Você está na página 1de 22

I.

PENDAHULUAN Tumor rongga mulut adalah suatu pertumbuhan jaringan abnormal yang terjadi pada rongga mulut. Jaringan tersebut dapat tumbuh pada bagian anterior, posterior rongga mulut, dan tulang rahang. Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (maligna) atau jinak (benigna). Tindakan bedah dibutuhkan untuk mengangkat tumor, agar tumor tidak tumbuh lebih besar dan bermetastase ke tempat lain yang dapat mengganggu kesehatan, estetis dan fungsi organ.1 Tindakan pembedahan merupakan tindakan operasi yang dilakukan untuk mengangkat jaringan tumor yang terdapat pada bagian rongga mulut. Hasil dari pemotongan tumor berakibat kecacatan pada bagian tersebut. Kecacatan hasil dari pemotongan berupa hilangnya bentuk anatomis yang mengakibatkan terganggunya fungsi secara nyata dan estetika1 Kejadian tumor palatum mencapai sekitar 2% dari keganasan kepala dan leher. Sebagian besar dari tumor palatum adalah karsinoma sel skuamos. Namun adapula non-skuamos sel karsinoma, meliputi tumor pada kelenjar saliva, sarcoma, dan melanoma. Palatum merupakan atap rongga mulut,memisahkan rongga mulut dengan rongga hidung dan terdiri atas palatum keras dan lunak (di bagian posteriornya)2

II.

ANATOMI Secara anatomi, palatum terbagi menjadi palatum durum (merupakan bagian dari rongga mulut) dan palatum molle (merupakan bagian dari

oropharynx). Palatum memisahkan rongga mulut dengan rongga hidung dan sinus maksilaris. Mukosa palatum merupakan keratinisasi epitel skuamos pseudostratified. Namun demikian, submukosa memiliki banyak sekali kelenjar saliva minor, terutama pada palatum durum. Periosteal yang membungkus palatum durum menjadi barier relative terhadap pemisaha kanker kedalam tulang palatine.2 Batas-batas rongga mulut ialah1,2 : Depan Atas : tepi vermilion bibir atas dan bibir bawah : palatum durum dan molle

Lateral Bawah Belakang

: bukal kanan dan kiri : dasar mulut dan lidah : arkus faringeus anterior kanan kiri dan uvula, arkus glossopalatinus kanan kiri, tepi lateral pangkal lidah,

papilla sirkumvalata lidah. Ruang lingkup tumor rongga mulut meliputi daerah spesifik dibawah ini : a. bibir b. lidah 2/3 anterior c. mukosa bukal d. dasar mulut e. ginggiva atas dan bawah f. trigonum retromolar g. palatum durum h. palatum molle1 Suplai neurovascular palatum berasal dari foramina palatine, yang berada di medial sampai gigi molar ketiga. Foramina ini membagi jalur untuk pemisahan tumor. Arteri palatina desendes dari maksilari interna membagi suplai darah. Pembuluh darah melewati secara anterio melalui foramen nasopalatina sampai ke hidung. Sensoris dan serat sekretomotor dari nervus maksilaris (VII) cabang dari nervus trigeminus dan ganglion pterygopalatina melintasi palatum durum melalui nervus palatine major dan minus.2 Secara anatomi, palatum molle adalah bagian dari oropharynx. Ini mengandung mukosa pada kedua permukaanya. Intervensi antara kedua permukaan mukosa adalah jaringan penyambung, serat otot, aponeurosis, banyak pembuluh darah, limfatik, dan kelenjar saliva minor. Secara fungsional, palatum molle berperan untuk memisahkan oropharynx dari nasopharynx selama menelan dan berbicara. Palatum molle mendekat ke dinding posterior pharyngeal selama menelan untuk mencegah regurgitasi nasopharyngeal dan mendekat selama berbicara untu mencegah udara keluar dari hidung.2

III. FISIOLOGI Palatum merupakan atap rongga mulut,memisahkan rongga mulut dengan rongga hidung dan terdiri atas palatum keras dan lunak (di bagian posteriornya). Palatum ini terbagi dua yaitu4 : a. Palatum keras (palatum durum) yang terdiri atas tulang (prosesus palatine dari maxilla dan tulang-tulang palatine) Sifatnya:kaku,sehingga lidah dapat melakukan tekanan untuk mencampur makanan dan

memperlancar mekanisme menelan) Penyusunnya: Epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk, lamina proprianya bersatu dengan periosteum. Di dalam lamina propia terdapat banyak kelenjar kecil dan sedikit jaringan lemak.Pada garis tengah lamina propianya tipis dan melekat pada jalur median tulang. Daerah linear disebut Raphe Tambahan: Terdapat suatu tonjolan jaringan di bagian tengah ,hamper tepat di belakang central incisors dan disebut incisive papilla.Sedangkan di bagian bawah papilla tersebut terdapat incisive foramen (membawa nervus nasopalatine ke mucous membrane lingual lalu ke maxillary incisor).4

di bagian Posterolateral,menuju ke arah second and third mazillary molars,terdapat dua lubang palatinum major dan juga dua lubang palatinum minor (tempat saraf yang lainnya menuju ke hard palate)

jaringan di bawah Palatal epithelium,bervariasi dari bagian ke bagian.di bagian tengah,jaringan sedikit tipis dan palatum terasa keras dan bertulang.di bagian anterolateral jaringan tersebut mengandung sel-sel lemak dan lebih tebal.di bagian posterolateral tetap ada sel-sel lemak tetapi ada beberapa minor salivary glands.yang mengsekeresikan mucus yang berfungsi menjaga agar epitel tetap basah.4

tidak jarang terdapat juga tulang berlebih tumbuh di bagian tengah dari palatum keras,sejajar dengan foramen incisive,disebut torus palatinus.

Penghubung antara palatum keras dan lunak membentuk 2 garis kurva,dengan posterior nasal spine dari palatine bone menjadi garis batas yang utama di bagian tengah.dan juga terdapat 2 turunan kecil,satu di setiap spine,disebut fovae palatinae,yang mana menandai spine sebagai garis batas pembentukan gigi-gigi atas.

b. Palatum lunak(palatum molle) yang di bagian tengahnya terdiri atas jaringan ikat fibrosa kuat dan karenanya dapat digerakkan Sifatnya:Lunak ,berfungsi untuk menutup nasofaring dan orofaring sewaktu menelan,jadi mencegah masuknya makanan ke dalam rongga hidung.4 Penyusunnya terjadi bagian tengah terdiri atas jaringan ikat fibrosa kuat,sedangkan bagian bawah diliputi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapis tanduk,dengan banyak kelenjar dalam lamina propianya.Selapis otot rangka(muskulus uvulus)terletak di antara lamina propia dan aponeurosis palatine,suatu lembaran jaringan ikat fibrosa.Pada sisi nasal langit-langit lunak dilapisi oleh epitel bertingkat silindris bersilia dari rongga hidung,meskipun di bagian belakang epitel mulut melanjutkan diri

melampaui tepi belakang langit-langit lunak ke permukaan nasal bagian superior. Hampir semua bagian belakang merupakan bagian dari faring. Di bagian belakang tepat di tengah-tengah terdapat uvula.4

pada kondisi istirahat atau santai, palatum lunak bergerak ringan dari satu sisi ke sisi lain tetapi ketika berbicara atau mengunyah palatum lunak bergerak ke berbagai posisi dan menutup bagian depan dari nasal pharynx.gerakan ini disebabkan oleh the levator veli palatine

muscle,yang mendorong palatum lunak naik dan ke belakang hingga dia menyentuh dinding tenggorokan bagian belakang.

terdapat lima macam otot di palatum lunak, yakni Palatoglossal muscle, Palatopharyngeal muscle, muscles of uvula, Levator Levi Palatini,Tensor Veli Palatini4

IV.

EPIDEMIOLOGI Kejadian tumor palatum molle mencapai sekitar 2% dari keganasan kepala dan leher. Sebagian besar dari tumor palatum durum adalah karsinoma sel skuamos seperti yang terlihat pada gambar di bawah. Nonskuamos sel karsinoma, meliputi tumor pada kelenjar saliva, sarcoma, dan melanoma, meliputi sebagian yang lain (lihat distibusi histologi dari keganasan neoplasma palatum durum dan tipe histologi dan frekuensi dari neoplasma kelenjar saliva pada gambar dibawah).2

Gambar. Skuamos sel karsinoma pada palatum durum2 Namun, pada palatum molle, sekitar 80% merupakan skuamos sel karsinoma. Keganasan nonskuamos sel karsinoma meliputi 20%sisanya. Prevalensi dari kanker rongga mulut dan oropharynx memiliki variasi geografis, dengan frekuensi terbanyak dilaporkan dari India, sekitar 50% kasus berasal dari negara tersebut.2 Distribusi histologi dari keganasan tumor palatum durum sebagai berikut2: skuamos sel karsinoma 53% karsinoma kista adenoid 15% karsinoma mukoepidermoid 10% adenokarsinoma 4% karsinoma anaplastik 4% lain-lain 14%

Tipe dan frekuensi histology dari keganasan kelenjar saliva minor dari palatum, sebagai berikut2,5: benigna 26% maligna 74%, secara keseluruhan karsinoma kista adenoid 30% karsinoma mukoepidermoid 16% adenokarsinoma 18% tumor mix 8% lain-lain 2%

V.

ETIOLOGI Seperti halnya tumor pada umumnya, etiologi tumor pada rongga mulut tidak diketahui secara pasti dan bersifat multifaktorial. Faktor-faktor resiko terjadinya tumor palatum antara lain :2,6 1. Merokok Merokok dan penggunaan tembakau seperti menginang berkaitan dengan sekitar 75% kasus kanker mulut, disebabkan oleh iritasi mukosa mulut dari rokok dan panas saat menghisap rokok atau cerutu. Tembakau mengandung karsinogenik yang poten seperti nitrosamine (nicotine), polycyclic aromatic hydrocarbons, nitrosodicthanolamine, nitrosoproline dan polonium.2,6 2. Alkohol Tiga dari empat orang yang menderita kanker mulut, termasuk tumor palatum dan tenggorokan sering mengkonsumsi alkohol. Orang yang sering minum alkohol memiliki resiko 6 kali lebih besar terjadinya kanker rongga mulut. Sedangkan orang yang minum alkohol dan merokok memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang hanya menggunakan tembakau. Penggunaan alkohol dan tembakau mempunyai efek sinergistik. Alkohol sebagai suatu zat yang

memberikan iritasi, secara teori menyebabkan terjadinya pembakaran terus-menerus dan meningkatkan permeabilitas selaput lendir. Hal ini menyebabkan penyerapan zat karsinogen yang ada di alkohol maupun tembakau. 2,6 3. Infeksi HPV (Human Papilloma Virus) Infeksi HPV, terutama tipe 16, merupakan faktor resiko dan faktor penyebab kanker mulut (Gilsion dkk. Johns Hopkins). Kanker oral karena virus ini cenderung pada tonsil dan peritonsil, dasar lidah dan orofaring. 2,6 4. Oral higiene yang jelek Oral higiene yang jelek meningkatkan resiko terjadinya infeksi kronis yang dapat menyebabkan transformasi sel epitel. Iritasi kronis dari

tambalan gigi, gigi yang tajam atau alat yang lain diduga dapat meningkatkan resiko. 2,6 5. Usia Tumor palatum biasanya timbul pada usia > 40 tahun, kemungkinan disebabkan karena menurunnya sistem imunitas karena bertambahnya usia, akumulasi dari perubahan-perubahan genetik dan lamanya terpapar oleh insisiator dan promotor keganasan (meliputi iritan kimia dan fisik, virus, efek hormonal, penuaan sel dan penurunan imunitas. 2,6 6. Jenis kelamin Kanker rongga mulut lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita, dengan perbandingan 3:2 sampai 2:1. 2,6

VI.

PATOMEKANISME Perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik dapat membantu untuk menilai perkembangan tumornya. Skuamos sel karsinoma perluasan luar dari palatum durum terjadi pada sekitar 70% lesi. Perluasan posterior meliputi palatum molle, dengan kemungkinan terjadinya insufisiensi velopharingeal dan bicara hypernasal. Hipestesi palatum menunjukkan keterlibatan saraf trigeminus di foramen sphenopalatina atau perpanjangan fosa pterygopalatine. Ketiadaan refleks kornea mengindikasikan perluasan dasar tengkorak melalui foramen rotundum, foramen ovale, atau inferior fisura orbitalis. Gigi yang matirasa dapat mengindikasikan invasi perineural. Efusi pada telinga tengah merupakan sugestif dari perluasan nasopharyngel atau invasi dari muskulus tensor veli palatine.2 Keterlibatan dari divisi mandibula dari nervus trigeminus dapat bermanifestasi sebagai hipestesi sepanjang mandibula atau kelelahan pada temporalis atau muskulus masseter. Ini merupakan indikatif dari keterlibatan fossa infratemporal. Trismus, maloklusi, dan nyeri merupakan symptom dari invasi terhadap muskulus pterygoid. Perluasan terhadap gingival

membutuhkan penanganan. Soket gigi menyediakan sebuah jalur invasi menuju ke proses alveolar dari tulang maksilla dan menuju ke sinus

maksilaris. Keterlibatan dasar hidung dapat terjadi akibat perluasan langsung melalui palatum.2 Keterlibatan nodus limfatik mendapat perhatian khusus terhadap kejadian skuamos sel karsinoma dan kanker mukoepidermoid derajat tinggi. Sangat jarang terjadi pada karsinoma kelenjar saliva. Sekitar 30% pasien mengalami metastasis nodul cervical pada tiap kejadian. Nodul

submandibular (tingkat 1) dan nodul limfatik jugular dalam bagian atas (tingkat 2) merupakan eselon pertama dari drainage nodul. Namun, pada tumor palatum molle posterior perluasan, nodul retropharyngeal dapat terlibat. Tumor palatum digolongkan sebagai kanker oropharyngeal berdasarkan American Joint Committee on Cancer (lihat penggolongannya)2 Hampir separuh dari pasien menunjukkan manifestasi berupa perluasan dari tumor palatum molle. Lokasi yang sering menunjukkan perluasan meliputi tonsil, trigonum retromolar, proses alveolar inferior atau superior, palatum durum, dan dasar lidah. Perluasan kedalam foramen sphenopalatina dapat menyebabkan hipostasis palatum. Pada lesi yang luas, perluasan ke dalam nasopharynx, efusi telinga tengah sering terjadi. Tumor dapat meluas secara anterosuperior kedalam pterygomaxilar dan fossa infratemporal.2

VII. DIAGNOSIS VII. a. Anamnesis Tumor palatum bermanifestasi sebagai lesi permukaan yang bersifat ulseratif. Seringkali, asimptomatik pada pasien dengan stadium awal, tetapi mereka dapat mengalami nyeri pada stadium lanjut. Sebuah massa pada palatum, perdarahan, bau mulut, sakit gigi pada pasien edentulous atau kehilangan gigi dapat terjadi pada stadium lanjut kanker palatum molle, insufisiensi velopharyngeal, perubahan cara bicara, kesulitan menelan, otalgia, trismus, atau sebuah massa pada leher dapat terjadi. Karena area ini mudah untuk dilihat, tumor seringkali ditemukan pada stadium awal secara tidak sengaja oleh pasien atau pemeriksa.2

Disisi lain, tumor kelenjar saliva minor bermanisfestasi sebagai lesi submukosa, sebagaimana disajikan pada gambar dibawah, dengan dibungkus mukosa normal yang licin. Melamona adalah lesi hitam licin namun dapat berwarna coklat atau abu-abu kecoklatan. Karsinoma Kaposi berupa lesi kebiruan yang sering ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV. Hiperplasia pseudoepitelomatous dan nekrosis sialometaplasia adalah lesi benigna yang dapat menyerupai skuamos sel karsinoma dan perlu dipisahkan secara histologist. Torus palatine (misalnya, hyperplasia tulang dari palatum) berupa massa keras pada garis tengah yang tidak memberikan gejala dan tidak seharusnya mengacaukan dengan tumor.2

VII. b. Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan fisis yang penting7 1. Keadaan Umum pasien7 2. Pemeriksaan rongga mulut, evaluasi gerakan dan kekuatan otot mulut dan otot lidah7,8 3. Pemeriksaan orofaring, pergerakan palatum molle, sensibilitas orofaring dengan sentuhan spatel lidah, reflex muntah, reflex menelan, dan evaluasi suara (keterlibatan laring)8 4. Pemeriksaan faring-laring : gerakan pangkal lidah, gerakan arkus faring, uvula, epiglottis, pita suara, plika ventrikularis, dan sinus piriformis Faringoskopi7 Inspeksi Penderita diinstruksikan membuka mulutLakukan penekanan lidah dengan spatel lidah Tampak memperhatikan keadaan cavum oris sampai orofaring 7 Palpasi Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasipada daerah mukosa bukkal, dasar lidah dan daerahpalatum untuk menilai adanya kelainan-kelainan dalam rongga mulut7

10

Laringoskopi indirek Melakukan pemilihan cermin laring yang tepat, kemudian instruksikan penderita untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah sejauhny. Pegang lidah dengan kasa steril . Pasien

diinstruksikanuntuk bernafas secara normal lalu masukkan cermin laring yang telah dilidah apikan kedalam orofaring . Posisikan cermin laring sedemikian rupa hingga tampakstruktur di daerah hipofaring. Menilai mobilitas plika vocalis dengan menyuruh penderita mengucapkan huruf i berulang kali7 5. Pemeriksaan neurologis fungsi motorik dan sensorik saraf cranial Memeriksa paresis palatum mole Normalnya saat istirahat : uvula menunjuk ke bawah, konkavitas palatum mole simetris, bila mengucapkan aa, ee : bergerak-gerak, tetap simetris Paresis bilateral pada saat istirahat: seperti normal bila mengucapkan aaa, eee : mungkin uvula sedikit bergerak Paresis unilateral pada saat istirahat: seperti normal, bila mengucapkan aaa, eee : palatum mole terangkat ke sisi sehat, uvula miring, menunjuk ke sisi sehat, konkavitas asimetris 6. Periksa posisi dan kelenturan leher/tulang servikal, evaluasi massa leher, pembesaran KGB leher7

VII. c. Pemeriksaan Penunjang Radiologi Evaluasi radiologi dapat membantu meningkatkan keakuratan diagnosis stadiumnya. CT scan dan MRI adalah modalitas pilihan. Berikut tampilan CT scan axial dan coronal. Tampilan coronal, sebagaimana dilihat dibawah, adalah posisi terbaik untuk menilai sejauh mana invasi tulang pada palatum dan perluasannya ke daerah fosa nasal atau sinus maksilaris.2,9,10 CT scan dapat menilai perluasan pada dasar carnial. Pembesaran pada foramina dasar cranial mengindikasikan invasi tumor

11

tersebut. Penampakan aksial dapat menilai perluasan secara horizontal sepanjang palatum molle, pterygoid, dan otot, fossa infratemporal, dan ruang masticator2,9 CT scan dengan infuse kontras intravena seharusnya meliputi leher untuk menilai keterlibatan nodul cervical. Ini sangat penting terutama untuk skuamos sel karsinoma dan karsinoma mukoepidermoid stadium berat.2,9 MRI, seperti pada gambar dibawah, lebih akurat untuk menilai perluasan perineural melalui foramina. Ini penting utamanya untuk karsinoma kista adenoid dengan propensitas untuk invasi perineural.2,9 Pada tumor tingkat lanjut dengan keterlibatan sinus paranasalis, pencitraan MRI lebih baik dibandingkan CT scan dalam membedakan penyakit infeksi dari neoplasma2,9 Penampakan radiografi dada untuk menilai metastasis pulmo, merupakan pilihan kedua atau dua-duanya. Tes fungsi liver, adekuat untuk menilai metastasis ke liver. Berdasarkan CT scan abdomen dan dada dapat menilai ukuran metastasis secara lebih akurat.2,9

Biopsi Biopsi lesi ulseratif dapat dengan mudah dapat diambil dengan menggunakan forceps biopsy dengan pasien berada dibawah pengaruh anestesi. Secara alternative, aspirasi jarum sitologi dapat dilakukan jika terdapat sitopatologis yang berpengalaman.2,9 Untuk lesi ulseratif, sangat penting pengambilan specimen biopsy dilakukan pada pusat tumor secara dekat untuk menghindari neksosis dari komponen pusat2,9 Pada ukuran besar, non-ulseratif palatum, sebuah insisi melalui mukosa yang intak perlu dilakukan lebih dulu untuk biopsi. Tempat insisi biopsi memungkinkan pemindahan subsekuen dari skar biopsi pada kontinuitas tumor.2,9

12

Lesi submukosa dapat ditangani dengan biopsi eksisi. Jika hasil patologi mengindikasikan keganasan, maka perlu dilakukan penanganan.
2,9

VIII. STADIUM Pengelompokan stadium berdasarkan American Joint Committee on Cancer sebagai protocol karena penting untuk prognosis penyakit pasien. Status tumor dan nodus untuk rongga mulut dan oropharynx digunakan untuk stadium. Stadium untuk kanker dari oropharynx dan rongga mulut, diambil dari 2002 American Joint Committee on Cancer, sebagai berikut111,12,13 : T (tumor primer) TX tumor primer tidak dapat ditemukan T0 tidak ada tumor primer T1 tumor 2 cm atau lebih kecil T2 tumor lebih besar dari 2 cm tetapi tidak lebih besar dari 4 cm T3 tumor lebih besar dari 4 cm T4 tumor merusak jaringan sekitar (seperti tulang kortikal, jaringan lunak leher, dalam otot lidah)

N (kelenjar limfa regional) NX tidak dapat ditemukan kelenjar limfa regional N0 tidak ada metastasis kelenjar limfa regional N1 metastasis pada satu ipsilateral nodul limfa, lebih besar dari 3 cm tetapi tidak lebih besar dari 6 cm; pada multiple ipsilateral nodul limfa, tidak lebih besar dari 6 cm; atau pada bilateral atau kontralateral nodul limfa, tidak lebih besar dari 6 cm. N2a metastasis pada salah satu ipsilateral nodul limfa lebih besar dari 3 cm tapi tidak lebih besar dari 6 cm N2b metastasis pada multiple ipsilateral nodul limfa, tidak lebih besar dari 6 cm.

13

N2c metastasis pada bilateral atau kontralateral nodul limfa, tidak lebih besar dari 6 cm N3 metastasis pada sebuah nodul limfa lebih besar dari 6 cm

M (metastase jauh) MX tidak ditemukan metastasis jauh M0 tidak ada metastasis jauh M1 terdapat metastasis jauh

IX. PENATALAKSANAAN Penanganan yang spesifik pada tumor palatum tergantung dari lokasi tumor (palatum durum vs palatum molle), stadium tumor (lihat pembagian stadium), dan tipe patologis dari kanker. Untuk alasan ini, penanganan skuamos sel karsinoma dan asal dari karsinoma kelenjar saliva minor didiskukan secara terpisah.2 IX.a. Pembedahan Pembedahan adalah penanganan lebih untuk skuamos sel karsinoma palatum durum. Namun, radiasi megavotase juga telah berhasil digunakan sebagai alternative dalam menangani pasien dengan tumor ini. Lesi kecil T1 dan T2 dapat diatas dengan penanganan pembedahan atau terapi radiasi. Terapi radiasi diberikan dengan dosis total 60-70Gy. Komplikasi dari tumor tulang dan komplikasi yang potensial yakni osteoradionekrosis membuat terapi radiasi kurang memberi harapan untuk penanganan lesi ini. Di sisi lain, pembedahan untuk lesi tersebut cukup sederhana, dengan morbiditas yang rendah dan tidak ada kehilangan fungsi.2 Pendekatan transoral, sebagaimana gambar dibawah, memberikan paparan yang adekuat untuk tumor superfisial pada palatum durum yang belum menginvasi tulang. Anestesi general membantu memberikan kenyamanan pasien. Pasien diposisikan pada posisi supine dengan kepala ekstensi.2

14

Gambar. Reseksi transoral dari karsinoma mukoepidermoid pada palatum2 Dingman atau Crockrad pembuka mulut menyediakan retractor untuk memfasilitasi pandangan ke arah pembedahan seperti gambar

Gambar. Skematik pendekatan per-oral palatum menggunakan retractor mulut Dingman2 Secara alternative, bantalan gigit keras atau penyumbat Denhardt dapat digunakan untuk meretraksikan pembukaan mulut untuk eksposur lapangan pandang. Lesinya dipetakan dengan margin yang adekuat yakni sekitar 1 cm. Insisi jaringan lunak dibuat dengan pisau atau alat elektrokauter. Elektrokauter mengurangi kehilangan darah. Cara lain adalah dengan penggunaan laser karbondioksida yang adekuat untuk hemostasis dan menyebabkan kerusakan yang lebih sedikit. Penggunaan elevator periosteal, periosteum meningkat dibawah secara langsung dan ketika tumor dipindahkan.2,14 Pada kasus dimana tumor menyerang periosteum dan tulang, tulang harus diangkat dengan tepinya. Disini dibolehkan penggunaan pemotongan

15

duri. Jika memungkinkan, penjagaan cakupan mukoperiosteal superior untuk mencegah fistula oronasal, meskipun ini nampaknya sulit. Alat prostetik sangat efektif untuk rehabilitasi menelan dan bicara2,14 Pada kasus dimana tumor berada di daerah lateral dan meliputi pengerutan alveolar, maka alveolektomi meliputi reseksis palatum. Untuk meningkatkan paparan, sebuah inisisi pada sulkus buccogingival dibuat pada level dinding maksila anterior. Nervus infraorbital dibutuhkan. Sebuah pembukaan dibuat kedalam antrum maksilaris untuk memaparkan permukaan superior dari palatum. Bedasarkan insisi jaringan lunak, pemotongan tulang dibuat menggunakan gergaji Stryker. Pemaparan permukaan jaringan lunak dibungkus dengan skin graft yang tebal, kecuali untuk menutupi rongga. Rehabilitasi prostetik dilakukan dengan pertolongan prostodontis yang mempersiapkan preoperative sebagai alat prostetik sementara. 2,14 Untuk tumor palatum durum yang perluasaanya meliputi palatum durum bilateral, palatektomi total dan maksilekstomi bilateral inferior perlu dilakukan. Reseksi ini dapat meninggalkan bekas midfasial pada palatum, rahang atas dan sinus. Pengangkatan dan rekonstruksi graft pada defek ini terbilang sulit, seringkali hasilnya membawa pada fistula oroantral atau oronasal. Rehabilitasi prostetik total sangat efektif untuk mengembalikan deglusi, bicaral\ dan kontur wajah dan untuk membuat pembedahan post operatif lebih mudah dimonitor.2,14 Pada kasus kanker palatum molle, lesi mukosa sangat kecil dapat direseksi dengan transoral dengan preservasi mukosa superior. Jika defeknya dekat dengan palatum durum, rotasi lanjutan dari palatum durum dapat digunakan untuk mendekatkan defeknya. Defek yang kecil pada margin posterior dari palatum molle mungkin dapat ditutup dengan mendekatkan superior dan inferior mukosanya. Hasil dari insufisiensi velopharyngeal benar setiap waktu. Pengangkatan dasar superior dari pharyngeal dapat digunakan untuk menutup defeknya.2

16

IX.b. Radioterapi Baik radioterapi dan pembedahan adekuat untuk mengendalikan lesi awal. Untuk lesi tingkat lanjut T3 dan T4, radioterapi tradisional dengan sinar eksternal sendiri memberikan harapan hidup yang buruk. Akibatnya, untuk tumor stadium lanjut III dan IV, direncanakan penatalaksanaan bersama, meliputi pembedahan reseksi yang diikuti terapi radiasi untuk tumor primer dan leher. 2 Dikarenakan sulitnya rekonstruksi yang adekuat, terapi radiasi telah direkomendasikan sebagai penatalaksaan pada kanker palatum molle dimasa lalu. Meskipun kemajuan dalam teknik rekonstruksi dan prostetik yang efektif telah banyak dilakukan pada pasien dengan kanker palatum molle, namun terapi radiasi masih menjadi modalitas utama pada beberapa pusat untuk lesi T1, T2, dan T3 yang memberikan hasil yang sebanding dengan pembedahan. Penggunaan radioterapi sebagai penatalaksaan utama, dapat mengendalikan lesi T1 sebanyak 80-90%, lesi T2 60-70%, dan lesi T3 5565%. Angka ini kurang dari 50% pada lesi T4. Penanganan yang efektif untuk lesi primer membutuhkan dosis mendekati 70 Gy.2 Komplikasi yang potensial pada penananganan radioterapi meliputi xerostomia berat, fibrosis muscular, dan trismus, osteoradionekrosis pada mandibula, dan ulkus jaringan lunak. Komplikasi dari radioterapi bergantung pada volume dan dosis. Baru-baru ini, beberapa pusat penelitian lebih memilih penggunaan brachyterapi interstisial menggunakan iridium Ir 192 mengawali penggunaan sinar ekternal pada radioterapi. Tumor primer diberikan 40-60 Gy radiasi sinar eksternal, diikuti 20-40 Gy dari brachyterapi. Pendorongan tumor primer dengan dosis tinggi memberikan peningkatan kendali lokoregional dari tumor, disertai penurunan komplikasi dengan mengabaikan luas bidang, radiasi dosis tinggi. 2 IX.c. Kemoterapi Terapi alternative yakni dengan kemoterapi dipadukan dengan radioterapi, yang diikuti pembedahan. Cisplatin dan 5 flurouracil merupakan agen kemoreapi yang digunakan. Kemoterapi mungkin diberikan sebanyak 2-3 siklus untuk melihat respon pasien dan evaluasinya. Jika pasien

17

berespon terhadap kemoterapi, radiasi diberikan sebanyak 70 Gy; pembedahan disediakan untuk penyelamatan. Pembedahan diperlukan jika pasien memberikan respon yang buruk terhadap kemoterapi.2 Kemoterapi mungkin diberikan bersamaan dengan radioterapi, persiapan pembedahan untuk penyelamatan. Administrasi 5 fluorourasil dapat diberikan secara bolus intravena atau infus kontinous diatas 72-120 jam. Dosis yang diberikan berkisar 800-1200 mg/m. Untuk cisplatin, biasanya dosis yang digunakan 60-100 mg/m setiap 3 minggu. Percepatan fraksinasi radioterapi telah harapan hidup yang sebanding dengan penyakit tertentu ketika dibandingkan dengan kemoterapi (cisplatin) seiring dengan penggunaan lokal pada stadium tingkat lanjut pada kanker oropharyngeal stadium III dan IV A/B, dimana menghasilkan angka yang rendah untuk ketergantungan jangka panjang pada pemberian makan dengan nasogastric tube. Standar radiasi fraksinasi dibawah dari percepatan fraksinasi dan untuk kemoterapi pada kelompok ini. 2

X.

KOMPLIKASI Komplikasi dari tumor palatum meliputi (1) insufisiensi velopharyngeal, paling sering, (2) bicara hypernasal, (3) disfagia, dan (4) efusi telinga dari skar pada pembukaan tuba eustachius atau kehilangan fungsi tensor dan/atau muskulus levaror palatine. Secara jelas, pembesaran dan potensial dari komplikasi ini tergantung dari perluasan tumor, ukuran defek, dan metode rekonstruksi. Semakin besar tumor dan defeknya, semakin besar kemungkinan terjadinya komplikasi. Palatum molle merupakan struktur yang dinamis; fungsi yang optimal darinya memerlukan aksi dari otot untuk mengelevasi dan menegangnya selama deglusi dan relaksasi selama respirasi nasal. Karenanya, destruksi apapun pada palatum molle dan prostetik tidak menghasilkan fungsi ini; malah akan membatasi fungsinya.2 Komplikasi dari tumor palatum durum tergantung pula dari perluasaan tumor. Untuk tumor jaringan dengan preservasi dari tulang palatum durum dan palatum molle, hasilnya penyembuhan defek dengan granulasi dan epitalisasi, dan tidak ada komplikasi yang diharapkan. Jika pasien telah

18

menjalani terapi radiasi sebelumnya pada daerah itu, penyembuhan mungkin dapat tertunda.2 Untuk perluasan yang lebih pada oroantral atau defek oronasal, oronasal dan fistula oroantral dapat berkembang. Defek yang kecil dapat menutup dengan kepakan sekitar dari palatum durum yang istirahat atau dari mukosa buccal. Defek yang lebih besar diatasi secara adekuat dan efektif dengan penyumbat. Karena organ ini tidak dinamis, penyumbat sangat efektif dan toleran.2

XI.

PROGNOSIS Pada 5 tahun terakhir, inklusi dari kualitas hidup pasien diukur berdasarkan keputusan pengobatan untuk kanker kepala dan leher menjadi penting. Kanker oropharyngeal yang meliputi palatum molle merupakan area yang menjadi banyak penelitian aktif, menggunakan kualitas hidup pasien sebagai standar ukuran hasilnya. Dengan menggabungkan modalitas terapi yakni meliputi pembedahan dan radioterapi atau kemoradiasi, keduanya sebanding dalam mengatasi kanker stadium lanjut, prediksi kualitas hidup pasien menjadi penting mengingat dalam membantu membuat keputusan penanganan2,13.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Reksoprawiro, Sunarto. Protokol Peraboi 2003. Protokol Penatalaksanaan Kanker Rongga Mulut. Jakarta; 2003. 2. Sadeghi, Nader. Malignant Tumor of Palate. Medscape Reference Drug, Diseases, and Procedur [internet]. Juli 2011. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/847807-overview 3. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomi. Philadelphia : Elsevier Saunders [internet];2012. Available from:

http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/008/8432-0550x0475.jpg , http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/056/56871-0550x0475.jpg 4. Lesson, Paparo. Buku Ajar Histologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedoktern EGC; 1996 : hal 346-347. 5. Bectrack,N. Minor salivary gland tumors of the palate: clinical and pathologic correlates of outcome [internet]. November. 1995. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7475867. 6. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007 : hal. 613-614 7. Hasanuddin, Universitas. Pemeriksaan Fisis Telinga Hidung dan Tenggorokan. 2009. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 8. Montgomery, William. Anatomi, Examination, and Diagnosis, Chapter1. Surgery Of The Larynx, Trachea, Esophagus, and Neck. Pennsylvania: Saunders; 2002: hal 1-6 9. Harrison, Louis. Head and Neck Cancer A Multidisciplinary Approach Second Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Desktop Division; 2004: hal 266-340. 10. Brockstein, Bruce. Head and Neck Cancer. Chicago: Kluwer Academic Publisher; 2002: hal 86-94 11. Boies, Adam. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997: hal. 429-437

20

12. Soepardi, Arsyad. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007: hal 191-193 13. Djulbegovic, Benjamin. Decision Making In Oncology Evidence Base Management. United State of America: Churchill Livingstone Inc ; 1997: hal 129-131 14. Lore, John. An Atlas of Head & Neck Surgery Fourth Edition. Philadelphia : Elsevier Saunders;2005: hal 752-765.

21

Lampiran Referensi

22

Você também pode gostar