Você está na página 1de 26

BAB I PENDAHULUAN

Persalinan adalah suatu proses pengeluaran fetus dan plasenta dari uterus, ditandai dengan peningkatan aktifitas miometrium (frekuensi dan intensitas kontraksi) yang menyebabkan penipisan dan pembukaan serviks serta keluarnya lendir darah (show) dari vagina.1,8 Post partum adalah waktu yang diperlukan oleh ibu untuk memulihkan alat kandungannya ke keadaan semula dari melahirkan bayi sampai setelah 2 jam pertama persalinan yang berlangsung antara 6 minggu ( 42 hari ).1,3 Masa post partum merupakan masa kritis dimana masa post partum akan menimbulkan berbagai komplikasi diantaranya yaitu perdarahan, infeksi puerperalis, endometritis, mastitis, tromboplebitis, thrombosis, emboli, postpartum blues.6,17 Dimana perdarahan merupakan penyebab terbanyak kematian wanita selama periode post partum.11 Sehingga untuk menangani dan mencegah komplikasi yang timbul, maka diperlukan pemantauan yang khusus. Postpartum blues sendiri sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah menulis refrensi di literature kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca salin yang disebut sebagai milk fewer karena gejala disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi.17 Dewasa ini postpartum blues (PPB) atau serig juga disebut maternity blues atau baby blues syndrome dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan efek ringan yang sering tampak dalam minggu petama setelah persalinan dan ditandai dengan gejalagejala seperti reaksi depresi/sedih/disforia, menangis , mudah tersinggung (iritabilitas), cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri , gangguan tidur dan gangguan nafsu makan .6 Gejala-gejala ini muncul setelah persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai beberapa hari . Namun pada beberapa kasus gejala-gejala tersebut terus bertahan dan baru menghilang setelah beberapa hari, minggu atau bulan kemudian bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat. Banyak wanita sembuh dengan pengobatan yang terdiri dari terapi kelompok atau dengan cara konseling.

BAB II PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG Post partum adalah waktu yang diperlukan oleh ibu untuk memulihkan alat kandungannya ke keadaan semula dari melahirkan bayi sampai setelah 2 jam pertama persalinan yang berlangsung antara 6 minggu ( 42 hari ).1,3 Pengawasan dan asuhan post partum masa nifas sangat diperlukan yang tujuannya adalah menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologis, melaksanakan sekrining yang komprehensif, mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya. Baby blues syndrome, atau sering juga disebut postpartum blues adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami oleh sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Umumnya terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ke tiga atau empat setelah persalinan.2,5,8,10 Reaksi emosional yang biasanya muncul pada perempuan di masa nifas pasca melahirkan yaitu : 1. 2. 3. Baby blues syndrome / Postpartum blues atau Maternity blues. Depresi pasca persalinan. Psikosis pasca persalinan.

Gejala baby blues syndrome yang biasanya dialami oleh ibu setelah 3-4 hari melahirkan namun memudar setelah beberapa minggu.7 Baby Blues Syndrome (BBS) adalah depresi ringan yang dialami ibu setelah melahirkan. BBS juga disebut maternity

blues, atau postpartum blues. Gejalanya berupa gangguan emosi sering menangis, murung, panik, mudah marah, dan disertai dengan gejala depresi, mood swings, gangguan tidur dan selera makan, serta gangguan konsentrasi yang kesemuanya merupakan akibat perubahan hormonal.7,9,10

B. FASE-FASE PERUBAHAN PSIKOLOGI PADA IBU POSTPARTUM Seorang ibu yang berada pada periode pascapartum mengalami banyak perubahan baik perubahan fisik maupun psikologi. Menurut Reva Rubin (1997) perubahan psikologi postpartum pada seorang ibu yang baru melahirkan terbagi dalam tiga fase : a. Fase taking in, yaitu periode ketergantungan yang berlangsung pada hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat itu focus perhatian ibu hanya pada dirinya sendiri, pengalaman selama proses persalinan sering berulang-ulang diceritakannya. lingkungannya. b. Fase taking hold, yaitu periode yang berlangsung antara 3-10 hari setelah persalinan. Pada fase ini ibu merasa khawatir akan ketidakmampuannya dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Pada fase ini merupakan kesempatan yang baik untuk menerima berbagai penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya sehingga timbul percaya diri. c. Fase letting-go, merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya yang berlangsung kurang lebih 10 hari setelah melahirkan. Pada fase ini ibu sudah dapat menyesuaikan diri untuk merawat diri dan bayinya, mulai fokus kembali pada pasangannya dan kembali bekerja mengurus hal-hal lain. Hal ini membuat cenderung ibu menjadi pasif terhadap

C. POST PARTUM BLUES a. Definisi Post Partum Blues (PBB) sering juga disebut sebagai Maternity blues atau Baby blues syndrome diketahui sebagai suatu sindroma gangguan efek ringan yang sering tampak dalam 14 hari pertama atau 2 minggu setelah persalinan.6,8 Postpartum blues dapat terjadi sejak hari pertama pascapersalinan atau pada saat fase taking in, cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima. Postpartum blues merupakan gangguan suasana hati pascapersalinan yang bisa berdampak pada perkembangan anak karena stres dan sikap ibu yang tidak tulus terus-menerus bisa membuat bayi tumbuh
3

menjadi anak yang mudah menangis, cenderung rewel, pencemas, pemurungdan mudah sakit. Keadaan ini sering disebut puerperium atau trimester keempat kehamilan yang bila tidak segera diatasi bisa berlanjut pada depresi postpartum yang biasanya terjadi pada bulan pertama setelah persalinan.

b. Epidemilogi Dalam dekade terakhir ini, banyak peneliti dan klinisi yang memberi perhatian khusus pada gejala psikologis yang menyertai seorang wanita pasca persalinan, dan telah melaporkan beberapa angka kejadian dan berbagai faktor yang diduga mempunyai kaitan dengan gejalagejala tersebut. Berbagai studi mengenai post-partum blues di luar negeri melaporkan angka kejadian yang cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%, yang kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan populasi dan kriteria diagnosis yang digunakan. Penelitian di Negara barat menunjukkan kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan dari asia, pada penelitia yang dilakukan terhadap 154 wanita pasca persalinan di Malaysia pada tahun 1995 dilaporkan angka kejadian 3,9% terbanyak dari ras India (8,9%), Melayu (3,0%), dan tidak adanya kasus pada ras Cina. Penelitian di Singapura dilaporkan angka kejadiannya sebesar 1%.15 Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Jofesson dkk pada tahun 2002 didapatkan angka baby blues syndrome sekitar 10%-20%.5 Sebenarnya catatan medis tentang PPB telah ada sejak zaman Hippocrates, sekitar abad ke 5 SM, namun dianggap kurang penting karena dipandang sekedar sebagai efek kelelahan setelah melahirkan. Dr.dr. Irawati SpKj, M. Epid dari bagian psikiatri UI melaporkan bahwa 25% dari 580 pasiennya (ibu melahirkan ) menagalami PPB.17 Dr. Irawati menegemukakan gejala BBS dialami oleh sekitar 50-75% ibu melahirkan, atau 2/3 dari jumlah ibu melahirkan di seluruh dunia.17 Sedangkan The National Mental Health Association (2003) mengemukakan bahwa sekitar 80% ibu yang melahirkan bayi untuk pertama kalinya mengalami gejala tersebut. Pada penelitian yang pernah dilakukan dibagian/KSMF Obstetri dan Ginekologi FKUP/RSHS Bandung, didapatkan angka kejadian sebesar 33,1% diantara wanita yang melahirkan secara spontan, dan ternyata didapatkan pula bahwa baby blues syndrome tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita pekerja dan mereka yang berpendidikan tinggi2, beberapa
4

penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia anatar lain : di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya pada tahun 1998-2001 ternyata angka kejadian mencolok tinggi yakni sebesar 11%-30% dibandingkan dengan kejadian di negara lain yang ada di Asia. Dan penelitian lain didapatkan angka baby blues syndrome yang lebih tinggi yaitu 23,4%-36,7%.2

c. Etiologi Penyebab pasti Postpartum blues belum diketahui, namun beberapa faktor diduga menjadi penyebab, diantaranya: a. Faktor hormonal Usai bersalin, hormon kortisol pada ibu naik mendekati kadar seperti pada orang depresi. Pada saat yang bersamaan hormon laktogen dan prolaktin yang memicu produksi ASI meningkat, dan hormon progesteron mengalami penurunan pada kadar yang sangat rendah.Pertemuan kesemua hormon ini memicu timbulnya keletihan fisik pada ibu dan memicu terjadinya depresi. b. Faktor Usia Biasanya sering terjadi pada usia < 20 tahun dan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu.10,15 Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang perempuan untuk melahirkan pada usia antara 2030 tahun, dan hal ini mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. c. Faktor fisik10 Kelelahan merawat bayi seharian bisa menjadi pemicu timbulnya Baby blues ini. Kurang tidur saat hamil juga dapat mempengaruhi timbulnya Baby blues. d. Faktor Pengalaman11 Beberapa penelitian diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Paykel dan Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan
5

segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri muda dari kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami krisis setelah kelahiran bayi pertama. e. Faktor selama proses persalinan11 Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi pascasalin. f. Faktor pendidikan Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dibandingkan dengan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anakanak mereka. g. Faktor Lingkungan Lingkungan yang tidak memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu ibu, selain kurangnya dukungan dalam perkawinan. h. Faktor sosial11 Ibu yang sulit menyesuaikan diri terhadap peran barunya akan merasa terus terikat oleh keberadaan sang bayi. Selain itu, banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan pasca persalinan, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang. i. Faktor psikologis12 Ibu yang mengalami kelelahan membutuhkan perhatian dari keluarga terutama dari suami. Kekecewaan atas minimnya dukungan dapat memicu terjadinya Baby blues.

c. Faktor Resiko Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya postpartum blues15 : 1. Kejadian-kejadian sebagai stressor yang terjadi pada ibu hamil, seperti kehilangan suaminya. 2. Pada kehamilan sebelumnya pernah mengalami postpartum blues.10 3. Kondisi bayi yang cacat, atau memerlukan perawatan khusus pasca melahirkan yang tidak pernah dibayangkan oleh sang ibu sebelumnya. 4. Melahirkan di bawah usia 20 tahun. 5. Tidak adanya perencanaan kehamilan atau kehamilan yang tidak diharapkan. 6. Hubungan dengan pasangan sedang bermasalah. 7. Ketergantungan pada alkohol atau narkoba. 8. Kurangnya dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga, suami, dan teman. 9. Kurangnya komunikasi, perhatian, dan kasih sayang dari suami, atau orang yang bersangkutan dengan sang ibu. 10. Perubahan dinamika kehidupan.10 11. Mempunyai permasalahan keuangan menyangkut biaya, dan perawatan bayi. 12. Kurangnya kasih sayang dimasa kanak-kanak. 13. Adanya keinginan untuk bunuh diri pada masa sebelum kehamilan.

d. Patofisiologi Para wanita lebih mungkin mengembangkan depresi post partum jika mereka terisolasi secara sosial dan emosional serta baru saja mengalami peristiwa kehidupan yang menekan. Antara 8% sampai 12% wanita tidak dapat menyesuaikan peran sebagai orang tua dan menjadi sangat tertekan sehingga mencari bantuan dokter. Beberapa dugaan kemunculan ini disebabkan oleh beberapa faktor dari dalam dan luar individu. Penelitian dari Dirksen dan De Jonge Andriaansen (1985) menunjukkan bahwa depresi tersebut membawa kondisi yang berbahaya bagi perkembangan anak di kemudian hari. De Jonge Andriaansen juga meneliti beberapa teknologi medis (penggunaan alat-alat obstetrical) dalam pertolongan melahirkan dapat memicu depresi ini. Misalnya saja pada pembedahan caesar, penggunaan tang, tusuk punggung,episiotomi dan sebagainya.

Perubahan hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap pemicu depresi ini.1,6,8 Diperikiran sekitar 50-70% ibu melahirkan menunjukkan gejala-gejala awal kemunculan depresi post partum blues, walau demikian gejala tersebut dapat hilang secara perlahan karena proses adaptasi dan dukungan keluarga yang tepat. Faktor biologis yang paling banyak terlibat adalah faktor hormonal. Perubahan kadar hormone pada wanita memegang peran penting ; perubahan suasana hati biasa terjadi sesaaat sebelum menstruasi sesaat sebelum menstruasi (ketegangan pramenstruasi) dan setelah persalinan (depresi postpartum). Perubahan hormone serupa biasa terjadi pada wanita pemakai pil KB yang mengalami depresi. Faktor yang berpengaruh pada baby blues syndrome berupa perubahan kadar esterogen, progeteron, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah. Kadar esterogen turun secara bermakna setelah melahirkan, ternyata esterogen memiliki efek supresi aktifitas enzim nonadrenalin maupun serotin yang berperan dalam suasana hati dan depresi. Konduksi

impuls dapat terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah sinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut di post sinaps sistem saraf pusat. Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme biokimiawi depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti depresan. Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena menurunnya pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan neurotransmisi

serotogenik).Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem limbik. Oleh karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut : a. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan neurotransmisi serotogenik. b. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor presinaptik. c. Menurunnya aktivitas dopamin.
8

d. Meningkatnya aktivitas asetilkolin. Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya neurotransmisi akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti klinis yang menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian obat MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase. Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini dibuktikan dengan pemberian antidepresan golongan SSRE (Selective Serotonin Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala depresi. Kelainan fungsi tiroid yang sering terjadi pada wanita, juga merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya depresi. Depresi juga bisa terjadi karena atau bersamaan dengan sejumlah penyakit atau kelainan fisik. Kelainan fisik bias menyebabkan terjadinya depresi secara ; langsung, misalnya ketika penyakit tiroid menyebabkan berubahnya kadar hormone. Yang bias menyebabkan terjadinya depresi tidak langsung, misalnya ketika penyakit atritis rematoid menyebabkan nyeri dan cacat, yang bias menyebabkan depresi. Ada pula kelainan fisik menyebabkan depresi secara langsung dan tidak langsung. Misalnya AIDS; secara langsung menyebabkan depresi jika virus penyebabnya merusak otak; secara tidak langsung menyebabkan depresi jika menimbulkan dampak negative terhadap kehidupan penderitanya.

e. Manifestasi Klinis Berikut beberapa gejala Postpartum Blues / Baby blues syndrome atau depresi pasca melahirkan: Mudah menangis dan merasa sedih tanpa sebab. Cenderung menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berharga & punya harapan atau merasa bersalah berlebihan serta hidup tidak menyenangkan. Merasa lelah, mudah tersinggung. Perasaan cemas, labil, khawatir akan menyakiti diri sendiri atau bayinya, kadang ibu seakan-akan ingin membunuh bayi. Gangguan tidur baik itu sulit untuk tidur atau justru tidur menjadi lebih lama. Hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan atau bahkan terjadi peningkatan berat badan yang disertai dengan pola makan berlebihan. Kurangnya energi & motivasi sehingga sulit untuk melakukan kegiatan. Merasa kurang menyangi bayinya. Tidak memperhatikan penampilan dan kurang menjaga kebersihan diri. Jika symptom muncul kurang dari 2 minggu, diagnosis baby blues lebih tepat digunakan. Baby blues dialami oleh 80% ibu baru, biasanya bertahan dalam hitungan jam atau hari dan dalam kebanyakan kasus resolve secara spontan pada hari ke sepuluh setelah kelahiran.

f. Diagnosis Depresi merupakan gangguan yang betulbetul dipertimbangkan sebagai

psikopatologi yang paling sering mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian. Gejala depresi seringkali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan. Manifestasi dari kedua gangguan ini lebih lanjut sering timbul sebagai keluhan umum seperti
10

: sukar tidur, merasa bersalah, kelelahan, sukar konsentrasi, hingga pikiran ingin bunuh diri. Menurut Vandenberg , menyatakan bahwa keluhan dan gejala depresi postpartum tidak berbeda dengan yang terdapat pada kelainan depresi lainnya.8 Hal yang terutama mengkhawatirkan adalah pikiran pikiran ingin bunuh diri, wahamwaham paranoid dan ancaman kekerasan terhadap anakanaknya. Kriteria diagnosis spesifik pospartum blues / depresi postpartum tidak dimasukkan di dalam DSM-IV4, dimana tidak terdapat informasi yang adekuat untuk membuat diagnosis spesifik. Diagnosis dapat dibuat jika depresi terjadi dalam hubungan temporal dengan kelahiran anak dengan onset episode dalam 4 minggu pasca persalinan.4 Menurut DSM IV, simptomsimptom yang biasanya muncul pada episode postpartum antara lain perubahan mood, labilitas mood dan sikap yang berlebihan terhadap bayi. 4 Wanita yang menderita depresi postpartum sering mengalami kecemasan yang sangat hebat dan sering panik.9 Meskipun belum ada kriteria diagnosis spesifik dalam DSM-IV, secara karakteristik penderita pospartum blues / depresi postpartum mulai mengeluh kelelahan, perubahan mood, memiliki episode kesedihan, kecurigaan dan kebingungan serta tidak mau berhubungan dengan orang lain.4,7 Selain itu, penderita depresi postpartum memiliki perasaan tidak ingin merawat bayinya, tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya. Gejala depresi postpartum ini memang lebih ringan dibandingkan dengan psikosis postpartum. Meskipun demikian, kelainankelainan tersebut memiliki potensi untuk menimbulkan kesulitan atau masalah bagi ibu yang mengalaminya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gejalagejala depresi postpartum antara lain adalah trauma terhadap intervensi medis yang dialami, kelelahan, perubahan mood, gangguan nafsu makan, gangguan tidur, tidak mau berhubungan dengan orang lain, tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya.

11

g. Pemeriksaan Penunjang Skrining untuk mendeteksi gangguan mood / depresi sudah merupakan acuan pelayanan pasca persalinan yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner dengan sebagai alat bantu. Edinburgh Posnatal Depression Scale (EPDS)8 merupakan kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca melahirkan.7 Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan perasaan, kecemasan, perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada postpartum blues . Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca melahirkan saat itu.16 Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit. EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa negara seperti Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca persalinan dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi 2 (dua) minggu kemudian.

Gambar kuisioner EPDS

12

h. Diagnosis banding 1. Postpartum Depression / Depresi pasca persalinan

Definisi Postpartum depression (PPD) adalah gejala depresi berat yang terjadi 7 hari setelah melahirkan dan berlangsung selama 30 hari dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.8,10 PPD adalah bentuk utama dari depresi dan kurang umum daripada postpartum blues. PPD mencakup semua gejala depresi, tetapi hanya terjadi pada pasca persalinan. Hal ini dapat terjadi kapan saja sesaat setelah melahirkan dan dapat berlangsung lama hingga satu tahun. Faktor Risiko PPD terjadi pada 10 sampai 20% wanita setelah melahirkan.13 Meskipun setiap wanita berisiko, dibawah ini merupakan faktor risiko terjadinya PPD :

Komplikasi dari Baby blues syndrome yang tidak teratasi. Sebelumnya pernah episode depresi postpartum. Riwayat depresi sebelumnya. Riwayat depresi pada keluarga. Kurangnya dukungan (misalnya, dari suami maupun anggota keluarga). Kelahiran yang tidak diharapkan.

Etiologi Etiologi pasti tidak diketahui, namun, sebelumnya pernah memiliki riwayat depresi adalah faktor risiko utama, perubahan hormonal selama masa nifas, dan kurang tidur atau istirahat. Berbeda dengan baby blues, yang biasanya berlangsung 2 sampai 3 hari (sampai dengan 2 minggu) dan relatif ringan, depresi postpartum berlangsung> 2 minggu dan dapat mengganggu aktivitas hidup sehari-hari.

13

Gejala dan Tanda10


Kesedihan yang berlebihan Menangis terus menerus Insomnia atau pola tidur meningkat Kehilangan nafsu makan atau makan berlebihan Mudah marah Sakit kepala Kelelahan berlebih Kekhawatiran yang tidak realistik tentang sesuatu Tidak tertarik pada bayi Takut mencelakai bayi Keinginan untuk bunuh diri Kegelisahan yang berlebihan

Postpartum depression dapat mengganggu kemampuan ibu untuk merawat diri mereka sendiri dan bayi mereka sendiri. Untuk terjadinya gejala psikosis jarang, tetapi depresi postpartum meningkatkan risiko bunuh diri dan pembunuhan bayi sendiri, yang merupakan komplikasi paling parah. Jika seorang ibu tidak bisa membina suatu ikatan dengan bayinya, akan menimbulkan masalah dari segi emosi, sosial, dan kognitif pada bayinya dimasa yang akan datang.8

Postpartum depression (atau gangguan mental serius) harus dicurigai jika perempuan memiliki berikut:

Gejala > 2 minggu Gejala yang mengganggu aktivitas sehari-hari Adanya keinginan untuk bunuh diri Halusinasi, delusi, atau perilaku psikotik

14

2. Postpartum Psikosis / Psikosis pasca persalinan

Definisi Postpartum psikosis merupakan gangguan mental yang paling parah pada ibu postpartum, kondisi ini biasanya bermanifestasi dalam waktu 2 minggu setelah persalinan dan biasanya disertai gangguan bipolar.8

Etiologi Kasus postpartum psikosis (PPP) jarang terjadi pada wanita setelah melahirkan, suatu kondisi yang hanya terjadi sekitar sepersepuluh dari 1% pada ibu baru. Dalam suatu studi yang dilakukan oleh Marks dkk (1991) yang diikuti sekitar 88 wanita hasilnya berisiko tinggi untuk mengalami gangguan kejiwaan Onset dari PPP cepat dan parah, dan biasanya terjadi dalam dua sampai tiga minggu pertama setelah melahirkan.8 Disebabkan karena wanita menderita bipolar disorder atau masalah psikiatrik lainnya yang disebut schizoaffektif disorder. Wanita tersebut mempunyai resiko tinggi untuk terkena post partum psikosis. Faktor Risiko8,12 Wanita dengan riwayat penyakit psikotik sebelumnya. (high risk) Riwayat depresi postpartum sebelumnya. Riwayat postpartum psikosis sebelumnya.

Gejala8,12 Gejalanya mirip dengan reaksi psikotik umum seperti delusi (suatu keyakinan yang dipegang secara kuat namun tidak akurat, yang terus ada

walaupun bukti menunjukkan hal tersebut tidak memiliki dasar dalam realitas) dan halusinasi (persepsi palsu atau terjadinya persepsi dalam kondisi sadar tanpa adanya rangsang nyata terhadap indera), sering termasuk :

Gejala fisik

Penolakan

untuk

makan,

ketidakmampuan

untuk

menghentikan aktivitas, sangat gelisah.

Gejala mental

Kebingungan ekstrim, kehilangan memori, inkoherensi.

15

Gejala perilaku

: Paranoia, pernyataan irasional, keasyikan dengan hal-hal sepele.

Penatalaksanaan Seorang wanita yang didiagnosis dengan PPP harus dirawat di rumah sakit sampai ia dalam kondisi stabil. Dokter mungkin akan meresepkan obat mood stabilizer, antipsikotik atau obat antidepresan untuk mengobati gejala psikosis postpartum. Ibu yang mengalami PPP sangat mungkin untuk menderita lagi setelah kehamilan berikutnya.

Pencegahan Untuk mengurangi jumlah penderita ini sebagai anggota keluarga hendaknya harus lebih memperhatikan kondisi dan keadaan ibu serta memberikan dukungan psikis agar tidak merasa kehilangan perhatian.16

Saran kepada penderita untuk: 1. Beristirahat cukup 2. Mengkonsumsi makanan dengan gizi yang seimbang 3. Bergabung dengan orang-orang yang baru 4. Bersikap fleksible 5. Berbagi cerita dengan orang terdekat 6. Sarankan untuk berkonsultasi dengan tenaga medis

Perbedaan Baby Blues Syndrome dengan Postpartum Depression Perbedaan Baby Blues Syndrome dengan Postpartum Depression yaitu terletak pada frekuensi, intensitas, serta durasi berlangsungnya gejala-gejala di atas. Pada Postpartum Depression, Anda akan merasakan berbagai gejala tersebut lebih sering, lebih hebat, serta lebih lama.6,9

16

Karakeristik Insiden Onset Durasi Riw. Gangguan mood Gangguan tidur ( Sleep ) Anhedonia ( Interest ) Merasa berasalah ( Guilty ) Kehilangan Energi ( Energy ) Kurang konsentrasi Pikiran bunuh diri ( Suicide )

Baby blues syndrome 50% - 80% 3 5 hari post partum Harian s/d Mingguan Tidak ada Kadang kadang Ada tapi jarang Ada tapi ringan Ada tapi ringan Mungkin ada Tidak ada / sedikit

Postpartum depression 10% 3 6 bulan post partum Bulanan s/d Tahunan Ada Hampir selalu ada Ada Ada Ada Ada Hampir selalu ada Hampir selalu ada

Pikiran untuk mencelakakan Jarang bayinya

Cara membedakan keduanya yaitu. salah satunya dengan memperhatikan pola tidur si ibu. Jika ketika ada orang lain menjaga bayi, si ibu bisa tertidur, maka besar kemungkinan si ibu hanya menderita Baby Blues Syndrome (BBS). Namun jika si ibu sangat sulit tertidur walaupun bayinya dijaga oleh orang lain, maka mungkin tingkat depresinya sudah termasuk ke dalam Postpartum Depression (PPD). Sedangkan gejala Postpartum Depression yaitu Cepat marah, bingung, mudah panik, merasa putus asa, perubahan pola makan dan tidur, ada perasaan takut bisa menyakiti bayinya, ada perasaan khawatir tidak bisa merawat bayinya dengan baik, timbul perasaan bahwa ia tidak bisa menjadi ibu yang baik dan PPD bisa berlangsung hingga 1 tahun setelah kelahiran bayi, pada kasus PPD akut, si ibu bisa saja bunuh diri atau menyakiti bayinya sendiri.6,9
17

j. Penatalaksanaan a) Pendekatan Psikologis Penanganan gangguan mental pasca persalinan pada prinsipnya tidak berbeda dengan penanganan gangguan mental pada momen-momen lainya. Para ibu yang mengalami postpartum blues membutuhkan pertolongan yang sesungguhnya dan membutuhkan dukungan psikologis seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus juga dipenuhi. Mereka membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dari situasi yang menakutkan. Mungkin juga mereka membutuhkan pengobatan ataupun istirahat.16 Dengan bantuan dari teman dan keluarga, mereka mungkin perlu untuk mengatur atau menata kembali kegiatan rutin sehari-hari, atau mungkin menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan dengan konsep mereka tentang keibuan dan perawatan bayi.11 Bila memang diperlukan, dapat diberikan pertolongan dari para ahli, misalnya dari seorang psikolog atau konselor yang berpengalaman dalam bidang tersebut. Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para wanita untuk kemungkinan terjadinya gangguan mental pasca-salin dan segera memberikan penanganan yang tepat bila terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk para ahli psikologi/konseling bila memang diperlukan. Dukungan yang memadai dari para petugas obstetri, yaitu: dokter dan bidan/perawat sangat diperlukan, misalnya dengan cara memberikan informasi yang memadai/adekuat tentang proses kehamilan dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit yang mungkin timbul dalam masa-masa tersebut serta penanganannya.11 Postpartum blues juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang dengan menarik nafas panjang dan meditasi, tidur ketika bayi tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan tulus dengan peran baru sebagai ibu, tidak perfeksionis dalam hal mengurusi bayi, membicarakan rasa cemas dan mengkomunikasikannya, bersikap fleksibel, bergabung dengan kelompok ibu-ibu baru.13 Dalam penanganan para ibu yang mengalami post-partum blues dibutuhkan pendekatan menyeluruh/holistik. Pengobatan medis, konseling

emosional, bantuan-bantuan praktis dan pemahaman secara intelektual tentang pengalaman dan harapan-harapan mereka mungkin pada saat-saat tertentu.

18

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat perilaku, emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-sama, dengan melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya. Ada beberapa cara untuk mengatasi masalah ini yaitu6,13 : i. Dengan cara pendekatan komunikasi teraupetik Tujuan dari komunikasi teraupetik adalah menciptakan hubungan baik antara bidan dengan pasien dalam rangka kesembuhannya dengan cara : Mendorong pasien mampu meredakan segala ketegangan emosi. Dapat memahami dirinya. Dapat mendukung tindakan konstruksi. ii. Peningkatan support mental/dukungan keluarga dalam mengatasi gangguan psikologis yang berhubungan dengan masa nifas dalam menjalani periode pasca melahirkan. b) Medikamentosa6,9,14 Strategi farmakologis yang diindikasikan untuk gejala depresi sedang sampai berat atau ketika seorang wanita tidak merespon pengobatan non-farmakologis. Obat juga dapat digunakan dalam hubungannya dengan terapi non-farmakologis. Wanita yang sedang hamil atau menyusui harus berkonsultasi dengan dokter mengenai keuntungan dan resiko dari meminum obat antidepresi. Beberapa wanita khawatir bahwa obat ini dapat membahayakan bayi mereka. Jika seorang ibu depresi, akan dapat mempengaruhi perkembangan bayinya, sehingga penting sekali untuk mendapatkan perawatan bagi ibu dan bayi. Obat Antidepresan8,7,10,14 Banyak jenis obat antidepresan dengan perbedaan cara kerja dan efek samping yang telah beredar dimasyarakat. Semuanya dapat mengobati gejala depresi dan dapat sangat membantu bagi ibu dengan postpartum blues. Untuk ibu yang sedang menyusui, bagaimanapun, mungkin khawatir tentang keamanan obat antidepresan untuk bayinya. Untuk postpartum blues pada ibu menyusui, para ahli merekomendasikan obat yang
19

disebut serotonin reuptake inhibitor (SSRI), yang mempengaruhi serotonin pada otak. Yang terkenal diantaranya adalah Zoloft (sertraline), obat antidepresi yang paling banyak dipelajari pada ibu menyusui dan bayi mereka. Sebagian jumlah kecil masuk ke dalam ASI, dan tidak ada efek samping pada bayi. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) adalah agen lini pertama dan efektif pada wanita dengan depresi pasca-melahirkan. Gunakan dosis antidepresan standar, misalnya, sertraline (Zoloft) 50-200 mg / hari, fluoxetine (Prozac) 10-60 mg / hari, paroxetine (Paxil) 20-60 mg / hari, citalopram (Celexa) 20-60 mg / hari , atau escitalopram (Lexapro) 10-20 mg / hari. Akibat yang merugikan dari obat kategori ini termasuk insomnia, mual, penurunan nafsu makan, sakit kepala, dan disfungsi seksual. Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs), seperti venlafaxine (Effexor) 75-300 mg / hari atau duloxetine (Cymbalta) 40-60 mg / hari, juga sangat efektif untuk depresi dan kecemasan. Antidepresan trisiklik (misalnya, Nortriptilin 50-150 mg / hari) mungkin berguna bagi wanita dengan gangguan tidur, walaupun beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan lebih merespon obat kategori SSRI. Akibat yang merugikan dari antidepresan trisiklik termasuk mengantuk, berat badan bertambah, mulut kering, sembelit, dan disfungsi seksual. Biasanya, gejala mulai berkurang dalam 2-4 minggu. Sebuah penyembuhan penuh dapat berlangsung beberapa bulan. Pada sebagian responden, meningkatkan dosis dapat membantu. Agen anxiolytic seperti lorazepam dan clonazepam mungkin berguna sebagai pengobatan adjunctive pada pasien dengan kecemasan dan gangguan tidur. Data awal menunjukkan bahwa estrogen, sendiri atau dalam kombinasi dengan antidepresan, mungkin bermanfaat, namun tetap antidepresan menjadi baris pertama pengobatan. Jika ini adalah episode pertama dari depresi, pengobatan selama 6-12 bulan dianjurkan. Untuk wanita dengan depresi mayor berulang, diindikasikan perawatan pengobatan jangka panjang dengan antidepresan. Kegagalan untuk mengobati atau pengobatan yang tidak adekuat dapat mengakibatkan memburuknya hubungan antara
20

ibu dan bayi atau pasangan. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko morbiditas pada ibu dan bayi, serta kompromi sosial dan pengembangan pendidikan sang bayi.Semakin cepat pengobatan maka semakin baik prognosisnya. Rawat Inap mungkin diperlukan untuk depresi pascamelahirkan yang parah. Untuk tipe depresi yang sangat parah dimana ibu memiliki gejala psikotik (halusinasi atau delusi), sangat penting untuk menggabungkan obat antidepresan dengan obat jenis lain dari golongan antipsikotik. Jika ibu menyusui, para ahli merekomendasikan jenis yang lebih tua disebut antipsikotik konvensional (seperti Haldol), jenis baru (antipsikotik atipikal seperti Risperdal atau Zyprexa) lebih diutamakan sebaliknya, tapi belum cukup teruji untuk ibu menyusui dan untuk bayi. Jika seorang wanita memiliki gejala yang sangat parah, seperti ingin bunuh diri atau pikiran psikotik, mungkin dokter perlu menempatkan dia di rumah sakit untuk memastikan keselamatan dirinya dan bayinya. Terapi electroconvulsive (ECT)8 adalah cepat, aman, dan efektif untuk perempuan dengan depresi pascamelahirkan yang parah, khususnya mereka dengan pikiran bunuh diri yang aktif, tidak merespons obat atau sedang menyusui dan ingin menghindari obat-obatan.. Masih ada terapi yang masih belum terbukti seperti penggunaan cahaya terang dan terapi gizi (terutama meningkatkan omega-3 bebas asam lemak ).

k. Dampak Postpartum blues pada bayi Sekilas baby blues memang tidak berbahaya. Tapi kondisi ini, efeknya sangat nyata pada perkembangan anak karena biasanya ibu yang mengalami baby blues tidak dapat merawat anaknya dengan baik, jadi secara otomatis ia juga tidak bias memberikan kebutuhan yang seharusnya diterima anaknya, baik itu dari segi perhatian maupun nutrisi yang masuk ketubuhnya.13 Dampak lain juga bisa membuat si kecil lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Padahal, aksi kekerasan yang dialami si kecil tak hanya berdampak pada dirinya saat itu, tapi bisa berbekas hingga dewasa. Dalam jurnal Archives of Pediatric & Adolescent Medicine, anak yang mengalami kekerasan berkepanjangan di masa kecil serta lahir premature berisiko lebih tinggi untuk tumbuh menjadi remaja yang nakal dan bermasalah. Mereka juga cenderung mengalami
21

kesulitan belajar dan saat dewasa cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah. Yang paling menyedihkan, anak-anak ini juga terancam menjadi penderita depresi dan mengalami disfungsi sosial.17

l. Pencegahan Post partum blues dapat dicegah dengan cara : 1. Perhatian terhadap ibu Anjurkan ibu untuk merawat dirinya, yakinkan pada suami atau keluarga untuk selalu memperhatikan si ibu. 2. Tidur dan makan yang cukup Diet nutrisi cukup penting untuk kesehatan, lakukan usaha yang terbaik dengan makan dan tidur yang cukup. Keduanya penting selama periode postpartum dan kehamilan. 3. Olahraga secara teratur Olahraga adalah kunci untuk mengurangi resiko postpartum blues. Lakukan peregangan selama 15 menit dengan berjalan setiap hari, sehingga membuat diri anda merasa lebih baik dan dapat mengendalikan emosi berlebihan dalam diri ibu. 4. Hindari perubahan hidup sebelum atau sesudah melahirkan Jika memungkinkan, hindari membuat keputusan besar seperti membeli rumah atau pindah kerja, sebelum atau setelah melahirkan. Tetaplah hidup secara sederhana dan menghindari stres, sehingga dapat segera dan lebih mudah menyembuhkan postpartum yang diderita. 5. Dukungan dari keluarga dan orang yang dicintai Dukungan dari keluarga atau orang yang dicintai sangat diperlukan. Beritahukan si ibu jika ada masalah, segera ceritakan kepada pasangan atau orangtua, atau siapa

22

saja yang mau bersedia menjadi pendengar yang baik. Yakinkanlah si ibu, bahwa mereka akan selalu berada disisinya setiap mengalami kesulitan. 6. Persiapkan diri dengan baik Persiapan fisik, mental, dan ekonomi sebelum melahirkan sangat diperlukan. 7. Rekreasi Rencanakan acara keluar bersama suami dan anak. Pergi ke tempat hiburan dapat mengurangi stres dan dapat meningkatkan keharmonisan dalam rumah tangga. 8. Lakukan pekerjaan rumah tangga Pekerjaan rumah tangga sedikitnya dapat membantu si ibu agar dapat melupakan luapan perasaan yang terjadi selama periode postpartum. Jika kondisi si ibu belum stabil, bias dicurahkan dengan memasak atau membersihkan rumah. 9. Dukungan emosional Dukungan emosi dari lingkungan, keluarga dan juga orang yang ikut mengalami atau merasakan hal yang sama dengan si ibu akan dapat membantu si ibu dalam mengatasi rasa depresi.

23

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN Baby blues syndrome sering juga disebut sebagai Maternity blues atau Postpartum blues diketahui sebagai suatu sindroma gangguan efek ringan yang sering tampak dalam 14 hari pertama atau 2 minggu setelah persalinan dan cenderung lebih buruk sekitar hari ke tiga atau kelima setelah persalinan. Banyak faktor diduga berperan pada sindroma ini, antara lain adalah faktor hormonal, faktor demografik yaitu umur dan paritas, pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan, takut kehilangan bayi, bayi sakit ( kuning, dll ), takut untuk memulai hubungan suami istri, anak akan terganggu, dan latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan. Baby blues syndrome memang termasuk dalam gangguan depresi dengan taraf ringan, namun jika kita tidak menyikapinya dengan cermat tentunya akan mempengaruhi tahap tumbuh kembang seorang anak. Bagaimana anak bisa mendapat perhatian yang maksimal jika ibunya sendiri mengalami depresi. Hal tersebut tentunya akan turut mempengaruhi kondisi psikologis anak, karena bagaimanapun juga ibu adalah significant other utama seorang anak di bulan-bulan awal kehidupannya. Maka dari itu guna meminimalisir terjadinya baby blues syndrome pada seorang ibu, penting adanya perencanaan yang matang antar suami, istri dan lingkungan keluarga dari awal kehamilan hingga proses pembagian peran penjagaan bayi ketika bayi telah lahir. Sehingga tingkat stress seorang ibu pasca melahirkan bisa ditekan untuk mencapai depresi dan menerunkan peluang terjadinya baby blues syndrome.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknojosastro H, 2009. Ilmu Kebidanan. Cetakan Ke-4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta. 2. Wratsangka R, Hasan B, Wijayanegara H. 1996. Tinjauan Kasus Postpartum Blues di RSU Dr. Hasan Sadikin-Bandung; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 3. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. EGC:Jakarta. 4. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV-TR. Washington DC : APA 5. Jofesson A dkk. 2002. Obstetric, Somatic, and Demographic Risk Factors for Postpartum Depressive Symptoms; in the American College of Obstetricians and Gynecologists. 6. Iskandar, Suhandi, Sugi, 2007. Post Partum akses Blues. 20

http://www.mitrakeluarga.net/kemayoran/kesehatan005.html (tanggal Januari 2013)

7. National Mental Health Association, 2003. Recognizing Postpartum Depression. Diunduh dari http://www.nmha.org. Diakses pada tanggal 18 Januari 2013) 8. Cunningham, F.Gary, Norman F. Gant, et all. Williams Obstetrics international edition. 22 nd edition. 9. Wisner KL, Parry BL, Piontek CM. 2002. Postpartum Depression. N Engl J Med ; 347 : 194 -99. 10. Moldenhauer JS. 2012. Postpartum Depression. Merck Manual. Diunduh dari http://www.merckmanuals.com/professional/gynecology_and_obstetrics/postpartum_ care_and_associated_disorders/postpartum_depression.html. Januari 2013. 11. Kesehatan Ibu & Anak. 2012. Mengenal Penyebab Terjadinya Baby Blues. Diunduh dari : http://kesehatanibu-anak.blogspot.com/2012/05/mengenal-penyebab-terjadinyababy-blues.html. Diakses tanggal 20 Januari 2013. Diakses tanggal 24

25

12. Medicastore. 2012. Depresi Setelah Melahirkan, Bukan Hanya Baby Blues. Diunduh darihttp://medicastore.com/artikel/354/Depresi_Setelah_Melahirkan_Bukan_Hanya_ Baby_Blues_Syndrome.html. Diakses tanggal 21 Januari 2013. 13. Puspawardani, I. 2011. Mengenal Baby Blues Syndrome dan Solusinya. Kompasiana http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/07/29/mengenal-baby-bluessyndrome-dan-solusinya-382502.html. Diakses tanggal 21 Januari 2013. 14. Mental Health America. 2012. Postpartum disorder. Diunduh dari

http://www.mentalhealthamerica.net/go/postpartum. Diakses tanggal 18 Januari 2013. 15. A.D.A.M. Medical Encyclopedia. 2012. Postpartum depression. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0004481/. Januari 2013. 16. Elvira, Sylvia D. 2006. Depresi Pasca Persalinan. Balai Penerbit FKUI:Jakarta. 17. Bernadus. 2008. Jangan pandang enteng baby blues. Diunduh dari Diakses tanggal 18

http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1825470-jangan-pandang-enteng-babyblues/. Diakses tanggal 22 Januari 2013.

26

Você também pode gostar