Você está na página 1de 87

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi. Fenomena kecepatan perkembangan teknologi informasi ini telah merebak di seluruh belahan dunia. Tidak hanya negara-negara maju saja, namun negara berkembang juga telah memacu perkembangan teknologi informasi pada masyarakatnya masing-masing, sehingga teknologi informasi mendapatkan kedudukan yang penting bagi sebuah bangsa.1 Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat di dunia, teknologi informasi (information technology) memegang peran penting, baik di masa kini maupun masa mendatang. Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan dan kepentingan yang besar bagi negara-negara di dunia. Setidaknya ada dua hal yang membuat teknologi informasi dianggap begitu penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dunia yaitu:2 1. Teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-produk teknologi informasi itu sendiri seperti komputer, modem, sarana untuk membangun jaringan internet dan sebagainya;
Budi Suhariyono, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime), Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, (Jakata: Raja Grafindo Persada , 2012), hal. 1. 2 Agus Raharjo, Cybercrime-Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1.
1

2. Teknologi informasi memudakan transaksi bisnis terutama bisnis keuangan di samping bisnis lainya. Meskipun demikian, teknologi informasi telah berhasil memicu dan memacu perubahan tatanan kebutuhan hidup masyarakat di bidang social dan ekonomi, yang notabene sebelumnya bertransaksi ataupun bersosialisasi secara konvensional menuju transaksi ataupun sosialisasi secara alektronik. Hal ini dinilai lebih efektif dan efisien. Sebagai akibat dari perkembangan yang demikian, maka secara lambat laun, teknologi informasi dengan sendirinya juga telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberi kontribusi bagi peningkatan

kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.3 Dengan terjadinya perbuatan-perbuatan melawan hukum tersebut, maka ruang lingkup hukum harus diperlukan untuk menjangkau perbuatan-perbuatan tersebut. Kemudian lahirlah suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber (cyber law), secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terikat dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula hukum telematika yang
Ahmad M.Ramli. Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia , (Jakarta; Satymaka 2004), hal. 1.
3

merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world web) dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lpkal maupun global (interest) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik,4) misalnya perkembangan teknologi internet. Perkembangan yang pesat dan dalam teknologi internet menyebabkan kejahatan baru di bidang itu juga muncul, misalnya kejahatan manipulasi datam spionase, sabotase, provokasi, money layndring, hacking, pencurian softwar, phising, defacing, perusakan hardware dan bergagai macam lainnya. Munculnya beberapa kasus cybercime di Indonesia telah menjadi ancaman stabilitas Kamtibmas dengan eskalatif yang cukup tinggi. Pemerintah dengan perangkat hukumnya belum mampu mengimbangi teknik kejahatan yang dilakukan dengan teknologi komputer khususnya di jaringan internet dan internet (internetwork).5

Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843), Paragraph 2. 5 Agus Raharjo, Op.Cit., hal.213,

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak ada ketentuan hukum yang secara khusus mengatur kejahatan cyber termasuk tindak pidana hacking. Namun dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, maka sudah ada ketentuan yang menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan kepada masyarakat, khususnya bagi mereka yang memanfaatkan teknologi informasi mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh cracker adalah mengubah halaman web, yang dikenal dengan istilah deface. Pembajakan dapat dilakukan dengan mengeksploitasi lubang keamanan. Sekitar 4 bulan yang lalu, statistik di Indonesia menunjukkan satu (1) situs web dibajak setiap harinya. Contoh kasusnya antara lain: 1. Pembajakan web KPU tahun 2004 Pada hari Sabtu, 17 April 2004, Dani Firmansyah, konsultan Teknologi Informasi (TI) PT. Danareksa di Jakarta berhasil membobol situs milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) di http://tnp.kpu.go.id dan berhasil melakukan perubahan pada seluruh nama partai disitus TNP KPU pada jam 11:24:16 sampai dengan 11:34:27. Perubahan ini menyebabkan nama partai yang tampil pada situs yang diakses oleh publik, sesuai Pemilu Legislatif lalu, berubah menjadi namanama lucu seperti Partai Jambu, Partai Kelereng, Partai Cucak Rowo, Partai Si Yoyo, Partai Mbah Jambon, Partai Kolor Ijo, dan lain sebagainya. Dani menggunakan teknik SQL Injection (pada dasarnya serta

teknik tersebut adalah dengan cara mengetikkan string atau perintah tertentu di address bar browser) untuk menjebol situs KPU. Selanjutnya Dani tertangkap pada hari Kamis 22 April 2004 dan sidang kasus pembobolan TNP Komisi Pemilihan Umum (KPU) digelar Senin tanggal 16 Agustus 2004. 2. Pembajakan web KPU tahun 2009 Web resmi KPU kpu.go.id Sabtu 15 Maret pukul 20.15 diganggu orang tak bertanggungjawab. Bagian situs kpu.go.id yang diganggu hacker adalah halaman berita, dengan menambah berita dengan kalimat I Love You Renny Yahna Octaviana. Renny How Are You There? . Bukan hanya itu, pengganggu juga mengacak-acak isi berita kpu.go.id. Pengurus situs web kpu.go.id untuk sementara menutup kpu.go.id/ sehingga tidak bisa diakses oleh publik yang ingin mengetahui berita-berita tentang KPU khususnya mengenai persiapan Pemilu 2009. Awal April 2008 tahapan awal pelaksanaan Pemilu 2009 yaitu pemutakhiran data pemilih dan pendaftaran Parpol peserta Pemilu mulai dilaksanakan. 3. Pembajakan Situs Depkominfo. 4. Pembajakan situs Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. 5. Pembajakan situs PDAM Kota Denpasar Bali. 6. Pembajakan web POLRI 2011. Berdasarkan kasus-kasus tersebut, yang menjadi pokok bahasan pada penulisan skripsi ini yaitu kasus pembobolan situs milik Kepolisian Republik Indonesia www.polri.go.id yang dilakukan oleh Andi Kurniawan alias

Fandiekun pada kasus Putusan Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Slmn. Terdakwa Andi Kurniawan telah melakukan tindak pidana berupa defacing terhadap situs polri. Perbuatan yang dilakukan berupa merubah tampilan situs polri yang isinya mengajak pejuang Islam untuk bangkit. Namun, ketika situs Polri dibuka, tampilan muka situs tersebut kosong, tapi tidak ada pesan error atau kejanggalan. Akan tetapi apabila menuliskan http://www.polri.go.id/backend/ index.html pada adress bar di browser, pengunjung dibawa pada sebuah halaman berlatar belakang hitam yang berisi tampilan foto dua orang berbaju khas kearab-araban mengibarkan bendera. Pada tampilan tersebut juga ada tulisan sebuah kalimat "Tiada Tuhan kecuali Allah - Muhammad hamba dan utusan Allah". Selain itu ada juga tulisan "Bangkitlah singa-singa Islam!" yang terletak di bawahnya. Berikut gambar situs Polri yang di-hack dengan tampilan yang telah diubah oleh hacker. Selanjutnya di bawah foto dan tulisan terdapat link video yang telah dipublikasi di situs Youtube dengan judul 'Doa Hamba Allah yang Prihatin dengan Kondisi Umat Islam'. Doa tersebut diambil dari doa Syaikh Muhammad Al-Mohaisany, Imam Masjidil Haram, Mekkah. Di bawah link video tersebut terdapat arti doa tersebut dalam bahasa Indonesia. Akibat perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan jebolnya atau diterobosnya sistem keamanan website Polri www.polri.go.id dan teraksesnya dalam server www.polri.go.id serta hilangnya data-data penting mengenai Polri yang berasal dari Kepolisian Daerah dan Kepolisian Resort di seluruh Indonesia.6 Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam
6

Salinan Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Slmn, hal.5.

pidana dalam Pasal 46 ayat (3) Jo Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketentuan Pasal 30 Ayat (3) Undang-Undang ITE yang menegaskan beberapa perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi pidana, termasuk larangan mengakses komputer dan atau sistem elektronik pihak lain secara melawan hukum dengan cara melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Hukuman bagi yang terbukti melanggar Pasal 30 Ayat (3) dapat dipidana dengan penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda penjara paling banyak Rp.800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) (Pasal 46 Ayat (3)). Meskipun terdakwa dikenakan Pasal 30 ayat (3) UU ITE tersebut, namun tidak dijelaskan secara jelas dalam penjelasan UU ITE apa yang dimaksud dengan mengakses komputer dengan melawan hukum atau akses illegal yang menjadi dasar kepolisian untuk menjerat terdakwa Andi Kurniawan. Namun demikian, dalam pertimbangan hukum sebelum mejatuhkan pidana, hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa hanya masuk tanpa ijin (akses illegal) ke dalam situs Polri dijadikan dasar yang meringankan sehingga hakim memutus 1 (satu) tahun penjara dan denda 2.000.000,- (dua juta rupiah) kepada terdakwa Andi Kurniawan dari maksimal ketentuan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Uraian di atas menegaskan bahwa seseorang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum/menambah/merusak suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik, akan

dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (2) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik mengadakan penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut ke dalam suatu penulisan skripsi dengan judul: Analisis Putusan Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Slmn Terhadap Tindakan Mengakses Komputer Secara Melawan Hukum (Illegal) yang Mengakibatkan Kerusakan Sebagai Dasar Peringan Dalam Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik.

B. Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa alasan mengakses masuk tanpa ijin situs Polri dapat dijadikan sebagai dasar peringan pidana pada Putusan Nomor

97/PID.SUS/2011/PN.SLMN? 2. Apakah yang dimaksud mengakses komputer secara melawan hukum (illegal) Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui alasan pertimbangan hakim mengakses masuk tanpa ijin dari situs Polri sebagai dasar peringan pada Putusan Nomor 97/PID.SUS/2011/PN.SLMN.

b. Untuk mengetahui apa yang dimaksud mengakses komputer secara melawan hukum (illegal) Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentng Informasi dan Transaksi Elektronik. 2. Kegunaan dari penelitian ini adalah: a. Manfaat Teoritis Dengan adanya penulisan ini kiranya dapat menambah wawasan dan kaedah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pembobolan dan perusakan situs yang dikaitkan dengan teknologi dan informasi yang ada, serta memberi gagasan dalam upaya penanggulangan tindak pidana tersebut. b. Manfaat Praktis Untuk dapat mencegah dan menanggulangi tindak pidana pembobolan dan perusakan situs yang banyak terjadi di masyarakat baik yang menggunakan media elektronik ataupun media lainnya. Selain itu juga setidaknya dapat memberi masukan bagi aparat penegak hukum dalam membrantas tindak pidana ini dan menyadarkan masyarakat dalam peran sertanya untuk ikut dalam usaha tersebut.

D. Kerangka Konseptual Dalam penulisan skripsi ini juga didasari dengan kerangka konseptual. Pada kerangka konseptual lebih menggambarkan ada hubungan antara konsep hukum yang ingin ditel.7 Pada umumnya kerangka konseptual

mengedepankan definisi-definisi yang ada dari suatu permasalahan atau


Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hal. 132.
7

dengan kata lain konsep ini menunjukkan uraian mengenai hubunganhubungan dalam fakta tersebut.8 Pada buku pedoman penulisan skripsi dijelaskan bahwa kerangka konseptual merupakan kerangka yang memberikan gambaran mengenai hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti.9 Atas dasar pengertian di atas, maka kerangka konseptual yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut: 1. Pengertian analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya (sebab-musabab, duduk perkara, dan sebagainya); penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti kesleuruhan.10 Pengertian lain menyebutkan bahwa analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keberadaan yang sebenarnya.11 Selanjutnya analisis diartikan sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan).12 2. Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.13 Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

Ibid. Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 015-D/FHNTAR/II/2011, 2011), Lampiran 2. 10 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.43. 11 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.43. 12 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal.32 13 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 485.
9

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.14 Dalam penulisan ini putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor

97/PID.SUS/2011/PN.SLMN. 3. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.15 4. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan

penyimpanan.16 5. Pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.17 Pengertian lain menyebutkan bahwa perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi wederrechtelijk dalam ranah hukum pidana dan terminologi onrechtmatige daad dalam ranah hukum perdata. Akan tetapi, pengertian dan terminologi wederrechtelijk dalam hukum pidana tersebut ada diartikan sebagai bertentangan dengan hukum (in strijd met het recht), atau melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht) dan ada juga yang mengartikan sebagai tidak

Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (LNRI Tahun 1981 No.76, TLNRI No. 3209). Pasal 1 angka 11. 15 Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843), Pasal 1 angka 15. 16 Ibid, Pasal 1 angka 14. 17 Indonesia, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Pasal 1365.

14

berdasarkan hukum (niet steunend op het recht) atau sebagai tanpa hak (zonder bevoegheid).18 6. Illegal adalah tidak sah, tidak berdasarkan perundang-undangan yang berlaku atau bertentangan dengan hukum.19 Pengertian lain menyatakan bahwa illegal berarti bertentangan dengan hukum atau melawan hukum.20 7. Mengakibatkan berasal dari kata akibat yaitu suatu yang merupakan akhir atau hasil suatu peristiwa (perbuatan, keputusan); persyaratan atau keadaan yang mendahuluinya, jadi mengakibatkan berarti menyebabkan atau menimbulkan peristiwa atau keadaan tertentu; mendatangkan akibat.21 8. Merusak berasal dari kata rusak yang berarti sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi, jadi kerusakan berarti perihal rusak atau menderita rusak (kecelakaan).22 9. Menurut Moeljatno tindak pidana diartikan sebagai perbuatan pidana yaitu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, dan dalam hal tersebut diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Sehingga antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, karena kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang

Lucky K.F.R. Gerungan, Dimensi dan Implementasi Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum, Vol. XIX/No.5/Oktober-Desember/2011, hal. 3. 19 Sudarsono, Op.Cit., hal.178. 20 J.C.T. Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 71. 21 Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://www.kbbi.web.id/, diakses 23 Februari 2013. 22 Ibid.

18

dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Jadi perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian.23) 10. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.24 11. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.25

E. Metode Penelitian Sifat penelitian penulisan ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan fenomena atas permasalahan tertentu dan pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.26

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan kelima, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 124 24 Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843), Pasal 1 angka 1. 25 Ibid, Pasal 1 angka 2. 26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1982), hal.10.

23

Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,27 penelitian hukum normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian hukum membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.28 Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada putusan hakim dalam tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan sistem elektronik milik lain dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, menjebol sistem pengamanan pada kasus Putusan No.97/Pid.Sus/2011/Pn.Slmn. Selanjutnya bahan hukum yang diperoleh dari penelitian ini, penulis bagi menjadi tiga: 1. Bahan hukum perimer yakni bahan-bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan, dalam hal ini penulis menggunakan diantaranya Kitab Undag-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 2. Bahan hukum sekunder yakni bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dalam hal ini penulis

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 13-14. 28 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal.24

27

menggunakan buku-buku yang bersangkutan dengan proposal ini yakni buku-buku mengenai cyber crime secara umum serta pencarian data melalui internet. 3. Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, baik kamus umum maupun kamus IT dan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berhubungan dengan penelitian. Pada penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih menekankan pada kasus putusan Putusan No.97/Pid.Sus/2011/Pn.Slmn. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan.29) Metode analisis data didalam studi kasus dilakukan dengan cara analisa kualitatif, yaitu suatu teknik analisa data dengan memahami makna dibalik data yang tampak atau mencari kualitas dari penelian, sehingga pada akhirnya akan diperoleh simpulan penelitian secara induktif yaitu menarik kesimpulan dari hal yang bersifat khusus menjadi hal yang bersifat umum.

F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini disusun secara sistematika. Penulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab yang saling berkaitan satu dengan yang lain, dengan susunan sebagai berikut:

29

Ibid, hal. 94

BAB I

PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II

KERANGKA TEORETIS Dalam bab ini menguraikan tindak pidana, pengaturan tindak pidana teknologi dan informasi (cybercime) dalam UU ITE yang didalamnya diuraikan mengenai delik-delik cybercrime dalam UU ITE, pengaturan tindak pidana teknologi dan informasi (cybercime) dalam UU ITE, sanksi pidana cybercrime dalam UU ITE serta alat bukti dalam UU ITE.

BAB III

DATA HASIL PENELITIAN Dalam bab ini menguraikan tentang kasus posisi dan putusan Pengadilan Negeri Sleman No.97/Pid.Sus/2011/Pn.Slmn

BAB IV

ANALISIS Dalam bab ini merupakan uraian analisis yang menguraikan jawaban permasalahan alasan mengakses masuk tanpa ijin dari situs Polri sebagai dasar peringan pada Putusan Nomor 97/PID.SUS/2011/PN.SLMN serta maksud mengakses komputer secara melawan hukum (illegal) Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentng Informasi dan Transaksi Elektronik.

BAB V

PENUTUP Menyajikan kesimpulan dan saran yang diperoleh dari jawaban dan permasalahan.

BAB II KERANGKA TEORETIS

A. Tindak Pidana Pemahaman tentang tindak pidana tidak terlepas dari pemahaman tentang pidana itu sendiri. Untuk itu sebelum memahami tentang pengertian tindak pidana, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian pidana. Istilah pidana tidak terlepas dari masalah pemidanaan. Secara umum pemidanaan merupakan bidang dari pembentukan undang undang, karena adanya asas legalitas. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia poenali yang artinya tiada ada suatu perbuatan tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. Ketentuan Pasal 1 KUHP menunjukkan hubungan yang erat antara suatu tindak pidana, pidana dan undang-undang (hukum pidana) terlebih dahulu. Pembentuk undang-undang akan menetapkan perbuatan apa saja yang dapat dikenakan pidana dan pidana yang bagaimanakah yang dapat dikenakan. Dengan memperhatikan keterkaitan antara suatu tindak pidana, pidana dan ketentuan atau undang-undang hukum pidana, maka pengertian pidana haruslah dipahami secara benar. Istilah pidana banyak diberikan oleh para ahli. Menurut Roeslan Saleh, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud

suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik ini. Dengan demikian, pemidanaan adalah pemberian nestapa yang dengan sengaja dilakukan oleh negara kepada pembuat delik.30 Moeljatno menyatakan perbuatan pidana dirumuskan sebagai

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang betul-betul harus dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.31 Selain itu Moeljatno juga menyatakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar untuk:32 1. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan atau dilarang yang disertai ancaman atau sanksi tertentu, 2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan, dan 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.33 Menurut Wirjono Prodjodikoro pengertian tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum

A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), hal. 24. 31 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban dalam Hukum Pidana , (Yogyakarta : Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, 1955), hal. 17. 32 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit., hal. 1. 33 Wirjono Prodjodikoro, Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Rafika Aditama, 2003), hal. 59.

30

Perdata, Hukum Ketatanegaraan dan Hukum Tata Usaha Pemerintahan, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana.34 Adanya suatu tindak pidana dalam suatu perbuatan harus sudah di atur dalam Undang-undang. Demikian yang dikehendaki oleh pembuat Undangundang seperti yang disebut dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yaitu tiada suatu perbuatan pidana dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan suatu aturan pidana dalam perundang-undangan, sebelum perbuatan itu dilakukan. Roeslan Saleh, menyatakan bahwa aturan pidana merupakan aturan hukum sebagaimana diketahui, aturan hukum berisikan penilaian, bahwa kelakuan-kelakuan yang berhubungan dengan aturan-aturan hukum itu adalah baik atau jelek bagi masyarakat dan karena sepatutnyalah jika kelakuan demikian boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena hal tersebut, maka hukum dipandang sebagai keseluruhan aturan-aturan bertingkah laku. Aturan-aturan hukum dipandang sebagai aturan tentang seharusnya. 35 Adanya suatu tindak pidana apabila perbuatan itu telah cocok dengan apa yang ada atau dirumuskan dalam undang-undang. Pembentuk undangundang sendiri dalam merumuskan tindak pidana selalu menyebutkan melawan hukum dalam pasal-pasalnya. Namun demikian unsur melawan hukum harus selalu ada dalam setiap rumusan delik. Hal ini dapat dilihat dalam memori penjelasan yang menyebutkan bahwa pada beberapa rumusan
34

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta : PT Refika Aditama, 2002), hal. 1. 35 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal 56.

delik dengan nyata-nyata disebut perkataan bersifat melawan hukum karena tanpa ditambah perkataan itu, maka ada bahaya yaitu bahwa mereka yang menggunakan haknya akan termasuk dalam ketentuan Undang-Undang Pidana.36 Van Apeldoorn menyatakan, bahwa hukum pidana dibagi menjadi dua yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil menunjukkan peristiwa-peristiwa yang oleh karena perbuatan itu dapat dikenai hukuman. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana formil adalah cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana materiil.37 Secara materiil tindak pidana ada apabila perbuatan itu bersifat melawan hukum. Melawan hukum disini diartikan yang bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang yaitu jika perbuatan yang dilakukan benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang merugikan dalam masyarakat maupun ketidak tentraman, oleh karena itu tidak patut dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Berdasarkan uraian di atas mengenai perbuatan pidana, yang merupakan unsur dalam perbuatan pidana adalah:38 1. 2. 3. 4. 5. perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut, hal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang obyektif, unsur melawan hukum yang subyektif. Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, menurut hemat penulis, tepat apa yang disimpulkan oleh
36 37

Ibid. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1981), hal. 336. 38 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit., hal. 63.

Moeljatno mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana. Unsur atau elemen tersebut adalah sebagai berikut:39 1. Kelakuan dan akibat (=perbuatan). 2. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan. 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. 4. Unsur melawan hukum yang objektif. 5. Unsur melawan hukum yang subjektif. Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur pokok subjektif. Unsur pokok objektif perlu adanya perbuatan manusia yang meliputi perbuatan aktif maupun perbuatan positif. Adanya perbuatan manusia, artinya akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, atau kehormatan. Kemudian keadaan-keadaan yang meliputi keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan. Selain itu adanya sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni

berkenaan dengan larangan atau perintah. Unsur pokok subjektif merupakan asas pokok hukum pidana (asas culpabilitas) ialah tidak ada hukuman kalau tak ada kesalahan (afwijzigheid

39

Ibid.

van

alle

schuld).

Kesalahan

dimaksud

di

sini

adalah

sengaja

(intention/dolus/opzet) dan kealpaan (negligent/schuld).40 Asas-asas pokok hukum pidana itu merupakan landasan dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

B. Pengaturan Tindak Pidana Teknologi dan Informasi (cybercime) Dalam UU ITE 1. Delik-delik Cybercime dalam UU ITE Berkaitan dengan perumusan delik yang mempunyai beberapa elemen, di antara para ahli mempunyai jalan pikiran yang berlainan. Sebagian besar berpendapat membagi elemen perumusan delik secara mendasar saja, dan ada pendapat lain yang membagi elemen delik secara terperinci, diantaranya unsur subjektif dan objektif. Unsur objektif dalam hal perumusan delik cybercrime mengalami beberapa terobosan dari sifat-sifat umum dari KUHP. Hal ini disebabkan kegiatan cyber meskipun bersifat virtual tetapi dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang cyber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi konvensional untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual, tetapi berdampak sangat nyata meskipun alat bukti
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Cetakan Pertama. (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal. 6-7.
40

elektronik, dengan subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan benda tak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan kegiatan cyber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh wilayah suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana pun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian kartu kredit melalui pembelanjaan internet.41 Secara lebih jelasnya dapat diuraikan beberapa perbuatanperbuatan yang dilarang dalam Undang-undang ITE: a. Pornografi di Internet (Cybcrporn) Saat ini masalah pornografi dan pornoaksi semakin

memprihatinkan dan dampak negatifnya pun semakin nyata, di antaranya, sering terjadi perzinaan, perkosaan, dan bahkan

pembunuhan maupun aborsi. Orang-orang yang menjadi korban tindak pidana tersebut tidak hanya perempuan de-wasa tetapi banyak korban yang masih anak-anak, baik anak laki-laki maupun perempuan. Para pelakunya pun tidak hanya orang-orang yang tidak dikenal, atau orang yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan korban, di antaranya pelaku yang masih mempunyai hubungan darah, atau
Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843), Paragraf 5.
41

hubungan semenda, atau hubungan seprofesi, atau hubungan kerja, atau hubungan tetangga, atau hubungan pendidikan dengan korban, yaitu hubungan guru dan murid, baik guru di sekolah-sekolah formal maupun guru mengaji atau guru agama. Bahkan, para korban pornografi dan pornoaksi tidak hanya orang yang masih hidup, orang yang sml.ili pun dijadikan korban perkosaan sebagai tempat pi'l.impi. hawa nafsu birahi yang ditimbulkan oleh adegan-adcyan poi no yang ditontonnya melalui film-film, VCD-VCD, tayangan gambar-gambar atau tulisan-tulisan, atau atau lain-lainnya atau yang dilihatnya, atau

didengarnya,

dibacanya,

disentuh-nya

benda-benda

pornografi atau pelaku pornoaksi. Selain makhluk orang, yang menjadi korban dari pelaku kejahatan itu juga makhluk lain yaitu, binatang atau hewan, karena ternyata VCD-VCD porno tidak hanya

memvisualisasikan hubungan seksual antara manusia dengan manusia saja, baik secara heteroseksual maupun homoseksual, tetapi juga memvisualisasikan binatang.42 Masalah pornografi dan pornoaksi di Indonesia telah hubungan seksual antara manusia dengan

melampaui ambang toleransi dan merusak akhlak bangsa. Namun penyelesaian terhadap masalah pornografi belum sesuai dengan yang diharapkan. Kesulitan dalam mengatasi tindak pidana pornografi (pornoaksi) antara lain disebabkan oleh adanya pengertian dan
Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, Qakart: Kencana, 2003), hal. 1.
42

penafsiran yang berbeda-beda terhadap pasal-pasal KUHP yang mengatur masalah pornografi, dan dahulu masyarakat lemah dalam merespons pornografi dan pornoaksi.43 Telah menjadi sebuah kesulitan baru bahwa pergerakan pornografi sudah merambah ke dalam dunia maya, sementara KUHP hanya mengatur hal-hal umum yang belum bisa menjangkau ke dunia maya. Delik yang berkaitan dengan pornografi diatur dalam Pasal 282 KUHP, yang menyatakan sebagai berikut: 1. Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan, gambaran atau benda, yang diketahui isinya dan melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut memasukka ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyai dalam persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa didapat. Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling tinggi tiga ribu rupiah. 2. Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikinnya, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskan, mengeluarkannya dan negeri atau mempunyai dalam persediaan, atau barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjukkan sebagai bias didapat, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. 3. Kalau yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama, sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah.

43

Ibid., hal. 128

Setelah berlakunya UU ITE, tindak pidana cyberporn pelaku pornografi di lingkungan dunia maya dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang mengatur perbuatan yang dilarang dalam hal penyebaran/ pendistribusian muatan melanggar kesusilaan atau pornografi sebagaimana dinyatakan sebagai berikut. Pasal 27 Ayat (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Pasal ini memiliki sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 45 ayat (1), di mana berbunyi: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl. 000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tersebut memiliki tiga unsur, di antaranya: a. Unsur subjektif pada pelaku, yaitu unsur kesalahan Dengan tercantumkannya dengan sengaja, maka perlu

dibuktikan mengenai kesengajaan dari pelaku dalam hal melakukan delik yang diancamkan. Hal ini merupakan tugas jaksa untuk meyakinkan hakim dalam persidangan bahwa pelaku benar-benar melakukannya dengan sengaja. Sebagaimana pada umumnya motivasi para pelaku cybercrime terkadang adalah hanya sekadar iseng atau befmain-main saja. Tanpa

ada niat atau motif yang secara sungguh-sungguh untuk kepentingan ekonomi dirinya misalnya. Hal ini bisa menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan amar putusannya. Unsur kesalahan ini sangat penting untuk menjadi bahan pertimbangan hakim dalam hal pemberian pemberatan ataupun peringanan bagi pelaku. b. Unsur melawan hukum Dalam pasal ini tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa yang dimaksud dengan tanpa hak adalah arti atau makna dari melawan hukum. Sebagaimana jika diterjemahkan dalam Bahasa Inggris, kata tersebut dapat diterjemahkan dengan without ringht yang digunakan dalam cyberlaw di berbagai negara yang berbahasa Inggris. Istilah itu juga digunakan dalam Convention On Cybercrime. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan tanpa hak. Menurut Sutan Remi Syahdeni, kandungan arti tanpa hak bila dikaitkan dengan tindak pidana komputer adalah tanpa memiliki kewenangan atau tanpa memperoleh izin.44 c. Unsur kelakuan Pada pasal ini dijelaskan terdapat tiga perbuatan yang dilarang yaitu; mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Dalam hal ini jelas ditegaskan hanya tiga perbuatan atau kelakuan tersebut yang dapat
Sutan Remi Syahdeni, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, (Jakarta: PustakaUtama Graffiti, 2009), hal. 227.
44

dikenakan pidana oleh pasal ini. Selain itu tidak termasuk terkena pidana oleh pasal ini. Perspektif subjek yang terkena keberlakuan dari UU ITE adalah semua orang pada umumnya baik itu yang telah dewasa maupun anak-anak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 52 ayat (1) UU ITE yang mengatur pemberatan sanksi pidana jika objek kesusilaan/pornografinya adalah anak-anak sebagaimana berbunyi sebagai berikut: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU ITE ini terdapat pemberatan pidana sepertiga lebih berat dibandingkan dengan ancaman pidana pornografi umum. Hal ini bisa dipahami sebagai bagian dari sinkronisasi sistematika perundang-undangan kita yang telah mengatur ketentuan bahwa jika setiap tindak pidana yang melibatkan anak-anak sebagai korban tindak pidana, maka pemberatan pidana menjadi sepertiga lebih berat daripada ancaman pidana umumnya. Hal ini sudah menjadi kebakuan tersendiri dalam bidang hukum pidana anak.

2. Perjudian di Internet (Internet Gambling) Di Indonesia perjudian merupakan perbuatan yang ilegal dan mendapat pelarangan yang sangat keras dari para penegak hukum,

khususnya pihak kepolisian. Hal ini bisa dilihat dari program kerja kepolisian menjadikan pemberantasan perjudian sebagai salah satu sasaran prioritas utama. Ketentuan tentang perjudian di internet, diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) UUITE yang menyatakan: Pasal 27 Ayat (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Sama dengan Pasal 27 Ayat (1) ancaman pidana dari Pasal 27 Ayat (2) bersumber pada Pasal 45 Ayat (1), yang menyatakan: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa unsur, di antaranya: a. Unsur subjektif berupa kesalahan, sebagaimana tercantum dengan kata dengan sengaja; b. Unsur melawan hukum, sebagaimana tercantum dalam kata tanpa hak; dan c. Unsur kelakuan sebagaimana tercantum dalam kata-kata

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat

diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.

3. Penghinaan/Pencemaran Nama Baik di Internet Seiring dengan perkembangan teknologi, maka kejahatan pun berkembang mengikuti perkembangan teknologi tersebut. Jika dahulu orang hanya bisa melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik lewat tulisan surat atau perkataan lisan, sekarang dengan adanya internet seseorang juga bisa melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui internet. Ketentuan tentang penghinaan/pencemaran nama baik di internet diatur dalam Pasal 27 Ayat (3): Pasal 27 Ayat (3): Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaks esnya Inform asi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sama dengan Pasal 27 ayat (1) ancaman pidana dari Pasal 27 ayat (3) bersumber pada Pasal 45 ayat (1), yang menyatakan: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut tersebut jika unsurnya, maka terdapat beberapa unsur, yaitu:

diuraikan

a. Unsur subjektif berupa unsur kesalahan. Dalam hal ini terdapat kata dengan sengaja. Penegak hukum harus dapat membuktikan bahwa pelaku melakukan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan melalui internet dengan sengaja. b. Unsur melawan hukum. Dalam hal ini terwakilkan dengan kata tanpa hak. Menurut Sutan Remi Syahdeni, kandungan arti tanpa hak bila dikaitkan dengan tindak pidana komputer adalah tanpa memiliki kewenangan atau tanpa memperoleh izin.45 c. Unsur kelakuan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah perbuatan yang dilarang dan menjadi objek pada Pasal 27 ayat (3) ini yaitu: mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Unsur ini dapat dipenuhi jika bermuatan penghinaan dan pencemaran nama baik.

4. Pemerasan dan/atau Pengancaman Melalui Internet Dengan adanya media internet yang memiliki berbagai bentuk variasi program dalam berkomunikasi misalnya email, blog, friendster, dan yang saat ini sangat populer yakni facebook, dapat digunakan sebagai sarana kejahatan pemerasan dan/ atau pengancaman. Sebab di internet
45

Sutan Remi Syahdeni, Op.Cit., hal. 227.

yang

berdimensi

dunia

maya

tidaklah

dengan

mudah

dapat

mengidentifikasikan identitas para pihak-pihak yang berhubungan di media ini karena identitas di alam virtual ini sangat mudah untuk dimanipulasi. Oleh karena itu, berbeda dengan di dunia nyata yang lebih mudah melacak kebenaran identitas seseorang. Fenomena demikian maka intensitas dan variasi kejahatan berupa teror sangat mudah dilakukan dan dengan sasaran-sasaran yang potensial. Di antara teror-teror tersebut adalah berupa pengancaman dan/atau pemerasan. Oleh karena itu hal ini perlu dikriminalisasikan. Pemerasan dan/ atau pengancaman yang dilakukan melalui media internet telah diatur oleh Pasal 27 ayat (4) yang menyatakan: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Pemerasan adalah apa yang dimaksudkan dengan black mail dalam bahasa Inggris. Sementara itu, yang dimaksud dengan pengancaman adalah menyampaikan ancaman terhadap pihak lain, ancaman harus

mengandung janji bahwa orang yang menyampaikan ancaman itu akan melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh dan sangat

mengkhawatirkan bagi orang yang menerima ancaman apabila sesuatu yang diinginkan oleh orang yang menyampaikan ancaman tersebut tidak dipenuhi oleh pihak yang menerima ancaman. Bila dihubungkan dengan

Pasal 29 UU ITE yang secara khusus mengatur mengenai ancaman kekerasan, maka pengancaman yang diatur dalam Pasal 27 ayat (4) ini adalah ancaman yang bukan berupa ancaman kekerasan. Artinya, janji pengancaman yang terkandung dalam ancamannya bukan berupa "akan melakukan kekerasan" terhadap pihak yang diancam.46 Pasal 29 UU ITE tersebut menentukan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakutnakuti yang ditujukan secara pribadi. Selanjutnya pada Pasal 29 ini

mempunyai sanksi pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45 ayat (3) setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

5. Penyebaran Berita Bohong dan Penyesatan Melalui Internet Penyebaran berita bohong dan penyesatan merupakan padanan kata yang semakna dengan penipuan. Penipuan dapat dilakukan dengan motivasi, yaitu untuk menguntungkan dirinya sendiri atau paling tidak untuk merugikan orang lain atau bahkan dilakukan untuk menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan orang lain secara sekaligus. Dengan motivasi-motivasi tersebut, maka penyebaran berita bohong dan penyesatan dapat dikategorikan sebagai penipuan.

46

Sutan Remi Syahdeni, Op.Cit., hal. 234.

Pelaku penyebar berita bohong melalui media internet dapat dikenakan Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik Sanksi pidana bagi pelaku penyebar berita bohong diatur dalam Pasal 45 ayat (2) yang menyatakan bahwa: Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

6. Profokasi Melalui Internet Indonesia sebagai negara yang plural dan memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika menunjukkan hakikat dirinya kaya akan perbedaan baik itu suku, agama, ras maupun antar golongan penduduk. Kondisi demikian memiliki hal yang positif jika tercipta kerukanan antar kelompok namun akan menimbulkan kerusuhan jika terdapat permusuhan. Hal ini menjadi hal yang bersifat sensitif keberadaannya dan harus dijaga kerukunan antarpihak-pihak yang merasa mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lain. Untuk menghindari terjadinya perpecahan dan permusuhan antar golongan atau kelompok anak bangsa tersebut wajib dicegah sedini mungkin. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan pihak-pihak yang

menimbulkan profokasi kebencian dan permusuhan tersebut perlu ditanggulangi dengan hukum positif yaitu melalui upaya hukum pidana. Namun hal ini harus diberikan aturan beserta batasan-batasan tindakan yang dikriminalkan tersebut dengan jelas dan tidak multi tafsir (sebagaimana pasal karet). Tindakan-tindakan profokasi semakin sering terjadi jika

pemerintah tidak peka tehadap gejala sosial kemasyarakatan yang ada di lapangan. Sebagaimana penjarahan terhadap etnis Tiong Hoa pada meletusnya era reformasi 1998 lalu, di mana masih menyisakan kepedihan yang mendalam bagi para korban. Dengan terbukanya akses informasi dan fasilitas-fasiliatas penyebaran informasi di internet, maka pemerintah merasa perlu mengkriminalisasikan perbuatan profokasi terhadap SARA di dunia maya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, yaitu: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau

permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pasal ini mempunyai sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE, yang menyatakan: Setiap orang yang memenuhi unsur sebagahnana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

7. Hacking Salah satu bentuk kejahatan elektronik yang sering ditemukan adalah hacking atau cracking. Kejahatan ini dapat dilakukan dari dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, semua tindakan yang dapat merugikan kepentingan Indonesia atau kepentingan orang yang dilindungi Indonesia, baik atas tindakan yang dilakukan dengan cara menggunakan atau mengakses komputer dan sistem elektroniklainnya, baik yang dimiliki secara privat atau yang dimiliki atau yang dilindungi oleh pemerintah, secara tanpa izin atau tanpa hak. Tujuannya adalah memperoleh, mengubah, merusak atau menghilangkan informasi demi keuntungannya. Oleh karena itu, hacking merupakan salah sum yang bersifat negatif. Meskipun pada awalnya memlllki tujuan mulia, yaitu untuk memperbaiki sistem keamanan yang telah dibangun dan memperkuatnya, tetapi dalam perkembangannya hacking digunakan untuk keperluankeperluan lain yang bersifat merugikan. Hal ini tidak lepas dan penggunaan internet yang semakin meluas sehingga penyalahgunaan kemampuan hacking juga mengikuti luasnya pemanfaatan internet. Terdapat beberapa tahap hacking yang dapat dikonstruksikan sebagai kejahatan. Tahap-tahp hacking seperti yang dimaksud adalah:47 a. Mengumpulkan dan mempelajari informasi yang ada mengenai sistem operasi komputer atau jaringan komputer yang dipakai pada target sasaran.

47

Agus Raharjo, Op.Cit., hal. 174-175.

b. Menyusup atau mengakses jaringan komputer target sasaran. c. Menjelajahi sistem komputer (dan mencari akses yang lebih tinggi). d. Mernbuat backdoor dan menghilangkan jejak. Tahap kedua sampai keempat merupakan kejahatan, hal ini disebabkan beberapa hal, yaitu: 48 a. Memasuki ruang privat pada situs orang lain bukanlah perbuatan terpuji. Sebuah situs dalam proses komunikasi dengan pihak lain

(pihak yang mengakses) sudah menyediakan tempat publik untuk itu. Bagaimana ruang publik itu dikelola dan disajikan, merupakan urusan pengelola situs. Pihak pengakses dapat memberikan saran alaupun kritik terhadap apa yang disajikan itu pada tempat atau alamat yang disediakan oleh pengelola situs. Mengganggu privasi orang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi orang lain sehingga menyusup, apalagi dilakukan secara diam-diam betul-betul merupakan tindakan yang tidak didasarkan pada moral yang baik. Jika situs yang disusupi itu adalah milik sebuah instansi pemerintah yang vital seperti militer yang menyimpan data-data penting atau rahasia bahkan sangat rahasia mengenai negara, maka masuk atau menyusup ke dalam situs itu tanpa izin merupakan tindakan mata-mata. Dalam konstruksi hukum pidana, tindakan menyusup ini dikategorikan sebagai tindakan memata-matai. b. Menjelajahi daerah atau ruang milik orang lain tanpa izin merupakan kejahatan karena mengganggu privasi pemilik daerah itu. Jika

48

Agus Raharjo, Op.Cit., hal. 183-184.

penjelajahan itu dilakukan dan disertai dangan tindakan destruktif, maka tindakan tersebut dalam konstruksi hukum pidana sudah merupakan tindak pidana, meskipun kejadian itu membawa akibat dalam bidang publik di dunia maya, tetapi kerugian yang timbul dirasakan oleh orang-orang yang ada di dunia maya sudah dapat diperhitungkan. c. Meninggalkan tempat yang dimaksud apalagi disertai dengan tindakan menghapus logfile atau data-data penting lain dalam usaha menghilangkan jejak menunjukkan tindakan yang dilakukan cracker

merupakan tindakan tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Tidak ada penjahat yang menyatakan dirinya bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Secara etis tindakan tidak bertanggung jawab ini bertentangan dengan tuntutan moral yang menekankan kejujuran dan pertanggungjawaban. Dikeluarkannya UU ITE, maka perbuatan hacking ini dapat diatur dalam Pasal 30 yang menentukan: Ayat (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Ayat (2)

Ayat (3)

Adapun sanksi yang dikenakan dari perbuatan hacking ini diatur dalam Pasal 46 UU ITE yang menyatakan: (1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Melihat konteks Pasal 30 mulai dari ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dapat dikategorikan jenis hacking yang dilarang oleh undang-undang ITE di antaranya:49 a. Memasuki atau mengakses komputer dan/atau Sistem Elektronik milik orang lain. b. Mengakses komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. c. Mengakses komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. 8. Intersepsi atau Penyadapan Perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan dalam undangundang ini pada dasarnya adalah perluasan dari perbuatan-perbuatan
49

Budi Suhariyono, Op.Cit., hal.134-135.

pidana di dalam KUHP yang diatur secara mendalam terkait dengan perluasannya dalam dunia cyber. Hanya ada perluasan arti dalam hal sistem elektronik dijadikan sabagai barang berharga sebagaimana barang berwujud yang diatur dalam KUHP. Sedangkan mengenai perbuatanperbuatan pokoknya pada dasarnya adalah sama misalnya: pencurian, pemfitnahan, perusakan, pengancaman, dan lain-lain. Selain perbuatan-perbuatan sebagaimana dalam KUHP padanannya dengan perluasan dalam dunia cyber, juga diatur tindak pidana baru, yaitu intersepsi. Intersepsi adalah penyadapan informasi elektronik dan dokumen elektronik. Intersepsi ini merupakan hal baru dalam hukum pidana konvensional, selain dalam undang-undang ini, intersepsi juga diatur dalam beberapa undang-undang lain di antaranya: a. UU No. 15 Tahun 2003: Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Pasal 27 Jo. Pasal 31 ayat (2) yang ic menentukan penyadapan hanya dapat dilakukan atas ai perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk Jangka Waktu 1 tahun. b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dalam Pasal 66 ayat (2) Kepolisian Negara berwenang untuk menyadap melalui telepon atau alat komunikasi lain, untuk jangka waktu paling lama 30 hari. c. UU No. 05 Tahun 1997 tentang Psikotropika dalam Pasal 55 dan penjelasannya Jo KUHAP yang mengatur penyadapan pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi elektronik lainnya, hanya

dapat dilakukan atas yang ditunjuk.

Perintah Tertulis

KAPOLRI

atau

pejabat

d. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 30 dan pada pasal penjelasan harus ada izin Ketua Pengadilan Negeri. e. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 26.a. f. UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 42 ayat (2). g. UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi dalam hal penyelidikan tindak pidana korupsi KPK dapat melakukan intersepsi sebagai kewenangan khusus bagi lembaga ini. Namun, dalam hal intersepsi dijadikan tindak pidana baru diatur dalam UU ITE. Dalam hal ini yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam,

membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. Hal ini dijelaskan sebagaimana pada Pasal 31 UU ITE yang menjelaskan bahwa: (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain. (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan, di dalam suatu komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransrnisikan. (3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undangundang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sanksi pidana dari Pasal 31 di atas datur dalam Pasal 47, yaitu yang menentukan bahwa: Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Dalam UU-ITE diatur secara tegas larangan intersepsi melawan hukum (Pasal 31) yang disertai ancaman hukuman penjara 10 tahun dan denda 800 Juta. Kalaupun ada pengecualian, terhadap tindakan intersepsi UU ITE mensyaratkan harus memerhatikan KUHAP dan secara spesifik mensyaratkan lagi harus ada izin dari KPN (Pasal. 43 ayat (2)). Adapun mengenai pengaturan teknis dalam melakukan intersepsi sebagai kewenangan penegak hukum diatur dalam peraturan pemerintah.

9. Defacing Defacing merupakan kegiatan mengubah halaman situs/website pihak lain, seperti yang terjadi pada situs Menkominfo dan Partai Golkar serta BI beberapa waktu yang lalu dan situs KPU saat pemilu 2004. Tindakan deface ada yang semata-mata iseng, unjuk kebolehan, pamer kemampuan membuat program, tapi ada juga yang jahat, untuk mencuri data dan dijual kepada pihak lain. Namun, secara umum biasanya pelaku deface mempunyai tujuan untuk mencari publikasi dan popularitas, sehingga semua hal yang ingin disampaikannya dapat diketahui publik. UU ITE mengantisipasi perbuatan perusakan melalui cara seperti ini dengan merumuskannya dalam Pasal 32 yang menentukan: (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik. (2) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3) ditentukan oleh Pasal 48 ayat (1) dan ayat (3), yang menentukan: (1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

10. Pencurian Melalui Internet Delik tentang pencurian dalam dunia maya termasuk salah satu delik yang paling populer diberitakan media massa. Pencurian di sini tidak diartikan secara konvensional yakni tentang perbuatan mengambil barang secara nyata. Dalam kasus pencurian di internet, barang yang dicuri yakni berupa data digital baik yang berisikan data transaksi keuangan milik orang lain maupun data yang menyangkut soft ware (program) ataupun data yang menyangkut hal-hal yang bersifat rahasia. Di dalam UU ITE pengaturan mengenai pencurian diatur dalam Pasal 32 ayat (2), kaidah yang mendasar adalah sama dengan yang diatur dalam pasal pencurian dalam KUHP, yaitu dengan adanya unsur memindahkan suatu barang dari tempat asalnya kepada tempat lain dengan tidak memiliki hak atau izin dari pemiliknya. Barang di sini adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik. Pasal 32 ayat (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan 3 hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik orang lain yang tidak berhak. Dalam hal sanksi pidana terhadap Pasal 32 ayat 2 ditentukan oleh Pasal 48 ayat (2) yang menentukan: Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana; penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Informasi dalam komputer sering kali jauh lebih berharga dari aset peranti keras itu sendirL Bisa dibayangkan betapa besar kerugian yang diderita suatu instansi atau perusahaan apabila terjadi pencurian informasi penting oleh oknum tertentu. Jenis informasi berharga ini meliputi data finansial, kartu kredit, informasi perbankan, data pribadi, bahkan juga rahasia negara, formula obat, temuan sains dan banyak lagi. Konsep pencurian data ini mencakup menggandakan data atau mengunduh informasi yang bukan menjadi haknya.50

C. Sanksi Pidana Cybercrime dalam UU ITE Seperti telah diketahui, kebijakan legislasi hampir selalu menggunakan hukum pidana untuk menakut-nakuti atau mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul dari berbagai bidang. Fenomena semacam ini memberikan kesan seolah-olah dirasakan kurang sempurna atau hambar bila suatu produk perundang-undangan tidak ada ketentuan pidananya.51 Oleh karena itu, sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional, karena jika tidak, akan menimbulkan krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of over criminalization) dan krisis pelampauan batas dari hukum pidana the crisis ofovenech of the criminal law. Pentingnya pendekatan rasional ini telah banyak dikemukakan oleh para ahli hokum pidana dan

Merry Magdalena dan Masigrantoro Roes Setyadi, Cyberlaw Tidak Perlu Takut, (Yogyakarta: Andi, 2007), hal. 127. 51 Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal.39.

50

kriminologi, antara lain: G.P. Hoefnagels, Karl O. Cristiansen, J Andenaes, Me Grath W. X, dan W. Clifford.52 Sanksi pidana yang ditetapkan dalam undang-undang ini ditetapkan sanksi yang berupa pidana penjara dan pidana denda. Kedua macam pidana tersebut ditetapkan secara maksimum khusus saja. Hal ini perlu mendapat perhatian karena terdapat kelemahan jika hanya diberlakukan maksimum khusus saja tanpa minimum khusus, Karena dalam praktiknya nanti dimungkinkan terjadi disparitas. Oleh karenanya sebaiknya sanksi minimum khusus perlu diakumulasikan juga mengingat kejahatan cybercrime ini bukanlah kejahatan biasa yang menimbulkan kerugian yang tidak sederhana. Selain itu, dengan penetapan dua macam pidana tadi tanpa ada tambahan variasi berupa pidana lain, misalnya saja pidana tindakan bagi korporasi dan juga tidak kalah penting sangat perlu diatur mengenai pidana ganti kerugian bagi korbannya melalui sarana hukum pidana. Karena sebagaimana perkembangan dalam hukum ekonomi telah dianut ganti kerugian bagi korban dalam hal pidana sebagaimana dalam undang-undang perlindungan konsumen maupun undang-undang yang mengatur tindak pidana ekonomi lainnya. Kedudukan korban perlu diperhatikan mengingat jika kerugian yang ditimbuikan akibat kejahatan tidak sedikit. Pada kenyataan yang ada, tidak terlihat secara nyata korban dari kejahatan cyber dibandingkan korban dari kejahatan konvensional, tetapi selain korban dari kejahatan cyber lebih besar jumlahnya, juga dampak yang

52

Ibid, hal.40.

ditimbuikan, bila diperhatikan justru lebih berbahaya dari kejahatan konvensional. Berarti kondisi tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja, khususnya dalam praktik penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut. Semua kejahatan pasti menimbulkan korban, suatu perbuatan tertentu dlkatakanjahat, karena seseorangdianggap telah menjadi korban, termasuk tentunya korban kejahatan cyber yang meliputi orang-perorangan, kelompok orang atau \ badan (entities) yang telah menderita atau korban akibat dart kegiatan ilegal. Kerugian itu bisa secara fisik, psikologis,*] atau ekonomi. Selama ini di Indonesia dikenal bahwa ganti kerugian termasuk di dalam bidang hukum perdata. Sejauh ini perkembangan hukum pidana di luar Indonesia, umpamanya Belanda, ganti kerugian adalah salah satu bentuk pidana. Akhrirnya, Indonesia pun melakukan hal serupa terhadap kejahatan bisnis di mana ganti kerugian adalah salah satu yang dapat dijatuhkan sebagai jenis pidana baru. Ganti kerugian ini dapat berupa ganti kerugian kepada korban, dapat pula mengganti kerusakan yang telah ditimbulkan. Bila timbulnya pertanyaan, apakah semua korban dalam kejahatan bisnis mendapat perhatian atau kepedulian dalam bentuk perlindungan hukum. Tampaknya apabila dalam hal kejahatan cyber juga digunakan sarana berupa ganti kerugian sebagaimana dalam hal kejahatan bisnis, maka penanggulangan kejahatan cyber akan lebih efektif. Dikatakan lebih efektif karena korban tidak akan segan-segan untuk melaporkan kepada penegak hukum, selain dapat memberi jera pelaku juga memberi rasa keadilan bagi

korban. Bukankah hak korban itu sendiri, pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep hak asasi manusia. Bahkan prinsip hukum acara pidana dalam penegakan hukum, menerapkan prinsip pemberian bantuan hukum sebagai salah satu hak asasi manusia. Mengenai untuk cybercrime ganti perlu kerugian dimasukkan sebagai dalam bentuk sanksi pidana perkembangan

diakomodasi yaitu

penanggulangan

kriminalitas,

adanya keseimbangan perlindungan

antara pelaku dan korban. Halj ini sangat penting karena apabila seperangkat sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan hasil pilihan yang kurangi tepat atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kriminalitas, maka adalah wajar apabila penanggulangan perkembangan kriminalitas agak terganggu. Hubungan antara gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan perkembangan kriminalitas di satu pihak dengan keterbatasan jumlah sanksi pidana yang tersedia bagi hakim dan jaksa di lain pihak, merupakan salah satu masalah di bidang kebijakan pemidanaan (centeringpolity) yang cukup sulit.53

D. Alat Bukti Dalam UU ITE Pengaturan alat bukti elektronik dalam UU ITE diiatur dalam Bab III tentang Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, serta Pasal 44 UU ITE. Pasal 5 Ayat (1) UUU ITE mengatur secara tegas bahwa informasi atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah. Lebih lanjut Pasal 5 Ayat (2) UU ITE juga menegaskan bahwa informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik
53

dan/atau hasil

Ibid, hal.99.

cetaknya sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti yang digunakan hakim untuk menjatuhkan putusan pada perkara pidana, dapat diperluas dari ketentuan alat bukti sebagaimana telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu bahwa alat bukti yang sah adalah : 1. keterangan saksi; 2. keterangan ahli; 3. surat; 4. petunjuk; 5. keterangan terdakwa. Ketentuan mengenai alat bukti di atas merupakan ketentuan hukum acara pidana yang bersifat memaksa (dwingen recht), artinya semua jenis alat bukti yang telah diatur dalam pasal tersebut tidak dapat ditambah atau dikurangi.54 Secara umum terdapat beberapa teori mengenai sistem pembuktian yakni: 55 1. Conviction in time theory, yaitu sistem pembuktian yang menyatakan bahwa salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim ini dapat diperoleh melalui alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan.
54

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 2006), hal. 23. 55 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal.292.

2. Conviction Raisonee Theory, merupakan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim untuk menentukan salah tidaknya terdakwa, namun dalam sistem ini keyakinan hakim dibatasi dan harus didasari dengan alasan-alasan yang jelas dan dapat diterima yang wajib diuraikan dalam putusannya. 3. Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif, merupakan pembuktian yang berlatar belakang sistem pembuktian berdasarkan keyakinan atau Conviction in time theory. Pembuktian pada sistem ini didasari dengan alat-alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang-undang disertai keyakinan hakim dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. 4. Teori Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke stelsel), merupakan sistem pembuktian yang menggunakan teori perpaduan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau Conviction in time theory. Rumusan teori ini adalah bahwa salah tidaknya seorang

terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sementara itu, sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative, karena merupakan perpaduan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau Conviction in time theory. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP yang

menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berbicara mengenai alat bukti petunjuk, tidak terlepas dari ketentuan Pasal 188 (2) KUHAP yang membatasi kewenangan hakim dalam memperoleh alat bukti petunjuk, yang secara limitatif hanya dapat diperoleh dari:56 1. Keterangan saksi; 2. Surat; 3. Keterangan terdakwa. Berdasarkan hal di atas, alat bukti petunjuk hanya dapat diambil dari ketiga alat bukti di atas. Pada umumnya, alat bukti petunjuk baru diperlukan apabila alat bukti lainnya belum mencukupi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP di atas. Dengan demikian, alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang bergantung pada alat bukti lainnya yakni alat bukti saksi, surat dan keterangan terdakwa. Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lain, namun hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga hakim bebas untuk menilai dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian.57 Selain itu, petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri membuktikan kesalahan

56 57

Ibid., hal 294. Ibid., hal. 296.

terdakwa, karena hakim tetap terikat pada batas minimum pembuktian sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP. Informasi elektronik atau dokumen elektronik dapat dianggap sebagai petunjuk, yang merupakan perluasan dari alat bukti surat sebagai bahan untuk dijadikan petunjuk bagi hakim dalam membuktikan suatu perkara termasuk kasus penyebaran virus komputer melalui pengiriman e-mail yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Tindak pidana penyebaran virus komputer melalui pengiriman e-mail (cyber spamming) dimungkinkan melibatkan lebih dari satu sistem hukum atau menyangkut sistem hukum beberapa negara, sehingga dapat dikategorikan sebagai kejahatan transnasional. Pada praktiknya terdapat banyak faktor yang menyebabkan adanya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan, baik pelakunya, korbannya, tempat terjadinya kejahatan atau perpaduan unsur-unsur tersebut. Ada beberapa dimensi yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan bahwa suatu kejahatan itu merupakan kejahatan transnasional, yakni:58 1. Tempat terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara yang bersangkutan tetapi menimbulkan akibat dalam wilayahnya, dalam hal ini ada kepentingan satu negara atau lebih yang terkait dengan kejahatan itu. 2. Korban suatu kejahatan nasional tidak semata-mata dalam wilayah negara itu sendiri tetapi juga terdapat di wilayah negara lain atau di suatu tempat di luar wilayah negara.

58)

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Yrama Widia, 2009), hal. 38.

3. Kejahatan yang terjadi dalam wilayah suatu negara tetapi pelakunya adalah negara yang bukan warganegaranya. Selain itu, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan transnasional, yaitu:59) 1. Tempat terjadinya kejahatan 2. Kewarganegaraan pelaku dan atau korbannya 3. Korban yang berupa harta benda bergerak dan atau benda tidak bergerak milik pihak asing. 4. Perpaduan antara butir 1,2 dan 3 5. Tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum umat manusia

59)

Ibid.

BAB III DATA HASIL PENELITIAN

A. Kasus Posisi

Kasus tindak pidana teknologi informasi (cyber crime) dengan terdakwa Andi Kurniawan alias Fandiekun dilakukan pada hari Rabu tanggal 11 Mei 2011 sekitar pukul 02.28 WTB sampai dengan pukul 09.49 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu tertentu dalam Tahun 2011 bertempat di Jl. Madukoro No. 48 RT.001/RW.026, Pringgolayan, Kelurahan Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman atau setidak-tidaknya pada suatu temapat yang masih termasuk daerah Hukum Pengadiian Negeri Sleman yang berwenang memeriksa dan mengadili telah dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui atau menjebol sistem pengamanan yang dilakukan Terdakwa dengan cara-cara dan rangkaian perbuatan antara lain sebagai berikut: Terdakwa yang tercatat sebagai salah satu mahasiswa di STIMIK AMIKOM Yogyakarta Jurusan Teknik Informatika yang bertempat tinggal di rumah kos Saksi Helmi Subagyo yang memiliki jaringan telepon rumah

nomor 0274-487390, kemudian terdakwa dengan seijin Saksi Helmi Subagyo dengan nomor telepon rumah kos tersebut menambah dengan telekomunikasi internet tersebut ditanggung sepenuhnya oleh terdakwa temannya yang tinggal di rumah kos tersebut. Untuk komunikasi internet tersebut terdakwa menggunakan perangkat komputer dengan CPU warna putih hitam hard disk Western Digital WD 5001AALS caviar black S/N:WMATV5956309 kapasitas 500 GB dengan IP address 125.163.230.137 dan perangkat yang terhubung dengan internet tersebut diletakkan di kamar kos Terdakwa; Sebagaimana biasa terdakwa menggunakan komputer yang

terhubung dengan internet tersebut untuk menyelesaikan tugas kuliah, selain itu juga untuk menyelesaikan pekerjaan sampingan sebagai web programming berdasarkan pesanan atau order dari pemesan dengan imbalan sejumlah uang. Selain penggunaan tersebut Terdakwa pada hari Rabu tanggal 11 Mei 2011 sekira pukul 02.28 WIB sampai dengan pukul 09.49 WIB Terdakwa tanpa ijin dari pejabat Kepolisian Negara RI atau pejabat lain yang berwenang memasuki website Kepolisian Negara RI yaitu www.polri.go.id dan setelah masuk kedalam laman tersebut terdakwa mengakses lebih dalam kepada informasi terbatas/terlarang untuk publik atau umum dimana khalayak umum atau publik tidak boleh mengakses dan dengan menggunakan software program HAVIJ-Advance Structured Query
Language (SQL) Injection Tool versi 1.14 free. Terdakwa melakukan

langkah-langkah

antara

lain

melakukan

pengumpulan

informasi

(information gathering) dan enumerasi database (pengumpulan informasi secara lebih mendetail dan mendalam) dan setelah terdakwa menemukan celah keamanan yaitu melalui link foto Data Operating Organization (DPO) langkah selanjutnya Terdakwa meiakukan scanning dengan menggunakan automated SQL scanning tool dan Terdakwa melakukan enumerasi database untuk mengumpulkan informasi mengenai tabel dan kolom yang ada pada database. Dari data dan informasi kolom tersebut pelaku melakukan ekstraksi data mencakup data user id dan password. Akibat perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan jebolnya atau diterobosnya sistem keamanan website Polri www.polri.go.id dan teraksesnya dalam Webserver www.polri.go.id serta hilangnya data-data penting mengenai Polri yang berasal Kepolisian daerah dan Kepolisian Resor di seluruh Indonesia. Akibat perbuatannya, terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif subsidaritas. Pada dakwaan pertama primer, perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 46 ayat (3) jo Pasal 30 ayat (3) UU ITE. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan dengan ancaman pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Selanjutnya dalam dakwaan subsidair, perbuatan terdakwa tersebut

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 46 ayat (2) jo Pasal 30 ayat (2) UU ITE. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). Kemudian dakwaan lebih subsidair perbuatan terdakwa tersebut

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 46 ayat (1) jo Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pada dakwaan kedua, perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 jo Pasal 22 huruf b Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau akses ke jasa telekomunikasi; dan atau akses ke jaringan telekomunikasi khusus. Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pada dakwaan ketiga, perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 167 Ayat (1). Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lema sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Kemudian berdasarkan keterangan saksi-saksi dan beberapa barang

bukti dan keterangan ahli serta pertimbangan majelis hakim yang menyidang perkara tindak pidana teknologi informasi (cyber crime) terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif subsidaritas, namun dalam pertimbangannya Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa bersalah melanggar dalam dakwaan kesatu primer Pasal 46 Ayat (3) jo Pasal 30 ayat (3) UU ITE yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Setiap orang Pada kasus ini yang dimaksud setiap orang adalah siapa saja sebagai subyek hukum sebagai pelaku tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yang mampu bertanggung jawab, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa Andi Kurniawan alias Fandiekun ternyata terdakwa sebagai pelaku tindak pidana yang didakwakan, dan terdakwa adalah orang yang mampu bertanggung jawab, sehingga dengan demikian unsur setiap orang telah terpenuhi.

2. Dengan sengaja Pada kasus ini yang dimaksud dengan sengaja adalah suatu perbuatan yang dilakukan memang dimaksudkan (diniatkan, dikehendaki) memang dengan niat (maksud) lebih dahulu dan yang dimaksud dengan tanpa hak atau melawan hukum yaitu bahwa sesuatu perbuatan dilakukan oleh orang yang tidak berhak untuk itu serta dilarang oleh peraturan perundang-undangan, kecuali ada izin dari pihak yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan fakta hukum di persidangan, keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa maupun barang bukti, menyatakan bahwa terdakwa Andi Kurniawan alias Fandiekun pada hari Rabu tanggal 11 Mei 2011 sekira pukul 02.28 WIB sampai dengan pukul 09.49 WIB terdakwa tanpa ijin dari pejabat Kepolisian Negara RI atau pejabat lain yang berwenang memasuki website Kepolisian Negara RI yaitu www.polri.go.id dan setelah masuk kedalam laman tersebut Terdakwa mengakses lebih dalam kepada informasi terbatas/terlarang untuk publik atau umum dimana khalayak umum atau publik tidak boleh mengakses dan dengan menggunakan software program HAVIJ-Advance SQL Injection Tool versi 1.14 free, terdakwa melakukan langkah-langkah antara lain melakukan pengumpulan informasi (information gathering) dan enumerasi database (pengumpulan informasi secara lebih mendetail dan mendalam) dan setelah Terdakwa. menemukan celah keamanan yaitu melalui link foto

Data Operating Organization (DPO) langkah selanjutnya terdakwa

melakukan scanning dengan menggunakan automated SQL scanning tool dan terdakwa melakukan enumerasi database untuk mengumpulkan informasi mengenai table dan kojom yang ada pada database. Dari data dan informasi kolom tersebut pelaku meiakukan ekstraksi data mencakup data user id dan password. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis Hakim berbpendapat bahw unsur dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum sebagaimana yang di dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut di atas telah terpenuhi. 3. Mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui atau menjebol sistem pengamanan. Pada kasus ini yang dimaksud dengan mengakses komputer dan/atau sistem elektronik adalah kegiatan melakukan interaksi yang berdiri sendiri, maupun yang berada dalam jaringan menggunakan alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fiangsi logika, aritmatika, dan penyimpanan dan/atau serangkaian perangkat, prosedur elektronik yang berfungsi

mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Selanjutnya yang dimaksud milik orang lain adalah kepunyaan orang lain, dalam hal ini Web Site Polri www.polri.go.id adalah kepunyaan

Polri bukan kepunyaan Terdakwa. Menurut W.J.S Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang dimaksud melanggar adalah menumbuk, melanda, menubruk; menerobos adalah menembus,

menubruk, mendobrak (barisan sebagainya), melantas terus; menjebol adalah merusakkan (pintu dan sebagainya), menembus (barisan

sebagainya). Kemudian yang dimaksud dengan sistem pengamanan dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (3) UU ITE adalah sistem yang membatasi akses komputer atau melarang akses ke dalam komputer dengan berdasarkan kategorisasi atau klasifikasi pengguna beserta tingkatan kewenangan yang ditentukan. Berdasarkan fakta hukum di persidangan, keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa maupun barang bukti, bahwa terdakwa Andi Kurniawan alias Fandiekun telah melakukan tindakan tanpa ijin dari pejabat Kepolisian Negara RI atau pejabat lain yang berwenang memasuki website Kepolisian Negara RI yaitu www.polri.co.id dan setelah masuk kedalam laman tersebut terdakwa mengakses lebih dalam kepada informasi terbatas/terlarang untuk publik atau umum dimana khalayak umum atau publik tidak boleh mengakses dan dengan menggunakan software program HAVU-Advanc, Injection Toolfersi 1.14 free, Terdakwa melakukan langkah-langkah antard melakukan pengumpulan informant (information gathering) dan enumerasi database (pengumpulan informasi secara lebih mendetail dan mendalam) dan setelah Terdakwa menemukan

celah keamanan yaitu melalui link foto DPO langkah selanjutnya Terdakwa melakukan scanning dengan menggunakan automated sql scanning tool dan Terdakwa melakukan enumerasi database untuk mengumpulkan informasi mengenai table dan kolom yang ada pada database. Dari data dan informasi kolom tersebut pelaku melakukan ekstraksi data mencakup data user id dan password. Bahwa akibat perbuatan Terdakwa tersebut telah mengakibatkan jebolnya atau diterobosnya sistem keamanan website Polri www.polri.go.id dan teraksesnya dalam web server www.poiri.go.id serta hilangnya data - data penting mengenai Polri yang berasal Kepolisian Daerah dan Kepolisian Resor di seluruh Indonesia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka menurut Majelis Hakim maka unsur mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, menjebol sistem pengamanan dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut di atas telah terpenuhi.

B. Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 97/PID.SUS/2011/PN.SLMN Terpenuhinya semua unsur dalam dakwaan kesatu primer Jaksa Penuntut Umum Pasal 46 ayat (3) jo Pasal 30 ayat (3) UU ITE, maka secara sah dan meyakinkan terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Berdasarkan proses pemeriksaan dipersidangan Majelis Hakim tidak memperoleh fakta hukum

yang dapat dijadikan alasan pemaaf atas diri terdakwa ataupun alasan pembenar atas perbuatan terdakwa. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum, oleh karena itu terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah maka kepada terdakwa harus dijatuhkan hukuman. Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, telah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan sebagai berikut: 1. Hal-hal yang memberatkan: a. Perbuatan terdakwa dilakukan terhadap institusi pemerintah yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia. b. Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut, Web Site Polri menjadi mudah dimasuki oleh orang lain yang bertujuan untuk merusak Web Site tersebut. 2. Hal-hal yang meringankan: a. Perbuatan terdakwa hanya masuk tanpa ijin kedalam bagian dalam Web Site POLRI, tetapi tidak merusak atau mengambil data dari Web Site POLR1 tersebut. b. Terdakwa masih berstatus Mahasiswa di STIM1K AMIKOM Yogyakarta;

c. Terdakwa belum pernah dihukum. d. Terdakwa mengaku bersalah, menyesali perbuatannya dan bejanji tidak akan mengulanginya. e. Terdakwa bersikap sopan danberterus terang dalam persidangan. Berdasarkan hai-hal yang telah dipertimbangkan tersebut di atas, maka mengenai pidana yang akan dijatuhkan Majelis Hakim memandang bahwa pidana tersebut bukan sebagai balas dendam terhadap terdakwa akan tetapi sebagai pelajaran/peringatan agar terdakwa tidak mengulangi perbuatannya, sehingga pidana tersebut di bawah ini dipandang telah sesuai dan setitnpal dengan perbuatan terdakwa, oleh karenanya dipandang tepat dan adil. Berdasarkan pertimabangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman memutuskan dan mengadili: 1. Menyatakan terdakwa Andi Kurniawan alias Fandiekun terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun dengan melanggar9 menerobos, menjebol sistem pengamanan. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dipotong selama terdakwa dalam tahanan dan denda sebesar Rp. 2.000.000,00 (dua juta Rupiah) dengan ketentuan apabila tersebut tidak dapat dibayar, maka terdakwa harus menjalankan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. 3. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan.

4. Menetapkan barang bukti seperti KTP, Kartu Mahasiswa, kartu formulir berlangganan Telkom Spedy, bukti pembayaran jasa telekomunikasi, CPU dirampas untuk dimusnahkan dan hardisk milik Kapolri dikembalikan kepada pihak Polri. 5. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah

Rp.2000,00 (dua ribu Rupiah).

BAB IV ANALISIS

A. Analisis Tentang Alasan Mengakses Masuk Tanpa Ijin Dari Situs Polri Sebagai Dasar Peringan Pidana pada Putusan Nomor

97/PID.SUS/2011/PN.SLMN Hukum pidana telah menetukan beberapa keadaan yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan memberikan keringanan atau pemberatan atas penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tersebut. Banyak aspek termuat dalam terjadinya suatu tindak pidana. Dalam mencari hubungan antara tindakan dengan pelaku untuk manemukan unsur kesalahan pelaku misalnya, aspek kondisi psikis pelaku pada saat dilakukanya tindakan menentukan layak atau tidaknya pelaku dihukum. Begitu juga ketika bicara tentang dasar peniadaan pidana bagi pelaku, kondisi pisik, psikis, waktu dan melingkupi pelaku pada saat kejadian mempengaruhi kepatutan menjatuhkan penjatuhan hukuman kepada pelaku atas tindakan yang dilakukannya. Pada dasarnya, dalam sistem hukum pidana di Indonesia hakimlah yang paling berwenang untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya bagi pelaku dengan berbagai pertimbanganya. Namun demikian, hukum pidana memberikan landasan pengetahuan bagi hakim dalam membrikan

pertimbanganya itu untuk dapat menjatuhkan putusan yang tepat dan adil. Terkait dengan hal ini, dalam hukum pidana dikenal adanya alasan-alasan yang menjadi dasar pemberat maupun dasar peringan pidana. Dasar pemberat dan peringan pidana ini tedapat baik di dalam maupun diluar KUHP. Secara umum, ketentuan mengenai dasar peringan pidana ini dapat ditemukan dalam ketentuan di KUHP dalam tiga bentuk, yaitu keadaan belum dewasa (Pasal 47), percobaan (Pasal 53), dan membantu melakukan (Pasal 57). Namun dengan adanya UU No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, konsep dasar peringan yang terkandung dalam Pasal 47 KUHP tersebut ditarik keluar dan dimasukkan dalam ketentuan Undang-Undang Peradilan Anak tersebut. Dengan demikian, hanya percobaan melakukan tindak pidana dan membantu melakukan tindak pidana saja yang dapat dijadikan dasar peringan menurut KUHP. Ketentuan Pasal 53 KUHP tentang percobaan dan Pasal 57 KUHP tentang pembantuan ini sebenarnya bukanlah dasar peringan keadaan yang dianggap sesuai untuk dijadikan alasan dikuranginya pidana terhadap pelakunya yang dianggap bersalah. Karena pada dasarnya percobaan dan pembantuan merupakan bentuk hukum yang sengaja diadakan untuk dapat menjerat pelakunya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku demi tercapanya keadilan (bagi pihak yang dirugikan yang dalam hal ini adalah negara karena yang dilanggar adalah hukum publik). Pengurangan maksimum ancaman pemidanaan pada kedua tindakan ini semata-mata karena unsur dalam tindakan-tindakan tersebut tidak lengkap.

Pengurangan maksimal ancaman pemidanaan pada tindak percobaan lebih dikarenakan pertimbangan bahwa sifat ataupun akibat yang ditimbulkan dari tindakan itu lebih ringan disbanding dengan tindak pidana lainnya yang kesemua unsur dalam deliknya telah terpenuhi. Sedangkan dalam bnatuan pengurangan maksimal ancaman pidana dilakukan lebih pada pertimbangan level keterlibatan pelaku yang lebih rendah dibanding pelaku utama dalam tindak pidana yang dilakukannya. Perbuatan mengakses ke suatu sistem jaringan tanpa ijin dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik dapat dikategorikan sebagai perbuatan tanpa wewenang masuk dengan memaksa ke dalam ruang virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Pada kasus Putusan Nomor 97/PID.SUS/2011/PN.SLMN dengan terdakwa Andi Kurniawan atau Fandiekun, hakim telah mempertimbangkan bahwa hal-hal yang meringankan terdakwa salah satunya yaitu perbuatan terdakwa hanya masuk tanpa ijin ke dalam bagian dalam web site Polri, tetapi tidak merusak atau mengambil data dari Web Site Polri tersebut. Apabila melihat pertimbangan hakim tersebut, jelas adanya kontradiksi dengan perbuatan terdakwa yang jelas-jelas telah melakukan tindakan atau perbuatan pembobolan website Polri yang berakibat rusaknya sistem komputer dan website serta hilangnya data-data penting milik Polri. Tindakan terdakwa jelas dan nyata telah mengakses komputer atau sistem elektronik tanpa hak. Artinya bahwa kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik atau sistem komputer baik yang berdiri sendiri, maupun yang berada dalam

jaringan dengan cara melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan adalah kegiatan perusakan terhadap sistem elektronik atau sistem elektronik tersebut secara sengaja dan tidak sah untuk merusak atau mengganggu sistem elektronik dan atau sistem komputer. Tindakan tersebut dalam istilah hukum cyber disebut illegal accsess yang terdapat dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diatur dalam Pasal 30 yang menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Perbuatan terdakwa dalam perspektif UU ITE telah memenuhi unsurunsur Pasal 30 tentang illegal accsess, dapat juga dikenakan Pasal 32 tentang data interference ataupun Pasal 33 tentang system interference. Pada Pasal 30 UU ITE yang ditekankan adalah perbuatan memasuki sistem elektronik orang lain secara sengaja dan tanpa hak. Pada Pasal 32 UU ITE yang ditekankan adalah perbuatan yang merusak Data Elektronik yang terdapat dalam situs www.polri.go.id. Sedangkan Pasal 33 UU ITE pada perbuatan terdakwa merusak sistem elektronik pada situs www.polri.go.id. Melihat salah satu pertimbangan hakim yang meringankan terdakwa yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa hanya masuk tanpa ijin ke dalam bagian dalam web site Polri, tetapi tidak merusak atau mengambil data dari

web site Polri tersebut, menurut pendapat penulis tidak tepat, karena berdasarkan fakta-fakta yang ada bahwa perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan keruskaan sistem pada jaringan situs Polri dan hilangnya datadata serta menjadikan tidak dapat diaksesnya situs Polri tersebut. Pada Pasal 30 ayat (3) UU ITE dengan jelas menyatakan bahwa cara apa pun dilarang untuk mengakses komputer atau sistem elektronik milik orang lain. Pada kasus ini, terdakwa jelas-jelas telah memasuki sistem jaringan komputer dan telah mengakses lebih dalam kepada informasi terbatas/ terlarang untuk publik atau umum padahal terdakwa tidak berhak atau tidak diperbolehkan mengakses meskipun hanya menggunakan software program HAVIJ-Advance SQL Injection Tool versi 1.14 free. Meskipun dalam pasal ini tidak dijelaskan mengenai mengakses milik orang lain yang sudah diizinkan dan dijadikan pemiliknya menjadi konsumsi publik ataukah milik orang lain yang menjadi wilayah privatnya, perbuatan tersebut dilarang oleh undang-undang. Menurut pendapat penulis, alasan yang tepat meringankan perbuatan terdakwa adalah karena memiliki kelebihan atau kemampuan di bidang teknologi informasi dan upaya terdakwa untuk melakukan upaya ganti rugi untuk pembuatan web site Polri dan melakukan pengembalian data-data yang telah hilang. Dalam pembelaannya terdakwa juga menyatakan telah ditawari untuk bekerja di Mabes Polri. Sebagai upaya untuk memperkuat jaringan web site Polri tersebut, terdakwa sudah selayaknya dapat diberdayakan untuk membantu melindungi jaringan komputer kepolisian.

B. Analisis Mengakses Komputer Secara Melawan Hukum (Illegal) Pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Tindak pidana akses ilegal dapat disebut sebagai akar dari tindak pidana siber terhadap kerahasiaan, integritas, ketersediaan Sistem Elektronik dan Informasi atau Dokumen Elektronik. Ketika berhasil mengakses suatu Sistem Elektronik, dari dalam sistem tersebut pelaku dapat melakukan berbagai perbuatan jahat lain, seperti mendapatkan informasi rahasia, menyalin atau memindahkan file ke dalam USB, mengirimkan data melalui email, menggunakan akun facebook seseorang untuk memprovokasi, menghapus informasi, atau bahkan mengganggu sistem yang membahayakan keamanan negara. Pada prinsipnya tindakan akses ilegal serupa dengan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 167 KUHP yaitu memasuki rumah, pekarangan, ruang tertutup dengan paksa, dan berada dalam rumah atau ruangan tertutup dan tidak segera pergi meskipun telah ada larangan atau permintaan dari yang berhak. Perbedaan yang mendasar antara tindakan akses ilegal dalam Pasal 30 UU ITE dan tindakan memasuki pekarangan atau rumah orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 167 KUHP ialah bahwa tindakan memasuki rumah, pekarangan, atau tempat tertutup merupakan tindakan fisik, artinya seseorang harus pergi dan masuk ke dalamnya. Demikian juga dengan perbuatan berada di dalam rumah atau tempat tertutup. Karena tindakan

tersebut ialah tindakan fisik maka keberadaan orang yang dimaksud dapat diketahui oleh orang yang berhak sehingga dapat memintanya keluar dari pekarangan atau rumah. Akan tetapi, tindakan akses ilegal dalam Pasal 30 UU ITE bukanlah tindakan fisik memasuki suatu ruangan; yang ada ialah perbuatan memasuki ruangan virtual; berada dalam ruang virtual. Oleh karena itu, permintaan dari yang berhak untuk keluar dari ruangan virtual menjadi tidak relevan mengingat sangat mungkin pemilik komputer atau sistem elektronik tidak mengetahui keberadaan pelaku. Kedua, ruangan yang dimaksud dalam KUHP merupakan ruangan secara fisik, sedangkan dalam UU ITE tidak ada ruangan fisik, yang ada ialah ruangan virtual. Itulah sebabnya dapat diargumentaslkan bahwa definisi rumah atau pekarangan tertutup tidak dapat diperluas untuk mencakup komputer atau sistem elektronik. Anak kunci untuk masuk ke datam rumah atau ruangan tertutup tidak dapat dipersamakan dengan kode akses untuk masuk ke dalam Komputer atau Sistem Elektronik karena pada dasarnya keduanya adalah berbeda. Seseorang dapat memanjat ke dalam rumah, tetapi hal ini tidak dimungkinkan untuk masuk ke dalam komputer. Secara umum, akses ilegal adalah tindakan yang dilakukan seseorang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses seluruh atau sebagian Sistem Komputer. Dalam hal ini yang dimaksud dengan mengakses ialah tindakan untuk memasuki seluruh atau sebagian Sistem Elektronik baik perangkat keras (hardware), komponen-komponen, data yang disimpan dalam sistem yang telah dipasang, direktori, trafik dan data konten yang terkait (content-related

data). Pengaturan illegal access mencakup pelanggaran-pelanggaran terhadap keamanan sistem dan data komputer (integritas, ketersediaan, dan

kerahasiaan) seperti hacking, cracking atau computer trespass. Pasal 30 UU ITE mengacu kepada Article 2 Convention on Cybercrime. Pembentuk undang-undang membagi pengaturan akses ilegal menjadi tiga bagian, dan akan dibahas pada bagian selanjutnya. Perbuatan yang diatur ialah dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum: 1. Mengakses komputer atau sistem elektronik dengan cara apa pun; 2. Mengakses komputer atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik; dan 3. Mengakses komputer atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. (1) Pasal 30 ayat (1) UU ITE sebagai delik umum akses illegal dengan jelas menegaskan: 1. Pasal 30 ayat (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau , melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik

milik Orang lain dengan cara apa pun. Ayat pertama dari pasal ini mengatur illegal access sebagai delik pokok bahwa pada dasarnya tindakan memasuki Komputer atau Sistem Elektronik (baik Sistem Elektronik yang telah memiliki pengaman ataupun tidak) tanpa persetujuan pihak yang berhak adalah perbuatan yang dilarang. Perlindungan hukum yang hendak diberikan melalui pasal ini

ialah perlindungan terhadap properti dan privasi seseorang. Dalam suatu Komputer atau Sistem Elektronik terdapat ruang siber yang dibangun dan telah dibatasi dari ruang siber tainnya berdasarkan kepentingan dan kontrol seseorang. Dalam ruang ini terdapat berbagai informasi atau dokumen elektronik yang dibuat oleh pemilik atau diperolehnya, dan itu semua berkaitan dengan kepentingannya. Oleh karena ruang virtual ini berserta informasi dan dokumen elektronik yang ada di dalamnya adalah mHiknya dan informasi atau dokumen elektronik itu terkait dengan kepentingannya maka hanya dia yang dapat mengakses atau mengontrol Komputer atau Sistem Elektroniknya. Pemilik berhak untuk melarang orang lain masuk ke dalamnya dan juga berhak untuk memberikan akses kepada siapa saja yang diinginkan, baik secara terbatas maupun tidak terbatas. Sedangkan orang lain yang tidak memiliki hak wajib menghormati kepentingan dan properti pemilik sehingga dilarang untuk masuk ke dalam ruang tersebut. Pasat 30 ayat (1) UU ITE tidak mengatur (membatasi) tujuan atau motif mengakses komputer atau sistem elektronik. Motivasi seseorang dalam melakukan illegal access tidak hanya untuk memperoleh keuntungan secara materil (uang atau informasi), tetapi juga sesuatu hal yang sifatnya immateril, antara lain status, ego, tantangan, atau hiburan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini baik hacking maupun cracking yang dilakukan tanpa hak adalah perbuatan yang dilarang. UU ITE juga tidak membatasi cara seseorang mengakses sistem elektronik karena secara teknis ada begitu banyak cara untuk mengakses

komputer, dan cara-cara tersebut semakin berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Itulah sebabnya UU ITE mengaturnya secara luas dengan menggunakan unsur dengan cara apapun. Tindakan mengakses komputer atau sistem elektronik dapat dilakukan dengan menggunakan malicious software (malware), yaitu piranti lunak yang diciptakan untuk memasuki sistem komputer tanpa persetujuan

pemiliknya. Piranti ini dapat dikirim oleh pelaku dalam bentuk email, dan dalam email tersebut, calon korban diminta untuk mengunduh piranti lunak yang umum. Ketika mengunduh piranti itu maka kode-kode yang berbahaya juga masuk ke dalam sistem. 2. Pasal 30 ayat (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses/komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh dan/atou Dokumen Eiektronik. Illegal access dapat merupakan tindak pidana yang mengawali tindak pidana lainnya. Dengan memasuki sistem elektronik, pelaku Informasi Elektronik

tindak pidana dapat mengambil alih kontrol atas sistem tersebut dan melakukan perbuatan jahat lainnya. Pasal 30 ayat (2) UU ITE merupakan delik yang dikualifisir dari ayat sebelumnya; dalam ayat ini ditambahkan unsur tujuan mengakses, yaitu untuk memperoleh informasi atau penting mengingat dalam sistem atau dokumen Oleh

dokumen elektronik. Pengaturan ini elektronik

mungkin terhadap berbagai informasi pribadi, rahasia,

elektronik yang sifatnya

atau ekonomis.

karena itu, ketentuan pada ayat (2) ditujukan terhadap perbuatan yang lebih serius dari sekedar memasuki suatu komputer atau sistem elektronik sehingga ancaman terhadap ketentuan ini juga diperberat. UU ITE telah dengan tepat menggunakan unsur memperoleh. Unsur ini sangat penting mengingat suatu informasi yang terdapat dalam informasi elektronik atau dokumen elektronik yang dapat diketahui bahkan dimiliki tanpa perlu diambil atau dipindahkan. Pasal 30 ayat (2) UU ITE tidak mensyaratkan adanya perpindahan informasi atau dokumen elektronik. Dalam hal pelaku memindahkan atau mentransfer informasi atau dokumen eiektronik dari satu sistem elektronik ke sistem elektronik lainnya maka tidak digunakan Pasal 30 ayat (2) UU ITE tetapi Pasal 32 ayat (2) UU ITE sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikutnya. Untuk memperjegas penggunaan Pasal 30 ayat (2) UU ITE, berikut disampaikan beberapa contoh perbuatannya, yaitu: a. Mahasiswa memasuki sistem elektronik suatu fakultas tanpa hak untuk mengetahui nilai mata kuliah dan Indeks 'Prestasi Kumulatifnya dan sainganya. b. Pegawai Bank memasuki sistem elektronik suatu bank tanpa otoritas untuk mendapatkan informasi mengenai jumlah tabungan dari orang yang meminjam uang darinya tetapi mengaku tidak dapat mengembalikan karena tidak memiliki uang. c. Seorang bankir memasuki sistem elektronik bursa efek tanpa hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana transaksi akuisisi yang

akan dilakukan satu emiten sehingga informasi tersebut dapat dijual kepada saingan emiten. Secara umum, setiap informasi memiliki nilai, tetapi menentukan nilai dari informasi tersebut tidak selalu merupakan pekerjaan yang mudah. Nilai dari informasi dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti: (i) pemilik informasi, (i) waktu dibuat atau diketahui oLeh orang lain, (iii) orang tain yang terkait dengan informasi, (iv) orang yang membutuhkan informasi yang dimaksud, dan (v) informasi itu sendiri. Sebagai contoh, bagaimana kita menentukan nilai dari Dokumen Elektronik yang berisi agenda kerja seseorang selama satu bulan ke depan. Jika agenda kerja itu ialah milik seorang menteri, informasi tersebut dapat memiliki nilai penting. Apabila informasi yang dimaksud diketahui oleh anggota teroris maka keselamatan menteri dapat terancam. Akan tetapi, jika agenda yang dimaksud adalah milik seorang calon pegawai negeri sipil bukan berarti informasi yang ada di dalamnya tidak dapat memiliki nilai ekonomis. Bagaimana jika calon pegawai itu adalah keponakan menteri dan dalam

agenda itu terdapat waktu pertemuan keluarga antara keluarga menteri dengan keluarga keponakanya. Mungkin itulah sebabnya pembentuk undang-undang menentukan ancaman pidana terhadap perbuatan

yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UU ITE ialah penjara selama 7 (tujuh) tahun, satu tahun lebih tinggi dari tindak pidana akses illegal yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU ITE.

3. Pasal

30

ayat

(3) Akses

illegal

dengan

melanggar, menerobos,

melampaui, atau menjebol pengamanan Pada Pasal 30 ayat (2) UU ITE ditegaskan bahwa setiap dengan sengaja dan tanpa hak orang

atau melawan hukum mengakses

komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system pengamanan. Pasal 30 ayat (3) UU ITE merupakan delik kualifisir dari Pasal 30 ayat (1) UU ITE. Dua bagian yang ditekankan dalam pasal ini ialah mengenai: (i) cara apapun, dan (ii) melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol. Penekanan pada bagian pertama ialah bahwa cara apapun ditujukan terhadap perbuatan mengakses komputer atau sistem elektronik, sedangkan pada bagian kedua, melanggar, menerobos, pengamanan. melampaui, Maksudnya,

atau menjebol ditujukan kepada sistem

sebelum pelaku dapat mengakses komputer atau sistem elektronik, maka harus melewati sistem pengamanan komputer atau sistem elektronik korban dengan cara melanggar, melampaui, menerobos atau menjebolnya. Unsur melanggar menerobos, melampaui, atau menjebol

merupakan unsur yang sifatnya alternatif yang memiliki kesamaan esensi yaitu berhasil masuk ke dalam sistem elektronik dengan berhasil melalui sistem pengamannya. Berhasil masuk melalui sistem pengaman dapat dilakukan dengan cara merusak sistem pengaman (menerobos atau menjebol) dan dapat juga tanpa merusak sistem pengaman (melanggar atau melampaui).

Suatu sistem pengamanan dalam hal ini sistem keamanan informasi umumnya dipasang atau diterapkan untuk mencegah seseorang yang tidak memiliki hak atau wewenang dapat masuk dalam suatu sistem elektronik. Selain itu, sistem pengaman diterapkan untuk menjaga sistem elektronik agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya serta menjaga integritas dan ketersediaan informasi atau dokumen elektronik yang ada di dalamnya, apalagi informasi atau dokumen elektronik memiliki nilai ekonornis bagi pemiliknya. Penerapan sistem keamanan informasi sangat beragam mulai dari yang paling sederhana, seperti menggunakan kode akses sampai yang paling kompleks, seperti mengatur konfigurasi jaringan internet dan komputer. Tentunya dalam penerapan sistem keamanan informasi dibutuhkan biaya yang bervariatif. Semakin kompleks sistem yang dibangun semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. Sistem pengamanan dapat berupa pengamanan secara fisik, secara logikal, maupun kombinasi keduanya. Misal dalam Anjungan Tunai Mandiri (Automated Teller Machine - ATM) termasuk dalam sistem elektronik karena secara sederhana ATM terdiri dari perangkat keras serta perangkat lunak yang memungkinkan seorang nasabah untuk melakukan transaksi seperti pengiriman uang (transfer), pengambilan uang, pengecekan saldo tabungan, pembelian pulsa, pembayaran tagihan, atau transaksi elektronik lainnya. ATM merupakan sistem elektronik yang kompleks karena terhubung dengan

berbagai sistem elektronik lainnya baik ATM dari satu bank yang berada di seluruh Indonesia maupun dengan ATM bank-bank lainnya serta

terhubung dengan internet sehingga membentuk jaringan yang sangat luas. ATM memiliki fungsi yang sangat vital dalam masyarakat di era modern ini. Karena fungsi yang signifikan tersebut ATM

dilengkapi berbagai sistem pengaman baik secara fisik maupun secara logis, atau kombinasi keduanya. Sistem pengamanan ATM dapat berupa pengamanan fisik terhadap ATM itu sendiri maupun pengamanan terhadap transaksi yang dilakukan oleh nasabah melalui ATM. Pengamanan fisik terhadap ATM dapat dilakukan dengan misalnya memasang dosed circuit television (cctv), memasang kunci brankas ATM, dan menempatkan ATM dalam ruangan yang terlindungi dari panas maupun hujan. Sedangkan pengamanan logis terhadap transaksi ATM misalnya dengan menerapkan sistem akses berdasarkan kartu ATM dan kode akses (password). Prosedur pengisian uang dalam brankas ATM juga merupakan bagian dari sistem pengamanan. Semua sistem pengamanan itu merupakan satu kesatuan. Pada umumnya, pengisian uang pada brankas ATM dilakukan oleh pegawai bank yang diberikan kewenangan untuk itu; untuk dapat mengisi uang pada brankas, pegawai yang ditunjuk oleh pihak bank tersebut harus membuka ATM dengan kunci yang dapat berupa kombinasi antara kunci biasa dan kunci kombinasi. Ketika ATM terbuka maka sistem akan

mencatat waktu brankas ATM dibuka, demikian juga ketika pegawai

menutup ATM kembali. Setelah ATM tersebuka maka akan ada kotak (box) yang digunakan sebagia tempat pengisian uang atau tempat menyimpan uang yang rusak atau tidakterpakai. Pada saat kotak-kotak tersebut diangkat maka sistem ATM juga akan mencatat waktu kotak diangkat dan ditaruh kembali pada tempatnya. Oleh karena itu, kunci-kunci serta kode kunci kombinasi untuk

membuka brankas ATM dan sistem pencatatan waktu pintu brankas terbuka dan tertutup termasuk sistem pencatatan waktu box diangkat dan dikembalikan merupakan sistem pengamanan uang dalam brangkas ATM yang menjadi satu kosatuan dengan sistem elektronik ATM. Dengan demikian, apabila seseorang mengetahui kunci-kunci serta kode kombinasi dan menggunakannya untuk membuka brangkas ATM maka perbuatan yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai perbuatan melampaui sistem pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) UU ITE.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan sebelumnya dan sesuai dengan permasalahan dalam skripsi ini, dapat disimpulkan sebagai beirkut: 1. Pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa hanya masuk tanpa ijin ke dalam bagian dalam web site Polri, tetapi tidak merusak atau mengambil data dari web site Polri tersebut tidak tepat, karena faktanya bahwa perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan keruskaan sistem pada jaringan situs Polri dan hilangnya data-data serta menjadikan tidak dapat diaksesnya situs Polri tersebut. Alasan yang tepat meringankan perbuatan terdakwa adalah karena memiliki kelebihan atau kemampuan di bidang teknologi informasi dan upaya terdakwa untuk melakukan upaya ganti rugi untuk pembuatan website Polri dan melakukan pengembalian data-data yang telah hilang. 2. Akses komputer secara melawan hukum (illegal) pada UU ITE pada

prinsipnya tindakan tersebut serupa dengan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 167 KUHP yaitu memasuki rumah, pekarangan, ruang terutup dan tidak segera pergi meskipun telah ada larangan atau permintaan dari

yang berhak. Pasal tersebut dapat interpretasikan dengan membuat penafsiran yang lebih luas terhadap penggunaan istilah situs, sehingga maknanya meliputi berbagai istilah yang dikemukakan dalam ketentuan Pasal 167 KUHP.

B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Hendaknya Polisi sebagai crime hunter memiliki keterampilan teknis yang lebih di bidang TI agar dalam penangan kejahatan cybercime dapat bekerja secara optimal. 2. Hendakanya pelaku hacker yang telah diproses secara hukum dapat diberdayakan untuk membantu melindungi jaringan komputer milik pemerintah maupun kepolisian.

DAFTAR PUSTAKA

B. Buku Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011 Apeldorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta : Pradnya Paramita, 1981). Arif, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992). Djubaedah, Neng. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, Qakart: Kencana, 2003). Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 015D/FHNTAR/II/2011, 2011). Fuady, Munir .Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 2006). Hamzah, Andi. dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000). Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2003). Magdalena, Merry dan Masigrantoro Roes Setyadi, Cyberlaw Tidak Perlu Takut, (Yogyakarta: Andi, 2007). Marpaung, Leden. Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Cetakan Pertama. (Jakarta: Sinar Grafika, 1991). Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban dalam Hukum Pidana. (Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, 1955). Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan kelima. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985) Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. (Jakarta : PT Refika Aditama, 2002). ________. Asas Hukum Pidana di Indonesia. (Bandung: Rafika Aditama,

2003). Raharjo, Agus. Cybercrime-Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002). Saleh, Roeslan. Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983). Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1982). ________. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986). ________. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Jakarta: Rajawali Pers, 2001). Suhariyono, Budi. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime), Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, (Jakata: Raja Grafindo Persada , 2012). Syahdeni, Sutan Remi. Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, (Jakarta: PustakaUtama Graffiti, 2009). Ramli, Ahmad M. Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta; Satymaka 2004). Parthiana, I Wayan. Hukum Pidana Internasional. (Bandung: Yrama Widia, 2009).

C. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, (LNRI Tahun 1981 No.76, TLNRI No. 3209). Pasal 1 angka 11. _______. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843).

D. Makalah/Artikel/Internet Gerungan, Lucky K.F.R. Dimensi dan Implementasi Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum, Vol. XIX/No.5/Oktober-Desember/2011.

E. Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus IT, (Jakarta: Balai Pustaka 1976) Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). Hamzah, Andi. Kamus Hukum. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985). Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://www.kbbi.web.id/, diakses 23 Februari 2013. Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). Simorangkir, J.C.T. dkk, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Sudarsono. Kamus Hukum. (Jakarta: Rineka Cipta, 2009).

F. Putusan Salinan Putusan Nomor 97/Pid.Sus/2011/PN.Slmn.

Você também pode gostar