Você está na página 1de 15

Profesionalisme Guru Bukan Sekadar Lulus Uji Sertifikasi

Wacana tentang profesionalisme guru kini menjadi sesuatu yang mengemuka ke ruang publik seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Oleh banyak kalangan mutu pendidikan Indonesia dianggap masih rendah karena beberapa indikator antara lain: Pertama, lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Bekal kecakapan yang diperoleh di lembaga pendidikan belum memadai untuk digunakan secara mandiri, karena yang terjadi di lembaga pendidikan hanya transfer of knowledge semata yang mengakibatkan anak didik tidak inovatif, kreatif bahkan tidak pandai dalam menyiasati persoalan-persoalan di seputar lingkungannya. Kedua, Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah.

Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. Ketiga, Mutu akademik di bidang IPA, Matematika dan Kemampuan Membaca sesuai hasil penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2003 menunjukan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA Indonesia berada pada peringkat 38, untuk Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat 39. Keempat, sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator

diatas adalah penguasaan terhadap IPTEK dimana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Guru, akhirnya menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan sebuah perjuangan sekaligus komitmen untuk meningakatkan kualitas guru yaitu kualifikasi akademik dan kompetensi profesi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau D4. Sedangkan kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi

profesional dan kompetensi sosial. Dengan sertifikat profesi, yang diperoleh setelah melalui uji sertifikasi lewat penilaian portofolio (rekaman kinerja) guru, maka seorang guru berhak mendapat tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok. Intinya, Undang-Undang Guru dan Dosen adalah upaya meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatan kesejahteraan mereka.

Persoalannya sekarang , bagaimana persepsi guru terhadap uji sertifikasi?, bagaimana pula kesiapan guru untuk menghadapi pelaksanaan sertifikasi tersebut ? dan adakah suatu garansi bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu ?. Analisa terhadap pertanyaan-pertanyaan ini mesti

dikritisi sebagai sebuah feed back untuk pencapaian tujuan dan hakekat pelaksanaan uji sertifikasi itu sendiri

Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan


Profesionalisme Guru Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme guru bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu; Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam; 2. Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada
1.

tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar; 3. Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar; 4. Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatankesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan. Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993, dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, 3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, 4. Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, 5. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
1. 2.

Untuk membangun profesionalisme guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; 2. penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di
1.

lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; 3. pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program preservice dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah. Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; penguasaan ilmu yang kuat; keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan 4. pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
1. 2. 3.

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasiinformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru dalam pendidikan nasional disebabkan oleh antara lain; masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; 2. belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; 3. kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; 4. kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
1.

Disamping itu ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, 3. pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, 4. masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, 5. masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme guru sebagai anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.
1. 2.

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan. Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001). Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998). Pengembangan profesionalisme guru harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru. Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

Sertifikasi Guru, Antara Tuntutan Kesejahteraan dan Profesionalisme

Permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia seakan tiada habisnya dan mutu pendidikan seolah-olah berada pada tingkat memprihatinkan. Kita bisa melihat begitu ramainya pemberitaan di media, dari tawuran pelajar antar sekolah, tawuran mahasiswa, penggunaan narkoba yang sudah merambah hingga siswa sekolah dasar, kekerasan oleh oknum guru terhadap siswa dan berbagai permasalahan lain. Terlepas dari permasalahan di atas, hal yang menarik saya kira untuk dicermati adalah kualitas pendidik di Indonesia khususnya di daerah saya, terlebih setelah era otonomi daerah dan sertifikasi bagi kalangan guru. Sertifikasi pendidik yang telah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir serta otonomi keuangan daerah membuka peluang upaya peningkatan kesejahteraan Guru. Pemberian tunjangan tambahan serta tunjangan sertifikasi/profesi bagi pendidik terbukti mampu mengangkat derajat kesejahteraan guru. Selain mengangkat derajat kesejahteraan pendidik, tujuan lain dari Sertifikasi Pendidik terutama adalah bagaimana agar Guru lebih profesional dalam menjalankan tugas fungsionalnya sebagai pendidik, meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan serta kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Namun benarkah dan sudahkah tujuan tersebut tercapai? Benarkah Guru yang sudah disertifikasi tadi sudah profesional? Sebelum saya membeberkan beberapa fakta yang ada, baiknya kita lihat dulu apa yang dimaksud dengan guru profesional. Menurut UU Sisdiknas No 14 Tahun 2005 Bab III pasal 7 yang dimaksud Guru Profesional berdasarkan prinsip profesionalisme antara lain; a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. Setelah kita mengetahui apa saja syarat guru profesional tadi mungkin perlu juga kita lihat fakta berikut yang ada di lapangan: 1. Masih ada beberapa oknum guru yang padahal sudah memiliki sertifikat pendidik, namun masih sering terlambat untuk mengajar di kelas. 2. Persiapan mengajar yang kurang, indikasi ini terlihat dari masih malasnya guru untuk membuat dan membawa perangkat mengajar yang dibutuhkan saat mengajar, misalnya RPP dan Silabus yang seharusnya dibawa pada saat mengajar.

3. Masih ada guru bersertifikat, terlihat keluyuran pada jam kerja sekolah. Saat ini sepertinya ada anggapan di kalangan guru bahwa guru itu tugasnya hanya mengajar di kelas. Setelah jam mengajar selesai, hilang. Ya ini sebuah fakta, ucapan dari seorang oknum guru "Yang penting kan tugas saya mengajarkan mata pelajaran ini sudah selesai". 4. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan guru, RPP, silabus dan perangkat mengajar adalah hasil copy paste, maupun membeli hasil download dari internet lalu mengupah seseorang untuk mengeditnya (karena memang ada yang berjualan di internet). Kemudian Guru mengubah nama sekolah, nama kepala sekolah dan nama pengajar yang ada. Saya sendiri bingung dan masih bertanya-tanya, apakah memang sudah aturan bahwa RPP dan SILABUS dibuat dan dikumpul sekaligus per Semester tahun ajaran lalu dikumpulkan ke Kepala Sekolah untuk ditandatangani? Ini banyak terjadi. Jika memang demikian, hal yang wajar, jika akhirnya seorang guru mengambil jalan pintas, copy paste atau membeli tadi. Padahal menurut pengetahuan yang saya dapatkan di bangku kuliah, tugas membuat RPP dilakukan per pokok bahasan pada saat bahasan itu akan di ajarkan di kelas. 5. Masih banyaknya guru yang gaptek (gagap teknologi) serta kurangnya penggunaan media pembelajaran. Yang saya maksud gaptek disini adalah, pengetahuan dan praktek keseharian serta kemampuan seorang guru dalam menggunakan media komputer, media pembelajaran serta jaringan internet yang ada. Di tempat saya bekerja, saya tidak bisa mengatakan secara pasti ada berapa orang. Namun terlihat, hanya beberapa guru saja yang sering membawa dan mengoperasikan laptop untuk keperluan pengajaran. Selain itu, (hubungannya dengan point 4 di atas) sudah menunjukkan sejauh mana tingkat kemampuan seorang guru dalam mengoperasikan komputer. Bagaimana mungkin seorang guru yang tidak bisa menggunakan komputer bisa membuat RPP, Silabus, ProTa maupun ProMes dalam waktu singkat? Media pembelajaran, sebagai contoh KIT IPA banyak terbengkalai dan mubazir karena tidak digunakan, banyak bantuan media-media pembelajaran tersebut yang tidak digunakan, entah karena malas atau tidak bisa menggunakan, hanya guru tersebut yang bisa menjawabnya. Jaringan internet yang adapun hanya segelintir guru saja yang mau menggunakan, itupun di saat ada keperluan. Menurut saya ada beberapa penyebab mengapa hal-hal demikian bisa terjadi. 1. Kurangnya kesadaran dan tanggung jawaguru dalam menjalankan tugasnya. Padahal tanpa disertifikasi pun seharusnya seorang guru mampu menjalankan amanah dan tanggung jawabnya sebagai seorang guru dan khususnya sebagai PNS abdi negara dengan segala daya dan kekurangan yang ada. 2. Kurangnya wibawa Kepala Sekolah. Terlihat bagaimana seorang Kepala Sekolah terkadang membiarkan guru terlambat dan tidak membuat perangkat mengajar tanpa memberikan teguran dan sanksi yang jelas dan tegas, salah satu efeknya... muncul kecemburuan antara guru yang sudah sertifikasi dan non sertifikasi.

3.

Pengawas

Sekolah

kurang

optimal

menjalankan

fungsi

kepengawasannya.

Bisa dikatakan pengawas mengadakan kunjungan paling-paling 4-6 bulan sekali, atau Inspeksi Mendadak hanya pada saat setelah libur Idul Fitri. Praktis sangat jarang seorang pengawas mau berkunjung ke sekolah. Fungsi pengawas saya kira sangat penting, terlebih saat fungsi kepemimpinan Kepala Sekolah tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka Pengawas Sekolah kiranya bisa mengambil tindakan atau kebijakan yang dianggap perlu untuk kepentingan sekolah. 4. Masih minimnya kemauan dan motivasi seorang guru untuk mengenal dan mempelajari lebih jauh teknologi, alat dan media pembelajaran yang tersedia. Banyak alasan yang mengemuka mengapa bisa demikian, antara lain;

sulitnya membagi waktu antara mengajar, urusan keluarga dan urusan masyarakat, usia rata-rata guru juga berpengaruh, tentu berbeda antara guru yang tua (usia 45 tahun keatas) dengan guru yang masih muda dalam hal menangkap ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru, misalnya dalam mempelajari penggunaan komputer. masih ada guru yang takut, takut laptop/komputer rusak, jika terjadi kesalahan. di beberapa daerah pedalaman masih kekurangan prasarana yang memadai seperti listrik, jaringan komunikasi / internet mobile.

5. Kurangnya tindak lanjut upaya pengembangan diri dari Dinas Pendidikan dalam hal pelatihan. Setiap tahun baik itu dinas pendidikan propinsi maupun kabupaten sering mengadakan pelatihanpelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Sebagai contoh, berbagai macam bantuan barang media pembelajaran telah diberikan. Namun bisa dilihat di lapangan, media atau alat pembelajaran tadi mubazir, karena jarang bahkan tidak digunakan. Pertanyaannya? Apakah hal seperti ini tugas Dinas Pendidikan, ataukah guru itu sendiri yang harus memiliki kesadaran.

Salah satu upaya pengembangan kompetensi guru sebenarnya sudah berjalan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG), namun beberapa kelompok kajian guru tadi ada yang jalan ditempat bahkan mandeg. Dari berbagai permasalahan di atas, dan melihat standar profesionalisme guru, nampaklah sampai sejauh mana tujuan tunjangan tambahan dan sertifikasi pendidik tadi, belum bisa dikatakan berhasil. Malah ada yang mengatakan gagal. Mereka yang berasumsi gagal tadi bisa jadi setelah melihat hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) Online yang baru-baru ini digelar serta nilai Ujian Akhir yang tidak ada bedanya bahkan menurun antara era sebelum ada sertifikasi pendidik dan setelah ada Sertifikasi Pendidik

Dalam tulisan ini, mungkin bisa saya sedikit solusi yang barangkali bisa dijadikan sebagai acuan bagi pihak manapun dalam memperbaiki kinerja dan profesionalisme pendidik.

1. Pertama, saya yakin Anda semua setuju, bahwa namanya seorang pendidik, wajib memiliki rasa tanggung jawab yang besar, baik terhadap pekerjaan, siswa, sekolah terlebih lagi tanggung jawab moral dan agama sebagai makhluk Tuhan. Apalagi jika guru tersebut sudah PNS dan sudah memiliki Sertifikat Pendidik. Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran tersebut? Silakan saya kira Anda bisa menjawabnya. 2. Guru hendaknya memiliki niat dan kemampuan yang kuat dalam hal penguasaan komputer dan media pembelajaran. Saya kira, penguasaan dasar-dasar Microsoft Office Word, Microsoft Excel dan Power Point sudah cukup memadai bagi seorang guru. Diakui atau tidak ini memang sulit, karena terkadang guru harus berbenturan dan membagi waktu antara urusan keluarga dan kewajiban sebagai guru. Faktor usia juga menghambat upaya ini. Tak mungkin juga memaksakan jika seorang guru yang sudah berusia lanjut harus bisa menguasai aplikasi Word dan Excel tadi. Ketersediaan prasarana penunjang misalnya jaringan internet dan buku-buku untuk belajar komputer menjadi kendala besar, khususnya untuk daerah-daerah pedalaman. Kalau dibilang guru yang sudah sertifikasi tidak punya komputer/laptop saya kira alasan berlebihan, karena gaji guru saat ini sudah lebih dari cukup untuk membeli notebook yang bisa dibeli pada kisaran minimal harga Rp 2,5 jutaan. Hanya tinggal bagaimana kemauan diri saja lagi, mau belajar atau tidak. 3. Masih terkait dengan poin di atas, Kelompok-kelompok kerja guru hendaknya kreatif dan tidak monoton membahas masalah-masalah pengajaran saja, sesekali sebagai penyegaran, perlu juga diberikan pelatihan-pelatihan pengenalan komputer plus pemakaian media pembelajaran yang ada misalnya cara penggunaan proyektor. Berat rasanya jika mengharapkan pihak dinas terkait untuk memberikan bimbingan pelatihan lanjutan, karena pada prinsipnya "Bukan Zamannya Lagi Memberikan Ikan yang Sudah Masak" kepada guru. 4. Perlu pengawasan yang lebih ketat terhadap sekolah dan kepada oknum guru yang terindikasi malas tadi, baik oleh Kepala Sekolah, Pengawas maupun masyarakat sekitar yang notabene lebih mengetahui kondisi sekolah. Keadilan antara guru sertifikasi dan non sertifikasi perlu diperhatikan, jangan sampai terjadi kesenjangan yang lebar dan ujung-ujungnya muncul iri diantara sesama guru. 5. Pemerintah, diharapkan agar lebih lagi memperhatikan sekolah-sekolah di daerah pedalaman, baik dalam hal penyediaan sarana maupun prasarana sekolah. Dibutuhkan kerjasama semua instansi pemerintah, karena secanggih dan semodern apapun sekolah, misalnya jika kondisi jalan yang rusak dan sarana transportasi yang kurang memadai juga berdampak pada keadaan sekolah. Dengan tulisan ini semoga bisa membuka wawasan bahwa masih banyak kekurangan di sana sini yang perlu dibenahi terkait dengan sertifikasi guru tadi, baik proses sertifikasi, pengawasan guru yang telah bersertifikasi, maupun bagaimana format yang terbaik agar tujuan diadakannya sertifikasi pendidik, tidak hanya sebatas image bahwa "sertifikasi pendidik hanya sebagai alat peningkatan kesejahteraan semata". Sebelum saya akhiri tulisan ini, maaf jika ada kesalahan dalam bertutur, bukan bermaksud meng"generalisasi" bahwa semua guru itu gaptek, bahwa semua guru yang telah lanjut itu malas

untuk belajar karena masih banyak guru yang memang benar-benar ikhlas mengajar walau tanpa disertifikasi, dan masih banyak guru yang walaupun sudah tua namun masih bersemangat untuk belajar memperbaiki kekurangan diri demi kemajuan sekolahnya. Semoga, Guruku benar-benar menjadi Pahlawanku.

Persoalan Guru Honorer Masih Belum Tuntas


03 Nov 2012

Sumber Foto : edukasi.kompas.com

Persoalan guru honorer di sekolah negeri dan swasta sampai saat ini masih belum tuntas. Selain soal status kepegawaian yang belum kunjung selesai, guru honorer juga menghadapi ketidakpastian dalam hal kesejahteraan dan jenjang karier serta diskriminasi pendapatan. Pengangkatan guru honorer menjadi calon pegawai negeri sipil yang dijanjikan pemerintah sampai saat ini belum tuntas. Padahal, sudah ada payung hukumnya, yaitu Peraturan Pemerintah No 56/2012 yang disahkan Mei lalu, tetapi implementasinya belum ada kejelasan, kata Ani Agustina, Ketua Umum Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (2/11). Menurut Ani, dalam pengangkatan guru honorer menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS), pihaknya mendukung adanya standar pengangkatan yang mengutamakan mutu dan profesionalisme. Kami tidak menutup mata, banyaknya guru honorer karena adanya permainan baik oleh pemerintah daerah maupun sekolah. Kami minta supaya yang memanipulasi ditindak tegas, ujarnya. Adapun guru honorer yang memang pengangkatannya jelas, sesuai kebutuhan dan memenuhi syarat, harus diperlakukan secara adil untuk bisa mendapat peluang ditingkatkan statusnya. Ani menyebutkan, pada pendataan tahun 2005 tercatat sekitar 300.000 guru honor yang diangkat sekolah/komite. Itu pun ternyata banyak data yang dimanipulasi. Saat ini sudah tercatat lebih dari satu juta guru honorer. Kami memahami kalau tidak semua guru honorer bisa diangkat jadi CPNS. Namun tolong, supaya pemerintah adil dalam pengangkatan, kata Ani. Tak bisa sertifikasi

Ratusan ribu guru honorer di sekolah negeri yang belum mendapat peluang diangkat menjadi CPNS saat ini resah. Para guru honorer di sekolah negeri yang diangkat kepala sekolah/komite untuk mengisi kekurangan guru PNS di sekolah tidak mendapat peluang untuk disertifikasi. Padahal, banyak dari guru honorer ini yang mengemban tugas seperti layaknya guru PNS. Namun, para guru honorer yang baik ini tidak mendapat peluang untuk disertifikasi. Kebijakan ini sangat tidak adil dan meresahkan guru honorer, kata Priyanto, Kepala SMKN 2 Subang, Jawa Barat. Menurut Priyanto, dari lima SMKN negeri di Subang, ada sekitar 340 guru honorer. Kehadiran guru honorer di sekolah ini disepakati kepala sekolah dan komite karena mereka kekurangan tenaga pendidik. Mereka sudah mengabdi di sekolah bahkan hingga belasan tahun. Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo mengatakan, setidaknya ada sekitar satu juta guru honorer di bawah Kemdikbud dan Kementerian Agama. Walau kerja puluhan tahun, kesejahteraan dan karier tidak jelas. Guru dibayar tidak layak, ada yang Rp 100.000 per bulan. Padahal, Presiden menetapkan gaji minimal guru PNS Rp 2 juta, kata Sulistiyo. (ELN)

Sumber:edukasi.kompas.com Guru Honorer Mengharapkan Upah yang Adil Rabu, 2 Mei 2012 | 10:01 WIB Dibaca: 4610 Komentar: 0 |

Share:

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Ilustrasi: Sejumlah guru honorer yang tergabung dalam Federasi Guru Honorer (FGH) Jawa Barat menggelar aksi di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu (18/5/2011). TERKAIT:

Foke Janjikan 12.000 Guru Honorer Jadi CPNS Guru Honorer Tuntut Gaji Sesuai Upah Minimum

Guru Honorer: "Kasihanilah Kami Pak Polisi..."

Jakarta, KOMPAS.com Guru honorer yang terhimpun dalam Forum Guru Honorer Jakarta Utara mengharapkan standardisasi upah yang layak bagi mereka. Hingga saat ini, upah sebagian besar dari mereka hanya Rp 200.000-Rp 1 juta per bulan. Upah ini jauh di bawah upah minimum Provinsi DKI Jakarta, yakni Rp 1.529.150 per bulan untuk buruh. Nurjaman, guru Agama sebuah SMP negeri di Sunter Jaya yang sudah mengabdi sejak tahun 1990, mengaku upahnya tak pernah mengalami peningkatan signifikan. Bahkan, saat ini, upahnya kurang dari Rp 250.000 per bulan. Upah itu, menurut Nurjaman, dihitung berdasarkan jumlah jam mengajar dalam satu pekan sebanyak 12 jam ditambah ongkos transportasi selama satu bulan. Upah saya hanya dihitung dari jumlah jam kerja selama satu pekan, bukan dalam satu bulan. Selebihnya, kerja saya selama tiga minggu tidak dihitung, ujarnya, Selasa (1/5/2012). Praktis dalam satu bulan, upah yang diperoleh Nurjaman hanya 12 jam dikali Rp 15.000 sehingga diperoleh Rp 180.000. Ditambah ongkos transportasi Rp 40.000 sebulan, total yang diperoleh hanya Rp 220.000. Untung pemerintah memberikan tunjangan fungsional sebesar Rp 300.000 per bulan. Tapi, itu biasanya juga dirapel tiga atau enam bulan sekali, tutur Nurjaman. Imam, guru honorer bidang studi Bahasa Inggris di sebuah SMP negeri di Pademangan, bernasib lebih baik. Dia memperoleh upah Rp 1,1 juta per bulan. Namun, upah itu juga masih di bawah upah buruh di Kawasan Berikat Nusantara yang sebagian besar Rp 1,5 juta-Rp 1,6 juta per bulan. Upah sebesar itu juga saya peroleh karena ada niat baik dari kepala sekolah untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer, kata Imam. Tagih pemerintah Ketua Forum Guru Honorer Jakarta Utara Sucipto mengatakan, saat ini dibutuhkan kebijakan pemerintah untuk menetapkan standar upah bagi guru honorer guna meningkatkan daya tawar guru terhadap sekolah. Apalagi, upah para guru honorer dihitung berdasarkan jumlah jam mengajar. Sementara jumlah jam mengajar itu, kan, bergantung pada kebijakan sekolah, kata Sucipto. Apalagi, dalam setiap penandatanganan kontrak kerja dengan sekolah, sebagian besar guru honorer juga dijerat dengan klausul larangan menuntut kesetaraan upah dengan gaji guru pegawai negeri sipil. Klausul itu membuat kami tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, aturan itu ditulis dalam kontrak kerja dan kami harus menandatanganinya, papar Sucipto. Sebagai tenaga profesional, menurut Sucipto, upah guru semestinya berada di atas upah buruh. Itu pun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

bahwa guru dan dosen berhak memperoleh gaji di atas upah minimum. Sebagai guru honorer, setiap tahun mereka harus memperbarui kontrak kerja selayaknya tenaga kerja kontrak. Tak sedikit dari guru honorer itu memiliki masa kerja di atas lima tahun. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan, tenaga kerja yang dikontrak selama lima tahun harus diangkat sebagai karyawan tetap. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi saat dimintai konfirmasi mengatakan, pihaknya masih dalam proses mendata jumlah sekolah, siswa, dan kebutuhan guru dari setiap sekolah, termasuk guru honorer, sesuai dengan kebutuhan setiap sekolah. Guru honorer yang telah bertugas sebelum Januari 2005 akan diikutsertakan dalam seleksi untuk menjadi guru tetap. Dengan diangkat menjadi guru tetap, mereka memiliki taraf yang setara sebagai calon pegawai negeri sipil. (MDN)

Sumber : Kompas Cetak Editor : Lusia Kus Anna

Você também pode gostar