Você está na página 1de 65

BAB I PENDAHULUAN

Persalinan (partus) adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar. Persalinan biasa atau persalinan normal atau persalinan spontan terjadi apabila bayi lahir dengan presentasi belakang kepala tanpa memakai alat-alat atau alat bantu serta tidak melukai ibu dan bayi, dan umumnya berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam.1 Partus lama masih merupakan suatu masalah di Indonesia. Berdasar hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2002-2003 dilaporkan bahwa dari seluruh persalinan, kejadian persalinan lama adalah sebesar 31%, perdarahan berlebihan terjadi pada 7% persalinan, dan angka kejadian infeksi sebesar 5%. Sementara ibu yang tidak mengalami komplikasi selama persalinan adalah sebesar 64%. Berdasar survei ini, maka pelayanan kesehatan ibu di Indonesia masih perlu peningkatan pelayanan dan harus di benahi dengan berbagai pendekatan. 2 Proses persalinan dipengaruhi oleh 3 faktor yang berperan yaitu kekuatan mendorong janin keluar (power), yang meliputi his (kekuatan uterus), kontraksi otot dinding perut, dan kontraksi diafragma. Faktor lain adalah faktor janin (passanger), faktor jalan lahir (passage) dan faktor penolong serta faktor psikis.3 Studi terbaru menunjukkan prevalensi dari posisi oksiput posterior persisten pada kehamilan aterm dan janin tunggal presentasi kepala sebanyak

sekitar 5%, pada beberapa studi belum memfokuskan pada morbiditas yang terkait dengan malposisi. Penelitian secara konsisten telah menunjukkan hubungan posisi oksiput posterior persisten dengan persalinan lama, persalinan yang dibantu , dan penggunaan epidural analgesia.4 Ponkey dkk, mengkonfirmasi bahwa posisi oksiput posterior persisten merupakan malposisi yang umum pada persalinan yang dikaitkan dengan tingkat persalinan pervaginam yang rendah dan sering membutuhkan alat bantu agar dapat terjadi persalinan pervaginam, atau sectio secarea. Selain itu juga terkait dengan berbagai outcome pada ibu yang merugikan seperti persalinan lama, korioamnionitis, laserasi perineum derajat tiga atau empat, kehilangan darah yang banyak, dan infeksi postpartum. Selain itu, bayi yang baru lahir dengan posisi oksiput posterior persisten lebih cenderung memiliki skor Apgar 1-menit yang rendah. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Persalinan Lama a. Definisi Persalinan normal rata-rata berlangsung tidak lebih dari 24 jam dihitung dari awal pembukaan sampai lahirnya anak. Apabila terjadi perpanjangan dari fase laten (pada primipara 20 jam, multipara 14 jam) dan fase aktif (pada primipara 1,2 cm per jam dan 1,5 cm perjam pada multipara) atau kala pengeluaran (primipara 2 jam dan multipara 1 jam), maka kemungkinan dapat terjadi partus lama.1

b. Insidensi Berdasarkan penelitian di Rumah Sakit Park Land, Amerika Serikat, pada tahun 2007, didapatkan bahwa hanya sekitar 50 % ibu dengan janin presentasi kepala yang mengalami partus spontan fisiologi. Lima puluh persen lainnya, perlu mendapatkan intervensi untuk pelahiran. Baik intervensi medis maupun intervensi bedah. Tingginya tingkat partu sabnormal ini juga menunjukkan tingginya tingkat persalinan lama. Persalinan lama di Amerika Serikatdistosia merupakan indikasi dilakukannyaSectio caesarea emergensi pada 68% pasien yang menjalani operasi seksio sesar primer.5

c. Etiologi dan Faktor Resiko

Ada beberapa faktor yang berperan dalam persalinan yaitu :,6,7,8,9


1. Tenaga atau Kekuatan (power) : his (kontraksi uterus), kontraksi otot

dinding perut, kontraksi diafragma pelvis, ketegangan, kontraksi ligamentum rotundum, efektivitas kekuatan mendorong dan lama persalinan. His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan rintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak dapat diatasi, sehingga persalinan mengalami hambatan atau kemacetan.
2. Janin (passanger) : letak janin, posisi janin, presentasi janin dan bentuk

janin. Kelainan letak, posisi atau presentasi janin a. b. c. d. e. f. g. Posisi Oksipitalis Posterior Persisten Presentasi Puncak Kepala Presentasi Muka Presentasi Dahi Letak Sungsang Letak Lintang Presentasi Ganda

Kelainan bentuk janin a. Pertumbuhan janin yang berlebihan b. Hidrosefalus

Kelainan bentuk janin yang lain: janin kembar melekat (double monster), janin dengan perut besar, tumor-tumor lain pada janin.

3. Jalan Lintas (passage) : ukuran dan tipe panggul, kemampuan serviks untuk membuka, kemampuan kanalis vaginalis dan introitus vagina untuk memanjang. Pada panggul ukuran kecil akan terjadi disproporsi dengan kepala janin sehingga kepala janin tidak dapat melewati panggul meskipun ukuran janin berada dalam batas normal. Kurangnya gizi saat masa kanakkanak merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan ukuran pelvis yang kecil pada wanita. Ukuran panggul dapat sangat berbeda dari ukuran normal pada seorang wanita yang menderita riketsia atau osteomalasia di masa mudanya. Selain itu faktor keturunan juga berpengaruh terhadap ukuran dan bentuk panggul. Pintu atas panggul dianggap sempit apabila conjugata vera kurang dari 10 cm atau diameter transversa kurang dari 12 cm. Oleh karena pada panggul sempit kemungkinan lebih besar bahwa kepala tertahan oleh pintu atas panggul, maka dalam hal ini Serviks uteri kurang mengalami tekanan kepala. Apabila pada panggul sempit pintu atas panggul tidak tertutup dengan sempurna oleh kepala janin, ketuban bisa pecah pada pembukaan kecil dan ada bahaya pula terjadinya prolapsus funikuli.

d. Patofisiologi Patofisiologi terjadinya partus lama, dapat diterangkan dengan memahami proses yang terjadi pada jalan lahir saat akhir kehamilan dan saat akhir persalinan.

Dengan memahaminya, kita dapat mengetahui dan memperkirakan faktor apa saja yang menyebabkan terhambatnya persalinan. Pada akhir kehamilan, kepala janin akan melewati jalan lahir, segmen bawah rahim yang cukup tebal dan serviks yang belum membuka. Jaringan otot di fundus masih belum berkontraksi dengan kuat. Setelah pembukaanlengkap, hubungan mekanis antara ukuran kepala janin, posisi dan kapasitas pelvis yang disebut proporsi fetopelvik (fetopelvic proportion), menjadi semakin nyata saat janin turun. Abnormalitas dalam proporsi fetopelvik, biasanya akan semakin nyata saat kala II persalinan dimulai. Penyebab persalinan lama dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu disfungsi uterus murni dan diproporsi fetopelvis. Namun pembagian ini terkadang tidak dapat digunakan karena kedua kelainan tersebut terkadang terjadi bersamaan. 10

e. Gambaran Klinik Gambaran Klinik dari persalinan lama dapat dijelaskan berdasarkan fase persalinan yang mengalami pemanjangan.
Fase Laten Memanjang

Friedman

mengembangkan

konsep

tiga

tahap

fungsional

pada

persalinanuntuk menjelaskan tujuan-tujuan fisiologis persalinan. Walaupun pada tahap persiapan (preparatory division) hanya terjadi sedikit pembukaan serviks, cukup banyak perubahan yang terjadi pada komponen jaringan ikat serviks. Tahap persalinan ini mungkin peka terhadap sedasi dan anestesia regional. Tahap pembukaan/dilatasi (dilatational division) adalah saat pembukaan paling cepat berlangsung. Tahap panggul (pelvic division) berawal dari fase deselerasi

pembukaan serviks. Mekanisme klasik persalinan yang melibatkan gerakangerakan dasar janin pada presentasi kepala seperti masuknya janin ke panggul, fleksi, putaran paksi dalam,ekstensi dan putaran paksi luar terutama berlangsung dalam fase panggul. Namun dalam praktik, awitan tahap panggul jarang diketahui dengan jelas. 1

Gambar 2.1. Perjalanan persalinan Pola pembukaan serviks selama tahap persiapan dan pembukaan persalinan normal adalah kurva sigmoid. Dua fase pembukaan serviks adalah fase laten yang sesuai dengan tahap persiapan dan fase aktif yang sesuai dengan tahap pembukaan. Friedman membagi lagi fase aktif menjadi fase akselerasi, fase lereng (kecuraman) maksimum, dan fase deselerasi. 1

Gambar 2.2. Urutan rata-rata kurva pembukaan serviks pada persalinan nulipara Awitan persalinan laten didefinisikan menurut Friedman sebagai saat ketika ibu mulai merasakan kontraksi yang teratur. Selama fase ini, orientsi kontraksi uterus berlangsung bersama pendataran dan pelunakan serviks. Kriteria minimum Friedman untuk fase laten ke dalam fase aktif adalah kecepatan pembukaan serviks 1,2 jam bagi nulipara dan 1,5 cm untuk ibu multipara. Kecepatan pembukaan serviks ini tidak dimulai pada pembukaan tertentu. Friedman dan Sachtleben mendefinisikan fase laten berkepanjangan sebagai apabila lama fase ini lebih dari 20 jam pada nuliparadan 14 jam pada multipara. 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi durasi fase laten antara lain adalah anestesia regional atau sedasi yang berlebihan, keadaan serviks yang buruk

(misal: tebal, tidak mengalami pendataran atau tidak membuka) dan persalinan palsu. Friedman mengklaim bahwa istirahat atau stimulasi oksitosin sama efektif dan amannya dalam dalam memperbaiki fase laten berkepanjangan. Istirahat lebih disarankan karena persalinan palsu sering tidak disadari. Dengan sedatif kuat, 8

85% dari para ibu ini akan memulai persalinan aktif. Sekitar 10% lainnya berhenti berkontraksi, dan karenanya mengalami persalinan palsu. Akhirnya 5% mengalami rekurensi fase laten abnormal dan memerlukan stimulasi oksitosin. Amniotomi tidak dianjurkan karena adanya insiden persalinan palsu yang 10% tersebut. Friedman melaporkan bahwa pemanjangan fase laten tidak

memperburuk morbiditas atau mortalitas janin atau ibu, tetapi Chelmow dkk, membantah anggapan lama bahwa pemanjangan fase laten tidak berbahaya. 1 Fase Aktif Memanjang Kemajuan peralinan pada ibu nulipara memiliki makna khusus karena kurva-kurva memperlihatkan perubahan cepat dalam kecuraman pembukaan serviks antara 3-4 cm. Dalam hal ini, fase aktif persalinan dari segi kecepatan pembukaan serviks tertinggi. Secara konsistensi berawal dari saat pembukaan serviks 3-4 cm atau lebih, diserati kontraksi uterus, dapat secara meyakinkan digunakan sebagai batas awal persalinan aktif. Demikian pula kurva-kurva ini memungkinkan para dokter mengajukan pertanyaan, karena awal persalinan dapat secara meyakinkan didiagnosis secara pasti, berapa lama fase aktif harus berlangsung. 1 Kecepatan pembukaan yang dianggap normal untuk persalinan pada nulipara adalah 1,2 cm/jam, maka kecepatan normal minimum adalah 1,5cm/jam. Secara spesifik, ibu nulipara yang masuk ke fase aktif dengan pembukaan 3 4 cm dapat diharapkan mencapai pembukaan 8 sampai 10cm dalam 3 sampai 4 jam. Pengamatan ini mungkin bermanfaat. Sokol dan rekan melaporkan bahwa

25% persalinan nulipara dipersulit kelainan fase aktif, sedangkan pada multigravida angkanya adalah 15%. 1 Memahami analasis Friedman mengenai fase aktif bahwa kecepatan penurunan janin diperhitungkan selain kecepatan pembukaan serviks, dan keduanya berlangsung bersamaan. Penurunan dimulai pada saat tahap

akhir dilatasi aktif, dimulai pada pembukaan sekitar 7-8 cm dan paling cepat setelah 8 cm. Friedman membagi lagi masalah fase aktif menjadi gangguan protraction (berkepanjangan/berlarut-larut) dan arrest (macet, tak maju). Ia mendefinisikan protraksi sebagai kecepatran pembukaan atau penurunan yang lambat, yang untuk nullipara, adalah kecepatan pembukaan kurang dari 1,2

cm/jam atau penurunan kurang dari 1 cm per jam. Untuk multipara, protraksi didefinisikan sebagai kecepatan pembukaan kurang dari 1,5 cm per jam atau penurunan kurang dari 2 cm per jam. Sementara itu,ia mendefinisikan arrest sebagai berhentinya secara total pembukaan atau penurunan. Kemacetan pembukaan (arrest of dilatation) didefinisikan sebagai tidak adanya perubahan serviks dalam 2 jam, dan kemacetan penurunan (arrest of descent) sebagai

tidak adanya penurunan janin dalam 1 jam. Prognosis kelainan berkepanjangan dan macet ini cukup berbeda, dimana disproporsi sepalopelvik terdiagnosa pada 30% dari ibu dengan kelainan protraksi. Sedangkan disproporsi sefalopelfik terdiagnosa pada 45% ibu dengan persalinan macet. 1 Ketertkaitan atau faktor lain yang berperan dalam persalinan yang berkepanjangan dan macet adalah sedasi berlebihan, anestesi regional dan malposisi janin. Pada persalinan yang berkepanjang dan macet, Friedman

10

menganjurkan sefalopelvik. 1

pemeriksaan

fetopelvik

untuk mendiagnosis

disproporsi

Terapi yang dianjurkan untuk persalinan yang berkepanjangan adalah penatalaksanaan menunggu,sedangkan oksitosin dianjurkan untuk persalinan

yang macet tanpa disproporsi sefalopelvik.Untuk membantu mempermudah diagnosa kedua kelainan ini, WHO mengajukan penggunaan partograf dalam tatalaksana persalinan. Dimana berdasarkan partograf ini, partus lama dapat didagnosa bila pembukaan serviks kurang dari 1cm/ jam selama minimal 4 jam. 1 Kriteria saat ini yang diajukan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists untuk diagnosis partus lama dan partus macet diperlihatkan dalam tabel dibawah ini. 1 Tabel 2.1. Kriteria diagnostik kelainan persalinan akibat persalinan lama atau persalinan macet

Kala II memanjang

Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir dengan keluarnya janin. Median durasinya adalah 50 menit untuk

11

nulipara dan 20 menit untuk multipara. Pada ibu dengan paritas tinggi yang vagina dan perineumnya sudah melebar, dua atau tiga kali usaha mengejan setelah pembukaan lengkap mungkin cukup untuk mengeluarkan janin

sebaliknya pada seorang ibu, dengan panggul sempit atau janin besar, atau dengan kelainan gaya ekspulsif akibat anestesia regional atau sedasi yang berat, maka kala dua dapat memanjang. Kala II pada persalinann nulipara dibatasi 2 jam dan diperpanjang sampai 3 jam apabila menggunakan anestesi regional. Untuk multipara 1 jam diperpanjang menjadi 2 jam pada penggunaan anestesia regional.1 Penyebab kurang adekuatnya gaya ekspulsif Kekuatan gaya yang dihasilkan oleh kontraksi otot abdomen dapat terganggu secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan melalui vagina. Sedasi berat atau anestesia regional - epidural lumbal, kaudal, atau intratekal kemungkinan besar mengurangi dorongan refleks untuk mengejan, dan pada saat yang sama mungkin mengurangi kemampuan pasien

mengontraksikan otot-otot abdomen. Pada beberapa kasus, keinginan alami untuk mengejan dikalahkan oleh menghebatnya nyeri yang timbul akibat mengejan.1 Bagi ibu yang kurang dapat mengejan dengan benar setiap kontraksi karena nyeri hebat, analgesia mungkin akan memberi banyak manfaat. Mungkin pilihan paling aman untuk janin dan ibunya adalah nitrose oksida, yang dicampur dengan volume yang sama dengan oksigen dan diberikan saat setiap kali kontraksi. Pada saat yang sama, dorongan dan instruksi yang sesuai kemungkinan besar memberi manfaat.1

12

Diagnosis dan tatalaksana Adapun kriteria diagnosa dari tiap klasifikasi persalinan lama dan terapi yang disarnkan ditampilkan pada tabel 2.3 dibawah ini. Tabel 2.2. Klasifikasi persalinan lama berdasarkan pola persalinannya dan terapi yang disarankan

Selain kriteria diatas, terdapat pula sebuah alat bantu yang dapat mebantu dalam mempermudah diagnosa persalinan lama. Alat bantu tersebut

adalah partograf. Partograf terutama membantu

dalam pengawasan fase

aktif persalinan. Kedua jenis gangguan dalam fase aktif dapat didagnosa denganmelihat grafik yang terbentuk pada partograf. Protraction disorder pada fase aktif (partus lama) dapat didagnosa bila bila pembukaan serviks kurangdari 1cm/ jam selama minimal 4 jam. Sedangkan arrest disorder (partus macet) didiagnosa bila tidak terjadi penambahan

13

pembukaan serviks dalam jangka waktu 2 jam maupun penurunan kepala janin dalam jangka waktu 1 jam. Prinsip utama dalam penatalaksanaan pada pasien dengan persalinan lama adalah mengetahui penyebab kondisi persalinan lama itu sendiri. Persalinan lama adalah sebuah akibat dari suatu kondisi patologis. Pada akhirnya, setelah kondisi patologis penyebab persalinan lama telah ditemukan, dapat ditentukan metode yang tepat dalam mengakhiri persalinan. Apakah persalinan tetap dilakukan pervaginam, atau akan dilaukan per abdominam melalui seksio sesarea.Secara umum penyebab persalinan lama dibagi menjadi dua kelainan yaitu disproporsi sefalopelvik dan disfungsi uterus (gangguan kontraksi). Adanya disproporsi sefalopelvik pada pasien dengan persalinan lama merupakan indikasi utnuk dilakukannya seksio sesarea. Disproporsi sefalopelvik dicurigai bila dari pemeriksaan fisik diketahui ibu memiliki faktor risiko panggul sempit (misal: tinggi badan < 145 cm, konjugata diagonalis < 13 cm) atau janin diperkirakan berukuran besar (TBJ > 4000gram, bayi dengan hidrosefalus, riwayat berat badan bayi sebelumnya yang> 4000 gram). Bila diyakini tidak ada disproporsi sefalopelvik, dapat dilakukan induksi persalinan. Pada kondisi fase laten berkepanjangan, terapi yang dianjurkan adalah menunggu. Hal ini dikarenakan persalinan semu sering kali didiagnosa sebagai fase laten berkepanjangan. Kesalahan diagnosa ini dapat menyebabkan induksi atau percepatan persalinan yang tidak perlu yang mungkin gagal. Dan belakangan dapat menyebabkan seksio sesaria yang tidak perlu. Dianjurkan dilakukan observasi selama 8 jam. Bila his berhenti maka ibu dinyatakan mengalami persalinan semu, bila his menjadi

14

teratur dan bukaan serviks menjadi lebih dari 4 cm maka pasien diaktakan berada dalam fase laten. Pada akhir masa observasi 8 jam ini, bila terjadi perubahan dalam penipisan serviks atau pembukaan serviks, maka pecahkan ketuban dan lakukan induksi persalinan dengan oksitosin. Bila ibu tidak memasuki fase aktif setelah delapan jam infus oksitosin, maka disarankan agar janin dilahirkan secara seksio sesarea. 10 Pada kondisi fase aktif memanjang, perlu dilakukan penentuan apakah kelainan yang dialami pasien termasuk dalam kelompok protraction disorder (partus lama) atau arrest disorder (partus tak maju). Bila termasuk dalam kelompok partus tak maju, maka besar kemungkinan ada disproporsi sefalopelvik. Disarankan agar dilakukan seksion sesarea. Bila yang terjadi adalah partus lama, maka dilakukan penilaian kontraksi uterus. Bila kontraksi efisien (lebih dari 3 kali dalam 10 menit dan lamanya lebih dari 40 detik), curigai kemungkinan adanya obstruksi, malposisi dan malpresentasi. Bila kontraksi tidak efisien, maka penyebabnya kemungkinan adalah kontraksi uterus yang tidak adekuat. Tatalaksana yang dianjurkan adalah induksi persalinan dengan oksitosin. Pada kondisi Kala II memanjang, perlu segera dilakukan upaya pengeluaran janin. Hal ini dikarenakan upaya pengeluaran janin yang dilakukan oleh ibu dapat meningkatkan risiko berkurangnya aliran darah ke plasenta. Yang pertama kali harus diyakini pada kondisi kala II memanjang adalah tidak terjadi malpresentasi dan obstruksi jalan lahir. Jika kedua hal tersebut tidak ada, maka dapat dilakukan percepatan persalinan dengan oksitosin. Bila percepatan dengan oksitosin tidak mempengaruhi penurunan janin, maka dilakukan upaya pelahiran janin. Jenis

15

upaya pelahiran tersebut tergantung pada posisi kepala janin. Bila kepala janin teraba tidak lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau ujung penonjolan kepala janin berada di bawah station 0, maka janin dapat dilahirkan dengan ekstraksi vakum atau dengan forseps. Bila kepala janin teraba diantara 1/5 dan 3/5 diatas simfisi pubis atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diantara station 0 dan station -2, maka janin dilahirkan dengan ekstraksi vakum dan

simfisiotomi. Namun jika kepala janin teraba lebih dari 3/5 diatas simfisi pubis atau ujung penonjolan tulang kepala janin berada diatas station -2, maka janin dilahirkan secara seksio sesaria. 10

f. Dampak Persalinan Lama Pada Ibu-Janin Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi, baik bagi ibu maupun bagi anak yang dilahirkan. Adapun komplikasi yang dapat terjadi akibat persalinan lama antara lain adalah: 1 Infeksi Intrapartum Infeksi adalah bahaya serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri dalam cairanamnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korionsehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin, akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi adalah konsekuensiserius lainnya. Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri vagina ke dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila terjadi persalinan lama.

16

Ruptura Uteri Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya

seriusselama partus lama, terutama pada ibu dengan paritas tinggi dan padamereka dengan riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala janin dan panggul semakin besar sehingga kepala tidak cakap (engaged) dan tidak terjadi penurunan, segmen bawah uterus dapat menjadi sangat teregangkemudian dapat menyebabkan ruptura. Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah krista transversalatau oblik yang berjalan melintang di uterus antara simfisi dan umbilikus.Apabila dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominam segera. Cincin Retraksi Patologis Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl, yaitu pembentukan cincin retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini sering timbul akibat persalinan yang terhambat disertai peregangan dan

penipisan berlebihan segmen bawah uterus. Pada situasi semacam ini, cincin dapat terlihat jelas sebagai suatu identasi abdomen dan menandakan akan rupturnya seegmen bawah uterus. Pada keadaan ini, kadang-kadang dapat dilemaskan dengan anestesia umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang seksio sesarea yang dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih baik. Pembentukan Fistula Apabila bagian terbawah janin menekan kuat pintu atas panggul, tetapitidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, jalan lahir yang

17

terletak diantaranya

dan

dinding

panggul

dapat

mengalami

tekanan

yang berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan timbulnya fistula vesikovaginal, vesikorektal atau rektovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini pada persalinan kala dua yang berkepanjangan. Dahulu pada saat tindakan operasi ditunda selama mungkin, penyulit ini sering dijumpai,tetapi saat ini jarang, kecuali di negara-negara yang belum berkembang. Cedera Otot-otot Dasar Panggul Suatu anggapan yang telah lama dipegang adalah bahwa cedera ototototdasar panggul atau persarafan atau fasi penghubungnya merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan pada persalinan pervaginam, terutama apabila persalinannya sulit. Saat kelahiran bayi, dasar panggul mendapatkan tekanan langsung dari kepala janin dan tekanan ke bawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya ini meregangkan dan melebarkan dasar panggul, sehingga terjadi perubahan anatomik dan fungsional otot, saraf dan jaringan ikat. Terdapat semakin besar kekhawatiran bahwa efek-efek pada otot dasar panggul selama melahirkan ini akan menyebabkan inkontinensia urin dan alvi serta prolaps organ panggul.

Efek pada Janin1 Partus lama itu sendiri dapat merugikan. Apabila panggul sempit dan juga terjadi ketuban pecah lama serta infeksi intrauterus, risiko janin dan ibu akan muncul. Infeksi intrapartum bukan saja merupakan penyulit yang serius pada ibu,

18

tetapi juga merupakan penyebab penting kematian janin dan neonatus. Hal ini disebabkan bakteri didalam cairan amnion menembus selaput amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion, sehingga terjadi bakterimia pada ibu dan janin. Pneumonia janin, akibta aspirasi cairan amnion yang terinfeksi adalah konsekuensi serius lainnya. 1 Kaput Suksedaneum Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput suksedaneum yang besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan menyebabkan kesalahan diagnosis yang serius. Kaput dapat hampir mencapai dasar panggul sementara kepala belum engaged. Dokter yang kurang berpengalaman dapat melakukan upaya secara prematur dan tidak bijak untuk melakukan ekstraksi forceps. Biasanya kaput suksedanum, bahkan yang besar sekalipun akan menghilang dalam beberapa hari. 1 Molase Kepala Janin Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besar, suatu proses yang disebut molase (molding, moulage). Perubahan ini biasanya tidak menimbulkan kerugian yang nyata. Namun, apabila distorsi yang terjadimencolok, molase dapat menyebabkan ribekan tentorium, laserasi pembuluhdarah janin dan perdarahan intrakranial pada janin. 1

19

II.2. Posisi Oksiput Posterior Persisten (POPP) Posisi mengacu kepada hubungan antara salah satu bagian presentasi janin dengan sisi kanan atau kiri jalan lahir ibu. Oleh karena itu, pada setiap presentasi mungkin terdapat dua posisi, kanan atau kiri.10 Pada kebanyakan persalinan dengan posisi oksipito posterior, kepala akan mengalami putaran paksi sehingga anak lahir dengan oksiput di bawah simfisis, namun karena sudut pemutaran pesar (umumnya 135o), kala II biasanya sedikit lebih lama. Putaran paksi ini baru terjadi di Hodge III+, bahkan kadang-kadang baru terjadi di Hodge IV. 11 Jika pada posisi oksiput posterior ubun-ubun kecil berputar ke belakang, kita sebut posisi oksiput posterior persisten. 11

Gambar 2.3. (A) posisi oksiput posterior kanan; (B) posisi oksiput posterior kiri Janin masuk panggul dalam posisi oksiput kiri transversal (LOT) pada 40 persen persalinan, dibandingkan dengan 20 persen dalam posisi oksiput kanan transversal (ROT). Pada sekitar 20 persen persalinan, janin masuk panggul dalam

20

posisi oksiput posterior (OP), dengan oksiput kanan posterior (ROP) sedikit lebih sering daripada yang kiri. Sekitar 10 persen oksiput posterior kiri menetap sampai janin keluar. 10 Posisi oksiput posterior biasanya mengalami rotasi anterior spontan dan pelahiran berlangsung tanpa penyulit. Persalinan dan pelahiran tidak berbeda banyak dari yang terjadi padaa janin dengan posisi oksiput anterior. 10 Akan tetapi, terdapat perbedaan penting antara posisi oksiput posterior persisten dan posisi oksiput anterior. Persalinan cenderung lebih lama dan insidensi intervensi operatif, termasuk forsep dan sesar lebih tinggi , pada janin dengan posisi oksiput posterior persisten. Persalinan pervaginam dengan tindakan pada para janin ini lebih sulit dilakukan dan lebih besar kemungkinannya menyebabkan laserasi perineum daripada pada janin dengan presentasi oksiput anterior. 10 Studi terbaru menunjukkan prevalensi dari posisi oksiput posterior persisten pada kehamilan aterm dan janin tunggal presentasi kepala sebanyak sekitar 5%, pada beberapa studi belum memfokuskan pada morbiditas yang terkait dengan malposisi. Penelitian secara konsisten telah menunjukkan hubungan posisi oksiput posterior persisten dengan persalinan lama, persalinan yang dibantu , dan penggunaan epidural analgesia.4 Ponkey dkk, mengkonfirmasi bahwa posisi oksiput posterior persisten merupakan malposisi yang umum pada persalinan yang dikaitkan dengan tingkat persalinan pervaginam yang rendah dan sering membutuhkan alat bantu agar dapat terjadi persalinan pervaginam, atau sectio secarea. Selain itu juga terkait

21

dengan berbagai outcome pada ibu yang merugikan seperti persalinan lama, korioamnionitis, laserasi perineum derajat tiga atau empat, kehilangan darah yang banyak, dan infeksi postpartum. Selain itu, bayi yang baru lahir dengan posisi oksiput posterior persisten lebih cenderung memiliki skor Apgar 1-menit yang rendah. 4 Penyebab langsung dari POPP sering tidak diketahui tetapi dapat berhubungan dengan bentuk rongga panggul yang abnormal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tidak terjadinya paksi pada posisi oksiput posterior persisten adalah :11
a. Sering dijumpai pada panggul anthropoid, android dan kesempitan midpelvis.

b. Ketuban pecah sebelum waktunya c. Fleksi kepala kurang d. Inersia uteri e. Letak punggung janin dorsoposterior f. Janin kecil atau janin mati g. Arkus pubis sangat luas h. Dolichocephali i. Panggul sempit Adakalanya oksiput berputar ke belakang dan anak lahir dengan muka dibawah simfisis. Ini terutama terjadi jika fleksi kepala kurang. Untuk menghindari ruptura perinei totalis, episiotomi harus dibuat lebih lebar karena dalam hal ini perineum diregang oleh sirkumferensia occipito frontalis. Hanya

22

sebagian kecil (4%) dari posisi oksipito posterior yang memerlukan pertolongan pembedahan.11 Dasar diagnosis dari posisi oksiput posterior persisten adalah:12
Diagnosis saat antenatal 1. Anamnesis12

Pasien akan mengeluhkan adanya nyeri punggung dan merasa bagian bawah janin sangat tinggi menekan tulang rusuk. Selain itu juga pasien merasakan adanya pergerakan di kedua sisi perutnya.
2. Pemeriksaan fisik12

Inspeksi : terdapat depresi berbentuk piring pada daerah umbilikus atau di bawahnya. Depresi ini dibuat oleh 'dip' antara kepala dan tungkai bawah janin. Garis besar dibuat oleh kepala yang tidak mengalami engaged sehingga terlihat seperti kandung kemih yang penuh.

Palpasi : Saat bagian bokong dengan mudah dipalpasi pada fundus, bagian punggung menjadi sulit untuk dipalpasi, seperti berpindah keluar dari samping ibu. Kadang-kadang hampir berdekatan dengan tulang belakang ibu. Tungkai janin dapat dirasakan pada kedua sisi garis tengah. Kepala biasanya tinggi, posisi posterior merupakan penyebab paling sering tidak terjadinya engaged pada primigravida pada kehamilan aterm. Hal ini disebabkan diameter presentasi kepala yang besar yaitu occipitofrontalis (11,5 cm), tidak mungkin untuk masuk ke pinggir panggul sampai persalinan dimulai dan fleksi terjadi. oksiput dan ubun-ubun berada pada tingkat yang sama.

23

Gambar 2.4. Ukuran diameter kepala saat defleksi Fleksi memungkinkan keterlibatan diameter suboccipitofrontal (10cm). Penyebab terjadinya defleksi adalah pelurusan dari tulang belakang janin terhadap kurva lumbal dari tulang belakang ibu. Hal ini membuat janin meluruskan leher dan mengadopsi sikap yang lebih tegak.

Gambar 2.5. fleksi dan penurunan kepala

24

Auskultasi : Bagian belakang janin tidak tertekuk dengan baik sehingga dada terdorong maju, sehingga jantung janin dapat didengar dalam garis tengah. Namun, jantung dapat didengar lebih mudah di daerah pinggul pada sisi yang sama dengan punggung.

Diagnosis selama persalinan Pasien mengeluh sakit punggung yang terus-menerus parah dan semakin memburuk dengan adanya kontraksi. Namun, tidak adanya sakit punggung tidak selalu mengindikasikan posisi janin anterior. Besarnya lingkar kepala dan bentuk yang tidak beraturan tidak sesuai dengan leher rahim. Oleh karena itu selaput ketuban cenderung pecah spontan pada tahap awal persalinan dan kontraksi mungkin tidak koordinatif. Turunnya kepala dapat menjadi lambat bahkan dengan kontraksi yang baik. Pasien mungkin memiliki keinginan yang kuat untuk mendorong janin di awal persalinan karena oksiput sudah menekan rektum. 12 Pada pemeriksaan vagina, hasil tergantung pada derajat fleksi kepala, Fontanella posterior dekat sakrum, fontanella anterior dengan mudah teraba jika kepala dalam keadaan defleksi adalah diagnostik, namun menjadi sulit jika caput succedaneum sudah muncul. Arah dafri sutura sagitalis dan lokasi dari fontanel posterior akan membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis. 12

25

Gambar 2.6. Posisi oksipitoposterior kanan dilihat secara pervaginam Penatalaksanaan Persalinan dengan janin POPP dapat menjadi lama dan menyakitkan. Defleksi kepala tidak sesuai untuk masuk ke servik dan kemudian tidak dapat menghasilkan rangsangan untuk kontraksi uterus. Pada kala I, dokter dapat membantu untuk memberikan dukungan fisik seperti pijatan dan tindakan kenyamanan lain serta menyarankan perubahan postur dan posisi. Persalinan dapat menjadi lama dan dokter harus melakukan semua yang dapat untuk mencegah ibu dari kondisi dehidrasi atau ketotik. Pada beberapa kasus dimana kontraksi lemah dan tidak efektif maka drip oksitosin dapat diperlukan untuk merangsang kontraksi yang adekuat dan meningkatkan kemajuan persalinan. Lamanya fase kala II biasanya meningkat saat tejadi POPP dan meningkatkan resiko sectio sesarea. Kadang-kadang janin perlu segera dikeluarkan jika ubun-ubun triangular (oksipital) mengarah ke posterior. Saat janin perlu dikeluarkan, kepala sering menekuk secara tidak sempurna. Pada beberapa kasus, saat tangan dimasukkan ke dalam vagina untuk mengetahui letak telinga posterior, oksiput berputar spontan ke arah anterior yang menunjukkan bahwa rotasi manual kepala janin dapat dengan mudah dilakukan. 10

26

Gambar 2.7. Persalinan pada posisi oksipitoposterior persistent Jika rotasi manual tidak mudah dilakukan, prosedur yang paling aman mungkin adalah pemasangan forsep ke kepala di posisi posterior dan pelahiran dari posisi oksiput posterior. 10 Pimpinan persalinan untuk POPP adalah :8 1. Sabar menunggu, karena ada harapan UUK akan memutar kedepan dan janin akan lahir spontan. 2. Ibu berbaring miring kearah punggung janin. 3. Bila ada indikasi dan syarat telah terpenuhi, dilakukan ekstraksi forsep, ada 2 cara :

27

a. b.

Menurut SCANZONI Menarik saja dengan UUK dibelakang

Penanganan Khusus Rotasi secara spontan menjadi oksiput anterior terjadi pada 90% kasus. Persalinan yang terganggu terjadi jika kepala janin tidak rotasi atau turun. Para persalinan dapat terjadi robekan perineum yang tidak teratur atau ekstensi episiotomi.3 a. Jika ada tanda-tanda persalinan macet atau DJJ lebih dari 180 atau kurang dari 100 pada fase apapun, lakukan seksio sesarea. b. Jika ketuban utuh, pecahkan ketuban dengan pengait amnion atau klem kocher. c. Jika pembukaan serviks bekum lengkap dan tidak ada tanda abstruksi, akselerasi persalinan dengan desitoksin. d. Jika pembukaan serviks lengkap dab tidak ada kemajuan pada fase pengeluaran periksa kemungkinan adanya obstruksi. Jika tidak ada obstruksi, akselerasi persalinan dengan aksitoksin. e. Jika pembukaan lengkap dan jika : 1. Kepala janin teraba 3/5 atau lebih diatas simfisis pubis (PAP) atau

kepala diatas stasion (-2) lakukan seksio sesarea. 2. Kepala janin diantara 1/5 dan 3/5 diatas simfisis pubis atau bagian

terdepan kepala janin diantara stasion 0 dan -2 : oLakukan ekstraksi vakum oAtau seksio sesarea

28

3.

Kepala tidak lebih dari 1/5 diatas simfisis pubis atau bagian

terdepan dari kepala janin berada di stasion 0, lakukan ekstraksi vakum atau ekstraksi cunam. Pada banyak kasus, penyebab posisi oksiput posterior persisten dan sulitnya memutar kepala janin adalah panggul antropoid, yang arsitekturnya memudahkan pelahiran posterior dan menyulitkan rotasi. Jika oksiput tepat di posterior, maka harus dilakukan traksi horizontal sampai hidung berada di bawah simfisis. Pegangan forseps kemudian harus secara perlahan diangkat sampai oksiput perlahan-lahan muncul melewati batas anterior perineum. Kemudian dengan melakukan gerakan ke bawah forcep, secara berturut-turut muncul hidung, wajah, dan dagu dari vulva. 10

Gambar 2.8. Persalinan pada posisi oksipitoposterior persistent dengan forsep

29

Komplikasi Selain persalinan lama dengan risiko yang menyertainya untuk ibu dan janin dan kemungkinan peningkatan persalinan dengan instrument, komplikasi berikut mungkin terjadi :12 1. Partus macet Hal ini dapat terjadi ketika kepala defleksi atau sebagian mengalami extended dan menjadi impacted pada panggul.
2. Trauma pada ibu

Forceps dapat mengakibatkan memar dan trauma pada perineum. kelahiran bayi dengan posisi occipitoposterior persisten, terutama jika tidak didiagnosis sebelumnya, dapat menyebabkan laserasi derajat tiga.
3. Trauma neonatal

Trauma neonatal muncul pada bayi dengan posisi occipitoposterior dikaitkan persalinan dengan forceps atau ventouse.
4. Prolaps umbilicus

Letak kepala yang tinggi merupakan predisposisi terjadinya ketuban pecah dini, dimana secara bersamaan dapat menyebabkan prolaps tali pusat.
5. Pendarahan otak

Proses moulding dari tengkorak janin yang tidak sesuai, ditemukan dalam posisi occipitoposterior, dapat menyebabkan perdarahan intrakranial, sebagai akibat dari falx cerebri yang tertarik menjauh dari tentorium cerebelli.

30

Diameter lingkar kepala yang lebih besar juga cenderung memiliki tingkat kompresi yang lebih besar. Pendarahan otak juga bisa terjadi akibat hipoksia kronis, yang mungkin menyertai persalinan lama.

31

BAB III LAPORAN KASUS

I. Nama Umur Agama Suku

Identitas : Ny.Marhamah : 29 tahun : Islam : Banjar : Ibu Rumah Tangga Suku Pekerjaan Nama suami : Tn. Helmi Umur Agama : 35 tahun : Islam : Banjar : Tani

Pekerjaan Alamat

: Desa Tabunganen Pemurus Kab.Barito Kuala

MRS tanggal : 31 12 2012 (Pukul 12.30 Wita) II. Anamnesa

Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa tanggal 31-12-2012 1. Keluhan utama : Keluar lendir darah 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Aluh-aluh dengan diagnosis G1P0A0 Hamil 39 minggu JTHIU presentasi kepala. Pasien mengeluh keluar lendir darah sejak 13 jam SMRS (pukul 23.00). pasien juga mengeluh adanya mules-mules namun jarang. Pasien lalu ke bidan dan dilakukan pemeriksaan,saat itu tekanan darah 140/80mmHg dan TFU 49cm, kemudian pasien dirujuk ke RS Ulin. Pasien terdapat kaki bengkak sejak kehamilan 8 bulan. Pasien tidak ada mengeluh sakit kepala hebat, mual-muntah, nyeri ulu hati maupun kejang. 32

Selama hamil pasien rutin ANC ke Puskesmas sebanyak 6 kali dan dikatakan kehamilan baik-baik saja dan tekanan darah dalam batas normal. Pasien juga ada periksa ke dr Sp.OG dan dikatakan keadaan anak baik berjenis kelamin laki-laki dan taksiran berat 3,9 kg. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Os mengaku tidak pernah menderita darah tinggi, asma maupun kencing manis. 4. Riwayat Penyakit Keluarga Os mengatakan tidak ada anggota keluarga yang lain yang menderita tekanan darah tinggi, kencing manis maupun asma. 5. Riwayat Haid Menarche umur 16 tahun, siklus haid 28 hari, teratur, lama 7 hari, tidak ada keluhan selama haid. HPHT 15-09-2012, UK : 37-38 minggu, Taksiran persalinan : 22-01-2013. 6. Riwayat Perkawinan: Os menikah pada 1 kali dan sudah 8 tahun lamanya. 7. Riwayat Kontrasepsi Os pernah menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulan dan suntik 1 bulan 8. Riwayat Obstetri: 2005/ perempuan / 3800gram / aterm/ rumah/ bidan praktek swasta 2012/ hamil ini

33

Pemeriksaan A. Pemeriksaan Fisik Umum 1. Keadaan umum 2. Kesadaran 3. Tanda Vital Tensi Nadi Suhu Pernapasan BB : 60 kg 4. Kepala dan leher Kepala : Bentuk normal Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, palpebrae tidak edem, pupil isokor, refleks cahaya +/+. Telinga : Bentuk normal, tidak ada cairan yang keluar dari telinga, tidak ada ganguan pendengaran. Hidung : Bentuk normal, tidak tampak defiasi septum, tidak ada sekret, tidak ada epistaksis, tidak ada pernapasan cuping hidung. Mulut : Bibir dan mukosa tidak anemis, perdarahan gusi tidak ada, tidak ada trismus, tidak ada pembesaran atau radang pada tonsil, lidah tidak ada kelainan, tidak ada gigi palsu. :140/80 mmHg : 88 x/menit : 37 oC : 22 x/menit TB: 148 cm : Baik : Kompos mentis, GCS: 4-5-6

34

Leher : Tidak ada kaku kuduk, tidak tampak pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid, tidak ada pembesaran JVP. 5. Thoraks Paru Inspeksi : bentuk normal, gerakan cepat dan simetris Palpasi Perkusi : fremitus raba +/+ simetris, tidak ada nyeri tekan. : sonor +/+, tidak ada nyeri ketuk.

Auskultasi : Vesikuler, tidak ada ronkhi atau wheezing. Jantung Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, bising jantung tidak ada. 6. Abdomen : Status Obstetri

7. Ekstremitas atas dan bawah : Atas Bawah : Edema (-), gerak normal, nyeri gerak (-). : Edema (+), gerak normal, nyeri gerak (-).

B. 1. Inspeksi 2. Palpasi

Pemeriksaan Obstetri : : Perut tampak membuncit asimetris : : fundus uteri teraba 3 jari di bawah processus xyphoideus (TFU = 38 cm) Leopold II Leopold III Leopold IV : memanjang, punggung kanan. : presentasi kepala : Sudah masuk PAP (4/5)

Leopold I

35

His TBJ

: tidak ada : 4185 gram

3. Auskultasi : DJJ 145 x/menit. 4. Pemeriksaan Dalam : Vaginal Touche : portio teraba kenyal, ketuban (+), pembukaan 3 cm, bagian kepala terbawah di Hodge I dengan penunjuk sutura sagitalis melintang Kesan Panggul : luas

C. Pemeriksaan Penunjang Hb Sahli 10 gr %. Protein dipstcik +1 Hasil Laboratorium tanggal 31 Desember 2012 Pemeriksaan HEMATOLOGI Hb Eritrosit Leukosit Hematokrit Trombosit RDW-CV MCV, MCH, MCHC MCV MCH MCHC HITUNG JENIS Gran % Limfosit % MID% Gran # Limfosit # MID # PROTHROMBINE TIME Hasil PT INR Hasil 11,5 4,19 8,5 35,3 218 14,2 84,3 27,4 32,5 71,3 21,8 6,9 6,10 1,9 0,5 9,5 0,84 36 Nilai Normal 14-18 g/dl 4,50-6,00 juta/ul 4.000-10.500 rb/ ul 40-50 vol% 150.000-450.000/ul 11,5-14,7 % 80-97 fl 27-32 pg 32-38 % 50,0-70,0 % 25,0-40,0 % 4.00-11.0 % 2.50-7.00 ribu/ul 1.25-4.0 ribu/ul Ribu/ul 9,9-13,5 -

Control Normal PT Hasil APTT Control Normal APTT KIMIA DARAH GDS HATI SGOT SGPT GINJAL Ureum Kreatinin ELEKTROLIT Natrium Kalium Chlorida

11,4 29,2 26,1 93 25 12 10 0,7 143,5 3,5 105,6

22,2-37,0 <200 mg/dL 0-46 U/I 0-45 U/I 10- 45 mg/dL 0,6-1,2 mg/dL 135-146 3,4-5,4 95-100

IV. Diagnosa G2P1A0, Hamil 37-38 minggu + Inpartu kala I fase laten + Preeklampsia ringan + Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala+ curiga bayi besar.

V. Penatalaksanaan -

IVFD RL 20 tpm NST, USG Monitor KU/TV/DJJ/HIS/kemajuan persalinan Evaluasi 6 jam pro Spt Bk

VI. Observasi Tanggal 31-12-2012 jam 18.00 WITA /S= O= mules-mules (+), gerak janin (+) TD = 120/80 mmHg RR= 20 x/menit

37

N = 88 x/menit DJJ= 144 x/menit

T = 36,5oC His : 2-3 kali dalam 10 menit, lam 25 detik

VT : ketuban (+), pembukaan 7 cm, bagian kepala terbawah di Hodge I dengan penunjuk ubun-ubun kecil kiri posterior A= G2P1A0, Hamil 37-38 minggu + Inpartu kala I fase aktif + Preeklampsia ringan + Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala dengan posisi oksiput posterior+ curiga bayi besar. P= Evaluasi 2 jam pro expectative pervaginam Monitor KU/TV/DJJ/HIS

Tanggal 31-12-2012 jam 20.00 WITA S= O= mules-mules (+), gerak janin (+) TD = 120/80 mmHg N = 78 x/menit DJJ= 134 x/menit RR= 20 x/menit T = 36,6oC His : 3-4 kali dalam 10 menit, lama 35 detik

VT : ketuban (+), pembukaan 7 cm, bagian kepala terbawah di Hodge I dengan penunjuk ubun-ubun kecil kiri posterior A= G2P1A0, Hamil 37-38 minggu + Inpartu kala I fase aktif + Secondary arrest ec. posisi oksiput posterior persisten + Preeklampsia ringan + Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala + curiga bayi besar. P= KIE dan informed consent pro cito SC Monitor KU/TV/DJJ/HIS

38

VII. Laporan Sectio secarea Diagnosa Pre operasi : G2P1A0, Hamil 37-38 minggu + Inpartu kala I fase aktif + Secondary arrest ec. posisi oksiput posterior persisten + Preeklampsia ringan + Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala + curiga bayi besar Macam Operasi Tanggal operasi Jenis Anestesi Laporan Operasi profilaksis
-

: SC : 31 Desember 2012 jam 20.45 WITA : Spinal Anestesi : KIE dan Informed consent, pasang infus dan kateter. antibiotik

Pasien terlentang dalam pengaruh anestesi SAB Desinfeksi lapangan operasi Di buat Insisi midline, di perdalam lapis demi lapis sampai

dengan cavum abdomen terbuka. o o o


o

Pada eksplorasi didapatkan : Uterus gravida aterm AP D/S dalam batas normal Diputuskan dilakukan LSCS : Dibuat bladder flap Insisi SBR 2 cm, diperlebar secara tumpul Selaput ketuban dipecahkan, ketuban jernih, banyak

39

Dengan meluksir kepala, pukul 21.00 lahir bayi

perempuan, segera menangis, AS 8-9-10, BB 5200 gram, PB 59cm, anus (+), kelainan congenital (-).
o

Plasenta lahir dengan tarikan ringan, luka insisi SBR di

jahit 2 lapis dengan jelujur feston


o

Reperitonealisasi Di dapatkan uterus hipotoni, diberikan uterotonika Dilakukan B-lynch modifikasi Surabaya. Cuci cavum abdomen Operasi selesai Lapangan operasi ditutup lapis demi lapis Operasi selesai

o o
o

o -

VII.Follow Up Follow up post SC Tanggal 31 Desember 2012 jam 22.45 WITA S : Perdarahan post partum (<), nyeri post SC (+) O: Tanda vital Tekanan darah Nadi Respirasi Suhu TFU Kontraksi : 120/70 mmHg : 89x/menit : 20x/menit : 36,80C : Sejajar pusat : Baik

40

Fluksus

: (-)

A: P2A0 post SC a/i Secondary arrest ec POPP +PER + Post prosedur B-lynch a/I Atonia uteri (H0) P: Sementara puasa Pasang O2 nasal 2-3 lpm Drip metergin 1 amp dalam RL 500 cc/12 jam Misoprostol per rektal 3x 2 tab/supp IVFD RL: D5 = 2 : 2 /24 jam Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr (3 hari) Inj. Ketorolac 3 x 1 amp Inj. Alinamin F 3 x 1 amp Inj. Vit C 3 x 1 amp Cek DR post Op jika Hb<8 gr% pro transfusi PRC s/d Hb>8 gr% Monitor KU/TV/kontraksi uterus/fluksus

Follow up S O TD (mmHg) N (kali/menit) RR (kali/menit) T (0C)

Tanggal 1/1/2013 Perdarahan (+), Nyeri (+) Flatus (-) 130/80 111 20 38,1 2/1/2013 Perdarahan (<), Nyeri (+) Flatus (+) 140/100 84 18 37,1

41

Input (cc) Output (cc) TFU Kontraksi Fluksus

: 1 jari dibawah pusat : Baik : (-)

TFU Kontraksi Fluksus

: 1 Jari Dibawah pusat : Baik : (-)

P2A0 post SC a/i Secondary arrest ec POPP +PER + Post prosedur B-lynch a/I Atonia uteri (H1) Sementara puasa Drip metergin 1 amp dalam RL 500 cc/12 jam pos SC Misoprostol per rektal 3x 2 tab/ supp IVFD RL: D5 = 2 : 2 /24 jam Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr (3 hari) Inj. Ketorolac 3 x 1 amp Inj. Alinamin F 3 x 1 amp Inj. Vit C 3 x 1 amp Monitor KU/TV/kontraksi uterus/fluksus

P2A0 post SC a/i Secondary arrest ec POPP +PER + Post prosedur B-lynch a/I Atonia uteri (H2) Drip metergin 1 amp dalam RL 500 cc/12 jam pos SC Misoprostol per rektal 3x 2 tab/ supp IVFD RL: D5 = 2 : 2 /24 jam Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr (3 hari) Inj. Ketorolac 3 x 1 amp Inj. Alinamin F 3 x 1 amp Inj. Vit C 3 x 1 amp Monitor KU/TV/kontraksi uterus/fluksus

Follow up S TD (mmHg) N (kali/menit) RR (kali/menit) T O 0 ( C) Input (cc) Output (cc)

Tanggal 3/1/2013 Perdarahan (-), Nyeri (-) Flatus (+) 140/80 84 19 36,8 : 2 jari bawah
Pasien diperbolehkan pulang dan kontrol poliklinik Kandungan 1 minggu. Obat pulang : Asam Mefenamat 3 x 500 mg Becom C 1 x 1 tab Rawat luka

TFU pusat Kontraksi : Baik Fluksus : (-) P2A0 post SC a/i Secondary arrest ec POPP +PER + Post

42

prosedur B-lynch a/I Atonia uteri (H3) Misoprostol per rektal 3x 2 tab/ supp IVFD RL: D5 = 2 : 2 /24 jam Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr (3 hari) Inj. Ketorolac 3 x 1 amp Inj. Alinamin F 3 x 1 amp Inj. Vit C 3 x 1 amp Monitor KU/TV/kontraksi uterus/fluksus

43

Hasil Laboratorium Post SC (01-1-2013) Pemeriksaan HEMATOLOGI Hb Eritrosit Leukosit Hematokrit Trombosit RDW-CV MCV, MCH, MCHC MCV MCH MCHC HITUNG JENIS Gran % Limfosit % MID% Gran # Limfosit # MID # Hasil 9,6 3,50 7.300 30 200.000 13,8 84,0 26,8 32,0 78,0 14,90 7,1 5,70 1,1 0,5 Nilai Normal 14-18 g/dl 4,50-6,00 juta/ul 4.000-10.500 rb/ ul 40-50 vol% 150.000-450.000/ul 11,5-14,7 % 80-97 fl 27-32 pg 32-38 % 50,0-70,0 % 25,0-40,0 % 4.00-11.0 % 2.50-7.00 ribu/ul 1.25-4.0 ribu/ul Ribu/ul

Hasil NST

44

BAB IV PEMBAHASAN

Pada kasus ini penderita (Ny.M) berumur 29 tahun, berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didiagnosa G2P1A0, Hamil 37-38 minggu + Inpartu kala I fase aktif + Secondary arrest ec. posisi oksiput posterior persisten + Preeklampsia ringan + Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala + curiga bayi besar. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Kelayan Dalam dengan diagnosis Puskesmas Aluh-aluh dengan diagnosis G1P0A0 Hamil 39 minggu JTHIU presentasi kepala. Pasien mengeluh keluar lendir darah sejak 13 jam SMRS. pasien juga mengeluh adanya mulesmules namun jarang. Pasien lalu ke bidan dan dilakukan pemeriksaan,saat itu tekanan darah 140/80mmHg dan TFU 49cm, kemudian pasien dirujuk ke RS Ulin. Pasien terdapat kaki bengkak sejak kehamilan 8 bulan. Pasien juga ada periksa ke dr Sp.OG dan dikatakan keadaan anak baik berjenis kelamin laki-laki dan taksiran berat 3,9 kg. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, dengan tanda vital tekanan darah 140/80 mmHg, ekstremitas inferior edem (+), dengan TFU 38 cm, dari pemeriksaan dalam didapatkan pembukaan 3 cm kenyal dengan HIS (-), selaput ketuban positif dan dari tes proteinuria +1. Kemudian dilakukan evaluasi 6 jam untuk persalinan pervaginam, dan didapatkan pada pemeriksaan dalam pembukaan 7 cm, ketuban (+),bagian kepala

45

terbawah di Hodge I dengan penunjuk ubun-ubun kecil kiri posterior. Adanya penunjuk ubun-ubun kecil di posterior menunjukkan adanya posisi oksiput posterior. Kemudian sikap selanjutnya adalah evaluasi 2 jam pro expectative pervaginam. Pada kebanyakan persalinan dengan posisi oksipito posterior, kepala akan mengalami putaran paksi sehingga anak lahir dengan oksiput di bawah simfisis, namun karena sudut pemutaran pesar (umumnya 135o), kala II biasanya sedikit lebih lama. Putaran paksi ini baru terjadi di Hodge III+, bahkan kadang-kadang baru terjadi di Hodge IV. Posisi oksiput posterior biasanya mengalami rotasi anterior spontan dan pelahiran berlangsung tanpa penyulit. Persalinan dan pelahiran tidak berbeda banyak dari yang terjadi padaa janin dengan posisi oksiput anterior. 10 Penyebab langsung dari POPP sering tidak diketahui. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tidak terjadinya paksi pada posisi oksiput posterior persisten adalah :11 a. Sering dijumpai pada panggul anthropoid, android dan kesempitan midpelvis. b. Ketuban pecah sebelum waktunya c. Fleksi kepala kurang d. Inersia uteri e. Letak punggung janin dorsoposterior f. Janin kecil atau janin mati g. Arkus pubis sangat luas

46

h. Dolichocephali i. Panggul sempit Pada pasien ini tidak terdapat adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya POPP. Makrosomia adalah salah satu komplikasi pada kehamilan yang akan berdampak buruk padapersalinan dan pada saat bayi lahir apabila komplikasi tersebut tidak dideteksi secara dini dansegera ditangani. Bayi besar (makrosomia) adalah bayi yang begitu lahir memiliki bobot lebihdari 4000 gram. Padahal pada normalnya, berat bayi baru lahir adalah sekitar 2.500-4000 gram. Berat neonatus pada umumnya kurang dari 4000 gram dan jarang melebihi 5000 gram. Frekuensi berat badan lahir lebih dari 4000 gram adalah 5,3% dan yang lebih dari 4500 gram adalah 0,4%.10 Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan terjadinya kelahiran bayi besar / Baby giant.Faktor-faktor tersebut diantaranya : 10 1. Ibu yang menderita Diabetes Mellitus (DM) sebelum dan selama kehamilan. Kadar gula darah ibu hamil penderita Diabetes Melitus tergolong tinggi. Kondisi inilah yangmemberi peluang janin untuk tumbuh melebihi ukuran rata-rata. Jika fungsi plasenta dan tali pusat baik, maka si calon bayi dapat tumbuh makin subur.
2. Ibu mempunyai riwayat melahirkan bayi besar.

47

Ibu yang pada kehamilan pertama melahirkan Baby giant berpeluang besar melahirkan anak kedua dengan kondisi yang sama pada kehamilan berikutnya. 3. Faktor genetik Obesitas dan overweight yang dialami ayah-ibu dapat menurun pada bayi.
4. Pengaruh kecukupan gizi

Porsi makanan yang dikonsumsi ibu hamil akan berpengaruh terhadapa bobot janin. Asupan gizi yang berlebih bisa mengakibatkan bayi lahir dengan berat diatas rata-rata. Pola makan ibu yang tidak seimbang atau berlebihan juga mempengaruhi kelahiran bayi besar.
5. Bukan kehamilan pertama

Ada kecenderungan berat badan lahir anak kedua dan seterusnya lebih besar daripada anak pertama. Pada pasien ini faktor yang berkaitan dengan kelahiran bayi besar adalah ibu memiliki riwayat melahirkan bayi besar yaitu 3800 gram dan kehamilan ini bukan merupakan kehamilan yang pertama. Ibu tidak ada riwayat diabetes mellitus sebelumnya. Implikasi kehamilan makrosomia bagi ibu melibatkan distensi uterus, menyebabkan peregangan yang berlebihan pada serat-serat uterus. Hal ini menyebabkan disfungsional persalinan, kemungkinan ruptur uterus, dan peningkatan insiden perdarahan postpartum. Persalinan dapat menjadi lebih lama dan tindakan operasi pada saat melahirkan menjadi lebih dimungkinkan. 10

48

Friedman membagi lagi masalah fase aktif menjadi gangguan protraction (berkepanjangan/berlarut-larut) dan arrest (macet, tak maju). Ia mendefinisikan protraksi sebagai kecepatran pembukaan atau penurunan yang lambat, yang untuk nullipara, adalah kecepatan pembukaan kurang dari 1,2 cm/jam atau penurunan kurang dari 1 cm per jam. Untuk multipara, protraksi didefinisikan sebagai

kecepatan pembukaan kurang dari 1,5 cm per jam atau penurunan kurang dari 2 cm per jam. Sementara itu,ia mendefinisikan arrest sebagai berhentinya secara total pembukaan atau penurunan. Kemacetan pembukaan (arrest of dilatation) didefinisikan sebagai tidak adanya perubahan serviks dalam 2 jam, dan kemacetan penurunan (arrest of descent) sebagai tidak adanya penurunan janin dalam 1 jam. Tabel 4.1. Kriteria diagnostik kelainan persalinan akibat persalinan lama atau persalinan macet

Prinsip utama dalam penatalaksanaan pada pasien dengan persalinan lama adalah mengetahui penyebab kondisi persalinan lama itu sendiri. Persalinan lama adalah sebuah akibat dari suatu kondisi patologis. Pada akhirnya, setelah kondisi patologis penyebab persalinan lama telah ditemukan, dapat ditentukan metode

49

yang tepat dalam mengakhiri persalinan. Apakah persalinan tetap dilakukan pervaginam, atau akan dilaukan per abdominam melalui seksio sesarea.

50

Tabel 4.2. Klasifikasi persalinan lama berdasarkan pola persalinannya dan terapi yang disarankan

Pada panggul normal, janin dengan berat badan kurang dari 4500 gram pada umumnya tidak menimbulkan kesukaran persalinan. Kesukaran dapat terjadi karena kepala yang besar ataukepala yang lebih keras (pada post maturitas) tidak dapat memasuki pintu atas panggul, atau karena bahu yang lebar sulit melalui rongga panggul. Apabila kepala anak sudah lahir tetapikelahiran bagian-bagian lain macet karena lebarnya bahu, janin dapat meninggal akibat asfiksia. Persalinan percobaan adalah percobaan persalinan yang dilakukan untuk membuktikan apakah persalinan dapat berlangsung per vaginam atau harus dilakukan melalui seksio sesarea dengan memperhatikan : Penurunan kepala janin Terjadinya moulage kepala

51

Persalinan percobaan harus dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas operasi. b. Dilakukan setelah persalinan dimulai. c. Dilakukan hanya pada letak kepala. d. Untuk membuktikan sefalopelvik disproporsi. e. Tidak boleh dilakukan pada kehamilan lewat waktu. ` Persalinan percobaan bisa dikatakan berhasil jika tercapai persalinan well

born baby dan well health mother. Persalinan percobaan dikatakan berhasil kalau anak lahir pervaginam secara spontan atau dibantu dengan ekstraksi (forceps atau vacum) dan anak serta ibu dalam keadaan baik. Persalinan percobaan dikatakan gagal jika terjadi hal-hal sebagai berikut: 10 a. Kemajuan persalinan Pembukaan kurang lancar Penurunan kepala terlambat Moulage kepala terjadi pada kedudukan tinggi.

b. Pertimbangan persalinan per vaginam dengan trauma maternal dan janin cukup besar dan berbahaya. c. Pemantauan janin intrauterin terjadi asfiksia.

52

Pada kasus ini

dilakukan persalinan percobaan, namun dalam

perjalanannya setelah evaluasi 2 jam, pasien tidak menunjukkan adanya kemajuan persalinan. Dari pemeriksaan dalam didapatkan ketuban masih (+), pembukaan 7 cm, bagian kepala terbawah di Hodge I dengan penunjuk ubun-ubun kecil kiri posterior. Pasien jatuh ke dalam fase secondary arrest of dilatation karena tidak ada perubahan serviks dalam waktu 2 jam pada multipara.

53

Sehingga diputuskan untuk dilakukan terminasi secara sectio sesarea dengan pertimbangan adanya secondary arrest ec bayi besar dan POPP. Persalinan sesaria disarankan untuk mencegah morbiditas ibu dan/atau bayi ketika kontraindikasi untuk membolehkn persalinan ada atau ketika penyelesaian persalinan pervaginam diantisipasi menjadi tidak aman atau lama. Beberapa untuk keselamatan ibu sendiri, beberapa untuk keselamatan fetus dan beberapa untuk keselamatan ibu dan fetus. Indikasi ibu : 1. Panggul sempit 2. Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi 3. Stenosis serviks uteri atau vgina 4. Ruptura uteri membakat 5. Partus tak maju 6. Incoordinate uterine action Indikasi Janin 1. Malpresentasi (kelainan letak) : letak lintang letak sungsang (kepala defleksi) janin besar letak dahi dan letak muka dengan dagu di belakang presentasi ganda kelainan letak pada gemelli anak pertama 2. Gawat janin

54

Indikasi ibu dan janin 1. 2. Plasentasi abnormal (Plasenta previa) Disproporsi sefalopelvik Seksio sesarea yang dipilih pada pasien ini yaitu dengan cara seksio sesarea tranperitonealis profunda. Kelebihan dari teknik ini antara lain penjahitan luka menjadi lebih mudah, penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik, tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum, peradangan kurang, dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil. Sedangkan kekurangan dari teknik ini adalah luka dapat melebar ke kiri, kanan, dan ke bawah sehingga dapat menyebabkan a.uterine putus dan perdarahan yang banyak, keluhan pada kandung kemih post operatif tinggi. Saat dilakukan sectio, pada eksplorasi didapatkan uterus gravida aterm, tuba dan ovarium dalam batas normal. Saat selaput ketuban dipecahkan didapatkan cairan ketuban jernih, encer dan banyak. Kemudian bayi dilahirkan dengan meluksir kepala, lahir bayi perempuan, segera menangis, AS 8-9-10, BB 5200 gram, PB 59cm, anus (+), kelainan congenital (-) pukul 21.00. Setelah dilakukan reperitonealisasi didapatkan uterus hipotoni, kemudian diberikan uterotonika namun masih tidak berespon. Lalu dilakukan prosedur Blynch modifikasi Surabaya. Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri

55

ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas seluruhnya. Atonia uteri menyebabkan terjadinya perdarahan yang cepat dan parah dan juga shock hypovolemik. Dari semua kasus perdarahan postpartum sebesar 70 % disebabkan oleh atonia uteri. 13 Faktor faktor predisposisi terjadinya atonia uteri:13 1. Uterus yang teregang berlebihan : Kehamilan kembar, anak sangat besar (BB > 4000 gram) dan polihidramnion; 2. Kehamilan lewat waktu; 3. Partus lama; 4. Grande multipara;
5. Penggunaan uterus relaxants (Magnesium sulfat); 6. Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia );

7. Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau Solutio plasenta); 8. Riwayat perdarahan postpartum; 9. Obesitas; 10. Umur > 35 tahun 11. Tindakan operasi dengan anestesi terlalu dalam. Pada pasien ini resiko terjadinya atonia uteri adalah akibat adanya persalinan lama dan bayi besar (BB: 5200 gram). Manajemen bedah pada perdarahan postpartum termasuk ligasi dari arteri uterina, ligasi iliaka interna, dan akhirnya abdominal histerektomi total atau subtotal. Selain itu ada sebuah prosedur manajemen alternatif bedah konservatif

56

yang dikenal dengan teknik jahitan kompresi dan terbukti

efektif

untuk

mengontrol perdarahan postpartum. Prinsipnya adalah Jahitan ditujukan untuk menimbulkan kompresi vertikal berkelanjutan pada sistim vaskuler. Pada kasus perdarahan postpartum karena plasenta previa, jahitan kompresi segmen transversal lebih efektif.13

Gambar 4.1. Prosedur teknik B-lynch Jahitan kompresi uterus tepat untuk perdarahan postpartum primer dan sekunder pada atonia uteri, DIC, plasenta akreta, inkreta dan previa. Tindakan ini tidak direkomendasikan pada perdarahan postpartum primer dan sekunder tanpa terlebih dahulu menggunakan langkah-langkah medis yang telah

direkomendasikan. Memang dianjurkan sebelum dilakukan pembedahan lebih radikal. Landasan pengelolaan pada perdarahan postpartum dengan teknik ini adalah diagnosis dini sebelum pasien menjadi terancam. Teknik jahitan B-Lynch memperoleh kepercayaan diseluruh dunia sebagai alternatif histerektomi dalam

57

pengelolaan perdarahan postpartum sebagaimana ditunjukkan dalam literatur internasional. Prosedur ini lebih cepat dan sederhana dari pada histerektomi atau ligasi iliaka internal. 13 Keuntungan Teknik Jahitan B-Lynch : 13 1. Aplikasi sederhana; 2. Life saving; 3. Relatif aman; 4. Mempertahankan uterus dan fertilitas; 5. Hemostasis dapat dinilai segera setelah aplikasi; 6. Daya regang berkurang dalam 48 jam, sehingga menghindari adanya

kerusakan permanen pada uterus; 7. Uterus yang terbuka memungkinkan mengeksplorasi rongga uterus untuk mengeluarkan produk-produk yang tertinggal dan memungkinkan penjahitan langsung dibawah visualisasi operator. Modifikasi teknik B-Lynch oleh Hayman (2002), memiliki keunggulan, teknik yang sederhana dan cepat, untuk melakukannya tidak memerlukan uterus dibuka. Menggunakan jarum lurus Dexon nomor 2, jahitan dilakukan tusukan pada seluruh dinding uterus , di atas refleksi kandung kemih, dari dinding anterior (3 cm di bawah dan 2 cm medial tepi bawah rongga uterus) ke posterior dinding uterus.13

58

Gambar 4.2. Teknik Hayman dan Teknik Cho multiple square Kondisi pasien post SC dalam keadaan baik, dengan tanda vital dalam batas normal, tidak ditemukan adanya fluksus, dan kontraksi uterus baik. Dari hasil laboratorium post SC juga dalam keadaan baik. Pengobatan yang diberikan setelah SC antara lain Drip metergin 1 amp dalam RL 500 cc/12 jam , Misoprostol per rektal 3x 2 tab/supp, IVFD RL: D5 = 2 :2 /24 jam, Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr, Inj. Ketorolac 3 x 1 amp, Inj. Alinamin F 3 x 1 amp, dan Inj. Vit C 3 x 1 amp. Ergometrine menyebabkan kontraksi tonik yang terus menerus melalui stimulasi reseptor -adrenergik miometrium terhadap kedua segmen bagian atas dan bawah uterus dengan demikian dirangsang untuk berkontraksi secara tetanik. Suntikan intramuskular dosis standar 0,25 mg dalam permulaan aksi 2-5 menit. Metabolismenya melalui rute hepar dan half-life nya dalam plasma adalah 30 menit. Meskipun demikian, dampak klinis dari ergometrine berlangsung selama sekitar 3 jam. Respon oksitosin segera dan ergometrine lebih berkelanjutan.13 Misoprostol adalah suatu analog sintetik prostaglandin E1 yang mengikat secara selektif untuk reseptor prostanoid EP-2/EP-3 miometrium, sehingga

59

meningkatkan kontraktilitas uterus. Hal ini dimetabolisme melalui jalur hepar. Ini dapat diberikan secara oral, sublingual, vagina, dubur atau melalui penempatan intrauterin langsung. pemberian melalui rektal terkait dengan tindakan awal, tingkat puncak yang lebih rendah dan profil efek samping yang lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan rute oral atau sublingual. Hasil dari multisenter internasional, uji coba secara acak dari misoprostol oral sebagai agent profilaksis untuk partus kala III menunjukkan kurang efektif untuk mencegah perdarahan postpartum dibandingkan pemberian oksitosin parenteral. Lima belas persen perempuan pada kelompok misoprostol diperlukan tambahan uterotonika dibandingkan dengan 11% pada kelompok oksitosin. Hal ini mungkin karena onset of action lebih lama (20-30 menit untuk mencapai tingkat puncak serum dibandingkan dengan 3 menit untuk oksitosin). Namun, karena kenyataan bahwa interval waktu lebih lama yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak serum dapat membuatnya menjadi agen lebih cocok untuk perdarahan uterus yang berkepanjangan, dan dalam perannya sebagai terapi bukan agen profilaksis 13. Penggunaan misoprostol rektal untuk pengobatan perdarahan postpartum yang tidak responsif terhadap oksitosin dan ergometrine pertama kali dilaporkan oleh O'Brien dalam penelitian deskriptif dari 14 pasien. kontraksi uterus dilaporkan berkelanjutan di hampir semua perempuan dalam waktu 3 menit sejak pemberian. Namun, tidak ada kelompok kontrol sebagai pembanding. Sebuah uji coba, A single-blinded, randomized trial dengan misoprostol 800 g melalui rektal versus syntometrine intramuskular ditambah oksitosin dengan infus intravena ditemukan misoprostol yang mengakibatkan penghentian perdarahan

60

dalam waktu 20 menit pada 30/32 kasus (93%) dibandingkan dengan 21/32(66% ) untuk agents pembanding. Review Cochrane mendukung temuan ini,

menunjukkan bahwa misoprostol secara rektal dengan dosis 800 g berguna sebagai obat lini pertama untuk perawatan perdarahan postpartum.13 Antibiotika ceftriakson merupakan sefalosporin generasi ketiga yang memiliki aktivitas kuat terhadap bakteri gram positif, berspektrum luas dan dapat digunakan sekali pemakaian dalam sehari. Alinamin-F adalah sediaan thiamini tetrahydrofurfuryl disulfidum (TTFD), bentuk disulfidathiamina. Membantu proses metabolisme dalam tubuh. Menurut beberapa penelitian yang dilakukan, vitamin C bermanfaat sebagai antioksidan yang berfungsi untuk mencegah oksidasi asam lemak jenuh menjadi peroksida yang berbahaya bagi tubuh, menangkal radikal bebas dan memperkuat sistem imun tubuh. Vitamin C juga diyakini berperan penting dalam pembentukan jaringan kolagen. Yang berfungsi untuk menjaga elastisitas kulit, memperkuat tulang rawan, tendon dan pembuluh darah. Suntikan vitamin C mempercepat pemulihan pasien pra dan pasca bedah. Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obatanti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggapsebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat. Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akutsedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih darilima hari. Ketorolac

61

secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5hari. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dankarena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus. Selama perawatan 3 hari di rumah sakit pasca operasi, keadaan umum pasien dalam keadaan baik kemudian pasien diperbolehkan pulang dan kontrol poli kandungan 1 minggu. Nasehat pasca operasi yang dapat diberikan pada pasien ini adalah : 1. Dianjurkan jangan hamil selama kurang lebih satu tahun dengan memakai kontrasepsi 2. Kehamilan berikutnya hendaknya diawasi dengan antenatal yang baik 3. Dianjurkan untuk melahirkan di RS yang besar Persalinan berikutnya tidak harus dengan seksio sesarea, tergantung dari indikasi seksio sesarea dan kondisi kehamilan berikutnya, kecuali panggul sempit atau disproporsi sefalo-servik.

62

BAB V PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus Ny. M umur 29 tahun dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didiagnosa G2P1A0, Hamil 37-38 minggu + Inpartu kala I fase aktif + Secondary arrest ec. posisi oksiput posterior persisten + Preeklampsia ringan + Janin tunggal hidup intra uterin presentasi kepala + curiga bayi besar. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Aluh-aluh dengan diagnosis G1P0A0 Hamil 39 minggu JTHIU presentasi kepala. Pasien lalu ke bidan dan dilakukan pemeriksaan,saat itu tekanan darah 140/80mmHg dan TFU 49cm, kemudian pasien dirujuk ke RS Ulin. Saat dilakukan evaluasi 6 jam untuk persalinan pervaginam, dan didapatkan pada pemeriksaan dalam penunjuk ubun-ubun kecil kiri posterior dan terjadi secondary arrest setelah evaluasi 2 jam. Lalu pasien dilakukan terminasi secara sectio secarea. Lahir bayi perempuan, tidak segera menangis, AS 8-9-10, BB 5200 gram, PB 59cm, anus (+), kelainan congenital (-). Kemudian ditemukan adanya atonia uteri dan dilakukan prosedur B-lynch. Selama perawatan pasien mendapat terapi Drip metergin 1 amp dalam RL 500 cc/12 jam , Misoprostol per rektal 3x 2 tab/supp, IVFD RL: D5 = 2 :2 /24 jam, Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr, Inj. Ketorolac 3 x 1 amp, Inj. Alinamin F 3 x 1 amp, dan Inj. Vit C 3 x 1 amp. Setelah 3 hari perawatan pasien boleh pulang dan kontrol poli.

63

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, G.H., saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T. 2009, Ilmu Kebidanan, edisi keempat, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. 2. Kusumawati, Yuli. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Persalinan dengan Tindakan. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2006. 3. Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi,Obstetri Patologi, Edisi 2. Jakarta: EGC, 1998. 4. Simkin P. The Fetal Occiput Posterior Position:State of the Science and a New Perspective. BIRTH, 2010; 37(1): 61-71. 5. WHO. Managing Prolonged and Obstructed Labour. Education for Safe Motherhood, 2nd edition. Department of Making Pregnancy safer .WHO: Geneva, 2006. 6. Pernoll, M. L. Benson & Pernolls handbook of obstetrics and gynecology. Tenth edition. New York: Mc Graw Hill, 2001.
7. Joy,

S., Thomas, P. 2011. Abnormal Labor.

Available at :

http://emedicine.medscape. com/article/273053-overview. Diakses tanggal 12 November 2012. 8. Prawirohardjo S. Distosia Karena Kelainan Tenaga. D//alam : Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 1994

64

9. Scoff, Naylor. Persalinan dan Kelahiran. Dalam : Referensi Ringkas Obstetri-Ginekology, EGC. Jakarta, 2005. 10. Cunningham, F.G, et al. 2010. Williams Obstetric 23rd edition. Mc GrawHill : New York. 11. Sastrawinata S. Ilmu kesehatan reproduksi : obstetri patologi edisi 2. Jakarta : EGC, 2004. 12. American College of Obstetricians and Gynecologists 2006 Mode of term singleton breech delivery. Obstetrics and Gynecology 108(1):235237. 13. Gondo Hk. Penanganan Perdarahan Post Partum (Haemorhagi Post Partum, HPP). Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, 2010.

65

Você também pode gostar