Você está na página 1de 22

Sifilis Data yang dilansir Departemen Kesehatan menunjukkan penderita sifilis mencapai 5.000 10.000 kasus per tahun.

. Sementara di Cina, menunjukkan jumlah kasus yang dilaporkan naik dari 0,2 kasus per 100.000 jiwa pada tahun 1993 menjadi 5,7 kasus per 100.000 jiwa pada tahun 2005. Di Amerika Serikat, dilaporkan sekitar 36.000 kasus sifilis tiap tahunnya, dan angka sebenarnya diperkirakan lebih tinggi. Sekitar tiga per lima kasus terjadi kepada lelaki. Pola penularan yang mereka pantau sangat berubah dalam periode tahun 1998 hingga 2002. Bila di tahun 1990-an sifilis hanya terjadi pada kaum heteroseksual, sejak 2001 jumlah pria yang melakukan hubungan seks dengan sesama pria tercatat hampir 60 persen. Antara tahun 2000 hingga 2002 tim yang dipimpin Ciesielski juga mewawancarai mereka yang terkena sifilis. Hasilnya, lebih dari 14 persen kasus penularan sifilis terjadi melalui seks oral. Jumlah ini dlaporkan oleh 20 persen gay dan 7 persen pria dan wanita heteroseksual. Wanita tunasusila merupakan faktor risiko terbesar. Di USA 160 kasus merupakan kasus sifilis kongenital karena tidak menjalankan pemeriksaan antenatal yang adekuat. Hubungan seksual dengan penderita sifilis baik yang primer ataupun skunder mepunyai risiko 50% untuk menderita penyakit ini. Definisi Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Treponema Pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh. Ada masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan. Etiologi Trepanoma pallidum. Trepanoma pallidum berbentuk spiral, negatif-Gram dengan panjang rata-rata 11 um (antara 6-20 um) dengan diameter antara 0,09 s/d 0,18 um. Sebagaimana mikroorganisme negatifGram, dijumpai dua lapisan. Sitoplasma yang merupakan lapisan dalam, mengandung mesosome, vakuol ribosom, dan mungkin juga bahan-bahan nukleoid. Lapisan luar dilapisi oleh bahan mukoid dan tidak dijumpai pada Trepanoma yang tidak patogen. Cara Penularan : 1. Hubungan seks, bakteri menular pada saat hubungan seks yang dilakukan baik secara oral maupun transvagina 2. Transplasenta: melalui plasenta dari ibu ke janinnya 3. Transfusi darah: apabila pendonor menderita sifilis Gejala 1. Biasanya Asimptomatik, tetapi kelahiran mati atau lahirnya bayi dengan lues kongenita menunjuk ke arah diagnostik. Maka perlu dilakukan anamnesa sebelumnya dengan penderita sifilis 2. Pada persalinan janin atau plasenta tampak hidrifilik. 3. Pada kehamilan, jika terdapat luka primer pada daerah genital maka luka tampak lebih besar dari pada yang biasa hal ini dikarenakan vaskularisasi pada keadaan hamil daerah genital lebih banyak.

4. Infeksi primer menimbulkan Chancre, tergantung pada besarnya inokulum serta imunitas penderita. 5. Infeksi sekunder akan tampak limfadenopati serta rash. 6. Pada sifiliskongenita akan tampak gejala seperti a. Pemfigus sifilitikus b. Deskwamasi pada telapak kaki dan tangan c. Rhagade pada kanan kiri mulut Pemeriksaan Laboratorium 1. Diagnosis pasti sefilis dini yaitu dengan pemeriksaan sediaan langsung pada lapangan gelap serta direct fluorescent antibody tests pada lesi atau jaringan. 2. Kemungkinan lain untuk mendiagnosa dengan 2 tipe pemeriksaan serologi yaitu; Tes antibodi treponema ; a. FTA ABS ( fluorescent treponemal antibody absorbed ) b. MHATP ( microhemagglutination assay for antibody to T. pallidum ) Ditambah dengan pemeriksaan tes nontreponema misalnya c. VDRL ( venereal disease reseach laboratory ) d. RPR ( rapidplasma regin ) Diagnosis: 1. Luka primer di daerah genital/ tempat lain seperti di mulut. Pada lues sekunder kadang timbul kandiloma lata. Lues laten dan telah lama dapat mengenai organ organ tubuh lainnya. 2. Pemeriksaan serologis: reaksi wasermann dan VDRL. 3. Kelahiran mati atau anak yang lalu dengan lues kongenital merupakan petunjuk bahwa ibu menderita sifilis. Gejala yang mungkin terjadi pada wanita, yang terurai dalam empat stadium berbeda. Stadium satu Stadium ini ditandai oleh munculnya luka yang kemerahan dan basah di daerah vagina, poros usus atau mulut. Luka ini disebut dengan chancre, dan muncul di tempat spirochaeta masuk ke tubuh seseorang untuk pertama kalinya. Pembengkakan kelenjar getah bening juga ditemukan selama stadium ini. Setelah beberapa minggu, chancre tersebut akan menghilang. Stadium ini merupakan stadium yang sangat menular. Stadium dua Kalau sifilis stadium satu tidak diobati, biasanya para penderita akan mengalami ruam, khususnya di telapak kaki dan tangan. Mereka juga dapat menemukan adanya luka-luka di bibir, mulut, tenggorokan, vagina dan dubur. Gejala-gejala yang mirip dengan flu, seperti demam dan pegal-pegal, mungkin juga dialami pada stadium ini. Stadium ini biasanya berlangsung selama satu sampai dua minggu. Stadium tiga Kalau sifilis stadium dua masih juga belum diobati, para penderitanya akan mengalami apa yang disebut dengan sifilis laten. Hal ini berarti bahwa semua gejala penyakit akan menghilang, namun penyakit tersebut sesungguhnya masih bersarang dalam tubuh, dan bakteri penyebabnya pun masih bergerak di seluruh tubuh. Sifilis laten ini dapat berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya.

Stadium empat Penyakit ini akhirnya dikenal sebagai sifilis tersier. Pada stadium ini, spirochaeta telah menyebar ke seluruh tubuh dan dapat merusak otak, jantung, batang otak dan tulang. Gambaran klinis Sifilis primer waktu rata-rata inkubasi 3 minggu. Papula yang membentuk ulkus yang tidak nyeri (chancre primer) terbentuk didaerah inokulasi pada penis atau serviks atau labia. Limfadenopati inguinal terjadi, dan juga lesi sembuh secara spontan setelah beberapa minggu. Sifilis sekunder terjadi rata-rata 6-8 minggu kemudian dengan ruam makulopapular generalisata (termasuk ditelapak tangan dan kaki), limfadenopati generalisata, dan kondiloma lata (plak yang lembab, lebar, dan sangat infeksius didaerah intertriginosa yang hangat). Gejala sistemik terdiri dari demam, nyeri kepala, dan nyeri tenggorokan. Sifilis laten gejala dan tanda menghilang. Satu-satunya manisfetasi infeksi adalah pemeriksaan serologis yang positif. Infeksi SSP asimtomatik pada silifis laten ini umum terjadi. Sifilis tersier guma (lesi granulomatosa yang keras) muncul setelah 3-10 tahun diberbagai tempat, termasuk dikulit, dimana terjadi ulkus setelah ada kerusakan jaringan kartilago dan jaringan ikat dibawahnya. Efek dari sifilis tersier ini adalah terjadinya aortitis, terjadi setelah 10-30 tahun dan menyebabkan aneurisma aorta asendens. Neurosilifis menyebabkan penyakit dengan spektrum gejala yang luas termasuk: meningovaskuler (4-7 tahun), general paresis of the insane (10-20 tahun), tabes dorsalis (15-25). Pengaruh sifilis terhadap kehamilan: 1. Infeksi pada janin terjadi setelah minggu ke 16 kehamilan dan pada kehamilan dini, dimana Treponema telah dapat menembus barier plasenta. 2. Akibatnya kelahiran mati dan partus prematurus. 3. Bayi lahir dengan lues konginetal : pemfigus sifilitus, diskuamasi telapak tangan-kaki, serta kelainan mulut dan gigi. 4. Bila ibu menderita baru 2 bulan terakhir tidak akan terjadi lues konginetal. Pengobatan Sifilis dapat dirawat dengan penisilin atau antibiotik lainnya. Menurut statistik, perawatan dengan pil kurang efektif dibanding perawatan lainnya, karena pasien biasanya tidak menyelesaikan pengobatannya. Cara terlama dan masih efektif adalah dengan penyuntikan procaine penisilin di setiap pantat (procaine diikutkan untuk mengurangi rasa sakit); dosis harus diberikan setengah di setiap pantat karena bila dijadikan satu dosis akan menyebabkan rasa sakit. Cara lain adalah memberikan kapsul azithromycin lewat mulut (memiliki durasi yang lama) dan harus diamati. Cara ini mungkin gagal karena ada beberapa jenis sifilis kebal terhadap azithromycin dan sekitar 10% kasus terjadi pada tahun 2004. Perawatan lain kurang efektif karena pasien diharuskan memakan pil beberapa kali per hari.

Pengobatan pada wanita hamil Wanita hamil dengan sifilis harus diobati sedini mungkin, sebaiknya sebelum hamil atau pada triwulan I untuk mencegah penularan terhadap janin. Suami harus diperiksa dengan menggunakan tes reaksi wassermann dan VDRL, bila perlu diobati. Pencegahan penularan 1. pada pasien yang terinfeksi sifilis harus berhenti melakukan aktivitas seksualnya sampai sifilisnya benar-benar sembuh (negatif terinfeksi sifilis). 2. Jangan berganti-ganti pasangan dalam melalukan hubungan seksual 3. Pasien sifilis harus melakukan tes HIV pada saat didiagnosis sifilis. 4. Pasien harus selalu memeriksakan diri setiap 3-6 bulan sekali setelah diterapi 5. Selalu menjaga kebersihan di daerah kelamin 6. Dalam melalukan hubungan seksual hendaknya yang pria menggunakan kondom 7. Setelah melakukan hubungan seksual baik pria maupun wanita mencuci tangan dengan air dan sabun hingga bersih. 8. pencegahan aktivitas seksual dengan orang yang memiliki penyakit kelamin menular dan dengan orang berstatus penyakit negatif.
Dalil SF, Maksa WIB, Zubier F, Judanarso J, editor. Infeksi menular seksual. Fakultas kedokteran UI;Jakarta;2005. Manuaba, IGB. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. EGC. Jakarta;1998. Bagian obstetri dan ginekologi FK UNPAD. Ginekologi. Elstar Offset. Bandung;1997. http://www.2blowhards.com/Sifilis%20poster.jpg/ gambar

LUKA PADA ALAT KELAMIN

Syphilis
PENYEBAB
Sifilis disebabkan oelh Triponema pallidum yang merupakan salah satu species dari genus Triponema, anggota famili Spirochataceae, dari orde Spirochaetales. T. pallidum adalah salah satu dari tiga species Triponema yang patogen. Dua species yang lain adalah T. pertenue penyebab yaws, dan T. carateum penyebab penyakit pinta. Telah terjadi perubahan nomenklatur dari triponema yang patogen pada manusia, T. pallidum sekarang disebut T. pallidum subsepecies pallidum dan T. pertenue menjadi T. pallidum subsepecies pertenue. Organisme ini berbetuk khas yaitu berupa spiral yang bulat dan tipis, dengan ukuran lebar 0,1-0,5 m dan panjang 5-15 m, dengan 6-14 gelombang yang panjang gelombangnya kira-kira 1 m. Dapat bergerak aktif dengan memutar tubuhnya secara teratur pada poros memanjangnya.

Spiral ini sangat tipis dan tidak dapat diwarnai dengan zat warna anilin, sehingga tidak bisa dilihat di bawah mikroskop, kecuali dengan preparat basah menggunakan mikroskop lapangan gelap, pewarnaan negatif atau dengan pewarnaan endapan perak. Dengan pewarnaan endapan perak ini, yang disebut juga pewarnaan Silver impregnation, dimana nitrat perak (argentum nitrat) yang direaksikan pada preparat akan direduksi menjadi perak metalik yang akan diendapkan pada permukaan tubuhnya, sehingga dibawah mikroskop Triponema ini bisa dilihat sebagai suatu spiral yang mengkilat. Triponema pallidum bersifat mikroaerofilik, dan Gram negatif walaupun tidak bisa dilihat dengan pewarnaan Gram. Treponema pallidum yang patogen untuk manusia belum berhasil dibiak pada medium buatan atau pada telur yang berembrio, ataupun pada biakan jaringan. Beberapa Treponema pallidum yang berhasil dibiak secara anaerobe invitro kemungkinan hanyalah saprofit, tetapi antigennya bisa bereaksi silang dengan Treponema pallidum. Spirochaeta dapat dimatikan dengan cepat oleh pengeringan, begitu juga dengan menaikkan temperatur sampai 42oC. Dalam darah atau plasma dan disimpan pada 4oC maka organisme ini masih tetap hidup paling sedikitnya selama 24 jam. Hal ini sangat penting diingat dalam hal transfusi darah. Beberapa penelitian tentang T. pallidum berkesimpulan bahwa permukaan sel bakteri ini tidak mengandung protein dan lain-lain antigen permukaan. Penelitian tentang antigen ini sangat disulitkan dengan kenyataan bahwa bakteri ini tidak bisa tumbuh pada medium yang tidak mengandung sel-sel manusia atau binatang. Hal ini bukan saja menyulitkan isolasi antigen, tapi juga menimbulkan keraguan apakah ada antigen ini bia dideteksi pada manusia atau pada bakterinya. Outer membran protein T. pallidum mengandung protein transmembran antigen dan lipo-protein, tetapi jumlahnya sepuluh kali lebih kecil bila dibanding dengan bakteri negatifGram yang lain, misalnya Escherechia coli.

PATOGENESIS

Bila strain T. pallidum diinokulasikan ke dalam kulit, kornea, atau testis binatang percobaan, maka bisa terjadi lesi yang mirip lesi pada sifilis primer, namun tidak ada model binatang yang bisa menunjukkan sadium lain dari penyakit ini. Waktu. Spirochaeta sampai pada jaringan subepitel melalui luka tak kedap mata pada kulit, atau mungkin dengan liwat diantara sel-sel epitel selaput lendir, dimana bakteri ini bermultiplikasi dengan hanya menyebabkan reaksi alamiah dari jaringan. Hal ini mungkin karena relatif antigen pada permukaannya kurang, namun penyebabnya yang pasti belumdiketahui. Setelah lesi terbentuk, maka gambaran patologi yang nampak adalah endartritis. Gambaran arterioles kecil menunjukkan adanya pembengkakan dan proliferasi endothelnya. Endartritis ini menyebabkan penyempitan atau tertutupnya lumen pembuluh, yang mungkin bertanggung-jawab pada terjadinya lesi primer dengan ulkus nekrotik. Walaupun lesi primer bisa sembuh spontan, namun bakteri penyebab akan menyebar ke organ tuibuh yang lain melalui kelenjar limfa lokal, atau liwat peredaran darah. Tidak diketahui penyebabnya, sifilis kemudian tanpa gejala sampai kemudian muncul gejala-gejala muncul gejala infeksi stadium sekunder akibat dissiminasi bakteri. Kemudian gejala menghilang lagi (fase laten). Walaupun nampaknya ada pengaruh pertahanan tubuh tuan rumah, namun mekanisme sebenarnya belum diketahui. Pada infeksi eksperimental, ditemukan adanya epitope baru pada OMPnya, tetapi tidak ditemukan perbedaan sifat antigen pada strain T. pallidum yang ditemukan pada lesi sekunder dengan yang ditemukan pada lesi primer. Bisa dilihat adanya ikatan antara protein tuan rumah, immunoglobulin, dengan permukaan organisme, tanpa mengubah viabilitas dan motilitas bakteri. Responsi inflamasi terhadap kompleks immun, lipoprotein spirochaeta, dan komplemen pada dinding arteolar mungkin ikut berperan pada terjadinya jejas pada sifilis Sifat lesi yang granulomatous dari sifilis stadium III bersama-sama dengan jejas yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif IV (delayed type of hypersensitivity) berada lebih lama bila spirochaeta menetap. Tidak ada toksin, faktor-faktor virulensi, atau molekul lain yang bisa dihubungkan dengan ga,baran spesifik dari sifilis.

GAMBARAN KLINIS

DIAGNOSE LABORATORIUM
Triponema pallidum belum bisa dibiak di laboratorium, karena itu diagnosis laboratorium hanya bisa dilakukan dengan pemeriksaan lapangan gelap dari cairan ulkus atau pemeriksaan serologis. Pemeriksaan langsung membutuhkan pengalaman dan dedaikasi yang tinggi.

Bahan pemeriksaan

Bahan pemeriksaan yang dipakai adalah sekret luka untuk melihat bakterinya, dan serum untuk pemeriksaan serologis.

Pemeriksaan yang dilakukan


a. Pemeriksaan Lapangan Gelap (Darkfield Examination) : melihat gerakan bakteri penyebab. b. Pewarnaan negatif : melihat morfologi bakteri penyebab sebagai spiral kosong pada latar belakang yang gelap. c. Tes Serologi Bahan pemeriksaan untuk tes serologis adalah serum atau liquor. Non-treponemal test, dilakukan untuk melihat aadanya reagin dalam darah penderita yanitu antibodi terhadap cardio-lipin. Tes yang biasa dipakai untuk skrening penderita sifilis. Tes VDRL (Venereal Disease Research Laboratories) test Tes RPR (Rapid Plasma Reagin), satu modefikasi dari tes VDRL. Bila tes ini positif dengan titer yang tinggi, kemudian dilakukan tes komfermasi dengan Treponemal test, misalnya dengan TPHA (Triponema pallidum hemagglutination test).

Lymphogranuloma venerum (LGV)


PENYEBAB
Lymphogranuloma venerum (LGV), disebabkan oleh varian LGV dari Chlamydia trachomatis. Chl. trachomatis adalah anggota dari genus Chlamydia, yang merupakan anggota dari keluarga Chlamydiaceae, dari ordo Chlamydiales. Telah diketahu ada 4 species dalam genus Chlamydia, yaitu Chl. trachomatis Chl. psittaci, Chl. pneumoniae, dan Chl. pecurium. Chl. trachomatis merupakan prototype darei semua species Chlamydia. Species ini terbagi atas 15 biovarian yang ada hubungannya dengan manifestasi penyakit yang disebabkannya. Chlamydia trachomatis merupakan prototipe dari anggota genus Chlamydia yang merupakan bakteri ini kecil sekali, tidak bisa tumbuh pada medium buatan.dan tidak dapat dimatikan oleh antibiotik yang mempunyai lingkaran -laktam. Genus Chlamydia mempunyai siklus hidup yang unik, dan terdiri dari dua bentuk yang sangat berbeda, Elementary body (EB) yang sangat infeksius, bisa hidup diluar sel, dan tidak bisa berkembang biak, dan Reticulate body (RB) yang tidak infeksius, bisa tumbuh dan membekah diri, dan hidup dalam sel tuan rumah.

PATOGENESIS
Sel target Chlamydia adalah sel epitel endocervix, dan urethra, rektum dan conjuctiva kedua jenis kelamin. Biovarian LGV juga bisa masuk tubuh dengan menembus kulit dan

mukosa. Setelah infeksi terjadi, dilepaskanlah cyokine proinflamasi misalnya interleukin-8 akibat infeksi pada sel-sel epitel. Lipopoli-saccharide chlamydia kemungkinan juga berperan penting dalam proses inflamasi. Hal ini menyebabkan dari infiltrasi awal jaringan oleh lekosit PMN yang kemudian diikuti oleh limfosit, makrofag, sel-sel plasma dan eosinofil. Bila proses infeksi berlanjut, maka bisa terhadi aggregat limfosit dan makrofag pada submukosa, yang kemudian bisa berlanjut menjadi nekrosis dan selanjutnya diikuti oleh terjadinya fibrosis dan jaringan parut. Sekuele kronis dari satu inflamasi yang progressif dengan jaringan parut yang terjadi pada trachoma dan pada infeksi genital pada beberapa wanita biasanya disebabkan oleh infeksi yang berulang-ulang, yang mungkin bisa dikontrol oleh respons sel kebal tuan rumah. Satu teori beranggapan bahwa ini bisa disebabkan oleh mimikri molekular, yang terjadi pada epitope dari chlamydia 60-kd heat shock protein dan pada sel-sel tuan rumah.

KEKEBALAN
Infeksi Chlamydia trachomatis tidak menghasilkan kekebalan yang mencegah reinfeksi, walaupun dihasilkan satu secretory immunoglobulin A, yang sekurang-kurangnya bisa sedikit mencegah reinfeksi pada saluran genital. Proteksi yang strain-specific yang terbentuk kemungkinan hanya berusia pendek. Produksi antibodi yang lokal bersama-sama dengan limfosit CD4+ kemungkinan berperan kebanyak infeksi akut tidak terlalu parah. Hal ini bisa menjelaskan mengapa kebanyakan infeksi chlamydia pada saluran genital menetap, tetapi dalam keadaan subklinis.

GAMBARAN KLINIS DIAGNOSIS LABORATORIUM


Bahan Pemeriksaan
1. 2. 1. 2. a. b. c. d. Duh tubuh serviks/urethra, tetapi pada pengamilan harus dengan cara sedikit menekan swab, sehingga epitel iku terambil. Conjuctiva, bahan diambil dengan jalan kerukan. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan. Kultur jaringan, merupakan gold standar identifikasi chlamydia. Deteksi antigen Direct Immunofluorescent-Antibody (DFA) Method Contoh : Micotrack DFA (Beachring Diagnostic) Enzyme Immunoassay (EIA) Test Contoh :Microtrack EIA (Bechring) Chemiluminometric Sandwich Immunoassay Rapid test

3. a. b. 4.

5.

Tes pack (Abbot) Optical immuno assay (OIA) (Biostar) Deteksi asam nukleat (DNA) Hibridisasi DNA probe Contoh : 2 test (gene-Probe) PACE Amplifikasi DNA Contoh : Polymerase Chain Reaction (PCR) test. Pemeriksaan sediaan langsung Cara termurah dan termudah untuk melihat adanya inclusion bodies adalah dengan pewarnaan Giemsa 10% pada preparat hapus dari bahan pemeriksaan. Pada pewarnaan ini sel yang terinfeksi nampak lebih besar dari sel yang normal, dan di dalam sitoplasma nampak satu vacuola besar mengelilingi inti sel dengan bintik-bintik merah didalamnya. Pada preparat dari sekret mata atau sputum dapat dilakukan pewarnaan dengan lugol (jodium) untuk membedakan Chlamydia trachomatis dari Chlamydia lain, di mana Chlamydia trachomatis menunjukkan adanya butir-butir coklat tua dari glikogen di dalam inclusion bodiesnya, bila dilihat di bawah mikroskop cahaya. Sayang sekali sensitifitas dan spesifitas dari kedua metode pewarnaan ini sangat rendah, sehingga hasil negatif palsu lebih sering ditemukan. Deteksi antobodi (tes serologis) Tes serologi biasanya dipakai untuk keperluan epidemiologis, bukan untuk diagnosis. Tes serologis dipakai untuk menentukan adanya dan kadar IgG dan IgA dari serum atau cairan endoservix.

Chancroid
PENYEBAB
Chancroid atau ulkus molle disebabkan oleh Haemophilus ducreyi yang merupakan batang-batang silender berpasangan atau berantai dengan ukuran 0,5 m 1,5-2,0 m. Organisme ini tidak berkapsul dan sifat lain hampir sama dengan Haemophilus influenzae.

FAKTOR-FAKTOR VIRULENSI
Faktor-faktor virulensi antara lain, pili yang adhesive, kekebalan terhadap fagositosis dan complement-mediated killing. Kurangnya kekebalan terhadap bakteri ini mungkin karena kerja dari toksin (cytolethal distending toxin) pada sel T.

GAMBARAN KLINIS PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Bahan pemeriksaan: cairan ulkus.

Pemeriksaan Gram Pada pemeriksaan Gram dari eksudat lesi-lesi tersebut akan nampak basil-basil negatifgram yang berkelompok seperti kelompok ikan yang sedang berenang. Biasanya disertai bakteribakteri piogenik yang lain. Biakan Biakan dilakukan pada medium coklat agar dan diinkubasi dalam situasi mikroaerofilik selama 24-72 jam.

Herpes genitalia
PENYEBAB
Herpes genitalia disebabkan oleh Hepres simplex virus, salah satu anggota kelompok herpesvirus dari famili Herpesviridae yang merupakan virus DNA besar, mempunayi amplove yang ditemukan baik pada manusia maupun pada binatang. Semua viirus dalam kelomok herpesvirus mempunyai morfologi yangs ama dengan ukuran kira-kira 180 sampai 200 nm. Core DNAnya berdiameter sampai 75 nm yang dikelilingi oleh kapsid. Dibagian luar kapsid ditutupi oleh envelope lipoprotein yang berasal darai memmbran inti sel tuan rumah yang terinfeksi. Envelope virus ini mengandung paling sedikitnya 9 glikoprotein yang menonjol keluar sel mirip duri. Irus ini mempunyai genome yang besar, sampai 240 kbp DNA, yang mengkode kira-kira 75 jenis protein virus. Walaupun morfologi sama diantara herpes virus namum merek bisa dibedakan berdasar perbedaan antigennya. Sel target dari masing-masing virus berbeda-beda. Misalnya herpes simplex virus mempunyai target sel yang sangat bervariasi, namun walaupun virus ini dapat bereplikasi dalam bermacam-macam sel hewan dan manusia, secara alamiah virus ini hanyalah patogen untuk manusia. Ada dua herpes simplex virus, yaitu HSV-1 dan HSV-2, yang berbeda secara epidemiologis, struktur antigen, dan DNAnya sangat berbeda. HSV-1 biasanya menyebabkan ulkus pada kulit atau mukosa pada bagian tubuh di atas pinggang, sedang HSV-2 menyebabkan ulkus pada bagan tubuh di bawah pinggang.

PATOMEKANISME
Infeksi akut Gambaran patologi selama infeksi akut terdiri dari adanya multinucleated giant cell, degenerasi epitel sel, nekrosis local, eosinophilic intranuclear inclusion bodies, dan adanya respons inflamasi yang ditandai oleh infiltrasi PMN neutrofil, diselingi oleh infultrasi sel-sel mononuclear. Virus bias menyebar baik intraneuron atau extra-neuron atau melalui jaringan ikat dari axon atau syaraf, yang menyebabkan infeksi laten pada ganglia syaraf sensoris atau syaraf autonom. Penyebaran virus bias terjadi dari sel ke sel, dan bias diinakifkan oleh immunoglobulindalam sirkulasi.

Infeksi laten Infeksi laten oleh HSV-2 sudah ditunjukkan pada daerah sacral (S2-S3). Infeksi laten pada jaringan syaraf oleh HS tidak menyebabkan kematian dari sel, tetapi mekanisme yang apsti interaksi genome viral belum semluruhnya diketahui. Beberapa kopi genome virus HSV bias ditemukan dalam setiap sel yang terinfeksi. Genome virus ditemukan dalam bentuk sirkular, dan transkripsi hanya terjadi pada sebagian kecil genome virus. Nampaknya infeksi rekuren baik pada genital maupun daerah orolabial disebabkan oleh reaktivasi virus dari gangglion dengan infeksi laten sambil melepaskan virion-virion infeksius. Mekanisme reaktivasi dari infeksi laten. Faktor-faktor yang diketahui memfasilitasi revitalisasi herpes simplex virus antara lain sinar ultra violet, demam dan trauma (misalnya intubasi oral).

KEKEBALAN
Pertahanan tubuh tuan rumah sangat besar pengaruhnya terhadap manifestasi klinis dari infeksi HSV. Infeksi HSV bisa asimptomatis, maupun simptomatis ringan. Gejala awal dari infeksi yang simptomatis biasanya lebih parah daripada gejala penyakit yang rekuren, yang mungkin disebabkan karena ditemukannya antibodi terhadap HSV dan immune lymphocyte pada penderita infeksi rekuren. Baik kekebalan humoral maupun yang selular penting pada kekebalan terhadap HSV. Netralisasi antiobodi terhadap glikoprotein envelope HSV nampaknya penting dalam mempertahankan diri terhadap infeksi eksogen. Antibody-dependent cytotoxicity mungkin perlu untuk mencegah penyebaran awal HSV. Dalam 2 minggu seteah infeksi sudah bisa dideteksi adanya limfosit T yang sitotoksik yang bisa menghancurkan sel-sel yang terinfeksi HSV, sebelum siklus replikasi virus tersebut sempurna..

GAMBARAN KLINIS (bagian Kulit) DIAGNOSIS LABORATORIUM


a. Specimen yang dipakai adalah sekret ulkus atau jaringan ulkus. b. Biakan jaringan adalah cara yang paling baik. Effek sitopatologis HSV biasanya bsi dilihat setelah biakan diinokulasi selama 24-48 jam. c. Pewarnaan Giemsa atau Papanicolaou pada praparat langsung dari specimen yang diambil dari dasar ulkus, bisa dipakai untuk melihaat adanya inclusion bodies atau multinucleated giant cells yang khas pada herpes. Cara ini kurang sensitif bila dibanding dengan biakan virus, dan tidak spesifik. d. Deteksi Antigen bisa dilakukan dengan cepat menggunakan metode enzyme immunoassay dan immunofluorescence yang merupan cara yang relatf sensitif.

e.

PCR adalah cara terbaik untuk deteksi DNA pada cairan cerebrospinalis untuk diagnosis HSV encephalitis. f. Pemeriksaan Serologis untuk dteksi antibodi. Tes serologi tidak dianjurkan untuk detekasi antibodi pada infeksi HSV yang aktif, karena sering tidak ada peningkatan titer antibodi bila terjadi reaktifasi. Serologi mungkin berguna untuk deteksi antibodi pada infeksi HSV-2 yang asimptomatis.

Granuloma inguinale
PENYEBAB
Granuloma inguinale = granuloma venerum = donovanosis disebabkan oleh Calymatobacterium granulomatis atau Donovania granulomatis, dulu dikira ada hubungannya dengan genus Klebsiella, tapi ternyata kemudian bahwa hal tersebut tidak benar. Bakteri ini berbentuk batang pleomorf berujung bulat, dengan leber 0,5-1,5 m dan panjang 1,0-2,0 m. terdapat sebagai batang yang sendiri-sendiri atau berkelompok. Bakteri ini menunjukkan kondensasi khromatin pada salah satu atau kedua ujung selnya. Berkapsul, negatif Gram dan tidak bergerak. Pada pewarnaan Wright atau Giemsa dari eksudat ulkus, nampak organisme ini di dalam sitoplasma sel-sel fagosit monoselular yang besar sebagai batang-batang pleomorfik berwarna ungu yang dikelilingi oleh kapsul berwarna merah muda. Organisme ini juga bisa terdapat ekstraselular. Kondensasi khromatin pada salah satu atau kedua ujungnya memberi gambaran seperti peniti. Kapsul polisakharida dari bakteri ini bersifat antigenik, yang dapat bereaksi silang dengan species Klebsiella. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya persangkaan salah bahwa Calymatobacterium ada hubungannya dengan Klebsiella.

GAMBARAN KLINIS DIAGNOSIS LABORATORIUM


1. Bahan pemeriksaan Bahan pemeriksaan adalah kerokan dari bawah tepi ulkus atau biopsy jarum. Kerokan jaringan diambil setelah ulkus dibersihkan dengan kain kasa steril yang dibasahi dengan larutan garam fisiologis streil. Jaringan tersebut kemudian dihancurkan menjadi partikel-partikel kecil. 2. Preparat hapus Pada pemeriksaan mikroskopis dari kerokan jaringan yang diwarnai secara Wright atau Giemsa, ditemukan dalam sel-sel mononuclear adanya basil-basil negatif-gram yang kecil dan pleomorfik, mirip Klebsiella yang berkapsul. Dalam sel mononuclear, organisme ini nampak sebagai kelompokan yang dikenal sebagai Donovan body, yaitu dinamai sesuai nama dokter yang pertama menemukan organisme ini pada lesi-lesi yang granulomatous tersebut. Basil-basil ini juga ditemukan diluar sel.

3. Biakan Organisme ini sukar dibiak pada medium biasa tetapi bisa tumbuh dengan susah payah pada medium yang mengandung kuning telur. Juga bisa tumbuh pada kuning telur yang sedang berembrio.

SIFILIS PADA INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS


Fitria Agustina, Lili Legiawati, Rahadi Rihatmadja,Sjaiful Fahmi Daili Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
ABSTRAK
Sifilis dan infeksi menular seksual lain yang menyebabkan lesi genital atau respons inflamasi merupakan faktor risiko penting dalam transmisi human immunodeficiency virus (HIV). Sifilis dan infeksi HIV merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Di beberapa negara berkembang, sifilis masih dianggap sebagai penyebab penting kematian. Sifilis terbukti meningkatkan penyebaran infeksi HIV melalui transmisi seksual. Koinfeksi sifilis dan infeksi HIV dapat mengubah manifestasi klinis, progresivitas penyakit lebih cepat, penegakan diagnosis lebih sulit, peningkatan risiko komplikasi neurologis, dan risiko kegagalan terapi dengan rejimen standar lebih besar. Pasien sifilis dengan infeksi HIV lebih sering datang pada stadium penyakit lebih lanjut dan gejala klinis tidak khas. Hasil pemeriksaan serologis dapat mengalami perubahan, antara lain peningkatan hasil negatif palsu dari tes antibodi nontreponemal karena fenomena prozon dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi HIV. Hal tersebut sering menjadi kendala dalam keberhasilan pengobatan, sehingga diperlukan pemeriksaan serologis yang teliti dan kompetensi dokter dalam mendiagnosis agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat bagi pasien. Kata kunci: sifilis, HIV

ABSTRACT
Syphilis and others sexual infections which cause genital ulcers or inflammation respons are important factors in human immunodeficiency virus (HIV) transmission. Syphilis and HIV infection are both transmitted sexually. In some developing countries, syphilis is still considered as an important cause of mortality. It increases sexual transmitted of HIV. Syphilis and HIV co-infection can alter clinical features, rapid progression of the disease, make difficulties in diagnosis, increase neurological involvement, and higher the risk of treatment failure to the standard regimen. In syphilis patients with HIV co-infection usually come with late stage of the disease and not specific clinical manifestation. There is increasing false negative results in serologic tests of nontreponemal antibody in patients with HIV co-infection because of prozone phenomena. These problems become obstacles in successful of treatment syphilis with standard regimen . Accurate serologic tests and capability the doctor to diagnose are very important due to proper treatment for the patients. Key words: syphilis, HIV

PENDAHULUAN
Sifilis dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sehingga tidak mengherankan jika seseorang menderita keduanya sekaligus.1 Di beberapa negara berkembang hingga tahun 1998, sifilis masih dianggap sebagai penyebab penting kematian, dan dalam kaitannya dengan penyebaran infeksi HIV terbukti meningkatkan transmisi seksual HIV. 2 Pengaruh infeksi HIV terhadap sifilis dapat mengubah manifestasi klinis, progresivitas penyakit lebih cepat, penegakan diagnosis lebih sulit, peningkatan risiko komplikasi neurologis, dan risiko kegagalan terapi dengan rejimen standar lebih besar. 3,4 World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 12 juta kasus sifilis baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, terutama di Asia Utara dan Tenggara, Afrika sub-Sahara, Amerika Latin, dan Karibia.5 Pada kelompok pria homoseksual di Amerika Serikat, Irlandia dan Inggris, angka kejadian sifilis diduga kembali meningkat, sejalan dengan meningkatnya jumlah individu terinfeksi HIV dalam beberapa tahun terakhir. 6-8 Dari data laporan morbiditas poliklinik Divisi Infeksi Menular

Seksual Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) bulan Januari-Desember 2005, proporsi kepositivan kasus baru sifilis stadium I (S I) sebesar 0.14%, sifilis stadium II (S II) 0.7%, dan sifilis laten (S laten) 0.56%.9 Pada tahun 2004 di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40 juta orang terinfeksi HIV, sebagian besar di Afrika subSahara. Pertumbuhan epidemik tercepat di Eropa Timur dan Asia Tengah. 5 Di Indonesia pada tahun 2004, diperkirakan 130 ribu orang penduduk terinfeksi HIV, sebagian besar terjadi pada kelompok dengan kebiasaan berisiko tinggi seperti wanita dan pria pekerja seksual dengan kliennya, pria homoseksual, dan pengguna obat suntik.10,11 Rasio koinfeksi sifilis dan HIV bergantung dari prevalensi kedua infeksi tersebut dalam komunitas atau kelompok yang diteliti.1 Pada satu penelitian di Amerika Serikat tahun 1996, lebih dari 1000 kasus HIV akuisita pada kelompok heteroseksual, sebelumnya didahului oleh infeksi sifilis. 5 Penelitian di Spanyol tahun 1998 melaporkan kepositifan serologik sifilis sebesar 13% dari 1161 kasus pasien HIV, meningkat 4% dalam 38 bulan masa observasi.1 Bloker dkk*. melakukan penelitian terhadap 30 kasus sifilis di Amerika Serikat untuk melihat rasio koinfeksi HIV, melaporkan kepositifan serologik antibodi HIV sebesar 15,7% (27,5% pada pria dan 12,4% pada wanita). Kassu A dkk.12 melakukan penelitian di Etiopia terhadap 706 orang subyek, didapatkan kepositifan serologik antibodi HIV sebesar 5% dan kepositivan serologik sifilis hanya sebesar 6% pada kelompok HIV-positif. Kepositivan serologik sifilis pada pasien terinfeksi HIV di poliklinik Pokdisus AIDS RSCM/FKUI sebesar 3,26%. 13

ETIOPATOGENESIS
Schaudin dan Hoffman pada tahun 1905 berhasil mengidentifikasi Spirochaeta pallida sebagai bakteri penyebab sifilis.14 Klasifikasi sangat sulit dilakukan, karena spesies Treponema tidak dapat dibiakkan in vitro. Sebagai dasar diferensiasi terdapat 4 spesies yaitu T. pallidum yang menyebabkan sifilis, T. pertenue yang menyebabkan frambusia, T. endemicum yang menyebabkan bejel, dan T. carateum yang menyebabkan pinta.15-17 Spirochaeta sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti coiled hair.18 Treponema pallidum subspesies pallidum merupakan agen penyebab sifilis. Organisme tersebut merupakan parasit obligat bagi manusia.15,18,19 Treponema pallidum berbentuk spiral, negatif-Gram dengan panjang antara 6-20 m dan diameter antara 0,09-0,18 m. Pada umumnya dijumpai 16-18 busur, yang terdiri atas membran luar ( outer sheath), ruang periplasma dengan flagel periplasma, dan lapisan peptidoglikan. Terdapat 3 macam gerakan yaitu rotasi cepat sepanjang aksis panjang heliks, fleksi sel, dan maju seperti gerakan pembuka tutup botol. 15,16,18 Treponema pallidum dapat berenang dalam lingkungan viscous (contohnya rongga mulut, traktus intestinal), tetapi hanya dapat berputar dalam air karena gesekan minimal. Kontak dengan udara, antiseptik, atau cahaya matahari akan membunuh mikroba tersebut. Jika diletakkan di luar tubuh dalam lingkungan gelap dan lembab hanya bertahan tidak lebih dari 2 jam. Replikasi terbatas T. pallidum didapatkan pada kultur sel epitel kelinci, dengan waktu untuk memperbanyak 2 kali lipat adalah 30 jam, tetapi replikasi terjadi lambat dan hanya dapat dipertahankan beberapa generasi.18 Genom lengkap dari T. pallidum terdiri atas satu kromosom sirkular yang terdiri dari 1.138.006 pasang basa dan diperkirakan mengkode 1.041 gen.19 Transmisi seksual sifilis dimungkinkan karena inokulasi pada abrasi akibat trauma seksual yang menyebabkan respons lokal sehingga terjadi erosi, lalu ulkus. Kejadian tersebut diikuti dengan penyebaran treponema ke kelenjar getah bening regional dan penyebaran hematogen pada bagian lain tubuh. Hingga kini belum sepenuhnya dimengerti bagaimana mekanisme kuman menyerang jaringan.20 Pada sebagian besar stadium sifilis sering ditemukan gambaran vaskulitis obstruktif pembuluh darah kecil, serta perivascular cuffing dengan sel bulat, sel plasma, dan adanya proliferasi sel endotel. Gangguan vaskularisasi pada lesi turut berperan dalam mengakibatkan perubahan jaringan.20 Infiltrat pada lesi sifilis didominasi oleh limfosit dan makrofag.21 Sifilis dan infeksi menular seksual lain yang menyebabkan lesi genital atau respons inflamasi merupakan faktor risiko penting dalam transmisi HIV. Faktor pada sifilis yang diperkirakan memiliki kontribusi untuk terjadinya proses transmisi HIV adalah :
________________________________________ *) Dikutip dari kepustakaan 1

1) Kerusakan sawar epitel sebagai pintu masuk (atau keluar) HIV. 15 2) Kedatangan sejumlah besar makrofag dan sel T membuat lingkungan kaya akan reseptor HIV.15 3) Produksi sitokin oleh makrofag yang distimulasi lipoprotein treponemal dapat meningkatkan replikasi HIV.15 4)Treponema pallidum dapat menginduksi ekspresi gen HIV-1 dari monosit dan makrofag.22 5) Lipoprotein T. pallidum dapat menginduksi CCR5 dari monosit yang merupakan ko-reseptor utama transmisi HIV.23

ASPEK IMUNOLOGIS SIFILIS PADA INFEKSI HIV


Pasien dengan infeksi HIV mengalami disregulasi respons imun tubuh. Hal tersebut menyebabkan turunnya jumlah sel Th (helper) dan limfopenia. Limfosit T tidak dapat memproduksi interleukin-2 dalam jumlah normal, respons hipersensitivitas tipe lambat melemah, dan aktivitas sel natural killer menurun. Produksi antibodi spesifik dapat terganggu.24 Treponema pallidum tidak banyak memiliki lipopolisakarida, tetapi kuman tersebut mengandung banyak lipoprotein. Secara in vitro maupun in vivo telah dibuktikan bahwa lipid-modified protein merupakan aktivator poten terhadap sel efektor yang berkaitan dengan imunitas nonspesifik. 21 Oleh karena itu, pada awal pembentukan chancre respons imun nonspesifik yang akan berperan terutama adalah monosit, makrofag, dan sel endotelial terhadap Treponema.21,25 Sifilis mengaktifkan baik imunitas humoral maupun selular, dan keduanya diperlukan untuk eradikasi kuman. 17 Kini telah ditemukan bahwa hipersensitivitas tipe lambat merupakan mekanisme imun yang utama untuk pemusnahan bakteri dan penyembuhan lesi sifilis.21,25 Pada pasien terinfeksi HIV terjadi gangguan sistem imun humoral dan selular. Perubahan kualitas imunologis pada pasien dengan infeksi HIV dapat menyebabkan penyembuhan lesi primer sifilis yang lambat, akselerasi terjadinya lesi sifilis sekunder, atau keduanya.26 Penurunan atau hilangnya imunitas selular pada pasien terinfeksi HIV menyebabkan peningkatan kemampuan Treponema untuk bermultiplikasi di berbagai jaringan, sehingga dapat terjadi ulserasi genital persisten, guma, dan progresivitas neurosifilis yang lebih cepat.27 Kofoed dkk.28 melaporkan bahwa pada pasien terinfeksi HIV, jumlah sel limfosit T CD4+ menurun dan jumlah virus HIV meningkat selama infeksi sifilis. Keadaan tersebut secara statistik bermakna hanya pada sifilis primer dan sifilis sekunder, dengan jumlah awal sel limfosit T CD4+ sebelum terinfeksi sifilis sebesar 500 sel/L. Setelah terapi sifilis, jumlah sel limfosit T CD4+ akan meningkat dan jumlah virus HIV akan menurun seperti keadaan awal sebelum terinfeksi sifilis. Namun, Sadiq dkk. melaporkan bahwa tidak terdapat hubungan antara perubahan jumlah sel limfosit T CD4+ dan jumlah virus HIV-1 dalam darah dan semen dengan kejadian sifilis stadium dini. 29

GAMBARAN KLINIS SIFILIS PADA INFEKSI HIV


Stadium sifilis tidak diubah oleh infeksi HIV. Namun, manifestasi klinis dan progresivitas penyakit dapat dipengaruhi oleh infeksi HIV.32 Sifilis diklasifikasikan sebagai sifilis kongenital dan sifilis didapat. Secara epidemiologi, WHO menggolongkan sifilis dalam sifilis dini (<1 tahun) dan sifilis lanjut (>1 tahun). Pembagian secara klinis menjadi sifilis primer (S I), sifilis sekunder (S II), laten dini (<1 tahun), laten lanjut (>1 tahun), sifilis tersier (S III) .4,17,18 Manifestasi klinis sifilis atipikal dilaporkan pada pasien HIV-positif dengan jumlah sel limfosit CD4+ rendah.27 Beberapa kemungkinan manifestasi klinis atipikal pada individu terinfeksi HIV telah dilaporkan, antara lain chancre multipel pada S I, concomitant multiple genital ulcer pada S II, dan peningkatan frekuensi meningitis sifilis akut pada sifilis dini, peningkatan sifilis okular. Secara khusus terjadi pergeseran dari manifestasi primer ke sekunder dan progesivitas penyakit yang lebih agresif.1,3,15 Pada pasien sifilis dengan infeksi HIV, lebih sering terlihat manifestasi klinis S II dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi HIV. Dan di antara pasien HIV-positif dengan manifestasi klinis S II tersebut, masih sering disertai adanya chancre.26,31

Sifilis Primer (S I) Pada individu HIV-negatif, sifilis primer terjadi setelah periode inkubasi 14-21 hari di tempat inokulasi sebagai papul yang tidak nyeri, cepat membesar dan berulserasi disebut sebagai chancre. Chancre kadang tidak terlihat atau tidak disadari oleh pasien. Ciri khas ulkus ditandai oleh indurasi (teraba keras di sekeliling ulkus), permukaan bersih, dinding tidak bergaung, tidak nyeri (jika tidak disertai infeksi bakteri lain) dan soliter. Letak ulkus dapat ditemukan di luar area anogenital, yaitu bibir, lidah, tonsil, puting susu, dan jari. 1,4,16,20,32 Sifilis primer pada individu dengan infeksi HIV dapat berupa chancre multipel atau chancre atipikal berupa ulkus nyeri dan lunak di sekelilingnya.1,4,16,20,32 Hall dkk.32 melaporkan bahwa individu terinfeksi HIV lebih sering memiliki lesi inisial berupa chancre multipel (70%), dibandingkan dengan individu HIV-negatif (34%). Pada beberapa pasien terkadang tidak ditemukan chancre primer, atau chancre primer tidak terlihat. Dapat terjadi limfadenopati regional.4 Komplikasi pada mata dapat terjadi berupa infeksi okular, yaitu uveitis, keratitis, neuritis optik, konjungtivitis, atrofi optik dan korioretinitis.3 Namun, tidak terdapat tanda yang patognomonik. Kelainan mata yang terbanyak adalah uveitis (inflamasi intraokular) yang dapat terjadi pada semua stadium dan dapat sembuh spontan, namun angka kekambuhannya tinggi bila sifilis tidak diobati.1,32 Sifilis Sekunder (S II) Sifilis sekunder biasanya ditemukan 2-8 minggu setelah infeksi awal dan dapat terjadi sampai 6 bulan setelah penyembuhan lesi primer.4,15 Sifilis sekunder dapat juga muncul sebelum chancre primer menghilang. Pada stadium tersebut replikasi spirochaeta terus berlangsung dengan penyebaran infeksi yang melibatkan berbagai sistem organ. Ruam kulit merupakan gejala yang paling sering terlihat (80-95% kasus). Pada lebih dari 95% kasus ruam kulit berupa makula, makulopapular, papular atau anular. Erupsi nodular dan pustular jarang terjadi. Ruam kulit sering terlihat pada batang tubuh dan ekstremitas yang dapat melibatkan telapak tangan dan telapak kaki. 4,17,33 Ruam kulit S II dapat menyerupai berbagai kelainan kulit, yaitu pitiriasis versikolor, pitiriasis rosea, skabies, erupsi alergi obat, dan eritema multiforme. Pada individu terinfeksi HIV yang mendapatkan obat antiretroviral, ruam tersebut sering salah diagnosis sebagai erupsi obat alergik.32 Pada kulit kepala dapat dijumpai alopesia yang disebut moth-eaten alopecia yang dimulai di daerah oksipital. Di daerah lembab terdapat papul basah yang disebut kondiloma lata. 17 Gejala konstitusi, limfadenopati generalisata, artralgia, mialgia, dan gejala neurologis mungkin terjadi. Tanpa terapi, manifestasi S II berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, biasanya menyembuh spontan dalam 4-12 minggu dan masuk ke stadium laten.4 Pada pasien terinfeksi HIV, ruam kulit S II sering muncul dengan concomitant multipel genital ulcer.31 Lesi oral dapat terjadi dengan atau tanpa infeksi HIV dan sering pada S II. Paru dan pleura jarang terlibat, tetapi spirochaeta dapat terdeteksi dalam cairan pleura akibat pneumonia, meskipun jumlah limfosit CD4+ masih baik. Sindrom nefrotik merupakan komplikasi ko-infeksi HIV dengan S II.1 Sifilis Laten (S laten) Sifilis laten adalah stadium tanpa gejala klinis tetapi dengan pemeriksaan serologis positif. Individu dengan infeksi HIV menunjukkan keadaan yang sama seperti individu yang tidak terinfeksi HIV, yaitu sifilis laten terjadi asimtomatik dan diagnosis ditegakkan atas dasar tes serologi sifilis yang positif. Sifilis laten diklasifikasikan sebagai laten dini (<1 tahun), laten lanjut (>1 tahun), atau sifilis laten dengan durasi yang tidak diketahui. 4,15,17,32,33 Sifilis Tersier (S III) Stadium S III terjadi beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah sifilis laten. Sifilis tersier merupakan infeksi kronik sifilis dengan perjalanan progresif yang akan menyebabkan gangguan fungsi dan/atau kerusakan berbagai sistem organ. Sifilis tersier merupakan penyakit serius dan dapat menyebabkan kematian pada pasien yang tidak diterapi. Manifestasi yang paling sering adalah neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan guma. 4,15,17,20 Pada pasien HIV-positif, progresivitas menjadi guma dan neurosifilis lebih cepat terjadi. 1,34

- Guma Patogenesisnya belum jelas, tetapi diduga guma terjadi sebagai respons hipersensitivitas terhadap antigen Treponema di jaringan. Lesi berbentuk nodus atau plak berwarna merah gelap dengan diameter antara beberapa milimeter hingga sentimeter. Lesi mula-mula kenyal, tetapi kemudian melunak seiring dengan terjadinya nekrosis jaringan. Guma dapat melibatkan organ dan jaringan pendukung di sekitarnya dan dapat bersifat destruktif. 17,20,33 Pemeriksaan histologis dari lesi mendukung diagnosis dan T. pallidum dapat diidentifikasi dari nodus dengan pemeriksaan imunofluoresen.35 Progresivitas untuk terjadi guma sangat cepat pada pasien dengan infeksi HIV. * - Neurosifilis Lynn, dkk.1 melaporkan bahwa insidens neurosifilis pada pasien HIV-positif yang tidak mendapat terapi sifilis sebesar 23,3%, sedangkan pada pasien HIV-negatif hanya 10%. Neurosifilis dapat terjadi setiap saat setelah infeksi inisial akibat penyebaran spirochaeta ke susunan saraf pusat. Pada individu dengan infeksi HIV, neurosifilis lebih sering terjadi pada awal periode infeksi sifilis, saat S II atau S laten.4,32 Neurosifilis sebaiknya dipertimbangkan dalam diagnosis banding penyakit neurologis pada individu terinfeksi HIV. 36 Gejala neurologis yang timbul yaitu abnormalitas saraf kranial (terutama kelumpuhan otot ekstraokular atau otot wajah, tinitus atau hilangnya pendengaran) dan gejala meningitis. Uveitis atau penyakit mata lain dapat berhubungan dengan neurosifilis. 4,35 - Kardiovaskular Berbeda dengan neurosifilis, laporan tentang keterlibatan vaskular pada pasien sifilis dengan infeksi HIV hanya sedikit. Kelainan tersebut berupa aneurisma arteri, keterlibatan arteri karotis komunis dan aorta abdominal. 1 Gejala yang timbul dapat berupa angina.20 Tulang dan sendi Artritis dapat menjadi manifestasi awal sifilis pada pasien dengan infeksi HIV. Sinovitis dapat terjadi yang menandakan penurunan jumlah limfosit CD4+.1 Komplikasi S I atau S II berupa osteitis dan osteomielitis jarang terjadi pada pasien dengan atau tanpa infeksi HIV. Nyeri tulang merupakan gejala umum keterlibatan tulang. Lesi litik dapat terjadi. Osteitis tulang tengkorak pernah dilaporkan pada pasien infeksi HIV seperti osteitis ulnaris dengan komplikasi fraktur patologis.1

DIAGNOSIS Diagnosis sifilis pada pasien terinfeksi HIV didasarkan kriteria konvensional, yaitu30,34 :
1. Demonstrasi T. pallidum (dari lesi atau kelenjar getah bening yang terinfeksi pada sifilis dini) Mikroskop lapangan gelap (dark field microscopy) Direct fluorescent antibody (DFA) test Untuk lesi oral atau lainnya yang sering terkontaminasi dengan Treponema komensal. Polymerase chain reacion (PCR) test Untuk lesi oral atau lainnya yang sering terkontaminasi dengan Treponema komensal. 2. Tes serologi sifilis (TSS) Tes nontreponemal / Tes cardiolipin (reagen): Venereal Disease Research Laboratory test (VDRL), rapid plasma reagin (RPR). Tes treponemal / Tes spesifik: Treponema pallidum haemaglutination test (TPHA), Treponema pallidum particle agglutination test (TPPA), fluorescent treponemal antibody absorption test (FTA-abs), microhemagglutination assay for antibodies to Treponema pallidum (MHA-TP), treponemal enzyme immunoassay (EIA) untuk deteksi imunoglobulin G (IgG), imunoglobulin G dan M (IgG dan Ig M), atau imunoglobulin M (IgM).

__________________
*) Dikutip dari kepustakaan 34

Pemeriksaan biopsi lesi, pemeriksaan mikroskop lapangan gelap, atau tes DFA dapat membantu diagnosis sifilis dalam keadaan gejala klinis mendukung, namun tes serologis tidak reaktif ataupun interpretasi yang tidak jelas.36 World Health Organization (WHO) sampai tahun 1982 masih merekomendasikan pemeriksaan VDRL/RPR dan TPHA sebagai screening sifilis. Rekomendasi terbaru WHO, pemeriksaan EIA sebagai alternatif yang tepat untuk menggantikan VDRL/RPR dan TPHA sebagai screening sifilis.37

TES SEROLOGI SIFILIS PADA INFEKSI HIV


Respons serologis yang berbeda terjadi pada pasien sifilis dengan infeksi HIV dibandingkan dengan HIV-negatif. Perbedaan tersebut adalah: 1) peningkatan hasil tes serologi negatif pada S I dan S II, 2). peningkatan hasil negatif palsu dari tes antibodi nontreponemal karena fenomena prozon, 3). rasio yang tinggi terhadap kegagalan untuk menghilangkan antibodi nontreponemal, 4). serokonversi menjadi negatif tes antibodi spesifik Treponemal setelah terapi. Produksi antibodi terhadap antigen T. pallidum terjadi lebih lambat pada pasien HIV-positif, sehingga terjadi peningkatan hasil tes serologi negatif pada S I dan S II.27 Pasien dengan infeksi HIV mengalami disregulasi sel-B poliklonal nonspesifik yang menyebabkan titer serologi tes nontreponemal lebih tinggi. Peningkatan titer ini berpengaruh terhadap spesifisitas tes serologi nontreponemal karena akan menyebabkan kemungkinan yang lebih besar hasil positif palsu biologis pada pasien HIV-positif.30,38 Hasil positif palsu pada tes nontreponemal juga dapat terjadi pada keadaan sindrom antifosfolipid, karena kardiolipin yang biasa digunakan pada pemeriksaan VDRL dapat bereaksi dengan antibodi antifosfolipid. 39 Keadaan lain yang menyebabkan hasil positif palsu pada tes serologi nontreponemal yaitu infeksi virus, infeksi bakteri, infeksi protozoa, penyakit autoimun, dan penggunaan obat-obat narkotika.17 Lebih lanjut, peningkatan titer ini mengakibatkan fenomena prozon karena titer antibodi yang sangat tinggi menyebabkan hasil tes nontreponemal menjadi negatif palsu. Fenomena ini biasanya terjadi pada S II. Hal ini dapat diatasi dengan mengencerkan spesimen. Kejadian ini lebih sering pada pasien terinfeksi HIV. 30,38 Beberapa ahli berpendapat, hasil tes nontreponemal yang positif, terutama dengan titer >1:8, sebaiknya diinterpretasikan sebagai indikasi infeksi aktif. Perlu dilakukan tes secara berkala untuk memastikan ada atau tidaknya keterlambatan seroaktivitas sebagai tes konfirmasi. Namun, yang lebih menjadi perhatian adalah tes diagnostik untuk S I, karena hasil yang negatif belum dapat menyingkirkan kemungkinan sifilis. 30 Pada pasien HIV-positif, penurunan titer serologis tes nontreponemal setelah terapi lebih rendah dibandingkan dengan pasien HIV-negatif. Perbedaan tersebut jelas terlihat jika titer awal serologis tes nontreponemal sebelum terapi 1:32. Jarak waktu antara terapi dan penurunan titer dua kali lipat, lebih lama pada pasien HIV -positif dibandingkan dengan pasien HIV-negatif.40 Pada pasien HIV dengan disfungsi imunitas yang progresif dan jumlah sel limfosit T CD4+ <200 /l, tes treponemal tidak tepat dilakukan untuk identifikasi infeksi sifilis karena sensitivitas tes treponemal hanya 62% pada pasien HIV-positif yang simtomatik.41 Antibodi spesifik Treponemal akan selalu positif seumur hidup hampir pada seluruh kasus pasien sifilis tanpa infeksi HIV meskipun telah berhasil diterapi. Namun, pasien sifilis dengan HIV simtomatik, sifilis episode tunggal, VDRL 1:32, dan perbandingan sel limfosit CD4+ dan CD8 0,6, akan mengalami serokonversi menjadi negatif terutama tes serologi antibodi spesifik treponemal.1,41 Beberapa hal yang menyebabkan hasil positif palsu pada tes treponemal antara lain adalah lupus eritematosus sistemik, malaria, mononukleosis infeksiosa, hepatitis infeksiosa, lepra lepromatosa, bruselosis, pneumonia atipikal, tuberkulosis miliar, tifoid, kehamilan, dan infeksi treponemal lain (frambusia, pinta, bejel). 17 Pada pasien terinfeksi HIV sangat sulit untuk membedakan penyebab peningkatan titer serologis tes sifilis yang terjadi. Oleh karena peningkatan titer dapat terjadi karena infeksi baru, terapi yang tidak tepat, atau karena infeksi HIV itu sendiri.30 Karena diagnosis sifilis dengan pemeriksaan serologis lebih sulit pada pasien terinfeksi HIV, sebaiknya dipertimbangkan pemeriksaan laboratorium langsung terhadap lesi yang dicurigai. Permeriksaan yang dilakukan yaitu mikroskopik lapangan gelap (dark field microscopy) dan biopsi pada lesi untuk pemeriksaan histopatologi.1,30 Namun, masih banyak pusat pelayanan kesehatan yang tidak memiliki sarana pemeriksaan mikroskop lapangan gelap, tes DFA, dan tes PCR (sensitivitas 95%), sehingga terkadang sifilis pada pasien HIV-positif tidak terdiagnosis.30

ANALISIS CAIRAN SEREBROSPINAL


Sebelum ditemukan penisilin, pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) dengan cara pungsi lumbal (PL) rutin dilakukan pada pasien sifilis untuk menentukan durasi terapi. Namun, pada awal abad ini, diketahui keuntungan pemeriksaan CSS yaitu dapat memprediksi perkembangan gejala neurosifilis. Abnormalitas CSS seperti pleiositosis dan peningkatan konsentrasi protein terjadi pada 70% sifilis dini. 3 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan pemeriksaan CSS pada pasien dengan gejala / tanda neurologis dan oftalmikus, kejadian S III aktif (misalnya aortitis, guma, iritis), kegagalan terapi, infeksi HIV dengan sifilis laten atau sifilis dengan durasi yang tidak diketahui (PL dilakukan sebelum terapi penisilin). Pungsi lumbal juga diindikasikan untuk semua pasien dengan sifilis laten dan tes serologi non-treponemal 1:32. Jika hasil pemeriksaan CSS menunjukan abnormalitas yang sesuai neurosifilis, terapi untuk neurosifilis direkomendasikan. 3 Pada pasien terinfeksi HIV terjadi peningkatan risiko neurosifilis, kegagalan terapi dan relaps, namun angka prevalensi yang pasti masih belum diketahui. Diagnosis neurosifilis pada pasien infeksi HIV sulit, karena pengaruh sifilis dan HIV terhadap CSS menyebabkan abnormalitas CSS.3,42 Cairan serebrospinel (CSS) dengan pleiositosis >5 sel/L dan peningkatan kadar protein mendukung neurosifilis. Namun, infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan pleiositosis dan peningkatan konsentrasi protein yang mungkin tidak dapat dibedakan dengan neurosifilis. Pleiositosis >20 sel/L lebih mungkin disebabkan oleh infeksi spirochaeta daripada infeksi HIV.3,4,43 Titer VDRL-CSS yang reaktif mengkonfirmasi diagnosis neurosifilis. Pemeriksaan ini sangat spesifik, namun kurang sensitif. Nilai sensitivitasnya hanya 39%. Hasil positif palsu titer VDRL-CSS terjadi karena kontaminasi darah pada trauma PL. Meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan VDRL-CSS, namun pemeriksaan ini dapat dijadikan tes acuan untuk diagnosis neurosifilis secara laboratoris. 3,4 Beberapa ahli merekomendasikan pemeriksaan fluorescent treponemal antibody absorption test (FTA-abs) untuk CSS. Pemeriksaan ini kurang spesifik untuk neurosifilis dibandingkan dengan VDRL-CSS, tetapi lebih sensitif. Sehingga beberapa ahli mengambil kesimpulan bahwa hasil CSS FTA-abs negatif menyingkirkan diagnosis neurosifilis.3,42 Dalam 1 tahun pleiositosis dan titer VDRL-CSS akan normal pada pasien tanpa infeksi HIV dengan terapi standar neurosifilis menggunakan rejimen penisilin. Sementara itu pasien dengan infeksi HIV, hitung jumlah leukosit, kadar protein, dan titer VDRL dalam CSS menjadi normal secara perlahan. Titer VDRL-CSS kecil kemungkinannya untuk normal setelah terapi standar penisilin. Dan titer VDRL-CSS lebih sulit untuk kembali normal jika jumlah CD4+ 200 /L dibandingkan dengan jumlah CD4+ >200 /L. Oleh karena itu pada pasien sifilis dengan infeksi HIV, sulit menyingkirkan kegagalan terapi sehingga diindikasikan pemberian rejimen terapi yang lebih intensif. 3 Treponema pallidum tidak dapat dikultur langsung dari CSS, sehingga keberhasilan terapi neurosifilis dilihat dari normalisasi petanda CSS yaitu jumlah leukosit, kadar protein dan titer VDRL. Kadar protein CSS tidak terlalu baik untuk dijadikan indikator keberhasilan terapi neurosifilis karena menurun lebih perlahan dibandingkan jumlah leukosit dan titer VDRL. Titer VDRL-CSS reaktif yang menetap setelah terapi tidak terlalu penting dalam menilai respons terhadap terapi dibandingkan hitung jumlah leukosit. Menurut CDC, keberhasilan terapi dilihat dari penurunan jumlah leukosit dalam 6 bulan dan normalisasi kadar CSS yang lainnya dalam 2 tahun. Namun, besarnya angka penurunan belum diketahui dengan pasti.3

TERAPI
Pada dasarnya terapi sifilis pada pasien terinfeksi HIV secara umum sama dengan pasien tanpa infeksi HIV, bergantung pada stadium dan ada atau tidaknya neurosifilis. 4 Namun, pasien dengan infeksi HIV sering mengalami abnormalitas neurologis yang sulit dibedakan dengan neurosifilis. Sehingga sebagian ahli berpendapat pengobatan neurosifilis sebaiknya diberikan kepada semua pasien HIV-positif dengan infeksi sifilis.34 Pasien HIV-positif pada stadium sifilis dini mempunyai risiko gagal terapi menggunakan rejimen penisilin benzatin, namun tidak terdapat penelitian controlled trial dengan rejimen terapi apapun untuk sifilis lanjut. Menurut CDC (1998) individu asimtomatik dengan ko-infeksi HIV dan sifilis lanjut yang umumnya disertai dengan keterlibatan neurologis sebaiknya diterapi dengan rejimen penisilin prokain. 35

Banyak ahli berpendapat bahwa pasien sifilis stadium dini dengan infeksi HIV sebaiknya diterapi dengan penisilin dosis lebih tinggi dari dosis yang direkomendasikan oleh CDC, karena invasi T. pallidum pada susunan saraf pusat terjadi pada sifilis stadium dini.44 Sifilis Dini Infeksi HIV tidak mengubah respons sifilis dini terhadap terapi, sehingga CDC tetap merekomendasikan penisilin benzatin 2,4 juta unit, intramuskular (IM), dosis tunggal, 4,32,34,45 atau dapat diberikan penisilin prokain 750.000 unit, IM, setiap hari, selama 10 hari.34 Terdapat beberapa kasus individu HIV-positif dengan S I dan S II yang diterapi dengan penisilin benzatin memiliki progresivitas cepat menjadi neurosifilis. Penemuan klinis ini didukung dengan menetapnya treponema di dalam CSS pada pasien terinfeksi HIV setelah terapi. Sehingga di beberapa tempat berpedoman bahwa terapi minimal untuk S I dan S II tanpa keterlibatan neurologis pada pasien terinfeksi HIV sebaiknya dengan penisilin benzatin 2 dosis, masing-masing 2,4 juta unit, interval 1 minggu, dan dosis ketiga dapat dipertimbangkan. Dapat pula diberikan terapi penisilin prokain 1,2 juta unit, IM, setiap hari, selama 10 hari. 28,32 Bordon dkk.44 melaporkan pemberian penisilin benzatin 2,4 juta unit, tiga kali seminggu, memberikan respons yang baik terhadap klinis dan serologis pasien sifilis stadium dini dengan infeksi HIV. Alternatif pada kondisi alergi penisilin adalah4,34: Doksisiklin, 100mg, oral, 2x/hari, selama 14 hari. Eritomisin, 500 mg, oral, 4x/hari, selama 14 hari. Tetrasiklin, 500mg, oral, 4x/hari, selama 14 hari. Namun, terapi ini terdapat kegagalan dalam menormalkan kembali CSS, sehingga tidak direkomendasikan. Ceftriakson, 1g, IM atau intravena (IV), setiap hari, selama 8-15 hari. Azitromisin, 2g, dosis tunggal, dilaporkan angka kegagalan terapi tinggi. Rejimen ini sebaiknya digunakan hanya jika pilihan lain tidak dapat digunakan dan dilakukan pemantauan yang ketat. Sifilis laten lanjut Kira-kira 5-30% pasien terinfeksi HIV dengan titer RPR 1:8 tanpa gejala klinis sifili s, dan mempunyai CSS abnormal yang sesuai dengan neurosifilis.32 Jika pemeriksaan CSS normal maka diterapi dengan penisilin benzatin, 2,4 juta unit, IM, setiap minggu, selama 2 atau 3 minggu. Dosis total 7,2 juta unit. 4,32,45 Atau dapat diberikan penisilin prokain 750.000 unit, IM, setiap hari, selama 17 hari. 35 Pada alergi penisilin dapat dilakukan desensitisasi penisilin. Sebagai alternatif, diberikan doksisiklin 100mg, oral, 2x/hari, selama 28 hari. 4,35 Jika hasil CSS positif, terapi sesuai dengan neurosifilis.32 Kofoed dkk. melaporkan bahwa doksisiklin dapat menjadi pilihan terapi yang baik untuk S I, S II, S laten dini dan S laten lanjut pada pasien sifilis dengan koinfeksi HIV. Namun, angka kegagalan terapi masih tetap terjadi. Respons serologis untuk sifilis sebaiknya dimonitor dengan baik.36 Neurosifilis Terapi ini diterapkan pada semua stadium sifilis dengan gejala neurologis dan okular atau pemeriksaan CSS neurosifilis. Idealnya pasien dirawat dan diberikan penisilin IV dalam pengawasan ketat. Pasien dengan alergi penisilin jika memungkinkan dilakukan desensitisasi.4,45 Terapi lini pertama adalah penisilin prokain, 2-2,4 juta unit, IM, sekali sehari, ditambahkan probenesid 500mg, oral, 4x/hari, selama 10-17 hari.4,35,45 Rejimen alternatif dapat diberikan kristal penisilin G dalam aqua, 18-24 juta unit perhari (3-4 juta unit setiap 4 jam, atau infus kontinu), selama 10-14 hari.4, Dapat juga diberikan benzil penisilin, 1,8-2,4 juta unit perhari (0,3-0,4 juta unit setiap 4 jam, atau infus kontinu), selama 17 hari.35 Lini kedua adalah doksisiklin 200mg, oral, 2x/hari, selama 28 hari atau amoksisilin 2g, oral, 3x/hari ditambahkan probenesid 500mg, oral, 4x/hari, selama 28 hari. Seluruh pasien dengan neurosifilis dipertimbangkan untuk pemberian kortikosteroid pada awal terapi untuk menghindari reaksi Jarisch-Herxheimer.35 Bordon dkk.44 melaporkan bahwa penisilin merupakan terapi efektif untuk pasien sifilis dengan infeksi HIV pada semua stadium. Setelah terapi, seluruh pasien menjadi asimtomatik dan titer tes RPR menjadi negatif atau menurun.

REAKSI JARISCH-HERXHEIMER
Reaksi Jarisch-Herxheimer merupakan respons sistemik akut yang berhubungan dengan pelepasan antigen treponemal dan endotoksin setelah pengobatan dalam 24 jam. Biasanya dimulai 2-8 jam setelah pengobatan penisilin dosis pertama. Lebih sering terjadi pada sifilis dini dibandingkan sifilis lanjut. Reaksi tersebut tidak penting, kecuali terdapat keterlibatan neurologis, oftalmologis, ataupun terjadi pada wanita hamil (dapat menyebabkan fetal distress ataupun kelahiran prematur). Angka kejadiannya lebih sering pada pasien terinfeksi HIV. Rolf dkk.* melaporkan reaksi Jarisch-Herxheimer terjadi pada 22% pasien terinfeksi HIV, dibandingkan hanya 12% pada pasien tanpa infeksi HIV. Gejala menyerupai flu yaitu demam, malaise, artralgia, kecenderungan limfadenopati, perburukan ruam kulit dan lesi mukokutan. Reaksi akan menyembuh dalam 24 jam. 4,30,35 Reaksi ini dapat dihindari dengan pemberian prednison 10-20mg, 3x sehari, selama 3 hari, dimulai 24 jam sebelum terapi sifilis diberikan.20

TINDAK LANJUT
S I dan S II Pasien sifilis yang terinfeksi HIV sebaiknya dievaluasi secara klinis dan serologis untuk memantau terjadinya kegagalan terapi pada bulan ke-3, 6, 9,12, dan 24 setelah pengobatan. Keberhasilan terapi ditandai dengan penurunan titer RPR atau VDRL pada 6-12 bulan setelah terapi. Jika tidak terjadi penurunan titer kemungkinan disebabkan karena kegagalan terapi atau reinfeksi.4,36 Relaps atau reinfeksi ditandai dengan peningkatan titer RPR atau VDRL 4x lipat.42 Meskipun tidak terbukti bermanfaat, beberapa ahli merekomendasikan dilakukan PL untuk pemeriksaan CSS 6 bulan setelah terapi. Pemeriksaan CSS dan pengobatan ulang dilakukan untuk pasien terinfeksi HIV yang mengalami kegagalan terapi atau tidak terdapat penurunan titer tes nontreponemal 6-12 bulan setelah terapi.4,36 Sifilis laten Pasien sebaiknya dievaluasi secara klinis dan serologis pada bulan ke-6, 12, 18, dan 24 setelah terapi. Keberhasilan terapi ditandai oleh penurunan titer RPR atau VDRL pada 12-24 bulan setelah terapi. Jika tidak terjadi penurunan titer kemungkinan disebabkan karena kegagalan terapi atau reinfeksi. Pengaturan terapi disesuaikan berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut.4,36

PENUTUP
Sifilis akan meningkatkan risiko penularan HIV. Pasien sifilis dengan infeksi HIV lebih sering datang pada stadium penyakit yang lebih lanjut dan gejala klinis yang tidak khas. Untuk itu diperlukan pemeriksaan serologis yang teliti dan kemampuan dokter yang baik dalam mendiagnosis sehingga dapat dilakukan tatalaksana yang tepat bagi pasien. __________________
*) Dikutip dari kepustakaan 30

DAFTAR PUSTAKA 1. Lynn WA, Lightman S. Syphilis and HIV: a dangerous combination. The Lancet Infectious Diseases Juli 2004; 4: 1061-8. 2. Dorigo-Zetsma JW, Belewu D, Meless H, Sanders E, Countinho RA, Schaap A, dkk. Performance of routine syphilis serology in the ethiopian cohort on HIV/AIDS. Sex Transm Infect 2004; 80: 96-9. 3. Chan DJ. Syphilis and HIV co-infection: when is lumbar puncture indicated ?. Current HIV Research 2005; 3: 95-98. 4. AIDS Education & Training Centers National Resource Center. Clinical manual for management of the HIV-infected adult, 2005 edition. Terakhir diperbarui 2006. Tersedia dari: http://www.aidsetc.org 5. Marra MC. Syphilis and Human Immunodeficiency Virus. Arch Neurol 2004; 61:1505-08. 6. Primary and secondary syphilis among men who have sex with men New York city, 2001. Dalam: Morbidity and Mortality Weekly Report 7th September 2002; 51:38. 7. Hopkins S, Lyons F, Coleman C, Courtney G, Bergin C, Mulcahy F. Resurgence in infectious syphilis in Ireland. Sex Transm Dis 2004; 31: 317-21. 8. Simms I, Fenton KA, Ashton M, Turner KME, Crawley-Boevey EE, Gorton R, dkk. The re-emergence of syphilis in United Kingdom: The new endemic phases. Sex Transm Dis 2005; 32: 220-6. 9. Laporan morbiditas poliklinik divisi Infeksi Menular Seksual RSCM tahun 2005. 10. Pisani E, Girault P, Gultom M, Sukartini N, Kumalawati J, Jazan S, dkk. HIV, syphilis infection, and sexual practices among transgenders, male sex workers, and other men who have sex with men in Jakarta, Indonesia. Sex Transm Infect 2004; 80: 53640. 11. Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia 2004. Ditjen PPM dan PL Depkes RI. 12. Kassu A, Mekonnen A, Bekele A, Abseno N, Melese E, Moges F. HIV and syphilis infection among elderly people in Northwest Ethiopia. J Infect Dis 2004; 57: 264-7. 13. Rihatmadja R. Proporsi kepositivan uji serologik terhadap virus herpes simpleks tipe 2 dan Tr

Você também pode gostar