Você está na página 1de 10

Pencarian Identitas Provinsi di Kepulauan Riau

Oleh Ipit S. Dimyati Tak akan mati Melayu di bumi!, sebuah ungkapan Melayu lama yang kembali didengungkan saat diselenggarakan Festival Budaya Melayu se-Dunia 2003 di

Pekanbaru Provinsi Riau. Tentu saja ia akan memiliki makna yang beragam, tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Namun, bila dipandang dari sudut penyelengaraan festival yang diikuti oleh kata sedunia (walaupun yang datang dari mancanegara hanya Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam), maka tampaknya ia dimaksudkan untuk membangun kembali nilai-nilai bersama sebagai Melayu, di tengah arus globalisasi yang semakin ketat dengan persaingan dan saling pengaruh mempengaruhi, yang bila tidak diantisipasi dianggap bisa menghilangkan identitas Melayu seperti yang telah dibangun oleh nenek-moyangnya. Akhirnya, ungkapan itu menjadi harapan dari orang-orang yang mengidentifikasikan diri sebagai Melayu, untuk dapat saling mengikat, agar Melayu tak tenggelam di tengah-tengah begitu banyak hadirnya yang liyan. Mengontruksi kembali Melayu itu pun kiranya menjadi semangat, baik disadari maupun tidak, oleh orang-orang yang merasa diri sebagai penduduk asli baik di Provinsi Kepulauan Riau secara umum, maupun di Kota Tanjungpinang secara khusus. Meskipun belum memiliki gubernur, karena konon ada kepentingan politik orang-orang dari pusat (Jakarta) dan Provinsi Riau (Pekanbaru), secara yuridis Provinsi Kepulauan Riau telah sah. Oleh karena itu, demi tegaknya sebuah provinsi baru yang tak tertinggal dari provinsi-provinsi yang telah ada sebelumnya di republik ini, dan juga mungkin demi

harga diri, orang-orang yang memiliki kepentingan berusaha membangun provinsi baru ini dengan sekuat tenaga, baik di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Di samping itu, mereka pun mulai berkampanye agar pembangun yang tengah dan akan berjalan dapat dukungan dari rakyat (masyarakat). Hal pertama yamg dikampanyekan agar mendapat dukungan masyarakat adalah persoalan identitas diri. Masyarakat atau rakyat tampaknya diberi pemahaman bahwa sebuah provinsi mesti memiliki identitas diri, yang berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya, atau juga dengan kelompok lain yang lebih luas. Karena etnik Melayu merupakan etnik yang paling dominan, dan dianggap sebagai penduduk asli Kepulauan Riau, maka kesadaran atas kesukuan itu dibangkitkan kembali. Seperti sudah disebutkan dalam bagian terdahulu dari tulisan ini bahwa persoalan pencarian identitas diri sudah tidak merupakan persoalan di Provinsi Kepulauan Riau karena penduduknya yang paling dominan, yakni etnik Melayu, sudah memiliki kesadaran bahwa ia berbeda dengan yang lainnya (liyan). Namun meskipun begitu, bukan berarti persoalan identitas diri itu selesai sampai di situ. Bagi orang-orang yang memiliki kepentingan dengan eksistensi Provinsi Kepulauan Riau, persoalan identitas diri tetap harus diapungkan untuk kemudian dikonstruksi, agar masyarakat Melayu yang menjadi etnik dominan di provinsi tersebut betul-betul merasa memiliki identitas yang berbeda dengan yang lainya. Mengingat

bahwa etnik Melayu tidak hanya terdapat di Kepulauan Riau saja, ia juga ada di provinsiprovinsi lain, baik yang ada di Pulau Sumatera, atau Pulau Kalimantan, bahkan di mancanegara seperti Malaysia, Singapira, dan Brunai Darussalam, maka jika ia harus terlihat berbeda dengan yang lainnya, konstruksi identitas diri mesti pula menjangkau hal tersebut. Untuk itu, kemudian digalilah sejarah masa lalu Kepulauahn Riau.

Kepulauan Riau memiliki sejarah panjang yang tercatat mengenai kemelayuan. Konon di sana pernah menjadi pusat kebudayaan Melayu di Nusantara. Peninggalanpeninggalan sejarah kejayaan Melayu yang terdapat di Pulau Lingga atau Pulau Penyengat dalam berbagai rupa seperti dalam naskah-naskah kuno (karya sastra) dan bangunan-bangunan, meskipun di sana-sini masih memperlihatkan teka-teki, tampak begitu diyakini oleh masyarakat setempat bahwa etnik Melayu di Kepulauan Riau pernah mencapai suatu taraf zaman keemasan. Oleh karena itu, untuk membangun kesadaran mengenai identitas diri di Provinsi Kepulauan Riau yang berbeda dengan liyan, maka isu yang didengungkan adalah bahwa Kepulauan Riau harus kembali menjadi pusat kebudayaan Melayu seperti halnya pernah terjadi di masa lalu. Kemudian, bagaimanakah agenda itu bisa dilaksnakan? Kiranya Tanjungpinang yang telah diproyeksikan sebagai ibukota Provinsi Kepulauan Riau, bisa menjadi prototip atau model dalam menjawab pertanyaan tersebut. Meskipun Tanjungpinang merupakan kota lama yang telah ada sejak masa kesultanan Melayu, bahkan mungkin sebelumnya, tapi ditetapkan sebagai kota metropolis yang memiliki pemerintahan dan dewan perwakilan rakyatnya sendiri, mulai terbentuk pada tahun 2001 berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 2001. Oleh karena itu, kota tersebut harus mulai mengurus dirinya sendiri, tidak lagi tergantung pada pusat. Ia harus memiliki APBD sendiri, dan konsekuensinya ia juga harus memberdayakan segala potensi yang dimilikinya baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Namun tentu saja, yang pertama kali harus diurus adalah persoalan ekonomi, sebab tanpa pengurusan faktor itu pembangunan di Tanjungpinang sebagai sebuah ibukota provinsi, akan terbengkalai. Hanya saja, tidak seperti daerah-daerah lain di sekitarnya yang kaya dengan

sumber daya alam, Kota Tanjungpinang tidak memiliki sumber alam cukup memadai yang dapat diandalkan bagi pengisian kas daerahnya, dan karena itu kemudian ia mengembangkan sektor lain, yaitu: perdagangan, industri, dan pariwisata. Dan ternyata hal ini cukup memberikan hasil yang signifikan Saat Tanjungpinang secara ekonomis telah memperlihatkan kemajuan, persoalan membangun identitas diri, terutama melalui penggalian nilai-nilai budaya, terlihat begitu agresif. Ini dilakukan dengan menggali kembali nilai-nilai lama, baik yang ada dalam naskah-naskah kuno maupun situs-situs sejarah, melakukan penelitian-penelitian yang kemudian diterbitkan menjadi buku-buku untuk disebarkan ke masyarakat, pembangunan monumen-monumen, maupun peristiwa-peristiwa budaya, seperti menyelenggarakan perlombaan pantun, festival Zapin, pergelaran-pergelaran kesenian yang dihubungkan dengan hari-hari bersejarah, dan pengiriman duta-duta kesenian untuk tingkat lokal dan juga internasional. Walaupun penggalian nilai-nilai lama itu dilakukan dalam rangka menegakkan kembali Tanjungpinang yang merupakan ibukota provinsi Kepulauan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu, tapi tetap ia tidak terlepas dari kepentingan ekonomi. Ia terutama dihubungkan dengan industri pariwisata. Diharapkan dengan banyaknya peristiwa budaya di Tanjungpinang, para wisatawan menjadi tertarik untuk terus berkunjung ke sana. Jika itu terjadi, tentu saja ia akan memberikan devisa yang cukup besar. Karena ada aturan pemerintah bahwa pemerintah kota, melalui Disbudpar, tidak diperkenankan untuk membuat grup atau kelompok kesenian, maka pekerjaan-pekerjaan seperti tersebut di atas harus dilaksanakan dengan melakukan kerjasama dengan para seniman lokal, baik atas nama sanggar/paguyuban maupun perorangan. Hal ini memicu

munculnya sanggar-sanggar seni, terutama yang berbasis pada tradisi. Tampaknya para seniman di Tanjungpinang mulai melihat peluang yang cukup menguntungkan, karena selain bisa berekspresi melalui karya seni yang diciptakannya, karya itu pun bisa dijual kepada perusahaan-perusahaan swasta maupun pemerintah kota. Kemunculan sanggar-sanggar seni di Tanjungpinang, di satu pihak memiliki dampak positif, tapi di lain pihak juga berdampak negatif. Positif, karena dengan diberikannya kesempatan bagi seniman-seniman untuk turut merealisasikan programprogram pemkot melalui Disbudpar, mereka jadi memiliki ruang yang cukup untuk berekspresi; dan ia menjadi negatif; karena dengan adanya ruang tersebut yang notabene dapat menghasilkan imbalan finansial, ia juga memunculkan seniman-seniman atau sanggar-sanggar seni musiman yang sekedar memanfaatkan peluang tersebut untuk mencari keuntungan. Bahkan orang-orang yang duduk dalam birokrasi, dan dengan demikian memiliki akses yang lebih besar kepada kekuasaan, berusaha mendirikan sanggar. Oleh karena itu, kesempatan-kesempatan untuk muncul atau bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah untuk sanggar-sanggar seni, kerap diberikan pada pihak-pihak yang kurang tepat. Kekurangtepatan itu misalnya terlihat dalam memberikan bantuan untuk sanggar-sanggar. Banyak sanggar yang telah diberikan bantuan peralatan, tapi ternyata setelah itu tidak pernah muncul lagi. Seperti sudah disebutkan, untuk membangun identitas diri sebagai tanda dari provinsi, maka harus pula dibangun yang liyan, yang berbeda dengan penduduk asli. Di Tanjugpinang liyan menjadi terbagi dua, yakni yang terdapat di luar, dan ada di dalam, atau sebut saja liyan luar dan liyan dalam. Liyan luar adalah provnsiprovinsi lain yang tidak memiliki etnik Melayu, serta provinsi-provinsi lain yang

memiliki etnik Melayu. Tapi ia juga bisa berarti negera-negara lain yang memiliki etnik Melayu, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunai Darussalam. Sedangkan liyan dalam adalah etnik-etnik non-Melayu yang terdapat di Provinsi Kepulauan Riau secara umum, dan di Tanjungpinang secara khusus, yaitu: Jawa, Bugis, Flores, Batak, Minang, dan juga Tionghoa. Kepentingan membangun liyan luar yang sama-sama merasa diri sebagai Melayu adalah, agar Provinsi Kepulauan Riau dan Tanjungpinang sebagai ibukotanya adalah bahwa tetap berbeda dengan mereka, karena Melayu di Kepulauan Riau pernah mengalami masa keemasan, dan itu berarti pula bahwa Melayu di Kepulauan Riau lebih unggul dibandingkan etnik Melayu di tempat-tempat lainnya. Oleh karena itulah, Tanjungpinang sebagai ibukota provinsi harus kembali menjadi kiblat atau pusat kebudayaan etnik Melayu di seluruh dunia. Memahami liyan dalam sangat menarik. Karena mereka berada di dalam Kota Tanjungpinang, dan berhadapan secara langsung langsung dengan etnik yang dominan, nereka mengembangkan strategi bertahan dengan dua cara, yakni dengan melebur untuk jadi Melayu, dan tetap bertahan dengan identitasnya masing-masing. Dalam

strategi bertahan cara kedua, etnik-etnik non-Melayu itu biasanya mendirikan paguyubanpaguyuban yang berorientasi pada kebudayaan tempat mereka berasal. Dalam paguyuban itu, selain untuk bersilaturahmi di antara mereka, juga biasanya terdapat kegiatankegiatan kesenian. Melalui kegiatan kesenian ini mereka menyusun kembali nilai-nilai bersama, tapi di samping itu melalui kesenian mereka pun terlibat dengan etnik Melayu. Oleh karena itu, ketika Reog Ponorogo dari etnik Jawa, atau Barongsai dari etnik

Tionghoa, misalnya, diminta untuk mengisi salah satu acara-acara penduduk setempat, sedapat mungkin mereka berusaha untuk mengabulkannya. Lain lagi dengan strategi bertahan dengan cara melebur. Peleburan ini bisa secara tidak disadari maupun disadari. Tidak disadari, karena umumnya etnik yang nonMelayu lahir di Tanjungpinang, dan merupakan generasi ketiga atau lebih dari keturunan yang datang terlebih dulu, sehingga mereka sudah tak lagi bisa mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai budaya asal nenek moyangnya. Semenjak kecil, baik dari orangtuanya maupun lingkungan sekitarnya, ia telah mewarisi nilai-nilai kemelayuan, dan perilaku sehari-harinya, seperti berbahasa, cara mempersepsi, cara makan, cara merasa, cara bergaul, dan sebagainya, bukan lagi artifisial, tapi secara tidak disadari telah menjadi Melayu. Sedangkan yang disadari, adalah orang-orang dari etnik non-Melayu yang secara sengaja, sebagai strategi beradaptasi, berusaha untuk menjadi Melayu. Karena biasanya kasus yang terakhir ini terlihat artifisial, maka mereka gagal untuk melebur dengan etnik dominan tersebut. Ketika ia menyadari bahwa kemelayuannya ditolak, ia akan kembali ke komunitas asalnya. Persoalan yang dihadapi orang-orang yang telah melebur menjadi Melayu adalah bahwa kadang-kadang mereka digugat kemelayuannya oleh penduduk asli. Seperti Raja Ali Haji, orang Melayu keturunan Bugis yang telah menjadi ikon sejarah kejayaan Melayu, ia banyak digugat oleh orang-orang yang merasa sebagai penduduk asli alias Melayu. Kini telah muncul wacana-wacana tentangnya yang bertentangan dengan wacama semula, seperti bahwa sebetulnya dia adalah seorang pengkhianat (bersekutu dengan Belanda), bahwa karyanya, seperti Gurindam Dua Belas, bukan karyanya sendiri,

tapi meneruskan karya orang lain. Pendek kata, posisi Raja Ali Haji sebagai pahlawan Melayu kini sedang digugat meskipun nasih dalam taraf desas-desus.***

Daftar Pustaka
Berry, Jonny W. (et. al.) 1999 Psikologi Lintas-Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Sindu Galba dan Sita Rohana 2002 Peta Kesenian Rakyat Melayu Kabipaten Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau dan Balai Kajian Nilai-nilai Tradisional Tanjungpinang Sutyatati A. Manan 2003 Keinginan Pemerintah Melestarikan Pantun. Makalah Seminar Pemakaian Pantun Dalam Masyarakat Melayu. Sesabu Tanjungpinang.

Lampiran: Konstruksi Liyan di Kepulauan Riau/Tanjungpinang

Liyan Luar Dalam

M E L A Y U

N O N M E L A Y U

N O N M E L A Y U

10

Você também pode gostar