Você está na página 1de 27

DISUSUN OLEH: FEBRIAN EKA SEPTA NANDA DWI PUTRID NURHASNAH RIDHO ALFARISYI KELAS: XII IPA 3

SMA NEGERI 1 BANGKINANG T.A 2009/2010

Kata Pengantar
Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah melipahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami diberi kesempatan untuk menyusun makalah tentang Munakahat. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Agama Islam, serta bertujuan untuk memahami tentang hukum Islam hokum keluarga, yaitu: 1. Menjelaskan ketentuan hukum perkawinan dala Islam 2. Menjelaskan hikmah perkawinan 3. Menjelaska ketetuan perkawinan menurut UU di Indonesia. Kami ucapkan terima kasih atas bimbingan dan pengarahan guru Agama Islam, serta kerja sama kelompok dalam penyusunan makalah ini. Kami penulis mengakui bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Maka dari itu, kami penulis menerima kritik dan saran agar makalh ini mencapai kesempurnaan. Akhir kata penulis penulis berharap makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua.

Bangkinang, September 2009 Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGNATAR DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG MASALAH B.TUJUAN PENULISAN MAKALAH BAB II. ISI A.PENGERTIAN PERNIKAHAN / MUNAKAHAT B.HUKUM DAN TUJUAN MUNAKAHAT C.TATA CARA PELAKSANAAN PERNIKAHAN D.KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI E.PENGERTIAN TALAK, IDAH, DAN RUJUK F.KOMPILASI HUKUM ILAM INDONESIA TENTANG PERNIKAHAN G.HIKMAH NIKAH BAB III. PENUTUP A.KESIMPULAN B.SARAN DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memaknakan dalam haditsnya, menikah adalah menyempurnakan setengah dari agamanya. Ungkapan ini menegaskan betapa pernikahan menduduki posisi yang mulia dalam Islam. Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad dan jima (hubungan suami istri). Secara syari nikah artinya seorang pria mengadakan akad dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat beroleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah.

Selain itu pernikahan adalah peristiwa yang sakral bagi seseorang manusia dalam hidupnya. Jadi, pernikahan harusdipertimbangkan secara matang sebelum dilaksanakan. Maka pernikahan harus dilaksanan dengan ikhlas karena Allah agar tidak terjadi kegagalan. 1.2 Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1) Menjelaskan ketentuan hukum perkawinan dalam Islam 2) Menjelaskan rukun dan syarat nikah 3) Kewajiban suami istri 4) Menjelaskan hikmah perkawinan 5) Menjelaska ketetuan perkawinan menurut UU di Indonesia.

Tujuan

BAB II ISI
1. Pengertian Pernikahan / Munakahat
Munakahat / pernikahan adalah akad antara seorang laki-lakidan perempuan atas dasar rela sama rela yang merubah status dan menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, serta melahirkan hak dan kewajiban menurut hukum Islam.

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia, sakinah (tentram), penuh cinta kasih dan sayang ( mawaddah wa rahmah) dan untuk mendapatkan keturunan yang saleh dan salehah.

2. Hukum Dan Tujuan Munakahat


Hukum asal nikah adalah jaiz atau boleh. Apabila dilihat dari situasi dan kondisi, maka hukum dari menikah atau munakahat tersebut ada 4, yaitu: a. Wajib yaitu bagi mereka yang sudah baligh dan mampu untuk menikah sehingga apabila tidak sesegera menikah di khawatirkan terjerumus dalam perbuatan dosa. b. Haram yaitu bagi bagi orang yang ingin berniat buruk dalam melakukan pernikahan. c. Sunah yaitu bagi mereka yang sudah ingin dan mampu dalam menjalini kehidupan rumah tangga. d. Makhruh yaitu bagi orang yang belum mampu membiaya serta mengurus kehidupan rumah ngga.

Tujuan munakahat/ nikah adalah: a) Untuk menegakkan dan menjunjung syariat Islam. Sesuai dengan hadist nabi Muhammad SAW.

Artinya : Sesungguh orang yang telah menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh dari agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT. dari separuh yang lainnya. b) Untuk menjalankan hubungan secara halal dan memperoleh keturunan. Firman Allah SWT. Dalam Alquran.

Artinya: Dan jangan kamu dekati zina, sesungguh nya zina itu perbuatan yang keji dan sesuatu jalan yang buruk. c) Untuk mencapai ketentraman hidup. d) Mempererat dan memperluas tali persaudaraan. e) Untuk menjaga harta warisan.

3. Rukun Dan Syarat Nikah


Adapun rukun dan syarat-syarat nikah adalah antara lain : 1. Calon suami dan Calon istri Syarat calon suami dan istri adalah sebagai berikut : a. b. c. d. Islam Bukan muhrimnya Tidak dengan paksaan Tidak sedang ibadah haji atau umrah

2. Wali Syarat wali adalah sebagai berikut : a. Islam

b. c. d. e.

Balig Sehat akal pikiran Laki-laki Tidak sedang ibadah haji atau umrah Wali dalam nikah ada dua macam, yaitu :

Wali Nasab Yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan calon wanita.Urutan wali adalah sebagai berikut : 1). Bapak 2). Kakak 3). Saudara laki-laki seibu sebapak 4). Saudara laki-laki sebapak 5). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak 6). Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak 7). Saudara bapak yang laki-laki 8). Anak laki-laki paman dari pihak bapak

mempelai

Wali Hakim Yaitu wali yang berhak menikahkan apabila dari delapan wali nasab tersebut tidak ada atau sekalipun ada, tetapi tidak memenuhi syarat. 3. Dua Orang Saksi Syarat dua orang saksi adalah sebagai berikut : a. b. c. d. e. Islam Balig Laki-laki Sehat akal Tidak sedang berhaji atau berumrah

4. Ijab dan Kabul Syarat ijab dan Kabul adalah sebagai berikut : a. Sesuai antara bun b. yi ijab dan kabul

c. Langsung, artinya tidak berputus asa d. Tidak terdapat hal-hal yang dapat memberatkan dalam pernikahan. Adapun mengenai mahar,mas kawin atau nihlah adalah syarat dalam pernikahan. Seorang calon suami harus memberikan mahar kepada calon istrinya. Firman Allah swt.

Artinya : Berilah mas kawin (mahar) kepada wanita yang (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS An Nisa:4) Syariat islam tidak membatasi masalah mahar, baik mengenai wujud ataupun jumlahnya. Hal tersebut tergantung dari suami dan kerelaan calon istrinya.Rasulullah saw. Bersabda :

Artinya : Dari Jabir: Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, Kalau sekiranya seorang laki-laki memberi makanan sepenuh dua genggam tangannya saja untuk mas kawin bagi seorang perempuan, maka sesungguhnya perempuan itu halal baginya.(HR Ahmad)

4. Tata cara pelaksanaan pernikahan.


Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Termasuk tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Dan Islam mengajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacaraupacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan melelahkan serta bertentangan dengan syariat Islam. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan

berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih. Adapun Tata Cara atau Runtutan Perkawinan Dalam Islam adalah sebagai berikut: I. Khitbah (Peminangan) Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (HR: [shahih] Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi). II. Aqad Nikah Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi : a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai. b. Adanya Ijab Qabul. c. Adanya Mahar. d. Adanya Wali. e. Adanya Saksi-saksi. Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. III. Walimah Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasululloh shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan. Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (HR: [shahih] Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah). Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". (HR: [shahih] Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id Al-Khudri).

5. Kewajiban Suami Dan Istri


Sebagai seorang suami mempunyai kewajiban sesuai dengan kedudukannya, antara lain :

1. Pimpinan sekaligus pengayom serta penjaga kehormatan bagi keluarganya. Firman Allah swt.

Artinya : Laki-laki menjadi pimpinan bagi wanita.(QS An Nisa: 34) 2. Menggauli istri dengan cara yang baik. Firman Allah swt.

Artinya : Pergaulilah istrimu dengan baik. (QS An Nisa: 19) 3. Memberikan sandang, pangan, dan papan (tempat tinggal) sesuai dengan kesanggupannya. 4. Mendidik dan membimbing keluarganya ke arah yang di ridai Allah dan menjaga dari siksa api neraka. Dan adapun kewajiban istri antara lain sebagai berikut :

1. Bergaul dengan baik kepada suaminya. 2. Menjaga kehormatan diri dan keluarganya. 3. Mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Firman Allah swt :

Artinya : Maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suami tidak ada karena Allah telah memelihara mereka. (QS An Nisa: 34)

6. Pengertian Talak, Idah, Dan Rujuk


Talak menurut lugat atau bahasa artinya melepaskan, sedangkan menurut istilah, talak artinya melepaskan ikatan pernikahan terhadap seorang wanita. Talak sebenarnya merupakan pintu darurat yang boleh dilakukan apabila perselisihan antara suami isteri sudah sangat berat atau serius sehingga akan menjadi mudarat apabila bersatu. Seorang suami yang hendak

mejatuhkan talak kepada isterinya hendaknya dipikirkan secara matang segala akibatnya, baik bagi diri sendiri, isteri dan anak-anaknya. Meskipun talak diperbolehkan dalam islam, tetapi talak merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah SAW. Bersabda

1. 2. 3. 4.

Dengan mempertimbangkan maslahat dan mudaratnya (baik buruknya), hokum talak ada empat: Makruh merupakan hokum asal dari talak. Haram apabila menjatuhkan talak pada isteri sedang haid atau dalam keadaan suci , tetapi sudah dicampuri. Sunah apabila suami sudah tidak sanggup menunaikan kewajibannya atau isteri tidak dapat menjaga kehormatannya. Wajib apabila terjadi perselisihan yang sangat serius sehingga keduanya tidak mungkin bersatu lagi serta hakim sudah memandang perlu keduanya bercerai.

Talak ada dua macam, yaitu sebagai berikut: 1. Talak rajI, yaitu talak satu atau dua dimana suami masih boleh rujuk kepad isterinya selama masih dalam masa iddah. 2. Talak bain (talak tiga) suami tidak boleh rujuk kepada mantan isterinya. Suami boleh menikah lagi dengan mantan isterinya, tetapi harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Mantan isteri sudah menikah dengan laki-laki lain. b. Telah diceraikan oleh suami yang kedua. c. Sudah habis masa iddahnya dari suami yang kedua. Hal tersebut berdasarkan firman Allah SWT. Sealain dengan cara talak, maka perceraian dapat terjadi dengan cara berikut. 1. Khuluk atau talak tebus, yaitu perceraian yang dilakukan atas permintaan isteri dengan cara menebus dirinya dengan harta atau uang yang telah mereka sepakati (antara suami isteri). 2. Fasakh, yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh pengadilan agama (hakim) atas pengaduan pihak isteri dengan alasan yang dibenarkan syarak. Fasakh ada dua macam, yaitu fasakh karena nafkah dan fasakh karena aib atau cacat, seperti cacat karena gila atau karena impoten. Pada perceraian dengan cara khuluk dan fasakh, suami isteri tidak boleh rujuk kembali. Akan tetapi, apabila mereka ingin kembali lagi, maka mereka

harus melaksanakan akad nikah yang baru. Ada beberapa macam perceraian yang dapat dikategorikan sebagai fasakh atau khuluk, yaitu sebagai berikut. a. Ila, artinya sumpah suami kepada isterinya bahwa dia tidak akan mencampuri isterinya selama empat bulan. Contohnya suami berucap, Demi Allah, saya tidak akan menggauli engkau selama empat bulan. Suami yang meng-ila isterinya harus menunggu selama empat bulan. Apabila sebelum empat bulan tersebut sang suami kembali bergaul kepada isterinya, maka dia diwajibkan membayar kifarah (denda sumpah). Akan tetapi, apabila sampai empat bulan dia tidak menggauli isterinya, maka hakim berhak menyuruh suami tersebut memilih antara dua perkara, yaitu membayar kafarat sumpa serta kembali kepada isterinya atau menceraikan isterinya. Apabila suami tidak mau memilih salah stu dari dua perkara tersebut, maka pengadilan dapat memaksa suami untuk menceraikan isterinya. b. Lian, artinya perkatataan suami menuduh isterinya berzina dengan mengucapkan kata-kata, Saya bersaksi kepada Allah bahwa saya benar menuduh isteri telah berzina. Apabila ia mengandung, maka berarti anak itu bukan anak saya. Perkataan tersebut diulang sampai empat kali, kemudian ditambah dengan kalimat, Laknat Allah kepadaku apabila aku berdusta atas tuduhanku. Mengenai Lian ini, Allah SWT berfirman.

c. Zihar, artinya seorang suami menyerupakan isterinya dengan ibunya sehingga isterinya menjadi haram baginya. Contohnya suami berkata kepada isterinya, Punggungmu tampak seperti punggung ibuku. Apabila suami mengatakan hal tersebut dan tidak diteruskan dengan talak, maka wajib atas suami membayar kifarat dan haram bagi suami bercampur dengan isterinya sebelum mambayar kifaratnya. Firman Allah SWT.

Iddah artinya masa menunggu bagi seorang isteri yang dicerai atau ditnggal mati suaminya untuk boleh menikah lagi dengan laki-laki lain agar dapat diketahui apakah rahimnya berisi janin atau tidak. Masa iddah bermacammacam lamanya, antara lain sebagai berikut. 1. Isteri yang dicerai suaminya, sedangkan dia masih mempunyai haid, maka iddahnya tiga bulan. Firman Allah SWT.

2. Bagi perempuan yang sudah tidak haid lagi, maka iddahnya adalah tiga bulan. Firman Allah SWT.

3. Bagi wanita yang hamil, maka iddahnya sampai lahir. Firman Allah SWT.

4. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminyadan tidak hamil, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Firman Allah SWT.

5. Bagi perempuan yang diceraikan suaminya, tetapi belum digauli, maka tidak ada iddah baginya. Firman Allah SWT.

Hak perempuan dalam iddah adalh sebagai berikut. 1. Perempuan yang taat dalam iddah rajI berhak menerima dari mantan suaminya sandang, pangan dan papan. Bagi perempuan yab=ng durhaka, maka mereka tidak berhak menerima apa-apa. Sabda Rasulullah SAW.

2. Perempuan yang berada dalam iddah bain apabila dia mengandung, maka mereka berhak sandang, pangan dan papan dari mantan suaminya sampai lahir kandungannya. Firman Allah SWT.

3. Perempuan yang berada dalam iddah bain dan tidak hamil hanya berhak mengambil tempat tinggal saja.

4. Perempuan yang dicerai, kemudian ditinggal mati suaminya, maka mereka tidak berhak apa-apa walu mereka hamil, Karen mereka tidak memiliki hak waris. Rujuk ialah kembalinya mantan suami kepada mantan isterinya selama masih dalam masa iddah raji. kemungkinan hal ini bias terjadi setelah kedua belah pihak menyadari kekeliruannya. Hal ini diperbolehkan dalam islam sebagaimana penjelasan Allah SWT.

Rukun rujuk diantaranya adlah sebagai berikut. 1. Suami yang mrujuk dengan syarat atas kehendak sendiri (bukan dipaksa). 2. Isteri yang dirujuk dengan syarat masih talak rajI dan masih dalam keadaan iddah. 3. Ada ucapan rujuk. 4. Ada saksi.

7. Kompilasi Hukum Islam Indonesia Tentang Pernikahan


Pernikahan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 terdiri dari 14 bab dan 17 pasal. Antara lain menyatakan sebagai berikut. Pernikahan yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 adalah atas dasar tidak ada unsure paksaan atau suka sama suka, mempersulit proses perceraian, poligami diperbolehkan dengan syarat tertentu, dan ada batas usia minimal bagi kedua calon pengantin, baik pria dan wanita.

Kewajiban pencatatan Pernikahan


Pernikahan menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 ditegaskan, Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan sebagai berikut. a. Setiap pernikahan harus dicatat sehingga terjamin ketertiban dalam masyarakat isalam. b. Pencatatan pernikahan dilakukan oleh pegawai pencatatan nikah. c. Setiap pernikahan harus dilangsungkan di bawah pengawasan pegawai pencatatan nikah. d. Penikahan yang dilakukan di luar pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hokum. e. Pernikahan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.

Sahnya pernikahan
Pernikahan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat 1dinyatakan sebuah pernikahan sah apabila pernikahan tersebut dilakukan menurut hokum agama dan kepercayaan masing-masing. Kompilasi huku islam dijelaskan sebagai breakout: 1. Pernikahan dilakukan menurut hukum islam 2. Pernikahan menurut hukum islam adalah suatu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.

Tujuan pernikahan
Dalam kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa pernikahan bertujuan untukmewujudkan pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Penetapan talak
Perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan sebagai berikut. a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama. b. Perceraian berdasarkan alasan kuat bahwa antara suami dan istri tida dapat diharapkan rukun kembali. Dalam kompilasi hukum islam dijelaskn bahwa putusnya pernikahan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa keputusan pengadilan agama.

Batasan dalam Berpoligamai

Prinsip umum pernikahan dalam islam adalah monogami. Tapi pada UU pernikahan diatur tentang poligamisuami mendapat izin dari pengadilan untuk berpoligami apabila memenuhi syarat sebagai berikut. a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak melahirkan keturunan.

Suami yang akan melakukan poligami harus mengikuti prosedur berikut. a. Suami mengajukan pernikahan berpoligami dengan alasan yang kuat kepada pengadilan. b. Adanya persetujuan istri pertama. c. Suami mampu memberi nafkah.

d. Adanya jaminan bahwa suami akan berbuat adil kepada istriistrinya.

8. Hikmah Nikah
Dari pernikahan banyak diperoleh faedah-faedahnya diantaranya 1. Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan merusak masyarakat manusia. 2. Menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi karena dengan menikah akan lahir generasi-generasi penerus bagi pendahulunya. 3. Memperbanyak umat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dengan keturunan yang lahir dalam pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Taala yang beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan pekerjaan dan memakmurkan alam ini. 4. Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada furu (anak keturunan seseorang). 5. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya. nih Allah SWT berfirman :


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenang dengannya dan Dia menjadikan mawaddah dan rahmah di antara kalian. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir. (Ar-Rum: 21)

NIKAH TANPA WALI (NIKAH SIRI)


Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuanketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbanganpertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut. Hukum Pernikahan Tanpa Wali Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;


Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648]. Berdasarkan dalalah al-iqtidla, kata laa pada hadits menunjukkan pengertian tidak sah, bukan sekedar tidak sempurna sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

, ,
Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649]. Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649) Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab tazir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori mengerjakan yang haram dan meninggalkan yang wajib. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh. Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara. Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut. Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syariy (bayyinah syariyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syariy. Kesaksian dari saksisaksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syariy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satusatunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syariy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut. Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syariy bukan hanya dokumen tertulis. Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulitmenyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[TQS AL Baqarah (2): Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusanurusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuranukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.

Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebuttelah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan. Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syariy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibaiat oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad baiat dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membaiatnya dengan baiat iniqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses baiat dari rakyat (iniqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka. Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara. Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;


Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing.[HR. Imam Bukhari dan Muslim] Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalanpersoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum. Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat

terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

BAB III PENUTUP


Kesimpulan Pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dalam membangun rumah tangga atau keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahhhmah atas dassar ridho Allah. Swt. Hukum dari nikah sendiri adalah jaiz atau boleh. Tujuan dari sebuah pernikahan adalah menegakkan dan menjunjung ssyariat Islam, memelihara hubungan dengan halal, dan memperoleh keturunan

Pernikahan dianggap sah apabila memmennuhi ruukun dan syarat nikah yaitu, adanya calon suami dan calon istri, adanya wwali nikah, adanya dua orang saksi dan ijab dan kabuul. Dalam kkehidupan rumah tangga, seorang suami mempunyai beberapa kewajiban antara lain, sebagai pemimpin dalam keluarga, sebagai pendidik dan pembimbing keluarga, memcari nafkah untuk keluarga. Demikian juga ddengan seorang istri,ada beberapa kewajibann yang harus dilakukan oleh seorang istri yaitu menjaga kehormatan diri dan keluarganya serta mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Talak merupakan suatu jalan yang ddarurat yang diambil oleh suami istri dalam melakukan penyelesaian perselisihan yang tidak bisa di damaikan lagi. Talak adalah perbuatan halal yyang dibenci oleh Allah. Swt. Sedangkan Iddah adalah menunggu bagi seorang perempuan yang diceraikan oleh suaminya untuk boleh menikah lagi dengan laki-laki lain. Dan rujuk adalahkembalinya mantan suuami ke mantan istrinya selama masih dalam masa iddah raji. Dari sebuah pernikahan banyak melahirkan faedah-faedah antara lain, dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi, dan terpenuhinya tuntutan biologis secara sah dan halal.

DAFTAR PUSTAKA
http://nismoclub.6.forumer.com/viewtopic.php?t=13495 http://www.mail-archive.com/keluarga-islam@yahoogroups.com/info.html http://hizbut-tahrir.or.id/

Você também pode gostar