Você está na página 1de 13

Dokter Keluarga

Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan primer yang komprehensif, kontinyu, menutamakan pencegahan, koordinatif, mempertimbangkan keluarga, komunitas dan lingkungannya dilandasi keterampilan dan keilmuan yang mapan. Pelayanan Dokter Keluarga melibatkan Dokter Keluarga (DK) sebagai penyaring di tingkat primer, dokter Spesialis (DSp) di tingkat pelayanan sekunder, rumah sakit rujukan, dan pihak pendana yang kesemuanya bekerja sama dibawah naungan peraturan dan perundangan. Pelayanan diberikan kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya. Tugas Dokter Keluarga: 1) Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna menyuruh, dan bermutu guna penapisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan, 2) Mendiagnosis secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat, 3) Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit, 4) Memberikan pelayanan kedokteran kepada individu dan keluarganya, 5) Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi, 6) Menangani penyakit akut dan kronik, 7) Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke RS, 8) Tetap bertanggung-jawab atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau dirawat di RS, 9) Memantau pasien yang telah dirujuk atau di konsultasikan, 10) Bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya, 11) Mengkordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien, 12) Menyelenggarakan rekam Medis yang memenuhi standar, 13) Melakukan penelitian untuk mengembang ilmu kedokteran secara umum dan ilmu kedokteran keluarga secara khusus. Wewenang Dokter Keluarga: 1) Menyelenggarakan Rekam Medis yang memenuhi standar, 2) Melaksanakan pendidikan kesehatan bagi masyarakat, 3) Melaksanakan tindak pencegahan penyakit, 4) Mengobati penyakit akut dan kronik di tingkat primer, 5) Mengatasi keadaan gawat darurat pada tingkat awal, 6) Melakukan tindak prabedah, beda minor, rawat pascabedah di unit pelayanan primer, 7) Melakukan perawatan sementara, 8) Menerbitkan surat keterangan medis, 9) Memberikan masukan untuk keperluan pasien rawat inap, 10) Memberikan perawatan dirumah untuk keadaan khusus. Kompetensi Dokter Keluarga: Dokter keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih dari pada seorang lulusan fakultas kedokteran pada umumnya. Kompetensi khusus inilah yang perlu dilatihkan melalui program perlatihan ini. Yang dicantumkan disini hanyalah kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap Dokter Keluarga secara garis besar. Rincian memgenai kompetensi ini, yang dijabarkan dalam bentuk tujuan pelatihan, akan tercantum dibawah judul setiap modul pelatihan yang terpisah dalam berkas tersendiri karena akan lebih sering disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran. a) Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran keluarga, b) Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik dalam pelayanan kedokteran keluarga, c) Menguasai ketrampilan berkomunikasi, menyelenggarakan hubungan profesional dokter- pasien untuk : (a) Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga dengan perhatian khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga, (b) Secara efektif

memanfaatkan kemampuan keluarga untuk berkerjasana menyelesaikan masalah kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan keluarga, (c) Dapat bekerjasama secara profesional secara harmonis dalam satu tim pada penyelenggaraan pelayanan kedokteran/kesehatan. A. Memiliki keterampilan manajemen pelayanan kliniks. a) Dapat memanfaatkan sumber pelayanan primer dengan memperhitungkan potensi yang dimiliki pengguna jasa pelayanan untuk menyelesaikan. masalahnya, b) Menyelenggarakan pelayan kedokteran keluarga yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan. B. Memberikan pelayanan kedokteran berdasarkan etika moral dan spritual. C. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang pengelolaan pelayanan kesehatan termasuk sistem pembiayaan (Asuransi Kesehatan/JPKM). Klinik dokter Keluarga ( KDK ) a) Merupakan klinik yang menyelenggarakan Sistem Pelayanan Dokter Keluarga (SPDK), b) Sebaiknya mudah dicapai dengan kendaraan umum. (terletak di tempat strategis), c) Mempunyai bangunan yang memadai, d) Dilengkapi dengan saraba komunikasi, e) Mempunyai sejumlah tenaga dokter yang telah lulus pelatihan DK, f) Mempunyai sejumlah tenaga pembantu klinik dan paramedis telah lulus perlatihan khusus pembantu KDK, g) Dapat berbentuk praktek mandiri (solo) atau berkelompok. h) Mempunyai izin yang berorientasi wilayah, i) Menyelenggarakan pelayanan yang sifatnya paripurna, holistik, terpadu, dan berkesinambungan, j) Melayani semua jenis penyakit dan golongan umur, k) Mempunyai sarana medis yang memadai sesuai dengan peringkat klinik ybs. Sistem Pelayanan Dokter Keluarga ( SPDK ) Untuk menunjang tugas dan wewenang nya diperlukan Sistem Pelayanan Dokter Keluarga yang terdiri atas komponen : a) Dokter keluarga yang menyelenggarakan pelayanan primer di klinik Dokter Keluarga (KDK), b) Dokter Spesialis yang menyelenggarakan pelayanan sekunder di klinik Dokter Spesialis (KDSp), c) Rumah sakit rujukan, d) Asuransi kesehatan/ Sistem Pembiayaan, e) Seperangkat peraturan penunjang. Dalam sistem ini kontak pertama pasien dengan dokter akan terjadi di KDK yang selanjutnya akan menentukan dan mengkoordinasikan keperluan pelayanan sekunder jika dipandang perlu sesuai dengan SOP standar yang disepakati. Pasca pelayanan sekunder, pasien segera dirujuk balik ke KDK untuk pemantauan lebih lanjut. Tata selenggarapelayanan seperti ini akan diperkuat oleh ketentuan yang diberlakukan dalam skema JPKM/asuransi. JPKM Untuk efisiensi pembiayaan dan menjaga mutu pelayanan dokter keluarga, ditetapkan JPKM. JPKM merupakan sistem pemeliharaan kesehatan menyeluruh yang terjamin mutunya dengan pembiayaan praupaya . uraian tentang JPKM mencakup sbb : a) Latar belakang (masalah pelayanan dan pembiayaan kesehatan) JPKM dirumuskan sebagai upaya dirumuskan sebagai upaya Indonesia untuk mengatasi ancaman terhadap akses pelayanan kesehatan akibat kenaikan biaya kesehatan yang juga mengacam penurunan mutunya. Setelah bertahun-tahun terhadap pelbagai bentuk pemeliharaan kesehatan mancanegara, disadari bahwa pembayaran tunai langsung dari kocek konsumen atau pembayaran melalui pihak ketiga terhadap tagihan pemberi pelayanan kesehatan telah mendorong kenaikan biaya kesehatan . karena itu, dalam sitem JPKM dirumuskan keterlibatan masyarakat untuk membiayai kesehatan dengan iuran dimuka, keterlibatan pihak ketiga sebagai badan penyelenggara yang bertanggungjawab mengelola iuran secara efisien, keterlibatan sarana pelayanan kesehatan untuk melaksanakan layanan bermutu namun

ekonomis (cost- effrctive) dengan pembayaran Pra-upaya, dan keterlibatan pemerintah sebagai badan pembina yang mengarahkan hubungan saling menguntungkan antar para pelaku JPKM tersebut. Dengan demikian, JPKM yang dalam UU No .23/1992 dinyatakan sebagai suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna, berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin, serta dengan pembiayaan yang dilaksanakan secara pra- upaya, pada hakekatnya adalah sistem pemeliharaan kesehatan yang memadu kan penataan subsistem pelayanan dengan subsistem pembiayaan kesehatan. Tujuannya adalah meningkatkan taraf kesehatan masyarakat dengan menjaga mutu pelayanan dan mengendalikan biaya pelayanan sehingga tidak menghambat akses masyarakat.b) Beberapa bentuk pembiayaan pemeliharaan kesehatan (tunai-langsung atau fee for service, asuransi ganti-rugi, asuransi dengan taguhan provider, pelayanan kesehatan terkendali (managed care). Dalam JPKM pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh pelbagai sarana dan/atau penyelenggara Pemeluharaan Kesehatan atau pemberi Pelayanaan Kesehatan (PPK) yang dikontrak oleh Bapel serta dibayar secara praupaya. Dengan pembayaran secara pra-upaya, ppk didorong untuk merencanakan pelayanan kesehatan berdasarkan profil peserta dan efesiensi (cost- effectiveness), Hal ini akan mendorong penerapan standar pelayanan dan upaya jaga mutu yang akan memelihara dan meningkatkan taraf kesehatan peserta. c) JPKM sebagai bentuk pelayanan kesehatan terkendali di Indonesia (pengertian, para pelaku, tujuh jurus, program pengembangan : visimisi-strategi-swot-tujuan-kegiatan-hasil-arah pengembangan selanjutnya). d) Peran dokter keluarga dalam JPKM (pelayanan tingkat pertama yang bermutu segai ujung tombak JPKM, health-resource-alocator terpecaya bagi keluarga).

Perbedaan antara Dokter dan Dokter Keluarga


Submitted by hadinata on Saturday, 12 June 2010No Comment

Oleh : Dr. Sugito Wonodirekso, MS, PHK. PKK, Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia, Kabid. Pendidikan dan Penelitian Perubahan yang dimaksudkan untuk memperbaiki sistem apapun yang sudah berjalan hampir selalu pada awalnya mendatangkan kerancuan. Demikian pula perubahan dalam pendidikan kedokteran dasar dan sistem pelayanan kesehatan. Penulis mencoba mengemukaan wacana ini dalam upaya membantu menjernihkan kerancuan yang ada yang menyangkut pengertian tentang definisi, kompetensi, dan kewenangan dokter layanan primer. A. Dokter Dokter dalam wacana ini diberi tanda kutip karena merupakan istilah bukan sebutan umum. Gelar Dokter diberikan kepada: 1. Lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI I dan II dan sebelumnya.

2. Lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI III sebelum menjalani program internsip. Mereka memperoleh gelar Dokter karena sudah mampu melaksanakan tugas sebagai dokter layanan primer akan tetapi belum mahir melaksanakannya sehingga masih memerlukan proses pemahiran dalam program internsip. Dokter seperti itu telah mendapat Sertifikat Kompetensi dari KDI. Sertifikat kompetensi ini bersifat sementara dan hanya digunakan untuk mendaftarkan diri ke KKI agar memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) sementara yang diperlukan untuk dapat praktik atas nama sendiri di bawah seliaan (supervisi) dokter senior yang bersertifikat sebagai penyelia di klinik tempatnya menjalani internsip. Dengan kata lain STR itu hanya berlaku sementara sepanjang masa internsip dan hanya di klinik tertentu (terakreditasi) tempatnya menjalani program internsip. Jika tempat internsip itu terdiri atas sejumlah klinik layanan primer, maka STR itu hanya berlaku di klinik-klinik tersebut. Dokter seperti ini belum boleh menyelengarakan praktik mandiri sebagai penyelenggara layanan kesehatan primer. 3. Lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI III setelah menjalani program internsip. Mereka tetap menggunakan gelar Dokter karena tingkat kemampuannya sama dengan mereka yang belum menjalani internsip. Bedanya mereka diangap telah mahir menggunakan kemampuannya itu karena telah menjalani internsip. Untuk itu mereka memperoleh Sertifikat Kompetensi dari KDI yang berlaku sampai dengan saat registrasi ulang berikutnya sebagai penyelengara layanan kesehatan primer karena diangggap sudah mahir melaksanakannya. Serifikat Kompetensi itulah yang memungkinkan mereka mendaftar ke Konsil Kedokteran Indonesia untuk legalitas praktik mandirinya sebagai dokter layanan primer. Proses pemahiran melalui program internship ini sangat penting untuk menjamin mutu layanannya. Jadi, Dokter adalah predikat akademik-profesional yang diberikan kepada mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di institusi pendidikan kedokteran dasar. Bagi mereka yang dididik menggunakan KIPDI I dan II dan sebelumnya, belum diwajibkan untuk menjalani internsip, karena kepaniteraan yang cukup panjang selama pendidikan dianggap cukup memadai. Oleh karena itu setelah lulus sebagai dokter, langsung diberi wewenang untuk menjalankan praktik kedokteran mandiri yang menangani masalah kesehatan tingkat primer tanpa memandang jenis penyakit, golongan usia, organologi, ataupun jenis kelamin pasien yang dihadapinya. Dari cakupan layannya yang luas itu lahirlah sebutan Dokter Umum yang menjalankan Praktik Umum yang selama ini dikenal masyarakat. Perlu ditekankan di sini, sebenarnya kedua sebutan itu diciptakan atau diberikan oleh masyarakat dan bukan oleh institusi pendidikan kedokteran dasar. Kedua istilah tadi diperlukan untuk membedakannya dengan dokter spesialis yang praktiknya dibatasi oleh jenis penyakit, golongan usia, jenis kelamin, dan jenis organ. Hal itu diperjelas oleh kenyataan bahwa dalam ijazah yang diperoleh dari intitusi pendidikan kedokteran dasar gelarnya adalah Dokter. Semua institusai pendidikan kedokteran dasar sepakat bahwa Dokter tersebut (yang lulus dari institusi pendidikan kedokteran dasar menggunakan KIPDI I dan II dan sebelumnya) dianggap belum mampu menerapkan pendekatan kedokteran keluarga karena pendidikannya yang community oriented, menerapkan paradigma sakit (disease oriented), dan menganggap pasien sebagai kumpulan organ. Selain itu harus diakui bahwa selama ini kompetensi dokter belum terformulasikan dengan jelas dan sebagai konsekuensinya batasan layanan primer yang menjadi wewenangnya juga belum jelas. Walaupun demikian, secara tersirat sudah tampak pada Tanggung Jawab Dokter di Indonesia dan TIU dan TPK yang tercantum dalam KIPDI I dan II. Dokter juga merupakan gelar akademik-professional yang diberikan kepada para lulusan institusi pendidikan yang menggunakan KIPDI III sebelum dan setelah menjalani internsip

selama paling kurang 1 tahun. Dokter lulusan KIPDI III (baru lulus sekitar tahun 2010) mempunyai wewenang yang sama dengan dokter pendahulunya yaitu sebagai penyelenggara layanan kesehatan tingkat pertama (primer), tanpa memandang jenis penyakit, golongan usia, 2 organologi, ataupun jenis kelamin pasien yang dihadapinya. Pembedanya adalah bahwa Dokter cetakan KIPDI III ini sekaligus telah mampu menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga dalam praktiknya. Kemampuan itu diperoleh selama pendidikan dokter di institusi pendidikan kedokteran dasar. Hal itu dimungkinkan karena proses pendidikannya yang competency based dan family medicine based yang memandang individu seutuhnya sebagai bagian integral dari keluarga, komunitas, dan lingkungannya. Berbeda dengan KIPDI I dan II, dalam KIPDI III jelas tercantum kompetensi yang harus dicapai selama pendidikan yang meliputi tujuh area kompetensi atau kompetensi utama yaitu: 1. Keterampilan komunikasi efektif. 2. Keterampilan klinik dasar. 3. Keterampilan menerapkan dasar-dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan epidemiologi dalam praktik kedokteran keluarga. 4. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada indivivu, keluarga ataupun masyarakat denga cara yang komprehensif, holistik, bersinambung, terkoordinasi dan bekerja sama dalam konteks Pelayanan Kesehatan Primer. 5.Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi. 6. Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hayat. 7. Menjunjung tinggi etika, moral dan profesionalisme dalam praktik. Ketujuh area kompetensi itu sebenarnya adalah kemampuan dasar seorang dokter yang menurut WFME (World Federation for Medical Education) disebut basic medical doctor. Untuk menjamin pencapaian ketujuh area kompetesi itu diperlukan kepaniteraan (untuk mencapai kompetensi sebagai dokter layanan primer yang menerapkan pendekatan kedokteran keluarga) dan internsip (untuk pemahiran kompetensi yang telah diperolehnya). Agar lebih menjamin kemampuan dan kemahiran tadi, maka kepaniteraan dan internsip sebaiknya atau seharusnya diselenggarakan di tempat layanan primer yang menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga yang terdiri atas: 1. Pelayanan yang holistik dan komprehensif 2. Pelayanan yang kontinu 3. Pelayanan yang mengutamakan pencegahan 4. Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif 5. Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari keluarganya 6. Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan tempat tinggalnya 7. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika, moral. dan hukum 8. Pelayanan yang sadar biaya dan sadar mutu 9. Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertangungjawabkan Jika diperhatikan, penguasaan ketujuh arena kompetensi tadi akan menjamin kemampuan dokter menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga karena pada dasanya prinsip-prinsip

kedokteran keluarga dapat diterapkan secara sempurna jika ketujuh area kompetensi tadi tercapai. Perlu ditekankan di sini bahwa penerapan prinsip-prinsip kedokteran keluarga bukan hanya menjadi tanggung jawab dokter dan atau Dokter Keluarga saja melainkan juga menjadi tanggung jawab setiap dokter di semua tingkat layanan, primer, sekunder, dan tersier. Hanya saja dokter dan atau Dokter Keluarga bertanggung jawab menerapkan prinsip prinsip kedokteran keluarga di layanan primer sedangkan dokter spesialis di layanan sekunder dan tersier dalam Sistem Kesehatan Nasional. Jika hal itu disadari maka Sistem Pelayanan Dokter Keluarga akan dijelaskan kemudian akan dapat terlaksana secara baik. Jadi, secara akademik-profesional, yang dimaksud dengan Dokter (lulusan KIPDI-3) adalah lulusan institusi pendidikan kedokteran dasar yang belum menjalani program internsip sehingga belum berwenang menyelenggarakan layanan kesehatan tingkat primer dengan pendekatan kedokteran keluarga secara mandiri dan yang telah menyelesaikan program internsip dan memperoleh surat tanda registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia sehingga berwenang menyelenggarakan layanan kesehatan tingkat primer dengan pendekatan kedokteran keluarga secara mandiri. Secara operasional dokter dapat didefinisikan sebagai berikut: Dokter adalah tenaga kesehatan (dokter) tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan kedokteran dasar. 3 B. Dokter Keluarga Dalam wacana berkut yang dimaksud dengan dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran dasar yang menggunakan KIPDI I, II, dan III dan sebelumnya. Harus disadari layanan kesehatan tingkat primer bukan layanan kesehatan yang sederhana seperti anggapan banyak orang selama ini. Kenyataannya masalah kesehatan yang dihadapi di layanan primer sangat kompleks dan luas serta membutuhkan pemahaman dasar ilmu kedokteran dan ilmu sosial yang luas dan dalam, seperti yang disyaratkan dalam tujuh area kompetensi yang harus dicapai. Penyakit atau masalah yang dihadapi masih belum spesifik sehingga penguasaan ketujuh area kompetensi sangat diperlukan. Sebagai konsekuensi kekhususan masalah yang dihadapi itu, maka telah diterbitkan buku ICPC (International Classification of Primary Care) yang lebih berorientasi pada keluhan yang membawa pasien ke dokter. Buku ini berbeda dengan ICD (International Classification of Diseases) yang lebih cocok untuk keperluan layanan sekunder yang lebih mendasarkan klasifikasinya pada penyakit atau diagnosis. Karena kekhususan dan kekompleksan masalah yang dihadapi oleh dokter layanan primer, diperlukan perluasan dan pendalaman ilmu dan keterampilan dokter (layanan primer). Harus disadari bahwa pendidikan kedokteran dasar tidak memungkinkan karena keterbatasan waktu studi pencetakan dokter yang menguasai ilmu dan keterampilan dokter layanan primer yang lebih luas dan dalam. Oleh karena itu dokter harus mengikuti pendidikan tambahan atau lanjutan khusus agar mempunyai kemampuan sebagai dokter layanan primer yang memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan primer yang bermutu tinggi. Untuk membedakan dokter layanan primer yang disebut

dokter yang baru selesai menjalani internsip dengan dokter yang telah menjalani pendidikan khusus, diperlukan predikat yang berbeda yaitu Dokter Keluarga. Dengan demikian Dokter Keluarga - disingkat DK secara akademik-profesional didefinisikan sebagai dokter yang memperoleh pendidikan lanjutan khusus untuk menerapkan prinsip-prinsip Kedokteran Keluarga dengan cakupan ilmu dan keterampilan yang lebih luas dan dalam sebagai DokterLayanan Kesehatan Tingkat Primer. Untuk keperluan operasional DK dapat didefinisikan sebagai tenaga kesehatan (dokter) tempat kontak pertama pasien dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya sebatas kompetensi dasar kedokteran ditambah dengan kompetensi dokter layanan primer yang diperoleh dalam pendidikan lanjutan khusus. Definisi di atas persis sama dengan definisi Dokter namun demikian batas kewenangan DK lebih luas karena DK telah menjalani pendidikan lanjutan khusus. Pascapendidikan lanjutan khusus itu, Dokter ybs memperoleh sertifikat kompetensi sebagai Dokter Keluarga yang diterbitkan oleh Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga untuk mendaftar ke Konsil Kedokteran Indonesia untuk legalitas praktiknya. Pendidikan lanjutan khusus maksudnya: Pendidikan lanjutan yang dirancang khusus untuk mencapai tingkat kompetensi tertentu yang lebih tinggi sebagai dokter layanan primer, yang dapat diperoleh melalui Pendidikan Kedokteran Bersinambung/ Pengembangan Profesional Bersinambung (PKB/PPB atau CME/CPD) yang terstruktur. Setelah mencapai angka kredit tertentu mereka berhak menyandang gelar Dokter Keluarga dan berwenang sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat primer dengan wewenang yang lebih luas. Yang dimaksud dengan Pelayanan Kesehatan Tingkat Primer adalah penyelengaraan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) tempat kontak pertama pasien dengan dokter untuk menyelesaikan masalah kesehatan secara dini, optimal, paripurna, dan menyeluruh. Pelayanan kesehatan tingkat primer diselenggarakan oleh 3 kelompok dokter layanan primer yang diuraikan berikut ini. Dalam kurun waktu 5 tahun mendatang, kita akan mempunyai atau akan menghadapi 3 kelompok dokter yang semuanya adalah dokter layanan primer yaitu: 1. Dokter lulusan KIPDI 1 dan 2 dan sebelumnya 2. Dokter lulusan KIPDI 3 pasca-internsip 3. Dokter Keluarga Untuk memudahkan maka semua dokter kelompok-1 akan diberi gelar Diploma Dokter Keluarga yang disingkat DDK setelah menjalani program konversi yang diselenggarakan oleh Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia bersama Kolegium Dokter Indonesia. Kelompok-2 disebut Dokter dan kelompok-3 disebut Dokter Keluarga.

Dokter Keluarga: Peluang atau Pecundang? Pekan lalu, Selasa 25 Sepember 2007, IDI Kaltim kedatangan tamu, PDKI (Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia) Pusat, memperkenalkan salah satu produk, yakni: Membangun

Praktik Dokter Keluarga Mandiri. Hmmm, apapula ini? Dalam pemaparannya, komandan rombongan PDKI, Dr. Gatot Soetono, MPH, yang sekaligus sebagai salah satu penulis buku Membangun Praktik Dokter Keluarga Mandiri, menyebutkan bahwa Depkes belum menempatkan DK (dokter keluarga) sebagai program prioritas pada tahun 2008. Sabaarrr Pak. Dus, beliau menginginkan agar daerah tingkat II atau tingkat I dapat mengawalinya melalui ujicoba sebagai langkah inovatif. Menilik pemaparan Dr. Gatot selama kurang lebih 1 jam dan diskusi 1 jam, penulis menangkap aroma kebingungan dalam menempatkan DK (dokter keluarga). Apakah DK akan dijadikan pengganti peran Puskesmas, sebagai institusi mandiri, sebagai program yang diharapkan ditangkap Depkes ataukah sebagai pilihan bagi para dokter umum. So, masih kabur. Namun upaya PDKI Pusat memperkenalkannya, patut kita hargai. RINGKASAN PRESENTASI Pada dasarnya, Dokter Keluarga memberikan layanan medis primer kepada kelompok atau komunitas tertentu berdasarkan perjanjian (MoU) yang sudah disepakati bersama. Perjanjian dimaksud, meliputi: Jenis layanan, waktu layanan, premi per peserta per bulan, jaringan rujukan dan dokter yang melayani (jika dilayani oleh beberapa dokter). Jenis layanan, meliputi layanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, persis Puskesmas deh. Maaf, sementara penulis tidak menayangkan detailnya. Kita bisa berdiskusi untuk mengurainya, ok? Adapun waktu layanan, PDKI mengaitkannya dengan besaran premi. Ini rasanya kurang pas, lantaran lebih 40 jam per minggu, sepanjang tahun si dokter keluarga harus melayani peserta. Huaaa, lantas kapan refreshingnya dan kapan mengikuti pelatihan berkelanjutan sebagai syarat mutlak uji kompetensi seorang dokter? Kayaknya perlu dikaji ulang nih, jangan hanya ngejar premi lantas kepentingan dokter dan keluarganya terabaikan. Ya kan? Hitungan premi, pihak PDKI memberikan semacam standar satuan, yakni sekitar 9.800 rupiah per peserta per bulan. Perhitungannya njlimet deh, menyangkut hitungan jam pelayanan dll dlldll. Tentu angka ini fleksibel, sangat dipengaruhi oleh banyak hal terutama batasan-batasan jenis layanan dan komunitas yang dilayani. Ini berarti bisa saja muncul strata layanan Dokter Keluarga di kemudian hari. Why not? KESIMPULAN Kehadiran pemahaman Dokter Keluarga dan layanannya di masa mendatang patut kita hargai. Demikian pula upaya IDI menjadikan Dokter Keluarga sebagai peluang para dokter baru dalam memberikan layanan medis sekaligus lapangan kerja mandiri (baca: mencari nafkah) merupakan terobosan bagus di tengah kurangnya kepedulian Depkes kepada para dokter baru dan makin rumitnya syarat dokter untuk praktek. Apapun nantinya, seyogyanya dokter keluarga tetap mengusung layanan medis berkualitas dan biaya terjangkau. Ini adalah salah satu komponen penting dalam layanan medis di masyarakat. Berkualitas dalam hal sikap, tempat, alat, pengetahuan, informasi dan rekam medik, disamping penunjang lainnya seiring dengan kemajuan teknologi.

DISKUSI Terbuka aja deh ok? Sebagai gambaran, mungkin ada beberapa hal yang bisa kita urai melalui forum diskusi terbuka, meliputi:

Pertama: Jenis layanan. Seperti apa harapan para pengguna layanan medis tingkat pertama terhadap dokter keluarga ? Kedua: Besaran premi. Berapa sih, besaran premi per peserta per bulan terkait jenis layana yang diharapkan ? Selain itu, berapa kali rata-rata kunjungan peserta dalam setahun? Tergantung penyakitnya !!! Hehehe, bukan itu maksudnya berdasarkan pola penyakit tahunan gitu loh. Ketiga: Waktu layanan. Ehm, berapa jam dalam sehari waktu yang diharapkan oleh para peserta? Misalnya, pagi hingga siang sekian jam dan malam sekian jam, so total dalam sehari sekian jam. Keempat: Ruang lingkup peserta. Siapa saja pesertanya? Bisakah komutitas institusi misalnya karyawan perusahaan dan keluarganya ? Warga masyarakat bebas memilih dokter keluarga berdasarkan kualitas dll, dan bukan berdasarkan wilayah semata lho. Kelima: dan seterusnya, bebaaassss silahkan aja.

PESAN PENULIS Jangan sampai Dokter Keluarga dijadikan proyek, gak baguslah. Dan jangan sampai seperti Askes, Jamsostek yang menempatkan dokter seperti tukang dan menempatkan peserta sebagai obyek belaka. Ingat program Gakin kan ? hehehe Jadikan dokter keluarga sebagai peluang, bukan pecundang yang hanya menempatkan dokter dan peserta sebagai obyek belaka. Ini hanya akan menimbun kebohongan demi kebohongan. Caranya ? Mandiri !!! Jangan takut mandiri, lha wong mbah tukang pijet di ujung ndeso aja didatangi pelanggan, masa dokter yang dibekali pengetahuan takut gak laku lantas menghambakan diri ke ehm ehm, hanya demi premi 2500-5000 perak dan kapitasi ? Blehhh !!! Utamakan kulitas pelayanan dari berbagai aspek sebagai perwujudan Doctor Future, niscaya pasien or peserta datang dengan sendirinya, gak perlu nawar-nawarkan kayak mo jualan hahahaha. Tidak semua dokter harus ikut dokter keluarga. Dokter adalah manusia merdeka baik sebagai individu maupun sebagai provider. Sepanjang si dokter melakukan praktek yang berkualitas dan sesuai dengan kaidah layanan medis doctor future, maka itu sudah lebih dari cukup. Mari bersaing bebas dan sehat dengan siapapun. So insurance gak perlu kebakaran jenggot dengan kehadiran dokter keluarga. Atau, dokter keluarga juga akan dicaplok sebagai mitra ? (baca: obyek pemerasan) Yuuuk, ramai-ramai ke desa. Jangan pandang remeh warga ndeso. Mereka juga memerlukan kita. Kendati uangnya hanya lembaran ribuan mambu lengo klenthik, sedep juga koq. Gak percaya ? Buktikan sendiri, gak terbukti uang kembali, hahahaha. Wahai para dokter baru (atau calon dokter), kehidupan bukan hanya di kota besar. Bukan hanya senang dikerubuti medrep belaka. Enakan dikerubuti pasien ketimbang dikerubuti medrep, yaa nggak?

Sabar, istiqomah, ikhlas, jujur, berkualitas adalah kata kunci yang patut dijalani dimanapun dan kapanpun, dan yang lain-lain (baca: rejeki) akan datang dengan sendirinya. Konsep Dokter Keluarga Dapat Diterapkan pada Sistem Kedokteran Indonesia Oleh: Ryan Prasdinar Pratama Putra Di Indonesia masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan para dokter mengenai definisi dokter keluarga. Merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Rl Nomor 56 tahun 1996 tentang pengembangan dokter keluarga dalam Eny (2006), yaitu dokter yang menyelenggarakan upaya pemeliharaan kesehatan dasar paripurna (promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif) dengan pendekatan menyeluruh (holistik dan kesisteman) untuk pemecahan masalah kesehatan yang dihadapi oleh setiap keluarga dalam kelompok masyarakat yang memilihnya sebagai mitra utama pemeliharaan kesehatan. Untuk menjadi dokter keluarga, seorang dokter terlebih dahulu harus melewati pendidikan lanjutan khusus. Menurut Dr. Sugito Wonodirekso, MS, PHK. PKK dalam Hadinata (2010), yang dimaksud dengan pendidikan lanjutan khusus adalah pendidikan lanjutan yang dirancang khusus untuk mencapai tingkat kompetensi tertentu yang lebih tinggi sebagai dokter layanan primer, yang dapat diperoleh melalui Pendidikan Kedokteran Bersinambung/ Pengembangan Profesional Bersinambung (PKB/PPB atau CME/CPD) yang terstruktur. Setelah mencapai angka kredit tertentu mereka berhak menyandang gelar Dokter Keluarga dan berwenang sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat primer dengan wewenang yang lebih luas. Tetapi, pendidikan lanjutan khusus ini tidak sama dengan pendidikan lanjutan yang ditempuh oleh dokter spesialis. Pendidikan lanjutan khusus ini, tidak menyebabkan adanya pembatasan ruang lingkup pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter keluarga. Dokter keluarga tetap bertugas melayani pasien di tingkat primer tanpa memandang jenis kelamin, usia, organ tubuh atau jenis penyakit tertentu. Sedangkan dokter spesialis bertugas melayani pasien di tingkat sekunder dengan dibatasi oleh jenis kelamin, usia, organ tubuh, atau jenis-jenis penyakit tertentu. Karena telah melewati pendidikan lanjutan khusus terlebih dahulu sebelum mendapat gelar dokter keluarga, dokter keluarga mempunyai perbedaan dengan dokter umum. Perbedaannya antara lain terdapat pada batas kewenangan yang dimiliki oleh dokter keluarga lebih luas dibanding dengan dokter umum. Perbedaan lainnya antara dokter keluarga dengan dokter umum terletak pada tugas-tugas kedokterannya. Tugas-tugas dokter keluarga secara lebih terperinci adalah sebagai berikut: 1) Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna menyuruh, dan bermutu guna penapisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan, 2) Mendiagnosis secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat, 3) Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit, 4) Memberikan pelayanan kedokteran kepada individu dan keluarganya, 5) Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi, 6) Menangani penyakit akut dan kronik, 7) Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke RS, Tetap bertanggung-jawab atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau dirawat di RS, 9) Memantau pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan, 10) Bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya, 11) Mengkoordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien, 12) Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar, 13) Melakukan penelitian untuk mengembang ilmu kedokteran secara umum dan ilmu kedokteran keluarga secara khusus (Agnilia,2008). Tugas-tugas dokter keluarga yang demikian itu, menyebabkan dokter keluarga memiliki beberapa karakteristik dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Karakteristik pelayanan dokter keluarga dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Melayani penderita tidak hanya sebagai perorangan tetapi sebagai anggota keluarga dan bahkan sebagai

masyarakat sekitarnya, 2) Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh, perhatian secara lengkap dan sempurna, jauh melebihi keluhan yang disampaikan, 3) Mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan seoptimal mungkin, mencegah penyakit serta mengenal dan mengobati penyakit sedini mungkin, 4) Mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya, 5) Menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan tingkat pertama dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan (Klinik Makmur Jaya, 2010). Adapun beberapa jenis pelayanan dokter keluarga yang sesuai dengan karakteristik pelayanan mereka adalah: 1) Konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, 2) Pemeriksaan dan Pengobatan oleh dokter, 3) Tindakan medis kecil (ringan), 4) Pemeriksaan penunjang laboratorium sederhana, 5) Pemeriksaan ibu hamil, nifas, dan ibu menyusui, bayi dan anak balita, 6) Upaya penyembuhan terhadap efek samping kontrasepsi, 7) Pemberian obat pelayanan dasar dan pelayanan obat penyakit kronis atas indikasi medis, Pemberian surat rujukan ke Rumah Sakit/Dokter Spesialis untuk kasus yang tidak dapat ditangani Dokter Keluarga ( Putu, 2010). Oleh karena dokter keluarga telah melewati pendidikan lanjutan khusus tersebut, maka dokter keluarga memiliki tingkat kompetensi yang lebih dibanding dokter umum, sehingga batas kewenangan yang dimiliki dokter keluarga lebih luas dibandingkan dengan dokter umum dan dokter keluarga juga memiliki tugas-tugas serta karakteristik pemberian pelayanan kesehatan tersendiri kepada masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa dokter keluarga dapat diterapkan pada sistem kedokteran di Indonesia, karena akan memberikan pelayanan kesehatan yang lebih optimal bagi masyarakat. Konsep dokter keluarga juga dapat diterapkan di Indonesia karena merujuk pada faktor ekonomi. Masyarakat Indonesia pada umumnya berpenghasilan rendah. Menurut data Badan Pusat Statistik (Agustus 2006) dalam Rahman (2010), angka kemiskinan di Indonesia masih cukup besar, yaitu sekitar 40 juta jiwa. Tingkat pengangguran mencapai 11 juta orang. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Indonesia belum bisa mendapatkan layanan kesehatan secara maksimal. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih murah. Maka perlu diterapkan konsep dokter keluarga agar masyarakat dapat menikmati pelayanan kesehatan yang lebih murah. Mereka tidak perlu lagi memeriksakan diri ke berbagai tempat, cukup hanya dengan pergi ke dokter keluarga saja. Jika dibutuhkan pelayanan kesehatan lanjutan yang tidak bisa ditangani dokter keluarga, maka dokter keluarga akan memberikan mereka solusi untuk dirujuk ke dokter spesialis atau rumah sakit. Sehingga, pemeriksaan yang akan mereka lakukan menjadi lebih efisien dan menghemat biaya. Selain itu, dokter keluarga juga berkewajiban melaksanakan upaya preventif kepada seluruh anggota keluarga sehingga mereka tidak terjebak pada persoalan kesehatan yang sama. Hal ini dapat menyebabkan mereka dapat menghemat pengeluaran mereka jika dibandingkan dengan mereka jatuh sakit lagi, maka mereka akan mengeluarkan biaya tambahan untuk berobat. Hal lain yang bisa menyebabkan konsep dokter keluarga dapat diterapkan di Indonesia adalah karena Kurikulum Pendidikan Dokter di Indonesia. Kurikulum yang diterapkan telah berbasis kompetensi Dokter Indonesia dibidang pelayanan kesehatan primer dengan menggunakan pendekatan dokter keluarga. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan pada KIPDI III (Kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia edisi III) yang difokuskan pada 7 area kompetensi utama, yaitu: 1) Area Kompetensi Komunikasi Efektif, 2) Area Kompetensi Keterampilan Klinik Dasar, 3) Area Kompetensi Penerapan Dasar Ilmu Biomedik, Klinik, Perilaku dan Epidemiologi dalam Praktek Kedokteran Keluarga, 4) Area Kompetensi Pengelolaan Masalah Kesehatan pada Individu, Keluarga dan Masyarakat, 5) Area Kompetensi Mengakases, Menilai secara Kritis Kesahihan dan Mengelola Informasi, 6) Area Kompetensi Mawas Diri dan Belajar Sepanjang Hayat, 7) Area Kompetensi Etika, Moral dan

Profesionalisme dalam Praktek (UII, 2009). Seperti yang telah diterapkan pada Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia, Universitas Hangtuah, dan seluruh fakultas kedokteran dari berbagai universitas yang ada di Indonesia. Jadi, dengan adanya kurikulum ini diharapkan setelah para mahasiswa kedokteran menamatkan diri mereka menjadi seorang dokter, mereka akan dibekali pengetahuan mengenai pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan menggunakan pendekatan dokter keluarga. Selain itu, konsep dokter keluarga ini juga dapat diterapkan pada sistem kedokteran di Indonesia karena akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat luas. Menurut Affandi dalam Eny (2006), apabila dokter keluarga dapat diterapkan akan mendatangkan banyak manfaat: 1) Terhadap pengorganisasian pelayanan: pelayanan kesehatan akan lebih terintegrasi, karena masyarakat tidak perlu rnendatangi pelbagai fasilitas kesehatan yang berbeda-beda. Kalau dibutuhkan lebih lanjut, maka pelayanan tersebut diatur oleh dokter keluarga. Dalam keadaan yang seperti ini masyarakat tidak perlu lagi pindah dari satu fasilitas ke fasilitas kesehatan lainnya, tanpa jelas kegunaan dan indikasinya, 2) Terhadap pengorganisasian pembiayaan: biaya berobat akan lebih murah. Bahkan dapat dihindari pengulangan pemeriksaan kesehatan yang sama, tetapi juga dengan diterapkannya konsep dokter keluarga, akan dilakukan tindakan pencegahan penyakit, yang telah diketahui bersama biayanya jauh lebih murah dari pada tindakan pengobatan penyakit, 3) Terhadap kualitas pelayanan: karena pendekatan dokter keluarga dilakukan secara menyeluruh dan lengkap, maka akan terbina hubungan antara dokter dan pasien yang lebih erat. Selanjutnya karena pemakaian fasilitas kesehatan rujukan mendapatkan pengaturan, maka dapat diharapkan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan dokter keluarga, akan memberikan kontribusi positif kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan. Jadi, pada kesimpulannya konsep dokter keluarga dapat diterapkan pada sistem kedokteran di Indonesia. Penerapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yang ada. Hal-hal tersebut yaitu: 1) Dokter keluarga telah menjalani pendidikan lanjutan khusus terlebih dahulu, sehingga mereka memiliki tingkat kompetensi yang lebih dibanding dokter umum, 2) Faktor ekonomi masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah, menyebabkan masyarakat membutuhkan pelayanan kesehatan yang murah, 3) Kurikulum pendidikan dokter di Indonesia yang telah berbasis kompetensi Dokter Indonesia dengan pendekatan dokter keluarga, 4) Manfaat dokter keluarga jika diterapkan di Indonesia. Setelah diterapkan di Indonesia, nantinya dokter keluarga akan bertugas memberikan pelayanan kesehatan ditingkat primer yakni tempat kontak pertama dengan para pasien. Mereka bertugas memberikan pelayanan kesehatan tanpa memandang jenis kelamin, usia, organ tubuh, maupun jenis penyakit yang diderita. Daftar Pustaka Agnilia 2008, Dokter Keluarga, dilihat 26 September 2010, <http://agnilia.multiply.com/journal/item/54/DOKTER_KELUARGA>. Hadinata 2010, Perbedaan antara Dokter dan Dokter Keluarga, dilihat 25 September 2010, <http://blog.unila.ac.id/hadinata/2010/06/12/perbedaan-antara-dokter-dan-dokter-keluarga/>. Klinikmakmurjaya.com 2010, Program Dokter Keluarga, Askes, dilihat 1 Oktober 2010, <http://klinikmakmurjaya.com/index.php?option=com_content&view=article&id=66:adm&c atid=25:uzanc>. Medicine.uii.ac.id 2009, Kurikulum Pendidikan Klinik, Universitas Islam Indonesia, dilihat 1 Oktober 2010, <http://www.medicine.uii.ac.id/index.php/Pendidikan-Klinik-FK-UII>. Rahman, MF 2010, Pancasila dan Ketidakberdayaan Rakyat, dilihat 1 Oktober 2010, <http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=263017>. Rokhisah, E 2006, Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Niat Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap Pelayanan Dokter Keluarga di Dinas P dan K Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2006, Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, dilihat 23 September 2010, <eprints.undip.ac.id/15528/1/Eni_Rokhisah.pdf>. Sudayasa, P 2010, 4 Paparan Prinsip Pelayanan Dokter Keluarga, dilihat 1 Oktober 2010, <http://www.puskel.com/4-paparan-prinsip-pelayanan-dokter-keluarga/>. Copyright moriShine 2010

Você também pode gostar