Você está na página 1de 13

Ada 2 jenis rhinitis alergika: 1. Rhinitis alergika perennial 2.

rhinitis alergika seasonal rhinitis alergika perennial alergi terjadi sepanjang tahun alergen yang memicu terutama debu, bulu binatang, tungau, bau bahan-bahan kimia. Alergen ini ditemui sepanjang tahun rhinitis alergika seasonal alergi terjadi pada musim-musim tertentu alergen berupa serbuk sari bunga, kayu, rumput dll Bagaimana rhinitis alergika diobati? Hindari alergen. Menekan atau menghilangkan gejala yang muncul dan menekan reaksi sistem kekebalan tubuh yang berlebihan dengan obatobatan. Tinjauan kepustakaan Timur Hidung merupakan bagian dari sistem organ paru, dan paru adalah organ yang paling manja, yang paling sensitif terhadap perubahan cuaca / keadaan udara sekitar kita. Bila kemampuan paru beradaptasi atau menangkal perubahan cuaca lemah atau menurun, reaksi hidunglah yang pertama terjadi yaitu hidung gatal, mampet, meler, kadang sampai mata berair. Akupunktur berefek memperbaiki ketahanan lokal di selaput lendir hidung, mengurangi produksi lendir yang berlebih, melancarkan aliran udara sehingga rasa mempet hilang, menguatkan sistem organ paru. Terapi dilakukan 2-3 kali seminggu, selama 8-10 kali kunjungan. Diharapkan anda akan sembuh dari keluhan rhinitis alergika ini. Berbagi Alergi Contributed by Sunday, 14 September 2008 ALERGI, APAKAH ITU ? Istilah ‘alergi’ pertama kali digunakan oleh Von Pirquet pada 1906 yang artinya “reaksi yang berubah”. Beberapa ahli menyebutkan bahwa alergi dapat disamakan dengan hipersensitivitas (kepekaan berlebihan). ALERGI, APAKAH ITU ? Oleh: dr. Herry Tjahjono Istilah ‘alergi’ pertama kali digunakan oleh Von Pirquet pada 1906 yang artinya “reaksi yang berubah”. Beberapa ahli menyebutkan bahwa alergi dapat disamakan dengan hipersensitivitas (kepekaan berlebihan). Alergi adalah reaksi imunologis (antibodi IgE) terhadap antigen asing (alergen) yang dapat terjadi di salah satu bagian tubuh (lokal) atau bahkan di seluruh tubuh. Reaksi tersebut dapat menyebabkan peradangan jaringan dan gangguan pada fungsi organ tubuh. Alergen merupakan benda yang dianggap asing oleh tubuh. Karena itu, yang paling sering terserang adalah kulit dan saluran pernapasan. Namun demikian, alergi juga dapat terjadi di jaringan pembuluh darah,

sistem pencernaan, dan organ-organ tubuh bagian dalam lainnya. Saat terserang alergi, di dalam tubuh kita terjadi pengaktifan dan pelepasan zat-zat yang disebut mediator dari sel mast. Zat-zat itu menyebabkan pembuluh darah melebar, otot polos viseral berkontraksi, dan pengeluaran lendir yang terus menerus. Jika hal ini terjadi pada saluran pernapasan (bronkhus) maka penderita akan mengalami sesak napas (asma) karena aliran udara di bronkhus menyempit. Reaksi ini dapat terjadi hanya dalam beberapa menit setelah tubuh terpapar alergen, namun dapat juga muncul beberapa jam kemudian. Alergi dapat dibedakan menjadi dua sub kelompok, yaitu atopi dan anafilaksis. Atopi adalah kelompok alergi yang bersifat turunan. Pada alergi ini, tubuh menghasilkan antibodi IgE terhadap beraneka alergen lingkungan organik. Contoh penyakit yang tergolong dalam kelompok atopi antara lain adalah rhinitis alergi, asma alergi, dan dermatitis atopik. RHINITIS ALERGI Rhinitis alergi adalah radang pada hidung yang ditandai dengan bersin-bersin, pengeluaran lendir (ingus), dan penyumbatan pada rongga hidung. Rhinitis alergi juga memungkinkan timbulnya rasa gatal pada mata dan tenggorokan sehingga menyebabkan mata berair atau sinusitis. Ada dua jenis rhinitis alergi. Pertama, seasonal rhinitis alergy yang biasanya dipicu oleh alergen yang berbentuk serbuk; misalnya dari rumput, kayu, atau jamur. Sedangkan reaksi alergi yang disebabkan oleh debu rumah tangga (yang mengandung antigen dari kutu/tengau) atau bulu binatang disebut perennial rhinitis alergy. Cara terbaik untuk mengatasi alergi jenis ini adalah dengan menghindari bahan pemicunya. Reaksi alergi akan lebih mudah dicegah jika kita mengetahui benda apa yang dianggap alergen bagi tubuh. Obat-obatan seperti CTM, loratadine, pseudoefedrin, maupun kortikosteroid dapat digunakan untuk mengurangi keluhan akibat reaksi alergi. Melakukan tes alergi (hiposensitisasi) juga dapat digunakan untuk mengatasi rhinitis alergi. Tes ini biasanya dilakukan dengan menyuntikkan bahan-bahan yang merupakan alergen terhadap penderita, dimulai dengan dosis tertentu selama beberapa kali secara periodik.

PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI (1) Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji Antigen Presenting Cell/APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian

dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor/GM-CSF), dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat/RAFC. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti, tetapi gejala berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulanya seperti Eosinophilic Cationix Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik alergen, iritasi oleh faktor nonspesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. Klasifikasi Rinitis Alergi (1) Walaupun tidak ada perbedaan absolut yang ditunjukkan, dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya : Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang

tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak adalah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi). Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, dapat ditemukan sepanjang tahun. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan. Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA, 2001 yaitu intermiten (bila gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu), dan persisten (bila gejala > 4 hari/minggu atau > 4 minggu). Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi; ringan apabila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olahraga, belajar, bekerja, dan lainnya yang mengganggu. Apabila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut termasuk ke dalam rinitis alergi sedangberat. Komplikasi Rinitis Alergi (1) Polip hidung. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak. Sinusitis paranasal. Didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis, sering disebut sebagai rinosinusitis. Pencegahan Hindari faktor alergi, atau paling tidak mengurangi pajanan alergen debu rumah. BAB IV KESIMPULAN Alergi hidung adalah kondisi atopik yang paling sering ditemukan. Rinitis musiman dapat menjadi penyakit yang melelahkan bagi sebagian orang karena bersin yang terus menerus, sekret yang banyak sekali, dan gatal yang tidak berkurang. Tes kulit yang merangsang timbulnya reaksi berupa area kemerahan pada kulit, memberikan hasil yang berguna bagi evaluasi klinis, serta mendukung atau menentang akibat yang ditimbulkan selama bukti klinis belum ditemukan. Obat-obatan antihistamin (penyekat reseptor Histamin H1) merupakan agen yang digunakan secara luas pada pengobatan simptomatik (nonspesifik) penyakit alergi hidung, kortikosteroid topikal aktif yang lambat diserap menghasilkan keuntungan komplementer. Imunoterapi (hiposensitisasi) menyediakan pendekatan pengobatan spesifik alergen penting untuk alergi pada saluran pernapasan. Menghindari alergen yang terlihat, seharusnya menjadi pemikiran utama pada program pengobatan untuk penyakit alergi. Rhinitis Vasomotor 0 komentar 22:35:00 Diposting oleh Admin

Rinitis vasomotor adalah suatu inflamasi mukosa hidung yang bukan merupakan proses alergi, bukan proses infeksi, menyebabkan terjadinya obstruksi hidung dan rinorea. Etiologi dari Rinitis Vasomotor dipercayai sebagai akibat dari terganggunya keseimbangan dari saraf autonom pada mukosa hidung yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan hipersekresi. Menejemen pengelolaan pada rinitis vasomotor bervariasi antara lain dengan menghindari penyebab, psikoterapi, penggunaan medikamentosa, serta terapi bedah, tetapi sampai saat ini belum memberikan hasil yang optimal. 1 Dalam praktek sehari hari, rinitis seringkali salah anggapan bahwa penyebabnya adalah alergi. Akibatnya type rinitis yang lain (non allergic rinitis / rinitis vasomotor dan mixed rinitis) sering kali tidak terdiagnosa. Hal ini perlu menjadi perhatian karena diagnosis yang tidak tepat menyebabkan pengobatan tidak memuaskan.2 Adanya kemiripan gejala antara rinitis vasomotor dan rinitis alergika menyebabkan dokter umum sebagai primary care sering tidak tepat dalam menegakkan diagnosa pada rinitis vasomotor tidak ditemukan adanya skin tes yang (-) dan tes allergen yang (-). Sedangkan yang alergik murni mempunyai skin tes yang (+) dan allergen yang jelas. 1 Rinitis alergika sering ditemukan pada pasien dengan usia < 20 tahun, sedangkan pada rinitis vasomotor lebih banyak dijumpai pada usia > 20 tahun dan terbanyak diderita oleh perempuan. Berdasarkan epidemiologinya, kurang lebih 58 juta penduduk amerika menderita rinitis alergika, 19 juta menderita rinitis nonalergika dan 26 juta menderita rinitis type campuran. Dengan demikian diharapkan dokter menjadi lebih teliti dalam melakukan anamnesa dan mempertimbangkan apakah rinitis pada pasien adalah benar benar sebagai rinitis alergika, rinitis vasomotor atau rinitis type campuran. Sehingga pengobatan yang digunakan memberikan hasil yang optimal. II.1. Definisi Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini termasuk dalam penyakit rinitis kronis selain rinitis alergika. 9 Rinitis vasomotor adalah infeksi kronis lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan ingus yang encer. 3 Rinitis vasomotor adalah kondisi dimana pembuluh darah yang terdapat di hidung menjadi membengkak sehingga menyebabkan hidung tersumbat dan kelenjar mukus menjadi hipersekresi. 4 Etiologi Penyebab pasti rinitis vasomotor ini belum diketahui secara pasti, diduga akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi berbagai hal, antara lain : 9

Obat obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, misal ergotamin, clorpromazin, obat antihipertensi dan obat vasokonstriktor lokal.

Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, dan bau yang merangsang.

Faktor endokrine, seperti kehamilan, pubertas dan hipotiroidisme.

Faktor psikis seperti cemas, tegang II.4. Patogenesis Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang menyebabkan terjadinya rinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan. Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh darah kapasitan (kapiler).3. Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif. Teori lain meyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang dikeluarkan sel sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien, prostaglandin dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang meyebabkan kongesti, hidung tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan diperantarai oleh IgE seperti pada rinitis alergika. Pada beberapa kasus rinitis vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa hidung .3,8,9. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rinitis vasomotor. Banyak kasus rinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi tersebut adalah ; perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara dan stress (fisik dan psikis) .3,8 Mekanisme terjadinya rinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan merangsang sel sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktorii. Kemudian berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah merelay neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor.13 Dari penelitian binatang telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi sistem adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang mengontrol vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya, memungkinan kita

memahami mekanisme bendungan koana. Stimulasi kolinergik menimbulkan vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung, hasilnya terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menim bulkan vasokonstriksi hidung. Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya atas mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rinitis alergika. Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular disertai udema dan peningkatan sekresi kelenjar. 10, Bila dibandingkan mekanisme kerja pada rinitis alergika dengan rinitis vasomotor, maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan mediator yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas kelenjar dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis) yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas, yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan menimbulkan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada pokoknya, reaksi alergi dan disfungsi vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia disebabkan interaksi antigen antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom. 10 II.5. Gejala dan Tanda Gejala penderita rinitis alergi atau rinitis vasomotor kadang kadang sulit dibedakan karena gejala gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan bersin. Biasanya penderita rinitis alergika lebih merasakan gatal dan bersin berulang seperti staccato. Biasanya ia tidak ditemukan atau tidak jelas pada rinitis vasomotor.Reaksi bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom, tetapi disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh faktor iritasi , fisik, endokrin dan faktor lain.Hidung mungkin sensitive terhadap pengaruh hormone, oleh karena itu reaksi rhinitis vasomotor mungkin berhubungan dengan kehamilan atau kontrasepsi per oral, tapi rhinitis vasomotor pada kehamilan segera menyembuh setelah melahirkan dan mungkin berhubungan dengan keseimbangan hormone. Penderita dengan anamnesis rinitis vasomotor bisa menggambarkan sensitivitas yang tidak biasa terhadap kelembaban udara. Biasanya rinitis non alergika ini disertai dengan gejala gejala obstruksi saluran pernafasan hidung dan rinorea yang hebat. Biasanya tidak terdapat variasi musim, tetapi gejalanya dapat menyerupai rinitis alergika sepanjang tahun. Tetapi karena mungkin terdapat remisi dan eksaserbasi, maka ia dapat pula menyerupai rinitis alergika musiman. Hal ini terjadi bila pasien sensitif pada perubahan suhu yag menyertai perubahan musim. Biasanya penderita rinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia dewasa. Jarang terjadi bersin dan rasa gatal. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang

agak banyak. Jarang disertai bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya. 10 II.6. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior didapatkan konka nasalis inferior mungkin pucat, membengkak dan polipoid. Dapat ditemukan eosinofil di dalam sekresi hidung, seperti yang dapat dijumpai pada rinitis alergika. Walaupun belim diketahui mengapa eosinofil juga ditemukan pada rinitis vasomotor. 10 II.7. Diagnosis Diagnosis rinitis vasomotor dibuat dengan menyingkirkan kemungkinan lain dengan mengetahui riwayat penyakit, pemeriksaan fisik pada hidung dan tenggorok serta tidak didapatkannya allergen spesifik yang menyebabkan terjadinya gejala tersebut atau dengan pemeriksaan skin tes yang negativ. Perubahan foto rontgen, penebalan membrana mukosa sinus tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis. Rinitis vasomotor bisa terjadi bersama sama dengan rinitis alergika. Setelah menyingkirkan setiap penyebab obstruksi hidung dan sekresi hidung lainnya, maka dapat dibuat diagnosis rinitis vasomotor. II.8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang digunakan pada rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada factor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu : 1. Menghindari penyebab Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa nasal secar periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator seperti Grossan irigator. 2. Farmakologik Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik juga efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini adalah antagonis muskarinik. Obat yang disarankan seperti Ipratropium Bromida, juga terdapat formula topikal dan atrovent, yang mempunyai efek sistemik lebih sedikit. Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien dengan takikardi dan glaukom sudut sempit. Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh vasoaktif mediator yang dapat menghambat Phospolipase A2, mengurangi aktivitas reseptor asetilkolin, menurunkan basofil, sel mast dan eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan jangka panjang, minimal sampai 2 gr sebelum hasil yang diinginkan tercapai. Steroid topikal yang dianjurkan seperti Beclomethason,

Flunisolide dan Fluticasone. Efek samping dengan steroid ; udem mukosa,eritema ringan. Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama hidung tersumbat. Untuk gejala yang multiple, penggunan dekongestan yang diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini merupakan agonis reseptor dan baik untuk meringankan serangan akut. Pada penggunaan topikal yang terlalu lama (> 5 hari) dapat terjadi rinitis medikamentosa yaitu rebound kongesti yang terjadi setelah penggunaan obat topikal > 5 hari. Kontraindikasi pemakaian dekongestan adalah penderita dengan hipertensi yang berat serta tekanan darah yang labil. Pemberian preparat Kalsium seperti Dumocalsin atau preparat Kalk dapat juga digunakan.Pada rhinitis vasomotor terjadi peningkatan acetilkholin sebagai akibat dari dominasi parasimpatis ,untuk menurunkan kadar asetil cholin maka diperlukan adanya enzyme asetilcholin esterase.Dengan pemberian prerat Kalk dapat meningkatkan kerja enzyme asetil cholin esterase sehingga dapat memecah asetilkolin yang menumpuk tersebut. 3. Bedah Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo yang berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Operasi ini merupakan tindakan yang cukup sukses untuk mengatasi kongesti, tetapi ada kemungkinan untuk terjadinya hidung tersumbat post operasi yang berlangsung lama dan kerusakan dari septum nasi. Neurectomi n.vidianus merusak baik hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa sehingga dapat menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau elektrik cauter dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih dipertimbangkan daripada cauterisasi karena dapat mencapai lapisan submukosa. Reseksi total atau parsial pada konka inferior berhasil baik Komunikasi dan diskusi dengan pasien merupakan bagian penatalaksanaan medis yang sangat penting, terutama bila tidak ditemukan abnormalitas yang mendasari. Konsep reaksi hidung normal berlebihan harus didiskusikan ke pasien bahwa beberapa orang mempunyai hidung yang sensitif. Penderita dengan sensitivitas hidung dapat diiritasi oleh pengatur udara (AC) atau polusi udara (ruangan yang penuh dengan asap rokok atau smog). Bila telah diterangkan konsep variabilitas biologis dan sensitivitas hidung, pasien akan lebih memahami gangguannya. Pengertian akan sangat membantu pasien untuk menerima dan hidup dengan kelainan ini. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan olahraga dapat meningkatkan daya tahan dan kondisi penderita rhinitis vasomotor. Peningkatan aktivitas fisik berpengaruh pada pengurangan produksi dari protein yang memacu timbulnya mucus. Penjelasan lain menyebutkan dengan olahraga dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi membrane, karena dengan olah raga dapat meningkatkan kadar adrenalin sehinggga dapat mengurangi sekresi mucus.Juga dengan olahraga akan membentuk reflek naso pulmonal yaitu dengan meningkatkan Volume Tidal ( VT) paru dan diharapkan bila paru terbuka maksimal maka hidung juga akan lebih terbuka, sehingga dapat mengurangi sumbatan hidung. Ini bukanlah suatu solusi permanent dalam menangani rhinitis vasomotor, tetapi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bentuk pencegahan terjadinya eksaserbasi gejala. 11

II.9. Komplikasi Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari rinitis vasomotor ini adalah polip hidung dan terjadinya sinusitis. 10 KESIMPULAN Rinitis vasomotor adalah suatu inflamasi pada mukosa hidung yang bukan merupakan proses alergi, non infeksius dan menyebabkan terjadinya obstruksi hidung dan rinorea. Etiologinya dipercaya sebagai akibat ketidakseimbangan saraf otonom pada mukosa hidung sehingga terjadi pelebaran dan pembengkakan pembuluh darah di hidung. Rinitis vasomotor sering ditemukan pada usia awitan > 20 tahun dan terbanyak diderita oleh perempuan. Diagnosa rinitis vasomotor ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan skin test mengingat kemiripan gejala yang juga dimiliki oleh rinitis alergika. Rinitis alergika mempunyai hasil skin test yang (-) dan test allergen yang (-). Faktor faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya rinitis vasomotor antara lain

Perubahan temperatur ruangan

Parfum

Aroma masakan

Kelembaban udara

Aroma masakan yang terlalu kuat

Asap rokok

Debu

Polusi udara

Stress fisik dan psikis

10. PENATALAKSANAAN dan PEMERIKSAAN Claritin Tablet Indikasi: Untuk menyembuhkan gejala-gejala yang berkaitan dengan rinitis alergik, seperti bersin-bersin, pilek (rinorea) dan rasa gatal pada hidung, demikian juga rasa gatal dan terbakar pada mata. Juga diindikasikan untuk menyembuhkan gejala dan tanda-tanda urtikaria kronis serta penyakit-penyakit dermatologis alergik lainnya. Kontra Indikasi: Pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas atau idiosinkrasi terhadap komponen-komponennya. Komposisi: Setiap tablet mengandung 10 mg micronized loratadine. Uraian: Loratadine merupakan suatu antihistamin trisiklik poten kerja-lama dengan aktivitas antagonistik selektif pada reseptor-H, periferal. Dosis dan Aturan Pakai: Orang dewasa dan anak-anak berumur 12 tahun atau lebih: satu tablet sekali sehari. Peringatan dan Perhatian: Pasien dengan gangguan fungsi hati berat harus diberikan dosis permulaan yang lebih rendah karena hal ini kemungkinan dapat mengurangi bersihan loratadine; dianjurkan dosis awal 5 mg sekali sehari atau 10 mg setiap 2 hari. Keamanan dan khasiat CLARITIN pada anak-anak usia di bawah 2 tahun belum ditetapkan. Keamanan pemakaian CLARITIN selama kehamilan belum ditetapkan; oleh karena itu hanya diberikan bila potensi manfaatnya lebih besar dari potensial risikonya terhadap janin. Karena obat ini diekskresikan dalam air susu, hati-hati apabila diberikan pada wanita yang sedang menyusui. Bila diberikan bersama-sama dengan alkohol, loratadine tidak memiliki efek potensiasi seperti yang diukur dengan penelitian penampilan psikomotor. Pernah dilaporkan peningkatan kadar loratadine dalam plasma setelah pemakaian bersama-sama dengan ketokonazol, erithromisin atau simetidin pada penelitian klinik terkendali, tetapi tidak ada perubahan klinis yang bermakna (termasuk elektrokardiografik). Obat lain yang diketahui menghambat metabolisme hati herus diberikan dengan hati-hati sampai studi interaksi definit dapat diselesaikan. Pemberian antihistamin harus dihentikan kurang lebih 48 jam sebelum prosedur uji kulit karena kalau tidak obat-obat ini dapat mencegah atau mengurangi reaksi positif terhadap indikator reaktivitas dermal. Informasi Kelebihan Dosis: Somnolensi, takikardia dan sakit kepala pernah dilaporkan karena kelebihan dosis. Sekali minum 160 mg tidak menghasilkan efekefek yang diinginkan. Pada situasi kelebihan dosis, pengobatan, yang harus segera dimulai, adalah simtomatis dan suportif. Pengobatan: Pasien harus diinduksi agar muntah, meskipun bila telah terjadi

muntah secara spontan. Muntah yang diinduksi secara farmakologis dengan pemberian sirop ipeka adalah cara yang paling disukai. Namun demikian, jangan menginduksi muntah pada pasien dengan kesadaran yang terganggu. Kerja dari ipeka dipermudah dengan aktivitas fisik dan dengan pemberian 240 sampai 360 mililiter air. Bila tidak terjadi muntah dalam waktu 15 menit, pemberian ipeka harus diulangi lagi. Aspirasi harus diperhatikan, terutama pada anak-anak. Setelah muntah, absorpsi obat yang masih tertinggal dalam lambung dapat diusahakan dengan pemberian karbon aktif yang diberikan bersama dengan air. Bila tidak berhasil muntah atau dikontraindikasikan, harus dilakukan lavase lambung. Larutan salin fisiologis merupakan merupakan larutan lavase pilihan, terutama pada anak-anak. Pada orang dewasa, dapat digunakan air minum, namun sebanyak mungkin dari jumlah yang diberikan harus dibuang lagi sebelum instilasi berikutnya. Katartika salin menarik air ke dalam usus besar secara osmosa dan, oleh karena itu, mungkin berguna bagi kerjanya dalam mempercepat pengenceran isi usus. Loratadine tidak dihilangkan dengan hemodialisis dalam jumlah yang memadai. Setelah pengobatan darurat, pasien harus dipantau terus secara medis. Efek Samping: CLARITIN tidak memperlihatkan efek sedatif yang secara klinis bermakna pada pemberian dosis 10 mg per hari. Efek sampingan yang paling sering dilaporkan rasa kecapaian, sakit kepala, somnolensi, mulut kering, gangguan pencernaan seperti nausea, gastritis, dan juga gejala alergi yang menyerupai ruam. Selama pemasaran CLARITIN tablet, pernah dilaporkan terjadinya alopesia, anafilaksis, fungsi hati abnormal dan takiaritmia supraventikular walaupun jarang. Demikian juga insiden efek samping yang berkaitan dengan sirop CLARITIN juga sebanding dengan plasebo. Pada uji klinis terkontrol pada pediatrik, insiden yang berkaitan dengan pengobatan sakit kepala, sedasi dan gelisah, peristiwa yang jarang dilaporkan, adalah serupa dengan pada plasebo. ctm Indikasi: Pengobatan pada gejala-gejala alergis, seperti: bersin, rinorrhea, urticaria, pruritis, dll. Kontra Indikasi: N/A Komposisi: Tiap tablet mengandung: Chlorpheniramini maleas 4 mg Efek Samping: Kadang-kadang menyebabkan rasa ngantuk. Perhatian: Selama minum obat ini, jangan mengendarai kendaraan bermotor atau menjalankan mesin. Takaran Pemakaian: Dewasa: 3 - 4 kali sehari 0.5 - 1 tablet.

Anak-anak 6 - 12 tahun: 0.5 dosis dewasa. Anak-anak 1 - 6 tahun: 0.25 dosis dewasa.

CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSA Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada bidang penelitian.

pengobatan memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan.

Pemilihan obat-obatan Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain : 1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang. Tidak menimbulkan takifilaksis. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek samping sistemik.

DIAGNOSA BANDING Rinitis alergika harus dibedakan dengan : 1. 2. 3. Rinitis vasomotorik Rinitis bakterial Rinitis virus

2. 3.

4.

PENYULIT Tabel 3. : Jenis obat dan efek terapetik. Sinusitis kronis (tersering) Jenis obat Poliposis nasal Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive terhadap aspirin) Asma Intranasal Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah Hipertyopi tonsil dan adenoid Gangguan kognitif 0 Intraokuler Kortikostero id intranasal Kromolin Intranasal Intraokuler Dekongesta n Intranasal 0 Oral Antikolinerg ik 0 0 ++ + 0 0 0 0 0 +++ 0 +++ 0 +++ 0 ++ +++ ++ Antihistami n H1 ++ Oral ++ ++ + ++ 0 ++ + +++ ++ Bersi n Rinore a Bunt u Gatal hidun g Keluha n mata

+ 0

+ 9

+ 0

+ 0

0 ++

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi,

+++

Antilekotrie n

++

++

Jenis obat yang sering digunakan : Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 511 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari. Kortikosteroid intranasal Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik. Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik. Leukotrien antagonis Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity. Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya. Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan. Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga. Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen). Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor

Reaksi Hipersensitivitas Posted on May 16, 2009 by klinikpediatri

kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

1. Histamin Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular. Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus. Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang. Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain. Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil. Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A) Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen). Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE. 3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF) NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

Mediator yang terbentuk kemudian Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3). 1. Produk siklooksigenase Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2). Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit). Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui. 2. Produk lipoksigenase Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi. Slow reacting substance of anaphylaxis Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE. Serotonin Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi. Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen. Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan. Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF, tetapi dihambat oleh IFN, IFN, TGF, PGE2, dan IL-I0

Faktor aktivasi trombosit (PAF = Platelet activating factor) Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).

(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III) Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated) merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF. Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).

Sindrom klinik dan pengobatan Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam darah.

PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan Penyakit Antigen target Anemia hemolitik autoimun Protein membran eritrosit (antigen golongan darah Rh) Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik) Mekanisme Opsonisasi dan fagositosis eritrosit Manifestasi klinopatologi Hemolisis, anemia

Protein membran platelet (gpIIb:integrin Opsonisasi dan fagositosis platelet IIIa)

Perdarahan

Pemfigus vulgaris

Protein pada hubungan interseluler pada Aktivasi protease diperantarai Vesikel kulit (bula) sel epidermal (epidemal cadherin) antibodi, gangguan adhesi interseluler

Sindrom Goodpasture

Protein non-kolagen pada membran Inflamasi yang diperantarai dasar glomerulus ginjal dan alveolus paru komplemen dan reseptor Fc

Nefritis, perdarahan paru

Demam reumatik akut

Antigen dinding sel streptokokus, antibodi bereaksi silang dengan antigen miokardium

Inflamasi, aktivasi makrofag

Artritis, miokarditis

Miastenia gravis

Reseptor asetilkolin

Antibodi menghambat ikatan asetilkolin, modulasi reseptor

Kelemahan otot, paralisis

Penyakit Graves

Reseptor hormon TSH

Stimulasi reseptor TSH diperantarai antibodi

Hipertiroidisme

Anemia pernisiosa

Faktor intrinsik dari sel parietal gaster

Netralisasi faktor intrinsik, penurunan Eritropoesis abnormal, absorpsi vitamin B12 anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Penyakit oleh kompleks imun Penyakit Lupus eritematosus sistemik Spesifitas antibodi DNA, nukleoprotein Mekanisme Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc Manifestasi klinopatologi Nefritis, vaskulitis, artritis

Poliarteritis nodosa

Antigen permukaan virus hepatitis B Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Vaskulitis

Glomreulonefirtis poststreptokokus

Antigen dinding sel streptokokus

Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc

Nefritis

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Point of interest

Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II). Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut. Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV) Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar. Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Sindrom klinik dan pengobatan Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang diperantarai oleh sel T . Penyakit yang diperantarai sel T Penyakit Diabetes melitus tergantung insulin (tipe I) Spesifitas sel T patogenik Antigen sel islet (insulin, dekarboksilase asam glutamat) Penyakit pada manusia Spesifisitas sel T belum ditegakkan Contoh pada hewan Tikus NOD, tikus BB, tikus transgenik

Artritis reumatoid

Antigen yang tidak diketahui di sinovium sendi

Spesifisitas sel T dan peran antibodi belum ditegakkan

Artritis diinduksi kolagen

Ensefalomielitis alergi eksperimental

Protein mielin dasar, protein proteolipid

Postulat : sklerosis multipel

Induksi oleh imunisasi dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik Induksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T

Penyakit inflamasi usus

Tidak diketahui, peran mikroba intestinal

Spesifisitas sel T belum ditegakkan

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004) Pneumonitis Hipersensitivitas (Pneumonitis Interstisial Alergika) DEFINISI Pneumonitis Hipersensitivitas (Alveolitis Alergika Ekstrinsik, Pneumonitis Interstisial Alergika, Pneumokoniosis Debu Organik) adalah suatu peradangan paru yang terjadi akibat reaksi alergi terhadap alergen (bahan asing) yang terhirup. Alergen bisa berupa debu organik atau bahan kimia (lebih jarang). Debu organik bisa berasal dari hewan, jamur atau tumbuhan.

Você também pode gostar