ini telah memberikan inspirasi dan merangsang terjadinya
malapetaka nasional G30S/PKI, yang disebut oleh Bung Karno salah satu penyebabnya ialah
karena keblingerannya kemimpinpemimpin PKI.
Aidit sejak di Paris, sudah memisahkan diri dari rombongan Bung Karno, tapi tidak
memberitahukan kepada saya bahwa ia akan ke Moskow.

Padalah waktu itu saya juga hadir di Paris dan ia mengetahui.


14) A. Karim DP, Safari Perdikari, Surya Prabha Jakarta, 1965.
Sebelum itu, sudah juga diceritakannya kepada saya ketika kami bertemu di Paris, Juli 1965

Setelah saya tiba kembali di Moskow dari Paris, datang telegram dari Jakarta yang
memerintahkan supaya Aidit dan Nyoto, segera disuruh kembali ke Indonesia. Saya terkejut,
karena tidak mengetahui kalau Aidit dan Nyoto ada di Moskow. Kedutaan besar tidak
menerima laporan tentang kedatangan kedua tokoh PKI itu, padahal keduanya adalah
Menteri. Nyoto kemudian tiba-tiba saja muncul di rumah kediaman Duta Besar, namun tidak
memberitahukan kalau Aidit juga ada di Moskow. Oleh karena itu saya berusaha
menemukannya dan ternyata Aidit ada di Kremlin. Saya sampaikan kepadanya, bahwa ada
telegram dari Jakarta yang memerintahkan supaya ia dan Nyoto segera kembali ke Indonesia.
Mengenai kunjungan Aidit ke Kremlin, saya diberitahu oleh Duta Besar Korea di Moskow,
katanya menurut informasi yang diterimanya, antara Aidit dengan orangorang Kremlin,
terjadi semacam „perang besar“. Apa persisnya yang terjadi, tidak jelas. Hanya diperkira- kan
Aidit mengemukakan teorinya tentang coup d’état yang bisa dirubah menjadi revolusi, jika
didukung 30% rakyat.

Teori ini bisa dipastikan ditolak oleh Kremlin, karena menurut keterangan, tidak ada dalam
ajaran Marxisme, kemungkinan semacam itu. Revolusi harus selalu bersumber dari kemauan
rakyat dengan dukungan syaratsyarat objektif yang ada di dalam masyarakat, bukan
dipaksakan dari atas dengan satu rekayasa coup d‘etat.
Tapi ada keterangan lain bahwa kedatangan Aidit ke Moskow, untuk mengurus kasus cinta
antara Nyoto dengan seorang gadis Rusia yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Uni
Sovyet. Aidit menghendaki supaya hubungan cinta itu diputuskan, mengingat Nyoto sudah
mempunyai isteri. Jika diteruskan, akan merusak citra seorang komunis, apa lagi Nyoto
sebagai seorang tokoh komunis Internasional, harus menjunjung tinggi moralitas.

Nyoto sendiri dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia yang orientasi ideologinya lebih
condong ke Sovyet ketimbang ke RRT. Karena mayoritas pimpinan PKI condong ke RRT
dan menganggap Sovyet sebagai ‚revisionist‘ gara-gara politik ko-eksistensinya dengan
Amerika Serikat dianggap sudah terlalu jauh, maka kabarnya Nyoto sudah dipersiapkan
untuk dicopot dari kedudukannya sebagai wakil ketua II, bahkan sudah dicopot dari
jabatannya sebagai kepala Departemen AGITPROP (Agitasi Propaganda) dan digantikan
oleh Bismark Oloan Hutapea, direktur Akademi llmu Sosial Ali Archam (AISA), yang tewas
di Blitar Selatan dalam Operasi Trisula, pada tahun 1968.

BAB III
PUTUSAN DEWAN HARIAN POLITBIRO
30 SEPTEMBER 1965 dipilih oleh Dipa Nusantara Aidit sebagai moment yang tepat untuk
menguji kebenaran teorinya yang bersumber dari keberhasilan coup d‘état Boumedienne di
Aljazair. Teori ini didukung oleh Syam Kamaruzzaman dan anggota-anggota Biro
Ketentaraan Departemen Organisasi PKI lainnya, yang menjadi arsitek Gerakan 30
September 1965. Departemen Organisasi PKI yang membawahi Biro Kententaraan, diketuai
oleh Aidit. Anggota-anggota Biro Ketentaraan ialah:
Sudisman, Oloan Hutapea, Munir dan Syam sebagai ketuanya.
Dalam meniru keberhasilan Boumedienne di Aljazair, rupanya Aidit lupa mempertimbangkan
bahwa Boumedienne bukanlah seorang komunis, meski pun ia dianggap progresip. Partai
Komunis Aljazair sendiri tidak mempunyai peran menentukan dalam revolusi kemerdekaan
Aljazair. Revolusi Kemerdekaan Aljazair dipimpin oleh satu Front Nasional.
Biro Ketentaraan inilah yang kemudian dikenal sebagai „Biro Khusus“ yang mempunyai
jaringan luas dalam Angkatan Bersenjata di bawah koordinasi trio Syam, Pono dan Bono.
Pembentukkannya tidak pernah diumumkan, sehingga eksistensinya pun tidak diketahui oleh
organorgan PKI yang lain, apalagi anggota. Berbagai bekas tokoh PKI lepasan pulau Buru
yang diwawancarai, mengatakan bahwa Biro ini ilegal.
Pembentukkannya tidak pernah diputuskan dalam rapat-rapat CC PKI, yaitu badan formal
dalam PKI yang menjalankan kebijaksanaan tertinggi antara 2 kongres.
Bahkan adanya Biro Ketentaraan, tidak pernah dilaporkan dalam sidang-sidang CC PKI.
Kedudukan Syam dalam partai sangat strategis, justru karena jabatannya sebagai ketua Biro
Ketentaraan. Kata teman-temannya, dialah satu-satunya tokoh PKI yang apabila kehendaknya
ditentang, dengan mudah mengeluarkan pistol dan meletakkan di meja untuk menggertak.

Ada pun Syam Kamaruzzaman, menurut seorang mantan anggota CC PKI yang
diwawancarai, ayahnya adalah seorang Naib (penghulu pengganti) di Tuban. Waktu
pendudukan Jepang, ia masuk Sekolah Dagang di Yogyakarta dan sejak itu ia sudah belajar
politik dari Djohan Syahroesyah dan Wijono (kedua-duanya kemudian menjadi tokoh Partai
Sosialis Indonesia).

Di awal revolusi, Syam bergabung dengan apa yang dikenal „Kelompok Pathuk“. di Yogya.
Kelompok inilah yang memilih Soeharto (sekarang Presiden) memimpin penyerbuan tangsi
Jepang di Kota Baru (Yogya) dan berhasil melucuti serdadu-serdadu Jepang dalam tangsi itu
dan menawannya.
Ketika terjadi perpecahan dalam tubuh Partai Sosialis (1948) antara Sutan Syahrir dengan
Amir Syarifuddin, Syam memihak Amir Syarifuddin.
Sesudah pemberontakan PKI di Madiun ditumpas oleh TNi, Syam bersama dua orang
temannya masuk Jakarta. Di Jakarta ia ikut memimpin Serikat Buruh Pelabuhan dan
Pelayaran (SBPP) di Tanjung Priok.
D. N. Aidit dan Moh. Lukman, meski pun keduanya tokoh Front Demokrasi Rakyat (FDR)
yang berontak di Madiun, tidak tertangkap. Keduanya berusaha masuk Jakarta, tapi harus
diusahakan supaya juga bersih dari tuduhan sebagai pemberontak di Madiun.
Rencana ini direkayasa dengan sempurna oleh Syam, di mana Aidit dan Lukman dinaikkan
kapai dari salah satu pelabuhan dan diturunkan di Tanjung Priok.
Keduannya mengaku datang dari Vietnam sebagai penumpang gelap karena tidak punya
paspor. Setelah mendarat di Priok, keduannya ditangkap, tapi dengan kecerdikan Syam, bisa
dibebaskan.
Setelah Aidit berhasil merebut jabatar, ketua PKI dari tangan tokoh-tokoh tua seperti Alimin
dan Tan Ling Djie, ia tidak melupakan Syam. Syam dinaikkan kedudukannya dari SBPP,
ditugaskan memimpin di SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Lalu ia
dikirim ke RRT untuk mempelajari soal-soal kemiliteran.
Sekembalinya dari RRT tidak diketahui persisnya kapan), ia ditempatkan oleh Aidit
memimpin Komite Militer dalam organisasi PKI, menggantikan pimpinan lama, Soehadi,
yang meninggal dunia. Dalam Komite Militer inilah ia berkiprah yang berakhir dengan
terjadinya G30S/PKI.

Pengalaman Syam dalam kemiliteran ialah dalam „Lasykar Tani“ pada awal revolusi.
Dengan pengalaman itu, ia berangkat ke RRT memperdalam soal-soal kemiliteran.
Untuk menggambarkan sampai di mana kekuasaan Biro Khusus, ada sebuah cerita yang
disampaikan oleh seorang bekas anggota CC sebagai berikut:

Pada suatu hari, seorang anggota CC PKI dari Jakarta,ditugaskan ke Padang untuk urusan
partai. Ketika datang di kantor CDB (Comite Daerah Besar) Sumatera Barat di Padang, ia
heran karena tidak bisa menemukan seorang pun fungsionaris partai yang berada di tempat.
Setelah diusutnya, ketahuan bahwa semua fungsionaris partai diperintahkan supaya
mengungsi, karena ada berita bahwa kantor CDB akan diserbu oleh lawan-lawan PKI.
Dengan cekatan sekali, semua dokumen diamankan, bahkan mesin-mesin tulis semua dibawa
pergi.
Setelah ditelusuri lebih lanjut duduk persoalannya, ternyata yang memerintahkan
pengungsian ialah orangorang Biro Khusus.
Karena kemudian terbukti tidak ada apa-apa yang terjadi, maka yang mengungsi
diperintahkan supaya kembali bekerja seperti biasa. Katanya, perintah mengungsi datang dari
petugas-petugas keamanan partai (yang tidak lain dari Biro Khusus), ialah untuk menguji
sampai di mana kecekatan para fungsionaris dan kader menyelamatkan partainya jika ada
bahaya.
Anggota CC dari Jakarta itu jadi bengong, karena tindakan tersebut sama sekali tidak di
koordinasikan dengan CC di Jakarta.

Inilah Biro Khusus yang dibentuk oleh Aidit dengan kekuasaan yang begitu luas.
Seluruh kegiatannya terselubung dan hanya boleh berhubungan dengan ketua Aidit.
Issue „Dewan Jenderal“ sudah berbulan-buian beredar sebelum meletusnya G30S/PKI. PKI
katanya mengetahui kalau Angkatan Darat sudah siap memukulnya, dengan mengeksploitasi
makin buruknya kesehatan Bung Karno. PKI sudah lama menyadari bahwa Angkatan Darat
makin tidak suka kepadanya dan terus berusaha menghancurkannya. Oleh karena itu PKI
makin giat juga bekerja di kalangan Angkatan Darat dan Aidit membanggakan bahwa
pendukungnya di Angkatan Darat kuat, sambil menunjuk hasil Pemilihan Umum 1955,
pencoblos tanda gambar palu arit dalam lingkungan Angkatan Darat tercatat 25 %. Di asrama
CPM Guntur, Jakarta, banyak sekali pemilih Palu-Arit, katanya.

Karena rencana penghancuran PKI -menurut PKI-dirumuskan oleh sekelompok jenderal AD,
maka kelompok inilah yang didesas-desuskan sebagai „Dewan Jendral“.
Kelompok Jenderal ini pula—menurut PKI—yang selalu merumuskan sikap politik Angkatan
Darat yang menjadi garis menteri-rnenteri dari AD dan wakil-wakil mereka yang duduk
dalam berbagai Lembaga Negara. Tapi kalau ditanya, bagaimana susunan organisasinya,
mereka tidak bisa menjelaskan selain menduga-duga bahwa dewan ini dipimpin oleh Jenderal
A.H. Nasution dan Jenderal A. Yani.

Setelah Aidit memperkenalkan teorinya tentang kemungkinan coup d‘etat bermutasi menjadi
revolusi, maka sikapnya yang selama ini nampak loyal kepada Pemerintah dan Bung Karno,
tiba-tiba saja berubah. Sudah mulai kedengaran suara-suara supaya Bung Karno dikritik. Biro
Khusus yang menjelin kerjasama dengan apa yang disebut „Kelompok Perwira Muda yang
Maju“, sepakat melaksanakan putusan Dewan Harian Politbiro, mendahului mengadakan
gerakan memukul Angkatan Darat sebelum PKI dihancurkan.

Gerakan ini finalnya diputuskan dalam rapat Dewan Harian Politbiro tanggal 28 September
1965, yang menurut keterangan seorang yang ikut hadir, sidang dihadiri juga oleh
eriskre aris CD arisg k betulan akardi Jakarta yaitu: CDB Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Kalimantan Barat.
Adapun anggota Politbiro ialah: Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman, B.O. Hutapea, Ir.
Sakirman, Nyono, Munir, Ruslan Wijayasastra dan Rewang. Ada keterangan bahwa tidak
semua anggota Politbiro hadir dalam rapat penentuan itu.
Menurut sebuah keterangan, dalam rapat Politbiro ini, ada beberapa peserta yang menyatakan
tidak setuju dengan rencana gerakan yang disampaikan olen Aidit, tapi cara mereka
menentangnya, hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai keraguan mereka
tentang efektifnya diadakan satu gerakan mendahului.
Tapi setelah Aidit menjawab dengan mengajukan alasan-alasan yang mematahkan
pertanyaan-pertanyaan tersebut, perdebatan tidak berkepanjangan lagi, karena segala
persiapan sudah diadakan.
Diantara mereka yang jelas menentang ialah Sekretaris CDB Jawa Barat dan Sekretaris CDB
Kalimantan Barat. Kedua CDB itu kemudian mengeluarkan pernyataan mengenai sikap
mereka yang menentang Gerakan 30 September.

Menurut pleidooi anggota Polrtbiro Rewang yang ditangkap di Blitar, di muka sidang
pengadilan militer yang mengadilinya, 18 Desember 1971, mengatakan bahwa dalam bulan
Agustus 1965, telah dilangsungkan rapat Politbiro CC PKI yang membicarakan masalah
gerakan. Dalam rapat itu tidak diambil putusan mengenai akan dibentuknya Dewan Revolusi
sebagai pengganti Kabinet Dwikora.
Sesudah rapat Politbiro, Aidit memanggil anggotaanggota CC PKI yang ada di Jakarta (tidak
disebutkan waktunya), dalam satu pertemuan yang bersifat briefing.
Dalam pertemuan itu, tidak ada diambil keputusan apa pun, apalagi keputusan mendahului
mengadakan gerakan.
Terdakwa mengatakan bahwa ia menyetujui kebijaksanaan mendukung sikap golongan
„Perwira Muda yang Maju“ hendak menentang kudeta segolongan Jenderal.
Sesudah itu, pimpinan partai menugaskan kepada sementara anggota CC pergi ke daerah-
daerah guna membantu CDB-CDB menjelaskan situasi politik dalam negeri dan sikap politik
pimpinan partai menghadapi situasi itu.

Pada tanggal 30 September malam, terdakwa menerima pemberitahuan dari pimpinan


atasannya mengenai akan diadakannya gerakan oleh perwira-perwira muda yang maju.
Terdakwa menyangkal kalau gerakan itu diputuskan oleh Politbiro. Tapi dikatakan, pada
lazimnya, pelaksanaan keputusan Politbiro dilakukan oleh Dewan Harian Politbiro atau ketua
partai. Meski pun demikian, sampai terjadinya Gerakan 30 September 1965, Politbiro tidak
lagi dipanggil bersidang untuk menerima laporan dari Dewan Harian dan ketua partai,
mengenai pelaksanaan keputusan Politbiro menilai kebijaksanaan ketua, atau Dewan Harian
Politbiro dalam melaksanakan keputusan Politbiro.
Terdakwa mengakui bahwa ditinjau dari kejadian gerakan mendemisionerkan Kabinet
Dwikora, memang dapat diartikan pengambil-alihan kekuasaan mengenai pemerintahan yang
ada pada Presiden Sukarno. Tapi gerakan itu sendiri menyatakan tetap setia kepada Presiden
Sukarno dan garis politiknya.
Bahkan pada tanggal 1Oktober 1965, kata terdakwa, tokoh-tokoh gerakan berusaha
beraudiensi kepada Presiden Sukarno dan mentaati segala perintahnya.
Terdakwa mengatakan, ia setuju dengan Kritik Oto Kritik (KOK) Politbiro CC PKI yang
mengakui bahwa pimpinan PKI telah menjalankan avonturisme di bidang ideologi, teori,
politik dan organisasi, sehubungan dengan terjadinya Gerakan 30 September. Gerakan itu
tidak bisa dibenarkan ditinjau dari perjuangan revolusioner, secara teknis mau er, secara
teknis mau pun prinsip.

Terdakwa membenarkan pernyataan Presiden Sukarno dalam Pelengkap Nawaksara bahwa


Gerakan 30 September ditimbulkan oleh 3 faktor:
1. Keblingeran pemimpin-pemimpin PKI
2. Lihainya Nekolim
3. Memang ada oknum-oknum yang tidak benar

Menurut terdakwa, penilaian Bung Karno diberikan atas dasar


pandangan seorang non komunis, sebagai landasan untuk mengambil tindakan
sesuai dengan dasar-pandang dan politiknya. 15}

Yang banyak juga dibicarakan, ialah keterlibatan RRT dalam gerakan. Tapi pembuktiannya
yang konkrit tidak ada, selain dari analisa politik. Salah satu bukti yang ditunjuk. Ialah bahwa
Perdana Menteri Chou Enlay sudah mengetahui kejadian di Jakarta pada tanggal 1 Oktober
1965 pagi dan menyampaikannya kepada wakil ketua MPRS, Ali Sastroamidjojo, yang
sedang berada di Peking, sebelum sumber resmi di Jakarta mengetahui duduk persoalannya
secara jelas.

Sebenarnya hal ini mudah dimengerti, karena di Jakarta ada cabang Kantor Berita Xinhua
yang mempunyai hubungan telex langsung Jakarta-Peking. Segala kejadian di Jakarta sudah
disiarkan oleh Xinhua yang diterima secara lengkap di Peking pagi tanggal 1 Oktober itu,
yang bersumber dari pimpinan Gerakan 30 September.
15) Pleidooi Rewang, dicuplik dan naskah aslinya(tulisan tangan),
hal.28, 31, 32, 33 dan 34

Sepanjang yang diketahui, RRT tidak penah mengeluarkan pernyataan mendukung gerakan
itu. Apa yang dilakukan oleh RRT ialah Radio Peking menyiarkan secara lengkap KOK
Politbiro CC PKI dan menyatakan persetujuannya dengan KOK itu.
KOK menyalahkan Gerakan 30 September dan menyatakan sebagai avonturisme di bidang
ideologi, politik, teori dan organisasi.
Dari analogi ini, bisa disimpulkan bahwa RRT tidak mendukung Gerakan 30 September
1965. Kesimpulan ini bisa dimengerti apabila dikaji bahwa Rl dan RRT kemudian bisa
menormalisasi kembali hubungan diplomatiknya yang sejak terjadinya G30S, dibekukan.
Sementera persoalan G30S sendiri di Indonesia belum ditutup.
Bahkan selanjutnya RRT menyatakan tidak lagi mengakui eksistensi PKI yang di Indonesia
memang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang.
Mengapa Dewan Harian Politbiro CC PKI memutuskan mendahului mengadakan gerakan?

Menurut keterangan, karena mereka memanfaatkan momentum kehadiran 2 batalyon pasukan


yang pro „Kelompok Perwira Muda yang Maju“ yang didatangkan oleh KOSTRAD dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk ambil bagian dalam peringatan Hari Angkatan Perang 5
Oktober 1965. Momentum semacam ini dianggap tidak akan berulang lagi, oleh karena itu
kesempatan yang ada harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Tapi justru yang tidak diantisipasi, kekuatan induk yang ada di Jakarta, dianggap sudah beres
begitu saja. Padahal dalam kenyataannya, kekuatan rieel yang berhasil digerakkan dari
Tjakrabirawa, hanya 1 kompi, Brigade Infantri I dibawah kolonel A.
Latief hanya 1 pleton, dari AURI hanya bertugas menjaga lapangan Udara Halim Perdana
Kusumah, sedang 1 batalyon Infantri dari Tangerang di bawah komandan mayor Sigit, dan
satu Batery Artileri Pertahanan Udara di Jakarta di bawah komandan Kapten Wahyudi, yang
semula sanggup ikut bergerak, sama sekali tidak muncul.

Sukarelawan yang hanya menerima latihan kemiliteran secara kilat, meski pun jumlahnya 4
batalyon bersenjata lengkap, tapi tidak bisa diandalkan. Betul di antara mereka ada 1 kompi
yang sudah menerima latihan menggunakan peluncur roket yang berlaras banyak, senjata
yang mempunyai daya penghancur besar, tapi pada tanggal 2 Oktober, setelah acla perintah
cease fire dari Panglima Tertinggi, semua senjata diperintahkan oleh AURI supaya
dikumpull;an di gudang, termasuk roket. Tindakan ini untuk mentaati perintah
Presiden/Panglima Tertinggi supaya menghindarkan pertempuran.
Adapun cerita 1 juta massa PKI yang dijanjikan oleh Syam akan menguasai kota Jakarta
begitu gerakan dimulai, ternyata hanya omong kosong. Juga bantuan yans diperhitungkan
akan datang dari Bandung dan Cirebon, tidak terbukti.

Tanggal 2 Oktober pagi, di Jakarta, praktis Gerakan 30 September sudah lumpuh.


Penanggungjawab gerakan di Jakarta, dipercayakan kepada 3 orang yaitu: Nyono sebagai
orang pertama Komite Daerah Besar Jakarta Raya, Sukatno ketua Pemuda Rakyat dan Cugito
anggota CC PKI.
Analisa tokoh-tokoh PKI setelah melihat gerakan mereka gagal, menyimpulkan bahwa Aidit
sebetulnya terjebak dalam perangkap yang dipasang oleh Syam, tokoh yang misterius itu, tapi
yang paling dipercayainya dalam rangka memenuhi ambisinya hendak berkuasa.
Hal ini terungkap ketika Mayor (U) Soejono ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer)
Budi Utomo (sebelum menjalani eksekusi) menceritakan kepada teman-temannya sesama
tahanan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam, ia ditugaskan menjemput D.N. Aidit
dari rumahnya dibawa ke Pangkalan Udara Halim, dimana G30S menempatkan Sentral
Komandonya. Dalam perjalanan di dalam mobil, Soejono menanyakan kepada Aidit
mengenai beberapa hal penting menyangkut „gerakan“ yang disampaikan melalui Syam
untuk di teruskan kepadanya. Syam membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan
disampaikan kepada Aidit, tidak boleh disampaikan langsung, melainkan harus lewat dirinya.
Syamlah yang akan menyampaikan kepada Aidit.
Ternyata berbagai pertimbangan militer yang harus disampaikan kepada Aidit, tidak
disampaikan oleh Syam, sehingga banyak hal yang tidak bisa dikoordinasi dengan baik.
Semua pertimbangan, hanya Syam sendiri yang menampung dengan akibatnya, setelah
gerakan dimulai, terjadi kesimpang-siuran.

Disinilah Syam menjalankan peran sesuai dengan misinya yang misterius dan ia berhasil.
Bagi Angkatan Darat, sikap PKI mendahului mengadakan gerakan, malah dianggap
kebetulan, karena malah dianggap kebetulan, karena sudah diperhitungkan, PKI tidak
mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD sudah
diperhitungkan, PKI tidak mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan
kenekatan PKI itu, AD mendapatkan alasan yang sah untuk menghancurkan PKI sampai ke
akar-akarnya. Demikian analisa tokoh-tokoh PKI setelah mereka meringkuk dalam penjara.

Menurut pengakuan tokoh-tokoh PKI yang pernah ditahan atau diadili tapi kemudian
dikembalikan ke masyarakat, mereka tidak mempunyai rencana hendak membunuh para
Jenderal. Tugas gerakan yang dikendalikan oleh Biro Khusus, hanya bertindak sebagai polisi,
menangkap perwira-perwira tinggi yang dituduh anggota „Dewan Jenderal“, sesudah itu
menyerahkannya kepada Presiden/Panglima Tertinggi untuk menentukan tindakan apa yang
harus diambil terhadap mereka.

Ternyata dalam pelaksanaan terjadi penyimpangan, yang diperkirakan karena akibat rencana
terselubung yang memanfaatkan gerakan ini. Tadinya diharapkan supaya pengambilan para
Jenderal beraelan mulus saja. Akan tetapi didalam pelaksanaan, bukan saja para Jenderal
dibunuh dengan kejam atas perintah Syam, dimasukkan ke dalam sumur tua, bahkan
berkelanjutan dengan mengambil tindakan politik yang memberikan warna bahwa tindakan
ini betul-betul suatu tindakan coup d‘état. Dewan Revolusi dibentuk untuk menjeiaskan
bahwa yang terjadi adalah sebuah revolusi dan Kabinet Dwikora di-demisioner-kan, dengan
catatan boleh bekerja terus menjalankan tugas rutin yang tidak bertentangan dengan garis
yang ditetapkan oleh Dewan Revolusi. Kemudian mengumumkan program utuk segera
menyiapkan penyelenggaraan Pemilihan Umum dan dari hasil Pemilu, akan dibentuk Kabinet
Front Nasional yang adil, di mana PKI tentu harus menjadi bagian yang penting didalamnya.

Sebetulnya semua itu hanya angan-angan yang dicoba untuk dimaterialisasikan, tapi
pelaksanaannya amburadul. Penyusunan Dewan Revolusi dilakukan sembarangan saja, tanpa
konsultasi dengan orang-orang yang namanya dicantumkan dalam susunan Dewan. Dengan
demikian, maka susunan Dewan hanya fiktif belaka, sekedar nama- namanya diumumkan
lewat RRI yang waktu itu mereka kuasai, tapi tidak pernah efektif walau sejenak. Walau pun
Kabinet sudah dinyatakan demisioner, tetap saja menjalankan kekuasaan eksekutifnya tanpa
campur tangan Dewan Revolusi.

Memang politik tidak sesederhana seperti apa yang sering dipikirkan orang naif.
Untuk mendapatkan sedikit gambaran awal mengenai tanda-tanda akan terjadinya peristiwa
G30S, ada baiknya kita menengok ke belakang dengan memperhatikan beberapa keterangan
berikut:
1. Pada suatu hari di bulan Agustus 1965, Ny. Umi
Sarjono, ketua umum GERWANI, dan anggota DPRGR, minta tolong kepada Menteri/Wakil
ketua DPRGR Mursalin Daeng Mamanggung untuk menyampaikan kepada Menko/Ketua M
P RS Chaerul Saleh supaya mencegah Aidit (Menko/Wakil ketua MPRS) melaksanakan satu
rencana yang tidak disebut- kan apa bentuknya. Setelah pesan itu disampaikan oleh Mursalin
kepada Chaerul, reaksinya tidak serius, sehingga tidak terkesan adanya sesuatu yang penting.
Dikira hal itu urusan pribadi saja.

2. Dalam rangka peringatan Hari ABRI, 5 Oktober 1965, atas prakarsa Men/Pangad Letnan
Jenderal A. Yani, Presiden Sukarno dimohon bersedia menerima satu pawai
SEKBERGOLKAR (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Bung Karno menjawab, bersedia
saja menerima, asal panjangnya barisan lima Km. Yani menyanggupinya. Tentu saja untuk
menghimpun massa SEKBERGOLKAR dalam barisan yang begitu panjang, diperlukan satu
pengorganisasian yang luas. Mursalin terlibat dalam kegiatan ini, karena ia adalah seorang
anggota pimpinan SEKBERGOLKAR.

Lukman, wakil ketua PKI yang juga Menteri/Wakil ketua DPRGR, mendengar keterlibatan
Mursalin dalam rencana itu, minta kepadanya supaya tidak usah ikut-ikut campur tangan.
Tapi Mursalin menjawab bahwa keikut-sertaannya, karena statusnya sebagai anggota
pimpinan SEKBERGOLKAR.
3. Ceramah Prof. Dr. Wertheim dalam satu pertemuan 23 September 1990 di Amsterdam, di
mana diuraikannya bahwa ketika ia dan istrinya pada tahun 1957 mengajar sebagai Guru
Besar Tamu di Bogor, ia sempat bertemu dengan Aidit dan beberapa tokoh PKI lainnya. Aidit
memberitahukan kepadanya tentang kunjungannya ke RRT. Dari sumber lain Wertheim
mendengar bahwa ketika Aidit di Peking dan menemui Mao Zedong, Aidit ditanya: „Kapan
ia akan mundur ke daerah pedesaan“ 16)
16) Majalah „Arah „ Suplemen, No, 1, 1990, Amsterdam.

Tentang pembicaraan Aidit dengan Mao Zedong ini, seorang bekas mahasiswa Indonesia
yang pernah belajar di Peking dan berhasil menyelesaikan studinya dalam jurusan Sinologi,
menceritakan bahwa rumor yang tersiar dikalangan mahasiswa Indonesia di Peking waktu itu,
pertama-tama Mao Zedong menanyakan kepada Aidit, apakah ia sudah pernah mencopot
dasinya dan terjun ke desa memimpin gerakan tani, mengingat Indonesia adalah negara
agraris yang 80% rakyatnya terdiri dari petani?
Menurut cerita ini, Aidit merasa agak dipermalukan oleh Mao Zedong, karena ia tidak bisa
memberikan keterangan yang memuaskan mengenai gerakan tani di Indonesia.
Mungkin karena pengalaman buruk ini, maka pada tahun 1964, Aidit memimpin satu gerakan
riset besarbesaran untuk meneliti gerakan tani di Jawa dengan melibatkan kurang lebih 3300
kader PKI, yaitu 3000 kader tingkat kecamatan dan desa, 250 kader tingkat propinsi dan 50
kader tingkat pusat. Proyek ini diselesaikan dalam 4 bulan, yaitu Pebruari sampai Mei 1964.
Menurut perkiraan waktu itu di Jawa ada 45 juta kaum tani. Yang diriset ialah desa-desa di
124 kecamatan. Masing-masing kader melakukan riset 45 hari, kemudian menyusun kesim-
pulan. Aidit sendiri mengatakan bahwa ia melakukan perjalanan dengan mobil sepanjang
6000 Km selama memimpin pekerjaan riset itu.
Laporan hasil risetnya, disampaikan dalam ceramahnya dihadapan para dosen, mahasiswa
dan undangan Akademi llmu Politik „Bachtaruddin“ (milik PKI) tanggal 28 Juli 1964 di
Balai Prajurit „Diponegoro“, Jakarta.

Dari hasil riset ini, kata aidit, telah bisa dipusatkan sasaran gerakan tani di seluruh tanahair
melawan apa yang disebutnya „7 setan desa“: tuan tanah jahat, lintah darat, tengkulak jahat,
tukang ijon, penguasa jahat, kapitalis birokrat di desa dan bandit desa.
Hasil riset tersebut telah memperkuat kesimpulan PKI bahwa di Indonesia terdapat 4 ciri sisa-
sisa feodalisme, yaitu: 1. Monopoli tuan tanah atas tanah. 2. Sewa tanah dalam wujud hasil
bumi. 3. Sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan tanah. 4.
Utang-utang yang mencekek leher kaum tani. 17)
Maka mulailah diatur supaya Barisan Tani di Indonesia (BTI) melakukan latihan revolusioner
di desa, yang dikenal dengan Aksi Sepihak, untuk menguji sampai dimana militansi kaum
tani yang diorganisasi oleh BTI.
Di daerah Klaten, Jawa Tengah, misalnya. Yang menjadi sasaran ialah kaum tani yang
sawahnya luas, melebihi 5 ha. Menurut Aidit, Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-
Undang Pokok Bagi Hasil, sesuai ketentuan Menteri Pertanian dan Agraria, tahun 1963
adalah tahun terakhir pelaksanaannya di Jawa, yaitu tanah tuan tanah dinasionalisasi dan
seorang petani tidak boleh mempunyai tanah lebih dari 5 ha. Itulah alasannya mengapa Aksi
Sepihak dilancarkan, karena sampai tahun 1964, ketentuan UU tersebut tidak dilaksanakan
oleh Pemerintah.
17) Majalah „llmu Marxis‘, triwulan ketiga, tahun ke-VII, No. 3 Jakarta, 1964

Tapi apa yang terjadi di Jawa Tengah, BTI melakukan Aksi Sepihak tanpa persetujuan
Pemerintah. Kebetulan yang menjadi sasaran ialah petani-petani anggota PNI. Tentu saja
orang-orang PNI melakukan perlawanan dan akibatnya jatuh korban.
Dalam ceramah Wertheim yang disinggung di atas, ia juga mengatakan bahwa pada tahun
1964, menerima kunjungan wakil ketua PKI Nyoto di Amsterdam. Nyoto bersama tokoh-
tokoh PKI lainnya, waktu itu sedang berada di Eropa, menghadiri satu konperensi di
Helsinki. Sewaktu bertemu dengan Nyoto, kata Wertheim, ia teringat kembali pertanyaan
Mao Zedong kepada Aidit „ Kapan akan mengundurkan diri ke daerah pedesaan?“, sambil
mengingatkan kepadanya bahwa situasi Indonesia sekarang, mirip dengan keadaan di
Tiongkok sebelum coup d‘état Generalisimo Chiang Kaisyek. Menurut Wertheirn, di
Indonesia juga akan ada bahaya besar seperti di Tiongkok tahun 1927, di mana PKI akan
dihancurkan. Oleh karena itu dianjurkannya dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia
mempersiap- kan diri untuk menyusun perlawanan di bawah tanah dan mundur ke pedesan.

Jawaban Nyoto, menuru1 Wertheim, „ untuk menghancurkan PKI sekarang sudah terlambat,
karena PKI sudah terlalu kuat dan juga mempunyei kekuatan di lingkungan ABRI“.
Wertheim mengatakan, ia tidak berhasil meyakinkan Nyoto. 18)
18) Ceramah Prof. Dr. W.F. Wertheim, seperti yang dimuat dalam rnayalah„Arah“,
Supplement, No. 1, 1990, Amsterdam.

Biro Ketentaraan Departemen Organisasi PKI atau yang dikenal dengan„Biro Khusus“
bersama sekutunya „Perwira Muda yang Maju“, sebelum 30 September 1965, sudah berkali-
kali mengadakan pertemuan, tempatnya bergantiganti, di rumah kapten Wahyudi dari
ARHANUD (Artileri Pertahanan Udara), di rumah kolonel Latief (komandan Brigade
Infantri I KODAM V Jaya) dan rumah Syam, untuk mengkonsolidasi kekuatan sampai pada
tahap persiapan akhir.

Seorang komandan batalyon yang ikut dalam rapat-rapat itu dan akhirnya ditahan di Rumah
Tahanan Khusus Salemba, yang kemudian berganti nama menjadi INREHAB (Instalalasi
Rehabilitasi) Salemba, sudah mengemukakan keraguannya mengenai kemungkinan keber-
hasilan gerakan. Secara perhitungan militer, gerakan yang dipersiapkan hendak mendahului
itu, tidak bisa menjamin kemenangan mutlak, karena pasukan yang hendak digerakkan, tidak
konkrit, baru perhitungan di atas kertas. Diperkirakan, akan lebih banyak yang meng-
gabung, jika gerakan sudah dimulai.
Tapi Syam berkata: „masa tidak percaya kepada kokuatan massa PKI yang sudah teruji
militansinya, siap rnenguasai ibukota begitu gerakan dimulai“.

Ketika gerakan siap dimulai dengan menjadikan desa Lubang Buaya sebagai pangkalan,
perwira yang ragu tadi tidak muncul dan juga tidak menyiapkan pasukannya untuk bergerak,
seperti yang diputuskan dalam rapat. Ia seorang militer profesional yang merasa bertanggung
jawab penuh atas nasib prajurit. Ia tidak mau mengorbankan anak buah, karena yakin
persiapan tidak matang.

Senada dengan apa yang diakui oleh anggota Politbiro Rewang dalam pleidooinya dimuka
sidang pengadilan, sebelum semua persiapan kegiatan itu, ada sidang CC PKI yang dihadiri
anggota-anggota CC yang berada di Jakarta dengan menghadirkan juga Sekretaris-Sekretaris
tingkat Propinsi di Jawa, pada bulan Agustus 1965. Dalam rapat itu Aidit menguraikan situasi
politik dalam negeri yang dinilainya sudah semakin kritis, karena katanya, sudah diketahui
akan ada rencana coup d‘etat „Dewan Jenderal“ yang dini terhadap Bung Karno dan
sekaligus menghancurkan PKI.

Gerakan ini akan dilancar- kan oleh „Dewan Jenderal“, sehubungan dengan kesehatan Bung
Karno yang makin buruk, yang diketahui dari laporan team dokter RRT yang merawatnya.
PKI, kata Aidit, harus bersiap menghadapi · bahaya itu, karena bagaimana pun, PKI pasti
terancam.

Mengenai gerakan, mantan ketua Mahkamah Agung Rl, Ali Said, SH., dalam ceramahnya di
depan mahasiswa Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer Jakarta 23
Nopember 1992 mengatakan bahwa berdasarkan hasii pemeriksaan tim dokter RRT yang
pernah mengobati Bung Karno, menyimpulkan bahwa apabiia datang serangan lagi, akan
berakibat fatal bagi Bung Karno, yaitu lumpuh atau meninggal dunia.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter RRT ini, Aidit menyelenggarakan pertemuan
berturut-turut dengan Politbironya untuk membahas:
1. Keadaan Presiden/PBR (Pemimpin Besar Revolusi) yang makin memburuk.

2. Adanya suatu Dewan Jenderal di lingkungan AD yang siap mengambil alih kekuasaan
setelah Presiden tidak berdaya lagi, bahkan kemudian menginformasikan Politbironya bahwa
Dewan Jenderal akan lebih dulu bertindak sebelum Presiden wafat, dan tindakan itu akan
dilancarkan sekitar Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965.

3. Adanya kelompok perwira progresif di lingkungan


Angkatan Darat yang akan mencegah serangan/ menggagalkan upaya coup Dewan Jenderal.

4. Kepada rekan-rekannya ditanyakan oleh Aidit, bagaimana seyogianya sikap yang harus
diambil PKI. Membiarkan Dewan Jenderal bergerak dulu untuk kemudian dilawan, ataukah
lebih tepat apabila PKI menyerang terlebih dahulu. Aidit sendiri lebih berat meletakkan
pilihannya „Mendahului“ gerakan Dewan Jenderal. 19)
19) Berita Buana, 25 Nopember 1992, Jakarta.

Ali Said, SH., tidak menjelaskan sumber keterangan butir-butir yang diuraikannya, terutama
mengenai butir 2 sampai 4. Butir 1 sudah umum diketahui.
Tapi menurut keterangan seorang yang hadir dalam pertemuan CC yang diperluas, dan
kemudian ditahan, Aidit tidak menjelaskan apa bentuk gerakan yang akan ditempuhnya untuk
menyelamatkan PKI. Ia hanya minta persetujuan sidang supaya memberikan kepercayaan
kepadanya mengambil langkah-langkah yang diperlukan, permintaan mana diluluskan.
Berdasarkan kepercayaan inilah, Dewan Harian Politbiro dalam sidangnya tanggal 24
September 1965, menyusun rencana hendak mendahului gerakan apa yang mereka tuduhkan
sebagai rencana coup d‘etat yang hendak dilancarkan oleh „Dewan Jenderal“.

Dewan Harian yang dimaksud ialah para ketua Partai Kepala Sekretariat dan tentu saja
ditambah dengan Syan Kamaruzzaman.
Pada hari itu juga Komite Jakarta Raya mengadakan rapat yang dipimpin oleh sekretarisnya,
Nyono, dihadiri oleh seluruh pimpinan Seksi Komite di seluruh Daeral Jakarta Raya, untuk
membagi tugas masing-masing.

Jakarta Raya dibagi dalam beberapa Sektor dan Komandan Sektor sudah diangkat begitu
selesai latihan kemiliteran di Lubang Buaya. Pembagian wilayah sudah ditentukan.
Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang berafiliasi dengan PKI, ditugaskan
menyediakan konsumsi dengan membuka dapur umum. Pada saat gerakan dimulai, nasi
bungkus dengan lauk pauknya supaya disediakan untuk melayani prajurit yang bergerak.
Beras dan uang lauk pauk sudah didrop.

Tapi pada saat gerakan dimulai, tidak satu pun dapur umum yang berfungsi.
Akibatnya, semua prajurit dari sukarelawan yang sudah menerima latihan kemiliteran di
Lubang Buaya dan siap disektornya masing-masing, jac kelaparan. Ini membuktikan bahwa
pengorganisasian gerakan itu tidak beres dan tidak cukup dipahami olel massa bawahan.

Menurut keterangan seorang perwira Batalyon Infantri 454/Diponegoro yang ikut bergerak
pada 1 Oktober 1 965 itu, uang Batalyon yang dibawa dari Semarang, terpaksa dikeluarkan
membeli makanan, karena prajurit-prajurit sudah kelaparan.
Begitulah gambaran betapa kacaunya pengaturan gerakan itu. Seorang mantan anggota CC
PKI yang pernah ke pulau Buru, menceritakan bahwa 2 hari sebelum gerakan dicetuskan, ia
sudah mendengar akan adanya gerakan. Maka ia pun segera menemui Nyono, orang pertama
PKI Jakarta Raya, minta dengan sangat supaya gerakan dibatalkan. Tapi Nyono menjawab
bahwa itu sudah menjadi putusan yang tidak mungkin dirubah lagi.

Karena orang itu merasa dirinya mempunyai kedudukan yang penting dan seharusnya ikut
menentukan dalam Partai, yeitu sebagai anggota CC, maka ia bertanya: Putusan siapa?
Karena ia sebagai anggota CC PKI tidak pernah merasa ikut merundingkan apalagi
menyetujuinya.

Ketika Nyono akhirnya ditangkap dalam satu operasi pembersihan di sekitar percetakan
Negara Jakarta, ia diadili sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) dan dijatuhi
hukuman mati.

Sebelum dieksekusi, Nyono ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) jalan Budi Utomo
Jakarta dan kebetulan mantan anggota CC yang pernah memperingatkannya supaya
membatalkan pelaksanaan „Gerakan 30 September“ itu, juga ditahan di tempat yang sama.
Karena ia mendengar bahwa eksekusi terhadap Nyono akan dilaksanakan besoknya, maka
diperlukannya menemui Nyono dengan cara sembunyi-sembunyi, untuk menyampaikan
berita sedih itu.

Nyono hanya menjawab bahwa ia belum lupa nasehat temannya ini, tapi sekarang nasi sudah
menjadi bubur. Risikonya adalah yang terpahit:

Menghadapi regu tembak, sesuai dengan vonnis yang dijatuhkan oleh MAHMILLUB.
Gerakan ini berakibat fatal bukan saja tidak mendapat dukungan rakyat, tapi juga
pelaksanaannya tidak lewat perencanaan yang akurat, sehingga yang tampil ke permukaan
hanyalah ketakaburan dengan menganggap bahwa gerakan pasti berhasil. Sama sekali tidak
diperhitungkan kemungkinan gagal. Dengan demikian, gerakan ini secara militer sepenuhnya
avonturisme, menyimpang dari teori revolusi seperti yang dimaksudkan oleh pencetusnya.

Itulah sebabnya, setelah Letnan Jenderal Soeharto menumpas gerakan ini, hanya dalam
tempo 5 hari seluruh kekutan inti gerakan, telah dihancurkan. PKI mundur dan hanya
berusaha menolong situasi dengan mengeluarkan pernyataan seolah-olah mereka tidak
terlibat dan apa yang terjadi semata-mata persoalan intern Angkatan Darat.

PKI mengeluarkan seruan kepada seluruh anggota dan simpatisannya supaya memper-
tahankan legalitas sambil waspada. Untuk mendukung prinsip ini, PKI menyerukan kepada
anggota-anggotanya supaya mendaftarkan diri di Front Nasional, satu seruan yang
sebenarnya bunuh diri. Karena ternyata, semua yang datang mendaftarkan diri, tak seorang
pun lagi yang bisa kembali, mereka langsung ditahan.

Dalam waktu yang relatif singkat, beribu-ribu pengikut PKI sudah berada dalam tahanan dan
gerakan perlawanan yang berarti, sudah tidak ada lagi. Di Yogyakarta dan Solo ada sedikit
perlawanan karena D.N. Aidit berada di sana setelah diterbangkan oleh pesawat AURI dari
Halim atas perintah Menteri/Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani.

BAB IV
APEL LEWAT TENGAH MALAM
28 SEPTEMBER1965, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), melangsungkan
resepsi penutupan kongresnya di Istana Olahraga (ISTORA) Senayan, dengan mengundang
Bung Karno dan beberapa Menteri untuk memberikan amanat.

Gedung yang bisa menampung 10.000 audience itu, penuh sesak oleh mahasiwa anggota
CGMI dan anggotaanggota pemuda seazas. Yel-yel yang mereka teriakkan:
„Bubarkan HMI (Himpunan Mahasiwa Islam) yang dikenal sebagai organisasi mahasiswa
yang mendukung MASYUMI, partai Islam yang sudah dibubarkan karena dituduh terlibat
pemberontakkan PRRI di Sumatera Barat (1958). Itulah sebabnya CGMI menuntut pula
supaya HMI dibubarkan. Seolah- olah kongres ini diselenggarakan, terutama untuk menuntut
pembubaran HMI.

Biasa, kalau Bung Karno diminta memberikan amanat, selalu didahului dengan sambutan
seorang atau dua orang menteri. Sebagai gongnya, barulah Bung Karno tampil.
Pertama-tama tampil Menteri Penerangan Ahmadi. Tapi ternyata suaranya tenggelam dalam
gemuruhnya yel-yel yang menuntut pembubaran HMI. Audience tidak sabar dan minta
Ahmadi cepat- cepat saja menyatakan mendukung pembubaran HMI.
Karena pidatonya terus diganggu oleh gemuruh yang berlebih-lebihan, akhirnya ia hentikan
setelah diam 10 menit menantikan redanya suara yang gemuruh, tapi tidak juga berhenti.

Suasana terasa sekali sangat menekan.


Sesuai dengan acara, tampillah pembicara berikutnya, Wakil Perdana Menteri II Dr. J.
Leimena, berbicara menurut gayanya yang tidak agitatif. Ia dengan tenang dan jelas
menyampaikan sikap Pemerintah berkenaan dengan tuntutan pembubaran HMI.
Inilah kata-kata Dr. Leimena:

„Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI. HMI adalah organisasi yang
nasionalistis, patriotik dan loyal kepada Pemerintah. Pemerintah banyak mendapat sokongan
dari HMI dalam perjuangan melawan NEKOLIM „ .
Mendengar pernyataan Dr. Leimena yang sangat jelas itu, meski pun diucapkan dalam gaya
seorang pendeta, tapi cukup mengejutkan. Suasana di seluruh tenahair waktu itu yang
diciptakan oleh PKI dan para pendukungnya, sepertinya memastikan bahwa HMI malam itu
dibubarkan.

Tibalah giliran Bung Karno menyampaikan amanatnya. Massa CGMI - mengharapkan Bung
Karno berbicara lain. Bung Karno memulai pidatonya dengan mengatakan:
„Sebelum memulai pidato saya, saya ingin menyampaikan hal berikut ini.
Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijaksanaan Pemerintah yang disampaikan
oleh Pak Leimena sebagai wakil Perdana Menteri II, mengenai kedudukan HMI. HMI tidak
akan dibubarkan. Karena saudara-saudara sudah mendengar kebijaksanaan Pemerintah,
mungkin saudara-saudara ingin pula merigetahui sikap ketua Partai Komunis Indonesia,
saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walau pun ia tidak tercantum dalam daftar yang
akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya, sebelum
saya melanjutkan dengan pidato saya. Setuju ?“
Tentu saja di jawab „setuju“.

Maka Aidit pun berdiri mendampingi Bung Karno. Suaranya menggemuruh melalui pengeras
suara. Katanya: „Kalau Pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian
berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri saja. Dan
kalau kalian tidak mampu melakukan itu, lebih baik kalian jangan pakai celana, tapi tukar
saja dengan sarung“.

Aidit meneruskan pidatonya dengan berkobar-kobar dan akhirnya berkata kepada mahasiswa-
mahasiswa komunis itu tentang adanya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang
rakyat dan me- melihara isteri empat sampai lima. 20)
20) Cuplikan pidato Wakil Perdana Menteri 11 Dr Leimena, pidato Bung Karno dan pidato
Aidit, dikutip dari rekaman Ganis Harsono yang dimuat dalam bukunya Cakrawala Politik
Era Sukarno, hal.202
Pidato Aidit ini betul-betul satu tantangan dan juga satu komando yang menentang
kebijaksanaan Pemerintah. Pada waktu itu, PKI sudah memutuskan siap bertindak, tapi
rencana itu tidak segera bisa diantisipasi oleh aparat keamanan Negara.
Dua hari kemudian, terjadilah apa yang harus terjadi, seperti yang memang sudah
direncanakan oleh PKI. Peristiwa 28 September 1965 malam di ISTORA, adalah klimaks dari
akumulasi ketegangan politik yang sejak berbulan-bulan sudah dirasakan dan akhirnya
meletus lewat cara antagonis dengan „Gerakan 30 September 1 965“.
Alasan mencetuskan G30S difokuskan pada melawan apa yang disebut „rencana Dewan
Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno“. Bukan mustahil bahwa
kebijaksanaan untuk tidak membubarkan HMI seperti yang dituntut oleh CGMI, juga
dianggap sebagai satu rangkaian dari rencana keberhasilan „Dewan Jenderal“, padahal sikap
itu sangat jelas adalah sikap Bung Karno dan Kabinet

Memang PKI sudah dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang G30S, makin
agresif dalam sikap dan tindakannya. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi
serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut „kapitalis birokrat“ terutama
yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak
menepati waktunya sehingga melahirkan „Aksi Sepihak“ dan istilah ;, „7 setan desa“, serta
serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik
berat kepada „kepemimpinan“-nya dan mengabaikan „demokrasi“-nya, adalah pertanda
meningkatnya rasa superioritas PKI, sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa
secara politik, PKI merasa telah berdominasi. Dilupakannya bahwa seumpama benar
dibidang politik partai ini sudah berdominasi, tapi dalam kenyataan sama sekali tidak
berhegemoni, sehingga anggapan berdominasi, tidak lebih dari satu ilusi.

Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer
yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah
sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi
militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang
bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung
PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen
Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah letkol. Untung Samsuri.

Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih
semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang
bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami
kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana,
maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan
menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta,
sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang
memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya. Kolonel A. Latief yang juga gagal
menemukannya, terpaksa mencari jalan penyelamatan sendiri.

Wishnu Djajeng Minardo, komandan pangkalan Halim sewaktu meletusnya G30S dalam
percakapan dengan saya mengatakan, ketika Bung Kamo pada tanggal 1 Oktober 1965
berada di Halim, ia melihat Suparjo duduk di ubin sambil termenung. Wishnu memang
mengenalnya. Supardjo mengatakan kepadanya: „Kita sudah kalah“. Ucapan Supardjo
membuktikan dengan jelas bagaimana perintah ceace fire dari Bung Karno, tidak bisa berarti
lain kecuali bahwa G30S memang tidak diketahui oleh Bung Kamo sebelum terjadi, oleh
karena itu ia menolak memberikan dukungan, ketika diminta oleh Supardjo.
Gerakan dimulai dengan sebuah apel lewat tengah malam, sudah masuk tanggal 1 Oktober
1965, karena jarum jam menunjukkan pukul 02.00 pagi dengan berpangkalan di desa Lubang
Buaya, di luar Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Apel diikuti oleh semua pasukan
yang sudah disiapkan akan bergerak pagi buta itu menuju sasaran. Tugas pokoknya
menangkap para Jenderal yang dituduh tidak loyal kepada Presiden/ Panglima Tertinggi.
Ternyata satu regu tidak hadir, yaitu yang ditentukan untuk sasaran Jenderal A. H. Nasution,
kabarnya dari AURI.
Tapi ketidak hadiran regu itu, bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi, karena kemungkinan
yang demikian dalam gerakan militer, selalu diperhitungkan. Regu cadangan selalu siap
untuk setiap saat mengambil alih tugas pihak yang berhalangan. Regu cadangan yang
dipimpin oleh letnan Jahurup dari „Tjakrabirawa“ mempunyai kelemahan, yang berhalangan.
Regu cadangan yang dipimpin oleh letnan Jahurup dari „Tjakrabirawa“ mempunyai
kelemahan, yaitu belum pernah melakukan survey medan yang akan menjadi sasaran. Untuk
sasaran lain, sudah disurvey oleh masing-masing regu yang bersangkutan.
Ternyata ketidak-hadiran regu untuk sasaran Jenderal A.H. Nasution dan digantikan regu
cadangan yang tidak menguasai medan, berakibat fatal.

Sebelum regu-regu sasaran bergerak dengan bantuan pasukan pendukungnya masing-masing,


komandan memberikan pengarahan dan instruksi mengenai tugas yang harus dilaksanakan,
serta menjelaskan alasan-alasannya.
„Tugas ini adalah tugas mulia“, kata komandan, sebagaimana ditirukan oleh seorang prajurit
yang ikut dalam apel itu. Perintahnya, supaya para Jenderal yang sudah ditentukan dan
fotonya dibagikan kepada para komandan regu, harus dibawa untuk dihadapkan kepada
Presiden/Panglima Tertinggi, dalam keadaan hidup atau mati.
Karena ternyata 3 Jenderal dibawa dalam keadaan tidak bernyawa, maka diberikanlah alasan:
Mereka melakukan perlawanan!

Kolonel A. Latief di muka sidang MAHMILTI (Mahkamah Militer Tinggi) II Jawa Bagian
Barat yang mengadilinya, memberikan keterangan bahwa Letnan Kolonel Untung
memberitahukan kepadanya, para Jenderal diambil untuk kemudian diserahkan kepada
Presiden/Panglima tertinggi. Tapi setelah tiba dalam pelaksanaan, tidaklah seperti rencana
semula, karena tiga Jenderal lainnya yang dibawa dalam keadaan hidup, kemudian juga
dibunuh. Ketika Latief minta penjelasan mengenai hal ini kepada Untung, dijawab bahwa itu
semua menjadi tanggung jawabnya.
Kolonel Latief juga mengatakan bahwa Syam mengakui di muka sidang MAHMILTI yang
mengadilinya, bahwa dialah yang memerintahkan membunuh semua Jenderal yang dibawa
masih dalam keadaan hidup di Lobang Buaya. 21)
21) Dikutip dari pembelaan kolonel A. Latief, hal. 94.

Pelaksanaan operasi seperti yang diuraikan di atas, sesuai dengan perintah komandan, semua
dilaksanakan tanpa ragu-ragu. Menurut ketentuan, Perintah Militer, baik tertulis mau pun
lisan, nilainya sama. Jika ada yang belum jelas, harus ditanyakan pada saat perintah itu
diberikan. Sesudah itu, semua dianggap sudah jelas dan dipahami untuk langsung
dilaksanakan. Jika ada sesuatu keberatan, perintah harus dilaksanakan dulu, baru alasan
keberatannya diajukan kepada komandan atasannya. Menyimpang dari prosedur ini, berarti
pem- bangkangan yang bersanksi Hukuman Militer.
Oleh karena itu dikemudian hari timbul masalah hukum, yaitu setelah kasus G30S/PKI
dinyatakan sebagai tindak makar yang diajukan ke sidang Pengadilan Militer, timbul
pertanyaan: Apakah prajurit yang bertindak menjalankan perintah komandan atasan yang
tidak bisa dibantah, harus ikut bertanggungjawab atas akibat tindakan yang dilaksanakan
sesuai dengan perintah komandan atasan itu? Bukankah jika perintah ini diingkari, berarti
pelanggaran Sumpah Prajurit, yang juga akan mendapat hukuman berat? Bukankah dalam hal
ini, seharusnya yang bertanggungjawab hanyalah komandan yang memerintahkan tindakan
itu?

Ada pula pendapat lain yaitu bahwa sesudah kejadian, semua prajurit yang terlibat, langsung
dipecat dari dinas tentara, karena dinyatakan sebagai pemberontak melawan kekuasaan yang
sah. Oleh karena itu, semua anggota yang terlibat, tidak terbatas pada komandan yang
memerintahkan saja, semua anak buah harus dianggap sebagai hoofddader (pelaku utama).
Argumentasi ini disangkal lagi dengan mengatakan bahwa perbuatan itu dilakukan masih
dalam status mereka sebagai tentara resmi dan karenanya semua dilakukan atas dasar tugas.
Mereka bergerak ber- dasarkan Perintah Militer, bagaimana mereka bisa disebut hoofddader?

Akhirnya, semua prajurit anggota regu sasaran divonnis, umumnya hukuman mati.
Waktu menyerbu rumah Jenderal A. H. Nasution, komandan regu (cadangan), tidak
mengetahui di mana persisnya letak rumah itu. Oleh karenanya, rumah yang diserbu justru
yang tidak ada hubungan apa-apa dengan tugas yang harus dilaksanakan, yaitu rumah Wakil
Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, yang kebetulan diselingi rumah lain dari rumah Jenderal
A. H. Nasution.

Setelah menyadari terjadi kekeliruan, mereka segera menuju ke rumah Jenderal Nasution.
Karena setelah pintu diketuk tidak dibuka, maka kunci pintu ditembak sehingga terbuka.
Sebelum pintu terbuka, ibu Nasution sudah menyuruh suaminya meninggalkan rumah, lewat
lubang angin terjun ke pekarangan Kedutaan Besar Irak yang berdampingan dengan
rumahnya.
Meski pun kakinya terkilir sewaktu melompat ke tanah, ia masih dapat berjalan dan
menyelamatkan diri mencari perlindungan. Suara tembakan masih terdengar dan sebuah
peluru nyasar mengenai putrinya, Ade Irma, yang sedang digendong ibunya.
Kemudian Ade Irma meninggal akibat tembakan itu.

Menjelang Maghrib, Jenderal A. H. Nasution berhasil mencapai Markas KOSTRAD di jalan


Merdeka Timur dan bergabung dengan Pariglima KOSTRAD, Jenderal Soeharto, yang
sementara itu sudah mengambil langkah penumpasan terhadap Gerakan 30 September.

Adapun Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letkol Untung Samsuri, komandan
batalyon I Resimen Tjakrabirawa, setelah berhasil mengambil para Jenderal, kecuali Jenderal
A.H. Nasution yang lolos, maka Brigadir Jenderal Suparjo dengan ditemani oleh Letnan
Kolonel (U) Heroe Atmodjo (deputy direktur bagian operasi khusus AURI), keduanya
termasuk anggota Presidium G30SlPKI, pada tanggal 1 Oktober pagi itu pergi ke Istama
Merdeka, hendak melaporkan kepada Presiden/Panglima Tertinggi apa yang telah terjadi.
Ternyata Presiden tidak ada di Istana, dan keduanya pergi ke Halim, setelah mengetahui
Presiden ada di sana.
Menurut keterangan kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, pada
tanggal 30 September 1965 pukul 19.00, Presiden menghadiri resepsi penutupan Musyawarah
Nasional Kaum Teknisi Indonesia di ISTORA Senayan sampai pukul 21.00.
Saelan ma!am itu memegang tanggungjawab seluruh pengamanan Presiden, karena
komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur pergi ke Bandung dan tidak diketahui apa urusannya.
Yang ditugaskan oleh Saelan mengamankan sekitar ISTORA ialah batalyon I Resimen
Tjakrabirawa yang dipimpin langsung oleh komandannya, letkol Untung Samsuri. Saelan
mengatakan bahwa malam itu ia sempat memarahi Untung karena salah satu pintu ISTORA
yang seharusnya ditutup, tidak diperintahkannya supaya ditutup.
Saelan memastikan bahwa pada malam itu, ia selalu berada di dekat Bung Karno, sehingga
tidak ada gerakgerik Presiden yang lepas dari pengamatannya.
Menurut ajudan Presiden Sukarno, kolonel (KKO) Bambang S. Widjarnako yang
memberikan kesaksian didepan petugas pemeriksa, pada tanggal 30 September 1965 malam
pukul 22.00, Presiden menerima surat dari letkol Untung diserahkan oleh Sogol atau Nitri
(anggota Detasemen Kawal Pribadi) lewat kolonel Bambang yang langsung diserahkannya
kepada Bung Karno. Setelah menerima surat itu, Bung Karno berdiri dan pergi ke toilet yang
diiringi oleh Saelan, AKBP Mangil (Komandan Detasemen Kawal Pribadi) dan Bambang
Widjarnako. Diberanda muka, Bung Karno membaca surat itu, kemudian memasukan ke
dalam sakunya. 22)
22) Memori Jenderal Yoga, PT Bina Rena Pariwara, Jakarta 1990, hal. 173

Keterangan Bambang Widjarnako ini dibantah keras oleh kolonel Maulwi Saelan. Ia
memastikan, pada malam itu sama sekali tidak ada adegan seperti yang diceriterakan oleh
Bambang Widjarnako, karena Saelan sendiri sebagai penanggungjawab keamanan Presiden
malam itu, tidak pernah jauh dari Presiden selama berada di Senayan sampai kembali ke
Istana.

Kesaksian Bambang Widjanarko dianggapnya sangat aneh dan direkayasa.


Keterangan yang direkayasa ini mendapat imbalan, Bambang Widjarnako tidak ditahan dan
Saelan yang di depan pemeriksa membantah dengan tegas keterangan Bambang Widjarnako,
ditahan. Kolonel Maulwi Saelan menceritakan bahwa setelah selesai acara di Senayan,
Presiden kembali ke Istana Merdeka. Karena tak ada lagi sesuatu yang perlu mendapat
perhatian dan Presiden sendiri tidak memerintahkan supaya Saelan tetap berada di Istana,
maka pukul 24.00 ia pamit kembali ke rumahnya di jalan Birah II, Kebayoran Baru. Pukul
01.00 ia tidur.

Pukul 05.15 Subuh, ia dibangunkan oleh deringan telepon dari Komisaris Besar Polisi
Sumirat, salah seorang ajudan Presiden, yang me- nyampikan bahwa barusan diterima berita
dari Kornisaris Besar Polisi Anwas:

Tanumiharja dari KOMDAK Jaya, tentang terjadinya penembakan di rumah Wakil Perdana
Menteri II Dr. J. Leimena dan di rumah Jenderal A.H. Nasution, duaduanya di jalan Teuku
Umar.

Saelan menjawab, berita itu segera akan diceknya.


Lima belas menit kemudian, ia terima telepon lagi dari Sumirat yang memberitahukan bahwa
disekitar Istana kelihatan banyak tentara yang tidak diketahui kesatuannya, disamping
menyampaikan bahwa penembakan juga terjadi di rumah Brigadir Jenderal Panjaitan.
Menerima laporan yang bertubi-tubi ini, Saelan mengatakan kepada Sumirat bahwa ia segera
berangkat ke Istana. Sumirat minta supaya mampir di rumahnya, agar bersama-sama kesana.
Selagi Saelan bersiap-siap berangkat, tiba-tiba datang Kapten Suwarno, komandan Kompi I
Batalyon I Tjakrabirawa; yang saat itu kompinya sedang giliran tugas menjaga Istana. Kapten
Suwarno langsung menanyakan:
Presiden ada di mana?

Dilaporkan- nya bahwa di sekitar Istana, banyak kesatuan tentara yang tidak dikenalnya.
Saelan sendiri menjawab bahwa ia tidak tahu persis dimana Presiden bermalam, karena
semalam ketika ia meninggalkan Istana, Bung Karno ada di Istana.
Oleh karena itu ia perintahkan Kapten Suwarno supaya mengikutinya bersama-sama mencari
dimana Bung Karno berada.
Menurut Saelan, kebiasaan Bung Karno, kalau tidak berada di Istana pada malam hari, berarti
ia bermalam di rumah salah seorang isterinya, di Grogol atau di Slipi.
Atas dasar keterangan inilah, maka Saelan ber- sama Kapten Suwarno dan asisten-asistennya
menuju Grogol, ke rumah Haryati. Ternyata Bung Karno malam itu, tidak bermalam di situ.

Lalu rombongan ini akan pergi ke Slipi, ke rumah isteri Bung Karno, Ratnasari Dewi, tapi
baru sampai di jalan besar menuju Slipi (sekarang: jalan S. Parman), rombongan bertemu
dengan jeep Detasemen Kawal Pribadi yang dilengkapi dengan radio transmitter & receiver
„Lorenz“. Saelan segera menanyakan, di mana posisi Presiden sekarang?
Dijawab: Presiden beserta pengawal sedang menuju Istana dari Slipi.
Segera Kolonel Saelan mengadakan kontak dengan Mangil, Komandan Detasemen Kawal
Pribadi melalui pembicaraan radio „Lorenz“, yang menanyakan posisinya sekarang berada di
mana. Dijawab, sudah membelok ke jalan Budi Kemuliaan, tidak jauh lagi dari Istana.

Saelan memerintahkan supaya jangan masuk Istana, karena di sekitar Istana ada pasukan
tentara yang tidak dikenal, agar iring- iringan memutar di air mancur, kemudian dibavva ke
Grogol dulu, di mana Saelan mengatakan, ia tetap menunggu ditempat itu.
Pukul 07.00 Presiden sampai di Grogol dan Saelan langsung melaporkan semua berita yang
diterima dari Komisaris Besar Sumirat. Bung Karno lalu bertanya dalam bahasa Belanda:
„wat wil je met me doen?“ saya mau dikemanakan? Dijawab oleh Saelan:„Sementara kita
tunggu di sini saja dulu, Pak! Kami segera mencari keterangan ke luar, mengenai berita-berita
tersebut dan menanyakan tentang situasi“.

Pertanyaan Bung Karno: „wat wil je met me doen?“, menunjukkan bahwa Bung Karno sama
sekali belum tahu apa yang telah terjadi.

Kemudian Presiden berkata: „Kita tidak boleh lama berada di sini“ Jawab Saelan:
„Memang betul, kami segera akan mencari tempat lain yang lebih aman“.
Setelah merundingkan dengan AKBP Mangil dan letnan kolonel Suparto (seorang staf ajudan
Presiden), bagaimana sebaiknya menyelamatkan Presiden dalam situasi yang belum jelas ini,
maka diputuskanlah tempat penyelamatan sementara, di rumah seorang kenalan Mangil di
jalan Wijaya, Kebayoran Baru. Saelan langsung memerintahkan kepada Mangil supaya
segera mengirimkan beberapa anggota Detasemen Kawal Pribadi ke tempat tersebut,
mengadakan persiapan. Di samping itu kolonel Saelan memerintahkan juga kepada letnan
kolonel Suparto untuk mencari hubungan ke luar, dengan menghubungi PanglimaPanglima
Angkatan bersenjata.

Semua hubungan ini harus dikerjakan langsung, tidak bisa melalui telepon, karena hubungan
telepon dari Grogol putus.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Brigadir Jenderal Sunaryo dan Komisaris Besar Polisi
Sumirat (ajudan), datang juga ke Grogol, diantar oleh Inspektur polisi Djoko Suwarno.
Presiden Soeharto dalam Otobiografinya mengatakan bahwa pukul 06.00 pagi (1 Oktober
1965),- letkol Sadjiiman atas perintah Panglima Kodam V Jaya, Umar Wirahadikusumah,
melaporkan bahwa di sekitar MONAS dan Istana, banyak pasukan yang tidak dikenalnya.
„Saya percepat merapihkan pakaian yang sudah kenakan, loreng lengkap, tapi belum
mengenakan pistol, pet dan sepatu. Kepada letkol Sadjiman saya berkata bahwa saya sudah
mendengar tentang adanya penculikan terhadap Pak Nasution dan Jenderal A. Yani serta
PATI (Perwira Tinggi)

Angkatan Darat lainnya. Segera kembali saja dan laporkan kepada Pak Umar, saya akan
cepat datang ke KOSTRAD dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan
Darat. Dengan segala yang sudah siap pada diri saya, saya siap menghadapi keadaan“.
Demikian tulis Pak Harto. 23)

Ketika Pak Harto masuk Markas KOSTRAD, segera medapat laporan dari Piket bahwa orang
terpenting, Bung Karno, tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim Perdana Kusumah.
Disebutkan, Bung Karno menggunakan kendaraan kombi putih, berputar di Prapatan
Pacoran, di depan Markas Besar AURI. Piket menerima laporan telepon dari Intel yang
sedang bertuga“ 24)
23) Soeharto,Otobiografi, hal. 11&119.
24) Ibid, hal. 119

Jadi, Panglima KOSTRAD yang mengambil sendiri untuk sementara pimpinan Angkatan
Darat, sudah mengetahui apa yang terjadi sejak pukul 06.00 pagi, tapi tidak disebutkan bahwa
ia berusaha menghubungi Presiden.
Laporan yang disampaikan kepada Pak Harto mengenai perjalanan Presiden, berbeda dengan
keterangan Kolonel Siaelan yang mengikuti terus perjalanan itu sampai di Halim.
Pukul 08.30 Letkol Suparto datang melaporkan bahwa ia hanya mendapatkan kontak dengan
MEN/PANGAU Omar Dhanidi Pangkalan Halim Perdana Kusumah. Panglima yang lain
tidak berhasil ditemui. Karena dipertimbangkan bahwa di Halim terdapat pesawat
Kepresidenan „Jet Star“ yang selalu standby dan setiap saat siap membawa Presiden untuk
penyelamatan jika dianggap perlu, maka diputuskan sebaiknya Presiden dibawa ke Halim
saja. Hal ini sesuai dengan „Operating Standing Procedure“ (OSP) Resimen Tjakrabirawa
yang menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menyelamatkan Kepala Negara bila situasi
memerlukan, adalah dengan pesawat „Jet Star“ yang ada di Halim, disamping bisa juga
dengan kapal laut Kepresidenan „R.l. Varuna“ (Admiral Sloep) yang ada di Tanjung Priok
atau kalau darat dinaikkan pantser berlapis baja anti peluru.

Kemungkinan-kemungkinan itu dilaporkan oleh Saelan kepada Presiden dan Presiden


memutuskan: Pergi ke Halim saja. Saelan langsung memerintahkan kepada letkol Suparto
supaya mengadakan persiapan di Halim.

Pukul 09.00 Presiden meninggalkan Grogol menuju Halim dan sampai disana pukul 09.30, di
sambut oleh Omar Dhani dan Leo Wattimena yang langsung membawanya ke ruangan
Komando Operasi. Kurang lebih pukul 10.00, datang Brigadir Jenderal Suparjo yang tadinya
berusaha menemui Preside‘n di Istana Merdeka. Ia memberikan laporan kepada Presiden, tapi
Saelan tidak bisa mendengarkan dengan jelas pembicaraan antara Presiden dengan Brigjen
Supardjo. Yang kedengaran, hanya menyebut-nyebut „Dewan Jenderal“ dan terjadinya
korban ketika menangkap beberapa Jenderal.

Presiden kemudian memerintahkan kepada ajudan, Komisaris Besar Sumirat, untuk


memanggil MEN/PANGAK (Menteri Panglima Angkatan Kepolisian), MEN/PANGAL
(Menteri Penglima Angkatan Laut) dan Panglima KODAM V Jaya, Umar Wirahadikusumah.
Sekitar pukul 11.30 komandan Resimen Tjakbirawa brigadir Jenderal Sabur, baru muncul di
Halim dari Bandung. Ia minta laporan kepada kolonel Saelan, apa yang telah terjadi dan
disampaikan seperti apa yang diuraikan di atas.

Presiden juga memerintahkan memanggil Wakil Perdana Menteri II Dr J. Leimena beserta


Jaksa Agung Brigadir Jenderal Sutardio. Wakil Perdana Menteri I Dr.
Subandrio sedang tourney ke Sumatera, dan Wakil Perdana Menteri III Dr. Chaerul Saleh
selaku ketua MPRS belum kembali dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), memimpin
delegasi MPRS ke negara itu.
Apa yang dibicarakan oleh Presiden dengan semua pembesar yang dipanggil itu, tidak bisa
didengar oleh Saelan, karena ia tidak boleh berada di ruangan pertemuan.
Presiden kemudian beristirahat di rumah Komodor Udara Susanto (pilot Jet Star) dan kolonel
Saelan ikut ke rumah itu. Tidak lama kemudian, datanglah Wakl Perdana Menteri II Dr. J.
Leimena dan Jaksa Agung Sutardio, yang kemudian mengadakan pembicaraan dengan
Presiden. Apa yang dibicarakan, tidak bisa didengar oleh Saelan.

Pukul 12.00 siang, Saelan mendengarkan siaran RRI dari radio transistor yang dipinjamkan
oleh Komodor Udara Susanto, di mana diumumkan pengumuman letkol Untung selaku ketua
Gerakan 30 September, tentang pembentukan Dewan Revolusi dan pendemisioneran Kabinet.
Pengumuman lewat RRI ini segera dilaporkan oleh ajudan senior dan komandan Resimen
Tjakrabirawa Brigadir Jenderal Moh. Sabur kepada Presiden.

Tidak lama kemudian, Sabur memberitahukan kepada Saelan bahwa Presiden/Panglima


Tertinggi ABRI mengangkat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai Care-Taker
MEN/PANGAD (Menteri Panglima Angakatan Darat). Ajudan Presiden, Kolonel (KKO)
Bambang Widjarnako, saat itu juga diperintahkan oleh Presiden memanggil Pranoto
menghadap ke Halim. Tapi sampai pukul 17.00, Pranoto belum juga muncul, karena tidak
diizinkan oleh Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto yang telah mengambil alih
pimpinan Komando Angkatan Darat.

Berdasarkan laporan-laporan yang makin banyak masuk mengenai situasi, dan setelah yakin
bahwa justru Presiden berada di sarang Gerakan 30 September, maka diusulkan supaya
Presiden segera meninggalkan Halim menuju Istana Bogor.
Tapi Presiden ingin menunggu sampai kolonel - (KKO) Bambang Widjarnako yang
diperintahkan mernanggi Pranoto datang dan menyampaikan juga hasil pembicaraannya
dengan Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto, yang atas kehendaknya sendiri sudah
lebih dulu mengambil alih pimpinan Komando Angkatan Darat.

Setelah Bambang Widjarnako datang, ia melaporkan bahwa Mayor Jenderal Soeharto telah
memberikan ultimatum kepada pasukan-pusukan yang berada di sekitar Istana dan MONAS
untuk menyerahkan diri dan masuk KOSTRAD sebelum puku119.00.
Setelah menerima laporan itu, Presiden didesak supaya segera saja berangkat ke Istana
Bogor. Sebelum itu puteriputeri Presiden yang masih berada di Istana Merdeka, dijemput
dengan mobil dibawa ke Halim. Mereka tiba pukul 17.30 dan segera diterbangkan oleh
kolonel Udara Kardjono dengan helikopter ke Bogor.

Pukul 22.30, Presiden keluar dari Halim menuju Istana Bogor, tapi tidak lewat jalan raya
biasa Jakarta - Bogor, me!ainkan melalui jalan tikus, yaitu lewat sela-sela pohon karet. Mobil
Presiden Rl-1 dengan pengawalan seperti biasa keluar dari Halim melalui jalan raya,
sehingga umum mengira Bung Karno berada dalam mobil itu menuju ke salah satu tempat.
Yang mengetahui kalau Bung Karno dengan kendaraan lain mengambil jalan belakang pergi
ke Bogor, hanyalah para pengawal yang ditugaskan khusus untuk keperluan itu.
Sementara itu kolonel Saelan memerintahkan seorang anggota Detasemen Kawal Pribadi
melaporkan kepada Mayor Jenderal Soeharto bahwa Presiden sudah menuju Bogor.

Pukul 23.45 iring-iringan Presiden tiba di Istana Bogor dengan selamat.


Pukul 24.00 Kolonel Saelan menerima telepon dari Mayor Jenderal Soeharto yang
menanyakan perjalanan Presiden dan segera saja dilaporkan bahwa Presiden sekarang telah
berada di Istana Bogor dalam keadaan selamat. Sesudah itu kolonel Saelan menghubungi
Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, Panglima KODAM Vl/Siliwangi dengan telepon, melaporkan
bahwa Presiden sekarang berada di Istana Bogor, yang masuk wilayah kekuasaan KODAM
Vl/Sillwangi.

Sementara itu Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra yang diangkat oleh Presiden menjadi
Care-Tàker MEN/PANGAD, tidak berhasil memenuhi panggilan Presiden supaya datang ke
Halim, karena ada yang mencegah. Di kemudian hari ia mengeluarkan pernyataan tertulis dan
ditandatanganinya, sekitar peristiwa yang dialaminya, mau pun yang diketahuinya, mengenai
Gerakan 30 September 1965 yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965.
Urut-urutannya sebagai berikut:

1. Pada tanggal 1 Oktober 1965, kurang lebih pada pukul 06.00, pada saat Pranoto sedang
mandi, datanglah Brigadir Jenderal dr.Amino (Kepala Departemen Psychiatri Rumah Sakit
Gatot Soebroto) yang memberitahukan diculiknya Letnan Jenderal A. Yani beserta beberapa
Jenderal lainnya, oleh sepasukan bersenjata yang belum , dikenal, sedang nasib para Jenderal
itu belum diketahui. Sesudah mandi, Pranoto segera berangkat ke MBAD (Markas Besar
Angkatan Darat) dengan mengenakan pakaian dinas lapangan.

2. Setibanya di MBAD dan setelah menampung berita dari beberapa sumber, maka oleh
karena saat itu hanya dia dari antara perwira-perwira tinggi lainnya (yang ada di MBAD)
yang berpangkat senior, maka ia segera memprakarsai mengadakan rapat darurat dengan para
Asisten MEN/PANGAD atau wakilnya yang pada saat itu hadir di MBAD, yaitu para pejabat
teras Staf Umum Angkatan Darat, mulai dari Asisten I MEN/PANGAD sampai Asisten Vll
termasuk Irjen P.U. dan pejabat Sekretariat. Setelah menampung beberapa laporan dan
keterangan dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan:

Secara positif Letnan Jenderal A. Yani beserta 5 Jenderal lainnya, telah diculik oleh
sepasukan penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata. Oleh karena itu
rapat memutuskan menunjuk Mayor Jenderal Soeharto, Panglima KOSTRAD, agar bersedia
mengisi pimpinan Angkatan Darat yang vacuum. Melalui kurir khusus, keputusan rapat
disampaikan; kepada Mayor Jenderal Soeharto di MAKOSTRAD pagi Itu juga.
3. Kemudian Pranoto menerima laporan dari seorang perwira Menengah MBAD (namanya
lupa) yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI, 25) dirinya ditunjuk oleh Presiden/
PANGTI untuk menjabat sebagai Care-Taker MEN/PANGAD. Oleh karena hal itu baru
merupakann berita, maka Pranoto tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu
perintah lebih lanjut.
25) Menurut keterangan lain, bukan RRI yang menyiarkan berita itu, tapi Radio AURI

4. Sesudah Pranoto menerima berita tentang penunjukannya menjabat Care-Taker


MEN/PANGAD, maka berturur-turut datang utusan dari Presiden/PANGTI yang
memanggilnya supaya datang menghadap ke Halim, yaitu:
Pertama: Letnan Kolonel Infantri Ali Ebram, Kepala Seksi I Staf Resimen Tjakrabirawa.
Kedua: Brigadir Jenderal Sutardio, Jaksa Agung, bersama Brigadir Jenderal Soenarjo, Kepala
Reserse Pusat Kejaksaan Agung.
Ketiga: Kolonel (KKO) Bambang Widjarnako, Ajudan Presiden/ PANGTI.

Semuanya menyampaikan perintah Presiden/PANGTI supaya menghadap ke Halim.


Oleh karena Pranoto merasa sudah terlanjur masuk dalam hubungan Komando Taktis di
bawah Mayor Jenderal Soeharto, maka ia tidak bisa secara langsung menghadap Presidenl
PANGTI tanpa izin Mayor Jenderal Soeharto sebagai pengganti pimpinan Angkatan Darat
saat itu.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/PANGTI, Pranoto pun berusaha
mendapatkan izin dari Mayor Jenderal Soeharto. Akan tetapi Mayor Jenderal Soeharto
melarangnya menghadap, dengan alasan bahwa Mayor Jenderal Soeharto tidak berani
meriskir kemungkinan tambahnya korban Jenderal lagi, jika dalan keadaan sekalut itu pergi
menghadap Presiden/PANGTI Pranoto mentaati perintah itu dan tetap tinggal di MBAD.

5. Pada malam harinya sekira pukul 19.00 Pranotc dipanggil oleh Jenderal A.H. Nasution,
Kepala Staf Angkatan Bersenjata, supaya datang ke Markas KOSTRAD untuk menghadiri
rapat.
Selain Jenderal A. H. Nasution hadir juga Mayor Jenderal Soeharto, Mayor Jenderal Mursyid,
Mayor Jenderal Satari dan Brigadir Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima KODAM
V/Jaya.
Jenderal A.H. Nasution secara resmi menjelaskan bahwa mulai hari ini (1 Oktober 1965)
Mayor Jendera Pranoto Reksosamodra ditunjuk oleh Presiden/PANGT sebagai Care-Taker
MEN/PANGAD dan menanyakar bagaimana pendapat Pranoto secara pribadi.
Pranoto menjawab bahwa ia belum menerima pengangkatannya secara resmi, hitam di atas
putih. Oleh karena itu berpendapat, sebelum ada pengangkatan resmi yang tertulis entah
nantinya siapa di antara kita yang akar diangkat, lebih baik kita menaruh perhatian dalam
usaha menertibkan kembali keadaan darurat waktu itu, yang ditangani langsung oleh
Panglima KOSTRAD, Mayor Jenderal Soeharto, yang juga kita percayakan untul sementara
menggantikan Pimpinan Angkatan Darat.

Akan tetapi mengingat saat itu ada suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-
berita adanya usaha menentang keputusan Presiden/PANGTI tentang penunjukkan Pranoto
sebagai Care-Taker MEN/PANGAD, maka oleh Jenderal A.H. Nasution ia diminta agar pada
tanggal 2 Oktober 1965 pagi, mengadakan wawancara pers, yang direncanakan tempatnya di
Senayan. Pranoto bersedia.

6. Tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu Pranoto akan mengadakan wawancara pers,
tiba-tiba Mayor Jenderal Soeharto dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra mendapat
penggilan dari Presiden/PANGTI yang saat itu sudah meninggalkan Pangkalan Udara Halim
dan menempati Istana Bogor.
Oleh karena itu, wawancara pers terpaksa ditunda. Mayor Jenderal Soeharto bersama Mayor
Jenderal Pranoto Reksosamodra ditemani Brigadir Jenderal Soedirgo (Direktur Polisi Militer)
segera berangkat ke Bogor menghadap Presiden/PANGTI.
Di Istana Bogor diadakan rapat, di mana hadir juga wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena,
MEN/KASAL Martadinata, MEN/PANGAU Omar Dhani, MEN/PANGAK Soetjipto
Yudodihardjo, Mayor Jenderal Mursyid, Menteri M. Yusuf dan beberapa Menteri lagi.
Hasil rapat, Presiden/PANGTI memutuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung
dipegang oleh PANGTI, sedangkan Mayor Jenderal Soeharto diperintahkan untuk
menjalankan tugas operasi militer dan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra ditugaskan
sebagai Care-Taker MEN/PANGAD dalam urusan sehari-hari (dayly duty).

7. Tanggal 14 Oktober, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka Mayor Jenderal
Soeharto diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan membentuk susunan stafnya
yang baru.

Pranoto menjadi Perwira Tinggi yang diperbantukan pada KSAD.

8. Tanggal 16 Februari 1966, atas perintah KSAD Mayor Jenderal Soeharto, Pranoto ditahan
di Blok F Kabayoran Baru, dengan tuduhan terlibat dalam G30S/PKI Penahanan itu
berdasarkan Surat Perintah Penangkapan, Penahanan No. 37/2/1966, tanggal 16 Pebruari
1966.

9. Kemudian terjadi perubahan status penahanan dari Ketua Team Pemeriksa Pusat, dalam
Surat Perintahnya No. Print. 018/TP/3/1966, ia mendapatkan penahanar rumah mulai tanggal
7 Maret 1966.

10. Dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print.


212/TP/I/1969, Pranoto ditahan di INREHAB Nirbaya, tetap dalam tuduhan yang sama.
11. Dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM Panglima ABRI yang termuat dalam
keputusan No Kep./E/645/ll/1970 tertanggal 20 Nopember 1970 yang ditandatangani oleh
Jenderal M.Panggabean,
Pranoto mulai dikenakan schorsing dalam statusnya sebaga anggota Angkatan Darat yang
diikuti pada bulan Januar 1975, tidak lagi menerima gaji schorsing dan penerimaar lainnya.
Sedang Surat Pemberhentian atau pun Pemecatan secara resmi dari keanggotaan Angkatan
Darat, tidak pernah diterimanya.

Setelah mengalami semua perlakuan di atas, akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Panglima
Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) No. SKEP
/04/KOPKAM/I/1981, dalam pelaksanaannya oleh Kepala TEPERPU dengan Surat Perintah
No. SPRIN/481 /II/1981 /TEPERPU, Pranoto Reksosamodra dibebaskan dari tahanan
terhitung mulai tanggal 16 Pebruari 1981. Jadi masa penahanannya berlangsung selama 15
tahun, yaitu dari 16 Pebruari 1966 sampai 16 Pebruari 1981.

Selama dalam masa penahanan, Pranoto mengatakan tidak pernah mengalami pemeriksaan
melalui proses dan pembuatan Berita Acara yang resmi. Ia hanya mengalami interogasi
secara lisan yang dilakukan oleh Team Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun 1970 dan
sesudah itu tidak pernah diinterogasi lagi, sampai akhirnya dibebaskan.
Ketika saya menemui dia di rumahnya yang sangat sederhana di daerah Kramatjati, dengan
mantap ia mengatakan: „Ya, saya harus berani menelan pil yang sepahit ini dan harus pula
berani membaca kenyataan dalam hidup yang sudah menjadi suratan Takdir“.
la tidak direhabilitasi dan tidak juga menerima pensiun sampai wafatnya.

BAB V
BUNG KARNO MENOLAK MEMBERIKAN
DUKUNGAN
ADA PUN pimpinan Gerakan 30 September setelah mengetahui tidak ada dukungan
massanya sendiri seperti yang dijanjikan oleh Syam dalam rapat dengan kelompok „Perwira
Maju“ terhadap gerakan mereka, menjadi panik dan kocar-kacir.
Desas-desus bahwa PKI akan mengerahkan 1 juta massanya menguasai jalan- jalan di
Jakarta, setelah gerakan dimulai, sama sekali tidak terbukti. Massa PKI malah ketakutan
setelah melihat reaksi ABRI dan massa rakyat lainnya, yang sangat cepat mengutuk gerakan
tersebut dan mulai dengan pembakaran gedung-gedung PKI dan organisasi- organisasi yang
berafiliasi dengan PKI.
Usaha G30S untuk mendapat dukungan dari Presiden Sukarno lewat Brigadir Jenderal
Supardjo yang menghadap ke Halim, tidak berhasil. Presiden malah memerintahkan kepada
Supardjo supaya menghentikan semua operasi militer dan mencegah terjadinya pertempuran.
Ultimatum Panglima KOSTRAD kepada pasukan yang mengepung Istana dan yang berada di
sekitar Taman MONAS supaya menyerah sebelum pukul 19.00, ditaati.
Mereka segera masuk komplek KOSTRAD sebelum batas waktunya berakhir, kecuali
sebagian anggota batalyon 454/Diponegoro dengan membawa senjata berat, terlanjur menuju
Pangkalan Udara Halim, karena ada permintaan dari SENKO untuk membantu AURI
menahan kemungkinan serangan RPKAD. Tapi kemudian juga mereka mentaati perintah
PANGKOSTRAD supaya menyerah.
Pasukan-pasukan yang menyerah itu terdiri dari Batalyon 530/Brawijaya dan Batalyon
454/Diponegoro, Kedua Batalyon didatangkan ke Jakarta masing-masing berdasarkan
perintah dengan radiogram tanggal 19 September 1965 No.T.220/9 dan 21 September 1 965
No.T.239 oleh PANGKOSTRAD yang memerintahkarn pemberangkatan dengan seluruhnya
membawa, perlengkapan tempur garis I dan sudah harus berada di Jakarta pada tanggal 28
September 1965.
Setelah Untung mengumumkan lewat RRI tujuan gerakannya, serta mengumumkan pula
susunan Dewan Revolusi dan men- demisionerkan Kabinet Dwikora, tapi kemudian
mengetahui juga bahwa pengangkatan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai Care-
Taker MEN/PANGAD tidak bisa direalisasi, padahal dialah satusatunya harapan setelah
Bung Karno menolak mem-berikan dukungan kepada G30S/PKI, maka ia pun menghilang
dan tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang sudah berantakan dalam keadaan tanpa
pimpinan. Terpaksa mereka melakukan„longmarch“ ke Jawa Tengah di bawah pimpinan
letnan Dul Arip. Tapi Dul Arip sendiri dengan beberapa pengawalnya, memisahkan diri dari
pasukan, namun kabarnya disergap oleh ABRI di daerah Cilacap dan tewas dalam
penyergapan itu.
Ada pun anggota-anggota „Tjakrabirawa“ lainnya, berusaha melanjutkan perjalanan ke
Semarang untuk bergabung dengan teman-teman mereka di sana, tapi baru sampai di daerah
Brebes, sudah dihadang oleh pasukan yang setia kepada Pak Harto dan digiring kembali ke
Jakarta untuk dimasukkan tahanan di Rumah Tahanan Khusus Salemba.
Akhirnya Gerakan 30 September 1965 hanya bisa dinilai tidak lebih dari suatu avonturisme
militer yang menculik 6 Jenderal lalu membunuhnya. Sedang pendukung politik di
belakangnya, PKI, tidak lebih dari pelaku petualangan politik yang berakibat runtuhnya
struktur kenegaraan yang ada dan sekaligus kepemimpinan Bung Karno.
Letkol. Untung sendiri menurut laporan pers, berusaha menyelamatkan diri ke Jawa Tengah,
dengan berpakaian preman naik bus dari Jatinegara, untuk bergabung dengan teman-
temannya di sana. G30S Jawa Tengah, terutama Yogyakarta dan Solo, masih sempat
berkuasa beberapa hari, bahkan di Yogyakarta berhasil menculik kolonel Katamso,
komandan KOREM di sana dan membunuhnya.
Tapi sial, dalam perjalanan dengan bus itu, ia melihat dalam bus ada beberapa anggota tentara
yang menurut perasaannya, selalu memperhatikan dia dan dikiranya hendak menangkapnya.
Maka sebelum terjadi apa-apa, ia pun meloncat dari bus yang sedang melaju ke jurusan
Tegal, dan sekali lagi sial menimpanya, ia menghantam tiang telepon sehingga kesakitan.
Rakyat yang melihat kejadian ini, mengira ada copet meloncat dari bus, oleh karena itu
mereka -ramai-ramai hendak mengeroyok- nya. Terpaksalah Untung berterus terang bahwa ia
bukan pencopet melainkan Letnan Kolonel Untung dari „Tjakrabirawa“. Rakyat curiga, lalu
menyerahkannya kepada petugas keamanan untuk mengurusnya lebih lanjut. Ia segera
diserahkan kepada CPM setempat dan setelah mengusut seperlunya, langsung membawanya
ke Jakarta dengan panser yang akhirnya dimasukkan blok isolasi di Rumah Tahanan Khusus
Salemba (Blok N), dalam keadaan tangannya diborgol dan kakinya dirantai.
Presiden Soeharto dalam Otobiografinya mengatakan bahwa Gerakan 30 September 1965
yang dipimpin oleh Letkol. Untung Samsuri, bukan sekedar gerakan yang menghadapi
Angkatan Darat dengan alasan untuk menyelamatkan Presiden Sukarno, tapi mempunyai
tujuan yang lebih jauh, yaitu ingin menguasai Negara secara paksa atau kup.
Pasukan RPKAD segera disiapkan untuk menguasai kembali RRI yang digunakan oleh G30S
menyiarkan pengumumannya dan Pusat Telkom (Kantor Telepon) yang juga mereka kuasai.
Pukul 15.00 sore 1 Oktober 1965, di ruangan KOSTRAD dibuatkan rekaman pidato Pak
Harto untuk siaran di RRI, jika pemancar itu sudah dikuasai kembali. Rekaman menggunakan
tape recorder besar. Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, Kepala Pusat Penerangan Angkatan
Darat dan Brigadir Jenderal Sucipto, SH., dari KOTI menyaksikannya.
Menjelang senja, kira-kira pukul setengah enam, muncullah Jenderal A.H. Nasution di
KOSTRAD, setelah ia lolos dari penculikan pasukan G30S. Ia dalam keadaan pincang dan
memakai tongkat.
Sejurus lewat Magrib, satuan RPKAD berangkat menyerang RRI dan Telkom, masing-
masing dipimpin kapten Heru dan kapten Urip. Kolonel Sarwo Edhie, Komandan RPKAD
menunggu di halaman KOSTRAD. Setengah jam kemudian diterima laporan kalau kedua
sasaran itu sudah dikuasai kembali sepenuhnya tanpa perlawanan dan tak sebutir peluru pun
dilepaskan. Anak buah Untung telah melarikan diri. (Menurut keterangan lain, mereka
sebelumnya memang sudah menarik pasukannya dari RRI).

Lalu Brigjen Ibnu Subroto dengan beberapa pengawal menuju RRI membawa rekaman
pidato Pak Harto. Sebelum berangkat, Ibnu Subroto mengucapkan „Bismillah“ dengan agak
keras. Maka pukul 19.0 tepat (malam), siaran pidato Pak Harto dikumandangkan lewat RRI.
Bunyinya sebagai berikut:
„Para pendengar sekalian di seluruh tanahair, dari Sabang sampai Merauke.

Sebagaimana telah diumumkan, maka pada tanggal 1 Oktober 1965 yang baru lalu, telah
terjadi di Jakarta suatu peristiwa yang dilakukan oleh suatu gerakan kontra revolusioner, yang
menamakan dirinya „Gerakan 30 September“. Pada tanggal 1 Oktober 1965, mereka telah
menculik beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat, ialah :

1. Letnan Jenderal A. Yani,


2. Mayor Jenderal Soeprapto,
3. Mayor Jenderal S Parman,
4. Mayor Jenderal Haryono M.T.,
5. Brigadir Jenderal D.l. Panjaitan,
6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo.

Mereka telah dapat memaksa dan menggunakan studio RRI Jakarta untuk keperluan
penteroran mereka. Dalam pada itu perlu kami umumkan kepada seluruh rakyat Indonesia,
baik di dalam mau pun di luar negeri bahwa P.Y.M. Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata R.l./Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan Yang Mulia MENKO
HANKAM/KASAB, dalam keadaan aman dan sehat wal‘afiat.

Para pendengar sekalian.


Kini situasi telah dapat kita kuasai, baik di pusat mau pun di daerah- daerah. Dan seluruh
slagorde Angkatan Darat ada dalam keadaan kompak bersatu.

Untuk sementara pimpinan Angkatan Darat kandii pegang.


Antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian Rl, telah terdapat saling
pengertian, bekerjasama dan kebulatan tekad penuh, untuk menumpas perbuatan kontra
revolusioner yang dilakukan oleh apa yang menamakan dirinya „Gerakan 30 September“.

Para pendengar sebangsa dan setanahair yang budiman, Apa yang menamakan dirinya
„Gerakan 30 September“ telah membentuk apa yang mereka sebut „ Dewan Revolusi
Indonesia“. Mereka telah mengambil alih kekuasaan Negara atau lazimnya disebut coup dari
tangan Paduka Yang Mulia Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi
Bung Karno dan melemparkan Kabinet Dwikora ke kedudukan demisioner, di samping
mereka telah menculik beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat.
Para pendengar sekalian,
Dengan demikian jelaslah bahwa tindakan-tindakan mereka itu kontra revolusioner yang
harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Kami yakin, dengan bantuan penuh dari massa
rakyat yang progresif- revolusioner, gerakan kontra revolusioner 30 September, pasti dapat
kita hancurleburkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
pasti tetap jaya dibawah pimpinan PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar
Revolusi kita yang tercinta Bung Karno.
Diharap masyarakat tetap tenang dan tetap waspada, siap siaga serta terus memanjatkan do´a
ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, semoga PYM Presiden/ Panglima Tertinggi
ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno terus ada dalam lindunganNya.
Kita pasti menang karena kita tetap berjuang atas dasar Pancasila dan diridoi Tuhan Yang
Maha Esa. 26)
26) Ibid,hal. 127-128.

Demikian Pak Harto yang mengemukakan juga dalam Otobiografinya bahwa tengah malam 1
Oktober 1965, ia perintahkan RPKAD dengan kekuatan 5 kompi kurang lebih 600 personil,
bergerak menuju Halim Perdanakusumah lewat Klender, dan menguasai lapangan terbang itu
dengan sedikit pertempuran.
Dari RPKAD seorang yang gugur dan AURI 2 orang.

Sebetulnya secara rasional tidak terdapat kondisi yang memaksa PKI melakukan coup d‘etat,
karena partai ini sendiri sudah duduk dalam Pemerintahan, mulai dari Kabinet sampai ke
tingkat daerah. Malahan M.H. Lukman,
seorang wakil ketua PKI, dalam sebuah bukunya menulis bahwa PKI secara politik sudah
berdominasi. Mudah
dipahami mengapa Bung Karno mengatakan bahwa PKI dengan tingkahnya ini, benar-benar
keblinger. Bahkan berbagai pengamat luar negeri yang tidak bisa memahami mengapa PKI
bersikap sebodoh itu, menganggap
bahwa bukan mustahil pimpinan partai ini kesusupan agen-agen provocateurs yang berhasil
menciptakan sesuatu yang „ready made“ dan bekerja dengan kecerdikan yang prima Prof. Dr.
W.F. Wertheim dalam interviunya dengan mingguan Belanda „De Nieuwe Linie“ 8 April
1976 mencatat beberapa kecurigaan termasuk kecurigaannya terhadap peran Letkol Untung
dan Brigjen Supardjo, dua tokoh penting dalam peristiwa coup d‘etat tersebut.

PKI duduk dalam Kabinet dengan 4 Menterinya, yaitu Aidit, Lukman, Nyoto dan Ir. Setiadi.
Kalau memang akan ada usaha coup d‘etat dari „Dewan Jenderal“ seperti yang dituduhkan
oleh G30S/PKI, dapat dipastikan bahwa kewibawaan Bung Karno dan kekuasaan Pemerintah,
di tambah dengan bantuan massa PKI yang militan dan massa PNI yang setia kepada Bung
Karno, akan mampu mengatasinya. Apalagi sudah dapat dipastikan bahwa dalam usaha coup
seperti yang terjadi pada 17 Oktober 1952, pihak ABRI tidak akan kompak. Pengalaman
sepanjang sejarah kemerdekaan kita, mulai dari peristiwa 3 Juli 1946 (Persatuan Perjuangan)
sampai peristiwa PRRI/PERMESTA, siapa saja yang mendahului mengadakan gerakan
semacam itu, pasti dapat di tumpas.

Sebelum G30S, memang PKI sudah memperlihatkan sikap-sikap yang ekstra agresip, namun
sikap politiknya secara umum tetap menunjukkan komitmen yang kuat mendukung
Pemerintah dan politik Bung Karno sebagai pemimpin bangsa.
Sejak 1954 PKI memperlihatkan sikap yang positip dengan menurunkan semua gerombolan
bersenjatanya yang selama ini beroperasi dari gunung-gunung dan hutanhutan, seperti MMC
(Merapa Merbabu Complex) di Jawa Tengah, BSA (Barisan Sakit Ati) dan Pasukan Siluman
di Jawa Barat dan di beberapa daerah lainnya lagi di luar Jawa. Dengan demikian, PKI
sebetulnya sudah menempuh langkah untuk melucuti dirinya sendiri.
Penurunan gerombolan bersenjata ini, didahului dengan satu per-nyataan dari D.N. Aidit
bahwa tidak mungkin mengkombinasikan perjuangan bersenjeta di satu pihak dengan
perjuangan legal- parlementer di pihak lain. PKI sudah menentukan sikap, hanya menempuh
perjuangan secara legal-parlementer.

Juga Aidit sudah minta kepada SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang
berafiliasi dengan PKI, supaya sedapat mungkin mencegah terjadinya pemogokan kaum
buruh, senjata yang biasanya digunakan oleh PKI sebagai alat politik untuk menekan
Pemerinah.

Dengan demikian, PKI telah diarahkan menempuh perjuangan legal-parlementer seperti


partai-partai komunis di India dan Eropa Barat.

Ini semua adalah keberhasilan taktik yang diterapkan oleh Bung Karno dalam upayanya
menjinakkan PKI untuk menggalang persatuan dan menciptakan stabilitas nasional, meski
pun cara yang ditempuh oleh Bung Karno itu tidak bisa diterima oleh pihak lain yang a priori
anti komunis. Tapi PKI terus berkembang.

Ada pun cepat berkembangnya PKI tidak semata-mata seperti apa yang dikemukakan oleh
Jenderal Yoga Sugomo dalam memorinya, yaitu karena militansi pendukungnya dan tidak
sempatnya dituntaskan peberontakkan PKI di Madiun, karena 3 bulan kemudian (19
Desember 1948), kita sudah harus meng- hadapi agresi militer Belanda ll, sehingga situasi
kacau itu di- manfaatkan oleh PKI dengan cepat sekali melakukan konsolidasi. 27) Secara
objektif perlu dicatat, Amerika dan sekutu Baratnya, juga turut memhesarkan PKI, karena
sikap mereka yang memihak Belanda dalam sengketa Irian Barat dengan Indonesia. Amerika
dan negara-negara Barat menolak menjual senjata kepada Indonesia untuk membebaskan
Irian Barat, menyebabkan Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpaling
kepada Uni Sovyet yang komunis.
27) Memori Jenderal Yoga, hal. 74.

Kompensasinya, sangat masuk akal bahwa Bung Karno menolak tuntutan Konperensi
Palembang 4 September 1957 yang diseleng-garakan oleh Dewan Gajah dari Sumatera Utara,
Dewan Banteng dari Sumatera Barat, Dewan Lambung Mangkurat dari Kalimantan Selatan,
PERMESTA dari Sulawesi, Front Pemuda Sunda dari Jawa Barat serta beberapa Panglima,
yang menghendaki supaya PKI dilarang dengan undang-undang. 28)
28) H. Ahmad Muhsin, Perang Tipu Daya antara Bung Kamo denga, tokoh-tokoh komunis.
Golden Troyan Press, Jakarta 1969, hal. 28.
Mana mungkin negara-negara sosialis yang dipimpin oleh Uni Sovyet mau memberikan
bantuan senjata, jika PKI dilarang.
Tapi dalam Pelengkap Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Sukarno di muka sidang
MPRS 10 Januari 1967, dikatakan bahwa salah satu sebab terjadinya G30S, ialah karena
keblingeran pemimpin- pemimpin PKI. Presiden tidak merinci bentuk keblingeran PKI itu,
tapi kemudian jelas dari beberapa hasil penelitian bahwa sebenarnya D.N. Aidit terperangkap
dalam strategi „Biro Ketentaraan“ yang dibentuk oleh Politbiro PKI yang dipimpinnya
sendiri, tapi sehari-hari oleh Kamaruzzaman alias Syam, tokoh yang berperan double agent
29) yang mempunyai jaringan luas.
Mingguan „TEMPO“ yang terbit di Jakarta misalnya, mengutip studi yang dilakukan oleh
pakar Indonesia di Cornell University, seperti Benedict R. Anderson dan Ruth McVey yang
dikenal dengan nama Cornell Paper (1966) mengatakan bahwa Gerakan 30 September itu,
tadinya adalah persoalan dalam tubuh Angkatan Darat, tapi pada saat- saat terakhir ada upaya
memancing supaya PKI ikut terseret. Berbagai tulisan lain yang dikutip, misalnya dari Prof.
Dr. W.F. Wertheim yang berjudul „Soeharto and Untung Coup - The Missing Link“ (1970)
dan Prof. Dale Scott dari California University (1984), menunjuk peran CIA dalam gerakan
ini. Sebaliknya Dr. Anthonie C.A. Dake dalam bukunya In The Spirit of The Red Banteng,
justru; menuduh Bung Karno sebagai dalang Gerakan 3Q September, berdasarkan pengakuan
dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) KOPKAMTIB terhadap ajudan Presiden Sukarno,
kolonel (KKO) Bambang S. Widjarnako. Juga John Hughes dalam bukunya The End of
Sukarno (1967) menyimpulkan demikian.30)

Yang mengejutkan, justru ada seorang pengacara di. Jakarta Sunardi, SH., tanggal 10
desember 1981 mengirimkan surat kepada 500 alamat pejabat tinggi termasuk Presiden
Soeharto, menuduh Presiden Soeharto terlibat G30S/PKI, satu tuduhan yang dinilai tidak
logis, karena Pak Hartolah orang pertama yang bertindak dalam kedudukannya sebagai
Panglima KOSTRAD mengambil alih untuk sementara pimpinan Angkatan Darat, menumpas
Gerakan 30 September. Oleh karena itu tuduhan Sunardi, SH. dinyatakan oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Barat yang mengadilinya dalam sidang 7 Oktober 1982, sebagai penghinaan
terhadap Presiden dan ia dituntut hukuman 4 tahun 6 bulan penjara potong masa tahanan. 31)
29) Harian „Sinar Harapan“ Jakarta, 13Maret 1967. Menuut Prof Dr. Wertheim, istilah ini
hanya digunakan sekali dan sesudah itu tidak pemah lagi diulangi.
30) Mingguan „Tempo“ Jakarta, 8 Oktober 1980.
31) Harian „Pos Kota“ Jakarta, 8 Oktober 1982.

Dalam pembelaannya, Sunardi mengatakan bahwa coup d‘etat Gerakan 30 September 1965
yang dikatakan gagal, justru berhasil dengan baik sesuai dengan rencana yang lebih dulu
telah diatur dan diperhitungkan dengan cermat, yaitu menjatuhkan kekuasaan Presiden
Sukarno sebagai pemegang Pemerintahan yang sah.
Menurut Sunardi yang mengutip pembelaan Kolonel A. Latief, Komandan Brigade Infantri I
KODAM V Jaya, 2 hari sebelum kejadian, ia sudah datang kepada Pak Harto melaporkan
akan adanya gerakan. Tapi laporan itu dianggap tidak serius. Tanggal 30 September 1965
sekitar pukul 10 malam kolonel A. Latief datang lagi menemui Pak Harto di Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat„Gatot Subroto“ yang sedang menunggui putranya, Tommy yang
dirawat disana karena tersiram sup panas dan melaporkan tentang akan dicetuskannya
gerakan pada malam itu juga. Karena Pak Harto diam saja, Latief menganggap sebagai
menyetujuinya.

Tapi keterangan Latief ini dibantah oleh Pak Harto dalam Otobiografinya dan mengatakan
bahwa kedatangan Latief ke Rumah Sakit „Gatot Subroto“, ialah untuk mencek apakah Pak
Harto benar berada di sana malam itu.
Kolonel Latief saja yang sangat naif menarik kesimpulan bahwa Pak Harto tidak akan
mengadakan kontra aksi atas gerakan yang hendak dilakukannya.

Dikemudian hari masih muncul lagi orang lain yang menuduh Pak Harto seperti apa yang
dituduhkan oleh Sunardi, SH., yaitu dari Drs. Wimanjaya K. Liotohe, pada awal September
1993 di umumkannya di Amsterdam ketika ia berkunjung ke Nederland.

Menanggapi tuduhan ini, direktur BAKIN, Letnan Jenderal TNI Sudibyo, dalam dengar
pendapat dengan Komisi I DPR 7 Pebruari 1994 mengatakan:

„Hanya orang gila yang menuduh Pak Harto yang mendalangi G30S/PKl.“
Sebuah pertanyaan muncul: „Mengapa PKI begitu dungu menentukan jalan perjuangannya
dengan menempuh jalur coup d‘etat yang berakibat kehancurannya?
PKI tidak mampu menilai dengan tepat kondisi masyarakat Indonesia“.
Sambil mengintrospeksi diri dengan pernyataan „Kritik; dan Otokritik“ yang disusun segera
setelah kekalahan PKI, tokoh-tokoh bekas PKI yang masih hidup, dan bisa saya temui,
mengatakan bahwa gerakan mereka kesusupan unsur provokasi, sebagai akibat masih
lemahnya organisasi. PKI sebenarnya hanya terbuai oleh puas diri dengan anggapan sudah
berdominasi secara politik. Padahal anggapan itu tidak mengandung kebenaran, karena
kualitas dan status masyarakat Indonesia, tidak pernah berubah sesuai dengan keinginan PKI.
Syaratsyarat yang dapat mendukung berdominasinya PKI di bidang politik, ternyata tidak
konkrit.

BAB Vl

CAMPUR TANGAN CIA DAN KGB

SEORANG Peneliti tentang Indonesia, Gabriel Kolko, mengungkapkan dalam


laporannya dengan mengutip dokumen-dokumen State Department (Kementerian
Luar Negeri A.S.) dan CIA (Central Intelligence Agency) mengenai debat tentang
peran Amerika Serikat dalam kasus Gerakan 30 September 1965 di Indonesia,
mengemukakan keterlibatan A.S. yang isinya sangat mengejutkan dan berbeda
sekali dengan apa yang kita ketahui melalui sumber resmi. Dokumen yang
digunakannya antara lain mengutip arsip dari perpustakaan mantan Presiden A.S.,
Lindon B. Johnson yang sudah diumumkan Tuduhan letnan kolonel Untung tentang
keterlibatan CIA di Indonesia, dibenarkan oleh dokumendokumen yang terungkap di
A.S.

Ke-tidak-senangan Amerika terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia yang


dipimpinnya, sudah muncul ketika kunjungannya yang pertama ke negara Uncle Sam
pada bulan Mei 1956 Waktu itu Bung Karno menjelaskan kepada Menteri Luar Negeri
A.S., John Foster Dulles, dasar politik Indonesia "Kami tidak mempunyai hasrat
untuk meniru Uni Sovyet, juga tidak mau mengikuti dengan membabi buta jalan yang
direntangkan oleh Amerika untuk kami. Kami tidak akan menjadi satelit dari salah
satu blok, kata Bung Karno kepada Menlu Dulles.

Tapi politik seperti ini mudah sekali disalah-artikan oleh Amerika. Amerika hanya
menyukai apabila kita memilih pihak seperti yang dikehendakinya. Kalau tidak
sependirian dengan dia, secara otomatis dianggapnya tergolong dalam blok Uni
Sovyet.

Jawaban yang tajam datang dari John Foster Dulles: "Politik Amerika Serikat bersifat
global. Suatu negara harus memilih salah satu pihak. Aliran yang netral adalah
immoral (tidak bermoral)," katanya.

Ini dialog antara Bung Karno dengan Dulles :

Kemudian Bung Karno menyampaikan isi hatinya kepada Presiden Eisenhower yang
mengaku kesenangannya nonton film koboi, yang dilakukannya tiap malam.

Lebih dulu Bung Karno mengatakan bahwa ia menonton film hanya 3 kali seminggu
dan yang disukainya ialah film-film yang menceriterakan pengalaman sejarah dan
biografi.
Di antara adegan-adegan dalam film Amerika, menunjukkan bahwa A.S. tidak dapat
memahami masalah Asia. Benua Asia sekarang sedang "dimabuk" kemerdekaan.
Seluruh benua itu merasakan kemerdekaan dengan kegembiraan yang amat sangat.
Jadi, tolonglah sampaikan kepada rakyat Amerika agar memahami, bahwa jikalau
suatu bangsa selama hidupnya menderita kepahitan hidup; kutukan, laknatan dan
penindasan terhadap hasrat untuk merdeka, maka ia tidak akan melepaskan
kemerdekaan itu lagi, apabila sekali telah berhasil merebutnya.

"Sebagai sahabat yang bijaksana dan lebih tua, jika Amerika memberi kami nasehat,
itu bisa! Akan tetapi mencampuri persoalan kami, jangan! Kami telah menyaksikan
kapitalisme dan demokrasi Barat pada orang Belanda. Kami tidak mernpunyai
keinginan untuk memakai sistim itu. Kami akan menumbuhkan suatu cara baru yang
hanya cocok dengan kepribadian kami. Ia bukanlah barang yang bisa diekspor ke
luar, akan tetapi sebaliknya juga kami tidak bisa menerima bararig impor berupa
ajaran yang mengikat". 32) Demikian Bung Karno.

32) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 409-410

Lama sebelum itu kekhawatiran Amerika terhadap kepemimpinan Sukarno di


Indonesia, sudah nampak. Mulamula Amerika terkejut, begitu cepat persetujuan KMB
yang arsiteknya Amerika, dibatalkan begitu saja oleh Indonesia secara sepihak.

Peter Dale Scott mengatakan, nampaknya sudah sejak 1953, Amerika


berkepentingan untuk membantu mencetuskan krisis regional di Indonesia, yang
telah diakui sebagai penyebab langsung yang merangsang Sukarno untuk pada
tanggal 14 Maret 1957 meniadakan sistem Parlementer di Indonesia dan menyatakan
berlakunya keadaan darurat militer, serta memasukkan korps perwira secara legal ke
dalam kehidupan politik.

Pada tahun 1953, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sudah mengatakan kepada
Duta Besar Amerika di Jakarta, Hugh S. Cumming Jr, supayà dia jangan berbicara
tidak bisa menarik kembali politik keterikatan Amerika memelihara persatuan
Indonesia. Dipeliharanya persatuan sesuatu bangsa bisa menimbulkan bahaya,
sebagai contohnya: Cina. 33)

Program aksi politik khusus yang mendukung pemberontakan regional, secara resmi
telah disetujui di Washington pada bulan Nopember 1957. Tapi perwiraperwira dan
agen-agen CIA sudah melakukan kegiatan di kalangan kaum pembangkang, jauh
sebelum itu. 34)

Keputusan NSC (National Scurity Counsil) 171/1 20 Nopember 1953, sudah


mempertimbangkan latihan-latihan militer sebagai suatu cara meningkatkan pengaruh
Amerika Serikat, walau pun usaha-usaha utama CIA ditujukan kepada partai-partai
politik moderat sayap kanan, khususnya MASYUMI dan PSI (Partai Sosialis
Indonesia). Jutaan dollar yang telah dituangkan oleh CIA kepada kedua partai itu
dalam pertengahan 1950, merupakan faktor yang berpengaruh atas peristiwa 1965, di
mana seorang bekas kader PSI, Syam (Kamaruzzaman) didalihkan sebagai otaknya
G30S/PKI. 35)

Slanjutnya Peter Dale Scott mengatakan bahwa di tahun 1957-1958, CIA telah
menginfiltrasikan senjata-senjata dan personil dalarn mendukung pemberontakan
regional PRRI/PERMESTA melawan Sukarno. Sebuah pesawat terbang militer A.S.
(B25) ditembak jatuh oleh APRI di Ambon dan pilotnya seorang penerbang Amerika,
Allan Pope, ditangkap. Usaha-usaha CIA ini didukung oleh sebuah task force lepas
pantai dari Armada ke-VII (AL A.S.)

33) Peter Dale Scott mengutip Mosley (1978) hal. 437.

34) Memorandum 7 April 1961 dari Direktur CIA, Allen W. Dulles, Hal.
1: Indonesia 22 (Oktober 1976) hal. 168.

35) Peter Dale Scott mengutip studi CIA hal. 107 dan Wertheim (1979)
hal. 203.

Dalam tahun 1957, suatu Komisi Khusus Senat yang mempelajari kegiatan CIA, telah
menemukan apa yang dinamakanya "beberapa bukti tentang keterlibatan CIA dalam
rencana hendak membunuh Presiden Sukarno". Tapi setelah melakukan suatu
pemeriksaan awal atas usaha pembunuhan itu, komisi memilih sikap untuk
menghentikan pemeriksaanya. 36)

Sebenarnya Bung Karno mengetahui semua rencana ini meski pun tidak terperinci
dari laporan-laporan Intelligen dan membacanya dari surat-surat kabar Amerika yang
sering membocorkan rahasia, misalnya majalah "US World and News Report" sering
disebut oleh Bung Karno sebagai salah satu sumber informasinya.

Memang Bung Karno sering mendapat pertanyaan, apakah sikapnya anti Amerika?
Bung Karno menjawab: "Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat
Amerika, akan tetapi sia-sia". 37)

36) Dokumen-dokumen yang di-deklasifikasi, 1982, 002386, seperti


yang dikutip oleh Peter Dale Scott

37) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 430.

Puncak penghinaan Amerika terhadap Bung Karno terjadi pada tahun 1960, ketika ia
diundang mengunjungi Washington oleh Presiden Dwight Eisenhower. Pertama sudah
terasa, ketika Bung Karno mendarat di lapangan terbang Washington, Presiden
Eisenhower tidak datang menyambutnya seperti yang menjadi kelaziman protokol
kenegaraan yang berlakù waktu itu. Dengan kejadian ini, Bung Karno belum berkata
apa-apa. Kemudian ia menuju Gedung Putih dan mengira bahwa Eisenhower akan
menyambutnya di pintu Gedung Putih. Tapi ternyata tidak juga. Terhadap periakuan
ini pun Bung Karno masih sabar, karena mungkin Eisenhower terlalu sibuk dan tidak
bisa meninggalkan tempatnya.

Tapi ketika Eisenhower membiarkan Bung Karno menunggu di luar, di ruang tunggu,
Bung Karno merasa, ini sudah keterlaluan. Setelah menunggu hampir satu jam,
dengan tajam ia menyampaikan kepada protokol: "Apakah saya harus menunggu
lebih lama lagi? Kalau harus begitu, saya akan berangkat sekarang juga". Orang itu
pucat mukanya dan berkata: "Saya mohon dengan sangat kiranya tuan dapat
menunggu barang satu menit", dan dengan gugup ia berlari ke dalam. Kemudian
keluarlah Eisenhower, dia tidak minta maaf.
Bung Karno menceritakan kemudian bahwa hanya Presiden Kennedy pada tahun
1961 yang berjanji akan datang ke Indonesia di musim semi 1964. "Aku begitu
gembira", kata Bung Karno, "sehingga aku membentuk satu team arsitek dan
insinyur untuk membangun Gedung Tamu Agung, siap menyambut kedatangannya,
terletak dalam lingkungan pekarangan Istana".

Tapi, kata Bung Karno, secara umum memang Amerika memperhatikan


negara-negara Asia yang terbelakang, karena dua alasan. Pertama, negara-negara itu
merupakan pasar yang baik untuk melemparkan barang- barang hasil industrinya.
Kedua, Amerika takut negara-negara itu menjadi komunis. Oleh karena itu, ia
mencoba membeli kesetiaan negara-negara tersebut kepadanya, dengan
membagi-bagikan pinjaman disertai peringatan bahwa pinjaman tidak akan diteruskan
lagi, kecuali si penerima pinjaman tetap "berkelakuan baik".

Menanggapi sikap Amerika yang demikian itu, Bung Karno mengutip ucapan Manuel
Quezon dari Filipina yang mengatakan: "Lebih baik pergi ke neraka tanpa
Amerika, dari pada pergi ke sorga bersama dia".

Anthonie A.C. Dake yang anti Sukarno, mengatakan bahwa pertemuan 4 mata antara
Sukarno dengan Perdana Menteri RRT, Chou Enlay, bulan Nopember 1964, setelah
RRT meledakkan bom atomnya yang pertama, Indonesia dijanjikan akan mendapat
Atom Device dalam tahun 1965. Kunjungan Menteri Luar Negeri Chen Yi ke Indonesia
sesudah pertemuan Nopember antara Sukarno dan Chou Enlay (di Shanghai, dalam
perjalanan dari Korea Utara), juga membicarakan soal ini. Brigjen Hartono, Kepala
Logistik Angkatan Darat, dikutip oleh Dake, mengatakan bahwa semuanya
tergantung dari Sukarno, karena Indonesia sudah mempunyai ahli- ahli untuk
membuat atom. 33)

Bahkan dikatakannya dengan mengutip sumber kantor berita "Antara" bahwa 200 ahli
Indonesia bekerja untuk memproduksi bom atom dan akan terjadi surprise pada 5
Oktober 1965 (Hari Angkatan Perang).

38) Dake mengatakan mengutip dari "Indonesian Observer" 23


Desember 1964.

Dikatakannya sebuah delegasi di bawah pimpinan Wu Heng, wakil ketua Komisi


Atom RRT, tiba di Jakarta berunding dengan Prof. Soedjono Djuned Pusponegoro
sebagai Menteri Riset Nasional. 39)

Menurut pendapat saya, cerita tentang bom atom dari RRT ini, bertentangan dengan
kenyataan lain, di mana saya waktu itu sebagai Duta Besar Indonesia di Moskow,
ditugaskan menandatangani atas nama Pemerintah Rl, Perjanjian Sedunia tentang
Non Proliferation Nuclear (tidak mengembang-biakkan senjata nuklir).

Jadi tuduhan Dake bahwa Indonesia akan mengadakan percobaan bom atom di pulau
Mentawai, 40) tidak benar, meski pun katanya persetujuan itu telah ikut
ditandatangani oleh Prof. Soedjono.

39) In the Spirit of the Red Benteng, hal. 335.


40) Ibid, hal. 328.
Ini semua tujuannya untuk dijadikan dalih supaya Amerika Serikat segera bertindak
terhadap Sukarno, karena rencana-rencananya dianggap sudah terlalu berbahaya.

Rencana penyelenggaraan Konperensi Asia Afrika kedua di Aljazair, bulan Juni 1965,
juga dikacau oleh CIA, dimana bertepatan dengan saat-saat persiapan akhir, tibatiba
terjadi ledakan di gedung konperensi.

Guy Pauker, yang dipercaya sebagai tokoh CIA, adalah orang Amerika yang di setiap
peristiwa internasional penting selalu muncul, tepat waktu itu berada di Aljir dan
memerlukan mengunjungi Ny Supeni, Duta Besar Keliling Rl yang waktu itu sudah
berada di Aljir untuk ambil bagian dalam konperensi sebagai anggota delegasi Rl.
Pauker mengatakan, keberadaannya di Aljir untuk memantau KAA-II secara
langsung, karena peristiwa ini penting bagi Amerika.41)

41) Supeni Wanita Utusan Negara, hal. 220.

Setelah terjadi ledakan bom di gedung konperensi, Menteri Luar Negeri RRT, Chen
Yi, yang memimpin delegasi negaranya dan sudah lebih awal tiba di Aljir, langsung
mengusulkan supaya konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke
Aljazair bukan untuk dibunuh. Usul ini disetujui oleh Aljazair dan negara- negara
peserta lainnya, yang kemudian disetujui pula oleh 3 kepala Negara/Pemerintahan
yang sedang menunggu di Kairo, yaitu Presiden Sukarno, Perdana Menteri Chou
Enlay dan Presiden Gamal Abdel Nasser.

Kalau KAA-II jadi dilangsungkan, Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio, sudah
siap dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, bahwa
Indonesia mempunyai bukti adanya satu plot Amerika-lnggeris akan mengadakan
serangan militer terhadap Indonesia. Karena konperensi tidak jadi diadakan, oleh
Subandrio hanya diberikan interview kepada wartawan harian terbesar di Kairo,
Al-Ahram (dipimpin Heykal), mengenai rencana Amerika- lnggeris tersebut. Semenjak
itu ketegangan makin terasa mencekam.

Presiden Sukarno dalam pidatonya di depan rapat Panglima TNI Angkatan Darat
seluruh Indonesia bertempat di Markas Besar GANEFO Senayan 28 Mei 1965, sudah
memperingatkan kemungkinan yang bakal terjadi.

la menunjuk kepada makin meningkatnya kegiatan Nekolim (Neo


kolonialisme/imperialisme) untuk memukul revolusi Indonesia, sambil
memperingatkan bahwa dalam negeri pun sudah ada kaki- tangan yang mereka
tanam. Beberapa bagian pidato itu kutipannya sebagai berikut:

Kaum imperialis sejak mereka bisa mengadakan peacefull coexistence dengan


Moskow, mereka mempunyai anggapan bahwa yang menjadi musuh bukan lagi
Moskow, melainkan kita: Indonesian Revolution, Sesudah the Indonesian Revolution
naik aktivitas dan gengsinya, bahkan sesudah revolusi Indonesia benar-benar
universal, suaranya mendapat resonansi di bangsa- bangsa lain.

Sesudah mereka melihat bahwa Indonesia adalah salah satu pokok dalam kesatuan
Asia-Afrika, sesudah mereka melihat bahwa di dalam Dasa Warsa AA. (18 april 1965)
Indonesia tidak tenggelam kedudukannya di dunia AA, malahan naik, malahan
Indonesia oleh beberapa negara AA dianggap sebagai mercu suarnya, sesudah
Indonesia menganjurkan agar supaya Konperensi AA-II di Aljazair lekas diadakan,
sesudah Indonesia mengambil inisiatif untuk mengadakan CONEFO (Conference of
the New Emerging Forces) dan ternyata inisiatif Indonesia ini mendapat sambutan
yang hebat dari negara-negara AsiaAfrika, Amerika Latin dan negara-negara komunis,
sesudah itu maka pihak imperialis boleh dikatakan terbuka matanya dan
mengatakan: Here in Indonesia lies the danger. Revolusi Indonesia ini harus
di-contain.

Dulu mereka mencoba menghancurkan revolusi komunis di Rusia, karena Sovyetlah


yang pertama memberontak terhadap sistim kapitalisme dan sistim kolonial. Pada
waktu itu segala usaha diadakan oleh mereka untuk menghancurkan Sovyet Uni.

Ini in geuren en kleuren (panjang lebar) diceritakan oleh Leon Trotzky dalam bukunya
"Mein Leben". Bagaimana Trotzky sendiri memimpin ketahanan terhadap gempuran
dari lima jurusan. Trotzky sebagai Panglima Besar tentara Sovyet mondar-mandir ke
lima front itu dalam Markas Besarnya di gerbong Kereta Api.

Sejak usaha itu gagal untuk menghancur-lemburkan Sovyet Uni, mulailah mereka
mengadakan international campaign terhadap komunis. Maka tiap usaha dari bangsa
apa pun yang anti imperialis, dicap komunis.

Bahkan Petrus Bloemberger dalam bukunya "De Communistische Beweging In


Nederlandsch Indie", Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ir. Sukarno juga dikatakan: Ze
Zijn communisten - mereka komunis. Dan sampai sekarang masih saja "the
communist danger in Indonesia "

Baca bukunya Arnold Brackman, wartawan Amerika dulu tinggal di Jakarta dan kawin
dengan noni Jakarta, bukunya tebal, "Communism in Indonesia", kita semua
dikatakannya komunis, di samping PKI.

Sebutan komunis itu bagi kita sudah oude koek (basi). Kita sebenarnya sekedar
mempertahankan tanahair kita, mempertahankan kemerdekaan kita dan
mempertahankan revolusi kita. Oleh karena revolusi kita anti imperialisme, ; mereka
sebut komunis. Dijual oleh mereka omongan bahwa Indonesia yang paling berbahaya,
oleh karena Indonesia is going communist. Padahal tidak. Indonesia hanya ingin
mempertahankan kemerdekaannya, hanya ingin menggabungkan semua tenaga anti
imperialis di 3 dunia menjadi satu barisan yang berhasrat menentang imperialisme.

Karena revolusi kita dianggap sebagai yang paling berbahaya, enemy number one -
musuh nomor satu, -. maka segala usaha mereka sebenarnya ditumpahkan kepada
menghancurkan kita, revolusi kita. Itulah yang penting harus kita pahami. We are in
the centre -kita berada di pusat aktivitas mereka untuk menghancurkan. Kita yang
akan dihancurkan, dengan macam-macam jalan.

Panglima Angkatan Darat sudah disclose (menyingkap) bahwa ada plan yang nyata
bisa dibuktikan zwart op wit dari mereka untok menghantam kita. Ada plan yang
nyata en jullie moet het weten (kalian harus tahu). Bukah sekedar plan yang nyata
ada untuk mengadakan propaganda per radio dan surat kabar anti kita, tidak! Dan
Jenderal Yani pun sudah berkata: Kita tidak gentar! Kalau; mereka serang kita,
sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang karena Singapura adalah
pokok, mile stone di dalam life line of imperialism.
Sebetulnya selain plan-plan itu, kita mengetahui juga macam-macam plan dari
mereka untuk menghancurkan revolusi Indonesia, Salah satu plan itu untuk
membunuh beberapa pemimpin Indonesia: Sukarno, Yani dan Subandrio. Itu yang
pertama-tama harus dibunuh, malah kalau bisa, sebelum Konperensi AA - II di
Alzajair (April 1965).

Kalau tidak bisa, sesudah Konperensi di Aljazair, diadakan limited attack on


Indonesia-gempuran terbatas terhadap Indonesia. Dan pada waktu itu sedang ada
limited attack, maka seperti disebutkan dalam mereka punya plan, kawan-kawan
mereka (di dalam negeri) akan bertindak membantu menggulingkan Sukarno, Yani
dan Subandrio.

Kalau ini gagal juga, mereka akan berikhtiar lain untuk menggulingkan Sukarno, Yani
dan Subandrio, yaitu membuka segala rahasia mereka terutama yang mengenai
personal life (rahasia hidup pribadi), sehingga rakyat akan bertindak memberontak
terhadap Sukarno, Yani dan Subandrio.

Kita mengetahui: "They are preparing an attack of Indonesia. They are going to try to
kill Sukarno, Yani and Subandrio. They are going to make a limited attack on
Indonesia. They have the* friends here" - mereka mempersiapkan serangan terhadap
Indonesia. Mereka mencoba hendak membunuh Sukarno, Yani dan Subandrio.
Mereka akan melakukan serangan terbatas terhadap Indonesia. Dan mereka
mempunyai teman-teman di sini "

Demikian kutipan sebagian dari isi pidato Bung Karno yang rekamannya setelah
ditranskrip terdiri dari 14 halaman folio tik-tikan (2 spasi).

Apa yang diuraikan oleh Bung Karno, ada kemiripannya dengan dokumen-dokumen
State Department dan CIA yang diumumkan di Amerika dan dikutip oleh berbagai
peneliti sejarah seperti Prof. Peter Dale Scott dan Gabriel Kolko yang sudah dicatat
di atas.

Dengan memperhatikan pidato Bung Karno di depan rapat Panglima Angkatan Darat
seluruh Indonesia 28 Mei 1965, dipérkuat oleh dokumen-dokumen State Department
dan CIA yang diumumkan di Amerika serta proses di pengadilan yang mengadili
tokoh-tokoh G30S/PKI, membantu kita memahami konstatasi Bung Karno tentang
terjadinya G30S/PKI dalam pidato "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikan kepada
MPRS pada 10 Januari 1967 yang mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikannya
yang seksama, peristiwa G30S/PKI itu ditimbulkan oleh pertemuannya 3 sebab:

1. Kebelingernya pemimpin-pemimpin PKI.

2. Kelihaian subversi Nekolim.

3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar.

Namun jauh sebelum Bung Karno mengucapkan pidatonya itu, Wakil Perdana
Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio yang juga Kepala Badan Pusat Inteligen
(BPI) dan karenanya tentu lebih banyak mengetahui detail situasi dari laporan-laporan
Intel, pada tanggai 3 Januari 1965 dalam resepsi peringatan harian "Duta Masyarakat"
sudah menyatakan bahwa tahun 1965, memang merupakan tahun gawat. Gawat
bukan saja karena kaum Nekolim terus menambah gencarnya sorangan dan
rongrongan terhadap revolusi Indonesia tapi juga berbagai macam hal lainnya,
sebagai akibat keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, karena PBB menjadikan
"Malaysia" anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang ditentang keras oleh
Indonesia.

Tahun 1965 juga gawat karena kita dalam tahun ini akan berusaha memperbaiki
perekonomian kita, sedangkan kaum Nekolim sudah. pasti tidak senang terhadap
perbaikan ekonomi Indonesia itu dan akan terus menghalang-halanginya.

Dikatakannya juga bahwa tahun 1965 adalah tahun kristalisasi dari


kekuatan-kekuatan dalam revolusi Indonesia. "Jangan terkejut apabila saya katakan
bahwa mungkin dalam tahun 1965 ini kawan-kawan seperjuangan kita terpaksa ada
yang rontok dan kita tinggalkan, karena tidak lagi dapat mengikuti jalannya revolusi.
Untuk meninggalkan kawan-kawan yang tadinya merupakan kawan-kawan
seperjuangan itu, memang hati kita menangis, tapi hal itu terpaksa kita lakukan, demi
keselamatan revolusi kita", kata Subandrio.

Mengenai usaha Pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi dikatakannya


selain usaha kaum Nekolim merongrong, juga dari kalangan bangsa kita sendiri ada
tanda-tanda ke arah itu. Pada saat ini tidak saja ada multimilyuner, tapi sudah
terdengar pula adanya rnulti-milyarder yang hanya menggunakan ludah, lidah dan
dengkul sebagai modalnya.

Dr Subandrio di kemudian hari divonis hukuman mati oleh MAHMILLUB, tapi


kemudian dirubah menjadi hukuman seumur hidup.

Juga Menteri Penerangan Achmadi dalam sambutannya mengatakan bahwa bagi


revolusi Indonesia, tahun 1965 adalah tahun to be or not to be, sebab Indonesia
berhadapan dengan kaum Nekolim yang merongrong kita. Rongrongan itu tidak saja
dari luar, tapi sudah di dalam tubuh kita sendiri, sebab sadar atau tidak, di tengah-
tengah kita ada saudara-saudara yang ikut serta membantu rongrongan kaum
Nekolim itu.42)

42) "Berita Indonesia", Jakarta, 5 Januari 1965.

Juga Achmadi divonis 10 tahun penjara.

Kecurigaan Bung Karno atas keterlibatan CIA di Indonesia, memuncak pada bulan
Juni 1965, setelah menerima pemberitahuan dari Washington bahwa Marshall Green
diangkat menjadi Duta Besar AS yang baru untu k Indonesia, menggantikan Howard
Jones yang sudah 7 tahun bertugas.

Pers Indonesia diinstruksikannya melalui ketua umum PWI Pusat, A. Karim DP,
supaya menggerakkan public opinion untuk menolak kehadiran Marshall Green. Bung
Karno mengatakan, sudah mempelajari riwayat hidup ; Marshall Green yang berperan
dalam penggulingan Perdana Menteri Mohammed Mossadegh dari Iran yang
menasionalisasi perusahaan minyak Abadan pada tahun 1956 Juga ia yang berperan
dalam penggulingan Presiden Syngman Rhee di Korea Selatan pada tahun 1960.
Tapi instruksi Bung Karno ini ditentang oleh Subandrio dan berusaha membujuk Bung
Karno supaya melunakkan sikapnya dan jangan menolak Marshall Green, karena ia
khawatir akibatnya yang tidak bisa terduga, misalnya Armada ke-VII AS tiba-tiba
menampakkan diri di Teluk Jakarta.

Akhirnya Bung Karno mengalah, tapi sikapnya tetap tidak sreg dengan kehadiran
Marshall Green di Indonesia. Howard Jones juga ikut mendesak Bung Karno supaya
tidak menolak Marshall Green.

Gabriel Kolko mengungkapkan adanya sebuah laporan dari Duta Besar Howard Jones
di Jakarta kepada Gedung Putih yang diterima tanggal 3 Juni 1964 pukul 09.20 waktu
Washington,43) menjelaskan adanya pembicaraan antara Duta Besar Jones dengan
Jendral A.H. Nasution selama 1 jam 10 menit. Jones mula-mula mengatakan bahwa
ia datang membawa semangat yang bersahabat dengan Indonesia, tapi katanya, ia
melihat badai sedang nampak di cakrawala dan oleh karenanya baik diperhatikan
peribahasa lama: Secercah persiapan pencegahan lebih baik dari mengharapkan
sekali penyembuhan.

43) Gabriel Kolko: Dokumen-dokumen State Department dan CIA


mengenai debat tentang peranan Amerika Serikat di lndonesia 1965,
13 Agustus 1990 - mengutip dari copy Lyndon B. Johnson Library.

Nasution mendengarkan dengan sabar selama setengah jam uraian Jones tentang
situasi ekonomi Indonesia yang sangat kritis. Situasi akan menjadi lebih serius
kalaupembicaraan Bangkok (mengenai sengketa Rl dengan Malaysia), gagal.
Keadaan yang demikian- akan berkembang menguntungkan PKI dengan me- ngambil
langkah-langkah yang bisa berakibat putusnya hubungan Indonesia dengan "Dunia
Bebas", tèrutama Amerika.

Jones mengingatkan kepada Nasution bahwa bantuan kepada Indonesia akan


terpaksa dihentikan dan kewajiban- kewajiban Amerika terhadap Pakta ANZUS
{Australia, New Zealand dan Amerika Serikat) akan diberlakukan, kalau Australia dan
Selandia Baru terlibat di dalamnya.

Nasution menjawab bahwa ia membenarkan analisis itu karena ia juga menilai


keadaan dalam dan luar negeri sangat gawat. Ia ingatkan bahwa beberapa bulan lalu
ia telah menyatakan pandangannya yang sangat pesimistis tentang masalah
Malaysia dan kemungkinan bahwa pembicaraan di Manila dan Tokyo tidak bisa
menyelesaikan masalahnya. Ia mengakui dengan jujur bahwa konfrontasi dengan
Malaysia, menyakitkan.

Jones mengatakan bahwa ia sampai kepada satu kesimpulan: "Karena tidak ada
penyelesaian politik (mengenai Malaysia), militer Indonesia bertekad melanjutkan
konfrontasi, tapi dengan hati-hati akan mencegah eskalasi menjadi sengketa besar.
Bagaimana pun akan diusahakan lewat penyelesaian politik. Nasution setidaknya
sadar akan bahaya komunis dan karenanya mementingkan pembinaan ke dalam,
agar militer Indonesia sudah siap kalau tantangan datang. Tentara Indonesia
dipercaya, masih anti kominis. Meski pun demikian, ia menghindari dengan keras
tentang kemungkinan tentara ambil alih kekuasaan, sekali pun masalah ini sudah
menjadi issue".
Jones menganggap pembicaraan ini konstruktif dan tidak pernah sekali pun Nasution
menyatakan permintaan bantuan, kalau krisis datang.

"Saya rencanakan", kata Jones, "untuk menghubungi lain-lain Jenderal dan yang
pertama dengan Jenderal Yani"

Jones melaporkan bahwa, Nasution menyatakan kepada saya, kata laporan Jones,
"secara rahasia Angkatan Darat sedang mengembangkan suatu rencana
istimewa untuk mengambil alih kekuasasn, yaitu pada saat Sukarno turun".

Catatan lain dari H. W. Brands (The Journal of American History) mengatakan, 2


minggu kemudian Jones bertemu lagi dengan Nasution yang meyakinkan kepadanya
bahwa militer Indonesia tetap pro Amerika dan anti PKI.

Jones melaporkan juga bahwa dalam satu pertemuan seorang stafnya dengan
Jenderal Parman, ia telah mendiskusikan suatu rencana dengannya. Dikatakan,
sekali pun sudah ada rencana sehubungan dengan era post Sukarno, sentimen kuat
memang tumbuh di antara golongan penting pimpinan puncak tentara, untuk ambil
alih kekuasaan sebelum Sukarno meninggal. Kapan hal ini terjadi, tergantung dari
perkembangan beberapa minggu mendatang. Tekanan-tekanan yang saling
bertentangan tumbuh dengan cepat dan menurut pendapat Parman, Angkatan Darat
mungkin akan mengambil tindakan dalam waktu 30 sampai 60 hari, untuk
menghalangi kegiatan PKI.

Kaum komunis sedang membangun kekuatan para militer dan mulai mempersenjatai
kekuatan itu. Inte I tentara telah mengetahui lokasinya dan merencanakan sesuatu
untuk menjalankan isolasi segera terhadap pusat kekuatan itu, kalau detik-detik
bertindak sudah tiba.

Tapi dikatakan, tidak ada sentimen di antara kepemimpinan militer untuk bergerak
terhadap Sukarno. Kalau tentara bergerak, mungkin melakukan fait a acompli, coup
akan dilakukan sedemikian rupa untuk mempertahankan kepemimpinan Sukarno.
Mereka yang mengeritik kepemimpinan Sukarno sekali pun,- berpendapat bahwa
tidak ada kemungkinan akan berhasilnya sesuatu coup terhadap Sukarno. Ia masih
dicintai oleh rakyat.

Demikian laporan Jones yang disampaikan ke Gedung Putih di Washington pada


tanggal 3 Juni 1964.

Jones menyatakan kesannya: "Dalam pembicaraan itu Nasution menyadari, bahwa ia


tidak perlu terkejut, oleh pandangan yang saya kemukakan kepadanya".

Menurut buku "Indonesia Crisis and Transformation 1965- 1868" yang ditulis oleh
Marshall Green sesudah ia bertugas sebagai Duta Besar AS di Jakarta,44) rasa anti
Amerika yang dikobarkan oleh Sukarno mencapai puncaknya pada bulan Mei 1965.
Sebelumnya, pada awal tahun 1965, Rl menyatakan keluar dari keanggotaan PBB.
Selain itu Indonesia juga makin dekat dengan RRT, Korea Utara dan Vietnam Utara.
Di luar negeri Sukarno juga sedang hebat hebatnya meng- galang persatuan
negaranegara berkembang Asia dan Afrika guna menentang kaum imperialis.
44) Ringkasan dan resensi buku itu dimuat dalam harian "Suara
Pembaruan" Jakarta berturut-turut tanggal 15, 16, 17 dan 18 Juni 1991
yang ditulis oleh wartawannya di Amerika Albert Kuhon. Kemudian
terjemahan buku itu dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh "Grafiti".
Jakarta, 1992.

Di dalam negeri, Sukarno menolak bantuan Amerika yang disalurkan lewat program
USAID (United State Aid), serta mengisyaratkan kemungkinan pengambil-alihan
perusahaan Amerika Serikat seperti Calltex, Stanvac, Good Year dan Union Carbide.
Pada saat-saat seperti itulah Marshall Green ditawari jabatan Duta Besar di
Indonesia, menggantikan Howard Jones yang pensiun. Waktu itu ia menjabat Deputy
Asisten Menteri luar negeri AS untuk Wilayah Timur Jauh, mendampingi sahabatnya
sejak kecil, William Bundy, yang menjabat Asisten Menteri Luar Negeri untuk wilayah
Tirnur Jauh. .

Waktu itu Presiden Amerika Serikat dijabat oleh Lyndon Johnson. Dalam banyak hal
langkah Duta Besar Howard Jones dinilai terlalu membela Sukarno. Bahkan
hubungan Jones dengan Sukarno dianggap terlalu dekat, sehingga menutupi
buruknya hubungan antara Rl dengan Pemerintah AS. Jones pula yang membujuk
Sukarno agar bersedia menerima Marshall Green sebagai Duta Besar AS untuk
Indonesia. Walau pun ketika itu Sukarno tegas- tegas mengatakan kepada pers
bahwa Green yang dicalonkan menggantikan Jones, bukan NEFOS (New Emerging
Forces), bahkan disebutnya Green adalah tokoh yang amat dekat dengan CIA.

Setelah ada isyarat bisa diterima oleh Jakarta, maka Marshall Green diambil
sumpahnya di Gedung Putih sebagai Duta Besar, pada tanggal 11 Juni 1965.

Marshall Green dan Lisa, istrinya, serta putera bungsu mereka Grampton (14),
berangkat ke Jakarta 13 Juli 1965. Mereka terbang melalui Honolulu dan Hongkong.

Wakil Dubes AS di Jakarta, Frank Gilbraith, ketika itu mengirim kabar ke


Washington, agar keberangkatan Green ditunda. Situasi agak keruh karena di Jakarta
sedang berlangsung demonstrasi besar- besaran menentang kehadiran Marshall
Green. Kabar itu diterima oleh Green di perjalanan. Akibatnya, Green rnenunggu
sekitar seminggu di Hongkong, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Mereka beruntung karena pesawatnya tertunda lagi di Singapura selama 2 jam.


Pesawat tersebut baru tiba di Jakarta larut malam dan para demonstran yang
menunggunya sudah menghilang. Bandar Udara ketika itu dijaga ketat, rombongan
Marshall Green dikawal sampai kediaman Duta Besar AS di daerah Menteng.
Poster-poster, menentang kehadiran Green masih tampak di berbagai tempat dalam
perjalanan dari Bandar Udara Kemayoran ke tempat kediamannya di Jakarta Pusat
kediamannya di Jakarta Pusat.

Sebagai layaknya pendatang baru, Green mengunjungi 3 Menteri untuk berkenalan,


yaitu Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, Menteri Koordinator
Pertahanan/Keamanan Jenderal A.H. Nasution dan Menteri Negara Adam Malik.

Green menilai Subandrio sebagai pelaksana politik yang cerdik dan merasa
berpeluang besar menggantikan Presiden Sukarno. Jenderal Nasution dicatatnya
sebagai pejuang yang menentang komunisme. Sedang Adam Malik merupakan
politisi dan diplomat pendukung Sukarno, namun melihat betapa PKI
menyelewengkan semua keputusan dan pendapat Sukarno.

Marshall Green menuturkan betapa Duta Besar Jepang di Jakarta, Shizo Saito
mempunyai jalur khusus ke Istana Merdeka, berkat bantuan Dewi, istri (wanita
Jepang) ketiga Sukarno, Saito sempat membantu Green pada awal penugasannya
sebagai Duta Besar AS di Indonesia.

Tulis Green: Setidaknya ada beberapa kesan yang menggores sangat dalam ke
hatinya. Pertama, waktu ia membacakan dan menyerahkan Surat Kepercayaan dari
Presiden AS kepada Presiden Sukarno dalam upacara resmi di Istana Merdeka 26
Juli 1965, lima hari setelah rombongannya tiba di Jakarta. Sukarno dalam pidato
sambutannya menyerang kebijaksanaan politik luar negeri Pemerintah

AS, sehingga ia merasa amat tersinggung. Sebenarnya ia ingin meninggalkan begitu


saja upacara itu, tapi tak berani melakukannya, karena takut dikenai persona non
grata.

Green secara diplomatis membalas dengan menggoda Ny. Supeni, seorang pejabat
tinggi Departemen Luar Negeri Rl yang hadir dalam upacara itu. Dubes Green
mengatakan betapa Ny. Supeni yang mengenakan kebaya hijau itu (green) memiliki
daya tarik yang sangat hebat, sehingga ia tak sempat menangkap kalimat-kalimat
terakhir yang diucapkan oleh Sukarno. Maksudnya, bagian yang menyerang
kebijaksanaan luar negeri AS. Godaan itu diucapkan dengan suara yang sangat
keras, sehingga tertangkap oleh mikrofon dan terdengar oleh seluruh hadirin. Tentu
saja suasana jadi tegang.

Tindakan Green ini ternyata berbuntut. Beberapa jam kemudian, ribuan demonstran
berkumpul di dekat kediaman Duta Besar Green. Wakil demonstran yang diterima
oleh Green mengemukakan banyak hal mengenai imperialise Amerika Serikat, CIA
dan berbagai hal lainnya yang mengecam Amerika Serikat.

Kesan kedua yang diterima oleh Green dari Sukarno adalah betapa seringnya ia
dikata-katai sebagai orang yang menolak sebutan sebagai Marshall of Air Force
(Marsekal Udara). Karenanya Sukarno di hadapan orang banyak beberapa kali
menyebut Green sebagai Marshall of CIA (Marsekal Intelligen AS).

Bulan September 1965, hubungan Rl dengan beberapa negara tertentu memburuk,


terutama dengan AS. Green segera mengirim telegram kepada Menteri Luar Negeri
Dean Rusk di Washington meminta, supaya menyampaikan ultimatum kepada
Indonesia. Isi ultimatum dirancang oleh Green sendiri. Bunyinya: Segala bentuk
pengrusakan terhadap harta diplomatik dan konsuler AS, akan mengakibatkan
ditutupnya Konsulat Jenderal Rl di New York serta tempat-tempat lainnya di Amerika
Serikat. Green sengaja menekankan penutupan Konsulat Jenderal Rl di New York,
karena ia tahu, Menlu Subandrio dan sebagian besar anggota Kabinet Indonesia
ketika itu, mengharapkan peran khusus Konjen Rl di New York dalam bidang
keuangan. Ultimatum yang diharapkan, didapat dari Washington dalam waktu kurang
dari 24 jam. Green menyampaikannya kepada Dr. Subandrio tanggal 13 September
1965.
Ternyata Subandrio tidak marah menerima ultimatum itu. Bahkan menanyakan
hal-hal apa yang bisa dibantu oleh Pemerintah Indonesia.

Sejak itu tidak pernah ada lagi demonstrasi terhadap Kedutaan AS sampai akhir
1965.

Menyinggung peristiwa G30S/PKI, analisis pertama dari Kedutaan Besar AS di


Jakarta mengatakan, gerakan itu dilakukan oleh PKI karena khawatir mengenai
kesehatan Sukarno yang memburuk. Karenanya, PKI buru-buru bertindak menghabisi
lawan-lawannya di lingkungan Angkatan Darat, selama Sukarno masih bisa
melindungi PKI. Jika Sukarno harus turun dari kepemimpinan negara, PKI berasumsi
bahwa Angkatan Darat tak punya lagi kesempatan untuk menyaingi komunis.

Analisis kedua dari pihak Kedutaan Besar, adalah kecurigaan mereka terhadap peran
Sukarno dalam coup d'état. Green menyatakan, kecurigaan itu antara lain disebabkan
oleh munculnya Sukarno di Halim Perdanakusumah, di mana berada para perencana
coup d'état. Green menambahkan, keterlibatan Sukarno dalam pembunuhan para
perwira tinggi AD, dimungkinkan karena merekalah yang sejauh ini menghalangi
Sukarno mencapai tujuan NASAKOM.

Analisis ke tiga, menurut Green, yang lebih dicurigai lagi adalah pihak Cina Komunis.
Pihak Cina tahu daftar nama para Jenderal yang terbunuh pada pukul 11 siang 1
Oktober 1965, satu jam sebelum daftar itu diumumkan di Jakarta. Dalam daftar yang
diperoleh Cina, terdapat nama Jenderal A.H. Nasution sebagai yang terbunuh,
sehingga muncul dugaan daftar Jenderal yang akan dijadikan sasaran, sebenarnya
sudah ada di tangan pihak Cina sebelum G30S/PKI meletus.

Dua hari setelah Marshall Green kembali dari Washington berkonsultasi dengan
Presiden Lyndon Johnson, wakil Presiden Hubert Humprey serta Menlu Dean Rusk,
tepatnya 7 Maret 1966, Presiden Sukarno berpidato di muka umum yang menyatakan
Marshall Green akan di usir dari Indonesia. Tanggal 8 Maret 1966, kedutaan Besar
AS di jalan Merdeka Selatan diserbu demonstran yang pro Sukarno.

Dikatakan oleh Green, International Governmental Group on Indonesia (IGGI)


merupakan realisasi dari rencana Deputy Asisten Menteri Luar Negeri AS, Robert
Barnett pada awal tahun 1966.

Dalam resepsi memperkenalkan bukunya "Indonesia Crisis and Transformation


1965-1968" di Gedung Asia Society Washington awal Juni 1991, Marshall Green
mengatakan bahwa tujuannya menulis buku itu, terang-terangan ia sebutkan untuk
membantah tuduhan sebagian pihak mengenai keterlibatan AS dalam pembantaian
kaum komunis di Indonesia. "Amerika sama sekali tidak ikut campur dalam soal itu.
Indonesia menyelesaikan kemelutnya dengan kemampuannya sendiri", kata Green.

Marshall Green menunjukkan ketersinggungannya karena dituduh sebagai pihak yang


bekerja untuk CIA. Tapi sebaliknya dalam kata sambutan di bagian awal buku karya
Green itu, seorang rekan sejak kecilnya yang kemudian menjadi atasan Green,
Asisten Menlu AS, William P. Bundy, mengakui bahwa Green pernah bekerja di
lingkungan CIA.
Wartawan "Suara Pembaruan " menutup resensinya sehubungan dengan apa yang
dituliskan dalam buku itu, Green sama sekali tidak menyebut nama George Benson.
Disekitar meletusnya G30S/PKI tahun 1965, Benson adalah seorang atase di
lingkungan Kedutaan Besar AS yang mempunyai hubungan khusus dengan beberapa
tokoh militer Indonesia. Green cuma mengatakan, salah seorang atasenya yang
bernama Willis Ethel, mempunyai hubungan istimewa dengan ajudan Jenderal A.H.
Nasution.

Buku Green ini bisa menjadi pelengkap khazanah sejarah Indonesia, tapi tentu saja
diperlukan kepastian akan kebenaran dan keruntutan urainnya, kata Albert Kuhon
(Wartawan "Suara Pembaruan"), menutup tulisannya.

Apa yang dikutip di sini hanya bagian-bagian yang terpenting saja.

Pengakuan Marshall Green di atas, membuktikan betapa beralasannya kecurigaan


Bung Karno bahwa Amerika memang campur tangan mengenai persoalan dalam
negeri Indonesia dengan tujuan akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno yang
terlalu anti imperialisme dan kapitalisme yang justru menjadi strategi dasar politik
global Amerika Serikat.

Bung Karno yang tadinya sudah bulat sikapnya menolak kehadiran Marshall Green,
kemudian merubah sendiri sikap itu setelah dicairkan oleh Subandrio. Memang
dikemudian hari menimbulkan pertanyaan juga, apa yang tersembunyi di balik peran
Subandrio itu, yang sangat kuat mendesak Bung Karno supaya jangan. menolak
Marshall Green?

Kelemahan Bung Karno, karena ia sendiri ambivalent (mendua) dalam sikapnya,


sebagaimana umumnya orang-orang yang bernaung di bawah bintang Gemini, dan
masih berpikir dapat merubah sikap agresif Amerika Serikat, jika saja ia memberikan
konsesi. Padahal konsesi itu terbukti tidak menolong apa-apa.

Cerita tentang penerbang Amerika, Allan Pope yang disewa oleh kaum pemberontak
PRRI/PERMESTA dan dalam satu kali serangan saja sudah mernbunuh 700 rakyat di
Ambon, akhirnya di ampuni oleh Bung Karno dengan menggunakan hak
prerogatipnya sebagai Presiden, meski pun dengan imbalan yang tidak seimbang
dengan subversi AS di Indonesia, adalah sebuah contoh. Juga kemurahan hati Bung
Karno ini, sama sekali tidak merubah politik Amerika Serikat terhadap Indonesia.
Tentu maksud Bung Karno hendak menunjukkan bahwa ia ingin nunjukkan bahwa ia
ingin bersahabat dengan Amerika, tanpa memahami lebih jauh strategi politik
Amerika yang justru hendak meruntuhkan kepemimpinannya.

Ada baiknya kita kaji kembali kisah kebaikan hati Bung Karno menyelesaikan kasus
Allan Pope.

"Di satu pagi hari Minggu bulan April 1958" kata Bung Karno, penerbang Amerika,
Allan Pope, yang disewa oleh kaum pemberontak PRRI/PERMESTA, melakukan
serangan terhadap pulau Ambon, menyerang sebuah Gereja dan gedung itu hancur,
yang di dalamnya jama'at sedang melakukan kebaktian dan terbunuh semua. Juga
ditenggelamkannya sebuah kapal Republik dan semua awak kapal mengalami nasib
yang malang. Serangan pagi itu telah membunuh 700 rakyat yang tak berdosa.
Prajurit-prajurit kita yang menggunakan meriam penangkis serangan udara yang
sudah tua menembak jatuh pesawat B-25 dan penerbangnya, Allan Pope, jatuh di
pohon kelapa. Sebelah kaki dan tulang pahanya patah. Ia harus bersyukur karena
jiwanya diselamatkan oleh Republik, ia diangkut ke rumah sakit.

Bung Karno menanyakan kepada Duta Besar Amerika Serikat, mengapa penerbang
itu memerangi kami?

Jawab sang Duta Besar: "Oleh karena dia dengar tuan komunis dan dia hendak
menyumbangkan tenaga dalam perjuangan melawan komunisme".

Surat-surat Pope yang ditemukan di tempat dia jatuh, menyatakan bahwa ia seorang
penerbang yang diberi ijin untuk angkutan udara sipil dengan menjelaskan haknya
untuk menggunakan lapangan terbang Clark di pangkalan Amerika dekat Manila.

Bung karno yakin, Allan Pope seorang agen CIA, meski pun tidak ditemukan bukti
yang tertulis. Tentu ia tidak ; sebodoh itu untuk membawa bukti-bukti yang dapat
memberatkan dirinya.

Di setiap negara yang baru berkembang, orang akan melihat agen-agen Amerika
banyak berkeliaran. Kami pun melihat mereka berkeliaran di Jakarta, kata Bung
Karno.

Isteri Allan Pope, bekas pramugari pada perusahaan penerbangan PAN American
Airways datang kepada Bung Karno dan menerimanya Dia menangis mencurahkan,
seluruh kesedihannya dan memohon supaya suaminya diampuni. Bung karno tidak
dapat memandangi air mata seorang perempuan, sekali pun dia seorang asing.
Kemudian ibu dan saudara perempuannya juga datang dengan sedu-sedan yang
melebihi dari perasaan yang dapat ditahankan oleh Bung Karno.

Saat itu Allan Pope sudah keluar dari rumah sakit setelah dokter- dokter Indonesia
menyelamatkan jiwanya tanpa memotong kakinya. Ia sedang berada dalam tahanan
rumah menunggu pemindahannya ke penjara tentara untuk dihukum mati.

Tapi Bung Karno menyampaikan kepadanya: "Atas kemurahan hati Presiden


Republik Indonesia, engkau diberi ampun. Putusan ini dilakukan secara diam-diam.
Saya tidak menghendaki propaganda mengenai hal ini. Pergilah dan sembunyikan
dirimu di Amerika Serikat dengan diamdiam. Jangan bikin cerita-cerita sensasi di
surat-surat dan sembunyikan dirimu di Amerika Serikat dengan diam-diam. Jangan
bikin cerita-cerita sensasi di surat-surat kabar. Jangan buat pernyataan-pernyataan.
Pulanglah, sembunyikan dirimu, kami akan melupakan semua yang telah terjadi".45)

45) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal. 400-402

Begitu besar kemurahan hati Bung Karno, sampai-sampai ia menggunakan hak


prerogatipnya mengampuni agen CIA yang telah membunuh ratusan mungkin ribuan
rakyat Indonesia dan menenggelamkan banyak kapal Republik.

Tergerakkah hati Pemerintah Amerika Serikat untuk membalas budi baik Bung Karno
dengan menghentikan subversinya di Indonesia? Tidak! Justru Amerika meningkatkan
kegiatannya hendak menggulingkan Bung Karno.
Namun cukup mengejutkan pengakuan Ladislav Bittman, bekas kepala Departemen
VIII Dinas Intelligen Cekoslowakia dalam bukunya "The Deception Game" -permainan
curang-yang kemudian disadur ke dalam bahasa Indonesia oleh Oejeng Soewargana.
46) Digambarkannya bahwa Dinas Intelligen Cekoslowakia dan KGB (Dinas Intelligen
Uni Sovyet), pada saat- saat pengganyangan Amerika di Indonesia, nimbrung
memancing di air keruh.

46) Diterbitkan oleh PT. Tjandramerta, Jakarta, 1973.

Pengakuan itu mengatakan, Mayor Louda seorang perwira senior intel Ceko yang
beroperasi di Indonesia, menyampaikan dokumen-dokumen palsu kepada
pejabatpejabat Indonesia, pimpinan partai-partai politik dan pers, yang langsung
memper- cayainya. Adegan dimulai dengan menyampaikan informasi palsu kepada
Duta Besar Rl di Praha (yang tidak disebut namanya), mengenai apa yang
dinamakannya "Operasi Palmer". Sang Duta Besar yang katanya juga seorang
perwira intelligen BPI (Badan Pusat Intelligen), percaya kepada informasi itu dan
meneruskannya ke Jakarta, karena memang pesan Mayor Louda, harus diketahui
oleh Subandrio dan Bung Karno.

Akibatnya, bukan Bill Palmer saja yang menghadapi kesulitan, juga "Peace Corps"
Amerika yang banyak melatih di bidang olah raga, dituduh menjadi mata-mata CIA,
diusir dàri Indonesia.

Pada akhir bulan Maret 1965, Presiden Lyndon B. Johnson mengirim wakil khusus ke
Indonesia, Ellsworth Bunker, untuk mengusahakan peredaan ketegangan antara
Amerika dengan Indonesia. Misi Bunker gagal dan sesudah ia pulang, permusuhan
terhadap AS makin menjadi-jadi.

Pada bulan April 1965 datang di Jakarta seorang Armenia yang tinggi langsing,
dengan rambut dan kumis yang sudah mulai ubanan, sikapnya aristokratis dan tidak
banyak menarik perhatian orang. Padahal dia sebenarnya Jenderal Agayant, kepala
Departemen Berita berita Palsu KGB yang bekerja sama dengan Dinas Rahasia
Cekoslowakia. Dia merasa puas melihat hasil- hasil yang dicapai oleh "Operasi
Palmer". Hasilnya, hubungan Indonesia-Amerika telah mencapai taraf yang sangat
kritis.

Tanpa takut kemungkinan akan diketahui bahwa sumber kampanye anti Amerika
didapat dari Dinas Berita Palsu Blok Sovyet, Jenderal Agayant memerintahkan siaran
luar negeri Radio Moskow yang ditujukan ke Indonesia, meningkatkan
siaran-siarannya dengan komentar-komentar yang sebelumnya sudah terbukti sangat
berhasil. Salah satu komentar yang disiarkan 3 Juni 1965, merupakan contoh yang
dinilai baik.

Kutipannya sebagai berikut:

"Pendengar-pendengar yang terhormat! Anda tentu banyak mengetahui tentang


kegiatan-keg atan subversif yang dilakukan oleh United States Intelligence Agency
(Dinas Intelligen AS). Sejumlah besar agen-agen rahasianya ditempatkan di seluruh
dunia Dalam mempekerjakan agen-agen yang dapat dilukiskan sebagai
"pembunuh-pembunuh tersembunyi" (the knights of cloak and dagger), ahli-ahli
subversi Amerika Serikat mengarahkan perhatian khusus mereka ke negara-negara
Asia dan Afrika. Mereka sedang berusaha keras untuk mengubah suasana politik di
negara-negara tersebut dengan subversi.

Sebagai biasa, agen-agen rahasia CIA mendapat dukungan pasukan-pasukan AS di


seluruh duriia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejahatan-kejahatan AS di Vietnam,
Laos dan Konggo.

Telah diketahui, bahwa sejak lama CIA merencanakan kejahatan- kejahatan yang
sama di Indonesia. Belum lama berselang seorang agen rahasia CIA yang
kerkemuka, Bill Palmer, telah tertangkap basah. Ia mengatur sebuah jaringan
komplotan baru Palmer adalah seorang agen rahasia kawakan la menyamar sebagai
wakil dari AMPAI (American Motion Picture Association in Indonesia). Selama 19
tahun ia melakukan kegiatan-kegiatan subversi di Indonesia. Menurut berita-berita
pers, Palmer memelihara hubungan-hubungan yang luas di Indonesia la
menggunakan dana yang di sediakan oleh CIA dan iuran yang dikumpulkan dari
pemutaran film-film Amerika di Indonesia, yaitu film-film yang mempropagandakan
imperialisme dan aspek-aspek penghidupan Amerika, untok menyogok agen-agen
rahasia Indonesia dan Amerika dan untuk membiayai unsur-unsur anti revolusioner
yang merencanakan komplotan-komplotan.

Tugas Palmer yang paling penting ialah merencanakan pemberontakan-


pemberontakan di Indonesia antara tabun 1957 dan 1959, yang mengakibatkan
hilangnya banyak harta benda dan ribuan jiwa orang Indonesia

Palmer telah mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin pemberontak seperti


Simbolon, Kawilarang dan lain-lain di Bungalawnya di Puncak Palmer telah
menyerahkan uang kepada mereka dan memberi nasehat Palmer di Bungalawnya
juga telah mengatur sebuah pertemuan antara pimpinan CIA, Allen Dulles, dan
pemimpin-pemimpin jaringan spionase, di mana mereka merencanakan komplotan
untuk membunuh Presiden Sukarno dalam tabun 1957.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, Palmer giat sekali mengumpulkan


orang-orang kontra-revolisioner di Indonesia untuk merencanakan
petualangan-petualangan baru. Disamping itu ia merongrong perkembangan ekonomi
Indonesia dengan gerakan subversi dan sabotase. Memang tepat, jika Indonesia
menuduh CIA dan Palmer sebagai Indonesia dengan gerakan subversi dan
sabotase. Memang tepat, jika Indonesia menuduh CIA dan Palmer sebagai otak
subversi pada kedudukan-kedudukan militer di Jawa dan Sumatera akhir bulan Maret
dan awal bulan April yang baru lalu, yang mengakibatkan banyak korban jiwa.

Kegiatan-kegiatan subversi di Jawa dan Sumatera dilaksanakan pada saat utusan


Gedung Putih, Michael Forrestal, berada di Indonesia. Kantor berita Perancis AFP
(Agency France Press) menghubung- hubungkan subversi di Jawa dan Sumatera itu
dengan kunjungan Forrestal. Sangat besar kemungkinannya, Forrestal
mengharapkan akan dapat menggunakan subversi itu sebagai alasan untuk
melakukan tekanan-tekanan pada Pemerintah Indonesia dan memaksa Presiden
Sukarrio supaya membatalkan maksudnya menasionalisasi perusahaan- perusahaan
asing, termasuk perusahaan-perusahaan AS di Indonesia.

Pembukaan kedok Palmer mengungkapkan pula kegiatan-kegiatan yang tidak


pantas, yang di lakukan oleh Duta Besar Howard Jones di Indonesia. Seperti
diketahui, Howard Jones telah dipanggil pulang beberapa waktu yang Ialu untuk
menghapus kegiatan-kegiatannya yang ilegal Jones telah menterapkan kolonialisme
AS di Indonesia selama kira-kira 7 tahun la sendiri telah ikut serta mengorganisasi
pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia dan memelihara
kontak dengan agen-agen CIA serta memimpin kegiatan-kegiatan subversif mereka

Seperti ditulis oleh wartawan-wartawan Ross dan Wise dalam buku mereka "The
Invisible Government" (Pemerintahan yang tidak nampak), Jones telah mengambil
bagian dalam komplotan-komplotan CIA di Indonesia. Ia mengetahui perincian siasat
C/A untuk memberikan senjata kepada kaum pemberontak di Sumatera dan Jawa.
Ia sendiri juga terlibat dalam pemberian senjata itu. Sejumlah besar kegiatan
subversif yang dilakukan agenagen C/A di bawah pimpinan Palmer, yang
berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini, telah mendapat
persetujuan Jones Pers International telah memuat artikel-artikel mengenai
keterlibatan Jones dalam komplotan untuk membunuh Presiden Sukarno di Teluk
Sulawesi

Duta Besar Amerika, Howard Jones, menyerahkan jabatannya kepada Marshall


Green. Jones akan mengepalai apa yang dinamakan " East-West Center" di Hawai.
Palmer telah meninggalkan Indonesia karena takut akan pembalasan. Jones juga
akan meninggalkan Indonesia, tetapi jaringan CIA tetap tinggal di Indonesia. Rakyat
Indonesia selalu menuntut, agar pengaruh modal AS dan kegiatan-kegiatan CIA di
Indonesia di hentikan "

Demikian siaran radio Moskow.

Buku "The deception game" juga mengatakan bahwa dokumen Gillchrist, Duta Besar
Inggris di Jakarta, yang terkenal itu, katanya diproduksi oleh Dinas Rahasia Blok
Sovyet, berupa sebuah surat kepada Kementerian Luar Negeri di London, yang
dialamatkan kepada Sir Harold Cassia, Sekertaris Muda Kementrian Luar Negeri di
London bertanggal 24 Maret 1965.

Dokumen itu katanya, diteruskan kepada Wakil Perdana Menteri/ Menteri Luar Negeri
Dr. Subandrio dan Presiden Sukarno. Antara lain isinya seperti yang dikutip oleh
Ladislav Bittman sebagai berikut:

Saya telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Duta Besar Jones


mengenai masalah yang tersebut dalam surat No. 67785/65. Duta Besar Jones pada
pokoknya sepakat dengan pendirian kita. Akan tetapi ia meminta lebih banyak
waktu untuk mempelajari persoalan itu dari berbagai segi.

Menjawab sebuah pertanyaan, pengaruh apa yang akan timbul dari kunjungan
Bunker, utusan istimewa Presiden Johnson ke Jakarta untuk membicarakan
masalah perbaikan hubungan Amerika-lndonesia, Duta Besar Jones mengatakan,
bahwa ia tidak melihat suatu kemungkinan untuk memperbaiki keadaan, dan bahwa
hal itu akan memberikan waktu kepada kita untuk membuat persiapanpersiapan
yang lebih mantap. Duta Besar Jones juga mengingatkan perlunya mengambil
langkah-langkah baru untuk menciptakan koordinasi yang lebih baik dan ia
mengatakan, tidak perlu menekankan keharusan membuat rencana itu menjadi
sukses. Saya telah berjanji akan membuat persiapan- persiapan yang diperlukan dan
saya akan melaporkan pendapat saya mengenai masalah ini dalam waktu yang tidak
begitu lama. 47)

Yang dimaksud ialah serangan bersama terhadap Indonesia dari


pangkalan-pangkalan di Malaysia.

Surat itu disangkal oleh Inggris.

47) Baca: Ladislav Bittman, Permainan Curang, bab: Bumerang


Indonesia, hal. 123-141. 197

Dari pengakuan Ladislav Bittman, menunjukkan bahwa Dinas Rahasia Cekoslowakia


dan KGB (Sovyet) juga ikut terlibat mendorong meletusnya G30S/PKI, meski pun
diakui kemudian bahwa tindakan itu menjadi bumerang, karena akibatnya melampaui
apa yang direncanakan. Rencana mereka hanyalah hendak menunggangi situasi anti
Amerika yang meningkat di Indonesia untuk menghancurkan sama sekali pengaruh
AS di negara tersebut.

Akibat yang tidak mereka perhitungkan, justru yang hancur Partai Komunis Indonesia
(PKI).

Tapi seorang cendekiawan Inggris, Neville Haxwell, menemukan sepucuk surat dari
seorang Duta Besar Pakistan di Paris yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri
Pakistan waktu itu, Zulfikar Ali Bhuttho, yang melaporkan ucapan seorang pejabat
Belanda di Nato pada bulan Desember 1964 yang mengatakan bahwa Indonesia akan
jatuh ke tangan Barat seperti apel busuk. Agen- agen intelligen Barat punya rencana
untuk mengorganisasi "premature communist coup" (kup komunis pradini), untuk
memberi peluang kepada Angkatan Darat menumpas PKI dan menjadikan Sukarno
sebagai sandera.48)

48) New York Review of Books, Juni 1978

Seorang peneliti, Geofrey Robinson (Boston, AS) dalam makalahnya "Some


Arguments Concerning S. Influence and Complicity in Indonesia coup of October 1,
1965" (1990) mencatat bahwa surat Gillchrist yang kesohor itu terlihat sebagai
dokumen yang tidak mengherankan dan akibat-akibatnya sama sekali bukan tak
masuk akal. Apa yang dinamakan surat Duta Besar Inggris di Jakarta, Sir Andrew
Gillchrist kepada Departemen Luar Negerinya, dilaporkan berisi alinea:

.........Akan baik untuk menekankan sekali lagi kepada para sahabat kita di
dalam Angkatan Darat, (our local army friends, pen.) bahwa kehati-hatian
yang paling seksama, disiplin dan koordinasi, adalah esensial dari suksesnya
usaha. 49)

49) New York Review of Books, Mei 1978

Orang-orang Inggris dan Amerika menyatakan bahwa surat ini palsu dan memang
barangkali begitu. Tapi siapa yang memalsunya? Pada umumnya diperkirakan bahwa
surat ini dimasak oleh jaringan Intelligen Subandrio yang akan digunakan dalam
pertarungan politik di dalam negeri menghadapi Angkatan Darat dan sudah tentu juga
menghadapi Inggris (dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia). Tapi surat itu juga
berguna (meski pun dikatakan palsu) untuk mempolarisasi politik Indonesia dan
membuat PKI waspada terhadap desas-desus kemungkinan kudeta tentara. Sampai
sejauh itu, ia juga agak berguna bagi tujuan-tujuan politik AS dalam menenangkan
krisis politik ke arah yang tak terhindarkannya bentrokan antara Angkatan Darat dan
PKI.

Tapi jika dokumen Gillchrist itu di balik menjadi pemalsuan CIA dan sengaja
diedarkan untuk menghasut PKI dan Sukarno, kita akan punya bukti yang
meyakinkan bahwa usul-usul pemerintah AS dan CIA, telah benar-benar dilaksanakan
dengan atau melalui dokumen itu.

Nyatanya, kita tidak punya bukti bahwa dokumen Gillchrist adalah produk CIA. Yang
ada hanya bukti-bukti lingkungan keadaan dari upaya-upaya intelligen luar negeri
untuk menggerakkan polarisasi dan saling curigamencurigai di kalangan
pengomplot-pengomplot kudeta, bulan dimana surat Duta Besar Pakistan beredar,
Chaerul Saleh dianggap taruhan anti komunis yang baik oleh CIA, karena ia
membongkar dokumen adanya rencana kudeta PKI 50)

50) Ruth McVey, Korespondensi pribadi dengan George Kahin,


Benedict Anderson dan Prederick Bunnel. Namun "Harian Rakyat"
(harian PKI 2 Januari 1965, mengatakan bahwa dokumen yang
dimaksud adalah palsu.

Ini dapat dimengerti karena kerjaan Chaerul Saleh itu, dianggap sebagai gerak awal
dari Intelligen Barat untuk mengembangkan suasana curiga-mencurigai sehubungan
dengan tanda-tanda bahaya dari "kiri" yang direncanakan untuk membangkitkan dan
mempercepat reaksi Angkatan Darat. Surat Gillchrist dan kemudian desas-desus
tentang akan adanya kup "Dewan Jenderal", kedua- duanya telah sengaja diedarkan
untuk menghasut PKI masuk ke dalam komplotan mengadakan "kup pradini" atau
apa yang dikenal dengan "kup Untung". Apa pun nilainya, suratsurat ini bersama-
sama dengan bukti-bukti yang menyangkut CIA dan usul-usul pemerintah AS
mengenai ancaman komunis, telah memberikan sejumlah kepercayaan kepada
interpretasi yang memasukkan kegiatan AS dan asing lainnya, sebagai kegiatan
sengaja menghasut atau memprovokasi suatu pertarungan terbuka antara "kiri" dan
"kanan" dengan asumsi bahwa yang "kanan" dapat menang. Ralp McGehee
mengatakan, strategi ini telah menjadi semacam trade mark dari CIA semenjak
1965.5l)

51) Ralp McGehee, wawancara pribadi dengan Geofrey Robinson, Nop.


1983

Namun perlu dicatat bahwa bertahun-tahun sebelum itu, AS dengan ClA-nya sudah
bekerja keras untuk menggulingkan Sukarno, seperti secara terperinci diuraikan di
atas.

Amerika Serikat memang sudah lama menghendaki supaya Indonesia mengikuti


petunjuknya, jangan anti imperialis mau pun kapitalis. Bahkan pemberontakkan
PRRI/ PERMESTA yang dibantu oleh Amerika Serikat, adalah untuk menggulingkan
Pemerintah Pusat di Jakarta yang dianggap radikal bersama dengan Sukarno yang
anti imperialis dan anti kapitalis.
Sesudah itu masih bertahun-tahun lagi Amerika Serikat memamerkan dukungannya
terhadap Belanda di PBB, dengan menolak Irian Barat dikembalikan kepada
Indonesia.

Setelah Indonesia mulai menerjunkan gerilyawannya di daratan Irian Barat, dibantu


kapal-kapal selam yang bertebaran diperairan sekitarnya dan bomber-bomber jarak
jauh menyerang sasaran tertentu di Irian Barat, barulah Amerika Serikat mendesak
Belanda supaya menyerahkan saja Irian Barat kepada Indonesia, karena khawatir
sengketa itu akan meluas menjadi konflik internasional.

Karena terlampau kasarnya campur tangan Amerika Serikat terhadap persoalan


dalam negeri Indonesia, maka Pemerintah Indonesia merasa perlu membalas dengan
menasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak dan perusahaan-perusahaan
Amerika lainnya.

Alasan Amerika Serikat bahwa "Sosialisme Indonesia" yang dicanangkan oleh Bung
Karno, dikhawatirkan akan merubah Indonesia menjadi komunis, sangat tidak
realistis. Syarat-syarat untuk menjadi negara sosialis, sama sekali tidak tersedia.
Disamping itu meski pun PKI dikatakan makin kuat dan makin agresif, tapi kekuatan
yang anti PKI jauh lebih besar dan lebih kuat, termasuk ABRI.

Seperti yang ditulis oleh Gabriel Kolko, kontroversi mengenai peran CIA dalam
pergolakan politik di Indonesia Oktober 1965, telah menimbulkan perhatian yang lebih
mendalam oleh adanya dokumen- dokumen rahasia yang terungkap di Amerika yang
memastikan bahwa memang Amerika campur tangan dalam persoalan dalam negeri
Indonesia.

Hanya tuduhan Letnan Kolonel Untung tentang adanya "Dewan Jenderal" yang
disponsori oleh CIA yang akan meng-kup Presiden Sukarno, adalah tuduhan yang
tidak bisa dibuktikan di muka persidangan MAHMILLUB. Juga PKI yang menuduh
seperti itu, tidak bisa membuktikan kebenaran tuduhannya.

Tapi 20 Januari 1965, CIA sudah menyampaikan sebuah memorandum kepada


Pemerintahannya, yang menyatakan bahwa "kita sekarang menghadapi bukan saja
bahaya dari Sukarno, tapi juga ketidak-pastian suatu kemungkinan Indonesia tanpa
Sukarno".

Apa yang dicatat diatas, hanyalah untuk membuktikan bahwa Amerika Serikat
dengan ClA-nya memang selalu terlibat dalam setiap pergolakan dan mencampuri
persoalan dalam negeri Indonesia.

Namun yang cukup menarik bahwa di luar negeri, terus saja terbit banyak buku atau
makalah mengenai G30S/PKI dan hubungannya dengan gerakan menggulingkan
Sukarno, bahkan sesudah seperempat abad peristiwa itu, pembahasannya masih
berjalan terus. Sementara di Indonesia sendiri hal ini malah menjadi tabu, kecuali jika
sekedar mencaci maki PKI dan mendiskreditkan Bung Karno tanpa me- ngaitkannya
dengan ulasan yang berpandangan lain.

Terakhir ada lagi makalah yang terbit di luar negeri (1990) mengenai G30S/PKI dan
Keterlibatan Amerika dalam kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia, sebagian besarnya
memuat pembahasan seberapa jauh keterlibatan PKI dalam apa yang dinamakan
kudeta Untung. Masalah ini tetap penting, karena adanya pembenaran yang
bersandar pada penerimaan kalangan politik yang menganggap PKI sebagai partai
terlibat, dan anggapan keterlibatan PKI ini digunakan sebagai dalih membasmi kaum
komunis, bahkan pendukung Sukarno, dan semua anggota organisasi yang berafiliasi
dengan PKI. Dalam waktu kurang lebih 6 bulan sesudah kudeta Untung, antara
500.000 sampai 1.000.000 orang dibunuh dan mendekati 75.000 yang ditangkap dan
ditahan.52)

52) Angka yang dikutip di sini berasal dari Amnesti Internasional


Report, The New York Review of Books, 24 Nopember 1977.

Isu keterlibatan PKI ternyata mempunyai arti lebih luas, karena tampaknya dijadikan
tameng agar orang tidak melihat keterlibatan pelaku lain yang lebih penting, yaitu
Pemerintah A.S. dan berbagai agennya.

Makalah ini dimaksudkan untuk membuka dengan sebuah gambaran singkat


mengenai bukti-bukti "domestik" dan "internal" yang mendukung berbagai penjelasan
alternatif dari kudeta itu. Dengan bahan-bahan tersebut akan tampak lebih terang
pengaruh dari pasang surutnya hubungan AS - RI. Pendekatan yang demikian
diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih lengkap, karena akan menarik
perhatian kita kepada akibat-akibat komplementer dari sejumlah faktor dalam negeri
dan internasional, yang memungkinkan kita lebih baik menilai watak dan seberapa
jauh keterlibatan AS dalam peristiwa itu. Lebih-lebih jika hal ini dihubungkan dengan
bantuan militer dan ekonomi dari CIA dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA 1958,
telah lama ada upaya AS menggulingkan Pemerintahan Sukarno.

Pemberontakan daerah-daerah di luar Jawa merupakan hal yang penting bagi


Amerika untuk menetapkan kembali politik dan strateginya terhadap komunisme di
Indonesia. Beberapa Departemen melihat dalam pemberontakan itu, terbuka
kesempatan baik untuk menjatuhkan Pemerintahan Sukarno dan dengan begitu,
menghancurkan komunisme di Indonesia.

Satu catatan lain yang dimuat dalam "The Journal of American History", tulisan H.W.
Brands, dikatakan bahwa dalam pemberontakan di Sumatera (maksudnya:
PRRI/PERMESTA, PEN.), CIA membantu sekitar 300 serdadu yang terdiri dari
orang-orang Amerika, Filipina dan Cina Taiwan, serta beberapa pesawat terbang
transport dan beberapa bomber B-26. 53)

53) H.W. Brands, The Limits of Manipulation: How the United States
Didn't Topple Sukarno, The Journal of American History, published by
The Organisation of Historians, Vol. 76 No.3, Des. 1989, hal. 790.

Tahun berbahaya, menurut Geofrey Robinson, ialah tahun terakhir sebelum kudeta
Untung ditandai oleh mengentalnya tiga kecenderungan politik Indonesia yang
kait-mengait. Pertama, politik luar negeri Sukarno yang makin bergeser ke kiri ini
mencerminkan pertumbuhan polarisasi kekuatan politik di negeri itu.54) Kedua,
perjuangan politik yang semakin berlangsung di luar lembaga dan jalur politik
"normal". Ini sebagian besar karena reaksi atas kegiatan Sukarno dan PKI. Ketiga,
selaku musuh utama, Sukarno dan PKI telah semakin menjadi titik peradikalan dan
polarisasi pertarungan politik dalam negeri. AS disini menjadi semacam wakil dari
negara asing lainnya, termasuk Inggris. Ia juga menjadi sasaran ancaman kekerasan
politik yang serius dari kaum kiri.

54) Suasana ini dilukiskan oleh Mortimer sebagai satu "krisis dan
histeria" serta sikap kekerasan yang sudah dipolarisasi dari segmen
penduduk yang sudah dipolarisasikan, hal. 387.

Serangan langsung terhadap Amerika, dimulai oleh Sukarno ketika mengeritik politik
Amerika di Vietnam dan Malaysia dalam pidato 17 Agustus 1964. Kritik-kritik
Sukarno ini telah membuka tutup bendungan banjir dan sikap anti Amerika menjadi
pusat logika politik dalam negeri Indonesia. Misalnya AS dituduh terlibat dalam
komplotan hendak membunuh Sukarno.

Nasehat yang disampaikan oleh Washington kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta


sehubungan dengan tuduhan itu berbunyi:

"Hasil yang baik mungkin akan tumbuh dengan sangkalan formal terhadap
keterlibatan AS dalam komplotan pembunuhan. Bagaimana pun juga, kita ingin
menghindar dari tuduhan berat yang tak pantas diucapkan oleh seorang Presiden".

Duta Besar Howard Palfrey Jones diinstruksikan supaya mengemukakan kepada


Sukarno reaksi Presiden Johnson dengan mengatakan bahwa Presiden Johnson
merasa terganggu oleh tuduhan itu dan bahwa ada unsur-unsur jahat yang sengaja
berupaya meracuni suasana kemajuan hubungan antara Indonesia- Amerika yang
telah ditegakkan oleh Kominike Bersama Sukarno dengan Duta Besar Keliling,
Bunker.55)

Dalam konteks pertarungan politik yang demikian, harus dinilai arti penting berbagai
macam desas-desus akan adanya kudeta militer yang didukung AS, CIA dan Inggris
dengan dibantu intervensi militer langsung terhadap Indonesia.

55) Departement of State: Telegram kepada Kedutaan Besar AS . di


Jakarta, 3 Juni 1965, National Security Files, Indonesia, jilid III.

Politik anti Amerika yang langsung dan keras telah memaksa pembuat politik di
Amerika mempertimbangkan atau menilai kembali tujuan dan caranya Arnerika
bertindak. Sebuah dokumen CIA bertanggal 26 Januari 1965, terang-terangan
mengatakan bahwa kepentingan Amerika dan Sukarno bertabrakan di hampir setiap
lapangan.56)

56) ClA-Office of National Estimates Special Memorandum No. 4-65


Principle Problems and Prospects in Indonesia", 26 Januari 1965
(Jones File)

Walau pun ada perbedaan mengenai usul berbagai Departemen dan agen-agen,
terdapat pengakuan yang meningkat sepanjang tahun 1965, mengenai sudah
waktunya untuk mengurangi kepercayaan mengenai kemungkinan mempengaruhi
Sukarno dan supaya memulai perencanaan yang serius bagi pemecahan krisis untuk
keuntungan kekuatan-kekuatan anti komunis dan anti konfrontasi.
Tapi sebuah telaah CIA yang lain (Office of National Estimates, 26 Januari 1965),
memberikan perhatian yang lebih besar pada kurangnya persatuan di kalangan
kekuatan non komunis yang diharapkan bisa menjadi sekutu Amerika.

Sedang dokumen CIA lainnya menyimpulkan satu perkiraan yang suram terhadap
alternatif dari krisis yang ada bahwa momentum dan arah yang telah ditanam
Sukarno pada kecenderungan- kecenderungan yang- ada sekarang, telah
membawanya ke arah kemungkinan perang dengan Inggris dan Amerika Serikat di
mana Sukarno mengharapkan bantuan Cina (RRT) atau pengambil-alihan kekuasaan
oleh PKI.

Geofrey Robinson mengatakan bahwa fakta intervensi AS sesudah kudeta 1 Oktober


1965, dapat dibenarkan menjadi subjek studi yang terpisah dan berjilid-jilid, sambil
menyimpulkan, ia di sini hanya membuat sketsa kasar, mengenai kemungkinan
keterlibatan AS.

Dikatakannya, tindakan AS mengambil tiga bentuk. Pertama, pengakuan politik


langsung kepada pihak yang menumpas kudeta Untung, tanpa intervensi langsung.
Kedua, memberikan bantuan militer dan ekonomi terselubung, sesuai dengan
kebutuhan mendesak, untuk menghindari penampilan mencampuri urusan dalam
negeri Indonesia. 57) Ketiga, bantuan propaganda tentang perkembangan Indonesia,
di luar negeri.

57) Mengutip: Van Langenberg (1967) hal 8

Jadi, Amerika Serikat berkepentingan menjauhkan diri dari setiap campur tangan
terang-terangan atas peristiwa yang terjadi di Indonesia. Segala bantuan harus
disalurkan melalui saluran tertutup.

Bulan-bulan sesudah kudeta Untung, walau pun Sukarno masih tetap Presiden,
Amerika secara efektif menggeser pangakuan politiknya dari de jure Kepala Negara,
kepada yang de facto berkuasa, politik yang memberikan keuntungan luar biasa bagi
penentang Presiden Sukarno di tengah-tengah satu perubahan politik yang terus
menerus.

Secara publik, Administrasi Johnson jarang menyatakan kegirangannya atas


"perubahan" di Indonesia, bahkan ia membentuk satu citra toleran non-intervensi,
terhadap masalah "dalam negeri" negeri itu.

Sebuah dokumen DOS (Department of State) menyatakan: "Sampai akhir Maret


1966, politik kita atas perkembangan di Indonesia, adalah diam 58)

58) Department of State: Post Mortem dari Kudeta, 1966, (D.D.1981).

Tapi sambil melanjutkan posisi ini di hadapan umum, seluruhnya telah jelas bahwa
pada waktu yang tepat, Amerika Serikat siap memberikan sumbangan materi untuk
membantu tegaknya kepemimpinan baru.59). Inilah satu penyamaran yang mulia,
liberal dan efektif, kata Geofrey Robinson.

59) Ibid hal. 4


Para pejabat Kedutaan Besat AS tampil menyerupai tokoh-tokoh dalam lukisan
goa-goa Romawi, di mana mereka mengamati pertarungan di pinggir ring sambil
mencatat "menjadijadinya perkembangan" sebagai berikut:

1) PKI sekarang sudah melarikan diri untuk pertama kalinya dan Aidit
bersembunyi, organisasi Partai rontok, dokumen-dokumen bertebaran
dan Markas Besar-nya dibakar.

2) Angkatan Darat telah memegang momentum pembasmiannya


terhadap PKI dan menangkap beberapa ribu aktivis Partai.60)

60) Department of State: Laporan Situasi Kelompok Kerja Indonesia, 9


Oktober 1965.

Geofrey Robinson menutup makalahnya dengan mengatakan bahwa atas dasar fakta
yang dikemukakan, kita sungguh dapat memastikan bahwa Amerika Serikat telah
berbuat apa yang dapat dilakukannya untuk memiliki kekuatan-kekuatan disertai
peluang yang menguntungkan untuk bertindak (di Indonesia) dengan jaminan bahwa
mereka dapat berbuat begitu dengan bebas dari hukuman.

BAB VII

SURAT PERINTAH MUKJIZAT DAN ADANYA OKNUM YANG


"TlDAK BENAR"

SEPULUH tahun lamanya Amerika mengupayakan penggulingan Sukarno. Hitung


saja sejak suksesnya Konperensi Asia-Afrika April 1955 di Bandung, yang berhasil
rnenjadikan Bung Karno pemimpin dunia, setidaktidaknya dunia Asia-Afrika, hal yang
mengkhawatirkan Amerika.

Kerja keras Amerika ini akhirnya menjadi sempurna setelah ketua MPRS Jenderal
A.H. Nasution menandatangani Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS11967, yang
mencabut semua kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden Sukarno,
bahkan melarangnya melakukan kegiatan politik untuk akhirnya dijebloskan ke dalam
tahanan. Bung Karno dituduh terlibat G30S/PKI.

Penyelesaian hukum menurut ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum


dan keadilan, sebagaimana tercantum dalam pasal 6 dari Ketetapan MPRS XXXIII,
tidak diindahkan lagi, karena kalau prosedur hukum ini ditempuh, dikhawatirkan akan
mencairkan kembali sasaran pokok Ketetapan tersebut, yaitu membenarkan
pencabutan semua kekuasaan pemerintahan negara dan larangan melakukan
kegiatan politik terhadap diri Bung Karno.

Belakangan timbul pendapat yang meragukan mengenai prosedur yang ditempuh oleh
MPRS menggulingkan Sukarno dengan alasan terlibat Gerakan 30 September 1965,
karena alasan-alasan yang dikemukakan tidak didukung oleh pembuktian yang sah di
muka sidang pengadilan.

Sebagai contoh, keberadaan Presiden Sukarno di Kompleks Halim Perdana


Kusumah misalnya, daerah yang dinyatakan sebagai sarang G30S/PKI, dianggap
sebagai salah satu bukti keterlibatannya.
Tentang tuduhan ini, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan,
yang membawa Bung Karno ke Halim, memberikan kesaksiannya bahwa tindakan itu
diambil sesuai dengan ketentuan "Operating Standing Procedure" (OSP)
Tjakrabirawa, yaitu dalam keadaan darurat, Presiden harus diselamatkan melalui cara
yang paling mungkin. Dalam kasus ini setelah dipertimbangkan dengan seksama,
diputuskan Presiden dibawa ke Halim, karena di sana selalu standby pesawat
terbang Kepresidenan "Jet Star" yang setiap saat dapat menerbangkan Presiden ke
tempat lain yang lebih aman.

Tuduhan lain di samping keterangan Brigjen Sugandhi, mantan Ajudan Presiden,


seperti yang sudah diuraikan di Bab I, juga ada keterangan dalam 14 Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) setebal 90 halaman, hasil interrogasi Team Pemeriksa Pusat
(TEPERPU) atas diri mantan Ajudan Presiden Sukarno yang lain, letnan kolonel
(KKO) Bambang Setyono Widjanarko yang menerangkan bahwa Presiden Sukarno
pada malam 30 September menerima surat dari letnan kolonel Untung Samsuri,
komandan batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September,
di tengah- tengah penyelenggaraan acara penutupan Musyawarah Besar Teknik yang
dihadiri oleh Presiden di ISTORA Senayan.

Keterangan Widjanarko ini dibantah keras oleh Wakil Komandan Resimen


Tjakrabirawa, kolonel Maulwi Saelan, yang malam itu bertanggungjawab atas
pengawalan dan keselamatan Presiden, yang memastikan bahwa sama sekali tidak
ada adegan seperti yang dikatakan oleh Widjanarko. Maulwi Saelan selama acara
berlangsung di ISTORA Senayan, selalu berada di dekat Presiden.

Di kemudian hari, keterangar-keterangan yang dinyatakan sebagai bukti keterlibatan


Bung Karno dalam Gerakan 30 September, dinilai oleh Jaksa Agung Singgih, SH.,
bersifat audita, artinya sekedar didengar atau diketahui dari orang lain, tanpa
dikonfimmasikan atau dikuatkan oleh alat bukti lain, sehingga pembuktiannya
mengambang.61)

61) Manai Sophiaan, Apa yang masih teringat, hal 454

Bisa dimengerti bahwa penilaian Bung Kamo dalam Pelengkap Nawaksara tentang
"adanya oknum-oknum yang tidak benar" bisa saja dirasakan oleh Jenderal A.H.
Nasution sebagai sindiran atas dirinya, mengingat adanya desas-desus negatif
mengenai sikapnya. Hubungan Bung Karno dengan Nasution waktu itu memang
kurang baik, sehingga dalam menentukan sikap, emosi masing-masing dimungkinkan
sekali ikut berperan.

Ini terbukti setelah keadaan menjadi lebih tenang, 25 tahun kemudian Nasution
memberikan keterangan sambil mengutip pengakuan ajudan Presiden Sukarno,
kolonel (KKO) Bambang Widjanarko, yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno
telah memerintahkan supaya Jenderal A. Yani datang menghadap ke Istana pada 1
Oktober 1965, memberi petunjuk bahwa Presiden Sukarno tidak mengetahui
sebelumnya akan terjadi Gerakan 30 September, dan dengan demikian tidak
mengetahui juga akan terjadinya pembunuhan atas 6 Jenderal di Lubang Buaya.62)

62) Ibid, hal. 455.


Bahkan Presiden Sukarno mempertanyakan dalam Pelengkap Nawaksara, mengapa
dia saja yang diminta pertanggungjawaban atas peristiwa G30S/PKI dan justru bukan
Menteri Koordinator Pertahanan/Keamanan yang waktu itu dijabat oleh Jenderal A.H.
Nasution?

Lalu Presiden Sukarno bertanya:

"Siapa yang bertanggungjawab atas usaha hendak membunuhnya dalam peristiwa


Idul Adha di halaman Istana Jakarta?"

"Siapakah yang bertanggungjawab atas pemberondongan dari pesawat udara atas


dirinya (di Istana Jakarta) oleh Maukar?"

"Siapakah yang bertanggungjawab atas pericegatan bersenjata atas dirinya di dekat


gedung Stanvac (Jakarta) ?"

"Siapakah yang bertanggungjawab atas pencegatan bersenjata atas dirinya di


Selatan Cisalak (antara Jakarta-Bogor) ?"

Presiden Sukarno menyebut 7 peristiwa usaha hendak membunuhnya dan siapa


yang harus dimintai tanggungjawab atas semua kejadian itu? Tapi masih ada bukti
lain mengenai "adanya oknumoknum yang tidak benar".

Geofrey Robinson yang sudah banyak dikutip dalam Bab terdahulu, mengutip sebuah
telegram dari Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, 21 Januari 1965, kepada
Department of State (DOS) di Washington, di mana dilaporkan pertemuan yang baru
saja diadakan antara seorang pejabat Kedutaan Besar dengan Jenderal S. Parman,
yang mengungkapkan kuatnya "perasaan dalam Angkatan Darat" terhadap
pengambilan alih kekuasaan sebelum meninggalnya Sukarno.

Angkatan Darat, menurut telegram itu, sangat prihatin terhadap gerakan PKI untuk
membangun Angkatan ke-V, karena itu merasa perlu mengambil tindakan langsung
untuk "mengimbangi gerakan PKI". Angkatan Darat menyadari bahwa bagaimana
pun, tidak ada kup terhadap Sukarno yang akan berhasil. Oleh karena itu dianjurkan
supaya kup dilakukan demikian rupa, seakan-akan menjaga kepemimpinan Sukarno
tetap utuh.63)

63) Geofrey Robinson mengutip Departmenr of Defence, telegram dari


Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, 21 Januari 1965 (dari Jones File).

Seperti diuraikan dalam Bab Vl, Gabriel Kolko yang menulis tentang Indonesia
dengan mengutip dokumendokumen Kementerian Luar Negeri AS dan CIA yang tidak
dirahasiakan lagi mengenai debat tentang peran Amerika Serikat di Indonesia 1965,
mengatakan tentang adanya telegram dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta,
Howard Jones 22 Januari 1965. Dengan menghilangkan nama orangnya dalam
telegram, orang itu menerangkan kepada saya (Duta Besar) berita yang sangat
rahasia, bahwa tentara mengembangkan rencana spesifik untuk megambil alih
kekuasaan pada saat Sukarno akan turun tahta. Orang itu baru datang dari
pertemuan dengan Jenderal Parman yang mendiskusikan rencana itu dengannya. Ia
berkata, sekali pun telah ada rencanarencana tentang contingency (kemungkinan)
basis dengan perhatian kepada post Sukarno era, terdapat satu sentimen kuat di
antara segment top military command untuk mengambil kekuasaan sebelum Sukarno
turun.

Dapat dipercaya, bagaimana pun dirahasiakannya, Presiden Sukarno menerima


laporan mengenai kegiatankegiatan ini melalui jalur khusus, sehingga cukup alasan
baginya untuk mengatakan bahwa salah satu sebab terjadinya Gerakan 30
September, karena "adanya oknum- oknum yang tidak benar".

Pada tahun 1957 sewaktu seorang wartawan Belanda Willem Oltmans, beraudiensi
ke Istana (dikatakannya sudah diulas dalam 2 bukunya, pen.), ia mengatakan kepada
Bung Karno supaya tidak sepenuhnya mem- percayai Dr. Subandrio, tapi Bung Karno
meneruskan saja percaya kepadanya. William Oltmans mengatakan bahwa
Subandrio lah yang membakar-bakar Bung Karno mengenai konfrontasi terhadap
Malaysia.

William Oltmans menceritakan juga bahwa di dalam Tentara ada Jenderal-Jenderal


yang menyuruh orang-orang seperti Oejeng Soewargana pergi ke Den Haag dan
Washington untuk meyakinkan orang-orang Belanda dan Washington supaya
menaruhkan kartunya pada Tentara, karena Jenderal A.H. Nasution siap menjadi
Presiden dan Bung Karno akan diturunkan. Dikatakan, gerakan internasional dari
Panjaitan dan Parman, telah dimulai sejak 1961. "Permainan ini berjalan terus dan
Jenderal Parman pernah menjumpai saya di New York. Kolonel Sutikno yang
mengatur pertemuan itu. Ia menghubungi saya dan seorang bekas agen CIA bernama
Werner Verrips. Ternyata maksudnya, kami berdua harus dilenyapkan. Saya tetap
hidup dan Verrips terbunuh".64)

64) Resensi Willem Oltmans atas buku "Otobiografi Soeharto", edisi


bahasa Belanda. Amsterdam 24 Maret 1991.

Demikian tulis Willem Oltmans, yang Mei 1994 kembali berkunjung ke Indonesia
dalam rombongan Perdana Menteri Belanda, Lubbers.

Mengapa Willem Oltmans dan Warner Verrips harus dilenyapkan? Karena keduanya
sudah mengetahui adanya kegiatan mencari dukungan dari Belanda dan Washington
atas rencana hendak menggulingkan Sukarno, rencana yang mereka tidak setujui
dan dikhawatirkan akan melaporkannya kepada Sukarno.

Mudah untuk dimengerti bahwa rencana ini akhirnya disampaikan oleh Willem
Oltmans kepada Bung Karno. Dengan demikian, Bung Karno tidak asal menuduh
begitu saja tanpa alasan yang kuat tentang "adanya oknumoknum yang tidak benar".

Ada pun tentang Dr. Subandrio, ketika ia sebagai Menteri Luar Negeri menyelesaikan
sengketa Irian Barat dengan Belanda lewat Dewan Keamanan PBB dengan bantuan
wakil Amerika di PBB, E. Buncker, pada 16 Agustus 1962, sehingga Indonesia tidak
perlu lagi membebaskan Irian Barat dengan kekuatan militer, secara serius ia
berbicara dengan seseorang yang dipercayainya, bahwa dengan prestasinya itu,
pantaslah membuat dirinya diangkat menjadi Wakil Presiden, yang waktu itu
memang lowong.

Analisa CIA juga mengatakan bahwa jika Sukarno tidak lagi mampu menjalankan
tugasnya, maka Dr. Subandriolah yang berambisi menggantikannya.
Tapi Gerakan 30 September 1965 yang gagal, menyebabkan harapan Dr. Subandrio
manjadi buyar.

Dokumen Amerika mengungkapkan bahwa sebelum keluarnya Surat Perintah 11


Maret 1966 yang menyebabkan banyak Menteri dari Kabinet 103 Menteri yang
ditahan, ABRI sudah merencanakan hendak menangkap Dr. Subandrio, karena
menganggap dia termasuk biang keladi peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Sebuah telegram dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta tanggal 26 Pebruari (1966)
ditujukan kepada Menteri Luar Negeri di Washington menyatakan sebagai berikut:

1. Minta perhatian Departemen Luar Negeri dan Duta Besar Green


untuk .... (tidak dikutip, pen.) sedang kita sudah tentu tidak dalam
kedudukan untuk mengatakan apakah kegiatan kita sebenarnya harus
di ambil terhadap Subandrio. Sumber laporan ini dapat dipercaya dan
saya anggap harus diperhatikan dengan sungguh- sungguh.

2. Sudah ada laporan terdahulu, paling sedikit tanggal 10 Nopember


yang lalu (1965) bahwa Tentara akan "mengambil" Subandrio. Ini
ternyata palsu. Akan tetapi Tentara sekarang merasa lebih putus asa.
Kelompok berhaluan keras memperbesar tekanan mereka untuk
sesuatu bentuk tindakan dan Tentara mempunyai risiko untuk
mendapat nama buruk, kalau gagal melakukan tindakan lanjut dengan
kesempatan baik yang sudah diciptakan mahasiwa. Tambahan pula
laporan menunjukkan bahwa pimpinan tertinggi Tentara jauh lebih
bersatu dari pada sebelumnya dalam keputusan untuk menyingkirkan
Subandrio. Ia menempel bagai lem pada Istana. Akan tetapi Tentara
pasti mempunyai kekuatan untuk mendapatkan dengan salah satu
cara, kalau memang mempunyai kemauan untuk melakukannya.

3. Penyingkiran Subandrio tidak akan seluruhnya mengubah


kecenderungan sekarang di Indonesia. Tentara masih harus
menghadapi Sukarno dan tujuannya tidak akan berubah. Akan tetapi,
tanpa Subandrio sebagai wakilnya, Sukarno akan mempunyai jauh lebih
banyak kesulitan untuk memaksakan rencananya (CONEFO, Poros
Peking, kebangkitan neo-PKI). Lagi pula fakta tentara bertindak
terhadap anteknya, akan mempunyai pengaruh yang menenangkan
kepadanya dan dia mungkin akan lebih mudah dikendalikan. Bahkan
kalau ia akan mencoba menyerang tentara sebagai pembalasan,
kenyataan bahwa tentara sudah melakukan langkah pertama, akan
memudahkan langkah kedua terhadap Sukarno sendiri.

4. Kami tidak tahu sifat atau penentuan waktu untuk bergerak, akan
tetapi menurut perkiraan pendahuluan kami, Tentara mempunyai
kemampuan untuk melakukannya tanpa me- nimbulkan perang saudara
atau kerusuhan lokal yang serius. Gerakan cepat dan efektif terhadap
Subandrio, mungkin tidak akan berulang, tidak akan ditentang oleh
unit-unit militer yang lain, teristimewa kalau Sukarno tidak cedera. Akan
tetapi selalu ada kemungkinan perkembangan yang tidak diduga atau
ceroboh. Oleh karena itu kami mengulangi peringatan kepada orang-
orang Amerika untuk sedapat mungkin berdiam diri dan kami akan
mengambil tindakan selanjutnya untuk memperketat keamanan
perwakilan. Kami merasa tidak perlu mengulang, tidak perlu ada
tindakan lebih lanjut pada waktu ini.

CP-1

Lydman

BT

Catatan:

Advance copy ke S/S-o pukul 1:27 pagi, 26/2/66 melewati Gedung Putih pukul 1:37
pagi, 2612166. Gedung Putih menasehatkan staf Kedutaan Besar Amerika "untuk
berdiam diri" kalau Tentara Indonesia "mengambil" Subandrio, 65)

65) The Declassified Documents Respective Collection, 1977, # 129 D,


26 Pebruari 1966. Disunting oleh William L Bradley dan Mochtar Lubis
dalam "Dokumen-dokumen pilihan tentang politik luar negeri Amerika
Serikat di Asia", hal. 177-179.

Pada tanggal 4 Maret 1966, Pak Harto minta izin kepada Presiden Sukarno hendak
menangkap sejumlah Menteri yang dianggap terlibat G30S/PKI, tapi Presiden
menolaknya. Menurut Jenderal Soemitro dalam bukunya (disunting oleh Ramadhan
K.H.) "Soemitro, Dari PANGDAM Mulawarman Sampai PANGKOPKAMTIB" (terbit
April 1994), Sebelum 11 Maret 1966, ada rapat staf SUAD yang dipimpin oleh Pak
Harto. Rapat itu mendengarkan briefing dari Pak Harto, dan sampai pada keputusan
hendak memisahkan Bung Karno dari apa yang disebut " Durno- durno"-nya.
Diputuskan, sejumlah Menteri akan ditangkap, yang harus dilakukan oleh RPKAD
pada saat ada sidang Kabinet di Istana Merdeka, 11 Maret 1966.

Yang ditugaskan membuat Surat Penangkapan, Jenderal Soemitro selaku Asisten


Operasi MEN/PANGAD, kemudian meneruskan kepada KOSTRAD dan RPKAD
untuk pelaksanaannya.

Namun sebelum penangkapan dilaksanakan, tiba-tiba datang perintah lagi dari Pak
Harto kepada Jenderal Soemitro melalui Asisten Vll, Alamsyah, supaya Surat
Perintah Penangkapan dicabut kembali. Jenderal Soemitro menyatakan, pencabutan
tidak mungkin dilaksanakan, karena pasukan sudah bergerak.

Sebelum itu, Panglima KOSTRAD Umar Wirahadikusumah sudah memerintahkan


Kepala Stafnya, Kemal Idris, supaya membatalkan perintah menangkap Subandrio,
tapi ditolaknya, dengan alasan perintah sudah jalan dan Istana sudah dikepung sehari
sebelum sidang Kabinet.

Meski pun demikian penangkapan Subandrio tidak berhasil dilaksanakan hari itu.

Sesudah keluarnya Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) 1966, Subandrio baru


ditangkap di Wisma Negara dalam komplek Istana Jakarta, yang dilakukan setelah
Presiden Sukarno lebih dulu disingkirkan oleh "Tjakrabirawa", dibawa ke Istana
Bogor. Tjakrabirawa menolak penangkapan Subandrio dilakukan, selagi Presiden
berada di Istana Jakarta. Ternyata Presiden Sukarno sendiri tidak berusaha
menyelamatkan Subandrio dari penangkapan.

Tentang usaha hendak menangkap Subandrio, dikemudian hari diceritakan oleh


Letnan Jederal (purn.) Achmad Kemal Idris kepada mingguan "Tempo" (20 Oktober
1990) bahwa sehari sebelum sidang Kabinet 103 Menteri di Istana Merdeka, ia dalam
statusnya sebagai Kepala Staf KOSTRAD, menempatkan pasukan RPKAD tanpa
inisial mengelilingi Istana, dengan tugas untuk menangkap Subandrio yang dianggap
salah satu tokoh G30S. Dikatakannya bahwa Pak Harto-lah yang memerintahkan
penangkapan itu, bagaimana caranya, terserah.

Tapi ketika sidang Kabinet sedang berjalan (11 Maret 1966) Ajudan Senior Presiden,
Brigadir Jenderal Moh. Sabur, melapor kepada Presiden bahwa ada pasukan yang
tidak dikenal me- ngelilingi Istana dan ada kekhawatiran pasukan ini akan menyerbu.
Oleh karena itu Presiden Sukarno segera diamankan ke Istana Bogor dengan
Helicopter yang tersedia di halaman depan Istana. Subandrio yang menjadi sasaran
hendak ditangkap, ikut dengan Bung Karno ke Bogor. Hari itu usaha menangkap
Subandrio, gagal.

Pada tahun 1993, Kemal Idris menceritakan lagi kepada wartawan "Forum Keadilan"
66) bahwa Amirmachmud sebagai Panglima KODAM V/Jaya mengetahui dialah yang
menempatkan pasukan tanpa tanda-tanda pengenal di sekeliling Istana. Tapi kata
Kemal Idris, dia memang yang bertanggungjawab mengenai penggerakan pasukan,
sedang Amirmachmud sebagai Panglima KODAM, hanya melaksanakan tugas
teritorialnya.

66) "Forum Keadilan", 22 Juni 1993

Waktu berkumpul di KOSTRAD, Kemal Idris dapat perintah supaya menarik pasukan
itu. Yang memerintahkan penarikan pasukan, ialah Letnen Jenderal Maraden
Panggabean (Pejabat Panglima Angkatan Darat) melalui Amirmachmud, Panglima
KODAM V/jaya. Kemal Idris tidak mau melaksanakannya. " Kalau pasukan saya
tarik, apa SUPERSEMAR akan jadi?", kata Kemal Idris.

Menurut Kemal Idris, karena pasukan tetap berada di sekitar Istana, maka Bung
Karno kabur ke Bogor. Setelah Bung Karno pergi, Pak Harto menulis surat kepada
Bung Karno yang dibawa oleh 3 Jenderal (Basuki Rachmat, M. Yusuf dan
Amirmachmud), isinya kira-kira menyatakan tidak bisa bertanggungjawab mengenai
keamanan, kalau tidak diberikan lebih banyak kekuasaan untuk menumpas
G30S/PKI dan mempertanggung-jawabkan keamanan.

Ketika ditanya, setelah keamanan pulih, haruskah kewenangan itu dikembalikan


kepada Bung Karno?, Kemal Idris menjawab: "Iya, cuma sampai di situ saja, tidak
berarti dia (Soeharto) me- ngambil alih kekuasaan. Jadi, setelah keamanan bisa
dipulihkan, kekuasaan itu harus dikembalikan kepada Bung Karno. Tapi MPRS
menghendaki lain".

Sebelum sidang Kabinet dimulai, Presiden Sukarno bertanya kepada Amirmachmud,


apakah situasi keamanan memungkinkan Sidang Kabinet diadakan?, yang dijawab
"bisa", sambil memberikan jaminan: AMAN!
Itulah sebabnya ketika 3 Jenderal yang diutus oleh Pak Harto menemui Bung Karno
di Bogor, sekali lagi Bung Karno bertanya kepada Amirmachmud, bagaimana situasi
sebenarnya, yang dijawab oleh Amirmachmud bahwa keadaan AMAN. Waktu itu ia
dibentak oleh Bung Karno sambil mengatakan "Kau bilang aman, aman, tapi
demonstrasi jalan terus".67)

67) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 56.

Kedatangan 3 Jenderal ke Bogor yang menurut Kemal Idris membawa surat Pak
Harto menyebabkan lahirnya Surat Perintah 11 Maret. Tapi mantan Asisten Operasi
MEN/ PANGAD Jenderal Soemitro mengatakan, bukan 3 Jenderal yang
menyebabkan SUPERSEMAR keluar, melainkan karena RPKAD mengepung Istana.

Ketika membaca teks SUPERSEMAR dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta untuk
disampaikan kepada Pak Harto, Amirmachmud mengatakan: "Koq ini penyerahan
kekuasaan".68)

Oleh karena itu dikatakannya, Surat Perintah tersebut adalah MUKJIZAT dari Allah
SWT kepada rakyat dan bangsa Indonesia. 69)

68) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 59.

69) Ibid, hal. 59. Istilah MUKJIZAT yang digunakan oleh Amirmachmud
di sini, adalah istilah agama yang berarti: Kejadian yang menyimpang
dari hukum-hukum alam (menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
yang diolah oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa).
Mukjizat hanya diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi dan Rasul.

Akhirnya setelah pemegang SUPERSEMAR melaksanakan perintah itu,


pertama-tama dilakukannya membubarkan PKI, disusul dengan penahanan 15
Menteri. Tindakan ini sangat mengejutkan Bung Karno, karena tidak dikonsultasikan
dulu dengan Prèsiden/Panglima Tertinggi ABRI, seperti yang dimaksud dalam Surat
Perintah tersebut. Langkah pun dipercepat dengan memanggil Sidang Umum IV
MPRS 25 Juli 1966, lalu membubarkan Kabinet Dwikora yang menteri- menterinya
sudah ditangkap lebih dulu 15 orang, sesudah mana Jenderal Soeharto lalu
membentuk Kabinet AMPERA dengan ia sendiri sebagai ketua Presidium Kabinet itu.
Klimaksnya, diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 s/d 12 Maret
1967, yang mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden, karena
Presiden Sukarno sudah divonis oleh Sidang Istimewa MPRS dengan Ketetapan
No.XXXIII/1967 yang mencabut semua kekuasaannya dari Pemerintahan Negara.
Semua itu kata Amirmachmud, berhulu dari SUPERSEMAR.70)

70) H. Amirmachmud Menjawab, hal. 61.

Sejak SUPERSEMAR diluncurkan, sebenarnya Bung Karno tidak mampu lagi


mengantisipasi situasi secara tepat.

Berikut ini kutipan penilaian Bung Karno yang meleset mengenai perkembangan
situasi yang diucapkannya dalam Amanat Proklamasi 7 Agustus 1966. Bung Karno
berkata:
" .......Tahun 1966 ini, - kata mereka -, ha, eindelijk, eindelijk at long last, Presiden
Sukarno telah dijambret oleh rakyatnya sendiri; Presiden Sukarno telah dikup;
Presiden Sukarno telah dipreteli segala kekuasannya; Presiden Sukarno telah
ditelikung oleh satu "triumvirat" yang terdiri dari Jenderal Soeharto, Sultan Hamengku
Buwono dan Adam Malik. Dan " Perintah 11 Maret" kata mereka: "Bukankah itu
penyerahan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto?"

Dan tidakkah pada waktu sidang MPRS yang lalu, mereka - reaksi musuh-musuh kita
- mengharapkan, bahkan menghasut-hasut, bahkan menujumkan, bahwa sidang
MPRS itu sedikitnya akan menjinakkan Sukarno, atau akan mencukur Sukarno
sampai gundul sama sekali, atau akan mengdongkel Presiden Sukarno dari
kedudukannya semula?

Kata mereka dalam bahasa mereka, "The MPRS session will be the final setlement
with Sukarno", artinya sidang MPRS ini akan menjadi perhitungan terakhir - laatste
afrekening - terhadap Sukarno. Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang
sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya Surat
Perintah 11 Maret adalah satu penyerahan pemerintahan. Dikiranya Surat Perintah 11
Maret itu satu "transfer of authority". Padahal tidak! Surat Perintah 11 Maret adalah
satu perintah pengamanan .......bukan penyerahan pemerintahan. Bukan transfer of
authority.

Mereka, musuh, sekarang kecele sama sekali, dan sekarang pun, pada hari
Proklamasi sekarang ini, mereka kecele lagi: Lho, Sukarno masih Presiden, masih
Pemimpin Besar Revolusi, masih Mandataris MPRS, masih Perdana Menteri: Lho,
Sukarno masih berdiri lagi di mimbar ini! 71)

71) Presiden Sukarno, Amanat Proklamasi IV 1961-1966, Inti Idayu


Press bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan Soekarno, hal.
199-200.

Demikian Cuplikan pidato Bung Karno yang mengevaluasi situasi waktu itu, penilaian
mana meleset sama sekali. Yang benar justru penilaian musuh, yang diejek oleh
Bung Karno.

Urut-urutan kejadian yang mengikuti Surat Perintah 11 Maret, sama sekali tidak
membuktikan kecelenya musuh, seperti yang digambarkan oleh Bung Karno.

Baru belakangan, 10 Januari 1967, Bung Karno memberikan penilaian yang benar
mengenai sebab musabab terjadinya Gerakan 30 September 1965, antara lain karena
ada oknum- oknum yang tidak benar dalam tubuh kita sendiri.

BAB VIII

LANDASAN YANG RAPUH

PADA bulan Mei 1978, KOPKAMTIB di bawah Panglima Sudomo, pernah


menerbitkan semacam BUKU PUTIH tentang G30S/PKI, yang isinya memastikan
PKI sebagai dalang, juga menuduh Bung Karno sebagai pihak yang terlibat. Satu
tuduhan yang sungguh mengandung risiko tinggi. Karena seperti sudah diuraikan
pada bagian lain, tidak ada pengadilan yang pernah memastikan Bung Karno terlibat,
padahal pengadilanlah satu-satunya instansi yang kompeten untuk pemastian itu.
Apa lagi persyaratan ini dicantumkan dalam Ketetapan MPRS No. XXXIII 1967,
menyebutkan bahwa "penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut
diri Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan".

Mantan Jasa Agung dan Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, S.H., dalam wawancara
dengan mingguan "Detik" 16 Pebruari 1994 menanggapi tuduhan keterlibatan Bung
Karno dalam G30S/PKI menyatakan bahwa kita harus membedakan antara sekedar
memihak PKI dengan memihak dalam arti pemberontakan. Kalau memihak PKI
sebagai Presiden untuk tujuan mempersatukan, dapat dipahami, karena semuanya
harus dirangkul. Dan merangkul seperti itu, memang biasa dilakukan oleh pimpinan
dan ini tidak berarti terlibat. Orang ingin mengatakan bahwa Bung Karno memihak
(PKI). Ini sesuatu yang simplistik. Tidak demikian! Kita kan sudah bisa menilai peran
Bung Karno dalam sejarah kita. Tidak patut serta meria turut menghakimi bakwa
beliau terlibat, kata Ismail Saleh.

Juga Mantan Panglima KOPKAMTIB Soemitro, menyatakan kepada wartawan


"Amanah" 21 Maret 1 994, bahwa meski pun ABRI kecewa atas sikap Bung Karno
yang tidak mau membubarkan PKI, tapi tidak terlintas sedikit pun menuduh Bung
Karno terlibat G30S/PKI. Sama sekali tidak!

Jadi, penyidik hukum mana yang sudah memastikan bahwa Bung Karno terlibat
G30S/PKI, sehingga ketua MPRS waktu itu Jenderal A.H. Nasution berupaya keras
menggiring MPRS supaya mengadakan Sidang Istimewa yang dibuka pada 7 Maret
1967 untuk menggulingkan Presiden Sukarno dengan alasan keterlibatan itu?

Banyak yang berpendapat bahwa Jenderal A. H. Nasution meng- harapkan, sesudah


Presiden Sukarno digulingkan, dialah yang berpeluang dipilih menggantikannya,
sesuai dengan apa yang ditulis oleh wartawan Belanda, William Oltmans, bahwa
rencana ini jauh hari sebélumnya, sudah dipolakan dan dikampanyekan di luar negeri.

Tapi pada saat-saat yang menentukan, justru ia tidak berani mengambil inisiatif untuk
tampil, sedang waktu itu yang diperlukan, di samping kemampuan, juga keberanian.
Syarat ini dinilai ada pada Pak Harto. Itulah sebabnya yang diusulkan dan dipilih oleh
MPRS untuk menggantikan Presiden Sukarno yang digulingkan, Jenderal Soeharto
dan bukan Jenderal A.H. Nasution.

Dengan tangkas Jenderal Soeharto pada 13 Maret 1967 mengucapkan pidato dalam
rangka mengamankan pelaksanaan proses penggantian Presiden, dengan
mengatakan:

Kedudukan Presiden Sukarno telah ditegaskan oleh MPRS, oleh pemegang


kekuasaan tertinggi, oleh pemegang kedaulatan rakyat yang merupakan penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia, yang akan kami laksanakan sebaik-baiknya dengan
bantuan dan kepercayaan dari seluruh rakyat.

Marilah kita semua tidak lagi mempersoalkan kedudukan Bung Karno!


Tidak terduga, sesudah Bung Karno terguling, Jenderal A. H. Nasution tidak lagi bisa
melanjutkan kiprahnya, karena ia pun segera tersingkir dan di hari tuanya
sakit-sakitan.

Ada pun bekas tahanan politik (Tapol) G30S/PKI, sesudah melalui masa seperempat
abad, tetap saja dinyatakan sebagai bahaya laten dan komunisme meski pun sudah
dilarang masih saja dinyatakan sebagai ancaman di Indonesia. Sebuah buku
berjudul "Sekitar Padnas, Bahaya Laten & Tapol G30S/PKI" diterbitkan oleh
Lembaga Pertahanan Nasional, memuat 16 tulisan yang menyoroti bahaya laten
komunis dan sisa-sisa kekuatannya.

Buku ini menjelaskan bahwa keruntuhan komunisme, tidaklah dengan sendirinya


membawa kelumpuhan pada kekuatan sosial yang berorientasi kepada Marxisme,
karena adanya 4 faktor pendukung:

1. Masalah sosial-ekonomi yang diidentifikasi dan dideskripsikan oleh


analis Marxis sebagai kritik sosial, tetap menarik, seperti kesenjangan
sosial, kemiskinan dan eksploatasi tenaga manusia.

2. Janji kesanggupan Marxisme untuk mengubah nasib hidup menuju


emansipasi.

3. Perangkat teori Marxisme sebagai disiplin ilmu serta metodologi


yang mendukungnya, telah berkembang dan menjadi daya tarik
tersendiri, terutama di Barat.

4. Komunisme sebagai sistim, ajaran, metode dan gerakan, tetap


menarik dan dapat saja dimanfaatkan oleh siapa pun dalam mencapai
tujuannya, tanpa yang bersangkutan menjadi komunis.

Marxisme sebagai filsafat dan teori sosial, tidak menghilang dengan runtuhnya sistim
komunisme.

Itulah sebabnya mengapa G30S/PKI tetap bahaya laten dan berbagai hak azasi ratusan ribu
orang
yang pernah ditahan karena kasus itu, direnggut dengan " Instruksi Menteri Dalam Negeri
No.
32/1981", dimana ditetapkan banyak ketentuan yang harus ditaati. Untuk menyebutkan
sebagian
kecil saja dari padanya, antara lain:

1. Keharusan mencantumkan kode ET (Eks Tapol) pada Kartu Tanda Penduduk.


Pencantuman kode ET ini mengakibatkan dihambatnya yang bersangkutan mencari
pekerjaan dan semua pasar kerja akan takut menerimanya.

2. Melakukan pembatasan pekerjaan bagi mereka untuk menjadi dosen/guru,


wartawan, lembaga bantuan hukum, pendeta dan sebagainya yang tidak diperinci,
sehingga sangat elastis.
3. Mencegah mereka memasuki kegiatan kemasyarakatan yang dianggap mungkin
menimbulkan kerawanan di bidang sosial- politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya dan
KAMTIBMAS.

4. Untuk bepergian dalam negeri meninggalkan kelurahan/desa tempat domisilinya


lebih dari 7 hari, harus dengan izin khusus. Warganegara biasa, tidak memerlukan
izin itu.

5. Untuk bepergian ke luar negeri atau melakukan ibadah Haji, harus mempunyai
konduite baik dan ada jaminan tertulis dari seseorang/instansi yang dapat
dipertanggungjawabkan bahwa yang bersangkutan akan kembali ke daerah domisili
semula, serta telah mendapat santiaji dari pejabat atau petugas setempat.

Meski pun Panglima ABRI Jenderal Faisal Tanjung dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR
13
Desember 1993 telah menyatakan tidak keberatan atas penghapusan kode ET yang terkesan
tidak manusiawi itu, mengingat tidak ada lagi masalah dari segi keamanan, tapi Departemen
Dalam Negeri tetap mempertahankan sistim hukuman tanpa putusan pengadilan itu, berlaku
bagi
orang-orang bekas tahanan politik.

Berbagai lembaga yang bergerak di bidang Hak Azasi Manusia telah mengajukan persoalan
ini
kepada Komisi Nasioanal Hak Azasi Manusia untuk diperhatikan. Hukuman kolektif
semacam ini,
tidak mempunyai dasar hukum dalam sistim UUD 1945 dan bertentangan dengan Deklarasi
Sedunia Tentang Hak Azasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum
PBB 10
Desember 1948.

Dalam Mukaddimah Deklarasi itu antara lain dikatakan:

Bahwa sikap tidak memperdulikan dan sikap menghina hak-hak azasi manusia,
mengakibatkan
tindakan biadab yang mendatangkan amarah pada hati nurani manusia.

Bahwa penting sekali hak-hak azasi manusia dilindungi oleh hukum, supaya manusia tidak
mengambil jalan lain yang terakhir, dengan pemberontakan terhadap tirani dan penindasan.

Pasal 13:

Setiap orang berhak untuk bergerak dan memilih tempat tinggalnya secara bebas
dalam batas wilayah setiap negara.

Pasal 23:

Setiap orang berhak untuk bekerja, untuk memilih pekerjaan yang bebas, untuk
mendapat syarat bekerja yang menguntungkan dan perlindungan terhadap
pengangguran.
Oleh karena itu apa yang diterapkan dengan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981,
tidak lain
dari upaya untuk mempertahankan supaya G30S/PKI tetap menjadi issue bahaya laten.

Bahwa PKI yang menggerakkan coup d'état yang gagal itu, tidak terbantahkan lagi. Hanya
masalahnya tidak sederhana dan selesai sampai di situ, karena ternyata banyak juga jaringan
lain
yang disebut-sebut ikut terkait di dalamnya. Jika kasus ini tidak segera ditutup, akan makin
merebak saja dan makin banyak lubang- lubang yang selama ini seolah-olah tertutup,
potensial
berpeluang terbuka.

Yang jelas makin terungkap: Bahwa Bung Karno ternyata tidak terlibat kasus G30S/PKI,
seperti
tuduhan bertubi-tubi sebelumnya.

Kasus G30S/PKI sendiri seperti yang disimpulkan MPRS dan dituduhkan kepada Bung
Karno,
tidak pernah dimasukkan dalam GBHN yang disampaikan kepada Mandataris supaya
dipertanggung- jawabkan. Yang disampaikan kepada Presiden/ Mandataris, hanya NOTA
PIMPINAN MPRS No. 2/1966 yang minta melengkapi Laporan Pertanggungjawaban
Presiden yang
dikenal dengan "Pelengkap Nawaksara", yang isinya dengan mudah saja ditolak oleh MPRS.
Waktu menyampaikan " Pelengkap Nawaksara" itu, Presiden Sukarno sudah menegaskan
bahwa
sesuai dengan bunyi pasal 3 UUD 1945 dan penjelasannya, hanyalah Keputusan MPR
mengenai
GBHN yang harus dipertanggungjawabkan dan bukan tentang hal-hal yang lain. Sedang
kasus
G30S/PKI tidak masuk GBHN.

Alasan bahwa Presiden sebagai Mandataris MPRS tidak dapat memenuhi


pertanggungjawaban
Konstitusionalnya (mengenai kasus G30S/PKI), menjadi tidak jelas, bahkan absurd.

Apa lagi alasan yang dicantumkan dalam TAP MPRS No. XXXIII 1967 yang menuduh
Presiden/Mandataris tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban Konstitusionalnya, sangat
sumir,
tidak dijelaskan apa bentuk konkrit pelanggaran yang dilakukan, padahal Ketetapan itu
menyangkut perubahan ke-tata-negaraan yang sangat fundamental, yaitu menjatuhkan
seorang
Presiden Konstitusional.

Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 itu, lebih dirasakan sebagai ketetapan emosional atau
balas
dendam.

Oleh karena itu alasan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI yang diangkat oleh MPRS
untuk
menggulingkannya sebagai Presiden dan mencabut semua hak politiknya, dengan mengatas-
namakan wewenang Konstitusi, landasannya sangat rapuh.
Ketetapan MPRS No. XXXIII 1967, mengandung kekurang-cermatan Konstitusional yang
memerlukan koreksi.

BAB IX

"SUKARNOISME" DAN "DE-SUKARNOISASI"

SEGERA setelah Presiden Sukarno diturunkan dari tahta kekuasaan dan mencabut
semua hak politiknya, ia pun dikenakan tahanan, resminya diumumkan .1968 tapi
sebelumnya sudah dilakukan sampai wafatnya, 21 Juli 1970. Begitu ketatnya
penahanan ini, sehingga jenazahnya pun tidak boleh dibawa ke rumah keluarganya
(Ibu Fatmawati), tapi harus dibawa kembali ke tempat tahanannya di Wisma Yaso,
sebelum dimakamkan.

Banyak waktu untuk mengusut dan menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bagi
Bung Karno sebelum wafatnya, jika ia memang dianggap bersalah, untuk memenuhi
ketentuan pasal 6 Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 yang berbunyi:

Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir.


Sukarno, dilakukan menurut ketentuan- ketentuan hukum dalam rangka menegakkan
hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pj. Presiden.

Tapi ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan, sedang vonnis sudah jatuh mendahului
penyidikan hukum yang seharusnya dilakukan. Azas "praduga tak bersalah" yang
dianut dalam sistim hukuom Republik Indonesia, tidak berlaku untuk kasus Bung Karno.

Sesudah Bung Karno digulingkan, histeria atas semua yang berbau Sukarno,
dikobarkan. Juli 1967 lahir apa yang dikenal dengan "Tekad Yogya", yaitu tekad para
Panglima KODAM se-Jawa tentang "de-Sukarnoisasi".

Jenderal A. H. Nasution dalam bukunya " Dari Kup 1 Oktober 1965 ke Sidang
Istimewa MPRS 1967", menyambut "Tekad Yogya" dengan mengatakan bahwa sikap
TNI dalam persoalan ini, dapat dimengerti (hal. 69).

De-Sukarnoisasi cepat sekali merebak seperti epidemic yang menyerang ke


mana-mana. Semua ajaran Bung Karno dinyatakan: Dilarang! Sampai-sampai Dasar
Negara, "Pancasila" yang dirumuskan oleh Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945,
harus diperlakukan sebagai bukan hasil pemikiran Bung Karno.

Ketika jajaran Pembina Politik di Departemen Dalam Negeri berusaha menahan


desakan arus bawah yang murni, bukan direkayasa, (di lingkungan GOLKAR katanya
ada arus bawah yang direkayasa, Pen.), yang mendukung tampilnya Megawati
Sukarnoputri memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sedang mengalami
krisis kepemimpinan dalam kongres ke-V (Kongres Luar Biasa) di Surabaya (2-6
Desember 1993), ditudinglah Mega sebagai pewaris "Sukarnoisme" akan
menghidupkan kembali ajaran Sukarno yang selama ini tabu. Terutama yang paling
ditakuti, dihidupkannya kembali NASAKOM.

Ketakutan terhadap NASAKOM yang dianggap masih gentayangan, sangat tidak


logis, karena KOM (komunis) dalam kenyataan telah dibasmi dan tidak ada lagi.
Bukan saja Pemerintah telah membasminya, tapi juga golongan Agama dan
Nasionalis sudah menolaknya, sehingga persekutuan itu tidak lagi terkondisi untuk
direalisasi dan oleh karenanya tidak mungkin juga dimaterialisasikan.

NASAKOM bukan suatu pandangan hidup yang mempunyai perangkat teori. Di masa
hidupnya, hanya digunakan oleh masyarakat Indonesia waktu itu untuk satu tujuan
tertentu: bersatu. Ketika kebutuhan itu sudah lewat dan kondisinya berubah, maka
dasar hidupnya pun menjadi absurd.

Istilah "Sukarnoisme" juga mempunyai sejarah yang berada di luar keinginan Bung
Karno, bahkan ditolaknya.

Rupanya orang pura-pura melupakan siapa yang merekayasa lahirnya istilah


"Sukarnoisme' sebagai penamuan atas ajaran Bung Karno. Kalau para pembenci
ajaran Sukarno waspada, mereka tidak akan menggunakan "Sukarnoisme" sebagai
senjata mengintimidasi Megawati, karena bisa menampar muka sendiri.

Mengapa?

Karena bukan saja sejak diperkenalkannya istilah "Sukarnoisme", sudah mendapat


dukungan dari Angkatan Darat, juga " Sukarnoisme" adalah satu ajaran yang
dimanfaatkan oleh satu gerakan yang bernama "Badan Pendukung Sukarnoisme"
(BPS), menjelang kelahiran "Orde Baru". Organisasi ini bergerak di lingkungan pers,
radio dan televisi. Tokoh-tokohnya antara lain B.M. Diah, Adam Malik, Sayuti Melik,
J.K. Tumakaka, Harmoko, Sukowati, Djoehartono dan beberapa tokoh Angkatan
Darat lainnya.

Yang diterima menjadi anggota: surat kabar, majalah, wartawan profesional,


orang-orang yang mengaku wartawan, atau yang baru diangkat menjadi wartawan
dengan memenuhi syarat: Anti PKI. Mereka memperkenalkan diri sebagai organisasi
persurat-kabaran, sama dengan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Ini untuk
menghindarkan supaya tidak dituduh sebagai organisasi tandingan PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia). Tapi SPS sama sekali tidak menerima keanggotaan wartawan
atau orang yang baru diangkat menjadi wartawan seperti yang dilakukan oleh BPS.
Anggota SPS hanyalah perusahaan suratkabar, bukan perorangan. Organisasi ini
bergerak di bidang bisnis.

BPS didirikan pada 1 September 1964, setahun mendahului G30S dengan


mempopulerkan "Sukarnoisme" sebagai senjata untuk mendukung penyelesaian
revolusi dan terbentuknya masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila
dan berpedoman MANIPOL/ USDEK.

Menurut siaran BPS, simpati langsung diperolehnya dari Jenderal A.H. Nasution, di
samping sejak awal juga sudah menerima dukungan dari Amerika Serikat. Tapi
dukungan Washington dikritik oleh pers Amerika sendiri sebagai satu kekeliruan,
karena terlalu cepat memberikan dukungan, sehingga menimbulkan kecurigaan
rakyat Indonesia.

Presiden Sukarno dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1965 mengatakan, tujuan


BPS yang sebenarnya ialah memecah persatuan nasional dengan
mengacau-balaukan pengertian NASAKOM. BPS malah dikatakan terlibat satu . BPS
malah dikatakan terlibat satu rencana jahat. Organisasi ini melakukan kriminalitas
politik dan kriminalitas biasa.

Sebelum pidato ini, pada 17 Desember 1964 Presiden sudah membubarkan BPS dan
pada 23 Pebruari 1965 memerintahkan supaya semua atribut BPS ditutup dan
dihentikan kegiatannya. "Sukarnoisme" yang dimaksudkan sebagai ajaran Bung
Karno, di tangan BPS menjadi lain artinya, yaitu menunggu momentum untuk
menghancurkan ajaran itu.

Tugas BPS sebenarnya, dinyatakan dalam program perjuangannya yaitu berperan


sebagai champion social dengan melakukan economic reform dan political reform,
satu tatanan baru yang menolak tatanan ekonomi dan politik yang sedang
operasional, seperti yang digariskan oleh Bung Karno dan sudah disahkan menjadi
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh MPRS.

Oleh tindakan Bung Karno di atas, BPS merasa dirinya telah menjadi martir dari satu
perjuangan. Maka pada 13 Nopember 1982, bertempat di kantor PWI (waktu itu
beralamat jalan Veteran 7-C), diadakan pertemuan sehari yang dipimpin oleh ketua
PWI (tokoh BPS) Harmoko (kemudian Menteri Penerangan 3 periode berturut-turut),
dihadiri kurang lebih 50 wartawan bekas anggota BPS.

Pertemuan ini mengangkat sejarah kepahlawanan orang-orang BPS melawan


komunis dan sekutu-sekutunya, yang berhasil meruntuhkan PKI dan lahirlah ORDE
BARU.

Sepuluh tokoh BPS yaitu: 1. Sumantoro, 2. Asnawi Idris, 3. Suhartono, 4. Sutomo


Sutiman, 5. Sumantri Martodipuro, 6. Tengku Sjahril, 7. H.A. Dahlan, 8. Arif Lubis, 9.
Sayuti Melik dan 10. Zein Efendi, dianugerahi Piagam Penghargaan "Satya Penegak
Pers".

Di samping itu pada 1983, diterbitkan buku yang berjudul "Perlawanan Pers Indonesia
BPS terhadap gerakan PKI", ditulis oleh Tribuana Said dan D.S. Muljanto. Buku ini
sangat menarik, karena membuka baju penyamaran BPS dan memakai baju aslinya
sambil mengakui adanya hubungan BPS dengan unsur-unsur Angkatan Darat dan
beberapa partai politik MURBA, NU, IPKI dan PSII.

Tipu muslihat lain yang menyesatkan, ditampilkannya program ikut membantu,


membela, memberikan penerangan dan mendukung kebijaksanaan Pemerintah Pusat
(Orde Lama) sebagai konsekwensi berdirinya BPS di belakang Pemimpin Besar
Revolusi Bung Karno, untuk menyelesaikan revolusi serta sebagai pengemban
"Sukarnoisme".

Untuk mencapai semua ini, dijanjikan langkah menjaga pelaksanaan "Sukarnoisme"


dengan seksama, berusaha mengumpulkan buku- buku ajaran Bung Karno sejak
zaman perjuangan di masa penjajahan, sampai pada zaman kemerdekaan, guna
disebar-luaskan dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Berusaha
mengumpulkan ucapan-ucapan Bung Karno, baik yang tertulis mau pun tidak, dulu
dan sekarang sampai pidato TAVIP dan ajaran-ajaran pada waktu-waktu selanjutnya

Tapi dalam kenyataan, semua itu hanyalah jargon. Terbukti sesudah Bung Karno
ditumbangkan, semua ajaran Bung Karno disapu bersih.
Oleh karena itu Bung Karno tidak keliru menilai BPS sebagai gerakan "to kill
Sukarnoisme" - hendak mematikan ajaran Sukarno.

Ketika memerintahkan pelarangan seluruh atribut BPS dalam rapat umum PWI "Maju
Tak Gentar", Bung Karno menegaskan lagi, BPS itu anti NASAKOM. NASAKOM
adalah wadah yang diciptakan oleh Bung Karno untuk mempersatukan kekuatan
nasional melawan neokolonialisme/imperialisme dan membangun tanah air.
NASAKOM disetujui oleh 10 partai politik yang ada di Indonesia dalam pertemuan di
Istana Bogor 12 Desember 1964: PNI, NU, PKI, PERTI, PARTINDO, PSII, MURBA,
IPKI, Partai Kristen dan Partai Katolik yang melahirkan Ikrar 4 pasal:

1. Mendukung politik konfrontasi dengan Malaysia.

2. Memelihara persatuan nasional yang progresif revolusioner


berporoskan NASAKOM.

3. Menempuh musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah.

4. Membantah issue bahwa Bung Karno akan meletakkan jabatan.

Tinggal seorang B.M. Diah dengan suratkabarnya "Merdeka", mantan pemimpin


tertinggi BPS, sesudah ia tidak lagi menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet I
Orde Baru, tampil membela Bung Karno dan ajarannya dari gilasan bekas
kawan-kawan seperjuangannya yang - dulu berjuang bersama-sama dalam BPS. Ia
dulu menjadikan BPS sebagai senjata untuk melawan komunis dan bukan rnelawan
Sukarno, seperti yang dilakukan teman-temannya yang lain.

Sementara BPS sendiri semakin berterus terang membuka rahasia, dengan


mengakui bahwa organisasinya memang gerakan kewartawanan dan bukan
semacam SPS yang hanya mengurus masalah bisnis persurat-kabaran.

Hal ini sudah diantisipasi oleh PWI sejak semula dan mengambil langkah-langkah
untuk ditaatinya ketentuan Peraturan Dasar PWI, yang tidak membenarkan
anggotanya rnerangkap menjadi anggota organisasi kewartawanan nasional selain
PWI.

Itulah sebabnya, pada waktu itu PWI menjatuhkan skorsing terhadap semua
anggotanya yang menjadi anggota BPS.

Untuk selanjutnya BPS tidak perlu lagi berbicara banyak, karena tinggal
menggaris-bawahi apa yang ditulis pendukung mereka di luar negeri, seperti Ricklefs
yang menyambut bahwa BPS dibentuk oleh sekelompok wartawan yang anti PKI,
Van der Kroef mencatatnya sebagai organisasi anti PKI yang dilarang. Sedang Legge
mengatakan, BPS adalah salah satu langkah dalam membangun tirai asap ideologis
dari mana suatu kampanye anti PKI dapat diluncurkan. Semua pengakuan ini dapat
dibaca dalam buku "Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKI".

BPS-lah yang menciptakan "Sukarnoisme" dan sekarang menjelma menjadi hantu


untuk menakut-nakuti orang.

BAB X
PNI YANG MALANG

SEBUAH film dokumenter yang diproduksi oleh ABC melukiskan kegiatan CIA di
berbagai negara, dengan sasaran pokoknya menghancurkan komunis, bukan saja di
negara-negara sosialis Eropa Timur dan Cina, tapi juga dinegara-negara bukan
komunis yang kuat partai komunisnya, seperti Italia dan Indonesia.

Mengenai Indonesia, film ini merekam ulang kunjungan Bung Karno ke Uni Sovyet
dan Cina pada tahun 1956, di mana dilukiskan Bung Karno bermesraan dengan
komunis. Tentu saja gerak-gerik Bung Karno dibayangi terus oleh CIA, bahkan
merupakan obsesi yang makin lama makin memuncak dan akhirnya bermuara pada
Gerakan 30 September yang membawa CIA kepada kemenangan sempurna di
Indonesia. Untuk kemenangan itu, Presiden Richard Nixon (AS) menilai bahwa
perubahan politik di Indonesia tahun 1966, merupakan kemenangan terbesar bagi
Amerika di Asia Tenggara, sesudah sebelumnya mengalami kekalahan yang
memalukan di Vietnam.

Tampil sebagai salah satu narrator pada bagian mengenai Indonesia, Dewi Ratnasari
(istri Bung Karno wanita Jepang) yang berpindah-pindah tinggal di Amerika, Perancis
dan Jepang. Ia mengemukakan bagaimana kegiatan CIA menggulingkan Sukarno
sambil mengemukakan pula bahwa dalam penumpasan Gerakan 30 September 1965,
dua juta rakyat Indonesia dibantai. Mengenai pembantaian ini, pers atau
penulis-penulis Barat hanya mencatat angka 500.000, meski pun angka yang lebih
kecil ini, sudah lebih dari cukup untuk mendirikan bulu roma, namun tidak terlalu
diributkan.

Hardi, SH., salah satu ketua PNI dalam periode 19631966, bercerita bahwa pada
bulan Mei 1965 ia merasa sangat gelisah melihat pesta peringatan 45 tahun
berdirinya PKI. Waktu itu sinarnya sang surya mulai galak menggarang warga
ibukota. Tapi sekali-sekali tampak langit kelabu sebagai tanda peralihan ke musim
kemarau. Dalam pikirannya, suatu kekeringan dalam politik pun akan datang,
kegersangan politik akan muncul, di mana PKI akan melancarkan perebutan
kekuasaan. Ia berpikir dan berpikir terus. Satu firasat semakin merasuk pikirannya,
apakah ini sekedar bayangan atau impian tanpa sadar.

Tapi yang mendorong timbulnya firasat itu, ialah keinginannya memperoleh


kesempatan bertemu muka dengan Bung Karno.

Pada 18 Mei 1965, ia diterima oleh Bung Karno, katanya di kamar tidurnya di Istana
Merdeka. Maka disampaikanlah perhitungan politiknya bahwa PKI akan merebut
kekuasaan dengan mengemukakan sebagai alasan, terjadinya peristiwa Bandar Betsi
di mana seorang Pembantu Letnan dibunuh oleh BTI karena sengketa tanah, aksi
sepihak yang dilancarkan oleh BTI di Klaten (Jawa Tengah) dan Banyuwangi (Jawa
Timur) melawan pemilik tanah anggota-anggota PNI. Semua itu adalah senamsenam
revolusioner yang merupakan persiapan menuju perebutan kekuasaan. "Kita semua
khawatir negara Rl atir negara Rl yang Pancasila, mau dirubah menjadi negara
komunis, maka kita pasti akan yang Pancasila, mau dirubah menjadi negara
komunis, maka kita pasti akan mengalami malapetaka dan perang saudara", kata
Hardi kepada Bung Karno.
Lalu Bung Karno minta, supaya ia berjuang terus dan "baik juga sekali-sekali datang
ke mari berbicara dengan saya". kata Bung Karno kepadanya menurut Hardi.

Hardi mengatakan, Bung Karno tidak mengoreksi atau menyanggah pendapat ini.
Malah kata Bung Karno - Menurut Hardi -, "Ya, jika begitu, saya dapat mengikuti dan
mengerti perasaanmu".

"Dengan terjadinya peristiwa G30S/PKI sebagai perwujudan nyata firasat yang


dikemukakan dalam pembicaraan dengan Bung Karno pada tanggal 18 Mei 1965,
sering menimbulkan rasa penyesalan yang tidak habis-habisnya, karena Bung Karno
ternyata melupakan warning voice yang tersirat dalam firasat seorang muridnya".
Hardi mengatakan bahwa ia adalah murid Bung Karno.

Pada tahun 1968, sewaktu Bung Karno sudah dikenakan karantina politik di Istana
Bogor, Hardi bersama istrinya diundang nonton wayang kulit di Istana Bogor dan
kebetulan mendapat tempat duduk persis di kursi belakang Bung Karno. Bung Karno
berbisik kepadanya, "Mas Hardi, achteraf heb je gelijk"(Mas Hardi, ternyata engkau
benar). Hardi mengatakan, andaikata pikirannya diperhatikan oleh Bung Karno,
G30S/PKI dapat dicegah.72)

Dalam kasus ini, Hardi juga perlu disesali, mengapa "perhitungan politiknya yang
begitu penting tidak disampaikan kepada aparat keamanan, padahal aparat
keamananlah yang harus bertindak jika ada sesuatu yang membahayakan negara".

Tapi berbeda dengan Hardi, Mayor Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara, mantan
Sekretaris Negara dan pernah Menteri Agama Rl, justru mempunyai penilaian,
G30S/PKI tidak mungkin terjadi jika PNI tidak menjalankan politik yang mendekatkan
diri kepada PKI.73)

72) Hardi, Bung Kamo Dalam Kenangan, hal. 32-38, disajikan dalam
peringatan Hari Wafat Bung Kamo 21 Juni 1991 yang diselenggarakan
oleh Yayasan MARINDA Jakarta.

73) Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, hal. 142

Kedua penilaian yang berbeda itu, hakekatnya penilaian hitam- putih yang sederhana
tanpa mempertimbangkan relasinya dengan aspek lain seperti peran Amerika,
terutama CIA, yang berprespektif terjadinya tragedi nasional dan berakhir dengan
digulingkannya Presiden Sukarno, yang bagi Amerika Serikat menjadi tujuan pokok.

PNI yang mempunyai keterkaitan historis-ideologis dengan Bung Karno, yang


seharusnya tampil melindungi pada saat-saat yang paling kritis dalam sejarah
kepemimpinannya, justru bersikap munafik. Ketika Bung Karno dinista oleh
komponen Orde Baru dan menuntutnya supaya di-MAHMILLUBKAN, PNI tidak
membelanya. Pemimpin- pemimpin PNI yang bekerja sama dengan Orde Baru,
dengan cara kasar mengambil alih kepemimpinan Partai dalam Kongres
Pemersatuan yang dipenuhi intrig dan ancaman, dengan melibatkan unsur luar partai.
Kongres Pemersatuan di Bandung dari tanggal 24 sampai 28 April 1966 itu,
mengingkari komitmen PNI terhadap Bung Karno sebagai pendiri PNI dan Bapak
Marhaenisme yang disahkan dalam 2 kali kongres, dengan klimaksnya mengeluarkan
Pernyataan Kebulatan Tekad 21 Desember 1967.
Pernyaratan kebulatan Tekad menegaskan bahwa di bidang ideologi, Marhaenisme
bukan lagi ditafsirkan seperti rumusan penciptanya, yaitu sebagai Marxisme yang
diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia dan alat persatuan anti imperialisme,
kapitalisme dan feodalisme, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio
Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Sedangkan di bidang politik dengan tegas PNI
menyatakan melaksanakan ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 yang tidak
menghendaki lagi kembalinya kepemimpinan politik Sukarno dan menyatakan PNI
tidak terikat pada pemikiran-pemikiran politik Sukarno Prediksi "Bapak Marhaenisme"
yang selama ini melekat pada diri Bung Karno, ditiadakan.74)

74) Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, hal. 197.

Sebelum Pernyataan Kebulatan Tekad diambil, pada tanggal 11 Desember 1967,


Dewan Pimpinan PNI yang diwakili oleh Hardi, SH., Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa,
SH., menghadap Soeharto. Mereka minta supaya Pak Harto membantu PNI
mempercepat proses konsolidasi dan kristalisasi Partai. Soeharto mengatakan
bahwa sikapnya terhadap PNI, akan tergantung bagaimana sikap Angkatan Darat.

Oleh karena itu pada tangal 14 Desember 1967, Osa Maliki, Mh. Isnaeni dan Gde
Djaksa menemui pejabat Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Maraden
Panggabean, untuk menanyakan bagaimana sikap Angkatan Darat terhadap PNI.
Jika PNI memang tidak diperlukan, maka partai ini segera dibubarkan. Panggabean
menjawab bahwa dengan segala kejujuran dan keikhlasan, Angkatan Darat ingin
memberikan bantuan kepada PNI dalam usahanya melakukan konsolidasi dan
kristalisasi.

Penegasan Panggabean ini, oleh PNI disampaikan lagi kepada Pak Harto dan pada
tanggal 21 Desember 1967, datanglah Osa Maliki, Mh. Isnaeni dan Gde Djaksa
menghadap Pak Harto dan menyerahkan Pernyataan Kebulatan Tekad.

Sejak itu, Bung Karno sudah ditempatkan oleh PNI pada satu posisi yang tidak lagi
didukung.

Tapi sejak itu pula PNI mencatat bagaimana massanya berbondong- bondong
meninggalkan partainya dan dalam Pemilihan Umum I yang diselenggarakan~oleh
Orde Baru 1971, partai yang bertanda gambar "Banteng dalam segi tiga" ini
mangalami kekalahan tragis dengan hanya kebagian 8% suara, untuk kemudian
mengumumkan kematiannya dengan memasuki fusi ke dalam Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) tanpa melalui putusan Kongres, bergabung dengan partai-partai kecil:
MURBA, IPKI, Partai Katolik dan Partai Kristen. PNI mengakhiri eksis- tensinya
sebagai partai terbesar simbul nasionalisme Indonesia yang pernah menjadi partai
nomor I dalam Pemilihan Umum I 1955.

Sebetulnya PNI dibangun oleh Bung Karno bersama teman-teman sepahamnya,


untuk mewadahi berbagai aliran politik yang ada di Indonesia, dipersatukan dalam
satu ideologi baru yaitu MARHAENISME. Marhaenisme dirumuskan sebagai satu
ajaran yang mempunyai konsep dasar perjuangan baru melawan penjajahan,
kapitalisme dan feodalisme, setelah Bung Karno melihat terpecah belahnya tiga aliran
politik besar yang ada, yaitu: Budi Utomo yang nasionalistis tapi Jawa sentris,
Serikat Dagang Islam yang menekankan kesetiaan kepada agama, dan Partai
Komunis Indonesia yang kebarat-baratan karena menganut paham sosialisme Barat
dan Marxisme. Usaha Bung Karno mempersatukan aliran-aliran politik dalam
Permufakatan Perhimpunan- Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI),
mengalami kegagalan. PNI dengan Marhaenismenya diharapkan bisa menjadi Partai
Pelopor mepersatukan semua kekuatan politik yang ada. Tiga aliran besar yang
merupakan realitas kekuatan politik di Indonesia, diperhitungkan akan mampu
menumbangkan penjajahan, apabila berjuang bersama-sama dalam satu koordinasi
yang baik.

Program ini mendapatkan rumusan yang lebih sempurna dalam Pidato 1 Juni 1945
yang dikenal dengan Pidato "Lahirnya Pancasila", yang kembali menekankan
mutlaknya persatuan seluruh kekuatan rakyat untuk menopang kemerdekaan.

29 Mei sampai 1 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan


Indonesia (BPUPKI) atau yang dalam bahasa Jepangnya disebut "Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai", bersidang di Jakarta di bawah pimpinan ketuanya, dr. K.R.T. Radyiman
Wediodiningrat. Sidang diminta oleh ketua supaya mengemukakan dasar bagi Negara
Indonesia Merdeka.

Bung Karno sebagai pembicara terakhir, mengemukakan secara terperinci mengenai


dasar yang dimaksud, diucapkan tanpa teks dan isi pidatonya dicatat dalam suatu
"stenografische verslag" secara lengkap.

Radjiman Wediodiningrat ketika memberikan Kata Pengantar untuk penerbitan buku


pidato yang bersejarah itu tertanggal Walikukun 1 Juli 1947 menulis:

".........Selama fasisme Jepang berkuasa di negeri kita,


Democratische Idee tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno,
selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya
jalan untuk mewujudkannya. 75)

75) Sukamo, Pancasila sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press


Yayasan Pendidikan Sukamo, Jakarta, 1986.

Democratische Idee yang dimaksud ialah Pidato Lahirnya Pancasila yang dikatakan
oleh Bung Karno sebagai Philosofische grondslag daripada Indonesia Merdeka atau
satu Weltanschauung di atas mana kita mendirikan negara Indonesia.

Weltanschauung ini, Kata Bung Karno, harus kita bulatkan di dalam hati dan pikiran
kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Kita bersama-sama mencari persatuan
Philosofische grondslag, mencari Weltanschauung yang kita semua setujui.

Ini berarti kita harus mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu
orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan mau pun golongan yang
kaya, - tetapi "semua buat semua".

Pendek kata, bangsa Indonesia, natie Indonesia bukanlah satu golongan yang hidup
dengan "le desir d'etre ensemble" seperti yang dikatakan oleh Ernest Renan, di atas
daerah yang kecil seperti Minangkabau, Madura, Jawa, Sunda atau Bugis, tapi
bangsa Indonesia yaitu seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik tinggal di
kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai Irian.
Seluruhnya, karena antara manusia 70.000.000 (waktu itu, pen) sudah ada "le desir
d'etre ensemble": sudah jadi "Karakter- gemeinschaft", Natie Indonesia, bangsa
Indonesia jumiah orangnya 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang menjadi satu. 76)

76) Sukarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Inti Idayu Press.


Yayasan Pendidikan Sukarno, Jakarta 1986.

Pidato ini diterima oleh sidang dengan aklamasi dan kemudian dirumuskan menjadi
Pancasila yaitu 5 dasar Negara Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 17
Agustus 1945. Dasar negaranya dulu yang dirumuskan, barulah di atas dasar itu
didirikan Negara Republik Indonesia.

Itulah sebabnya 1 Juni disebut sebagai hari lahirnya Pancasila yang menjadi dasar
lahirnya Republik Indonesia.

Namun Bung Karno ditentang oleh kekuatan besar dan dengan dibantu G30S/PKI
yang sayap militernya dipimpin oleh kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infantri I
Kodam V Jaya) dan letnan kolonel Untung Samsuri (Komandan Batalyon I Resimen
Tjakrabirawa) serta seorang tokoh sipil misterius yang bernama Kamaruzzaman,
berhasil menciptakan momentum yang menentukan bagi terjungkirnya kekuasaan
Sukarno.

Ide besar yang diperjuangkan oleh Bung Karno, dipaksa mengubah nilai seperti
dirumuskan oleh PNI gaya baru, dan kali ini Bung Karno tidak mampu lagi banting
stir.

Tragisnya, dengan sikap pimpinan PNI yang ikut mendiskreditkan Bung Karno, tokh
tidak berhasil tampil sebagai juru selamat bagi PNI, meski pun sudah begitu banyak
memberikan konsesi politik. Sikap Orde Baru terhadap PNI, tetap mencurigainya
mempunyai keterkaitan ideologis dengan Sukarno. Oleh karena itu, untuk
memastikan kehancuran Sukarno, PNI juga harus dihancurkan, karena bagaimana
pun tetap ada kekhawatiran bahwa dalam tubuh PNI masih mengendap kekuatan
Sukarno yang pada saatnya yang tepat, berusaha bangkit kembali.

Dr. Elisio Rocamora dari University of Phylippines dalam thesisnya untuk meraih
gelar Doctor di Cornell Univesity (AS), menulis bahwa pada tahun 1966 dan 1967
Angkatan Darat melakukan pembersihan terhadap PNI dengan alasan yang dicari-cari
bahwa PKI telah melakukan penyusupan ke dalam pimpinan PNI. Kalangan pimpinan
Orde Baru yang melihat Sukarno sebagai bajingan besar, membayangkan PNI
sebagai salah satu alat utamanya. Menurut tema propaganda ini, pimpinan PNI
membiarkan dirinya diperalat Presiden Sukarno dan PKI, agar dapat memetik
keuntungan dari dominasi keduanya, dalam politik Demokrasi Terpimpin setelah
1963.

Memang mudah menangkis tuduhan ini dengan menyebutnya sebagai propaganda


pemerintah yang seenaknya sendiri. Tapi sampai taraf tertentu, hal ini mencerminkan
ke-tidak-percayaan yang mendalam terhadap PNI dan ke-tidak-sediaan untuk
mempercayai bahwa partai ini sudah banyak berubah dan bukan lagi PNI yang
terombang- ambing dan oportunistik.77)

77) J. Elisio Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi. Grafiti, 1991,


hal. 436.
Bukan saja terus menerus dipompakan kepada masyarakat dengan sangat
melebih-lebihkan kekuatan PKI sebagai bahaya laten dan potensial, tapi sejak
kembali ke UUD 1945 dan diberlakukannya UU Darurat (SOB), kegiatan partai-partai
dibatasi dengan sangat ketat. Tokohtokoh partai yang duduk dalam Kabinet, harus
menyatakan keluar dari partainya masing-masing, sehingga menutup kemungkinan
bagi partai-partai membuat keputusan besar di tingkat nasional. Dalam sistim
Demokrasi Terpimpin, yang mengendalikan kegiatan politik adalah Presiden. Dan
karena berlakunya UU SOB, maka dalam prakteknya Angkatan Darat yang
menjalankan kekuasaan, berperan membatasi kegiatan partai-partai politik.

Dengan menggunakan UU SOB itu juga, Konstituante yang memang macet, terus
dibubarkan dan diganti dengan MPRS yang anggota- anggotanya diangkat oleh
Presiden. DPR hasil Pemilihan Umum 1955, diganti dengan DPR Gotong Royong
yang anggota-anggotanya meski pun sebagian besar masih terdiri dari hasil PEMILU
(1955), tapi semuanya diangkat oleh Presiden. Anggota-anggota MASYUMI dan PSI
tidak dimasukkan lagi baik dalam DPR mau pun MPRS karena kedua partai itu
dianggap terlibat pemberontakan PRRI/PERMESTA, maka kedudukan mereka
digantikan oleh wakil-wakil golongan fungsional, misalnya fungsional politik,
fungsional sarjana, fungsional Angkatan Bersenjata, fungsional buruh, fungsional tani,
fungsional pemuda, fungsional wanita, fungsional wartawan dan sebagainya.

Meski pun peran partai kemudian berangsur-angsur dilonggarkan, tapi PNI sudah
cukup menjadi lemah, terutama karena adanya Peraturan Presiden No. 2/1959 yang
melarang semua pegawai negeri golongan F- 1 ke atas menjadi anggota sesuatu
partai. Di sini PNI sangat dirugikan, karena anggota-anggotanya banyak yang
menduduki jabatan tinggi di jajaran birokrasi.

Ada pun PKI tidak terlalu dirugikan, karena anggotaanggota mereka tidak banyak
yang menduduki jabatan atas di birokrasi.

Dengan pelonggaran itu, PNI bisa bangkit. Di samping bisa menduduki jabatan
Gubernur di Jawa Tengah. (Mochtar), juga berhasil merebut 23 dari 34 Kepala Daerah.

Dalam keadaan SOB, memang terasa pihak militer berusaha merebut pengaruh
politik, karena wakil-wakil mereka duduk di DPRGR dan MPRS. Usaha ini dilakukan
lewat Badan Kerjasama dengan militer dan Front Nasional. Namun kedua-duanya
gagal, karena baik Bung Karno mau pun partai-partai enggan bekerja sama.78)

78) Ibid, hal. 345.

Dalam laporan DPP PNI pada sidang Badan Pekerja Kongres (1961 ) dikatakan
bahwa selama periode 1960-1961 , kegiatan anti partai Angkatan Darat merupakan
satu-satunya rintangan paling penting bagi upaya PNI membangun kembali dirinya
untuk memperoleh pengaruhnya yang dulu, terutama di daerah-daerah.

Larangan kegiatan politik yang mula-mula diumumkan Juni 1959, diperpanjang masa
berlakunya pada bulan September 1960 dan sekali lagi diperpanjang Januari 1961.
Dengan kewenangan peraturan ini, Panglima Daerah Militer menghalangi PNI dan
partai-partai lainnya menggelar rapat raksasa dan berbagai kegiatan yang diperlukan
untuk memperoleh dukungan masyarakat. Malahan simbul semua partai pernah
dilarang pemasangannya.79)
79) Suluh Indonesia, 8 September 1960 dan 18 Januari 1961.

Pada waktu itu PNI berusaha memperkecil kekuasaan politik militer yang terasa
makin besar. Pada 16 September 1960 DPP PNI mengirimkan telegram kepada
Presiden/Panglima Tertinggi, memprotes Peraturan Penguasa Perang Tertinggi
(PEPERTI), yang melarang kegiatan politik. Dan pada bulan Agustus 1961, PNI
mendesak diakhirinya undang-undang SOB. Juga PNI mempersoalkan lemahnya
sikap Angkatan Darat terhadap sisa- sisa pemberontakan PRRI/PERMESTA.80)

80) Putusan Sidang BPK PNl, Agustus 1961.

Mungkin karena sikap-sikap yang sedemikian itu, menyebabkan Angkatan Darat


sangat mencurigai PNI setelah Orde Baru.

Pukulan berat yang dirasakan oleh PNI ialah ketika DPP pada bulan April 1961 harus
menyerahkan daftar anggotanya kepada Pemerintah memenuhi ketentuan Peraturan
Presiden No.13/1960 untuk memastikan apakah sesuatu partai mempunyai hak hidup
atau tidak. PNI hanya mampu menyampaikan daftar yang memuat 198.554 nama
yang harus dilengkapi dengan tanda-tangan dari masing-masing nama.

Jumiah ini dianggap memalukan, karena PNI dalam PEMILU 1955 keluar sebagai
partai terbesar nomor satu dengan mengumpulkan 8.434.653 pemilih, mengungguli
MASYUMI yang hanya mengumpulkan 7.903.886 pemilih.

Baru dalam Kongres di Purwokerto (1963), DPP memberikan laporan, telah


menyampaikan kepada Pemerintah 1.855.119 nama anggota PNI, Jumiah ini tetap
masih kecil, tapi dianggap sudah ada kemajuan. Hal ini menimbulkan persoalan di
kalangan partai-partai kecil, yang menuntut supaya PNI tidak lagi dianggap- sebagai
partai besar dan dengan demikian jumiah kursi yang diberikan kepadanya di DPRGR
dan MPRS harus dikurangi. Kursi yang diduduki PNI dalam DPRGR misalnya,
bertambah jika dibandingkan dengan jumiah kursi yang diraihnya dalam PEMILU
1955 dari 57 menjadi 80 kursi. Ini dimungkinkan karena banyak anggota baru yang
formalnya mewakili golongan fungsional, tapi mereka berasal dari organisasi
kemasyarakatan PNI.

Kemerosotan PNI juga dikarenakan pengaruh pembentukan Kabinet Kerja 9 Juli 1959
setelah Dekrit kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959); di mana semua Menteri Kabinet
meski pun berasal dari sesuatu partai, diharuskan keluar dari keanggotaan partainya.
D.engan ketentuan ini ditambah dengan dilarangnya semua pegawai negeri golongan
F - 1 ke atas menjadi anggota partai, aktifitas PNI terpengaruh menjadi kendor. Ini
memang harus diakui juga sebagai akibat satu kelemahan di bidang managemen
organisasi partai.

Ditambah lagi dengan persoalan intern yang memperlemah posisi partai, yaitu
beberapa tokoh tertentu dari PNI ikut dalam gerakan "Liga Demokrasi" bersarna
dengan MASYUMI, PSI, IPKI dan Partai Kristen menentang pembubaran DPR hasil
PEMILU 1955. Sikap ini tentu saja merugikan PNI ke dalam, karena partai sudah
menentukan sikap tidak menolak pembentukan DPRGR sebagai pengganti DPR hasil
PEMILU.
Liga Demokrasi dibubarkan oleh Pemerintah. Kemudian palam merumuskan
manifesto Dasar-dasar Pokok Marhaenisme, timbul lagi kesulitan, kali ini dengan
Bung Karno sebagai Bapak Marhaenisme. Rumusan pertama yang disusun oleh
Sayuti Melik, ditolak oleh Bung Karno. Kemudian dibentuk panitia Perancang yang
dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo (ketua umum PNI) dengan anggotaanggota intinya
Roeslan Abdulgani, Sayuti Melik dan Osa Maliki. Memahami apa keberatan Bung
Karno mengenai rumusan yang disusun oleh Sayuti Melik, maka panitia Ali
memberikan konsesi identitas ke kiri dengan menyetujui dasar Marhaenisme ialah
Pancasila, Demokrasi Terpimpin, Manipol (Manifesto Politik) dan Sosialisme
Indonesia. Tapi Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia yang
diinginkan oleh Bung Karno supaya masuk sebagai identitas Marhaenisme, tidak
masuk dalam rumusan.

Yang keras menolaknya ialah Sayuti Melik dan Osa Maliki, sedang Ali
Sastroamidjojo dan Roeslan Abdulgani bersedia memahami keinginan Bung Karno.

Rumusan tersebut kembali tidak disetujui oleh Bung Karno. Dalam pidatonya pada
peringatan ulang tahun ke36 lahirnya PNI (7 Juli 1963) di Stadion Utama Senayan, Ali
Sastroamidjojo menegaskan bahwa Marhaenisme adalah doktrin dan program
perjuangan berdasarkan sosialisme ilmiah yang dikembangkan di Indonesia.81)

81) Ali Sastroamidjojo, Mari Terus Menunaikan Kewajiban Kita, hal. 18

Akhirmya dasar-dasar pokok Marhaenisme dirumuskan dalam sidang Badan Pekerja


Kongres PNI di Lembang pada bulan Nopember1964 yang dikenal sebagai "Deklarasi
Marhaenis" dan diterima oleh Bung Karno, di mana ditegaskan antara lain:

Bahwa perjuangan untuk membela kaum Marhaen menentang musuh-musuhnya,


yaitu kapitalisme, Nekolim dan feodealisme adalah suatu perjuangan yang paling
terhormat, suci dan mulia.

Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalah alat bagi kaum Marhaen untuk
memperjuangkan dan merealisasikan cita-citanya yaitu kemerdekaan penuh dan
Dunia Baru.

Oleh karena itu setiap Marhaenis harus senantiasa membajakan diri dan mendidik
dirinya di dalam teori dan praktek perjuangan rakyat untuk menjadi Marhaenis yang
lebih baik lagi sebagai murid-murid yang terbaik dan terpercaya dari Bapak
Marhaenisme Bung Karno.

Marhaenisme ajaran Bung Karno yang dicetuskan pada tahun 1927 bersamasn
dengan berdirinya PNI yaitu sebagai hasil penarikan pelajaran yang tepat dari praktek
perjuangan rakyat Indonesia dan rakyat-rakyat lainnya di muka bumi, yang ditindas
dan dimelaratkan oleh sistim kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, merupakan
senjata ampuh di tangan kaum Marhaen sebagai azas dan cara perjuangan serta
memberikan semua landasan yang kokoh kuat, yang menjamin kemenangan kaum
Marhaen dengan menggalang semoa kekuatan nasional.

Untuk mendatangkan kemenangannya kaum Marhaen, mereka harus diorganisir


dalam satu barisan Front Marhaenis yang teratur, dinamis dan berdisiplin yang di
dalam segala haloya menyelamatkan kaum Marhaen.
Disebutkan dalam Deklarasi, pada 1 Januari 1966 sampai dengan 31 Desember 1968
diselenggarakan kongres-kongres atau konperensi- konperensi di segala tingkat
untuk melaksanakan retooling atas dasar penggeseran pimpinan partai ke tangan
unsur-unsur yang membela kepentingan Marhaen.

Bisa dimengerti bahwa "Deklarasi Marhaenis" menjadi masalah besar, terutama bagi
pimpinan yang merasa terancam akan digeser, karena tidak memenuhi syarat bagi
menegakkan PNI/Front Marhaenis sebagai Partai Pelopor.

Menurut Dr. J. Eliseo Rocamora, para pemimpin konservatif PNI sangat sadar akan
arti penerapan Deklarasi Marhaenis. Mereka berusaha sekuat tenaga menentangnya.
PNI Jawa Tengah yang menjadi benteng kekuatan konservatif partai, menolak
orientasi kegiatan partai harus sejalan dengan rencana kerja Deklarasi Marhaenis.
Tapi perlawanan seperti itu, hanya mempercepat jatuhnya para pemimpin konservatif
tersebut.82)

82) J. Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi, hal. 383

Perbedaan pendapat dalam tubuh PNI, sebetulnya bukanlah sesuatu yang perlu
menjadi sensasi, jika saja hal itu dipahami sebagai kewajaran dalam sistim
demokrasi. Tapi kalau perbedaan pendapat tidak lagi dapat dianggap sebagai
kewajaran, maka sangat mudah dimanfaatkan oleh pihak ke tiga dan
dimungkinkanlah terjadinya perubahan nilai.

Golongan oposisi dalam PNI mengundang pihak ke tiga untuk membantunya dan
tanpa disadari justru pihak ke tiga inilah yang memetik keuntungan.

Dalam mengelola konflik intern partai, agaknya ke dua belah pihak yang berbeda
pendapat, lalai mengantisipasi rekayasa dari luar yang sudah lama berusaha
melemahkan PNI.

Itulah yang menyebabkan Kongres Pemersatuan di Bandung dari tanggal 24 sampai


dengan 28 April 1966, terjerumus dalam kekusutan, tidak berhasil menemukan solusi
yang tepat dan arif untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Kongres digiring untuk
melakukan "balas dendam" dengan bantuan rekayasa pihak ke tiga. Akibatnya,
kepemimpinan PNI hasil Kongres Pemersatuan, tidak bisa bersikap mandiri lagi,
hanyut terbawa arus. Terbukti dalam PEMILU pertama yang diselenggarakan oleh
Orde Baru (1971), PNI yang ikut sebagai kontestan, terhempas habis-habisan, hanya
kebagian 8% suara. Sebagian besar massanya berpaling memilih tanda gambar lain
yang bukan "Kepala Banteng Dalam Segitiga", mereka memilih GOLKAR, kontestan
baru dengan tanda gambar "Beringin", yang berhasil mengumpulkan 64.5% suara.

Kepemimpinan PNI gaya baru, kehilangan pamor dan sekaligus menyebabkan:

1. Hancurnya PNI sebagai partai besar yang pernah menjadi simbol


Nasionalisme Indonesia yang berjuang untuk demokrasi, anti
kapitalisme, imperialisme dan feodalisme.

2. Ikut berperan menjatuhkan Bung Karno, Bapak Marhaenisme, dari


tampuk kepemimpinan nasional.
Alangkah malang nasib PNI

Tapi penyesalan selalu datangnya terlambat. Bukankah Yudas Iskariot, murid Yesus
yang mengkhianat, menebus penyesalannya dengan menggantung diri di pohon? Ia
tewas bersama pengkhianatannya ....... Kongres Pemersatuan PNI yang ternyata
tidak mempersatukan di Bandung akhir April 1966, disusul Nopember tahun itu juga
dengan sidang Majelis Permusyawaratan Partai,yang tugas pokoknya mencabut "
Deklarasi Marhaenis" rumusan Marhaenisme yang disahkan oleh sidang Badan
Pekerja Kongres PNI di Lembang, Nopember 1964. Rumusan itu dinyatakan sebagai
penyelewengan, oleh karenanya harus dicabut. Deklarasi ini disetujui oleh Bung
Karno, dan dianggap sebagai rumusan Marhaenisme yang benar, sesuai dengan
pemikiran Bung Karno ketika menciptakan paham Marhaenisme. Sidang MPP PNI
gaya baru, tidak memperdulikan rekomendasi dari Bung Karno dan tetap
menganggap "Deklarasi Marhaenis" satu penyelewengan.

Sidang membuat rumusan baru yang menyatakan bahwa Marhaenisme sebagai


ideologi dan paham politik, hanya mengandung tiga unsur:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Sosio-Nasionalisme
3. Sosio-Demokrasi.

lewat lembaga-lembaga Legislatip dan Eksekutip, di mana PNI dan Gerakan Massa
Marhaen diwakili; Meningkatkan aktifitas-aktifitas di dalam masyarakat sebagai
sumbangan yang kongkrit berupa amalan yang nyata dalam rangka mengadakan
perbaikan-perbaikan di bidang-bidang termaksud di atas.

E. MENGENAI KERJA SAMA DENGAN KEKUATAN- KEKUATAN PANCASILA-IS


LAINNYA.

1. PNI dengan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa


penunaian tugas nasional yang berat sebagaimana digambarkan di
atas, tidak dapat dilaksanakan sendirian oleh satu kekuatan sosial
politik dan atau oleh pemerintah saja.

2. Berhubung dengan hal-hal termaksud di atas, maka PNI dengan


segenap Organisasi Massa-nya tidak akan berhenti-henti untuk
berusaha bekerja sama dengan pemerintah beserta segenap
aparaturnya, dengan segenap kehuatan sosial politik Pancasilais
lainnya yang menunjuLkan itikad baik dan kesediaan untuk diajak
bekerja sama dan memupuk partnership dengan ABRI.

F. BIDANG ORGANISASI

1. Di dalam usaha mengisi dan membina Orde Baru ini, maka PNI dengan segenap
Organisasi Massa-nya meyakini bahwa semua kekuatan sosial politik harus
melaksanakan kristalisasi dan konsolidasi daiam tubuhnya masing-masing.

2. PNI dan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa dalam tubuh PNI dan
Organisasi Massanya harus juga diadakan kristalisasi dan konsolidasi, agar supaya
tubuh sehat, dewasa, militant dan trampil untuk dapat menunaikan tugas perjuangan
yang berarti itu.

3. Konsolidasi dan kristalisasi yang dimaksud di atas meliputi:

a. Menghilangkan mental Orde Lama dan menumbuhkan serta


mengembangkan mental Orde Baru dalam arti kata yang
sebenar-benarnya.

b. Meningkatkan tenaga-tenaga pimpinan Partai/ Organisasi Massa PNI


hingga terdiri dari pemimpinpemimpin yang memenuhi syarat- syarat
dan mampu melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas.

c. Terus menerus mengadakan penyempurnaan di bidang Organisasi


Partai/Organisasi Massanya.

d. Membersihkan diri dari unsur-unsur negatip di dalam tubuh


PNI/Organisasi Partai/Organisasi Massanya, dan yang mengganggu
pelaksanaan tugas suci sebagaimana digambarkan di atas.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi perjuangan kita sekalian.

Jakarta, 20 Desember 1967

Desember 1967 Pada bulan September 1966, Panitia Peneliti Ajaran Pemimpin Besar
Revolusi yang dibentuk oleh MPRS, diketuai Osa Maliki, datang kepada Bung Karno.
Ada Roelan Abdulgani, Sanusi Hardjadinata dan bersamaan itu kebetulan hadir juga
Pak Harto dan Ibu Wachid Hasyim. Sebelum itu, Bung Karno baru saja mengatakan
di depan pertemuan Angkatan 45, bahwa ia seorang Marxis. Oleh karena itu, dalam
pertemuan ini, Ibu Wachid Hasyim minta: "mbok Bung Karno tidak usah menyatakan
sebagai seorang Marxis, kami kan .tidak percaya kalau Bung Karno itu seorang
Marxis"

Menurut cerita Osa Maliki, menjelang penyelenggaraan sidang MPP, pimpinan PNI
menghadap ke Istana dan Bung Karno berpesan, hendaknya Deklarasi Marhaenis
terus berlaku. Tapi kata Osa, DPP PNI tidak dapat menerimanya.

Namun Osa Maliki sebagai ketua umum PNI dalam ceramahnya yang berjudul
"Marhaenisme berlawanan dengan Marxisme" yang dimuat dalam brosur "Keterangan
Azas PNI" (1968), mengatakan bahwa Marxisme Bung Karno adalah Marxismenya
Bung Karno sendiri, bukan Marxisme dari abad ke-19, bukan Dogmatic Marxis. Bung
Karno adalah seorang Marxis Revisionis.

Sepanjang ingatan saya, memang Bung Karno berulang-kali mengatakan bahwa ia


seorang Marxis Revisionis, karena menolak filsafatnya yang atheis (mengingkari
Tuhan). Bung Karno menyetujui Marxisme mengenai hukum dialektikanya, yaitu
metode berpikir dalam memecahkan soal-soal masyarakat.

Dalam uraiannya yang disampaikan di hadapan peserta kursus kaum ibu di Gedung
Agung Yogyakarta pada tahun 1 946 (yang kemudian dibukukan menjadi "Sarinah")'
Bung Karno sudah mengatakan - bahkan diulanginya dalam berbagai kesempatan -,
bahwa dalam cita-cita politiknya, ia seorang nasionalis, dalam cita- cita sosialnya, ia
seorang sosialis dan dalam cita-cita sukmanya, ia seorang theis yang percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Osa Maliki Sendiri mengakui bahwa Bung Karno sebagai seorang Marxis,
menggunakan Marxisme untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme.
Dengan hancurnya kedua sistim ini, akan menguntungkan dan memberikan
kebahagiaan kepada kaum Marhaen.

Bung Karno menyesuaikan Marxisme dengan kondisi Indonesia. Meski pun Marx
mengajarkan bahwa imperialisme dan kapitalisme harus dilawan oleh proletar, tapi
Bung Karno berkata: Apakah di Indonesia hanya proletar saja yang ada dan
berjuang?

Ajaran Marx dianalisa oleh Bung Karno dengan melihat sejarah bermacam-macam
revolusi di dunia.

Revolusi Amerika ( 1776), bukan revolusi rakyat, tapi revolusi militer. Angkatan
Perang Amerika dengan kekuatan senjatanya melawan kolonialisme Inggris.

Revolusi Perancis (1789), juga bukan revolusi rakyat, tapi revolusi kaum middenstand
(golongan menengah) yaitu kaum borjuasi yang menggunakan kekuatan rakyat.

Revolusi India juga revolusi kaum middenstand atau revolusi swadesi yang tidak
berhasil.

Revolusi Indonesia menurut analisa Bung Karno, bukan revolusi militer yang waktu itu
tidak ada, bukan revolusi middenstand atau borjuasi, karena golongan ini di Indonesia
sangat lemah. Yang ada ialah rakyat yang ditindas oleh penjajahan.

Tapi tanya Bung Karno: Rakyat itu siapa? Apakah proletar atau bukan? Akhirnya ia
sampai kepada studi bahwa yakyat Indonesia sebagian terbesar bukan proletar.
Memang ada proletarnya sedikit yang hidupnya dengan menjual tenaga kepada
pemilik modal, tapi lebih banyak petani kecil yang memiliki alat-alat produksi seperti
tanah yang sempit, punya pacul dan cangkul, tapi hidupnya melarat dan sengsara.
Banyak lagi golongan masyarakat lainnya seperti kaum kromo yang mempunyai
rumah gubuk dan alat-alat pertanian, tapi hidupnya melarat. Mereka itulah yang
terlibat dan mendukung revolusi.

Golongan ini dinamakan oleh Bung Karno sebagai kaum Marhaen yang menjadi
tulang punggung perjuangan nasional. Beda sekali dengan pengertian Marxisme yang
menunjuk kepada proletar untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme.
Mereka dirugikan oleh imperialisme dan dihisap oleh kapitalisme/feodalisme, tapi
mereka bukan proletar.

Bung Karno menolak diktatur proletariat dan perjuangan klasnya, jadi bagaimana ia
bisa dikatakan seorang Marxis.

Inilah alasannya mengapa banyak orang keberatan, terutama tokoh-tokoh PNI gaya
baru, jika Bung Karno mengaku seorang Marxis. Artinya, Bung Karno tidak tepat
mengaku seorang Marxis, karena beberapa prinsip Marxisme ditolaknya. Mereka
tidak memahami bahwa pengakuan "seorang Marxis" yang digunakan oleh Bung
Karno itu, digunakan dalam pengertian metafora, pengakuan politis untuk kebutuhan
politik, bukan dalam arti hakiki. Bahkan Bung Karno mengakui, dia seorang Marxis
Revisionis.

Padahal Amerika selalu berupaya membendung kegiatan politik Bung Karno, bukan
semata-mata karena masalah "Marxis" atau "komunis", tapi terutama sekali karena
Bung Karno tidak mau tunduk pada keinginan Amerika. Sampai sekarang pun
Amerika tidak menolak bermesraan dengan komunis Cina dan Vietnam, karena
kedua negara itu membuka pintu bagi penanaman modal Amerika dan pasarnya
dibuka bagi pemasaran hasil industri Amerika.

PNI gaya baru yang menyesuaikan diri dengan trend politik baru di Indonesia, dengan
sikap pragmatis yang kaku dan dirayu ilusi, merasa tertarik untuk menyatakan bahwa
Bung Karno BUKAN BAPAK MARHAENISME, sehingga dengan demikian,
Marhaenisme yang menjadi asas PNI, rumusannya bisa direvisi, disesuaikan dengan
selera baru, dengan tidak perlu lagi memperhitungkan sikap Bung Karno.

Sejak 1927 ketika Marhaenisme pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno sampai
1965, paham ini diterima penuh dan tidak pernah diributkan. Setiap warga PNI dengan
bangga meneriakkan: Marhaen Jaya dan Hidup Bung Karno Bapak Marhaenisme!

Setelah era Orde Baru, segalanya menjadi terbalik. Tokoh-tokoh PNI gaya baru,
mengingkari Bapaknya, untuk sekedar mengharapkan "pengakuan".

Tapi malangnya, semua itu tidak menolong. Sebaliknya yang terjadi ialah keruntuhan
total PNI, sebuah partai besar simbul nasionalisme Indonesia.

PNI tersungkur dalam posisi pimpinannya berkolaborasi dengan kekuatan yang justru
hendak menghacurkannya.

Berikut ini Pernyataan Kebulatan Tekad pemimpinpemimpin PNI gaya baru yang ikut
menggulingkan Presiden Sukarno. Akibatnya, setelah Bung Karno di gulingkan, di
luar perhitungan pemimpin- pemimpin PNI,PNI sendiri yang dihancurkan.

PERNYATAAN KEBULATAN TEKAD


DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI NASIONAL INDONESIA
Beserta
SEGENAP DPP/PRESIDIUM ORGANISASI MASSA P.N.I.

SETELAH menyadari sedalam-dalamnya bahwa:

1. Negara Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah


negara hingga kini masih mendapatkan tantangan dan rongrongan baik
dari sisa-sisa kekuatan G30S/PKI atau pun dari kekuatan-kekuatan anti
Pancasila lainnya.

2. Keadaan politik, ekonomi - kebudayaan - keagamaan dalam


masyarakat Indonesia masih jauh dari apa yang dicita-citakan oleh
rakyat Indonesia.
KEMUDIAN dari pada itu, setelah meyakini, bahwa untuk menanggulangi
masalah-masalah termaksud di atas, segenap potensi PNI - Organisasi Massanya:

berlandaskan azas partai yaitu Marhaenisme dengan tatsiran dan


perumusan yang asli/murni dan bebas dari pengaruh- pengaruh
Marxisme; yang terkonsolidasi dan telah mengalami Kristalisasi secara
positip;

harus ditingkatkan perjuangannya untuk mengamankan dan mengamalkan Pancasila,


untuk menyumbangkan amal dan dharma baktinya kepada negara, bangsa dan
masyarakat Indonesia guna mensukseskan Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet
Ampera bersama-sama dengan kekuatan Pancasilais lainnya dalam keadaan rukun
dan damai dengan semangat gotong royong sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi
Pancasila.

Dengan menegaskan kembali pendirian dan sikap sebagaimana telah diputuskan oleh
kongres Persatuan/Kesatuan PNI tanggal 24 - 28 April 1966 di Bandung, Keputusan
Sidang M.P.P. ke I dan Sidang MPP ke 11 dan sekaligus MENYATAKAN
KEBULATAN TEKAD, sebagai berikut:

A. BIDANG IDEOLOGI

1. Azas PNI adalah "MARHAENISME" yang rumusannya sebagaimana


telah ditegaskan dalam Yudya Pratidina Marhaenis ialah: Ketuhanan
Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.

2. Rumusan termaksud di atas, sebagaimana telah ditegaskan dalam


"Yudya Pratidina Marhaenis" sebagai pengganti "Demokrasi Marhaenis"
adalah rumusan dan tafsiran asli/murni sejak tabun 1927 dan sama
sekali bebas dari pengaroh-pengaruh Marxisme.

3. Dengan azas Marhaenisme yang arti, sifat dan rumusannya sebagai


dimaksud di atas itulah, maka PNI dengan segenap Organisasi
Massa-nya secara konsekoen akan melanjutkan perjuangan untuk
menegakkan, mengamalkan dan melaksanakan Pancasila serta
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen dalam rangka mengisi dan membina Orde Baru.

B. BIDANG POLITIK

1. Dengan melempar jauhjauh mental Orde Lama, PNI dengan


Organisasi Massa-nya bertekad bulat untuk mengisi dan membina Orde
Baru, yang tidak bisa lain dari pada Orde Pancasila.

2. P.N.I. dengan segenap Organisasi Massa-nya bertekad bulat untuk


bersama-sama dengan kekoatan Pancasilais lainnya - mengikis habis
sisa-sisa G.30.S./PKI dan kekuatan-kekuatan lainnya yang hendak
merongrong/ meniadakan Pancasila.

3. PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya berketetapan hati untuk


melaksanakan Ketetapan MPRS No: XXXIII/MPRS/1967, secara
konsekuen, halmana berarti tidak menghendaki kembalinya Dr. Ir.
Soekarno dalam Kepemimpinan Negara/Pemerintah Nasional.

4. Mengingat hal-hal di atas, maka di dalam melaksanakan garis


politiknya - PNI dan Organisasi Massanya sebagai Partai/Ormas
bersikap bebas halmana berarti tidak terikat pada pola pemikiran
politik Dr. Ir. Soekarno.

C. MENGENAI MASALAH DR. IR. SOEKARNO

1. PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya akan tetap menjauhkan


diri dari sikap Kultus individu terhadap siapa pun juga termasuk ter-
hadap Dr. Ir. Soekarno.

2. Sebagai konsekuensi dari pada pendirian termaksud di atas, dan


untuk mencegah pen-salah tafsiran terhadap gelar "Bapak
Marhaenisme" sebagaimana diputuskan oleh Sidang MPP ke II dari
PNI pada tanggal 20 - 25 Juli 1967, maka gelar "Bapak Marhaenisme"
ditiadakan.

D. BIDANG EKONOMI-SOSIAL-KEBUDAYAAN DAN KEAGAMAAN

Dengan berpedoman kepada Yudya Pratidina Marhaenis dan Bina Dharma (Program
Partai), PNI dengan segenap Gerakan Massa Marhaen akan terus berjuang sekuat
tenaga memberikan amal dan dharma bakti kepada negara, bangsa dan masyarakat
dalam bentuk:

Konsepsi-konsepsi yang positip di bidang ekonomi-sosial- kebudayaan dan


keagamaan, yang disalurkan

Sosio-Nasionalisme yang dianut, ialah nasionalisme kemasyarakatan yang menolak


chauvinisme. Yang dikembangkan, ialah paham kebangsaan gotong-royong yang
berdasarkan hidup kemasyarakatan dan berperikemanusiaan. Paham ini anti
imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, menolak
segala macam bentuk kapitalisme, termasuk kapitalisme negara.

Sosio-Demokrasi ditafsirkan sebagai demokrasi lengkap meliputi: demokrasi politik,


ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Demokrasi politik, mengakui hak setiap warganegara dan orang, hidup


sama makmur, sama mengatur penghidupan dan kehidupan.

Demokrasi ekonomi, mengakui hak setiap warganegara dan orang


secara luas dan baik, dalam bidang perekonomian.

Demokrasf sosial, mengakui hak setiap warganegara dan orang


mendapat penghargaan yang sama sebagai makhluk sosial, mengakui
hak setiap orang mencapai tingkat kemajuan dan kedudukan sosial,
sesua! dengan bakat dan kemampunannya.
Demokrasi kebudayaan, mengakui hak setiap warganegara dan orang
menikmati keindahan dan manfaat kebudayaan.

Ditegaskan oleh sidang MPP, bahwa tidak ada satu pun basic ideas Marxisme yang
dianut oleh Marhaenisme, meski pun Bung Karno mengatakan: ada! Dalam hal ini
Orde Baru yang anti PKI, lebih rasional dibandingkan PNI gaya baru, karena ORBA
tidak mengingkari, eksistensi Marxisme sebagai ilmu yang diakui oleh ilmuwan
secara global.

Ketua Umum PNI gaya baru, Osa Maliki, mengatakan dalam satu ceramahnya, baru
pada tahun 1958 Bung Karno menjelaskan bahwa Marhaenisme adalah: het in
Indonesia toegepaste Marxisme- Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan
sesuai dengan kondisi Indonesia.

Sesudah Kongres Pemersatuan di Bandung, Osa Maliki dan beberapa tokoh PNI
lainnya menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Osa Maliki berkata kepada Bung
Karno dalam bahasa Jerman: "Im Marhaenisme leben wir und sterben wir allen?"
Bung Karno menjawab: "Marhaenisme dalam arti Marxisme yang diterapkan di
Indonesia".

Osa Maliki lalu mengatakan lagi: "Kami mengerti, tapi persoalannya bukan itu.
Pancasila sekarang sedang terancam, Pancasila dalam bahaya".

Bung Kàrno lalu bertanya kepada yang lain, bagaimana pendapat mereka. Prof. Usep
Ranumihardja (Sekjen) yang menjawab: "Bagi kami, Marhaenisme itu sesuai dengan
apa yang pernah diterangkan oleh Bung Karno sendiri dalam satu kesempatan di
Universitas Padjajaran Bandung, yaitu: Marxisme hanya sebagai metode berpikir
saja. Bung Karno tidak membantah.

DEWAN PIMPINAN PUSAT


PARTAI NASIONAL INDONESIA

Ketua Umum, Sekretaris Jenderal II

(Osa Maliki) (I.G.N. Gde Djaksa)

DEWAN PIMPINAN PUSAT/PRESIDIUM


ORGANISASI MASSA PNI

1. Kesatuan Buruh Marhaenis (K.B.M.)

Ketua, Sekretaris Jenderal, (Abdul Madjid) (Rasjid St. Radjamas)

2. Pesatuan Tani Nasional Indonesia (PETANI)

Ketua, Sekretaris Jenderal,

(Sadjarwo S.H.) (Sunardjo)

3. Gerakan Wanita Marhaenis (G.W.N.)


Ketua, Sekretaris Jenderal,

(Ny. A.S. Gani S.) (Ny. S. Abadi)

4. Gerakan Pemuda Marhaenis

Ketua, Sekretaris Jenderal,

(Daud Sembiring) (Hendrik Wangge)

5. Gerakan Sarjana Rakyat Indonesia (I.S.R.I.)

Ketua, Sekretaris Jenderal,

(Ir. A. Sarbini) (A. Nasution S.H.)

6. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (G.M.N.I)

Ketua, Sekretaris Jenderal,

(Soerjadi) (Budi Hardjono)

7. Gerakan Nelayan Marhaenis (G.N.M.)

Ketua, Sekretaris Jenderal,

(I.B.P. Manuaba) (Kusbara Bsc)

8. Gerakan Pendidik Marhaenis

Ketua, Sekretaris Jenderal,

(Karim M. Doerjat) (Ny: Samingatun K.)

9. Gerakan Siswa Nasional Indonesia (G.S.N.I.)

Ketua, Sekretaris Jenderal,

(Sopingi) (Sam Arajad)

JAWABAN SOEHARTO

Sehari kemudian, Pak Harto menjawab Pernyataan Kebulatan Tekad PNI sebagai
berikut:

Jakarta, 21 Desember 1967

Kepada Yth.
DEWAN PIMPINAN PUSAT P.N.I
di Jakarta
Nomor: 6-57/PRES/12/1967
Sifat : PENTING/SEGERA
Lampiran :
Perihal : HAK HIDUP BAGI P.N.I.

Memperhatikan surat DPP PNI No. 587/DPP/ Pol/040/67 dan Pernyataan Kebulatan
Tekad PNI tanggal 20 Desember 1967, perihal seperti pada pokok surat ini, dengan
ini saya sampaikan hal-hal berikut:

1. Mengenai hak hidup dan perlindungan hukum bagi partai-partai politik pada
dasarnya saya berpegang teguh pada jiwa ketetapan MPRS No.XXII dihubungkan
dengan pasal 5 ketetapan MPRS No. XIX, hal ini berarti bahwa kehidupan kepartaian
dewasa ini tetap dijamin berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang
masih berlaku.

2. Dengan sendirinya partai politik harus berdasarkan diri pada keseluruhan jiwa,
semangat dan ketentuan hasil sidang Umum ke IV dan sidang Istimewa MPRS,
khususnya di bidang ideologi dan politik, secara kongkrit partai-partai politik harus:

a. Dibidang Ideologi: menerima, mempertahankan dan mengamalkan


PANCASILA sebagai dasar falsafah negara secara murni dan
konsekuen, sebaliknya tidak mendasarkan pandangan dan kegiatan
secara langsung atau tidak pada Marxisme-Leninisme;

b. Dibidang politik: menerima dan mempertahankan Undang- Undang


Dasar 1945, hal ini berarti menjunjung tinggi kehidupan konstitusionil
dan melenyapkan segala bentuk kultus individu terhadap siapa pun
juga:

3. Sangat disayangkan, bahwa dalam waktu-waktu yang lalu, PNI sebagai partai mau
pun pemimpinpemimpinnya dan anggota- anggotanya telah melakukan
tindakan-tindakan politik yang setidak- tidaknya bertentangan dengan jiwa, semangat
dan ketentuan- ketentuan sidang Umum ke IV MPRS dan sidang istimewa MPRS itu,
antara lain ialah:

a. Niat DPP PNI untak menyerahkan piagam kepada Dr. Ir. Soekarno
sebagai "Bapak Marhaenis";

b. Anggota PNI di daerah-daerah masih ingin mempertahankan


kepemimpinan Dr. Ir. Soekarno, halmana berarti berusaha
mengembalikan Orde Lama dan menentang Orde Baru;

c. Terlibatnya anggota-anggota PNI dalam kegiatan-kegiatan gelap


sisa-sisa G.30.S/PKI;

4. Disamping "Deklarasi Marhaenis" yang merumuskan Marhaenis sebagai Marxisme


yang diteraphan dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi Indonesia dianggap oleh
keknàtan-kehuatan Orde Baru sebagai pola pikiran yang membahayakan
PANCASILA.
5. Hal-hal tersebut pada angka 3 dan 4 di atas mengakibatkan kecurigaan
golongan-golongan lain terhadap PNI sehingga penguasa-penguasa di daerahdaerah
terpaksa mengambil tindakan sementara terhadap PNI.

6. Secara keseluruhan dapat dinilai bahwa proses peng-Orba-an dalam tubuh PNI
belum terlaksana. Dasar peng-Orba-an yang perlu dilakukan dan dibuktikan oleh PNI
adalah:

a. Di bidang Idiologi:
Di hilangkannya segala bentuk pola pikiran Marxis dari cara berpikir
PNI;

b. Di bidang politik
Di hentikan segala bentok hubungan PNI dengan Dr. Ir. Soekarno;
yang kesemuanya itu mutlak diperlukan untuk membuktikan kemauan
dan maksud baik dari PNI, sebagai anggota keluarga- besar Orde Baru
di satu pihak, dan di lain pihak, justru untuk menghilangkan kelemahan
prinsipiil bagi PNI sendiri yang telah menimbulkan keraguraguan
partner-partner Pancasilais lainnya.

7. Dengan telah dikeluarkannya Pernyataan Kebulatan Tekad DPP PNI beserta


segenap DPP/Presidium Organisasi Massa PNI yang disampaikan kepada saya,
maka saya menilai bahwa dilihat dari segi materinya PNI telah mampu meletakkan
kembali landasanlandasan di bidang N deologi dan politik yang sesuai dengan
semangat dan tekad Orde Baru seperti yang saya tunjukkan dalam angka 6 di atas.

8. Langkah-langkah nyata yang perlu segera dilakukan dan dibuktikan oleh PNI
adalah melaksanakan dengan penuh kejujuran dan kesungguhan isi pernyataan
Kebulatan Tekad tersebut sehingga meyakinkan kekuatan-kekuatan Orde Baru
lainnya. Dengan adanya langkah itu maka penguasa-penguasa di daerah tidak perlu
lagi mengambil tindakan yang dirasakan merugikan PNI dan Organisasi Massa PNI
lainnya walau pun tindakan-tindakan itu telah terpaksa dan harus dilakukan untuk
mengamankan perjuangan menegakkan Orde Baru.

9. Dengan adanya Pernyataan Kebulatan Tekad dan pengertian- pengertian tersebut


pada angka 8 di atas, maka saya akan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk
memberi petunjuk- petunjuk kepada semua penguasa di daerah untuk membantu
usaha usaha PNI dalam melakukan kristalisasi dan konsolidasi kekuatan Orde Baru
dalam tubuhnya.

10.Demikianlah tanggapan saya terhadap surat DPP PNI tersebut di atas dan
langkah-langkah yang perlu segera diwujudkan oleh PNI dan Organisasi-Organisasi
Massa PNI, baik di tingkat pusat mau pun daerah, sehingga hak hidup dan
perlindungan hukum bagi PNI dan Organisasi-Organisasi Massa PNI benar-benar
dapat dijamin atas dasar-dasar yang kuat realistis dan menjamin keselamatan
perjuangan menegakkan Orde Baru.

PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd SOEHARTO
JENDERAL - T.N.I

Tembusan:

1. Menteri Pertahanan/Keamanan;
2. Menteri Dalam Negeri
3. Jaksa Agung
4. Arsip

BAB Xl

CATATAN AKHIR:

SEBERKAS TEKA-TEKI

SEWAKTU hendak mengakhiri tulisan ini, kondisi di Indonesia kokoh bertahan pada
penilaian tunggal mengenai "Gerakan 30 September 1965". Gerakan itu sepenuhnya
menjadi tanggung jawab PKI, apalagi tokoh-tokohnya yang diadili, mengakui demikian.

Namun ironisnya, Sukarno, Presiden Republik Indonesia waktu itu, juga harus ikut
bertanggungjawab, dituduh ikut terlibat gerakan yang hendak menjatuhkan
kekuasaannya sendiri (coup d'etat). Sebuah logika aneh yang direkayasa.

Penilaian ini sudah baku dan tidak kunjung surut sampai seperempat abad lebih
lamanya. Sampai-sampai K.H. Abdurrahman Wahid, ketua Umum Pengurus Besar
NU, penerima Magsaysay Award 1993, menganggap sangat menyedihkan bahwa
tregedi 1965 itu tidak pernah muncul dalam teater kita 83). Karena teater bisa
mengungkapkannya secara utuh dan lebih transparan.

33) "Kompas" 21 Oktober 1993

Penilaian tunggal yang selalu dinyatakan dalam "paduan suara", menyebabkan


dilupakannya pertanyaan mendasar: Mengapa akan terjadinya Gerakan 30
September 1965 sama sekali tidak sempat diantisipasi oleh Inteligen ABRI, sehingga
tidak ada pula tindakan preventif untuk menangkalnya?

Kenyataan ini sangat rumit untuk dimengerti bisa terjadi dalam sistim Inteligen kita,
karena persiapan gerakan, cukup transparan.

Statement terbuka anggota Politbiro CC PKI, Anwar Sanusi, sebelum kejadian, yang
menyatakan bahwa ibukota sudah hamil tua dan paraji (bidan) sudah tersedia untuk
menolong kelahiran bayi yang ditunggu-tunggu, seharusnya dapat dianalisis oleh Intel
ABRI, apa yang tersirat di balik kata- kata itu, mengingat situasi politik sudah begitu
panas.

Juga pidato ketua Politbiro CC PKI, D.N. Aidit pada penutupan kongres Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), sebuah organisasi kemahasiswaan yang
berafiliasi dengan PKI, 28 September 1965 di ISTORA Senayan, menganjurkan
kepada CGMI yang menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), supaya
membubarkannya sendiri saja, karena Pemerintah tidak mau melakukannya,
seharusnya sudah diantisipasi sebagai satu tantangan terbuka.
Di samping itu, Mayor Jenderal Sugandhi yang pada waktu itu Kepala Penerangan
HAN KAM, seperti pengakuannya sendiri kepada tim pemeriksa yang
mengintrogasinya, juga sudah mengetahui akan terjadinya coup d'état, yang
disampaikan oleh D.N. Aidit kepadanya 3 hari sebelum peristiwa. Dengan keterangan
ini saja, sebetulnya G30S bisa dicegah sebelum meletus.

Sedang issue "Dewan Jenderal" hendak melakukan coup, sudah lebih lama
didesas-desuskan di masyarakat, sehingga sudah harus dipertimbangkan apa tujuan
desas-desus itu.

Semua ini merupakan petunjuk yang lebih dari cukup untuk menarik kesimpulan
bahwa ada sesuatu yang akan terjadi.

Atau apakah memang ada kesengajaan meloloskan terjadinya G30S, meski pun
dengan mengorbankan 6 Jenderal, agar ada alasan yang kuat untuk menghancurkan
PKI dan menggulingkan Sukarno, seperti yang dikehendaki oleh Amerika?

Oleh karena itu, keterlibatan Amerika Serikat dalam penyusunan skenario ini, patut
dipertimbangkan. Kegiatan Marshall Green, Duta Besar Amerika di Jakarta waktu itu,
sangat mencurigakan. Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Asia Timur dan
Pasifik (1964-1969), William P. Bundy dalam kata pengantarnya pada penerbitan
buku karya Marshall Green, "Dari Sukarno ke Soeharto" menulis,..... "apa yang
dilakukan oleh Pemerintah AS di Indonesia sejak pertengahan tahun 1965 hingga
1968, ialah pada dasarnya mengikuti nasehat Marshall Green mengenai pendekatan
pokok dan beberapa hal lainnya tentang bagaimana melaksanakan pendekatan itu.
Cerita itu dapat disebut keberhasilan suatu Misi yang membuat "Indonesia" menjadi
kisah keberhasilan yang sejati".84)

84) Marshall Green, Dari Sukarno ke Soeharto, hal. 164

Pengakuan yang lain datang dari wartawan Amerika, Arnold G. Brackman. Ia


menulis: "Apa yang terjadi di Indonesia pada hari- hari pertama yang menentukan
dalam bulan Oktober 1965, mungkin yang paling mencolok dalam zaman ini di Asia
sejak Mao bangkit berkuasa di daratan Cina pada 1949" 85).

85) Arnold G. Brackman, The Communist Collaps in Indonesia, hal. 1

Meski pun demikian, Marshall Green merasa perlu mengatakan bahwa AS tidak
terlibat di Indonesia, hanya memperoleh manfaat besar dari hilangnya kekuatan
komunis di negeri itu. Ia mengutip tulisan Lektor Kepala H. W. Brands dari Texas A &
M University dalam Journal of American History (Desember 1989) bahwa Amerika
Serikat tidak mendongkel Sukarno dan tidak bertanggungjawab terhadap ratusan ribu
jiwa yang tewas dalam penumpasan PKI. Oleh karenanya, kata Green, "kita tidak
punya alasan untuk meminta maaf karena masa lampau".

Sangkalan Marshall Green cukup berani, karena bukti-bukti yang diungkapkan dalam
dokumen-dokumen yang dikutip dari Presiden Johnson Library yang sudah
diumumkan di Amerika, justru mengungkapkan keterlibatan AS di Indonesia.

Bahkan menurut Russel H. Fifield dalam bukunya Southeast Asia in United States
Policy (hal. 404-440), untuk menangkal perkembangan yang mengkhawatirkan di
Indonesia, antara 1959- 1960 ahli-ahli strategi Amerika dan para Jenderalnya
mengadakan 7 kali pertemuan. Council on Foreign Relations mendirikan apa yang
dinamakan Study Group on Southeast Asia in U.S. Policy. Itulah rancangan awal
berdirinya ASEAN yang disiapkan oleh Amerika, kemudian diresmikan pada bulan
Agustus 1967 di Bangkok, di mana Indonesia masuk di dalamnya.

Korban penumpasan G30S/PKI, sangat besar. K.H. Abdurrahman Wahid, ketua


umum PB NU ketika diwawancarai majalah Mingguan Berita "Editor", mengakui
bahwa orang Islam membantai 500.0 eks PKI 86). Tentu masih ada lagi yang dibunuh
oleh yang tidak masuk "Orang Islam". Maka angka 1 juta seperti yang diumumkan
oleh Panitia Amnesti Internasional 87), bisa dimengerti.

86) Editor No.49/Tahun Vl/4 September 1993

87) Amnesty International, Getting Away With Murder Political killings


and "disappearances" in the 1990s, Amnesty International Publications, London

Kata Abdurrahman Wahid dalam wawancara itu, meski pun sudah begitu besar
korbannya, tidak ada sanak keluarga korban pembantaian yang masuk Islam. Malah
mereka mencari keteduhan jiwa dalam dendam mereka kepada Islam, dengan masuk
agama lain.

Namun sisi lain yang menjadi noda dalam sejarah, dikaitkannya G30S/PKI dengan
Bung Karno. Ada kekuatan yang menganggap Bung Karno sebagai dalangnya. Dalam
keadaan terdesak, Bung Karno menandatangani Surat Perintah 11 Maret
(SUPERSEMAR) yang terkenal itu. Tragisnya SUPERSEMAR itu juga yang
menggiring Bung Karno ke keruntuhannya, setelah disulap menjadi Ketetapan MPRS
No. IX/1966, berdasarkan konsep yang disusun oleh Prof. Dr. Ismail Suny, SH. MCL.,
Adnan Buyung Nasution, SH., Dahlan Ranuwihardjo, SH., dibantu oleh K.H. Achmad
Syaichu dan Subhan Z.E. yang disambut hangat oleh Ketua MPRS, Jenderal A.H.
Nasution.88) Dengan demikian, Surat Perintah itu tidak bisa dicabut lagi dengan
segala implementasinya yang terus bergulir sesuai dengan kebutuhan dan bermuara
pada keluarnya Ketetapan MPRS No.XXXIII/1968 yang menggulingkan Bung Kamo
sebagai Presiden R.l.

88) Keterangan Prof. Dr. Ismail Suny, SH., MCL. kepada "Forum
Keadilan", 11 Nopember 1993.

Padahal kenyataan menunjukkan bahwa yang menggagalkan gerakan lebih lanjut dari
sayap militer G30S/PKI justru Bung Kamo sendirii dengan dikeluarkannya Perintah
Lisan sebagai Penglima Tertinggi kepada Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan
militer G30S/PKI di Halim pada 1 Oktober 1965 pagi, supaya menghentikan semua
operasi militer, pada saat G30S/PKI secara militer dalam posisi memegang inisiatif.
Perintah Usan Panglima Tertinggi ini mempunyai akibat langsung, di mana operasi
militer G30S/PKI berhenti seketika. Senjata yang ada di tangan para militer yang
berkekuatan 2 batalyon (unsur PKI), diperintahkan oleh AURI supaya dikumpulkan
dalam gudang dan rnenghentikan semua gerakan militer. Rencana hendak
menyerang KOSTRAD, langsung dibatalkan. Begitu juga rencana operasi militer
lainnya. Dengan demikian, KOSTRAD dengan mulus dapat menghancurkan
G30S/PKI tanpa menemui perlawanan.
Soepardjo sendiri begitu menerima Perintah Lisan dari Panglima Tertinggi, langsung
memastikan bahwa Gerakan 30 September sudah kalah. Seorang saksi mata yang
berada di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965 itu mengatakan bahwa D.N. Aidit yang
berada di Sentral Komando G30S Halim begitu mendengar ada perintah supaya
menghentikan operasi militer dan mencegah pertempuran, memberikan reaksi marah
sekali. Laksamana Muda (Purn.) Wisnu Djayengminardo yang waktu itu komandan
Pangkalan Udara Halim mengatakan bahwa ia mendengar sendiri ucapan Soepardjo
yang dalam keputusasaannya mengatakan bahwa "kita sudah kalah", sambil duduk
di atas ubin.

Fakta ini semua tidak pernah dipertimbangkan sewaktu mengambil keputusan


menuding Bung Karno terlibat G30S/PKI.

Layaklah dalam peristiwa 30 September 1965 ini, tampil seberkas teka-teki.


Setidaknya tiga pertanyaan besar memerlukan jawaban.

1. Mengapa Gerakan 30 September 1965 tidak bisa dicegah sebelum


terjadi, padahal ada kesempatan? Petunjuk akan terjadinya gerakan itu,
begitu transparan.

2. Mengapa Perintah Lisan Bung Karno untuk menghentikan semua


Operasi Militer dan ditaati, tidak dipertimbangkan sebagai faktor utama
yang menggagalkan G30S/PKI?

3. Mengapa SUPERSEMAR yang hendak ditarik kembali oleh Presiden


Sukarno, secara mengejutkan disulap menjadi Ketetapan MPRS tanpa
persetujuan pembuat Surat Perintah itu yang kemudian digunakan
untuk menggulingkan Bung Karno sendiri? Tindakan menyulap itu
terlalu jelas mengisyaratkan tujuan akhirnya: Menggulinglan Bung Karno.

Hanya sejarah yang darahnya mengalir di sekujur tubuh bangsa, itulah yang dapat
menjawab dengan tepat, jika saatnya telah tiba.

Namun seperempat abad setelah wafatnya, terdaftar 9 juta peziarah mendatangi


makam Bung Karno di Blitar, untuk mengenang dan mendo'akan yang terbaik baginya.

Wartawan Keith Loveard menulis dalam "Asia Week" 29 Juni 1994, ia heran dan
sekaligus kagum, mengapa yang ditempelkan supir-supir taxi pada kaca mobil
mereka bukan gambar Presiden Soeharto tapi gambar Bung Karno. Wartawan ini
tidak memerlukan jawaban karena sepanjang perjalanannya menyusuri Indonesia
sepanjang 5000 Km, ia menemukan hanya satu nama yang sinonim dengan
Indonesia yaitu SUKARNO.

Demikianlah, usul mencabut TAP MPR No. XXXIII/1968 yang menggulingkan Presiden
Sukarno dengan alasan yang diciptakan, nampaknya terlalu berat untuk dikabulkan,
karena akibat ke-tata- negaraannya di khawatirkan menggoncangkan dan
memalukan. Tapi berbagai tindakan resmi untuk memperlemah secara berangsur-
angsur makna TAP MPR itu, mulai ditempuh, misalnya:

1. Pengakuan formal bahwa Bung Karno adalah Proklamator


Kemerdekaan bersama Bung Hatta.
2. Presiden Soeharto meresmikan makam Bung Karno di Blitar pada 21
Juni 1979, sebagai Makam Pahlawan.

3. Merubah nama Bandar Udara Internasional "Cengkareng" menjadi


"Bandar Udara Sukarno-Hatta".

Entahlah tindakan apa lagi selanjutnya yang akan diambil. Mungkin giliran " 1 Juni
sebagai Hari Lahir Pancasila" yang selama ini diingkari, akan diakui kembali.

Memang terlampau pahit untuk mengakui kesalahan.

Meski pun demikian, sejarah tidak pernah lalai mencatatnya.

Você também pode gostar