Você está na página 1de 7

ABORTUS SPONTAN Terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus.

Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran (miscarriage). KATEGORI DAN TERAPI ABORTUS SPONTAN. 1. ABORTUS IMMINENS. Diagnosis abortus imminens (threatened abortion) dipikirkan apabila terjadi perdarahan atau rabas (discharge) per vaginam pada paruh pertama kehamilan. Hal ini sangat sering dijumpai, dan satu dari empat atau lima wanita mengalami bercak (spotting) atau perdarahan per vaginam yang lebih banyak pada awal gestasi. Mereka yang mengalami perdarahan pada awal kehamilan, sekitar separuhnya akan keguguran. Perdarahan pada abortus iminens umumnya sedikit, tetapi dapat menetap selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sayangnya, akan terjadi peningkatan risiko hasil kehamilan yang suboptimal dalam bentuk pelahiran preterm, berat lahir rendah, dan kematian perinatal (Batzofin dkk., 1984; Funderburk dkk., 1980). Yang utama, risiko malformasi janin tampaknya tidak meningkat. Perdarahan sedikit pada sekitar waktu perkiraan haid mungkin merupakan hal fisiologis. Lesi serviks cenderung mengalami perdarahan pada awal kehamilan, terutama setelah melakukan hubungan seks. Polip yang terdapat di os serviks eksterna serta reaksi desidua di serviks cenderung mengalami perdarahan pada awal gestasi. Poin klinis yang penting adalah bahwa perdarahan yang disebabkan oleh keadaan-keadaan yang jinak ini tidak disertai nyeri perut bawah atau nyeri punggung bawah yang menetap. Karena sebagian besar dokter menganggap setiap perdarahan pada awal kehamilan merupakan tanda abortus iminens, setiap pengobatan untuk apa yang disebut sebagai abortus iminens memiliki kemungkinan keberhasilan yang sangat besar. Sebagian besar wanita yang benar-benar mengalami abortus iminens akhirnya akan keguguran tak peduli apapun yang dilakukan. Namun, apabila perdarahan disebabkan oleh salah satu dari kausakausa tak terkait yang telah disebutkan di atas, perdarahan tersebut kemungkinan besar akan berhenti, apapun terapinya. Yang pertama kali muncul biasanya adalah perdarahan, dan beberapa jam sampai beberapa hari kemudian terjadi nyeri kram perut. Nyeri abortus mungkin terasa di anterior dan jelas bersifat ritmis; nyeri dapat berupa ny~ri punggung bawah yang menetap disertai perasaan tertekan di panggul; atau rasa tidak nyaman atau nyeri tumpul di garis tengah suprapubis. Apapun bentuk nyerinya, prognosis keberlanjutan kehamilan apabila terjadi perdarahan yang disertai nyeri adalah buruk. Peningkatan angka kematian perinatal dijumpai pada wanita yang kehamilannya mengalami penyulit abortus iminens pada awal gestasi. Setiap pasien harus diperiksa karena selalu ada kemungkinan bahwa serviks sudah membuka dan abortus tidak lagi dapat dihindari, atau terdapat penyulit serius, misalnya kehamilan di luar rahim atau kista ovarium terpuntir yang tidak diketahui. Pasien dapat bertirah baring di rumah disertai pemberian analgesia untuk mengatasi nyeri, Apabila perdarahan menetap, ia perlu diperiksa kembali dan hematokritnya diperiksa. Apabila perdarahannya cukup besar sehingga terjadi anemia atau hipovolemia, umumnya diindikasikan evakuasi kehamilan. Wanita dengan abortus iminens selama ini diterapi dengan progesteron intramuskular atau dengan berbagai zat progestasional sintetik per oral atau secara intramuskular. Sayangnya, bukti efektivitasnya tidak ada. "Keberhasilan" yang diperoleh dari obatobat ini sering hanya terjadi pada missed abortion.

Kadang-kadang terjadi perdarahan ringan selama beberapa minggu. Dalam hal ini perlu diputuskan apakah kehamilan dapat dilanjutkan. Sonografi vagina, pemeriksaan kuantitatif serial kadar gonadotropin korionik (hCG) serum, dan kadar progesteron serum, yang diperiksa tersendiri atau dalam berbagai kombinasi, terbukti bermanfaat untuk memastikan apakah terdapat janin hidup intrauterus. Fossum dkk. (1988) melaporkan bahwa kantung janin biasanya dapat dilihat dengan sonografi vagina antara 33 sampai 35 hari sejak hari pertama haid terakhir (Tabel 33-3). Hal ini disertai dengan kadar gonadotropin korionik sekitar 1000 mlU/ml. Oleh karena itu, apabila kantung gestasi terlihat dan hCG serum kurang dari 1000 mlU/ml, kedl kemungkinannya gestasi dapat dipertahankan. Namun, apabila timbul keraguan, perlu dilakukan pengukuran kadar gonadotropin serial. AI-Sebai dkk. (1995) melaporkan bahwa pengukuran progesteron satu kali memiliki sensitivitas dan spesifisitas 88 persen dalam memperkirakan janin intrauterus hidup versus mati atau kehamilan tuba. Stovall dkk. (1992) IlJ.elaporkan bahwa hanya sekitar 1 persen kehamilan abnormal (abortus inkomplet spontan dan kehamilan ektopik) yang kadar progesteron serurnnya 25 ng/ml atau lebih. Kadar progesteron serum yang kurang dari 5 ng/ ml berkaitan dengan konseptus yang telah meninggal, tetapi hal ini tidak dapat menentukan apakah lokasi kehamilan intra atau ekstrauterus. Hahlin dkk. (1990) melaporkan bahwa tidak ada kehamilan intrauterus hidup yang kadar progesteronnya kurang dari 10 ng/ ml; dan 88 persen dari kehamilan ektopik dan 83 persen dari abortus spontan memiliki kadar yang lebih rendah. Oleh karena itu, apabila kantung janin tampak jelas, kadar gonadbtropin kurang dari 1000 mIU / ml, dan kadar proges teron serum kurang dari 5 ng/ml, hampir pasti menandakan bahwa tidak terdapat kehamilan intrauterus. Dibuktikannya cincin gestasional yang jelas dan berbatas tegas dengan echo di tengah dari mudigah secara sonografis menandakan bahwa produk konsepsi cukup sehat (Tabel 33-3). Kantung gestasi tanpa echo sentral dari mudigah atau janin merupakan isyarat kuat, tetapi belum membuktikan, bahwa konseptus meninggal. Apabila abortus tidak terhindarkan, rata-rata diameter kantung gestasi sering lebih kecil daripada ukuran untuk usia gestasinya. Semua kehamilan intrauterus hidup dapat. dilihat dengan ultrasonografi transvagina pada hari ke-41 gestasi (Lipscomb dkk., 2000). Selain itu, pada sekitar 45 hari setelah haid terakhir dan sesudahnya, gerakan jantung janin seharusnya terlihat dengan ultrasonografi real-time. Emerson dkk., (1992) serta Pellerito dkk., (1992) melaporkan hasil-hasil yang sangat baik dengan teknik pencitraan color and pulsed Doppler flow per vaginam daiam mengidentifikasi gestasi intrauterus hid up. Setelah konseptus me:ninggal, uterus harus dikosongkan. Semua jaringan yang keluar harus diperiksa untuk menentukan apakah abortusnya telah lengkap. Kecuali apabila janin dan plasenta dapat diidentifikasi secara pasti, mungkin diperlukan kuretase. Ultrasonografi abdomen atau probe vagina dapat membantu kita dalam proses pengambilan keputusan ini. Apabila di dalam rongga uterus terdapat jaringan dalam jumlah signifikan, sebagian besar dokter menganjurkan kuretase. Kehamilan ektopik harus selalu dipertimbangkan dalam diagnosis banding abortus iminens. Hal ini terutama apabila kantung gestasi atau janin tidak teridentifikasi. Potong beku terhadap hasil kuretase dapat membantu diagnosi,s. Wanita dengan abortus iminens yang D-negatif mungkin perlu mendapat imunoglobulin anti-D (Bab 39, hal. 1194). Von Stein dkk. (1992) melaporkan bahwa 10 persen lebih dari para wanita tersebut mengalami perdarahan fetomatemal yang signifikan.

ABORTUS T1DAK TERHINDARKAN. Abortus yang tidak terhindarkan (inevitable) ditandai oleh pecah ketuban yang nyata disertai pembukaan serviks. Pada keadaan ini, abortus hampir pasti terjadi. Walaupun jarang, mungkin saja terjadi pengeluaran cairan yang banyak dari uterus pada paruh pertama kehamilan tanpa disertai konsekuensi serius. Cairan mungkin terkumpul sebelumnya di antara amnion dan korion. Namun, biasanya segera terjadi kontraksi uterus, yang mengakibatkan ekspulsi konseptus, atau terjadi infeksi. sangat kecil. Apabila pada kehamilan dini terjadi pengeluaran cairan mend adak-yang mengisyaratkan pecahnya selaput ketubansebelum timbul nyeri atau perdarahan, wanita yang bersangkutan dirawat tirah baring dan diamati untuk melihat kebocoran cairan lebih lanjut, perdarahan, nyeri kram, atau demam. Apabila setelah 48 jam tidak terjadi lagi pengeluaran cairan amnion, tidak timbul nyeri atau perdarahan, dan tidak ada demam, ia dapat bangun dan melanjutkan aktivitas sehari-hari, kecuali segala bentuk penetrasi vagina. Namun, apabila pergeluaran banyak cairan disertai atau diikuti oleh perdarahan dan nyeri, atau apabila timbul demam, abortus harus dianggap tidak dapat dihindari dan uterus dikosongkan. ABORTUS INKOMPLET. Pada abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar bersama-sama, tetapi setelah waktu ini keluar secara terpisah. Apabila plasenta-seluruhnya atau sebagian-tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan yang merupakan tanda utama abortus inkomplet. Pada abortus yang lebih lanjut, perdarahan kadang-kadang sedemikian masif sehingga menyebabkan hipovolemia berat. Pada kasus abortus inkomplet; biasanya tidak perlu melakukan dilatasi serviks sebelum kuretase. Pad a banyak kasus, jaringan plasenta yang tertinggal sekedar menempel di kanalis servikalis dan dapat dikeluarkan dari os eksterna yang terpapar dengan forseps cine in atau ovum. Kuretase isap, seperti akan dibahas, efektif untuk mengosongkan uterus. Wanita dengan tahap kehamilan lebih lanjut, atau yang mengalami perdarahan besar, harus dirawat inap dan jaringan yang tertinggal segera dikeluarkan. Perdarahan akibat abortus inkomplet kadang-kadang parah tetapi jarang mematikan. Demam bukan merupakan kontraindikasi kuretase setelah terapi antibiotik yang sesuai dimulai (hal. 975). Nielsen dan Hahlin (1995) melakukan suatu studi acak yang membandingkan penanganan menunggu dengan kuretase untuk abortus spontan pada usia gestasi kurang dari 13 minggu. Resolusi kehamilan spontan terjadi dalam 3 hari pada 80 persen wanita yang diterapi secara konservatif, walaupun perdarahan per vaginam secara rata-rata berlangsung satu hari lebih lama. Penyulit pada kedua kelompok setara. MISSED ABORTION. Hal ini didefinisikan sebagai retensi produk konsepsi yang telah meninggal in utero selama beberapa minggu. Alasan penentuan periode waktu yang pasti masih belum jelas, dan hal tersebut tidak memiliki manfaat klinis. Pad a kasus yang tipikal, kehamilan awal berlangsung normal, dengan amenorea, mual dan muntah, perubahan payudara, dan pertumbuhan uterus. Setelah janin . meninggal, mung kin terjadi perdarahan per vaginam atau gejala lain yang mengisyaratkan abortus iminens, mungkin juga tidak. Untuk suatu waktu; uterus tampaknya tidak mengalami perubahan ukuran, tetapi perubahan-perubahan pada payudara biasanya kembali ke semula. Wanita yang bersangkutan kemungkinan besar mengalami penurunan berat beberapa kilogram. Setelah itu, menjadi jelas bahwa uterus bukan saja tidak bertambah besar tetapi malah mengecil. Banyak wanita yang tidak memperlihatkan gejala selama periode ini kecuali amenorea menetap. Apabila missed abortion tersebut berakhir secara spontan, dan

sebagian besar memang demikian, proses ekspulsi sarna seperti abortus yang lain. Apabila konseptus tertahan beberapa minggu setelah kematiannya, konseptus tersebut akan menjadi kantung kisut yang mengandung janin yang mengalami maserasi (Gambar 33-7). Egarter dkk., (1995) melaporkan bahwa supositoria vagina gemeprost (prostaglandin E1) efektif untuk terminasi missed abortion trimester pertama pada 77 persen wanita. Kadang-kadang, setelah retensi janin mati berkepanjangan, terjadi gangguan pembekuan darah yang serius. Hal ini lebih mungkin terjadi apabila gestasi telah mencapai trimester kedua sebelum janin meninggal. Wanita yang bersangkutan mungkin mengalami perdarahan dari hi dung atau gusi yang cukup mengganggu dan terutama dari tempat-temp at trauma ringan. Patogenesis dan terapi gangguan koagulasi dan perdarahan pada kasus retensi janin mati berkepanjangan dibahas di Bab 25 (hal. 731). Penyebab mengapa sebagian abortus tidak berakhir setelah janin meninggal belum jelas. Pemakaian senyawa-senyawa progestasional poten untuk mengatasi abortus iminens mungkin ikut berperan. Smith dkk. (1978) mengamati bahwa 73 persen wanita dengan abortus iminens yang mendapat terapi hormonal tetap mengalami abortus, tetapi terjadi rata-rata 20 hari kemudian. Pada mereka yang tidak mendapat terapi hormon, 67 persen mengalami abortus dalam waktu rata-rata 5 hari. ABORTUS REKUREN. Keadaan ini didefinisikan menurut berbagai kriteria jumlah dan urutan, tetapi definisi yang mungkin paling luas diterima adalah abortus spontan berturut-turut selama tiga kali atau lebih. Pada sebagian besar kasus, abortus spontan berulang kemungkinan adalah fenomena kebetulan. Dengan menganggap bahwa risiko independen terjadinya keguguran adalah 15 persen, maka keguguran kedua dapat dihitung terjadi pad a 2,3 persen wanita dan yang ketiga pad a 0,34 persen wanita. Dalam suatu studi terhadap dokter wanita, kejadian satu, dua, dan tiga kali keguguran masing-masing dilaporkan sebesar 10,4, 2,3, dan 0,34 persen (Alberman, 1988). Sekitar 1 sampai 2 persen wanita usia subur akan mengalami abortus spontan berurutan tiga kali atau lebih, dan hampir 5 persen akan mengalami abortus rekuren dua kali atau lebih (Blumenfeld dan Brenner, 1999). Secara epidemiologis, terdapat keseragaman dalam proporsi abortus rekuren dengan anomali kromosom. Namun, walaupun demikian terjadi kesenjangan signifikan apabila dibandingkan dengan prevalensi relatif kategori lain. Terdapat beberapa alas an yang dapat menjelaskan hal ini: Pertama, perbedaan dalam definisi menyebabkan pembandingan langsung antara berbagai penelitian diragukan. Sebagai contoh, sebagian penulis menyertakan wanita dengan hanya dua abortus ke dalam analisis mereka. Kedua, metode-metode yang digunakan untuk menggolongkan pasien dalam kategori-kategori diagnosis berbeda. Yang memperumit masalah ini adalah banyak diagnosis yang dibahas masih diperdebatkan, baik mengenai kriteria yang digunakan maupun kontribusi diagnosis dalam menyebabkan abortus. Ketiga, intensitas evaluasi yang diterapkan sebelum menggolongkan seorang wanita sebagai "tidak diketahui sebabnya" bervariasi di antara berbagai penelitian. Secara umum, sebagian besar penelitian menjumpai bahwa wanita dengan tiga kali atau lebih keguguran lebih besar kemungkinannya mempunyai anomali kromosom, gangguan endokrin, atau perubahan sistem imun (Tabe133-4). PROGNOSIS. Selain pada kasus antibodi antifosfolipid dan serviks inkompeten, "angka kesembuhan" setelah tiga kali abortus berturut-turut berkisar antara 70 dan 85 persen, apapun terapinya. Yaitu, angka kematian janin akan lebih tinggi, tetapi tidak jauh lebih tinggi, dibandingkan dengan kehamilan secara umum. Bahkan, Warburton dan Fraser (1964) mela-

porkan bahwa kemungkinan abortus rekuren adalah 25 sampai 30 persen berapapun jumlah abortus sebelumnya. Poland dkk., (1977) mencatat bahwa apabila seorang wanita pemah melahirkan bayi hid up, risiko untuk setiap abortus rekuren adalah sekitar 30 persen. Namun, apabila wanita belum pemah melahirkan bayi hidup dan pemah mengalami paling sedikit satu kali abortus spontan, risiko abortus adalah 46 persen. Wanita dengan abortus spontan tiga kali at au lebih berisiko lebih besar mengalami pelahiran pre term, plasenta previa, presentasi bokong, dan malformasi janin pada kehamilan berikutnya (Thom dkk., 1992). ABORTUS TERINDUKSI Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin mampu hidup (viabel). Pada tahun 1996, total 1.221.585 abortus legal dilaporkan ke Centers for Disease Control and Prevention (1999). Sekitar 20 persen dari para wanita ini berusia 19 tahun atau kurang, dan sebagian besar berumur kurang dari 25 tahun, berkulit putih, dan belum menikah (Centers for Disease Control and Prevention, 2000). Sekitar 88 persen abortus dilakukan sebelum usia gestasi 13 minggu, 55 persen sebelum minggu ke-8, dan 16 persen pada usia 6 minggu atau kurang. ASPEK HUKUM. Sebelum keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1973, hanya abortus terapeutik yang dapat dilakukan secara legal di sebagian besar negara bagian. Oefinisi legal paling umum tentang abortus terapeutik sampai pada saat itu adalah terminasi kehamilan sebelum janin mampu hidup dengan tujuan menyelamatkan nyawa ibu. Beberapa negara bagian memperluas hukum mereka menjadi "untuk. mencegah cedera tubuh yang serius atau permanen pada ibu" atau "mempertahankan kehidupan atau kesehatan ibu". Beberapa negara bagian mengizinkan abortus apa. bila kehamilan kemungkinan besar melahirkan bayi dengan malformasi berat. Hukum abortus ketat yang berlaku hingga tahun 1973 sebenarnya belum lama diundangkan. Abortus sebelum adanya gerakan janin pertama kali (quickening), yang umumnya terjadi pada usia gestasi antara 16 sampai 20 minggu, sah atau ditoleransi secara luas di Amerika Serikat dan Inggris sampai tahun 1803. Pada tahun tersebut, sebagai bagian dari restrukturisasi umum hukum pidana Inggris, diberlakukan undang-undang yang menyebabkan abortus sebelum adanya gerakan janin ilegal. Pelarangan terhadap abortus yang secara tradisional dilakukan oleh Gereja Katolik Roma belum mendapat pembenaran oleh hukum universal (ekskomunikasi) sampai tahun 1869 (Pilpel dan Norwich, 1969). Pada tahun 1821 Connecticut menerapkan hukum abortus pertama di Amerika Serikat. Kemudian, di seluruh Amerika Serikat, abortus menjadi ilegal kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu. Karena abortus terapeutik untuk menyelamatkan nyawa ibu jarang diperlukan atau dapat didefinisikan, sebagian besar operasi abortus yang sebelumnya dilakukan di negllra ini tidak dapat dibenarkan secara hukum tertulis. Borgmann dan Jones (2000) telah mengulas masalahmasalah legal dalam abortus secara mendalam. INDIKASI. Beberapa indikasi untuk abortus terapeutik dibahas bersama penyakit yang umumnya menyebabkan tindakan terse but perlu dilakukan. Indikasi-indikasi yang telah terbukti adalah penyakit jantung persisten dengan riwayat dekompensatio kordis dan penyakit vaskular hipertensif tahap lanjut. Yang lain adalah karsinoma serviks invasif. American College of Obstetricians and Gynecologists (1987) menetapkan petunjuk untuk abortus terap~utik:

Apabila berlanjutnya kehamilan dapat menganearn nyawa wanita yang bersangkutan atau mengganggu kesehatan secara serius. Oalam menentukan apakah memang terdapat risiko kesehatan, perlu dipertimbangkan lingkungan keseluruhan pasien, yang sebenarnya atau yang dapat diperkirakan. Apabila kehamilan terjadi akibat perkosaan atau incest. Oalam hal ini, pada evaluasi wanita yang bersangkutan perlu diterapkan kriteria medis yang sarna. Apabila berlanjutnya kehamilan kemungkinan besar menyebabkan lahirnya bayi dengan retardasi mental atau deformitas fisik berat. Masalah seperti infeksi HIV -1 pada ibu kurang jelas dan menimbulkan masalah (Araneta dkk., 1992) . ABORTUS ELEKTIF (VOLUNTER). Abortus elektif atau volunter adalah interupsi kehamilan sebelum janin mampu hid up atas permintaan wanita yang bersangkutan, tetapi bukan atas alasan penyakit janin atau gangguan kesehatan ibu. Sebagian besar abortus yang dilakukan saat ini termasuk dalam kategori ini; bahkan, terjadi sekitar satu abortus elektif untuk setiap tiga kelahiran hidup di Amerika Serikat. PENYULUHAN SEBELUM ABORTUS ELEKTIF. Hanya terdapat tiga pilihan untuk wanita yang mempertimbangkan unh.fk menjalani abortus. Pilihan tersebut adalah melanjutkan kehamilan dengan risiko dan tanggung-jawabnya; melanjutkan kehamilan dengan risikonya dan menyiapkan adopsi; atau memilih abortus dengan risikonya. Bagaimanapun, penyuluh yang memiliki pengetahuan memadai dan kepedulian merupakan ha) yang sangat penting. Sebagai contoh, wanita yang menunda keputusan abortus ke usia gestasi lebih tua terbukti memperlihatkan gangguan lebih besar dalam rasa percaya diri seperti diisyaratkan oleh timbulnya konflik gender / seksual serta berkurangnya orientasi pencapaian dan berjuang (Cancelmo dkk., 1992). KONSEKUENSI ABORTUS ELEKTIF MORTALITAS. Induksi abortus yang legal merupakan tindakan bedah yang relatif aman, terutama apabila dilakukan dalam 2 bulan pertama kehamilan. Risiko kematian akibat abortus yang dilakukan pada 2 bulan pertama adalah sekitar 0,6 per 100.000 tindakan (Berg dkk., 1996; Centers for Disease Control, 1986; Grimes, 1994). Risiko relatif meninggal akibat abortus meningkat sekitar dua kali lipat untuk setiap penundaan 2 minggu setelah gestasi 8 minggu. Atrash dkk. (1988) melaporkan bahwa proporsi kematian terkait abortus yang disebabkan oleh anestesia umum telah meningkat dari 8 persen pada tahun 1975 menjadi 29 persen pada tahun 1985. Hal ini mungkin meneerminkan penurunan kematian absolut akibat penyulit nonanestetik. LeBolt dkk. (1982) memperkirakan bahwa selama tahun 1970-an, risiko keseluruhan meninggal akibat abortus legal adalah 15 persen dari risiko akibat melahirkan. Memang, pada tahun 1987 dilaporkan enam kematian ibu dari 1,3 juta abortus legal (Grimes, 1994). Dalam ulasannya barubaru ini, de Swiet (2000) menekankan bahwa di Inggris sebelum Undang-undang Abortus tahun 1968,40 persen kematian ibu disebabkan oleh abortus ilegal. Pada tahun 1994 sampai 1996, hanya 4 persen kematian yang berkaitan dengan abortus, dan tidak ada yang ilegal. DAMPAK PADA KEHAMILAN'SELANJUTNYA. Hogue (1986), dalam suatu ulasan ilmiah tentang dampak abortus elektif pada hasil kehamilan berikutnya, meringkaskan data dari 200 publikasi lebih. Ia menekankan bahwa harus dilakukan pertimbangan mengenai metode untuk

menginduksi abortus, dan bahwa wanita yang dipilih sebagai kontrol haruslah nulipara karena wanita para mengalami penurunan risiko penyulit pada kehamilan berikutnya. Kesuburan tidak terpengaruh oleh abortus elektif. Salah satu pengecualian yang mungkin terjadi adalah adanya risiko kecil infeksi panggul. Aspirasi vakum tidak menyebabkan peningkatan insidensi abortus spontan mid trimes ter, pelahiran pre term, atau bayi berat lahir rendah pada kehamilan berikutnya. Namun, dilatasi dan kuretase pada primigravida menyebabkan peningkatan risiko kehamilan ektopik, abortus mid trimester, dan berat lahir rendah pada kehamilan berikutnya. Insidensi kehamilan ektopik tidak meningkat pada kehamilan berikutnya apabila terminasi pertama dilakukan dengan aspirasi vakum. Pengeeualiannya adalah wanita yang mengalami infeksi klamidia atau infeksi paseaabortus. Abortus elektif berulang tidak meningkatkan insidensi pelahiran preterm dan bayi berat lahir rendah (Mandelson dkk., 1992). Plasenta previa dilaporkan meningkat setelah abortus elektif (Barrett dkk., 1981). Hogue (1986) mengabaikan penelitian ini karena tidak adanya kontrol untuk usia ibu. Abortus terinduksi pada mid trimester tampaknya tidak banyak menimbulkan risiko bagi kehamilan berikutnya apabila digunakan teknik injeksi. Belum eukup banyak data yang prosedumya spesifik untuk mengambil kesimpulan yang sahih tentang risiko pada kehamilan berikutnya setelah suatu abortus midtrimester. ABORTUS SEPTIK. Penyulit serius pada abortus umumnya terjadi akibat abortus kriminalis. Perdarahan hebat, sepsis, syok bakterial, dan gagal ginjal akut pemah terjadi pada abortus legal tetapi dengan frekuensi yang jauh lebih keeil. Hasil biasanya adalah metritis, tetapi dapat juga terjadi parametritis, peritonitis, endokarditis, dan septikemia (Vartian dan Septimus, 1991). Dari 300 abortus septik di Parkland Hospital, biakan darah positif pada seperempatnya. Hampir dua pertiga adalah bakteria anaerob sedangkan koliform juga sering dijumpai. Organisme lain yang dilaporkan menjadi penyebab abortus septik antara lain adalah Haeinophilus influenzae, Campylobaeter jejuni, dan streptokokus grup A (Denton dan Clarke, 1992; Dotters dan Katz, 1991; Pinhas-Hamiel dkk., 1991). Terapi infeksi antara lain adalah evakuasi segera produk konsepsi disertai antimikroba spektrum luas seeara intravena. Apabila timbul sepsis dan syok, perlu diberikan terapi suportif seperti dibahas di Bab 43 (hal. 1303). Abortus septik juga pemah dilaporkan menyebabkan koagulopati intravaskular diseminata (Bab 25: hal. 728).

Você também pode gostar