Você está na página 1de 24

TEORI KOMUNIKASI KOGNITIF DAN BEHAVIORAL

Disusun oleh: Intan Chairunnisha Nurul Asri Mulyani Dhita Ramdhanyati Nur Intani Nida Choirun Nufus Cindy Simbolon Jessica Annette Lalamentik (201110110231) (210110110234) (210110110238) (210110110281) (210110110282) (210110110314)

Teori Disonansi Kognitif Festinger Teori ini dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 dan berkembang pesat sebagai sebuah pendekatan dalam memahami area umum dalam komunikasi dan pengaruh sosial. Teori Disonansi kognitif dari Leon Festinger merupakan teori yang paling umum dari semua teori konsistensi. Teori ini telah mengahasilkan data empiris terbesar dan juga membangkitkan kontroversi cukup besar dibidang psikologi sosial. Teori disonan

beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan merupakan hubungan yang disonan (tidak harmonis) apabila dengan mempertimbangkan dua elemen itu sendiri, pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen satunya (Festinger 1957, hlm 13). Sebagaimana teori disonansi lainnya, teori ini berpendapat bahwa disonansi, karena secara psikologis tidak nyaman, maka akan memotivasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai harmoni/keselarasan dan selain itu upaya itu orang juga akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan meingkatkan disonansi. Beberapa konsekuensi yang lumayan menarik muncul dari teori disonansi khususnya dibidang-bidang pengambilan keputusan dan permainan peran. - Pengambilan Keputusan. Dalam pengambilan keputusan, disonansi diprediksikan akan muncul karena alternatif pilihan yang dotolak berisi fitur-fitur yang akan mengakibatkan ia diterima dan alternatif pilihan yang dipilih berisi fitur-fitur yang akan mengakibatkan ia ditolak. Dengan kata lain, semakin sulit sebuah keputusan dibuat, maka semakin besar disonansi setelah keputusan diambil. Selain itu, semakinpenting sebuah keutusan maka semakin besar pula disonansi pasca keputusan. - Kepatuhan terpaksa Sebuah area menarik, meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan media massa adalah perubahan sikap akibat kepatuhan terpaksa. Teori disonansi merumuskan bahwa ketika seseorang ditempatkan pada sebuha situasi dimana ia harus berperilaku di depan umum yang bertentangan dengan sikapnya pribadi, maka dia mengalami disonansi dari pengetahuan tentang fakta tersebut. Situasi semacam itu sering terjadi sebagai akibat dari janji pemberian penghargaan atau ancaman hukuman, tetapi kadang hanya akibat tekanan kelompok untuk menyesuikan tehadap sebuah norma yang tidak terlalu disetujuinya. Contohnya adalah permainan peran.

Asumsi-Asumsi Teoritis Asumsi dari teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah: - Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi. - Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan disonansi kognitif. - Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut. - Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.

Aplikasi di dunia komunikasi Dalam dunia komunikasi, teori ini sering terjadi ketika kita sedang berkomunikasi dengan mahkluk sosial lainnya. Komunikasi dapat saja berjalan lancar namun disonansi (tidak harmonis/ketidaknyamanan) dapat pula terjadi tanpa kita ketahui karena adanya permainan peran.

Konstruktivisme Teori Konstruktivisme mengatakan bahwa individu menafsir dan bertindak menurut kategori konseptual yang ada dalam pikiran. Realitas tidak menghadirkan dirinya dalam bentuk kasar, tetapi harus disaring melalui cara seseorang melihat sesuatu. Teori ini dikembangkan oleh Jesse Della dan koleganya yang sebagian besar didasarkan pada teori George Kelly tentang gagasan pribadi yang menyatakan bahwa manusia memahami pengalaman dengan berkelompok serta membedakan kejadian menurut kesamaan dan perbedaanya. Perbedaan yang dirasakan tidk terjadi secara alami, tetapi ditentukan oleh hal-hal yang bertentangan seperti tinggi/pendek, hitam/putih yang digunakan untuk memahami kejadian dan banyak hal disebut gagasan pribadi. Sistem kognitif seseorang terdiri dari banyak perbedaan. Dengan memisahkan pengalaman kedalam kategori-kategori, individu memberinya pemaknaan. Gagasan disusun kedalam skema interpretif yang mengidentifikasi sesuatu dan menempatkan sebuah objek dalam sebuah kategori. Dengan skema interpretif kita memahami sebuah kejadian dengan menempatkannya dalam sebuah kategori yang lebih besar. Skema interpretif ini berkembang seiring perkembangan kita. Anak-anak yang masih sanga muda memiliki sistem gagasan yang sederhana sedngkan sebgaian orang dewasa memilki gagasan yang jauh lebih kompleks.

Teori Kultivasi Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan tindak kekerasan. Teori ini dikemukakan oleh George Gerbner, mantan Dekan dari Fakultas (Sekolah Tinggi)

Komunikasi Annenberg Universitas Pennsylvania,yang juga pendiri Cultural Environment Movement, berdasarkan penelitiannya terhadap perilaku penonton televisi yang dikaitkan dengan materi berbagai program televisi yang ada di Amerika Serikat. Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa dunia itu sangat menakutkan . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa apa yang mereka lihat di televisi yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Gerbner menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat mempengaruhi masyarakat modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi melalui berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari.Televisi mampu mempengaruhi penontonnya, sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang sebagai sebuah realitas objektif. Lebih jauh dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu: a. Para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton

televisi lebih dari 4(empat) jam setiap harinya. Kelompok penonton ini sering juga disebut sebagai kahalayak the television type, b. Penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau

kurang dalam setiap harinya. Sejarah dan Perkembangan Teori Kultivasi George Gerbner memelopori lahirnya teori kultivasi. Meskipun banyak teoritikus telah ikut serta membuktikan kebenaran dari analisis kultivasi Gerbner bertanggung jawab atas hasil ciptaannya. Sebenarnya, Gerbner merupkan penyair asal hongaria yang bermimigrasi ke Amerika Serikat dan memulai pendidikan jurnalisnya di berkely. Setelah bekerja di San Fransisco Chronicle ia kembali melanjutkan pendidikan untuk mengambil gelar master dan melanjutkan lagi ke jenjang Doctor dimana ia menulis Toward a General Theory of Communication bersama James D. Finn ( www.Colostate.edu ). Dari tulisan inilah teori kultivasi bermula.Penelitian pertamanya yang berjudul Cultural Indicators Project pada awal 1960an membuka jalan untuk menambah riwayat kerjanya pada pelaksanaan metode penelitian analisis kultivasi. Gerbner menghabiskan waktunya di The Annenberg School of Communication University of Pensylvania. Dimana ia bertugas sebagai dekan sambil melanjutkan penelitian kultivasi sosial pada televisi, yang menekankan pada kekerasan dan efek televisi. Pada umumnya teori kultivasi terkenal atas penelitian mereka terhadap efek televisi yang walaupun seerhana dan bertahap tetapi juga cukup signifikan dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Mereka memfokuskan penelitian mereka pada topik tingkatan mulai dari peranan gender,

kelompok, usia, hingga kepada sikap berpolitik, tetapi mereka sangat tertarik kepada topik kekerasan. Teori kultivasi menegaskan bahwa sikap heavy viewers telah diolah terutama oleh apa yang mereka tonton di televisi. Gerbner menggambarkan dunia televisi sebagai not a window on or reflection of the world, but a world in itself. Dunia rekayasa ini membujuk heavy viewers untuk membuat asumsi tentang kekerasan, masyarakat, tempat, dan kejadian khayalan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam kehidupan sebenarnya. Dalam hal ini televisi bertindak sebagai agen sosialisasi yang mendidik penonton pada versi yang berbeda dari kenyataan. Latar belakang teori kultivasi meyatakan bahwa penonton cenderung menaruh kepercayaan terhadap televisi ketika mereka menonton televisi lebih sering. Fokus penelitian ini terletak pada heavy viewers. Sedangkan Light Viewers mempunyai banyak sumber sumber lain untuk mempengaruhi pemikiran mereka terhadap realitas daripada heavy viewers yang sumber utama informasinya hanya program televisi. Para teoritikus mencoba untuk membuktikan pemikiran seputar peristiwa kekerasan. Penyelidikan DR. Wade Kenny menunjukan contoh dimana seorang anak yang merupakan heavy viewers mempercayai bahwa tak masalah baginya dipukul bila hal ini memang harus terjadi padanya. Contoh lainnya adalah semakin bertambahnya ketakutan berjalan sendirian di malam hari dan tidak percaya pada semua orang secara umum. Teoritikus kultivasi membedakan antara efek first order (kepercayaan khalayak tentang kehidupan dunia seperti kelaziman dari kekerasan) dan efek second order (sikap- sikap khusus seperti hukum dan tata tertib atau keamanan pribadi). Banyak heavy viewers tidak menyadari pengaruh tayangan televisi terhadap sikap sikap dan nilai nilai dalam hidup mereka.Teoritikus membuktikan bahwa heavy viewing, tidak menghiraukan tingkat pendidikan atau penghasilan, mengendalikan penonton kepada opini yang seragam, sementara light viewing mengendalikan penonton kepada opini yang beragam. Efek kultivasi dari tayangan televisi adalah keseragaman pendapat. Gerbner dan kawan kawan memperlihatkan bahwa kepercayaan heavy viewers yang menonton kekerasan di televisi terhadap munculnya kekerasan didalam kehidupan sehari hari lebih tinggi dibandingkan light viewers yang mempunyai kesamaan latar belakang dengan heavy viewers. Teoritikus mengarahkan hal ini kepada efek mainstreaming. Mean World Syndrome merupakan salah satu efek utama dari teori kultivasi. Hal ini terjadi ketika heavy viewers menganggap dunia sebagai suatu tempat yang keji sedangkan light viewers tidak menganggapnya demikian. Teoritikus menghubungkan dengan kenyataan bahwa televisi melukiskan dunia sebagai suatu tempat yang kejam dan bengis oleh karena itu heavy viewers

terlalu takut dan terlalu berhati hati dalam aktifitasnya sehari-hari. Gerbner melaporkan bukti dari resonance suatu efek double dose yang dapat mendorong terjadinya kultivasi. Hal ini terjadi ketika kehidupan sehari-hari penonton sama dengan yang ditayangkan televisi. Aplikasi di Dunia Komunikasi Dalam dunia komunikasi, teori ini sering terlihat dalam komunikasi massa khususnya televisi. Televisi sebagai media massa yang paling digemari, memberikan tontonan yang tidak benar sehingga penonton mendapatkan dampak buruk dari hal tersebut

Teori Spiral of Silence Spiral kesunyian merupakan teori yang memberi media massa lebih banyak kekuatan dibandingkan teori-teori lain. Noelle Neumann menyatakan bahwa media massa memiliki dampak yang sangat kuat pada opini public tetapi dampak ini diremehkan atau tidak terdeteksi di masa lalu karena keterbatsan riset. Dalam teori Noelle Neumann menerangkan bagaimana proses pembentukan opini public. Pada isu kontroversial orang membentuk kesan mengenai distribusi pesan. Mereka menetukan apakah mereka mayoritas dan apakah opini public sejalan dengan mereka. Apabila mereka merasa minoritas atau opini public berubahmenjadi berbeda pendapat dengan mereka, mereka cenderung diam mengenai isu. Semakin mereka diam, semakin orang merasa sudut pandang tertentu dan semakin mereka diam. Teori spiral kesunyian menyatakan bahwa individu mempunyai organ indra yang mirip statistic yang digunakan untuk menentukan opini dan cara perilaku mana yang disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini dan bentuk perilaku mana yang memperoleh atau kehilangan kekuatan (Noelle Neumann, 1993, hlm. 202) Media massa memainkan peran penting dalam spiral kesunyian karena media massa merupakan sumber yang diandalkan orang untuk menemukan distribusi opini public. Media massa dapat berpengaruh dalam spiral kesunyian dalam tiga cara yaitu, pertama, media massa membentuk kesan tentang opini yang dominan. Kedua, media massa membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat. Ketiga, media massa membentuk kesan tentang

opini mana yang dapat disampaikan di muka umum tanpa merasa tersisih (Noelle Neumann, 1973, hlm. 108) Noelle Neumann menyatakan bahwa kemauan untuk berbicara mengenai isu-isu sangat dipengaruhi oleh persepsi iklim opini apabila iklim opini melawan seseorang, maka orang itu akan diam. Kekuatan yang memotivasi untuk diam ini digambarkan sebagai ketakutan akan keterasingan. Lasorsa (1991) mempertanyakan apakah ketakutan akan iklim opini yang bermusuhan adalah benar-benar kuat, dan dia melaksanakan sebuah survey di mana dia menguji apakah keterbukaan politik dipengaruhi tidak hanya oleh persepsi iklim opini seperti yang dinyatakan Noelle Neumann tetapi juga oleh variabel lain. Variabel lain meliputi usia, pendidikan, penghasilan, minat dalam politik, tigkat persepsi atas kemampuan diri (self efficacy), relevansi pribadi dengan isu, penggunaan media berita oleh seseorang, dan perasaan yakin seseorang dalam kebenaran pendapatnya. Hasil analisis regresi menunjukkan keterbukaan dipengaruhi oleh rintangan variabel demografi (usia, pendidikan, dan penghasilan), tingkat persepsi atas kemampuan diri (self efficiacy), perhatian pada informasi politik dalam media berita, dan perasaan yakin seesorang dalm posisinya, tetapi tidak dipengaruhi oleh relevansi pribadi pada isu atau penggunaan media berita secara umum. Lasorsa menyatakan bahwa hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dihadapan opini public, orang tidak benar-benar selemah dinyatakan teori Noelle Neumann, dan terdapat kondisi yang memungkinkan untuk memerangi spiral kesunyian. Noelle Neumann menyatakan bahwa media massa memainkan peran penting ketika orang berusaha untuk menentukan opini mayoritas. Hipotesis kunci dari spiral kesunyian bahwa media massa digunakan untuk menilai opini mayoritas

Teori Pemrosesan Informasi Teori Pemrosesan Informasi McGuire menyebutkan bahwa perubahan sikap terdiri dari enam tahap, yang masing-masing tahap merupakan kejadian penting yang menjadi patokan untuk tahap selanjutnya. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Pesan harus dikomunikasikan. Penerima akan memerhatikan pesan. Penerima akan memahami pesan. Penerima terpengaruh dan yakin dengan argument-argumen yang disajikan.

5. 6.

Tercapai posisi adopsi baru. Terjadi perilaku yang diinginkan.

McGuire mengatakan bahwa berbagai variabel independen dalam situasi komunikasi dapat memiliki efek pada salah satu atau lebih dari satu di antara tahap di atas. Variabel seperti kecerdasan, misalnya, mungkin mengakibatkan kecilnya pengaruh, karena semakin cerdas seseorang akan semakin mampu mendeteksi cacat dalam sebuah argumen dan lebih suka memegang opini yang berbeda dengan lainnya. Tetapi mungkin lebih menarik perhatian karena semakin cerdas seseorang semakin besar ketertarikannya pada dunia luar. McGuire (1968) juga menyebutkan bahwa ciri khasnya variabel-variabel independen akan memengaruhi satu tahap dengan cara positif dan tahap lain dengan cara negative. Sebuah fear appeal, misalnya, dapat meningkatkan perhatian terhadap pesan yang disampaikan, tahap 1, tetapi menggangu daya pengaruh argument-argumen yang disajikan, tahap 4. Pada sebuah artikel berikutnya, McGuire (1976) mempresentasikan delapan tahap teori pemrosesan-informasi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Paparan Persepsi Pemahaman Kesepakatan Penyimpanan/memori Pemunculan kembali Pengambilan keputusan Tindakan

Jelas sekali bahwa daftar tahap-tahap ini disusun berdasarkan enam tahap sebelumnya, tetapi dengan beberapa tahap sebelumnya yang diolah kembali dan ditambahkan beberapa tahap baru. Masih dalam artkel selanjutnya, McGuire (1989) mempresentasikan 12 tahap dalam output atau variabel dependen yang mendukung proses persuasi: 1. 2. 3. Paparan pada komunikasi Perhatian terhadapnya Rasa suka atau tertarik padanya

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Memahaminya (mempelajari sesuatu) Pemerolehan ketrampilan (belajar cara) Terpengaruh/menurutinya (perubahan sikap) Penyimpanan isi dalam memori dan/atau kesepakatan Pencarian dan pemunculan kembali informasi Pengambilan keputusan berdasarkan pemunculan kembali informasi Berperilaku sesuai dengan keputusan Penguatan terhadap tindakan-tindakan yang diinginkan Konsolidasi pascaperilaku.

Seperti sebelumnya telah dipresentasikan, teori McGuire cenderung berkaitan secara sangat ekslusif dengan variabel-variabel dependen dalam proses persuasi, memilah mereka ke dalam kategori yang semakin banyak sampai 12. Pada karya lain, seperti artikelnya tahun 1989, McGuire juga membahas peranan variabel-variabel independen/ bebas. Seperti sebelumnya telah dipresentasikan, teori McGuire memberi kita sebuah pandangan yang bagus tentang proses perubahan sikap, mengingatkan kita bahwa ia melibatkan sejumlah komponen. Beberapa teori sebelumnya telah menyebutkan semua komponen ini, dan siantaranya, jika ada, penelitian-penelitian perubahan sikap yang meneliti dampak variabelvariabel independen pada semua tahap ini. Kenyataannya, seperti yang disebutkan McGuire, sebagian besar atau literature perubahan sikap yang ekstensif mungkin berfokus pada tahap menuruti atau sepakat terhadap pesan. Akhirnya, teori McGuire mengingtakan kita pada kesulitan perubahan sikap. Teori itu menyebutkan bahwa banyak variabel independen cenderung membatalkan keseluruhan dampak mereka sendiri dengan memberikan dampak positif pada sebuah tahap dalam proses perubahan sikap. Selain itu, kita harus menghadapi fakta bahwa usaha-usaha perubahan sikap yang sukses perlu menyesuaikan efek-efek yang diinginkan oleh variasi tahapan itu.

Teori Penyusunan Tindakan Dikembangkan oleh John Greene, teori penyusunan tindakan menguji cara kita mengatur pengetahuan dalam pikiran dan menggunakannya untuk membentuk pesan. Teori ini menjelaskan apa yang benar-benar terjadi pada manusia untuk menghasilkan tindakan

komunikatif. Menurut teori ini, anda membentuk pesan dengan menggunakan kandungan pengetahuan dan pengetahuan prosedural. Anda tahu tentang hal-hal dan anda tahu bagaimana melakukan hal tersebut. dalam teori penyusunan tindakan, pengetahuan prosedural menjadi intinya. Untuk mengetahui gagasan seperti apa pengetahuan prosedural, bayangkan jika memori anda penuh dengan koneksi antar elemen. Tiap elemen dari memori adalah urat syaraf, dan urat syaraf saling terhubung dengan yang lainnya, lebih seperti jejaring yang terhubung dengan internet. Secara spedigik, pengetahuan prosedural terdiri dari urat syaraf yang berhubungan dengan perilaku, akibat, dan situasi. Contohnya, anda tersenyum dan menjabat tangan orang lain dan berkata; hai apa kabar? kemudian orang tersebut akan tersenyum balik dan berkata, baik, bagaiamana dengan kabarmu? anda menyimpan ini didalam memori anda sebagai sekumpulan syaraf yang terhubung di mana hubungan yang dibuat di antara situasi menyalami seseorang, tersenyum, dan menggunakan kata-kata tertentu, dengan menghasilkan mendapatkan salam baik. Hubungan yang paling sering aktif dan terkini lebih kuat, sehingga syaraf tertentu cenderung berkelompok dalam modul yang disebut Greene dengan rekam prosedural (procedural records). Contoh rekam prosedural adalah senyum sapaan. Rekam prosedural adalah sekumpulan hubungan diantara syaraf dalam sebuah jaringan tindakan yang sebagiannya adalah hubungan otomatis. Sebenarnya mengandung informasi atau makna. Kapanpun anda bertindak, anda harus menyusun prosedur yang tepat atau perilaku. Menurut teori ini kapanpun anda bertindak, anda harus menyusun hubungan perilaku dari prosedur catatan yang tepat. Kumpulan unit (unitized assemblies), tutinitas yang membutuhkan sedikit usaha karena anda tidak perlu memikirkan apa yang harus anda lakukan karena seluruh keadaan sudah ada tersedia dalam memori anda. Representasi keluaran (output representasi) adalah rencana pikiran anda yang menyimpan apa yang akan anda lakukan terhadap situasi yang anda hadapi. Tindakan kemudian disatukan menjadi jaringan pengetahuan. Setiap pengetahuan dalam rutinitasnya sebuah representasi dari sesuatu yang harus dilakukan. Ketika seseorang membutuhkan waktu untuk mengatakan sesuatu, jeda dan menganggap, atau biasanya membingungkan, mereka mungkin kesulitan dalam menyatukan prosedur

pengetahuan dan merancang sebuah tindakan membuktikan bahwa tugas kompleks lebih menyita waktu daripada tugas yang sederhana. Teori penyusunan tindakan disebut juga dengan teori mikrokognitif karena berhubungan dengan pengoperasian kognitif yang sangat spesifik.

Teori Kesopanan oleh Brown dan Stephen Levinson Teori kesopanan merupakan teori yang dikembangkan dari hasil kerja Goffman pada 1967 seorang keturunan Yahudi yang membahas komunikasi dalam kajian sosiologi. Ia menganalisis interaksi sosial, ritus, kesopanan, pembicaraan dan semua hal yang menjalin hubungan sehari-hari. Konsep kesopanan ini juga sempat lebih dulu dikemukakan oleh Lakoff pada tahun 1972 namun beliau menuangkan konsep ini dalam bentuk prinsip. Dalam perkembangannya Brown dan Stphen Levinson pada tahun 1978 mengemukakan teori kesopanan yang menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita merancang pesan-pesan yang melindungi muka orang lain dan mencapai tujua yang lain juga. Brown dan Levinson yakin bahwa kesopanan sering kali juga sebuah tujuan karena hal ini merupakan sebuah nilai universal budaya. Kebudayaan-kebudayaan yang berbeda memiliki tingkat kesopanan yang berbeda dan cara-cara untuk sopan yang berbeda, tetapi semua manusia memiliki kebutuhan untuk dihargai dan dilindungi, yang disebut para peneliti ini dengan kebutuhan wajah. Wajah positif adalah keinginan untuk dihargai dan diakui, untuk disukai dan dihormati. Kesopanan positif dirancang untuk memenuhi keinginan-keinginan ini. Misalnya menunjukkan perhatian, memberi pujian, dan memberikan penyampaian yang terhormat . Wajah negatif adalah keinginan untuk bebas dari gangguan dan kekacauan, sedangkan kesopanan negatif dirancang untuk melindungi orang lain ketika kebutuhan wajah negatif terancam. Kesopanan sangat penting ketika kita harus mengancam wajah orang lain, yang sering terjadi dalam hubungan kita dengan orang lain. Kita melakukan (face threats acts- FTA) ketika bersikap dalam cara yang berpotensi gagal dalam memenuhi kebutuhan wajah positif atau negatif. FTA mengambil lima bentuk. Pertama menyampaikan FTA dengan terus terang atau secara langsung, tanpa tindakan sopan. Kedua, menyampaikan FTA bersamaan dengan beberapa bentuk kesopanan positif. Ketiga, menyampaikan FTA bersamaan dengan beberapa

bentuk kesopanan negatif. Keempat menyampaikan FTA secara tidak diumumkan. Kelima, sama sekali tidak menyampaikan FTA. Misalkan saya hendak meminjam mobil kepada orang tua untuk pergi berjalan-jalan dengan teman. FTA bentuk pertama adalah menyampaikan secara langsung, pernyataan yang saya sampaikan , Bu saya ingin menggunakan mobil sekarang untuk jalan-jalan dengan teman. Mungkin bentuk pendekatan seperti ini terlihat sangat tidak sopan dan jarang menjadi pilihan. Pendekatan yang tidak terlalu mengancam adalah dengan pendekatan yang kedua, misalnya Bu akan lebih menghemat waktu bila saya pergi menggunakan mobil malam ini bersama teman. Saya tahu Ibu yang paling mengerti kondisi jalanan malam minggu seperti ini. Pendekatan lain yang jauh tidak mengancam adalah FTA yang ketiga, Maaf Bu apakah malam ini mobil kita tidak akan dipakai? Saya akan sangat bersyukur kalau saya boleh memakainya. Pendekatan yang cukup menarik dan kompleks adalah FTA yang tidak diumumkan. Sebagai contoh misalkan seorang istri het ndak meminta tolong suaminya untuk mengantarkannya ke acara arisan, Saya bingung harus pergi bagaimana ke arisan di hujan lebat seperti ini? Sang istri tentu saja berharap bahwa suaminya akan langsung berkata, Oh tenang saja saya akan mengantarmu. Menurut Brown dan Levinston, strategi strategi mana yang akan kita gunakan bergantung pada sebuah rumus sederhana: Wx = D(S,H) + P(H,S) +Rx. Rumus ini berarti bahwa jumlah usaha (W) yang dilakukan seseorang bergantung pada jarak sosial (D) di antara pembicara (S) dan pendengar (H), ditambahkan dengan kekuasaan (P) pendengar atas pembicara, ditambahkan risiko (R) menyakiti orang lain. Tentu saja beragam tinngkatan kesopanan anatara perbedaan ini. Salah satu variabel dapat menghalangi variabel lainnya. Contohm mungkin ada sedikit jarak sosial, tetapi ada sedikit perbedaan kekuasaan. Mungkin jarak dan kekuasaan tidak terlalu berpengaruh karena FTA sangat kecil.

Teori Keseimbangan Heider Fritz Heider psikolog Austria tokoh teori konsistensi kognitif yang lahir pada 18 Februari 1896. Pada tahun 1958 ia menerbitkan The Psychology of Interpersonal Relations mengemukakan teori keseimbangan yang juga menandai titik awal dari teori atribusi Teori keseimbangan berkenaan dengan cara seseorang menata sikap terhadap orang atau benda dalam hubungannya satu sama lain di dalam struktur kognitifnya sendiri. Heider

mengemukakan bahwa keadaan yang tidak seimbang menimbulkan ketegangan dan membangkitkan tekanan-tekanan untuk memulihkan keseimbangan. Dia mengatakan bahwa konsep keadaan seimbang menunjukkan sebuah situasi yang di dalam unit-unit yang ada dan sentiment-sentimen yang dialami hidup berdampingan tanpa tekanan. Paradigma Heider berfokus pada dua individu, seseorang (P), objek analisis dan beberapa orang lain (O), dan objek fisik, gagasan, atau peristiwa (X). Fokus Heider adalah pada bagaimana hubungan di antara ketiga entitas ini diorganisasikan dalam benak seseorang (P). Heider membedakan dua jenis hubungan di antara ketiga entitas ini, hubungan kesukaan (l) dan hubungan unit (U) (penyebab, kepemilikan, kesamaan, dan sebagainnya). Dalam pandangan Heider , keadaan seimbang hadir apabila hubungan ketiganya positif dalam segala hal atau apabila dua negatif dan satu positif. Semua kombinasi lain adalah tidak seimbang. Dalam konsep Heider, tingkat kesukaan tidak bisa direpresentasikan, sebuah hubungan bisa positif atau negatif. Diasumsikan bahwa sebuah keadaan seimbang adalah stabil dan menolak pengaruh-pengaruh dari luar. Keadaan tidak seimbang diasumsikan tidak stabil dan menciptakan ketegangan psikologis dalam diri seseorang. Ketegangan ini mereda hanya apabila perubahan di dalam situasi tersebut terjadi sedemikian rupa sehingga tercapai keadaan seimbang. Contoh yang sederhana untuk teori ini misalnya Bretty adalah seorang yang suka menonton tv tapi tidak suka membaca komik. Bretty berpacaran dengan Alto seseorang yang sangat gemar membaca komik namun benci sekali menonton televisi, mereka saling menyayangi dan tidak mau terpisahkan jika mereka masing-masing tidak merubah sikapnya maka akan timbul ketidakseimbangan di antara mereka.

Selective Process Theory Selective Process Theory atau Teori Proses Selektif adalah teori yang termasuk teori komunikasi massa yang merupakan hasil penelitian lanjutan tentang efek media massa pada Perang Dunia II. Pada tahun 1940 para ilmuwan sosial mulai melakukan penelitian-penelitian ilmiah seperti studi Erie County, Studi Decatur, dan Studi Elmira yang semuanya menunjukkan kesimpulan yang sama bahwa pengaruh komunikasi massa adalah terbatas,

tidak all powerful, malahan sama sekali tidak efektif manakala tujuannya tidak menimbulkan sikap dan perilaku nyata. Studi Erie County 1940 tentang pemilihan kepresidenan oleh Lazzarfeld, dkk. Dilaporkan bahwa hanya sedikit yang terpegaruh secara langsung dalam kampanye-kampanye yang diadakan, lebih banyak yang terpengaruh melalui komunikasi antarpribadi. Begitu pula dengan studi opinion leadership (studi Rovere), studi tentang keputusan konsumen (studi Decatur), dan lain-lain menunjukkan adanya peranan besar dari kontak antarpribadi. Menurut Carl Hovland, media massa hanya efektif dalam penyampaian atau penerusan informasi, tetapi sangat kurang efektif dalam mengubah sikap. Riset yang dilakukan oleh Cooper, dkk mengenai kartun Mr. Biggott juga menunjukkan adanya sikap selektif di pihak audiens (terutama selective perception) yang cenderung menurunkan efektivitas. Selanjutnya pada tahun 1960 Joseph Klapper menerbitkan kajian penelitian efek media massa yang tergabung dalam penelitiann pasca perang tentag persuasi, pengaruh persona, dan proses selektif. Teori eksposur selektif adalah sebuah konsep dalam penelitian media dan komunikasi yang mengacu pada kecenderungan individu untuk mendukung informasi yang sudah ada menurut pandangannya dan menghindari informasi yang bertentangan dengan pandangan mereka. Teori ini menunjukkan tindakan orang akan cenderung memilih aspek tertentu dari informasi berdasarkan perspektif mereka sendiri, keyakinan, sikap, dan keputusan. Mereka dapat mengambil informasi tersebut atau malah mengabaikannya sama sekali. Joseph Klapper (1960) menjelaskan bahwa komunikasi massa tidak secara langsung mempengaruhi orang, tapi hanya memperkuat kecenderungan masyarakat. Komunikasi massa berperan sebagai mediator dalam komunikasi persuasif. Klapper menjelaskan bahwa ada lima faktor media dan kondisi yang memengaruhi orang, diantaranya : 1. Kecenderungan dan proses yang terkait paparan selektif, persepsi selektif, dan retensi selektif. 2. 3. 4. 5. Kelompok-kelompok, dan norma-norma kelompok di mana massa berada. Komunikasi Interpersonal. Pendapat para pemimpin. Sifat media massa dalam masyarakat yang cenderung bebas.

Tiga konsep dasar yang dijelaskan Klapper adalah :

1.

Paparan Selektif - orang menjauhkan diri dari komunikasi yang dianggap berlawanan.

2.

Persepsi selektif - Jika pesan yang disampaikan tidak membuat mereka simpati, maka mereka akan meninggalkannya tanpa menilai informasi itu lebih dalam lagi.

3.

Retensi selektif - Mereka akan melupakan informasi yang dianggap tidak penting.

Proses selektif yang terjadi di masyarakat lebih diakibatkan oleh faktor internal. Massa lebih dulu memilih apa yang menurut mereka menarik, layak dan baik untuk mereka dibandingkan memahami secara mendalam isi iklan tersebut. Hal ini pula yang menjadi penyebab utama gagalnya media massa sebagai media penyampai pesan. Contoh lainnya terjadi pada kampanye pemilihan umum. Jika kita perhatikan, para kandidat yang melakukan pemilu berusaha memropagandakan indentitas dirinya kepada massa yang sangat banyak. Namun di sisi lain massa justru acuh dan hanya tertarik dengan apa yang sebelumnya telah mereka percayai sebagai pilihan tepat.

Teori Peluru Teori peluru (Schramm, 1971), teori jarum suntik (Berlo, 1960), atau teori stimulusrespons DeFleur dan Ball-Roeach, 1989). Teori ini mengatakan bahwa khalayak benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Ia menyebutkan bahwa apabila pesan tepat sasaran, ia akan mendapat efek yang diinginkan. Teori peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa yang oleh para pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula hypodermic needle theory (teori jarum hipodermik). Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat hebat, dan komunikannya dianggap pasif aau tidak tahu apa-apa. Komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif). Pengaruh media sebagai hypodermic injection (jarum suntik) didukung oleh munculnya kekuatan propaganda PD I dan PD II. Akan tetapi teori yang dikemukakan Schramm pada tahun 1950-an ini dicabut kembali pada 1970-an, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif. Pernyataan ini didukung oleh Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld mengatakan jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jatuh terjelembab, karena kadang-

kadang peluru itu tidak menembus. Sedangkan Bauer mengatakan bahwa khalayak sasaran tidak pasif. Mereka secara aktif mencari yang diinginkannya dari media massa. Kita sekarang tahu bahwa teori komunikasi massa ini terlalu disederhanakan. Sebuah pesan komunikasi massa tidak memiliki efek yang sama pada masing-masing orang. Dampaknya pada seseorang tergantung pada beberapa hal, termasuk karakteristik kepribadian seseorang dan beragam aspek situasi dan konteks. Namun demikian teori peluru merupakan sebuah terori komunikasi massa yang dapat dimengerti: ia tampaknya lahir dari efektivitas nyata propaganda setelah perang dunia I. Pada saat itu rakyat begitu memercayai kebohongan. Teori ini mungkin tidak akan bekerja baik sekarang, namun pada waktu itu teori ini masih akurat. Akan tetapi saat ini teori peluru mungkin belum mati. Ia muncul dalam bentuk yang sedikit direvisi dalam tulisan filsuf Perancis Jacques Ellul (1973). Ellul berpendapat bahwa propaganda jauh lebih efektif dibandingkan dengan analisa-analisa yang dibuat orang Amerika. Dia secara khusus menolak bukti-bukti dai eksperimen-eksperimen, dan mengatakan bahwa propaganda adalah bagian dari sebuah lingkungan total dan tidak dapat diduplikasikan dalam lingkup laboratorium. Ellul berpendapat bahwa propaganda bersifat sangat meresap dalam kehidupan orang Amerika sehingga sebagian besar dari kita tidak menyadarinya, tetapi ia mampu mengontrol nilai-nilai kita. Tentunya inti dari nilai-nilai ini adalah gaya hidup orang Amerika.

Teori Pembelajaran Sosial Sebuah teori dari bidang psikologi yang berguna dalam mempelajari dampak media massa adalah teori pembelajaran sosial (social learning theory) Albert Bandura (Bandura, 1977, 1994) teori yang menyatakan bahwa terjadi banyak pembelajaran melalui pengamatan pada perilaku orang lain. Teori ini terutama berharga dalam menganalisis kemungkinan dampak kekerasan yang ditayangkan di televisi, tetapi teori ini juga merupakan teori pembelajaran umum yang dapat diaplikasikan pada bidang-bidang dampak media massa yang lain. Teori pembelajaran sosial mengakui bahwa manusia mampu menyadari atau berpikir dan bahwa mereka dapat mengambil manfaat dari pengamatan dan pengalaman. Teori pembelajaran sosial mengakui bahwa banyak pembelajaran manusia terjadi dengan menyaksikan orang lain yang menampilkan perilaku yang beraneka ragam. Misalnya, seorang murid tari Bali dapat

mempelajari

gerakan-gerakan

tertentu

dengan

menyaksikan

instruktur

yang

mendemonstrasikan gerakan-gerakan itu. Jenis pembelajaran ini juga dapat dengan jelas terjadi melalui media massa. Seseorang dapat mengamati orang lain yang terlibat dalam perilaku tertentu di televisi dan dapat mempraktikan perilaku itu dalam kehidupannya. Banyak dari dampak media massa mungkin terjadi melalui proses prmbelajaran sosial. Dampak ini meliputi orang yang belajar bagaimana berpakaian dengan mode baru, cara bergaul anak muda, dan orang yang menyerap perilaku yang berhubungan dengan pria atau wanita. Prmbelajaran sosial terutama efektif dengan media massa seperti televisi, dimana Anda mendapatkan kekuatan yang berlipat ganda dari model tunggal yang mengirimkan caracara berpikir dan berperilaku baru bagi banyak orang di lokasi yang berlainan (Bandura, 1994) yang berkenaan dengan persepsi atas kemampuan diri (self-efficacay) dalam pembelajaran sosial.

Teori Pengartian Semantik Pencetus: Charles Osgood (seorang psikolog) Latar Belakang Teori Osgood berhubungan dengan cara-cara mempelajari makna dan bagaimana makna tersebut berhubungan dengan pemikiran dan perilaku. Teori ini adalah sebuah tempat yang berguna untuk mulai berpikir tentang bagaimana lawan bicara memahami pesan. Dengan menyebut kata terbang, mungkin beberapa orang berpikir bahwa itu adalah suatu cara bepergian yang menyenangkan, namun ada juga yang menganggap nya sebagai sesuatu yang menakutkan. Apapun yang dipikirkan, itu adalah konotasi seseorang terhadap istilah tersebut. Teori Osgood mencoba menjelaskan konotasi ini dan darimana konotasi tersebut berasal. Perkembangannya Teori Osgood memulai dengan bagaimana individu memberi respons terhadap rangsangan dalam lingkungan, membentuk sebuah hubungan rangsangan-respons (R-R). Saat seseorang mendengar kata terbang dalam suatu percakapan maka akan muncul sebuah asosiasi internal dalam pikiran orang tersebut yang mendasari pemaknaan nya terhadap kata itu. Pemaknaan tadi ada di antara rangsangan fisik, yaitu terbang, dan respons perilaku orang

tersebut terhadap rangsangan tersebut. Rangsangan dari luar menghasilkan sebuah pemaknaan internal yang akan menghasilkan respons ke luar. Pemaknaan internal dibagi dua bagian, yaitu respons internal dan rangsangan internal. Keseluruhan rangkaian terdiri atas, rangsangan fisik, respons internal, rangsangan internal, dan respons ke arah luar. Contoh atau aplikasi. Seseorang yang takut terbang memiliki respons internal, yaitu rasa takut, terhadap pesawat terbang. Rasa takut itu memicu kecenderungan penghindaran yang merupakan rangsangan internal bagi respons ke luar yaitu tidak naik pesawat terbang. Makna, bersifat internal dan istimewa terhadap pengalaman seseorang dengan rangsangan alami, disebut konotatif. Salah satu karya besar Osgood adalah pengukuran makna. Osgood mengembangkan perbedaan semantic, yaitu alat bantu pengukuran yang beranggapan bahwa pemaknaan seseorang dapat digunakan dengan penggunaan kata-kata sifat. Metodenya dilmulai dengan mencari seperangkat kata sifat yang dapat digunakan untuk mengungkapkan konotasi seseorang bagi setiap rangsangan. Kata sifat-kata sifat ini disusun saling bertentangan. Orang tersebut diberikan sebuah kata dan diminta untuk menunjukkan pada sebuah skala 7 poin bagaimana dia mengasosiasikan kata dengan pasangan-pasangan kata sifat. Sebuah skala terlihat seperti ini: baik_:_:_:_:_:_:_:buruk. Subjek meletakkan sebuah tanda pada ruang kosong di antara kata sifat-kata sifat tersebut untuk menunjukkan tingkatan baik atau buruk yang dihubungkan dengan rangsangan. Osgood menggunakan teknik statistika yang disebut analisis faktor untuk mengetahui dimensi dasar pemaknaan seseorang. Penemuannya dalam penelitian ini telah menghasilkan teori ruang semantic. Pemaknaan seseorang bagi setiap tanda dikatakan terletak dalam sebuah ruang metaforis yang terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu evaluasi, aktivitas, dan potensi. Tanda, mungkin sebuah kata, menimbulkan sebuah reaksi dalam diri seseorang, terdiri atas sebuah pemahaman tentang evaluasi (baik atau buruk), aktivitas (aktif atau non-aktif), dan potensi (kuat atau lemah). Contoh, pesawat terbang mungkin dipandang sebagai sesuatu yang baik, aktif, dan kuat.

Teori Kongruensi Osgood Teori Kongruensi merupakan teori khusus dari teori keseimbangan Heider. Teori ini dikemukakan oleh Charles Osgood. Teori Kongruensi lebih berkenaan secara khusus dengan sikap orang-orang terhadap sumber-sumber informasi dan objek-objek pernyataan sumber. Teori kongruensi memiliki beberapa kelebihan dibandingkan teori keseimbangan,

diantaranya kemampuan untuk membuat prediksi tentang arah dan tingkat perubahan sikap. Model kongruensi berasumsi bahwa kerangka rujukan cenderung mengarah pada kelugasan maksimal. Karena penilaian-penilaian ekstrem lebih mudah dibuat daripada disaring, maka penilaian cenderung bergerak ke arah ekstrem. Selain maksimalisasi kelugasan ini, ada pula asumsi bahwa identitas (kemiripan) adalah tidak begitu kompleks dibandingkan diskriminasi perbedaan-perbedaan yang halus.

Dalam paradigma kongruensi, seseorang (P) menerima sebuah pernyataan dari suatu sumber (S), yang tentunya dia mempunyai sikap terhadapnya, juga mempunyai sikap terhadap objek(O), dalam model Osgood, seberapa besar P menyukai S dan O akan menentukan apakah terdapat keadaan kongruensi atau konsistensi.

Definisi keseimbangan dan kongruensi adalah sama. Inkongruensi ada saat sikap terhadap sumber dan objek adalah sama dan penilaiannya adalah negative, atau ketika sikap terhadap sumber dan objek adalah berbeda dan asersinya positif. Keadaan yang tidak seimbang mengandung satu atau semua relasi negative.

Ingkonruensi tidak selalu menghasilkan perubahan sikap. Ada beberapa dasar atas keyakinan bahwa banyak materi dimedia yang akan menghasilkan inkongkuensi pada diri seseorang ternyata tidak demikian halnya. Dalam proses pemilihan focus perhatian kita, kita bisa menolak pesan-pesan yang kita curigai tidak akan sesuai dengan konsep kita tentang duniapaparan selektif- atau mungki kita hanya perlu memperhatikan bagian-bagian pasan yang sesuai dengan kerangka rujukan penting kita- perhatian selektif.

Setiap orang memiliki perbedaan dalam memaknai pesan. Dua peneliti bertanya ke lebih dari 700 orang dewasa tentang alasan mereka menonton acara olahraga di televisi. Hasilnya, pria dewasa menonton acara olahraga di televisi untuk hiburan, untuk melihat drama atletik, dan untuk mendapatkan bahan perbincangan. Sementara para wanita lebih suka menonton kejuaraan dengan orang yang menyukai acara itu.

Teori Ketergantungan

Teori ini dikemukakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur.

Teori ini

mengintegrasi beberapa perspektif: pertama, teori ini mengombinasikan perspektif-perspektif psikologi yang bersumber dari teori-teori psikologi sosial. Kedua, teori ini mengintegrasikan perspektif sistem dengan unsur-unsur pendekatan yang lebih kausal. Ketiga, teori ini mengombinasikan unsur-unsur penelitian penggunaan dan kepuasan berikut efek yang ditimbulkannya. Secara umum, teori ini ketergantungan ini selajan dengan teori penggunaan dan kepuasan (uses and gratifications) yakni menekankan bahwa Anda bergantung pada informasi media untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi Anda tidak bergantung pada semua media. Menurut Ball-Rokeach dan DeFleur, ada dua faktor yang menentukan akan seberapa bergantungnya Anda pada media. Pertama, Anda akan menjadi lebih bergantung pada media yang memenuhi beberapa kebutuhan Anda daripada media yang hanya sedikit memuaskan saja. Kedua, stabilitas sosial. Ketika perubahan sosial dan konflik meningkat, ketergantungan akan informasi akan meningkat. Misalnya, ketika tengah terjadi konflik sosial dimasyarakat, audiens akan lebih bergantung pada media untuk mendapatkan informasi dibandingkan dengan situasi sosial yang normal. Teori ini menunjukan bahwa institusi sosial dan sistem media berinteraksi dengan audiens untuk menciptakan kebutuhan, minat, dan motif. Hal ini, selanjutnya, memengaruhi audiens untuk memilih beragam sumber media dan non-media yang selanjutnya dapat menghasilkan beragam ketergantungan. Manusia yang bergantung pada segmen media tertentu akan terpengaruh secara kognitif, afektif, dan perilakunya oleh segmen tersebut. Akibatnya, manusia dipengaruhi dengan cara dan tingkatan yang berbeda oleh media. Kondisi individu tidak hanya bersifat pribadi dan dipengaruhi faktor internal saja, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dari luar yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia itu sendiri. Hal tersebut juga berpengaruh pada tingkat ketergantungan terhadap media. Fakor-faktor dari luar tersebut bertindak sebagai pembatas bagi apa dan bagaimana media dapat digunakan pada ketersediaan pengganti non-media yang lain. Secara umum, dapat disimpulkan sebagai berikut. Semakin media tersedia, semakin besar instrumentalitas yang dirasakan, dan semakin diterima pula penggunaan sebuah media secara sosial dan budaya, dan semakin mungkin penggunaan media akan dianggap sebagai alternatif fungsional yang paling tepat. Selanjutnya, semakin banyak alternative yang dimiliki individu

untuk memuaskan kebutuhannya, individu tersebut tidak akan terlalu bergantung pada media apa pun. Misalnya, jika seseorang hanya memiliki sedikit teman, ia mungkin akan lebih bergantung pada media untuk mendapatkan informasi dibandingkan dengan orang yang memiliki lebih banyak teman. Orang yang memiliki banyak teman akan lebih banyak memiliki alternatif lain untuk berkomunikasi sehingga tidak terlalu banyak tergantung oleh media.

Teori Perencanaan Teori ini dikemukakan oleh Charles L. Berger untuk menjelaskan proses yang dilalui individu dalam merencanakan perilaku komunikasi mereka. Berger menulis, teori perencanaan dikembangkan sebagai jawaban atas gagasan bahwa komunikasi merupakan proses mencapai tujuan. Manusia tidak terlibat dalam kegiatan komunikasi hanya karena mereka memang melakukannya; mereka berkomunikasi untuk memenuhi tujuan. Rencanarencana kognitif memberikan panduan yang penting dalam menyusun dan menyebarkan pesan-pesan untuk mencapai tujuan. Rencana pesan yang canggung memungkinkan pelaku komunikasi mencapai tujuan mereka dengan lebih banyak dan lebih efisien; sehingga kompetensi komunikasi sangat bergantung pada kualitas rencana pesan individu. Berger juga menulis bahwa rencana-rencana dari perilaku komunikasi adalah representasi kognitif hierarki dari rangkaian tindakan mencapai tujuan. Dengan kata lain, rencana-rencana adalah gambaran mental dari langkah-langkah yang diambil oleh seseorang untuk mencapai tujuan. Dalam beberapa kondisi, untuk mencapai tujuan utama diperlukan rencana-rencana tambahan untuk mencapai tujuan tertentu di mana tujuan ini merupakan langkah-langkah strategis untuk meraih tujuan utama, hal ini disebut meta-tujuan. Misalnya, Anda memiliki tujuan untuk menjadi lulusan terbaik di universitas. Maka Anda harus menyusun rencana untuk mencapai tujuan tertentu. Sebelum mengarah pada tujuan lulusan terbaik, maka tujuan awal Anda adalah memiliki nilai-nilai yang baik. Menjadi lulusan terbaik adalah tujuan Anda yang sebenarnya. Memiliki nilai yang baik adalah meta-tujuan Anda. Rencananya adalah, misalnya, belajar dengan sungguh-sungguh. Teori Berger memperkirakan bahwa semakin banyak yang Anda tahu, akan semakin kompleks rencana Anda. Dengan demikian, jika Anda memiliki banyak motivasi dan pengetahuan, maka Anda akan menciptakan rencana yang lebih kompleks.

Perencanaan dan pencapaian tujuan sangat bergantung pada emosi kita. Jika tujuan kita terhalangi, maka kita cenderung akan bereaksi negatif. Sebaliknya, reaksi yang positif akan timbul jika tujuan kita berhasil tercapai.

Teori Simetri Newcomb Teori ini dikemukakan oleh Theodore M. Newcomb. Teori ini dapat membantu menganalisis relasi interaksi diadik. Secara sederhana, model ini melibatkan dua komunikator (A dan B) serta sebuah objek komunikasi (X). Objek komunikasi dalam hal ini dapat berupa objek fisik, peristiwa, kegiatan, sikap, maupun perilaku. Kedua pelaku komunikasi (A dan B) memiliki keterkaitan terhadap objek komunikasi tersebut (X).

Tingkah laku komunikasi terbuka antara A dan B dapat diterangkan melalui kebutuhan mereka untuk mencapai keseimbangan atau keadaan simetris antara satu sama lain dan juga terhadap X. Komunikasi terjadi karena A harus berorientasi terhadap B dan X, serta B harus berorientasi terhadap A dan X. Untuk mencari keadaan yang simetris, A berusaha untuk melengkapi dirinya dengan informasi tentang orientasi B terhadap X, dan ini dapat dilakukan melalui interaksi A, mungkin terdorong untuk memengaruhi atau mengubah orientasi B terhadap X. Jika A menemukan keadaan tidak seimbang diantara mereka, B dengan sendirinya juga akan mempunyai dorongan yang sama terhadap orientasi A. Besarnya pengaruh akan ditanamkan A dan B terhadap satu sama lain serta kemungkinan usaha masing-masing dalam meningkatkan keadaan simetris melalui tindakan komunikasi akan meningkat. Keadaan simetris melalui tindakan komunikasi akan meningkat pada saat daya tarik dan intensitas sikap terhadap X meningkat. Dengan demikian, pada model ini komunikasi merupakan cara yang bisa dan efektif bagi orang yang mengorientasikan dirinya terhadap lingkungannya (Severin dan Tankard, 2005)

Daftar Pustaka Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss. Teori komunikasi edisi 9. 2009. Jakarta : salemba humanika Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr. Teori komunikasi edisi 5. 2008. Jakarta : Kencana http://wsmulyana.wordpress.com/2009/01/09/teori-kultivasi/ http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126189-153.8%20AGU%20d%20%20Disonansi%20Kognitif%20-%20Literatur.pdf http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18917/4/Chapter%20II.pdf

Você também pode gostar